ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-23
“Curang...!” Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi karena dia maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.
Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu. Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan waspada. Dia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalau-kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya.
Diam-diam dia telah menyediakan tenaga pada pundaknya. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu secara nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su segera menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak tangan menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.
Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali.
“Krek… krek…krek…!” terdengar suara dan satu demi satu mata rantai itu hancur!
Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan pada saat mata rantai terakhir di dekat telapak tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Dia jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya meram.
“Siancai... siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri.” kata Bu Pun Su menarik napas panjang.
Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Walau pun sepak terjang Kong Mo Taisu sangat jahat dan tidak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh tenaga lweekang-nya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang berarti bahwa selamanya dia tak akan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.
Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk melakukan pengawasan serta penjagaan di tapal batas barat untuk mencegah musuh-musuh negara menyerbu dari barat dan memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu Pun Su juga menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai untuk menerima hukuman.
Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu kepada Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai mengenai kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan dari Bu Pun Su untuk membantu menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di kuil Siauw-lim-si dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang terjadi.
Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan kemudian menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.
Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat sudah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran.
Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-koan, di samping hendak menanyakan mengenai Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, dia juga hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar itu.
Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika tiba di Sian-koan dia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian dia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun Su, lalu segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu dan mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.
“Susiok-couw... teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh Ayah...“ Dia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.
Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya karena terharu dan ikut berduka. Sebelum dia menjumpai Im Giok, lebih dahulu kakek ini telah mencari keterangan mengenai terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini.
“Susiok-couw... harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja teecu dari muka bumi ini… teecu sudah tidak kuat menanggung dosa...,” gadis ini melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis.
“Kiang Im Giok, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu dan usir semua kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkatlah muka dan dada, arahkan pandangan ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?”
Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuat dirinya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di hadapannya dengan mata penuh harap dan tanya.
Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa sangat kasihan. Dia harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.
“Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi seorang yatim piatu dan apa bila dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah terlalu buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati dan hidup? Setiap pertemuan pasti akan diakhiri dengan perpisahan, demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan pertemuan lain.”
Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar kembali, lalu menjawab,
“Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang hendak mengajukan pinangan untuk diri teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa sangka, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah... Ayah meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh teecu...” Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.
“Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu, kau tidak perlu penasaran. Ada pun semua sebab-sebab yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin, merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari semua sebab dan akibat, lalu mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita akan terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Semenjak kecil kau dilatih tentang kegagahan, maka kau juga harus memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di dunia ini, kenapa mesti terbenam dalam lamunan dan duka untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di depan mata? Beginikah sikap seorang pendekar?”
Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Dia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata,
“Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi petunjuk.”
“Banyak sekali yang bisa kau lakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu itu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di dunia ini.”
“Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw.”
Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas yang penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan yang menarik dan dapat melupakan orang dari kedukaannya, mendatangkan perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang banyak.
“Baiklah, Im Giok. Aku pun tengah membutuhkan bantuanmu, karena itu kebetulan sekali kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan di samping membutuhkan kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang persatuan, terjadi suatu hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai terjadi bentrokan dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai merupakan seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan terkenal pula sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sangat sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki mengenai pertentangan antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan jalan damai.”
Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.
“Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw,“ katanya.
Kemudian dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan makam ayahnya, juga di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati serta pikirannya, setelah dia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couw-nya.
“Di mana adanya suci-mu?” tiba-tiba saja Bu Pun Su bertanya sesudah Im Giok selesai bersembahyang.
“Kalau tidak pergi, tentu dia ada di rumah,” jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah lupa akan suci-nya itu.
“Hemm, aku ingin bertemu dengan dia.”
Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.
Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi sejak dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberi tahu kepada siapa pun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa suci-nya itu sudah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda bahwa suci-nya itu pergi jauh dan mungkin sekali tidak akan kembali. Ia menarik napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.
“Im Giok, di samping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati suci-mu. Jangan sampai kelak dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan mencemarkan nama baik kita. Betapa pun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itu pun adalah anak muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas seluruh sepak terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat.”
Setelah banyak memberi nasehat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Sesudah kakek ini pergi, Ang I Niocu kemudian menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san.
Im Giok memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka dia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, di samping hendak memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas.
Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu mengenakan pakaian putih yang sederhana sekali, sekarang dalam perjalanannya, dia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah! Kecantikan dan kesegarannya yang dahulu sudah pulih kembali dan setiap orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman.
Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang ada keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu meruncing manis dan pipi yang selalu kemerah-merahan tanpa cat, merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan sisa rambut yang panjang itu dibiarkan menggantung di belakang leher.
Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dulu selalu dibelikan ayahnya yang sangat memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu.
Sepasang telinganya yang bagian atas tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Anting-anting ini selalu bergerak-gerak, seperti bermain-main di antara leher dan dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata.
Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh dengan kemanisan dan keindahan yang tak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu.
Sekarang mata ini sedikit berbeda dengan dahulu. Apa bila dahulu selalu membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan juga kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat.
Mungkin dulu orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya bagai sinar mata kanak-kanak nakal. Akan tetapi sekarang, lebih dulu orang akan berpikir masak-masak sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang I Niocu.
Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang sangat dahsyat, sesuatu yang berupa ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, tentu akan bisa menangkap kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.
Akan tetapi kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, di mana kadang kala waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana yang lebih indah, matanya ataukah mulutnya.
Baju dalamnya berwarna biru, yang hanya nampak pada bagian leher serta lengan baju. Kemudian bajunya terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, amat lemas sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang amat molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias benang emas.
Ikat pinggang inilah yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapa pun menariknya gadis jelita ini, tidak ada orang yang berani sembarangan berlaku kurang ajar oleh karena selain bersikap agung, Ang I Niocu juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.
Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, yaitu kuda bulu putih kesayangannya. Dalam menempuh perjalanan menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-hong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya kudanya.
Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dahulu dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang.
Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah suci-nya ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu semakin sayang kepada Pek-hong-ma.
Pada suatu hari, ketika dia sampai di sebuah dusun, dia mendengar suara orang wanita menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti, karena itu dia berani meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon.
Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.
“Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu pergi dan kau masih ada muka untuk merengek-rengek? Benar-benar anjing yang tak mengenal malu!” laki-laki itu memaki dan kakinya menendang sehingga perempuan itu roboh terguling.
Akan tetapi perempuan itu merangkak kembali. Di antara tangisnya terdengar ia berkata,
“Suamiku, kenapa kau begini kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku? Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak meminang aku? Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?”
“Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!”
Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, “Suamiku, mengapa kau begitu keji...?”
“Siapa keji? Kaulah yang mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!” Kembali laki-laki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-guling kemudian mengaduh-aduh.
Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.
“Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh Thian...!”
”Jangan banyak cerewet...”
Kata-kata si suami ini terhenti dan dia berdiri melongo ketika tiba-tiba dia melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa bagaikan bidadari, tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat munculnya yang tiba-tiba itu, dia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan!
Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.
“Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?”
Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun dia pun percaya akan tahyul dan menyangka bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,
“Ampunkan hamba... dia itu adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan supaya hamba lebih dulu dicerai. Suami hamba mempergunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai keturunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba...”
Semenjak tadi pun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek.
Ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya? Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana jalannya?
“Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?”
“Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?” perempuan itu bertanya heran.
“Walau pun andai kata dia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang sekali pun?”
“Apa pun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya...,” jawab isteri yang setia ini.
Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah
“Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya? Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau ini harus diberi hajaran. Rasakan ini!”
Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat dan meraba pada bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur deras dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.
“Lihat baik-baik daun telingamu!” kata Ang I Niocu sambil menyimpan pedangnya. “Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!”
Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala tergeletak di atas pangkuannya.
Ang I Niocu mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada wanita itu sambil berkata, “Aku sengaja membuntungi telinganya supaya dia kapok. Pula kiraku perempuan yang lain itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi cacat. Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudah-mudahan rumah tanggamu baik kembali.”
Tanpa memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang I Niocu sudah berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan mengira dia betul-betul seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat!
Sambil duduk di punggung kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan seluruh peristiwa yang tadi dilihatnya. Berkali-kali dia menghela napas panjang dan dari bibirnya yang merah itu keluar keluhan-keluhan pendek,
“Hemmm, ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu...! Alangkah banyaknya suami isteri yang tidak bahagia hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta ibu sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki terbunuh akibat mencintaiku. Perempuan tadi pun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang keji.”
Memikirkan ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa cinta di dalam hatinya telah ikut terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan kematian Gan Tiauw Ki. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk tidak menikah selama hidupnya, untuk selalu hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan perbuatan-perbuatan besar sebagai seorang lihiap (pendekar wanita).
Pandangannya terhadap cinta kasih menjadi rendah dan remeh, dan di dalam pikirannya timbul kesan bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka, bahwa di dunia ini lebih banyak cinta palsu dari pada cinta kasih murni. Cinta kasih murni saja banyak mendatangkan kesengsaraan, apa lagi cinta yang palsu! Bergidik kalau dia teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.
Perjalanan menuju Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-pai, melalui daerah perbatasan antara Propinsi Secuan dengan Cing-hai. Daerah ini termasuk wilayah Pegunungan Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai daerah yang amat liar dan berbahaya. Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar ditempuh dan banyak terdapat binatang buas, akan tetapi terutama sekali karena sudah berpuluh tahun tempat ini dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam.
Gerombolan rampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan nama poyokan Min-san Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala perampok bersaudara ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka mempunyai kepandaian tinggi dan keistimewaan masing-masing.
Pernah ada beberapa orang gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san untuk menyerbu Min-san Sam-kui ini. Akan tetapi para pendekar itu akhirnya terpukul mundur dan terpaksa lari turun gunung menderita luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik lagi.
Orang-orang yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau berani mengganggu Min-san Sam-kui. Sebaliknya, para tokoh besar juga tak mau mengganggu mereka oleh karena walau pun ketiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim (berandal), tetapi mereka berwatak gagah perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan liok-lim atau kang-ouw. Mereka melakukan perampokan tidak membuta tuli dan mereka hanya beroperasi di daerah Min-san saja, tidak pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain.
Orang pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi besar bermuka brewok berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan julukannya Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok yang lihai, bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat hebat.
Dengan kedua tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong yang besarnya sepelukan orang dan goloknya saja yang sangat tebal besar dan tajam, beratnya tidak kurang dari seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ang Kim, karena orang dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan golok yang sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan.
Orang ke dua bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang berwajah putih serta tampan sekali. Juga kedua telapak tangannya berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka dia dijuluki Si Tangan Putih. Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi lebih baik tidak dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau dia sedang marah.
Sifatnya yang lemah lembut dapat berubah beringas dan kejam sekali. Berbeda dengan suheng-nya, Ang Kim, pemuda ini adalah seorang ahli lweekang dan pedangnya sangat tangguh dan lihai. Memang dulu guru mereka yang melihat bakat Ang Kim, menurunkan kepandaian yang berdasarkan gwakang kepada Ang Kim, sebaliknya melihat dasar dari Kwan Liong, menurunkan ilmu-ilmu silat berdasarkan lweekang kepada pemuda tampan ini.
Ada pun orang ke tiga adalah adik perempuan Kwan Liong yang bernama Kwan Bi Hoa, seorang gadis berusia dua puluh lima tahun. Seperti juga Kwan Liong, Bi Hoa mempunyai wajah yang cantik dan manis dengan bentuk tubuh ramping berisi yang selalu ditutup oleh pakaian yang ketat dan sepan mencetak bentuk tubuhnya. Bedanya, apa bila Kwan Liong kelihatan pendiam, adalah Bi Hoa amat genit dan suka bicara, lagi pula galak dan telengas.
Hanya dalam satu hal gadis dan kakaknya ini mempunyai watak yang sama, yakni mata keranjang! Walau pun kakak beradik ini belum pernah menikah, namun kekasih mereka banyak sekali. Seperti kakaknya pula, Kwan Bi Hoa adalah seorang ahli pedang, akan tetapi jika Kwan Liong memainkan pedang tunggal, adalah Bi Hoa memainkan sepasang pedang dan oleh karena itu dia diberi julukan Siang-kiam Sian-li atau Bidadari Dengan Sepasang Pedang!
Agaknya kehidupan tiga orang pimpinan gerombolan ini akan berlangsung aman dan tak seorang pun berani mengganggu mereka, kalau saja Ang I Niocu tidak lewat di situ, atau kalau saja Ang I Niocu tidak secantik itu atau Kwan Liong bukan seorang mata keranjang!
Ketika Ang I Niocu menjalankan kudanya perlahan-lahan mendaki jalan yang berliku-liku dan menanjak di pegunungan Min-san, gadis ini merasa tertarik sekali dengan keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini. Dia sengaja membelokkan kudanya ke arah sebuah puncak yang nampak indah penuh dengan pohon Pek dan bunga-bunga merah putih, kemudian ia melompat turun dan menikmati pemandangan indah dan hawa gunung yang sejuk yang bermain-main dengan rambutnya.
“Indah nian tempat ini...” pikirnya dan tak terasa pula Ang I Niocu lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu.
Jiwa seninya lalu tergugah oleh keindahan tamasya alam yang terbentang luas di depan kakinya dan perlahan-lahan Ang I Niocu bernyanyi. Tanpa terasa serangkaian sajak telah dijalinnya dalam keadaan termenung dan terpesona dengan keindahan alam itu, sambil melihat burung-burung beterbangan di atas jurang.
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati!
Ang I Niocu merasa betapa kata-kata ini cocok sekali, karena itu dengan girang ia lalu mengulang-ulang kata-kata itu. Saking asyiknya menikmati pemandangan-pemandangan indah dan hawa sejuk, ia sampai tidak tahu bahwa semenjak tadi, beberapa pasang mata mengintainya dari balik gerombolan pohon, agak jauh dari situ.
Makin lama orang-orang yang mengintainya ini semakin mendekat, menyelinap di antara pohon-pohon. Sesudah mereka datang agak mendekat, tentu saja mata Ang I Niocu yang berpandangan tajam itu dapat melihat mereka.
Dengan tenang gadis ini tersenyum seorang diri, lalu dia berkata dengan suaranya yang merdu akan tetapi nyaring dan tinggi menusuk telinga,
“Siapakah kalian yang mengintai dari balik batang pohon? Kalau kalian bukan binatang buas, keluarlah dan katakan apa maksud kalian mengintai aku!”
Sampai lama suara ini tidak ada yang menjawab. Kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara suitan dan dari balik batang-batang pohon itu berlompatan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap dan bersikap kasar.
“Kalian ini siapakah dan apa maksud kalian mengintai aku yang sedang duduk seorang diri?”
Seorang di antara mereka, agaknya pemimpinnya, yang bertubuh tinggi dan berhidung hitam, kemudian tertawa bergelak, cengar-cengir bagaikan monyet memandang kepada kawan-kawannya.
“Seorang tamu menegur dan bertanya kepada tuan rumah. Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu. Nona, dengan sesuka hatimu kau melanggar wilayah kami, maka terbaliklah apa bila kau yang bertanya siapa kami. Sepatutnya kau yang harus mengaku siapa kau ini dan apa maksudmu memasuki wilayah Min-san. Kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang pandai. Siapakah gurumu dan dari golongan manakah kau?”
Mendengar pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan dua belas pasang mata makin kagum memandangnya karena memang bukan main manisnya kalau gadis ini tersenyum. Beberapa orang sampai menelan ludah dengan hati penuh gairah.
Tiba-tiba saja gadis ini teringat akan kata-kata yang dinyanyikan seorang diri tadi. Maka, kini ditanya nama dan asal usulnya, dia pun membuka bibir bersyair sambil menengadah ke langit.
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati
Kau masih bertanya maksud keperluan?
Tanyalah kepada burung di puncak pohon
Terbang ke sini berkehendak apakah?
Dua belas orang itu adalah anak buah gerombolan perampok di bawah pimpinan Min-san Sam-kui. Tentu saja mereka ini adalah bangsa kasar yang tak peduli tentang sajak. Akan tetapi mereka pun sudah banyak tahu mengenai keanehan orang-orang kang-ouw, maka biar pun mereka merasa mendongkol mendengar jawaban ini, tetap saja mereka masih menahan kesabaran. Pemimpinnya maju selangkah dan berkata dengan suaranya yang parau,
“Nona, kau begini muda, begini cantik seperti bukan manusia, kau seorang diri berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang aneh dan sulit dipercaya. Kalau kami melihat seekor singa betina, atau seekor ular betina atau binatang-binatang buas yang lain lagi, kami takkan merasa heran. Akan tetapi melihat kau seorang diri saja berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang hampir tidak mungkin! Ketahuilah bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak bisa menghargai persahabatan di dunia kang-ouw dan pemimpin-pemimpin kami adalah Min-san Sam-kui yang terkenal gagah perkasa. Mungkin kau juga seorang kang-ouw, melihat lagakmu dan pedangmu, maka kami sudah bertanya dengan baik. Harap kau suka menjawab pertanyaan kami, Nona manis.”
Biar pun kata-kata yang keluar dari mulut orang ini seperti kata-kata sopan dan tahu aturan, akan tetapi pandang mata mereka itu semua menimbulkan muak dalam hati Ang I Niocu, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata singkat,
“Aku tidak peduli tentang Min-san Sam-kui dan aku tidak kenal mereka. Aku tidak ada urusan dengan kalian!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu segera berjalan pergi dari puncak itu, kegembiraannya yang tadi lenyap oleh gangguan ini.
Akan tetapi dua belas orang itu serentak mengejar kemudian menghadang di depannya. Pemimpin yang berhidung hitam tadi berkata,
“Nanti dulu, Nona. Mengapa terburu-buru? Kalau kau kenal dengan Min-san Sam-kui, kau pergi begitu saja masih tidak mengapa. Akan tetapi kau sendiri menyatakan tidak kenal. Hemm, kalau begitu kau seorang asing dan karenanya kau harus membayar pajak jalan kepada kami!”
Ang I Niocu mengerti bahwa ia kini berhadapan dengan perampok-perampok kasar, akan tetapi ia tetap tenang. Ia juga mengerti akan peraturan di kalangan liok-lim ini, yakni siapa yang dianggap bukan kawan atau kenalan, apa bila lewat di daerah mereka diharuskan ‘membayar pajak jalan’ atau kasarnya dirampok barang-barang bawaannya!
“Berapa aku harus membayar pajaknya?” tanya Ang I Niocu.
Sebagai seorang pengembara ia harus mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku di dunia kang-ouw supaya jangan dianggap tidak mengerti aturan, maka nona ini sudah bersedia mengeluarkan uang untuk sekadar menyokong mereka.
Akan tetapi, orang-orang itu saling berpandangan dengan muka cengar-cengir, kemudian terdengar seorang di antara mereka majukan usul kepada pemimpin Si Hidung Hitam.
“Twako, minta ia tinggalkan pakaian yang dipakainya!”
“Setuju...! Biar hilang sombongnya!”
“Serahkan kepadaku saja untuk membikin jinak kuda betina liar ini!”
Kata-kata yang tak sopan mulai terdengar dan pemimpin hidung hitam itu menghadapi Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata,
“Kau mendengar sendiri, Nona manis. Kawan-kawanku berlaku murah, karena kau cantik jelita dan masih muda, kami tidak mengharapkan barang-barang bawaan atau bekalmu. Akan tetapi kami hanya menghendaki pakaian yang menempel di badanmu itu supaya kau tanggalkan dan kau berikan kepada kami.”
Kata-kata ini disambut sorak-sorai para perampok itu.
Ang I Niocu tetap tersenyum, akan tetapi bila diperhatikan betul-betul, orang akan melihat belahan bibirnya yang bawah tergetar dan kedua matanya mengecil, mengeluarkan sinar berapi-api. Inilah tandanya bahwa Ang I Niocu menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dadanya.
Dengan gerakan tenang sinar matanya mencari-cari ke bawah. Ia tidak mau menghadapi orang-orang kasar ini dengan tangan, segan ia menggunakan tangan menyentuh mereka. Untuk menggunakan pedang dia malu kepada diri sendiri. Masa menghadapi tikus-tikus busuk macam ini saja ia harus mencabut pedangnya?
Akhirnya matanya melihat sebatang ranting kering yang berada di bawah pohon, maka tersenyumlah ia, senyum manis yang membuat hati dua belas orang laki-laki itu semakin tergiur hatinya.
“Kalian ini tikus-tikus hutan berani bermain gila di depan Ang I Niocu? Bagus, terimalah pembayaran pajakku ini!”
Tiba-tiba dua belas orang itu berseru kaget ketika gadis baju merah itu lenyap dari depan mereka. Sebagai gantinya, nampak berkelebat bayangan merah yang menyambar ranting di tanah, kemudian menjerit-jeritlah mereka, disusul tubuh mereka roboh tumpang tindih.
Si Hidung Hitam tahu-tahu sudah kehilangan sebelah hidungnya dan hidung itu sekarang berubah merah karena darah. Ada pula yang daun telinganya pecah dan juga ada yang lengannya tertusuk ranting, dan sebentar saja dua belas orang itu melarikan diri sambil menjerit-jerit kesakitan dan penuh rasa takut!
Ang I Niocu melemparkan rantingnya, mengebut pakaian yang terkena debu, lalu dengan senyum manis serta langkah tenang dia turun dari tempat itu dan menghampiri kudanya. Dengan perlahan dia menjalankan kudanya menuruni Bukit Min-San. Dia mengira bahwa para perampok itu tentu sudah tobat dan tidak akan muncul lagi. Akan tetapi ternyata dugaannya ini keliru.
Baru saja ia turun dari puncak itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tahu-tahu dari segala jurusan muncul banyak orang. Mereka ini adalah anak buah perampok yang tentu saja lebih hafal akan keadaan di situ dan dapat mengambil jalan pendek menghadang perjalanan Ang I Niocu. Mereka terdiri dari puluhan orang, dipimpin oleh Min-san Sam-kui yang menghadang di tengah jalan dengan sikap sombong.
Melihat tiga orang yang pakaiannya serba mewah dan sikapnya jauh berbeda dengan para perampok itu, Ang I Niocu segera bersiap-siap dan sengaja melompat turun dari atas kudanya.
“Pek-hong-ma, kau tunggu aku di bawah sana!” katanya sambil menepuk punggung kuda itu.
Kuda Pek-hong-ma ini sudah bertahun-tahun dipelihara oleh Ang I Niocu, maka menjadi amat penurut dan karena dilatih, maka ia mengerti akan kehendak nona majikannya. Mendapat tepukan itu, ia lalu berlari-lari turun gunung! Dengan tenang Ang I Niocu lalu menghadapi para perampok itu, terutama tiga orang yang menjadi pemimpin mereka.
Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa memandang kepada Ang I Niocu dengan mata mengandung kemarahan besar, meski pun kemarahan Ang Kim tercampur dengan keheranan dan kekaguman melihat gadis muda cantik jelita itu. Adalah Pek-ciang Kwan Liong yang berdiri dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menahan napas dan dadanya berdebar-debar.
“Demi Iblis!” katanya perlahan dengan mata tidak pernah berkedip menatap wajah dan bentuk tubuh gadis baju merah di depannya itu, penuh takjub. “Kalau dia itu manusia dan bukan dewi kahyangan, tidak tahu lagi aku apa bedanya antara gadis dan dewi!”
Mendengar ini, Bi Hoa adiknya membantah perlahan, ”Apakah dewi kahyangan saja yang memiliki kecantikan luar biasa? Juga siluman rase mempunyai kecantikan yang melebihi kecantikan manusia biasa. Jangan nanti kau salah menduga, siluman rase disangka dewi kahyangan.”
“Biar pun ia siluman rase atau siluman tikus, apa bila bisa mendapatkan dia, aku akan merasa bahagia sekali... alangkah manisnya, ehhh, Bi-moi pernahkah kau melihat bibir semanis itu? Hemm...”
Percakapan antara kakak dan adik yang dilakukan bisik-bisik dan dari jarak cukup jauh ini kiranya tidak akan dapat terdengar oleh telinga Ang I Niocu kalau saja gadis ini bukan seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi. Pendengarannya jauh lebih tajam dari pada pendengaran manusia biasa, maka ia dapat menangkap semua percakapan itu sehingga diam-diam ia tersenyum geli.
Sementara itu, Toa-to Ang Kim sudah menegur dengan kata-kata keras dan ketus, “Nona yang lewat di daerah kami! Kau mengaku berjuluk Ang I Niocu dan secara kejam sudah melukai orang-orang kami. Sesungguhnya siapakah kau, dari golongan mana dan apa maksudmu datang ke wilayah kami melakukan penghinaan? Apakah kau sengaja hendak mencari permusuhan dengan Min-san Sam-kui?”
“Kepala berandal, enak saja kau bicara! Anak buahmu tadi bersikap kurang ajar sekali sehingga terpaksa aku turun tangan memberi hajaran. Kau yang tidak bisa mendidik anak buahmu, tidak menegur mereka dan minta maaf padaku, sebaliknya hendak menegurku? Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun juga, andai kata aku tidak suka kepada kalian ini orang-orang kasar, agaknya Susiok-couw-ku Bu Pun Su takkan membolehkan aku mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi ini bukan berarti aku takut! Meski kalian sekali pun kalau bertindak kurang ajar dan keterlaluan, tak urung akan mendapat bagian!”
“Bocah sombong, rasakan pedangku!”
Bi Hoa sudah menjerit marah dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyerang Ang I Niocu. Hanya nampak sinar pedang berkelebat, disusul pekik kaget dari Bi Hoa.
Ternyata Ang I Niocu telah mencabut pedang dan menangkis serangannya, tangkisannya demikian cepat dan kuat sehingga pedang di tangan kiri Bi Hoa terlepas dan menancap di atas tanah, sedangkan pedang kedua tentu akan terlepas pula jika saja ia tidak buru-buru melompat ke belakang dengan muka pucat!
“Sumoi, tahan...!” Toa-to Ang Kim yang melihat gelagat berseru keras. Kemudian kepala rampok yang tinggi besar ini maju menjura memberi hormat kepada Ang I Niocu sambil berkata ramah,
“Ahhh, tidak tahunya Lihiap adalah cucu murid Sin-taihiap (Pendekar Sakti) Bu Pun Su! Maaf, maaf, kami mempunyai mata tetapi tidak melihat tingginya Bukit Thai-san. Harap Lihiap sudi memaafkan perbuatan kurang ajar dari para anak buah kami dan kelancangan Sumoi tadi.”
Di antara tiga orang kepala rampok ini, tentu saja Toa-to Ang Kim yang tertua memiliki pandangan yang lebih luas dan sikap yang lebih hati-hati. Tidak saja ia menjadi terkejut bukan main mendengar nama Bu Pun Su disebut-sebut oleh Ang I Niocu, juga melihat betapa sekali gerakan Ang I Niocu sudah dapat merampas sebatang pedang dari tangan sumoi-nya, maklumlah ia bahwa gadis baju merah ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan, maka ia cepat-cepat mengeluarkan diplomasinya.....
Komentar
Posting Komentar