ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-21


Pada keesokan harinya, Kiang Liat memanggil Im Giok dan berkata-kata, “Im Giok, aku hendak pergi ke rumah penginapan Liok-nam.”

“Apakah tidak sebaiknya dia kuundang ke mari, Ayah?” tanya Im Giok.

“Tak usah. Jika dia datang berarti dia akan meminang dan aku tidak ingin mengecewakan hatimu. Lebih baik kulihat lebih dulu sebelum mengambil keputusan.”

Bila menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Im Giok juga ikut pergi dengan ayahnya. Akan tetapi kesopanan melarangnya, karena sungguh tidak patut kalau dia ikut ayahnya mengunjungi Tiauw Ki di rumah penginapan. Terpaksa dia menanti di rumah dengan hati berdebar dan dia merasa kecewa tidak melihat Kim Lian, karena kalau ada suci-nya itu tentu ada kawannya bercakap-cakap untuk menekan berdebarnya hatinya.

Dengan langkah lebar Kiang Liat menuju ke rumah penginapan Liok-nam yang berada di ujung kota sebelah barat. Semalam suntuk Kiang Liat tak bisa tidur nyenyak. Dengkurnya itu bukan tanda bahwa tidurnya enak, bahkan sebaliknya.

Dengkurnya bukan dengkur sewajarnya dan dulu ketika baru-baru ia kehilangan isterinya lalu pergi merantau mencari Im Giok yang diculik orang, setiap malam dia mendengkur seperti itu. Boleh dibilang bahwa dengkur itu adalah tanda bahwa penyakitnya yang lama kambuh pula.

Ia seperti orang mabuk dan sinar matanya juga sudah berbeda dengan biasanya. Hal ini adalah karena ia merasa kecewa dan bingung sekali menghadapi persoalan puterinya, soal perjodohan yang sama sekali tidak mencocoki hatinya.

“Dia harus kuusir jauh-jauh, kuancam agar jangan berani menemui anakku lagi!” Pikiran inilah yang semalaman tadi memenuhi otaknya dan kini Kiang Liat berjalan cepat tanpa menghiraukan orang-orang yang sudah kenal dengannya dan yang memberi salam di sepanjang jalan.

Sesudah tiba di penginapan Liok-nam, Kiang Liat disambut oleh seorang pelayan. Kiang Liat sudah terlalu terkenal maka sekali pandang saja pelayan itu mengenalnya. Dengan sangat ramah tamah dan penuh hormat, pelayan itu menyambut dan menjura,

“Selamat pagi, Kiang-taihiap. Sepagi ini Taihiap sudah datang mengunjungi penginapan kami, sungguh sebuah penghormatan besar sekali. Apakah yang bisa kami lakukan untuk Taihiap?”

“Apakah di sini ada seorang tamu bernama Gan Tiauw Ki?”

Pelayan itu mengerutkan kening, menempelkan telunjuk pada ujung hidungnya bagaikan orang yang sedang mengumpulkan ingatan. Kemudian dia menurunkan telunjuknya dan tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang tidak rata, kuning-kuning kehitaman.

“Ah, ada... ada... Taihiap. Tentu yang kau maksudkan Gan-siucai yang muda dan tampan wajahnya.”

“Ya, lekas kau panggil dia keluar menemuiku.”

“Baik, silakan Taihiap menanti di ruangan tamu,” kata pelayan itu sambil mempersilakan pendekar itu duduk di ruangan depan.

Kiang Liat mengambil tempat duduk karena ia merasa kedua kakinya gemetar dan dada kirinya sakit menghadapi ketegangan ini. Macam apakah pemuda sastrawan yang telah memikat hati puterinya?

Sementara itu, pelayan mengetuk pintu kamar Tiauw Ki. Begitu pintu itu dibuka, pelayan itu cepat memberi hormat dan berkata dengan muka menjilat,

“Ah Gan-kongcu mengapa tidak sejak dulu memberi tahu bahwa Kongcu adalah sahabat baik atau sanak dari Kiang-taihiap? Kalau kami tahu tentulah kami akan memberi kamar yang lebih baik. Harap Kongcu maafkan apa bila selama ini kami melakukan kesalahan atau berlaku kurang hormat karena sungguh mati kami tidak mengira bahwa Kongcu adalah kerabat Kiang-taihiap.”

“Eh, Lopek. Apakah sepagi ini kau mengetuk pintu kamarku hanya untuk menyatakan hal ini saja?” Tiauw Ki berkata agak kurang senang karena dari kata-katanya saja pelayan ini telah jelas menunjukkan bahwa dia bukan orang yang berwatak baik, melainkan seorang penjilat yang menjemukan.

“Mana hamba berani begitu kurang ajar memanggil Kongcu apa bila tidak ada peristiwa amat penting?” Pelayan itu tertawa dan kulit-kulit di pinggir kedua matanya ikut tertawa. “Kongcu didatangi oleh seorang tamu agung.”

“Siapa dia?” Tiauw Ki bertanya penuh gairah. Memang sudah lama dia mengharapkan kedatangan pelayan dari Im Giok yang membawa berita bahwa ayah gadis itu sudah pulang.

“Masa Kongcu tidak dapat menduga siapa?” tanya pelayan itu dengan sikap mengajak berkelakar untuk menyenangkan hati tamunya.

“Dari keluarga Kiang?” tanya Tiauw Ki tak sabar lagi.

Pelayan itu tertawa sambil mengeluarkan jempolnya. “Kongcu menebak jitu, benar-benar cerdas sekali!”

“Suruh dia lekas ke sini!” seru Tiauw Ki.

Pelayan itu melenggong. “Suruh ke sini? Dia...”

Mendengar suara dan melihat sikap pelayan ini, Tiauw Ki terkejut dan cepat bertanya, “Bukankah dia itu seorang pelayan dari rumah keluarga Kiang?”

“Ahh, bukan... bukan...! Dia adalah Kiang-taihiap sendiri, yang minta agar Kongcu keluar. Dia menanti di ruangan tamu di depan!”

Kalau ada petir menyambarnya, belum tentu Tiauw Ki akan sekaget itu. Kiang Liat ayah Im Giok sendiri datang mengunjunginya? Benar-benar ia hampir tak dapat mempercayai kata-kata pelayan ini.

“Harap Kongcu cepat menyambutnya, aku takut kalau-kalau Kiang-taihiap marah padaku apa bila Kongcu terlambat,” kata pelayan itu yang cepat pergi lagi ke depan.

Tiauw Ki yang ditinggal sendiri merasa tubuhnya panas dingin. Sudah semenjak tadi dia bangun, akan tetapi belum sempat bertukar pakaian karena memang tidak mempunyai maksud pergi ke mana-mana. Untuk menghadap ayah kekasihnya dalam pakaian kumal seperti itu, ia merasa malu.

Karena itu dia cepat-cepat berganti pakaian yang paling baru dan menyisir rambutnya. Kemudian tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Hatinya berdebar saat ia melihat seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi tegap dan berwajah kereng duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu.

Ia cepat-cepat maju menjura dengan amat hormat dan berkata,

“Mohon dimaafkan sebanyak-banyaknya sebab boanpwe telah membuat Taihiap menanti sampai lama.”

Kiang Liat perlahan-lahan berdiri dan dia memandang dengan mata terbelalak dan kening berkerut. Mulutnya pun terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan menggosok gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya sendiri.

Akan tetapi sesudah dia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah. Tak salah lagi, pemuda sastrawan yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi hormat kepadanya, bukan lain adalah Cia Sun! Cia Sun sastrawan yang dulu mempermainkan isterinya dan yang sudah dibunuhnya! Baik wajah mau pun bentuk badan dan gerak-geriknya pemuda sastrawan di hadapannya sekarang ini tidak ada bedanya dengan mendiang Cia Sun.

“Kau... Cia Sun...” tanpa terasa lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya berdebar dan jantungnya terasa sakit.

Tiauw Ki memandang heran. “Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki...”

“Jadi kau yang diantar oleh anakku Im Giok ke Tiang-hai?”

“Betul, Taihiap.”

“Dan kau... kau yang hendak meminang anakku sebagai calon jodohmu...?” Suara Kiang Liat setengah berbisik, sementara itu sepasang matanya memandang dengan cara yang menakutkan sekali.

Tiauw Ki memandang dengan hati berdebar gelisah. Kemudian dia mampu menetapkan hatinya dan berkata dengan suara tegas,

“Apa bila Taihiap tidak menolak, memang boanpwe hendak mohon persetujuan Taihiap untuk meminang tangan Adik Kiang Im Giok...”

“Kau...?! Kau Cia Sun jahanam keparat sekarang telah menjelma pula di dunia ini untuk mengganggu kepadaku? Kau masih belum puas dengan kematian isteriku dan hancurnya hidupku? Kau bahkan masih hendak merusak hidup anakku?” Sambil berkata demikian Kiang Liat berjalan maju, perlahan-lahan menghampiri Tiauw Ki, sikapnya mengancam dan amat menyeramkan.

Tiauw Ki melangkah mundur, “Kiang-taihiap, apa artinya ucapanmu itu? Boanpwe adalah Gan Tiauw Ki dan boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun...”

“Jahanam! Biar pun kau memakai nama siapa pun juga, aku selamanya akan mengenal macam mukamu. Kau boleh pianhoa (berganti muka) seribu kali, namun aku Kiang Liat akan tetap mengenalmu dan membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk maju, kedua tangannya bergerak cepat bertubi-tubi memukul dada dan kepala Tiauw Ki.

Kasihan sekali nasib pemuda ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah. Seorang jagoan sekali pun belum tentu akan mampu menghindarkan diri dari serangan Kiang Liat itu, apa lagi seorang pemuda lemah seperti Tiauw Ki.

Dia tak berdaya sama sekali. Sekali terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya dapat mengeluarkan keluhan lemah, lalu tubuhnya terlempar ke belakang dan menumbuk dinding kemudian roboh tak berkutik lagi. Nyawanya sudah melayang berbareng dengan keluhannya tadi!

“Ha-ha-ha, anjing Cia Sun! Anjing macam kau ini hendak melamar puteriku? Ha-ha-ha!” Sambil tertawa-tawa lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan pulang.

Para pelayan menjadi kaget dan gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja ruangan tamu itu sudah dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan yang rebah tak bernyawa di atas lantai.

Di antara para penonton ini terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi jalan ketika melihat bahwa gadis ini bukan lain adalah Giok Gan Niocu Song Kim Lian.

Kim Lian hanya memandang sebentar dan mukanya berubah. Kemudian dia cepat-cepat berlari pulang, napasnya terengah-engah. Langsung dia berlari memasuki kamar Im Giok di mana gadis itu tengah bersisir menghadapi cermin.

“Sumoi, celaka besar...!” Kim Lian segera memeluk adik seperguruannya dan menangis terisak-isak.

Im Giok biasanya memiliki watak yang tenang dan tabah, namun akhir-akhir ini sesudah bertengkar dengan ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang gugup. Mukanya berubah pucat melihat keadaan suci-nya itu, maka tanyanya tak sabar lagi,

“Suci, apakah yang terjadi?”

Akan tetapi Kim Lian hanya menangis terisak-isak sehingga hilang kesabaran Im Giok. Digoyang-goyangnya dua pundak Kim Lian.

“Apa yang terjadi?”

“Celaka... Sumoi... Gan-siucai... oleh Suhu...”

“Apa? Gan-siucai mengapa? Bagaimana Ayah...?” Im Giok mendesak, wajahnya pucat, jantungnya berdebar keras.

“Suhu telah membunuh Gan-siucai di rumah penginapan...”

Im Giok mengeluarkan suara menjerit, akan tetapi cepat dia mendekap mulutnya sendiri. Kemudian, bagaikan kilat dia melompat keluar dan berlari seperti gila menuju ke rumah penginapan Liok-nam. Ruang depan atau ruangan tamu dari rumah penginapan itu masih dikerumuni orang ketika Im Giok tiba di situ.

“Minggir...!” serunya dan kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang laki-laki terpelanting ke kanan kiri.

Im Giok terus menerjang masuk dan ia berdiri terpaku di atas lantai pada saat ia melihat tubuh kekasihnya menggeletak miring di dekat dinding ruangan itu. Dengan isak tertahan ia menghampiri, berlutut dan sekali raba saja tahulah ia bahwa kekasihnya sudah tewas, kepalanya retak dan tulang dadanya patah-patah.

“Gan-ko...,” bisiknya.

Dipejamkannya kedua matanya dan ditahannya napasnya karena pukulan hebat sekali mengguncangkan jantungnya. Apa bila tidak kuat-kuat dia menahan tentu Im Giok sudah roboh pingsan!

Sampai lama dia berlutut sambil memejamkan mata, kemudian sesudah kepalanya yang pening menjadi sembuh kembali, ia baru membuka matanya. Bagaikan hujan gerimis, air matanya bertitik turun, menetes melalui pipi dan dagu dan ada yang jatuh bertitik di atas muka Tiauw Ki. Dilihat sekelebatan, dengan air mata di atas pipi, mayat pemuda itu bagai ikut menangis.

“Koko...,” kembali Im Giok berbisik.

Air matanya turun semakin deras ketika dia teringat betapa besar cinta kasih pemuda ini kepadanya. Dan kini, dalam menghadapi keputusan perjodohan mereka, pemuda ini telah terbunuh oleh ayahnya.

“Ayah...!” Im Giok menahan isaknya ketika ia teringat kepada ayahnya.

Tubuhnya berkelebat dan kembali tiga orang pemuda terguling roboh pada waktu gadis itu mendesak keluar dengan cepat lalu berlari-lari menuju ke rumah gedungnya. Tanpa mempedulikan kepada Kim Lian dan para pelayan yang memandangnya dengan mata terbelalak, Im Giok berlari terus menuju kamar ayahnya.

Pintu kamar ayahnya terpentang lebar-lebar dan Im Giok melompat ke ambang pintu, berdiri di sana dengan kedua kaki terpentang lebar dan mata berapi-api memandang ke dalam. Dia melihat ayahnya sedang duduk di atas kursinya sambil memegang pedang terhunus yang dipukul-pukulkan ke atas meja!

“Ayah...!” Suara Im Giok terdengar nyaring, penuh sesal dan nafsu amarah.

Ayahnya memandang. Dua pasang mata berpandangan, dua pasang mata yang sama tajam, sama berapi-api pandangannya.

Sunyi di situ. Hanya terdengar ketukan-ketukan pedang pada meja, makin lama makin melambat.

“Kau mau apa?” akhirnya terdengar juga suara Kiang Liat, lambat-lambat dan setengah digumam, seakan-akan lidah dan bibirnya sukar digerakkan.

“Ayah, mengapa kau membunuh Gan-siucai?” Suara Im Giok nyaring tinggi dan tergetar.

Kiang Liat diam saja untuk beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba dia bangkit berdiri, membacokkan pedangnya ke arah meja yang menjadi terbelah dengan mudah dan roboh menimbulkan suara berisik.

“Ha-ha-ha, memang kubunuh mampus anjing itu! Ha-ha-ha, alangkah mudahnya, dengan hanya sekali pukul saja jahanam keparat pemakan tinta itu mampus!”

“Ayaahhh...!”

Im Giok tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Tangan kanannya digerakkan dan tahu-tahu pedangnya telah dia cabut. Tangan yang memegang pedang itu menggigil.

“Kau... kau pengecut besar! Kau... kau membunuh dia yang tidak berdosa. Kau manusia tidak tahu malu, membunuh orang yang kau tahu tak dapat melawan, seorang yang tidak mempunyai kepandaian ilmu silat. Kau pengecut!” Bagaikan gila Im Giok memaki-maki ayahnya sendiri.

Untuk sejenak ayahnya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian mulut pendekar itu meringis, seakan-akan ia merasa sakit yang hebat sekali. Mukanya menjadi pucat sekali. Kemudian ia membuka matanya dan mata itu sekarang berputaran sangat mengerikan. Dari bibirnya keluar busa dan ia tertawa kembali terbahak-bahak.

“Ha-ha-ha, cacing buku yang busuk itu hendak menikah dengan puteriku? Ha-ha-ha-ha, menjadi tukang membersihkan lantai kamarnya saja masih terlalu rendah. Hah! Memang dia patut mampus, anjing Cia Sun itu harus mampus meski pun beberapa ratus kali dia menjelma. Puteriku harus menjadi isteri Liem Sun Hauw pemuda gagah perkasa...”

“Tidak sudi! Kau manusia keji, kau dan Liem Sun Hauw itu harus masuk neraka!”

Mendengar makian ini, Kiang Liat menjadi marah sekali. Di dalam pandangan matanya, yang berdiri di hadapannya itu sudah bukan anaknya lagi, melainkan seorang yang berani menentangnya.

“Kau hendak membunuh aku dan Sun Hauw? Ha-ha-ha-ha, bocah lancang, kaulah yang akan mampus terlebih dahulu!” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menyerang puterinya sendiri.

Pada saat itu Im Giok juga sudah seperti orang kemasukan iblis dan sudah tidak ingat apa-apa lagi. Dia tahunya hanya marah dan duka, teraduk menjadi satu di dalam hatinya. Melihat ayahnya menyerangnya, dia pun segera menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Maka terjadilah pertempuran yang amat hebat di dalam kamar itu antara ayah dan anak gadisnya sendiri! Kepandaian mereka berimbang, bahkan Im Giok kini telah memperoleh kemajuan pesat sehingga dia bahkan telah melampaui ayahnya.

Hal ini adalah karena ilmu-ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su kepada Im Giok melalui Kiang Liat, oleh Kiang Liat hanya dipelajari teorinya saja, akan tetapi tidak berani dia melatih diri dengan ilmu itu. Karena itu tentu saja Im Giok yang dapat memetik sari pelajaran ilmu silat tinggi dari Bu Pun Su itu, sedangkan Kiang Liat hanya tahu ‘kulitnya’ belaka. Maka makin lama pedang Im Giok mendesak semakin hebat, dan gulungan sinar pedangnya makin menekan gulungan sinar pedang ayahnya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar pekik, “Im Giok!”

Akan tetapi dua orang yang sedang bertempur ini seakan-akan tidak mendengar pekik ini dan melanjutkan pertempuran mereka dengan hebat dan mati-matian.

“Im Giok...!”

Orang itu yang bukan lain Kim Lian adanya, mengeluarkan suara jeritan lagi, dan kali ini ia malah menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan nekat. Pedangnya menangkis gulungan pedang Im Giok dan terkejutlah ia karena ia terpental ke belakang.

“Im Giok... Sumoi... apakah kau sudah gila hendak melawan ayahmu sendiri...?” Kim Lian menegur dengan suara nyaring.

Tangkisan dan jeritan ini membuyarkan permainan pedang Im Giok dan ayahnya yang tadinya sudah saling menempel. Apa lagi seruan ini membuat Im Giok segera sadar dari keadaannya yang bagaikan kemasukan iblis tadi, akan tetapi masih belum melenyapkan kemarahan dan nafsu membunuhnya.

Ia melompat mundur dan masih memasang kuda-kuda dengan jari-jari tangan kiri terbuka menengadah ke atas dan tangan kanan memegang pedang di depan dada, dalam sikap hendak menusuk.

Ada pun Kiang Liat juga berdiri sambil memasang kuda-kuda laksana patung, tangan kiri menempel pada dada kiri dan tangan kanannya memegang pedang melintang di dada. Wajahnya meringis seperti orang kesakitan dan hidungnya kembang kempis.

“Sumoi, kau gila! Bagaimana engkau menyerang ayahmu sendiri? Lepaskan pedangmu!” teriak Kim Lian.

Akan tetapi Im Giok bagaikan sedang di alam mimpi, tidak mau melepaskan pedang dan tetap memandang ke depan dengan mata terbelalak marah.

“Sumoi, lekas lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa aku akan menyerangmu, aku harus membantu Suhu!” teriak pula Kim Lian dengan suara keras.

Kim Lian melangkah maju dengan pedang di tangan. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah apa bila dibandingkan dengan sumoi-nya, akan tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus berani membantu suhu-nya.

Ketika Im Giok tetap tidak bergerak, Kim Lian bergerak menyerang sambil berkata, “Kau membandel? Baik, lihat serangan pedangku!”

“Traangg...!”

Pedang di tangan Kim Lian terlepas dari pegangan dan gadis itu berseru kaget.

“Kim Lian, pergi kau! Jangan ikut-ikut!” Kiang Liat membentak setelah menangkis pedang muridnya sehingga terlepas.

Dengan wajah kecewa dan juga gelisah Kim Lian terpaksa mengundurkan diri keluar dari kamar itu.

Sementara, tadi ketika menangkis pedang muridnya, Kiang Liat sudah sadar kembali dari keadaan gilanya sehingga mukanya menjadi biasa kembali, bahkan dia nampak berduka bukan main. Sepasang matanya memandang sayu dan mulai membasah akibat air mata, bibirnya bergerak gemetar seperti menahan isak tangis.

Melihat ini, Im Giok tiba-tiba sadar dan teringat betapa kurang ajarnya kelakuan melawan ayahnya ini. Ia bahkan terkejut sekali kenapa ia sampai bisa menyerang ayahnya seperti itu. Melihat ayahnya seperti orang hendak menangis, runtuhlah hatinya dan ia tak berani memandang lebih lama lagi. Ia berdiri seperti patung dan memejamkan matanya, lalu air matanya bercucuran bagaikan hujan.

“Ayah... aku telah berdosa... kau bunuhlah aku... Ayah, jangan kepalang tanggung, tusuk dadaku... biar aku ikut kekasihku.”

Im Giok melepaskan pedangnya yang jatuh berkerontangan di atas lantai, kemudian dia melangkah maju sambil meramkan mata, memasang dada untuk ditusuk pedang.

“Gan-koko... kau tunggulah aku...,” bisiknya sayu.

Akan tetapi tusukan yang dinanti-nantinya tidak kunjung tiba. Bahkan terdengar keluhan panjang, disusul oleh suara muntah-muntah dan robohnya tubuh yang berat di atas lantai. Im Giok segera membuka matanya dan… ayahnya telah menggeletak, dan dari mulutnya mengalir darah yang dimuntahkannya tadi.

“Ayaaaahhh...!” jerit Im Giok menubruk dan memeluk tubuh ayahnya.

Diangkatnya kepala ayahnya yang sudah lemas itu dan dipangkunya, tidak peduli betapa darah yang dimuntahkan oleh ayahnya tadi menodai sekujur pakaiannya. Diraba-rabanya jidat ayahnya kemudian dadanya.

“Ayaaaahhh…!”

Dunia serasa gelap, kamar itu seperti terputar-putar dan Im Giok roboh pingsan di dekat ayahnya yang kiranya telah putus nyawanya. Akibat tekanan batin yang luar biasa, Kiang Liat yang semenjak ditinggal mati isterinya sudah menderita sakit jantung, tidak kuat lagi menahan, jantungnya pecah dan ia meninggal dunia pada saat itu juga.

Kim Lian cepat datang berlari-lari dan menubruk Im Giok sambil menangis. Diperiksanya keadaan Kiang Liat dan ia pun memanggil-manggil dengan suara mengharukan.

“Suhuuu...!”

Kali ini Kim Lian benar-benar berduka. Di dalam hatinya dia memang memuja suhu-nya dan menganggap suhu-nya sebagai pengganti orang tuanya. Bahkan lebih dari itu, dulu pernah dia mengagumi suhu-nya dan ‘ada hati’ terhadapnya. Sekarang melihat keadaan suhu-nya yang meninggal dunia secara demikian menyedihkan, bagaimana hatinya tidak merasa hancur?

Setelah puas menangisi Kiang Liat dan semua pelayan sudah datang bertangisan pula, Kim Lian lalu menubruk dan memeluki sumoi-nya. Dia amat sayang kepada Im Giok yang sejak kecil menjadi saudara seperguruannya, kawan bermain-main dan dianggap sebagai adik kandungnya sendiri. Kini dia hanya hidup berdua dengan Im Giok, tak berayah tak beribu, tidak berhandai taulan pula. Dengan hati hancur Kim Lian memondong tubuh adik seperguruannya, dibawa ke kamarnya dengan langkah sempoyongan.

Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di dalam pelukan Kim Lian di atas pembaringan, Im Giok teringat akan semua yang terjadi dan cepat ia bangkit duduk dan bertanya,

“Ayah…? Bagaimana…?”

Kim lian tidak dapat menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi sambil memeluk pundak Im Giok. Im Giok seketika menjadi ingat akan semuanya dan ia melompat turun dari atas pembaringan.

“Ayaaaahhh…!”

Akan tetapi Kim Lian cepat memeluk Im Giok dan sambil menciumnya berkata, “Adikku… adikku sayang… tenangkanlah hatimu, ayahmu sudah… meninggalkan kita dan sekarang sedang dirawat. Tenanglah Sumoi, tenanglah, pergunakan kekuatan batinmu…”

Im Giok memejamkan matanya. Ia teringat bahwa bukan laku seorang gagah untuk kalap terhadap desakan hati, maka dia lalu mengatur napasnya dan kedua orang gadis dengan berdiri saling berpelukan untuk beberapa lamanya diam tak bergerak. Akhirnya Im Giok berkata lemah,

“Suci, aku harus dekat dengan jenazahnya…”

Kim Lian mengangguk dan dengan masih saling peluk dua orang gadis ini lalu berjalan ke ruangan tengah di mana jenazah Kiang Liat sedang dirawat. Mereka duduk berlutut dan memandang dengan wajah pucat, mata sayu dan kadang-kadang air mata menggelinding keluar.

Sampai jenazah dimasukkan peti mati, Im Giok dan Kim Lian tidak meninggalkan tempat itu, bahkan malamnya mereka tidak mau pergi dari situ, biar pun dibujuk-bujuk oleh para pelayan dan tetangga yang datang melayat. Lewat tengah malam, setelah para penjaga mengundurkan diri dan sebagian yang bertugas menjaga duduk di ruangan luar, di dalam ruangan jenazah itu hanya tinggal Im Giok dan Kim Lian berdua!

Mereka duduk di dekat peti mati, menjaga agar hio tidak padam, demikian pun api lilin. Kemudian terdengar mereka berbisik-bisik,

“Suci, sekarang aku tahu...”

Kim Lian memandang kepadanya, matanya bertanya-tanya.

”Aku tahu mengapa Ayah membunuhnya.” Air matanya mengucur deras dan cepat-cepat ia mempergunakan sapu tangan untuk menyusut air matanya.

“Mengapa, Sumoi?”

“Aku ingat akan riwayat ibuku dahulu. Kematian Ibu yang membuat Ayah seperti menjadi gila itu adalah karena perbuatan seorang siucai bernama Cia Sun. Oleh karena itu Ayah membenci para siucai dan kiranya... kiranya wajah Gan-siucai itu hampir serupa dengan wajah Cia Sun.” Im Giok menutupi mukanya dengan kedua tangannya.

Kim Lian tidak berkata apa-apa, karena dia tidak tahu bagaimana harus menghibur adik seperguruannya. Dia tahu betapa hebat derita batin yang menimpa perasaan sumoi-nya.

“Aku berdosa besar terhadap Ayah... dahulu sering kali Ayah batuk-batuk dan sering kali dadanya terasa sakit... tentu Ayah telah menderita penyakit jantung semenjak kehilangan ibu. Dan tadi... ahhh...” Im Giok kembali menutupi mukanya seperti orang merasa ngeri membayangkan kejadian tadi pagi, “walau pun ayah meninggal karena penyakit itu, akan tetapi sesungguhnya aku yang membunuhnya... Ayah, ampunkan anakmu yang berdosa, Ayah...” Im Giok lalu berlutut dan memeluk peti mati ayahnya, menangis tersedu-sedu.

Kim Lian memeluknya dan menariknya. “Sudahlah, Sumoi, segala kejadian di dunia telah ditentukan oleh Thian.”

Im Giok mengangguk-angguk dan mengerahkan tenaga batinnya untuk menenteramkan hatinya yang berguncang keras.

“Aku berdosa kepada Ayah... akan tetapi Ayah... Ayah juga berdosa terhadap Gan-koko... kasihan sekali Gan-koko yang tidak punya kesalahan apa-apa. Dibunuh dalam keadaan penasaran. Ahh, Suci, tolong kau menyuruh seorang pelayan untuk mengirim hio dan lilin secukupnya, kirimkan ke rumah penginapan Liok-nam. Biar arwah Gan-ko tahu betapa aku menderita karena kematiannya...”

Kim Lian mengangguk dan perlahan meninggalkan sumoi-nya untuk segera melakukan permintaan sumoi-nya itu. Ada pun Im Giok, sepeninggal Kim Lian lalu berlutut di depan peti mati ayahnya dan diam tak bergerak seperti patung. Hanya bayangannya saja yang bergerak-gerak akibat api lilin pun bergerak perlahan tertiup angin yang dapat menerobos masuk ke dalam ruangan itu…..

********************

Enam bulan sudah berlalu semenjak peristiwa itu terjadi. Akan tetapi hingga kini Im Giok masih saja berkabung. Dia berpakaian serba putih sederhana sekali dan setiap hari orang tentu mendapatkannya di tanah pekuburan, di mana ia bersembahyang di depan kuburan ayahnya atau di depan kuburan Gan Tiauw Ki secara bergiliran.

Kadang-kadang nampak dia menangis tersedu-sedu di depan dua kuburan itu atau hanya duduk bengong seperti orang kehilangan semangat. Hiburan-hiburan yang diberikan oleh Kim Lian sama sekali tak ada artinya karena tidak pernah diacuhkan. Selama enam bulan ini Im Giok tidak mempedulikan pula makan dan tidur sehingga hidupnya tidak teratur, mukanya kurus pucat dan rambutnya awut-awutan.

Sebaliknya, Kim Lian dengan cepat dapat melupakan kesedihannya. Sesudah lewat tiga bulan, dia sudah melepaskan pakaian berkabung dan kembali memakai pakaiannya yang indah-indah. Bahkan kini ia kembali menjadi binal karena tidak ada yang mengawasinya. Suhu-nya sudah meninggal dan Im Giok, orang satu-satunya yang disegani, keadaannya seperti gila dan tidak peduli. Maka kembali Kim Lian menyeleweng dan melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang gadis baik-baik.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Im Giok sudah kelihatan duduk di atas batu di hadapan bong-pai (batu nisan) kuburan ayahnya, duduk bengong sama sekali tak pernah bergerak sehingga dari jauh kelihatan seperti sebuah arca penghias bong-pai. Ia tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai-sampai tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya.

Gadis ini tak dapat melupakan wajah kekasihnya mau pun wajah ayahnya. Dua orang ini adalah orang-orang yang dicintanya, dan sekarang keduanya telah meninggalkan dirinya, dan keduanya tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan.

Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya, “Im Giok, kau masih hidup, tapi mengapa semangatmu berkeliaran di alam baka? Kembalilah ke dunia!”

Kalimat terakhir ini diucapkan sebagai perintah dan suaranya mengandung tenaga serta pengaruh yang luar biasa sekali sehingga Im Giok bagaikan disambar petir dan seketika itu juga lantas tersadar. Gadis ini terkejut dan menengok.

“Susiok-couw...!” Im Giok menjatuhkan diri berlutut di depan seorang kakek yang ternyata bukan lain adalah Bu Pun Su.

Kakek ini mengelus-elus jenggotnya sambil menundukkan muka memandang pada gadis yang bercucuran air mata di depannya itu. Terdengar helaan napasnya sampai tiga kali.

“Hemmm, memang banyak hal-hal yang aneh di dunia ini, keanehan yang merupakan kekuasaan indah dari kekuasaan Thian! Manusia boleh berdaya upaya sekuat tenaga, akan tetapi tak dapat keluar dari ikatan karena yang menimbulkan nasib tersendiri.”

Im Giok masih menangis terisak-isak dan Bu Pun Su tidak mengganggunya karena kakek sakti ini maklum bahwa obat yang paling baik di saat itu bagi Im Giok adalah menangis sepuasnya, tangis yang sungguh-sungguh sebagai peluapan perasaan yang mendesak memenuhi dada, sebagai pelepas hawa berbahaya yang mengancam isi dada.

Bu Pun Su sendiri mengenang segala peristiwa yang dia hadapi selama enam bulan ini dan berkali-kali dia menghela napas. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah belahan antara orang-orang gagah supaya tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan negara dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat pergi ke Go-bi-pai untuk menemui Twi Mo Siansu.

Ia sendiri lalu pergi ke Pulau Pek-le-to untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh pergi ke Thian-san dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun hendak pergi menuju Kun-lun-pai. Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, dia menemui kekecewaan luar biasa di Pulau Pek-le-to, di mana ia mendapatkan Han Le berada di bawah pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan dengan bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah berhasil membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-to!

Kemudian, dalam marahnya Bu Pun Su menghajar Han Le dan akhirnya mengusir Pek Hoa Pouwsat, kemudian menghukum Han Le tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya. Setelah ini dengan hati sangat mengkal Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san. Akan tetapi, baru saja dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san, dia bertemu dengan serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia segera saja mengepung dan menyerangnya!

Tosu-tosu Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian lihai, jumlah mereka ada tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali.

“Tahan...! Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?” serunya.

Akan tetapi dia harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.

Para tosu Kun-lun-pai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tak mau memberi hati, tak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan serentak. Akan tetapi mereka kecele jika mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu saja.

Melihat betapa para tosu itu tidak ada yang mau menjawabnya dan bahkan melanjutkan serangan-serangan mereka yang dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu silatnya yang aneh dan luar biasa.

Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung, yang aneh sekali gerakannya dan setiap kali menyambar dan menyambut pedang atau golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram sampai patah-patah! Ada pun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan lagi, lambat-lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari tangan ini keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh hawa pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan lalu melompat mundur!

Inilah dua macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia persilatan waktu itu. Tangan kanan Bu Pun Su telah bergerak dan mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Dua tangan dapat sekaligus memainkan dua macam ilmu silat yang amat berlainan sifat dan gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya dapat melakukannya!

Akan tetapi, sesuai dengan sifatnya, Bu Pun Su sama sekali tidak ingin melukai para pengeroyoknya, kalau pun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak berarti saja. Tetapi tetap saja para pengeroyok menjadi kacau-balau sebab pedang dan golok mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan atau dibikin terpental entah ke mana.

Sedangnya ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit berlari seorang kakek tua. Kakek ini adalah seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan terlihat seperti seorang tua renta yang sangat lemah.

Akan tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu, orang akan terheran-heran karena biar pun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap tidak akan mungkin dapat melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu berlari cepat, seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi dan jubahnya berkibar-kibar di belakangnya saking cepatnya ia lari.

“Bu Pun Su, apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?” Kakek itu menegur setelah tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-cepat berdiri di pinggiran sambil memberi hormat.

Bu Pun Su tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah mengenalku, benar-benar lihai sekali matamu.”

“Kau pun datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su. Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang-datang hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?”

“Ha-ha-ha-ha, Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang Seng Thian Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam bebas itu. Agaknya kau harus banyak belajar dari mendiang suheng-mu Seng Thian Siansu itu, meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain.”

“Apa maksudmu?”

“Sudah puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang. Ehhh, tidak tahunya kau sudah menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, bahkan masing-masing menghadiahi sebatang golok atau pedang! Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan sekali?”

Ucapan Bu Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga, tiada hujan tiada angin tahu-tahu ia telah diserang begitu hebat oleh begini banyak tosu Kun-lun-pai, tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri. Kalau saja dia tidak pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya sudah hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya?

Keng Thian Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkat di depan kakinya. Para tosu yang lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di pandangan mata mereka. Melihat ini, diam-diam Bu Pun Su terkejut dan tidak mau main-main lagi, akan tetapi mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan diucapkan oleh Ketua Kun-lun-pai.

“Bu Pun Su, sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang bijaksana dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto merasa kecewa. Tadi kau menyatakan bahwa orang harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain, bukankan begitu?”

“Benar, Kheng Thian Siansu.”

“Kalau begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-lekas mengakui dosa-dosamu?”

Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum ramah.

“Ehh, ehhh, jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup siapakah yang tidak menumpuk dosa? Akan tetapi kalau dosa-dosaku tidak ada sangkut pautnya dengan kau, apakah aku harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku yang dulu-dulu dihadapanmu? Memangnya siapakah kau ini? Wakil dari Giam-lo-ong?”

“Bu Pun Su, tidak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau sudah membunuh murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih berani bilang tidak mempunyai dosa terhadap Kun-lun-pai?”

Bu Pun Su memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat tangkas dan cepat, maka seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan kematian Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-le-to! Akan tetapi bagaimanakah Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh dia? Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dibantu oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapa pun juga, Han Le ikut bersalah dalam hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia mengalah dan berlaku sabar.

“Keng Thian Siansu, nanti dulu. Aku bisa memberi penjelasan tentang kematian Cin Giok Sianjin. Akan tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu begitu cepatnya? Dan mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?”

“Dari mana pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin Giok Sianjin telah tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa.”

Bu Pun Su menarik napas panjang. Dia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa bekerja cepat.

“Hemm, siluman betina itu tentunya baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng Thian Siansu, apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa) itu?” Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti Iblis Betina.

“Apakah ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia berbicara sambil menggoyang-goyangkan tubuh seperti pohon yang-liu tertiup angin musim chun, matanya mengerling-ngerling bagaikan bintang-bintang di langit dan bibirnya tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi percaya penuh?”

Wajah Keng Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biar pun agak berlebih-lebihan semua dugaan Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya yang genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek Hoa Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh Bu Pun Su!

“Bu Pun Su, pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi selain kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi? Dan pula, apa perlunya Pek Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong? Ditambah lagi kedatanganmu di sini, benar-benar semuanya menimbulkan kecurigaan kami. Kalau kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-to. Apakah betul-betul Cin Giok Sianjin terbunuh?”

“Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-to terlambat,” jawab Bu Pun Su. Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.

“Siapa yang membunuhnya?” tanya Keng Thian Siansu.

“Ketika aku mendarat di Pek-le-to, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin beserta dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Dan orang yang saat itu tinggal di Pulau Pek-le-to itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat sendiri!”

Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh.

“Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang macam Pek Hoa Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-pai?”

“Memang ada yang membantu...,” kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan kekecewaan.

“Siapa...?” Keng Thian Siansu mendesak.

Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu.

“Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut aku seperti ini saja? Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat panas ini? Ahh, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan tuan rumah yang tidak manis budi...”

Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata,

“Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan tata susila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-lun-san!”

Bu Pun Su balas menjura. “Terima kasih!”

Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini, semua tosu Kun-lun-pai meleletkan lidah saking kagum menyaksikan ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari cepat yang sedemikian hebatnya.

Keng Thian Siansu berseru, “Kau memang hebat Bu Pun Su.”

Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari pandangan mata para tosu yang saling berpandangan dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)