ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-22


Dia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-to.

“Hemm, kalau begitu sute-mu itu yang menjadi pembunuh!” kata Keng Thian Siansu.

“Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang sudah datang ke sini dan menipu kalian di sini. Bukan aku hendak membela sute-ku yang juga berdosa, tetapi harus diingat bahwa sute-ku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh karena pandainya ia bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa. Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar hebat. Apa bila orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin yang sangat kuat, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat bahwa Han Le sudah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh ketiga orang itu di Pulau Pek-le-to dalam keadaan tidak sadar seperti di bawah pengaruh sihir dari Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum sute-ku melarang dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-to. Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat baginya?”

Kiang Thian Siansu serta anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka terpaksa mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le tak akan dapat melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman ini pada hakekatnya bahkan lebih berat dari pada hukuman mati.

“Bu Pun Su, kami memang telah mendengar penuturanmu dan kami percaya sepenuhnya kepadamu. Akan tetapi masih ada satu hal dan engkaulah satu-satunya orang yang harus membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Apa bila memang betul dia itu yang membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar sudah datang ke sini untuk memburukkan namamu, maka untuk membuktikan kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!”

Bu Pun Su nampak terkejut. “Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan membunuh!”

“Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan dosanya. Kalau kau melakukan itu, barulah selamanya Kun-lun-pai percaya kepadamu, Bu Pun Su.”

Bu Pun Su tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?”

Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata, “Saudara dari Siauw-lim-si berlaku amat sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?”

Tiga orang tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu pun, juga tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan berkelebat sesosok bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu dengan gerakan yang cepat, akan tetapi walau pun kedua kakinya tidak menimbulkan suara apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa lantai tergetar hebat seolah-olah dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya!

Semua orang memandang. Orang yang baru muncul ini adalah seorang hwesio gundul yang badannya tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pula mukanya licin kelimis seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang membuat rupanya menjadi amat buruk adalah telinga kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang murung dan duka. Sebenarnya usianya sudah enam puluh tahun lebih, akan tetapi oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.

Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai, akan tetapi siapakah orang ini? Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini belum pernah mereka kenal.

Kalau yang datang ini adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak mengherankan apa bila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi melihat lweekang serta ginkang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah sekali dilihat bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi sekali, jadi bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.

“Bu Pun Su,” hwesio itu berkata dengan muka yang tidak berubah akan tetapi suaranya menggeledek dan menggetarkan anak telinga. “Biar pun kaum Kun-lun-pai telah berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tak nanti melepaskan kau begitu saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai, kemudian menerima hukuman atas dosa-dosamu!”

Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati Keng Thian Siansu bersama tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap keterlaluan sekali.

Mereka tidak ambil pusing dengan apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun Su, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak tuan rumah, betul-betul telah melanggar peraturan kang-ouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar.

Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu terlebih dulu dan tentu telah menggunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan bisa sampai di ruangan lian-bu-thia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran pertama.

Ke dua, hwesio ini sama sekali tak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurang ajaran yang menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja, bahkan, datang-datang hwesio ini hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tak memandang mata kepada Kun-lun-pai dan merupakan pelanggaran ke tiga.

Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ, menjadi marah dan cepat dia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa banyak peradatan lagi dia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil berkata,

“Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu bahwa Siauw-lim-pai adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit! Akan tetapi kenapa kau ini hwesio yang mengaku dari Siauw-lim-si begini tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?”

Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, dan tak lama kemudian terdengar suaranya yang keras dan parau,

“Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?”

Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek.

“Hwesio, kelirunya dugaanmu ini saja telah membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini siapakah?”

“Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?”

Sesudah berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan terkejutlah Sun Giok Sianjin karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin sakit telinganya sampai hampir tidak tertahankan lagi. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menjaga keselamatan bagian halus di dalam telinganya supaya tidak mengalami kerusakan akibat suara yang mengandung getaran tenaga lweekang ini.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun Su sudah mengerahkan tenaganya sehingga dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara ketawanya.

“Pernah dahulu Suhu-ku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri sebuah kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah tersebut bisa mempelajari isi kitab itu tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selama hidupnya tidak boleh mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam goa di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng begini tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?” tanya Bu Pun Su di akhir penjelasannya.

Juga Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget.

“Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu. Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tidak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi. Hwesio keparat itu ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng bahwa hwesio itu mempunyai sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya hwesio itu dapat dikalahkan oleh Suheng beserta sahabat-sahabatnya, dan biar pun tidak dapat dibinasakan, tetapi hwesio itu sudah diberi peringatan dengan terbabatnya sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!”

Hwesio itu mukanya tidak berubah, akan tetapi sinar matanya makin berapi-api.

Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, “Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah dibuntungi oleh Suhu!”

“Sun Giok Sianjin, awas!” teriak Bu Pun Su.

Tosu ini cepat-cepat melompat ke belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio gundul itu sudah menyerang dengan sebuah pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan luar biasa sekali.

Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin tetapi lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian para murid Keng Thian Siansu. Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main.

Biar pun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lweekang dari Si Gundul ini masih jauh melampaui tingkatnya. Segera tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok pada punggungnya. Sun Giok Sianjin terkenal sangat lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan kirinya.

Memang tosu ini adalah seorang kidal yaitu seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil mempergunakan tangan kiri dari pada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran jika menghadapi seorang yang memainkan senjata dengan tangan kiri.

Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka hwesio telinga buntung ini. Biar pun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tak memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!

“Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu? Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun lagi, barulah menghadapi pinceng!” Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin mendengar ejekan ini.

“Hwesio siluman lihat pedang!”

Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar dengan gerak tipu Hek-in Koan-goat (Awan Hitam Menutup Bulan), yang lalu disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu Sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai).

Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua tangannya dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu, lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.

Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan sesudah semua serangannya dapat dielakkan dan disampok oleh hawa pukulan ahli lweekang I-kin-keng ini, ia kemudian berseru keras dan tiba-tiba dari samping pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh tenaga lweekang sehingga apa bila hwesio itu berani menangkis, sungguh pun tidak dapat dia menangkan tenaga lweekang hwesio itu, akan tetapi kecepatan gerakan dan ketajaman pedangnya paling tidak tentu akan melukai tubuh lawannya!

Akan tetapi hwesio itu benar-benar amat lihai. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi besar itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang telah menyambar lewat, tangan kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong semacam Siok-lui Kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat, akan tetapi bukan digerakkan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang. Benar-benar luar biasa sekali.

Biar pun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapa pun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang itu tidak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lweekang dikerahkan dan…

“Krakk!” pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai!

Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih!

Kong Mo Taisu tertawa bergelak, sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia telah dikalahkan oleh hwesio itu. Ini adalah hal yang benar-benar sangat mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar biasa lihainya.

Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biar pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada murid keponakannya itu, namun apa bila disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat berat.

Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin dia harus menjaga nama dan kehormatan partai Kun-lun-pai. Apa lagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-pai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit dia bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.

“Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?”

Kong Mo Taisu memandang tajam. “Engkau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?”

“Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu? Pinto tidak bisa turun tangan tanpa dasar yang kuat dan alasan yang tepat,” Keng Thian Siansu menyeringai.

“Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi? Kau tak tahu malu, yang sudah kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu Pun Su datang, karena takut padanya kau bahkan bersobat dengan dia, kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng? Pertama-tama memang pinceng hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar memuaskan hatiku menebus hinaan pada waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!”

Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai itu, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini hwesio ini berkata benar.

Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya dari pada Hok Bin Taisu sendiri. Kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih menyebut susiok kepadanya.

Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang telah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucu-cucu muridnya.

Keng Thian Siansu menjadi mendongkol sekali mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan ingin mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san. Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak bukitnya, akan tetapi puncak kepandaiannya, yaitu tentu saja kepandaian Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu. Kata-kata ini sama halnya dengan menantangnya.

Apa lagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan adalah hinaan potong telinga yang sudah dilakukan oleh mendiang suheng-nya, Seng Thian Siansu.

“Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suheng-ku membuntungi telinga kirimu. Kini kau mau membalas dendam masa lalu? Baiklah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya dulu yang belum sempurna, yaitu membuntungi telinga keledaimu yang sebelah lagi!”

Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk bersombong dan menghina orang. Tapi kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga sengaja ingin memanaskan hati dan membuat hwesio itu menjadi marah, karena hanya bila hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan menang.

Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat pada tenaga lweekang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah, sulit sekali untuk menghimpun hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sinkang di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang.

Ejekan tentang telinga itu kiranya betul-betul tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil berseru keras dia mencabut senjatanya yang tadinya tidak kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dijadikan ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan warnanya hitam.

“Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suheng-mu!” Hwesio itu membentak sambil dia mengirim serangan.

Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke belakang, ujung rantai menghantam lantai hingga debu berhamburan ke atas karena lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.

“Traangg...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat pada tangan Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.

Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw mampu menyamai kepandaiannya, baik dalam hal ilmu silat, tenaga lweekang, mau pun ginkang yang semua sudah mendekati puncak kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo Couwsu yang luar biasa hebatnya.

Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja dia tidak memiliki sinkang yang sangat kuat tentu kulit serta daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang mendatangkan hawa panas bagaikan api membara.

Rantai itu sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, rantai itu tahu-tahu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah kepalanya! Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini. Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan ke arah kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali.

Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang berdasarkan ilmu silat Kun-lun Kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh bagian.

Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah. Dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu segera mengandalkan kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya saja baru dia sanggup menangkis serangan lawannya yang tentu saja menggunakan sistem setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada pada pihak penahan belaka, dan hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan.

Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya. Kini tempat itu sudah terkurung oleh puluhan orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan telah siap sedia menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi bencana.

Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa apa bila Ketua Kun-lun-pai sampai roboh binasa, tentu hwesio gundul itu tak akan dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan selamat. Walau pun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin dia sanggup menghadapi pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu.

Mereka pun takkan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai seorang tamu terhormat, tetapi sebagai seorang pencuri yang datang secara sembunyi-sembunyi. Kalau hwesio itu adalah tamu terhormat dan pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup tak akan dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.

Ada pun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu beserta empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian Siansu seorang diri yang maju, dahulu Seng Thian Siansu juga pasti kalah olehnya.

Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia sudah salah duga. Ternyata, hanya dengan tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja dia tak akan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya tidak bisa mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya dia dapat menangkan Keng Thian Siansu, hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!

Aku harus menangkan dengan adu tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat menyambar dengan sodokan ke arah dada, dia tidak mengelak, bahkan dia melibat ujung tongkat itu dengan ujung rantainya sambil mengerahkan lweekang.

“Bukkk!”

Ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa pun. Namun sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai. Betapa pun Keng Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan kepalan tangan kirinya yang datang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai!

Keng Thian Siansu tadinya sudah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap lambang kekuasaan sebagai ketua partai, maka tentu saja kehilangan tongkat yang terampas oleh lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa.

Akan tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat tangan kanannya, mempergunakan gerak Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau) menyambut tangan kiri hwesio itu sehingga di lain saat jari-jari kedua tangan itu telah saling cengkeram!

Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lweekang. Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai, tarik-menarik, dan sebelah lagi saling cengkeram.

Muka hwesio itu tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dan dari kepalanya sudah mengepul uap, tanda pengerahan lweekang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.

Tenaga lweekang dari hwesio itu yang diperoleh dari latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih. Maka, setelah kini pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan tenaga lweekang, sudah bisa dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lun-pai itu tidak akan tertolong lagi! Pertandingan lweekang biar pun dilakukan tanpa mengeluarkan suara dan tanpa bergerak, namun bahayanya melebihi pertandingan silat.

Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau tetap mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lweekang, orang bertanding dengan mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang ‘tidak kelihatan’ namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut.

Bu Pun Su pasti maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan sungguh pun tongkatnya lenyap, tetapi ia akan selamat nyawanya.

Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia merasa kagum terhadap Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar dari pada nyawanya!

Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya makin keras dan kakek sakti ini tiba-tiba meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan tenaga lweekang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu.

Kong Mo Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan!

“Ayaaaa...!” Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dan melompat ke belakang.

Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tubuh tosu tua ini terhuyung-huyung dan ia cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah menggunakan lweekang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan nyawanya.

Sekarang Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali.

“Bu Pun Su, kau memang seorang pengecut dan tak tahu malu!” Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak akan tetapi tak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan kata-kata!

Bu Pun Su tersenyum mengejek, “Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus kemudian digunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!”

“Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau sendiri seorang keji yang telah membunuh dua orang cucu muridku dan kini kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku? Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap? Apakah itu perbuatan seorang laki-laki?”

Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini.

“Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus dilakukan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhan nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa aturan kesopanan pula.”

“Jahanam, kau memaki aku anjing?”

”Siapa memaki? Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kau bilang aku sudah membunuh dua orang cucu muridmu?”

“Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa kepalamu saja ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk upacara menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng.”

Bu Pun Su tertawa geli. “Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih dahulu? Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya, mana ada setan yang suka?”

Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. “Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!”

Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. “Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Sedangkan aku yang hendak kau bunuh tidak tergesa-gesa, mengapa engkau yang mau membunuh begitu tidak sabaran? Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauw-lim-pai? Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu?”

“Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai! Pinceng adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam.”

Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan suara ini lapat-lapat mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, yang dijawab oleh auman binatang-binatang buas!

“Kong Mo Taisu, kau kira aku tidak dapat menduga? Ternyata siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si pasti tak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian siluman itu lari memasuki goamu dan membujuk rayu dengan matanya yang bening dan bibirnya yang merah. Dan kau... ahhh, mana bisa lain? Kau dengan segala senang hati berkenan melaksanakan permintaannya untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?”

Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su itu, seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat sekali.

Setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, Pek Hoa kemudian langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar dia hanya diterima di ruangan depan sekali, tak diperbolehkan masuk. Di situ wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-to.

Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidak percayaannya.

“Apa pun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su dari pada kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!” kata Hek Bin Taisu.

Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.

Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke goanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si.

Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari goa dan untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan merayu hati pria, dia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Meski pun Kong Mo Taisu telah menjadi seorang hwesio dan telah bertapa bertahun-tahun, akan tetapi pada dasarnya ia memiliki kelemahan batin.

Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apa lagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-nyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!

Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang akhirnya menimbulkan marahnya.

“Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapa pun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!” Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.

Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lweekang dan ilmu I-kin-keng, karena itu serangan-serangannya tentu berbahaya sekali. Akan tetapi di samping ini, dia pun maklum bahwa ilmu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.

Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudian berkatalah Bu Pun Su,

“Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan hingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si. Kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat hingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum bertobat bahkan sudah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu sudah sangat memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!”

Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.

Sekali saja kakek ini menggeser kaki, memiringkan tubuh atau menundukkan kepalanya, menekuk lutut atau menggoyang pinggang, maka semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka, dan hanya sejari terpisah dari anggota tubuh! Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua pukulan tidak mengenai sasaran.

“Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?” Bu Pun Su bicara terus.

Dia cepat menggunakan tenaga Pek-in Hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagai terdorong oleh tenaga aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.

“Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Oleh karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu birahi didahului dengan penggundulan rambut kepala.”

Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,

“Akan tetapi kau walau pun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!”

Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkatan yang tertinggi. Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, serangan-serangannya sampai dua puluh jurus lebih tak pernah berhasil? Apa lagi Bu Pun Su masih ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!

Sekali ini pukulan rantai ke arah kepala amat kuatnya, dilakukan dengan mengerahkan tenaga I-kin-keng sepenuhnya. Biar pun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasakan sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.

“Siancai... sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat...,” kata kakek sakti ini.

Cepat dia mengulur tangan kanannya menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya. Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su seorang saja yang berani melakukannya, karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andai kata setingkat saja, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya maut yang nyata!

Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil.

Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biar pun kelihatannya gerakannya biasa saja, akan tetapi lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat serta menyambar cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah, dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun ujung baja itu sudah digenggamnya.

Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar sangat aneh. Meski pun rantai itu terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat berbengkok-bengkok.

Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lweekang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biar pun yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi baja.

Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh kaki tangan, bahkan dengan senjata sekali pun, masih belum begitu menegangkan laksana pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!

Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini telah memiliki tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia bisa menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.

“Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan lupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, seolah memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.

Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri telah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng yang ada padanya. Akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.

Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.

Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras dia mendorong dengan segenap tenaga yang ada dalam dirinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)