ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-20
Kiang Liat sengaja mengerahkan ilmu lari cepat dan Liem Sun Hauw yang muda tahu bahwa dirinya di’jajal’ oleh utusan Bu Pun Su ini. Sudah lama Liem Sun Hauw mendengar nama besar Bu Pun Su yang sering dipuja oleh mendiang suhu-nya, Thian Mo Siansu. Karena itu sekarang dia girang sekali dapat berkenalan dengan seorang yang masih ada hubungan dengan Bu Pun Su.
Mengetahui dirinya tengah diuji, ia pun mengerahkan ginkang dan berlari secepat terbang mengimbangi kecepatan lari Kiang Liat. Mereka menuruni Gunung Go-bi-san, melompati jurang dan melalui jalan yang sukar dengan enak saja bagaikan orang berlari-lari di atas tanah rata.
Kiang Liat pernah menerima latihan ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng, maka dalam ilmu lari cepat, dia sudah mencapai tingkat tinggi. Oleh karena ini, biar pun Liem Sun Hauw juga lihai, pemuda ini masih kalah setingkat. Namun Kiang Liat juga tidak bermaksud membikin malu pemuda itu, maka sengaja mengurangi kecepatannya agar mereka dapat jalan berendeng.
Sesudah bercakap-cakap, keduanya semakin merasa cocok, Liem Sun Hauw yang tahu bahwa ilmu lari cepat orang tua ini masih melampauinya, merasa amat kagum. Ia makin merasa suka karena Kiang Liat ternyata tidak meninggalkannya dan tidak memamerkan kemenangannya.
Tiba-tiba, pada sebuah tikungan jalan mereka melihat seorang tosu gemuk pendek berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka menghentikan perjalanan dan sesudah dekat, Liem Sun Hauw mengenali tosu ini sebagai murid ke dua dari Twi Mo Siansu. Melihat sikap tosu yang bermuka kuning dan bertubuh gemuk pendek ini, diam-diam Sun Hauw merasa tak enak hati.
“Agaknya Suheng ada keperluan penting maka menanti siauwte di sini,” kata Sun Hauw sambil memberi hormat.
“Memang ada keperluan penting sekali,” kata tosu itu, suaranya tinggi dan menggetar.
Mendengar suara ini dan melihat muka yang kekuningan dan pucat itu, diam-diam Kiang Liat terkejut karena maklum bahwa tosu yang kelihatannya tidak seberapa ini ternyata adalah seorang seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga lweekang tinggi.
“Barang kali kau belum tahu, pinto adalah Tek Le Tojin, murid ke dua dari Ciangbunjin (ketua) Gobi-pai.”
Melihat sikap tosu ini, Sun Hauw merasa mendongkol bukan main. Sikap ini menunjukkan seakan-akan dirinya tak dianggap sebagai murid Go-bi-pai, melainkan dianggap sebagai tamu.
“Siauwte sudah mengerti, sekarang apakah kehendak Ji-suheng?”
“Kau dipercaya oleh Suhu untuk memikul tugas yang berat. Tadi pinto telah menyaksikan kepandaianmu, akan tetapi sayang, Suhu buru-buru menahan. Karena tugasmu penting sekali, pinto masih merasa penasaran dan hendak meyakinkan apakah kau benar-benar akan sanggup melakukan tugas itu karena apa bila kiranya kau tidak patut menjadi wakil Suhu, masih belum terlambat kau mengembalikan tugas itu kepada Suhu.”
“Apa maksud Suheng?” tanya Sun Hauw tak senang.
“Menguji apakah betul-betul kau patut menjadi wakil Suhu!” jawab Tek Le Tojin tegas.
Mendengar ucapan tosu muka kuning yang bertubuh pendek gemuk itu, Liem Sun Hauw mengerutkan kening, hatinya tidak senang sekali.
“Suheng Tek Le Tojin, mengapa Suheng melakukan ini? Bukankah Suheng sendiri sudah menyaksikan bahwa Susiok telah memberi kekuasaan kepada siauwte untuk melakukan tugas ini?”
Tek Le Tojin tersenyum menyeringai. “Suhu selalu bersikap lemah dan pemurah. Akan tetapi sekali ini pinto sungguh-sungguh meragukan apakah kepercayaan Suhu kepadamu bijaksana. Kau bocah kemarin sore yang belum tahu tentang seluk beluk dunia kang-ouw, bagaimanakah kau dapat menyelesaikan tugas dengan baik? Apa lagi bila diingat bahwa tugas ini amat pentingnya, yakni menjadi pendamai antara dua partai besar, Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Pinto sendiri yang sudah banyak makan garam dunia masih ragu-ragu, apakah pinto akan berhasil menunaikan tugas itu, apa lagi seorang bocah macam kau. Hemmm, apakah yang kau andalkan? Maka majulah, pinto hendak mencobamu agar hati pinto tenteram kalau kau pergi. Bagimu mungkin nama besar Go-bi-pai tidak ada artinya, namun bagi pinto dan para anak murid Go-bi-pai amat besar artinya dan harus dijaga baik-baik, kalau perlu bahkan dibela dengan taruhan nyawa!”
Sun Hauw merasa mendongkol. Dia dapat memaklumi dan dapat pula mengagumi sifat tosu yang jujur ini, yang meragukan keputusan Ketua Go-bi-pai sekali-kali bukan dengan maksud untuk menghinanya atau untuk membandel terhadap keputusan Twi Mo Siansu, akan tetapi untuk menjaga nama baik Go-bi-pai yang kini mengutus seorang anak murid yang bukan langsung belajar di Go-bi-san. Pendeknya, tosu ini masih tidak percaya akan kepandaiannya.
Kali ini aku harus memperlihatkan kepandaianku. Pikir pemuda ini dengan hati gemas.
“Baiklah, Suheng. Kau adalah saudara tuaku, maka sebagai saudara muda, mana berani aku membantah kehendakmu? Biarlah Kiang-lo-enghiong ini menjadi saksi bahwa ujian kepandaian ini merupakan kehendakmu dan sama sekali bukan aku yang menghendaki. Maka kalau sampai Susiok marah, aku tidak mau memikul tanggung jawabnya.”
“Baik, baik, biarlah Sicu ini menjadi saksi. Nah, Liem-sute kau bersiaplah!”
Sambil berkata demikian, Tek Le Tojin segera memasang kuda-kuda menghadapi Liem Sun Hauw. Kuda-kudanya biasa saja, kuda-kuda ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi nampak kokoh kuat seakan-akan kedua kakinya telah berakar ke dalam tanah.
Melihat pasangan kuda-kuda ini, di dalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana sih tosu ini? Sudah disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh murid kepala Go-bi-pai, ia dapat melayani Tek Sin Tojin dengan baik. Sekarang murid kedua ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa. Mungkinkah ada murid kedua lebih pandai dari pada murid pertama?
“Baiklah, Suheng. Siauwte menunggu pelajaran dari Suheng!” Sun Hauw berkata sambil memasang kuda-kuda pula menghadapi tosu itu.
Tek Lojin mulai menyerang sambil berseru, “Awas serangan!”
Tangannya memukul ke arah dada Sun Hauw.
Pemuda ini dengan tenang kemudian memindahkan kaki sambil menangkis. Akan tetapi dia kaget sekali pada waktu lengannya beradu dengan lengan tosu itu, karena dia merasa lengannya menjadi linu dan sakit, bahkan tenaga serangan tosu ini sedemikian kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong!
Ahh, sekarang tahulah dia. Ji-suheng-nya ini adalah seorang yang mempunyai lweekang tinggi sekali, mungkin lebih kuat dari pada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku awas dan kini tak berani lagi ia menerima pukulan suheng-nya dengan tangkisan langsung, sebaliknya dia mengandalkan kelincahan untuk mengelak dan balas menyerang. Dia memang lebih lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya, juga pemuda ini menerima latihan ginkang istimewa dari mendiang gurunya.
Akan tetapi lagi-lagi ia terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek Le Tojin, biar pun tidak mengenai tubuhnya, tapi sudah mendatangkan angin pukulan yang panas dan dahsyat! Dia tidak tahu bahwa tingkat ilmu lweekang dari Tek Le Tojin sudah amat tinggi dan bahwa tosu ini telah memahami ilmu pukulan berdasarkan lweekang tingkat tinggi yang disebut Pek-lek-ciang (Si Tangan Kilat).
Biar pun ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat Go-bi-pai, namun dalam tiap pukulan Tek Le Tojin mempergunakan tenaga Pek-lek-ciang dalam usahanya untuk mengalahkan Sun Hauw.
Sun Hauw benar-benar terdesak hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le Tojin ini bahkan lebih kejam dari pada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kalau mengenai tepat pada sasarannya kiranya akan mendatangkan akibat hebat!
Oleh karena tidak tahan menghadapi serangan dengan pukulan Pek-lek-ciang, Sun Hauw berseru keras dan kembali ia mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari mendiang suhu-nya, yakni ilmu pukulan dari Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga jurus ia melawan dengan ilmu silat ini, ia dapat membuyarkan desakan Tek Le Tojin.
“Bocah lancang! Kau sudah lupa akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan ilmu silat iblis ini?!” bentak Tek Le Tojin!
“Suheng yang mulai lebih dulu!” bantah Sun Hauw. “Mengapa Suheng mempergunakan hawa pukulan yang panas itu? Di dalam ilmu silat Go-bi-pai tidak ada pukulan macam itu!”
“Begitu? Baik, kau tahanlah pukulanku dengan ilmu iblismu itu!”
Setelah membentak begini, Tek Le Tojin kemudian memukul dengan penggunaan tenaga sepenuhnya sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus menggunakan kelincahannya untuk mengelak. Kemudian, dengan luar biasa cepatnya dan tidak kalah hebat, dia membalas dengan serangan-serangan yang gerakannya tak dikenal oleh Tek Le Tojin sehingga tosu ini menjadi kelabakan.
Dalam marahnya, pada saat kedua tangan Sun Hauw memukul dengan sepasang lengan dilonjorkan lurus ke muka, Tek Le Tojin langsung menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya.
“Plakkk!”
Dua pasang telapak tangan bertemu. Sun Hauw tidak kuasa menarik kembali sepasang tangannya! Ia terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua tangannya, akan tetapi sia-sia belaka. Sepasang telapak tangan Tek Le Tojin seakan-akan menyedot tangannya, membuat dua tangan Sun Hauw menjadi menempel. Perlahan-lahan Sun Hauw merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan suheng-nya itu menyerang ke dadanya melalui sepasang lengannya!
Ia makin terkejut dan gelisah karena sebagai seorang ahli silat tinggi maklumlah pemuda ini bahwa suheng-nya sedang menyerang dirinya dengan tenaga lweekang tingkat tinggi, menyerang secara keji karena serangan ini apa bila sampai melukai jantungnya berarti mengantar ia menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)! Untuk melepaskan diri tak mungkin, maka Sun Hauw lalu mengerahkan seluruh lweekang-nya untuk melawan serangan ini.
Baiknya ia pun sudah mendapat latihan lweekang dari mendiang suhu-nya dan biar pun dalam hal tenaga lweekang tingkatnya masih kalah banyak oleh suheng-nya ini, namun setidaknya tenaganya bisa menolak kembali serangan itu dan ia dapat mempertahankan diri untuk sementara waktu. Ia hanya mengharapkan saja bahwa tosu ini takkan berlaku kejam dan akan menyudahi serangannya yang keji.
Akan tetapi harapannya ternyata kosong belaka. Tek Le Tojin sedikit pun tak mengurangi serangannya, bahkan mengerahkan tenaga Pek-lek-ciang untuk rnencelakai pemuda itu. Bahkan untuk memamerkan keunggulannya dalam adu tenaga lweekang itu, dia masih membuka mulut menyindir,
“Hemm, begini sajakah orang yang hendak mewakili Go-bi-pai? Sungguh mengecewakan dan memalukan sekali!”
Dia memperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun Hauw sudah penuh keringat dan kedua lengan tangannya sudah mulai gemetar!
“Sungguh mengherankan sikap tokoh Go-bi-pai!” Tiba-tiba terdengar suara menggeledek.
Sun Hauw merasa pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika itu juga, ada tenaga yang dahsyat mengalir melalui kedua lengannya dan menyerang Tek Le Tojin sehingga tosu itu merasa kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaga tempelannya lenyap. Sun Hauw mempergunakan tangan mendorong sambil melompat ke belakang. Tubuhnya terhuyung-huyung dan tentu akan roboh saking lemasnya kalau saja tidak ada Kiang Liat yang cepat menahan punggungnya.
Tek Lek Tojin memandang Kiang Liat dengan sepasang mata terbelalak lebar dan mulut tersenyum masam.
“Sudah menerima pelajaran dari Kiang-sicu, sungguh mengagumkan...!”
Memang, yang membantu Sun Hauw tadi bukan lain adalah Kiang Liat karena pendekar ini tidak tega melihat pemuda itu diancam bahaya maut oleh tangan suheng-nya sendiri. Ia merasa penasaran, dan biar pun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan antara dua orang murid Go-bi-pai, akan tetapi dia tidak bisa membiarkan pemuda itu terbunuh begitu saja.
Sesudah berkata demikian sambil menjura kepada Kiang Liat, tosu gemuk pendek itu lalu berlari naik ke puncak lagi dengan cepat.
“Sungguh berbahaya...” Sun Hauw berkata sambil menarik napas panjang, “Baiknya ada Kiang-lo-enghiong yang menolongku tadi, kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan nasibku. Terima kasih banyak, Kiang-lo-enghiong.”
“Sudahlah, aku tidak bisa membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang jujur dan pandai, sayang sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih Tek Sin Tojin sebagai calon pengganti ketua, padahal Tek Le Tojin masih lebih berbakat untuk menjadi seorang ahli silat tinggi.”
Karena tekanan Tek Le Tojin tadi sudah menyerang hebat dan baru saja Sun Hauw harus mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, maka ia perlu beristirahat untuk memulihkan kekuatannya. Kiang Liat mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan sambil beristirahat mereka bercakap-cakap. Kiang Liat makin suka kepada pemuda ini, sebaliknya Liem Sun Hauw makin menghormat karena kini baru dia tahu betul bahwa utusan Bu Pun Su ini adalah seorang berkepandaian tinggi.
“Agaknya Suheng Tek Le Tojin, seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang kepadaku sebab aku adalah murid Thian Mo Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu,” Sun Hauw bercerita, “Dahulu Suhu-ku, Thian Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-bi-pai dibantu oleh Susiok Twi Mo Siansu. Peraturan dari partai Go-bi-pai amat keras dan ketinggalan jaman, maka anak murid Go-bi-pai menjadi kaku-kaku dan cara hidupnya bahkan jauh melebihi pendeta-pendeta yang selama hidupnya dikeram di dalam kuil. Suhu-ku tidak menyetujui peraturan-peraturan ini dan setelah ia menjadi ciangbunjin, sedikit demi sedikit ia hendak merubahnya. Pendeknya Suhu hendak menjadi pencipta aliran baru untuk menyesuaikan keadaan partai kami dengan kemajuan jaman. Akan tetapi, Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang yang amat kukuh dan penganut aliran lama dalam peraturan Go-bi-pai sehingga mulailah terjadi bentrokan paham antara Suhu dengan Susiok. Perubahan yang hendak dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu ingin mengembangkan ilmu silat Go-bi-pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-bi-pai tidak hanya dimiliki oleh para pendeta saja, akan tetapi dapat digunakan oleh orang-orang untuk membasmi kejahatan di dunia kang-ouw. Hal ini ditentang keras oleh Susiok yang khawatir kalau-kalau ilmu silat partai Go-bi-pai akan terjatuh ke dalam tangan orang jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama baik Go-bi-pai. Pendirian Susiok ini disokong oleh hampir semua tosu di dalam kuil.”
Kiang Liat mengangguk-angguk. “Dua macam pendirian, akan tetapi keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Suhu-mu benar sebab apalah artinya dahulu para guru besar Go-bi-pai susah payah menciptakan ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya disimpan di dalam kuil dan tidak dipergunakan untuk kebaikan umat manusia? Sebaliknya, susiok-mu juga benar karena memang bahaya yang dikhawatirkan itu mungkin sekali terjadi. Akan tetapi, sebetulnya perbedaan faham dapat dipecahkan dengan jalan tengah, misalnya, biar pun boleh menerima murid dari luar, akan tetapi dilakukan pemilihan yang keras dan setiap murid diharuskan belajar di puncak Go-bi-san.”
“Sayang dahulu tidak ada Lo-enghiong yang memberi nasehat kepada Suhu dan Susiok. Akan tetapi, pertikaian itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat sayang kepada Susiok, lalu meninggalkan Go-bi-san dan menyerahkan kedudukannya kepada Susiok. Suhu sendiri lalu turun gunung merantau dan menerima beberapa orang murid di dalam perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya yang terakhir sampai Suhu meninggal di kampungku.”
“Di manakah kampungmu?”
“Kampungku Pek-kan-mui terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho. Suhu tinggal di sana sampai selama tujuh tahun. Aku murid tunggal dan terakhir. Bahkan Suhu tinggalnya juga di rumahku, di mana aku tinggal berdua dengan Ayah yang telah menjadi duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak aku berusia lima tahun. Kemudian karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan berpesan agar supaya aku naik ke Go-bi-san dan memperkenalkan diri kepada Susiok serta memberi tahu tentang kematian Suhu.”
Kiang Liat tertarik sekali mendengar penuturan Sun Hauw. Apa lagi ketika mendengar keadaan pemuda ini yang tidak memiliki ibu lagi. Diam-diam ia membandingkan keadaan pemuda ini dengan keadaan puterinya.
Timbul rasa sayang dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini dan timbul keinginan hatinya untuk mengambil Sun Hauw sebagai menantunya, dijodohkan dengan Kiang Im Giok. Sebaliknya, Sun Hauw yang merasa sangat kagum kepada Kiang Liat, juga ingin mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat lebih jelas.
“Kalau aku boleh bertanya, Lo-enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Lo-enghiong yang lihai ini murid siapakah?”
Kiang Liat tersenyum. “Aku ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu, juga aku pernah menjadi murid Suhu Han Le, dan pernah pula menerima pelajaran dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Supek Bu Pun Su juga pernah memberi pelajaran kepadaku.”
“Aduh, pantas saja Lo-enghiong demikian lihai...” Sun Hauw berseru kagum dan menjura memberi hormat. “Harap maafkan kalau siauwte tadi berlaku kurang hormat.”
“Hushhh, mengapa banyak sungkan-sungkan? Apa sih artinya kepandaian? Betapa pun tinggi Gunung Thai-san, masih ada langit yang berada di atasnya! Betapa pun pandainya seseorang, pasti ada yang lebih pandai dari padanya. Kita sudah menjadi sahabat apa perlunya berlaku sheji (sungkan)?”
“Terima kasih atas kepercayaan Lo-enghiong padaku yang muda dan bodoh. Di manakah Lo-enghiong tinggal? Siapa tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang berkunjung.”
“Rumahku di Sian-koan dan di sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri tunggalku. Ibunya sudah meninggal dunia semenjak anakku masih kecil sekali...” Kiang Liat menarik napas panjang dan meramkan mata karena teringat akan isterinya yang tercinta.
“Ahhh aku ikut menyesal sekali akan nasibmu yang malang, Lo-enghiong...,” cepat-cepat Sun Hauw menghibur melihat keadaan Kiang Liat.
Pendekar ini membuka kedua matanya, bibirnya memaksa tersenyum akan tetapi kedua matanya basah. “'Terima kasih, kau baik sekali, Liem-sicu.”
“Namaku Sun Hauw, harap Lo-enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan menganggap aku sebagai sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak kalau mendengar Lo-enghiong bersungkan dan menyebutku Liem-sicu!”
“Baiklah Sun Hauw, engkau memang seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja hidupmu bahagia, jangan seperti aku...”
Melihat betapa Kiang Liat kembali akan terbenam dalam kesedihannya, Sun Hauw yang amat pandai membawa diri itu berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa orang tua itu kepada kenangan yang menggembirakan.
“Lo-enghiong, kau begini gagah perkasa, sudah tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi, bukan?”
Maksud Sun Hauw berhasil. Kini sesudah diingatkan akan puterinya, berserilah lagi wajah Kiang Liat, matanya bersinar-sinar gembira. Bukan sekedar dapat membikin Kiang Liat untuk sementara waktu melupakan isterinya yang telah meninggal, bahkan pertanyaan ini menimbulkan kembali niatnya semula, yakni memungut mantu pemuda yang tampan dan gagah lagi menyenangkan hati ini.
“Kau maksudkan puteriku Im Giok? Ha-ha-ha, orang sudah memberi julukan Ang I Niocu kepadanya! Salahnya sendiri, semenjak kecil dia suka memakai pakaian serba merah sih. Kepandaiannya? Ah, dia memang beruntung, bahkan Supek Bu Pun Su sendiri berkenan memberi beberapa ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Tentang kepandaiannya pada waktu ini kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi dari pada tingkat kepandaianku!”
Diam-diam Sun Hauw terkejut. Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini hebat, namun sekarang Kiang Liat sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang bernama Ang I Niocu Kiang Im Giok itu lebih tinggi lagi!
“Lo-enghiong benar-benar berbahagia dan keluarga Lo-enghiong adalah keluarga gagah perkasa. Benar-benar membuat siauwte tunduk dan kagum,” kata Sun Hauw.
“Sun Hauw, kau sendiri apakah sudah menikah?”
Ditanya tentang ini secara tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya, kemudian mukanya berubah merah dan ia menggeleng kepala.
“Belum Lo-enghiong.”
“Hemm, usiamu kurasa sudah lebih dua puluh dan sudah sepatutnya jika telah memiliki jodoh.”
“Siauwte berusia dua puluh dua tahun, akan tetapi siauwte yang miskin ini mana berani menyeret anak orang lain dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?”
Jawaban ini menyenangkan hati Kiang Liat.
“Kata-katamu itu mencerminkan watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Namun ucapanmu tadi tidak betul. Bukan kemiskinan yang akhirnya mendatangkan kesengsaraan dalam perjodohan, akan tetapi ketidak rukunan atau ketidak cocokan keadaan dan watak. Sudah lama sekali aku mencari-cari calon jodoh puteriku, akan tetapi karena aku takut kalau-kalau wataknya tidak cocok, karena itu sampai sekarang aku masih belum menemukan orangnya. Anakku mempunyai kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, tentu dia mengutamakan kegagahan seperti semua keluarga kami. Selain ini, tentang muka, hmmm… bagiku, di muka bumi ini, kecuali mendiang ibunya, tidak ada wanita yang secantik dia! Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka bicara terus terang. Sampai sekarang belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang patut menjadi jodoh Im Giok. Dan sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku suka sifat-sifatmu, aku melihat kau seorang pemuda yang cukup tinggi ilmu silatmu, bakatmu baik, dan kau mengutamakan kegagahan pula. Kau tampan dan gagah, kiranya pantas sekali menjadi calon jodoh puteriku.”
Mendengar ucapan ini bukan main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tak berani langsung menatap wajah Kiang Liat.
“Bagaimana, anak muda? Apakah kau bersedia menjadi calon suami puteriku?”
Didesak begini, Sun Hauw tidak dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung. Akhimya dapat juga ia menjawab,
“Maaf, Lo-enghiong. Urusan ini datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tidak tahu bagai mana harus menjawab. Kiranya hal ini perlu dipikirkan lebih masak dan sekembaliku dari Bu-tong-san aku akan singgah ke Sian-koan dan memberi jawaban keputusan.”
Kiang Liat mengangguk-angguk gembira.
“Baiklah, tentu saja demikian! Asal ada kesanggupan darimu, hatiku sudah sangat puas. Memang, syarat dalam perjodohan bukan hanya tergantung dari persamaan watak, akan tetapi juga kecocokan hati! Aku tahu keadaan hati orang-orang muda jaman sekarang. Dan tentu saja kau belum puas mendengar kata-kataku kalau kau belum melihat sendiri orangnya. Ha-ha-ha! Baiklah, Sun Hauw, aku menunggu kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani bertaruh potong kepala bahwa sekali kau melihat Im Giok, kau tidak akan dapat tidur nyenyak lagi. Ha-ha-ha!”
“Aku yang bodoh ini menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari Lo-enghiong yang dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak tidak akan mengecewakan hati Lo-enghiong yang berbudi mulia, dan selama nyawa di kandung badan, aku tak akan melupakan Lo-enghiong. Aku bersumpah untuk datang ke Sian-koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku.”
Demikianlah, dengan hati girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun Hauw. Dia pulang menuju ke Sian-koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-san.
********************
Semenjak kecilnya, Giok Gan Niocu Song Kim Lian memang sudah memiliki sifat-sifat kurang baik dari seorang gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat cabul. Di dalam hatinya ia boleh dibilang gila lelaki dan pikirannya penuh oleh bayangan pemuda-pemuda tampan.
Selama ia tinggal bersama gurunya dan sumoi-nya, ia masih tak dapat berbuat sesuka hatinya karena takut kepada gurunya, juga takut dan segan kepada Kiang Im Glok. Akan tetapi, setelah gurunya dan sumoi-nya pergi dalam waktu berbareng, yakni Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai sedangkan Kiang Liat oleh Bu Pun Su disuruh ke Go-bi-san, keadaan Song Kim Lian laksana kuda betina liar tidak dipasangi kendali lagi!
Dia bersuka-suka dan bermain-main dengan para pemuda kota Siang-koan yang boleh dibilang semua memujanya karena dia memang cantik jelita lagi genit. Setiap hari Kim Lian pergi pesiar sambil bergurau gembira bersama serombongan pemuda tampan yang kerjanya hanya hilir mudik menjual tampang, pemuda-pemuda anak orang kaya yang tak memiliki pekerjaan lain kecuali mengatur pakaian dan merawat muka seperti perempuan.
Penduduk-penduduk tua di Sian-koan menggeleng kepala menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi siapakah berani menegur Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang selain memiliki kepandaian tinggi juga merupakan murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, pendekar besar di kota Sian-koan?
Perjalanan Im Giok dan Kiang Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik oleh Kim Lian dan karenanya membuat dia menjadi semakin berani dan binal. Gadis yang merasa tidak ada orang yang akan berani menegurnya ini bahkan menjadi demikian binal sampai-sampai pada suatu hari ia mengundang belasan orang pemuda pemogoran untuk datang di taman bunga gedung gurunya untuk berpesta dan bergembira!
Para pelayan di rumah gedung keluarga Kiang tentu saja tidak ada yang berani menegur, bahkan mereka juga ikut bergembira. Para pemuda itu menikmati hidangan dan arak, dan puncak kegembiraan itu adalah pada saat dengan pakaian yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya yang indah menggairahkan, Kim Lian keluar kemudian bermain silat pedang di tengah-tengah taman.
Dengan gerakan-gerakan indah dan tubuhnya yang lincah, Kim Lian sengaja berpamer, tidak saja memamerkan ilmu pedangnya, akan tetapi terutama sekali untuk memamerkan kecantikan dan keindahan bentuk tubuhnya kepada belasan pasang mata laki-laki yang memandang dengan kagum sehingga beberapa di antaranya hampir copot dan melompat keluar dari kepala!
Terdengar tepuk tangan riuh-rendah disertai sorak-sorai gembira setiap kali menyambut jurus atau gerakan yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tak mau bersilat dengan gerak cepat, melainkan bersilat perlahan-lahan dan lambat-lambatan supaya setiap gerakannya dapat ‘dinikmati’ oleh pandang mata kawan-kawannya.
Selagi para pemuda itu ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang sedang bersilat dengan bibir merah tersenyum-senyum manis serta mata jeli melirik-lirik genit, tiba-tiba berkelebat bayangan merah yang tidak terlihat oleh para pemuda itu, akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih. Seketika wajah Kim Lian memucat dan gerakan silatnya berhenti.
“Suci...!”
Setelah terdengar suara ini, barulah semua pemuda yang berada di situ menengok dan memandang ke belakang dan di situ telah berdiri seorang gadis berpakaian merah, gadis cantik jelita yang sudah lama menjadi idaman para pemuda itu, yang sudah lama pula menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak berani menyatakan karena Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian. Dengan adanya Im Giok, kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu.
“Pergi kalian orang-orang tak beradab!” bentak Im Giok sambil menghunus pedang untuk menggertak rombongan pemuda itu.
Maka pergilah mereka seorang demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki menggigil, bagaikan anjing-anjing diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja mereka itu berekor tentu masing-masing menyembunyikan ekor di bawah kaki belakang. Para pelayan juga bubar ketakutan, mengerjakan pekerjaan masing-masing.
“Sumoi... kau sudah datang? Ahh, mereka itu... ehh, aku... aku kesepian setelah kau dan Suhu pergi, maka hendak mengadakan sedikit pesta...”
“Mengapa mendatangkan orang-orang lelaki melulu? Suci, kau benar-benar keterlaluan. Kalau tidak merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan terjerumus...”
“Mereka... mereka mengagumiku, mengagumi ilmu pedangku, mengagumi kepribadianku dan aku... aku senang sekali mereka kagumi. Apa salahnya itu, Sumoi?” Kim Lian masih mencoba membantah.
Im Giok menghela napas, dia kehabisan akal. Memang dia sudah tahu akan sifat kakak seperguruannya ini yang agak ‘mata keranjang’.
“Sudahlah, masih baik aku yang mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini. Kalau Ayah yang datang tidak saja kau akan mendapat marah besar, mungkin mereka itu akan ditampar seorang demi seorang.”
“Hi-hi-hi, aku ingin melihat muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali tampar menjadi bengkak seperti semangka,” kata Kim Lian genit. “Sebetulnya aku pun tidak suka dengan pemuda-pemuda lemah seperti mereka. Akan tetapi di manakah mencari pemuda gagah seperti Suhu pada waktu muda? Karena tak ada yang demikian, mereka itu untuk kawan pun... bolehlah...”
“Cukup! Suci, kenapa bicaramu seperti itu? Sudah, aku tidak sudi mendengar lagi. Lekas kau berganti pakaian yang pantas dan membantu aku melayani tamu yang kini sudah duduk di ruang tamu.”
“Siapa?” tanya Kim Lian terheran.
Wajah Im Giok berubah merah. Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga warna kemerahan yang menjalar kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian.
“Dia adalah Gan-siucai.”
“Oh, diakah? Yang kau antarkan ke Tiang-hai? Yang dulu pernah kita tolong dari tangan perampok?”
Im Giok mengangguk. “Benar, dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan Ayah dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan Susiok-couw Bu Pun Su. Lekaslah kau berganti pakaian.”
“Apa Suhu belum pulang juga?” tanya Kim Lian.
“Kalau dia tidak berada di sini tentu berarti belum pulang. Aku baru saja datang, mana aku bisa tahu?” jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat kelakuan suci-nya yang ditinggal seorang diri di rumah. Perlahan-lahan dia akan membicarakan tentang sikap dan watak suci-nya ini dengan ayahnya, karena kalau dibiarkan saja, bisa berbahaya nasib hidup suci-nya ini.
Sesudah Kim Lian muncul lagi, Im Giok semakin mendongkol saja. Suci-nya benar-benar terlalu. Sekarang menghadapi Tiauw Ki, suci-nya telah berganti pakaian indah dan baru, mukanya diberi bedak tebal dan bibir serta pipinya dimerah-merah! Dengan gerakan genit menarik Kim Lian memberi hormat kepada Tiauw Ki yang juga sudah berdiri dan memberi hormat, lalu Kim Lian berkata dengan suara halus merdu,
“Ah, kiranya Gan-siucai yang menjadi tamu agung! Gan-siucai, apakah kau masih ingat kepadaku?”
Tiauw Ki tersenyum “Tentu saja Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap yang pernah menolong nyawaku!”
Kim Lian mengeluarkan suara ketawa, “Ahh, bisa saja kau, Gan-siucai. Bukan kau yang harus berkata demikian, sebaliknya akulah yang harus berterima kasih kepadamu. Kau telah memperlihatkan pembelaan besar sekali kepadaku di hadapan Susiok-cow Bu Pun Su. Budimu yang demikian besarnya itu, sampai mati pun aku Song Kim Lian tidak akan dapat melupakannya!”
Sambil berkata demikian, ia tersenyum dan pandang matanya menyambar dalam kerling yang penuh arti. Memang sepasang mata gadis ini amat indah dan tajam, maka aksinya ini tentu amat menarik hati, karena keindahan matanya maka ia diberi julukan Giok Gan Niocu (Nona bermata Kemala).
Melihat sikap Kim Lian ini, diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak enak hati, akan tetapi pemuda ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan. Kemudian ia pun berkata kepada Im Giok,
“Karena Kiang-lo-enghiong belum pulang, biarlah aku pergi dahulu dan aku akan menanti kedatangannya di rumah penginapan. Mudah-mudahan saja dia akan datang tidak lama lagi.”
Im Giok juga mendongkol melihat sikap suci-nya, karena itu memang lebih baik apa bila kekasihnya itu lekas-lekas pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya,
“Baiklah Gan-ko. Rumah penginapan Liok-nam di ujung barat kota ini merupakan rumah penginapan terbesar dan terbaik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah sudah pulang, tentu akan kuberi kabar kepadamu.”
Tiauw Ki memberi hormat lalu meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda itu pergi, Kim Lian lalu memegang tangan Im Giok.
“Ehh, Sumoi yang manis. Agaknya ada apa-apanya antara dia dan kau!”
Wajah Im Giok menjadi merah sekali.
“Jangan main-main, Suci. Betapa pun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan.”
“Aha, jadi benar ada apa-apanya? Nah, aku dapat membayangkan... aduh, aku tahu, aku dapat menduga... hi-hi-hi-hi...!”
“Suci, jangan sembarangan bicara! Apa yang kau ketahui? Apa yang kau bayangkan dan kau duga?”
“Ahh, begitu mesra, adduuuhhh...” Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan di kanan kiri pipinya.
“Suci, jangan membuat aku marah. Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan perempuan macam itu. Apa yang kau duga?”
“Sumoi, apa salahnya kalau kau suka dia yang tampan dan dia suka kau yang cantik?”
“Kau menyangka keliru!”
“Yang betul bagaimanakah?” Kim Lian memancing.
“Tak akan kuceritakan padamu!” Im Giok berpura-pura marah.
“Ah, begitu? Adikku yang baik, kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan. Kalau kau tak bercerita terus terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan dugaanku sendiri? Hmmm, dapat kubayangkan betapa mesranya...” kembali Kim Lian menggoda.
“Suci Kim Lian, jangan kau main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah untuk... meminangku. Ini sungguh-sungguh, bukan main-main!”
“Aaaahh... begitukah?” Kim Lian memeluk sumoi-nya. “Adikku yang manis, kini kau harus menceritakan semua pengalamanmu kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri dan begitu mudah menjatuhkan pilihan?”
Keduanya memasuki kamar dan di dalam kamar itu dua orang gadis ini kemudian bicara kasak-kusuk. Im Giok menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang penuh bahaya.
“Dia adalah seorang berbudi mulia, Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya yang besar pada diriku, dan sudah beberapa kali ia rela mengorbankan keselamatannya demi untuk menolongku. Kurasa di dunia ini tidak ada orang ke dua sebaik dia.”
Terdengar isak tangis dan Kim Lian memeluk adiknya sambil menangis.
“Ehh, Suci, mengapa kau menangis?” tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak suci-nya.
“Adikku... aku gembira sekali... akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa? Kalau kau... menikah dan pergi, lalu bagaimana dengan diriku? Sumoi-nya sudah menikah dan suci-nya belum, apa akan kata orang...?”
Tahulah kini Im Giok mengapa Kim Lian menangis.
“Suci, apa salahnya hal itu? Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita hanyalah sumoi dan suci dari keluarga lain. Siapa yang lebih dahulu keluar pintu tidak merupakan halangan apa-apa.” Im Giok menghibur.
Diam-diam di dalam hatinya berdebar karena ia sendiri masih belum dapat menentukan apakah ayahnya akan menerima pinangan Tiauw Ki.
Anehnya, semenjak Im Giok datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira, bahkan tiap hari dia keluar tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang diri. Tadinya Im Giok menaruh curiga dan diam-diam dia mengikuti suci-nya, akan tetapi ternyata sesudah Im Giok pulang, Kim Lian tak berani main gila lagi.
Kepergiannya hanya untuk menunggang kuda keluar kota lalu kembali lagi, hanya untuk memuaskan keinginan dan kesenangannya menunggang kuda. Akan tetapi diam-diam Im Giok mengerti bahwa suci-nya itu tidak senang hati, mungkin sekali iri hati karena melihat hubungannya dengan Tiauw Ki. Akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan.
Setiap hari Im Giok menyuruh salah seorang pelayan untuk pergi ke rumah penginapan Liok-nam, mengantar makanan atau apa saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya untuk alasan saja, sebenarnya ia ingin mendengar dari pelayannya bahwa keadaan pemuda itu baik-baik saja, dan yang terutama sekali bahwa kekasihnya itu masih berada di rumah penginapan Liok-nam!
Pada hari ke lima, menjelang senja, ia mendengar suara ayahnya di luar rumah. Cepat Im Giok berlari keluar dan benar saja, ia melihat ayahnya sudah pulang dan agaknya tadi bertemu di tengah jalan dengan Kim Lian, karena pulangnya bersama suci-nya itu. Wajah Kiang Liat muram sekali dan begitu mereka memasuki ruangan dalam dan di mana tidak ada pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya dan bertanya,
“Im Giok, apa sih artinya hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku she Gan itu?” Suaranya menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan kemarahannya.
Im Giok kaget sekali dan menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam menusuk. Kim Lian tersenyum dan berkata kepadanya,
“Benar, Sumoi. Sudah tak tahan lagi hatiku maka aku menceritakan kabar gembira itu kepada Suhu tadi...”
“Kabar gembira...? Gila betul! Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri dengan Im Giok!” kata Kiang Liat makin marah mendengar kata-kata ini.
Kim Lian membungkuk dan berkata, “Baiklah, Suhu.”
Kemudian dia keluar dari kamar itu dan dari samping Im Giok dapat melihat bayangan senyum di sudut bibir suci-nya.
Setelah Kim Lian pergi, Kiang Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah dia, suaranya kini agak sabar,
“Coba kau beri penjelasan, Im Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul adanya. Benarkah kau mempunyai hubungan dengan seorang siucai she Gan dan yang sekarang datang untuk melamarmu?”
Muka Im Giok sebentar pucat sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk dalam hati dan pikirannya. Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya, dan ia pun berkata dengan suara tenang,
“Ayah, harap kau suka tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang lebar.”
“Tidak peduli aku akan cerita panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada hubungan dengan kutu buku terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual tampang itu?”
Mata Im Giok menjadi merah. Ia tahu bahwa kadang-kadang ayahnya suka marah-marah seperti itu pula, akan tetapi belum pernah ayahnya marah-marah tanpa alasan terhadap dia. Sebaliknya, semenjak kecil dia dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan sesudah kembali bersama ayahnya, ia dimanja secara luar biasa oleh ayahnya, maka ia pun agak berani membantah ayahnya.
“Ayah, bagaimana kau bisa memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah kau lihat dan kenal?” kini gadis itu membantah marah.
Biasanya, apa bila sudah melihat puterinya berdiri menentangnya dengan alis terangkat, mata berapi-api dan dada dibusungkan ini, hati Kiang Liat menjadi lemah. Alangkah besar persamaan wajah Kiang Im Giok dengan Song Bi Li, isterinya! Dan biasanya apa bila Im Giok sudah menentang dan marah, Kiang Liat selalu mengalah dan menuruti kehendak gadis itu. Akan tetapi sekarang tidak demikian, Kiang Liat bahkan berkata keras,
“Tidak usah dilihat, tidak usah dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak ada yang baik, semua berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan kau dekat-dekat dengan dia!”
“Akan tetapi, Ayah. Gan-siucai bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi tugas oleh Susiok-couw untuk mengantarnya ke Tiang-hai!”
Kiang Liat tertegun. Dia sudah mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu datang mengunjunginya bahwa Im Giok memang diberi tugas untuk mengawal utusan Kaisar ke Tiang-hai? Jadi utusan Kaisar itu pemuda inikah?
“Hemmm, mana ada utusan Kaisar kutu buku yang lemah?” dia berkata kepada Im Giok, agak tak percaya.
“Ayah terlalu mengandalkan kepandaian menggerakkan pedang! Sesungguhnya di antara para penggerak pensil juga tak kurang terdapat orang-orang bersemangat api dan berjiwa kesatria! Gan-siucai betul-betul utusan Kaisar walau pun dia memang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar, Ayah.”
Melihat ayahnya diam saja, Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai lalu ke kota raja. Semua pengalamannya itu dituturkan dengan singkat dan terutama sekali dia menonjolkan sikap kekasihnya yang gagah berani dalam membelanya.
Kiang Liat tidak kelihatan tertarik. Ia hanya beberapa kali menggelengkan kepala, bahkan memberi komentar tidak puas setelah penuturan puterinya selesai.
“Kalau dia bukan kutu buku, kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tidak mungkin kau sampai dihina orang, dan tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan sekarang dia datang hendak melamarmu?”
Im Giok menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih. “Demikianlah kehendaknya.”
“Tidak bisa! Kau suruh saja pelayan memberi tahunya bahwa ia boleh lekas-lekas pulang dan jangan sekali-kali berani datang lagi ke sini!”
Mendengar kata-kata ini, wajah Im Giok menjadi pucat.
“Ayaaaahhh...!” serunya, setengah marah setengah terkejut.
Ayahnya menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon suami. Kau sudah kujodohkan dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai dari Go-bi-pai yang bernama Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berwajah tampan, pendeknya tidak kalah oleh ayahmu di waktu muda. Dia patut menjadi suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang lemah, terkena angin sedikit saja jatuh sakit? Tidak...!”
Makin lama sepasang mata Im Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan kata-kata ayahnya.
“Tidak...!” katanya keras sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan saking kerasnya gadis ini mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan kakinya melesak ke dalam. “Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi menikah dengan dia!”
“Im Giok…!”
“Aku yang hendak menikah, bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat bersama Gan-siucai!”
Setelah berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok lari memasuki kamarnya di mana dia membanting tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan muka di bawah bantal dan menangis tersedu-sedu.
Kiang Liat berdiri tak bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya memandang ke arah pintu kamar anaknya tanpa berkedip. Kata-kata ‘lari minggat meninggalkannya’ amat menusuk hatinya dan mendatangkan rasa sakit bukan main. Lalu menimbulkan rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya benar akan pergi meninggalkannya.
Dengan langkah terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu dan hampir saja ia terguling apa bila tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di tengah kamar, dekat pembaringan anaknya.
Pikirannya tak karuan rasanya. Matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa segala sesuatu berputar-putar. Jantungnya berdenyut-denyut keras sangat nyeri, dan telinganya penuh oleh suara seperti angin badai mengamuk. Bibimya bergerak-gerak dan terdengar kata-katanya seperti mabuk,
“Jangan tinggalkan aku... jangan tinggalkan aku seorang diri...!”
Im Giok sudah duduk di atas pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam sekejap berhenti dan kini ia memandang kepada ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa artinya sikap ayahnya seperti ini, akan tetapi akhirnya ia mengerti.
Selama ini ayahnya memang bersikap aneh, bahkan kadang kala mendekati sikap gila, menangis dan tertawa seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggil-manggil nama ibunya. Dan sekarang, ayahnya bersikap seperti ini sebab ia hendak meninggalkan ayahnya!
“Ayaah...!” Im Giok menubruk dan menangis di dada ayahnya “Ayaah, tidak… aku tidak akan meninggalkanmu, Ayah…”
Dua titik air mata turun membasahi pipi Kiang Liat ketika ia kembali membuka matanya. Didekapnya kepala anaknya itu pada dadanya erat-erat, seperti orang yang merasa takut kalau-kalau mustikanya dirampas orang.
“Im Giok, anakku sayang. Benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku...?” tanyanya dengan suara berbisik.
Im Giok terisak menahan tangisnya. “Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa aku menikah dengan Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai itu...”
Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menarik anaknya bangkit berdiri. Dipandangnya wajah anaknya dan bentuk tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi.
“Im Giok, kau serupa benar dengan ibumu... Aku tidak rela memberikan engkau kepada orang yang tidak pantas menjadi suamimu...”
“Tapi aku tidak mau menikah dengan anak Go-bi itu, Ayah,” kata Im Giok manja.
Kiang Liat tersenyum pahit. “Dan kau masih suka kepada cacing buku itu?”
Im Giok tidak berani menjawab, hanya menundukkan muka. Kembali Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menjauhkan diri dari anaknya dan berkata perlahan,
“Sebagai ayah aku harus menjaga agar kelak kau hidup bahagia, anakku. Baiklah, akan kulihat bagaimana macamnya kutu buku itu...” Ia lalu keluar dari kamar meninggalkan Im Giok yang duduk melamun di atas pembaringannya.
Diam-diam gadis ini berdoa mudah-mudahan ayahnya akan suka melihat Tiauw Ki dan ia percaya bahwa kekasihnya itu akan cukup pandai membawa diri di hadapan ayahnya sehingga menimbulkan rasa suka dalam hati ayahnya.....
Komentar
Posting Komentar