ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-24
“Jika mau bicara tentang maaf, siauwmoi juga hendak mohon maaf sebanyaknya bahwa kedatangan siauwmoi di Bukit Min-san yang sebenarnya hanya kebetulan lewat belaka, sudah mendatangkan banyak gangguan kepada Sam-wi. Karena kesalah pahaman telah diatasi, perkenankan siauwmoi kini melanjutkan perjalanan turun gunung mencari kudaku yang sudah lari lebih dulu tadi.”
Memang bagi Ang I Niocu, tak perlu dia menanam bibit-bibit permusuhan dengan segala macam penjahat rendah, apa lagi kalau tidak ada sebab-sebabnya yang kuat. Dia takut akan mendapat marah dari Bu Pun Su karena dalam perjalanan berusaha mendamaikan permusuhan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, amat tidak baik kalau usaha itu ia mulai dengan permusuhannya dengan golongan lain! Maka dia hendak menghabiskan perkara itu sampai di situ saja dan melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi dasar harus terjadi keributan, tiba-tiba saja Pek-ciang Kwan Liong, orang ke dua dari Min-san Sam-kui yang berwajah tampan, dengan sikap halus dan penuh hormat menjura ke depan Ang I Niocu sambil mengeluarkan suaranya yang merdu halus,
“Lihiap Ang I Niocu, aku yang rendah Pek-ciang Kwan Liong, turut menghaturkan terima kasih atas ketinggian budimu yang telah memaafkan anak buahku dan adikku tadi. Kita baru saja berjumpa, akan tetapi kau sudah mendapat kedudukan tinggi dalam pandangan kami. Kelihaian dan pribudimu yang luhur benar-benar membuat kami sangat kagum dan tunduk. Oleh karena itu, atas nama semua kawan-kawan, aku mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Lihiap singgah di tempat kami untuk mempererat perkenalan ini. Siapa tahu kalau kelak kita akan dapat saling membantu dalam urusan besar.”
Ang I Niocu merasa ragu-ragu. Menurutkan suara hatinya, ia harus menolak dan segera pergi dari situ. Akan tetapi, orang sudah mengajukan permintaan demikian penuh hormat dan merendah, tidak enak juga bila ditolak begitu saja. Selagi ia ragu-ragu, ia mendengar ucapan Kwan Bi Hoa,
“Ahhh, Koko, kau ini tidak dapat melihat gelagat. Sungguh pun Ang I Niocu Lihiap sudah memaafkan kita, akan tetapi tadi sempat bermusuh dengan kita, mana ia percaya kepada undanganmu? Tentu disangka kita hendak menjebaknya!”
Merah muka Ang I Niocu mendengar ini. Dengan suara mengejek ia berkata,
“Hemm, sesungguhnya aku hendak menolak undangan ini. Akan tetapi karena khawatir disangka takut akan jebakan, biarlah aku melihat-lihat sarang kalian.”
Berseri-seri wajah Pek-ciang Kwan Liong. Ia segera memberi perintah kepada para anak buah berandal untuk menyiapkan segala sesuatu di ‘pesanggrahan’ untuk menyambut datangnya tamu agung, dan mempersiapkan meja perjamuan!
Sesudah itu, dengan langkah tenang dan gagah Ang I Niocu diiringkan naik ke sebuah puncak tak jauh dari situ, puncak yang penuh dengan pohon-pohon liar. Di tengah-tengah hutan di puncak bukit ini terdapat sebuah rumah kayu yang besar. Inilah tempat tinggal dari Min-san Sam-kui, ada pun para anak buah rampok itu tinggal di sekeliling puncak, di dalam gubuk-gubuk kecil yang dibangun di sana-sini.
Ketika mulai mendaki puncak bukit ini, di kanan kiri lorong berdiri para perampok dengan senjata di tangan, berdiri tegak seperti barisan memberi hormat kepada seorang jenderal yang lewat. Keadaan amat angker dan menakutkan sekali, akan tetapi Ang I Niocu tetap tenang-tenang saja, berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.
Iring-iringan ini masuk ke dalam bangunan besar dan diam-diam Ang I Niocu merasa kagum karena keadaan di dalam bangunan kayu ini jauh bedanya dengan keadaan di luar. Belasan pemuda dan pemudi yang nampak di ruangan tamu dan kelihatan sebagai pelayan-pelayan tidak kasar-kasar seperti para perampok itu, bahkan boleh dibilang para pemudanya rata-rata tampan-tampan dan para gadisnya cantik-cantik.
Sama sekali ia tidak mengira bahwa para pemuda ini adalah orang-orang culikan yang dipaksa dan dibawa ke tempat itu sebagai kekasih Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa dan juga gadis-gadis itu adalah orang-orang culikan yang dipaksa menjadi kekasih Pek-ciang Kwan Liong! Mereka ini selain bertugas menghibur hati kakak beradik mata keranjang ini, juga bekerja sebagai pelayan dan selalu berada di dalam bangunan, tidak pernah keluar, apa lagi ikut merampok. Mereka ini pendiam tidak banyak bicara, mukanya pucat-pucat, muka orang-orang yang putus harapan.
Di ruangan tamu yang lebar itu telah disediakan meja panjang penuh dengan hidangan-hidangan lezat. Kembali Ang I Niocu terheran-heran karena bagaimana di tengah hutan dan di puncak gunung itu orang bisa mendapatkan hidangan-hidangan seperti di rumah makan di kota saja?
Ia tidak tahu bahwa memang di tempat ini disediakan bahan-bahan masakan yang serba lengkap, juga di situ terdapat sebuah dapur yang besar dan lengkap, bahkan terdapat pula seorang koki culikan. Kesenangan Toa-to Ang Kim yang terutama adalah makanan enak, maka untuk memenuhi selera dan memuaskan hatinya setiap hari diadakan pesta besar memotong ayam dan babi.
“Untuk menghormati kedatangan Lihiap sebelum kembali melanjutkan perjalanan, kami mengadakan sekedar acara makan minum. Setelah mengaso sebentar baru Lihiap dapat melanjutkan perjalanan,” kata Ang Kim sambil tertawa ramah.
“Mana bisa begitu sebentar? Kami malah berharap Lihiap suka bermalam di tempat kami yang buruk ini barang semalam dua malam,” Kwan Liong menyambung cepat-cepat.
Ada pun Kwan Bi Hoa hanya tersenyum-senyum saja dan kadang-kadang memandang kepada seorang pelayan tampan dengah mata mendelik kalau pelayan ini mengerling ke arah Ang I Niocu dengan pandangan mata kagum. Agaknya perempuan ini besar sekali cemburunya!
“Undangan makan dapat kuterima dengan senang hati dan kuucapkan terima kasih. Akan tetapi untuk bermalam di sini betul-betul tidak mungkin. Aku harus segera melanjutkan perjalanan,” jawab Ang I Niocu dan tanpa malu-malu ia segera mengambil tempat duduk ketika pihak tuan rumah mempersilakannya.
Mereka lalu mulai makan minum. Ang I Niocu berlaku seolah-olah ia makan dan minum semua hidangan tanpa ragu-ragu dan tanpa sangsi-sangsi. Padahal sebenarnya dia amat hati-hati dan waspada, hidungnya bekerja keras, terus mencium bau setiap makanan dan minuman sebelum makanan atau minuman itu memasuki mulut dan perutnya. Akan tetapi ia sengaja tidak pernah mengeringkan cawan araknya sehingga setelah pihak tuan rumah menghabiskan tujuh delapan cawan, ia baru menghabiskan tiga cawan saja.
Tiba-tiba Pek-ciang Kwan Liong yang mukanya sudah mulai kemerahan akibat pengaruh arak berdiri dan tertawa-tawa sambil memegang seguci arak yang baru didatangkan oleh pelayan.
“Lihiap Ang I Niocu mengapa sungkan-sungkan? Arak kami adalah arak simpanan, arak wangi yang sudah puluhan tahun usianya, amat baik untuk menyehatkan tubuh dan dapat menambah semangat. Harap Lihiap sudi menerima secawan arak ini untuk menghormati pertemuan yang amat membahagiakan hati ini!”
Tentu saja Ang I Niocu tak dapat menolak dan memberikan cawannya untuk diisi penuh. Arak kali ini adalah arak berwarna merah yang baunya harum sekali, mengalahkan arak yang tadi-tadi. Ang I Niocu mengikuti mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya.
Sebelum arak itu memasuki mulutnya, hidungnya dapat mencium bau keras di antara bau harum, akan tetapi tanpa memperlihatkan tanda sesuatu, Ang I Niocu segera menenggak arak itu. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, berdiri, kemudian memegang kepala sambil menundukkan mukanya, lalu terhuyung-huyung seperti orang pusing.
Dia mendengar Ang Kim bertanya, “Eh, ehh, Lihiap kenapakah...?”
Juga dia mendengar suara ketawa Kwan Bi Hoa, kemudian dia mendengar suara yang diharap-harapkan, yakni suara Kwan Liong yang berkata perlahan penuh kegembiraan, “Aha, sudah kena... roboh... roboh...”
Ang I Niocu terguling miring dan roboh tak bergerak lagi!
“Sute apa yang kau lakukan?” terdengar Ang Kim membentak sute-nya.
Kwan Liong tidak menjawab, akan tetapi Kwan Bi Hoa yang kemudian menjawab sambil tertawa-tawa genit, “Twa-suheng seperti tidak tahu saja, mana Liong-ko mau melepaskan orang begini cantik?”
“Bi-moi benar, Twa-suheng,” kata Kwan Liong, “selama hidup belum pernah aku melihat seorang gadis secantik ini. Kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, tentu selamanya aku akan terkenang dan tergila-gila.”
Ang Kim menarik napas panjang. “Asal kau berhati-hati saja. Dia itu lihai sekali...”
“Jangan khawatir, Suheng. Aku sudah biasa menundukkan singa-singa betina liar. Kalau sekali dia sudah menjadi punyaku, tentu dia akan menjadi penurut dan dia akan menjadi pembantu kita yang amat boleh diandalkan.”
Ang Kim mengomel sambil menghirup araknya. “Sesukamulah, kesukaanmu main-main seperti ini tidak akan menambah panjangnya usiamu. Aku lebih baik makan dan minum...” lalu terdengar ia mengunyah daging dengan lahapnya dan mendorongnya ke dalam perut dengan beberapa teguk arak.
Kwan Bi Hoa yang sudah dalam keadaan setengah mabuk, membelai-belai rambut salah seorang pemuda pelayan yang berlutut di dekatnya, ada pun Kwan Liong sambil tertawa haha-hihi mendekati Ang I Niocu, kemudian berlutut.
Ang I Niocu yang kelihatan seperti orang pingsan tak berdaya itu, tiba-tiba saja membuka mulutnya dan arak tadi menyembur keluar dari mulutnya, mengenai muka Kwan Liong.
“Ayaaa...!” Kwan Liong menjerit sambil melompat mundur dan kedua tangannya menutupi muka yang terasa pedas sekali terkena semburan arak tadi. Akan tetapi di lain saat, sinar pedang berkelebat dan kepala Pek-ciang Kwan Liong sudah terpisah dari lehernya yang terbabat putus oleh pedang di tangan Ang I Niocu!
Dara baju merah ini berdiri dengan mata berapi-api dan pedang di tangan, dan sikapnya mengancam sekali. Toa-to Ang Kim berdiri di atas kursinya laksana patung, terlampau kaget sehingga untuk beberapa lama dia tak dapat bergerak. Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa juga segera melompat berdiri dengan mata terbelalak, kaget setengah mati melihat kakaknya sudah menggeletak dengan leher putus.
“Bagus, kalian memang buta, akan tetapi tadinya kukira kalian sudah sembuh dan dapat melihat. Tidak tahunya kalian ini tikus-tikus busuk yang tidak pandai menggunakan mata. Orang-orang macam kalian ini apa bila tidak dibasmi, untuk apa lagi aku semenjak kecil mempelajari ilmu?” kata Ang I Niocu.
Sekali kakinya menendang, sebuah meja penuh piring dan mangkok melayang ke arah Kwan Bi Hoa. Perempuan ini cukup gesit, melompat ke samping dan yang menjerit roboh adalah pelayan yang tadi dibelainya, terpukul meja.
Para pelayan menjerit dan lari ke sana ke mari mencari tempat sembunyi. Para anak buah perampok yang menjaga di luar, cepat menyerbu masuk dengan senjata di tangan. Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa sudah sadar dari kagetnya dan kini Ang Kim memegang goloknya yang besar, ada pun Bi Hoa memegang sepasang pedang siap menggempur Ang I Niocu.
Ang I Niocu mengeluarkan suara ketawa yang merdu, akan tetapi yang membangkitkan bulu tengkuk para perampok ketika gadis ini berkata,
“Rakyat Min-san, saksikanlah aku Ang I Niocu akan membebaskan kalian dari gangguan perampok-perampok Bukit Min-san!”
Pada lain saat tubuh Ang I Niocu berkelebat lenyap berubah menjadi sinar merah yang menyambar ke sana ke mari, dikeroyok oleh Ang Kim, Kwan Bi Hoa, dan puluhan orang perampok yang biasanya berlaku sewenang-wenang kepada rakyat di sekitar daerah itu. Pedang di tangan Ang I Niocu luar biasa sekali ganasnya, setiap kali pedang itu meluncur pasti merobohkan seorang perampok yang tewas di saat itu juga.
Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran yang hebat. Meja kursi yang tadinya dipakai pesta, kini melayang ke sana ke mari terkena terjangan dan tendangan. Mangkok piring yang pecah tertumbuk dinding kayu atau jatuh ke lantai menerbitkan suara hiruk pikuk. Ini semua masih ditambah oleh orang-orang berteriak kesakitan. Darah membanjiri ruangan itu.
Akhirnya hanya tersisa lima orang tangan kanan mereka saja yang masih melakukan pengepungan. Yang lain-lain sudah tak ada lagi. Banyak yang menggeletak tanpa nyawa, akan tetapi lebih banyak pula yang melarikan diri karena gentar menghadapi pendekar wanita baju merah yang kosen itu.
Golok besar yang dimainkan oleh Ang Kim cukup kuat dan tangguh. Golok ini lalu diputar hingga mengeluarkan angin dan sinar pedang Ang I Niocu sulit menembus benteng sinar goloknya yang bergulung-gulung. Juga Kwan Bi Hoa berdaya upaya membalas kematian kakaknya, sepasang pedangnya diputar cepat, membalas serangan Ang I Niocu dengan serangan maut. Lima orang perampok yang masih mengeroyok benar-benar merupakan anak buah yang setia, karena sungguh pun mereka ini kewalahan benar, namun mereka tidak mau melarikan diri meninggalkan dua orang pemimpin mereka itu.
Ang I Niocu tadinya mengharapkan mereka ini melepaskan senjata dan minta ampun. Kalau terjadi hal demikian, kiranya dia pun tidak tega untuk membunuh mereka. Asal saja mereka mau berjanji untuk mengubah cara hidup, dia bersedia untuk memberi ampun. Akan tetapi melihat kekerasan kepala mereka, timbul amarah di dalam hatinya.
“Bangsat-bangsat kecil, kalian tak boleh dikasih hati!” bentaknya dan tiba-tiba permainan pedangnya berubah.
Jika tadi permainan pedangnya amat cepat menyilaukan mata, adalah sekarang menjadi lambat dan gerakan tubuhnya menjadi amat indah seperti orang menari-nari. Akan tetapi kini setiap kali pedangnya digerakkan, tidak hanya sebagai main-main belaka, melainkan merupakan serangan yang tak dapat ditangkis lagi.
Sekali pedangnya berkelebat ke arah dua orang perampok. Biar pun dua orang itu sudah menangkis dengan golok, tetap saja pedang itu menyeleweng dan meneruskan serangan tanpa dapat dielakkan lagi. Dua orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Ang I Niocu melanjutkan serangannya dan dalam beberapa jurus saja tiga orang perampok yang lain roboh juga.
”Apakah kalian masih belum mau bertobat?!” Ang I Niocu memberi kesempatan terakhir kepada Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa.
Jawaban yang diterimanya justru berupa sabetan golok besar pada lehernya dan tusukan sepasang pedang pada dada dan leher!
“Kalian sudah bosan hidup!” bentak Ang I Niocu.
Tiba-tiba tubuhnya lenyap menjadi bayangan merah yang melesat ke sebelah kiri tubuh Kwan Bi Hoa. Sebelum perempuan cabul ini dapat menangkis, pedang Ang I Niocu sudah memasuki lambungnya, membuat dia terguling roboh. Sebuah jeritan ngeri merupakan perbuatan terakhir yang dapat dia lakukan.
Melihat sumoi-nya roboh, Toa-to Ang Kim menjadi nekat. Goloknya diputar dalam suatu penyerangan mati-matian. Akan tetapi, seorang lawan seorang, dia ini bukanlah lawan tanding dari Ang I Niocu. Dalam tiga jurus kemudian, pedang Ang I Niocu telah memasuki rongga dadanya sehingga matilah kepala rampok yang selama bertahun-tahun ini sudah menumpuk dosa.
Ang I Niocu memandang ke kanan kiri. Tidak kelihatan seorang pun anggota perampok. Ia lalu berjalan memasuki ruangan dalam. Tiba-tiba belasan orang laki perempuan berlari keluar dan berlutut di hadapannya sambil menangis. Mereka ini ternyata adalah pelayan-pelayan tadi yang sudah bersembunyi di belakang dan kini mereka berlutut di depan Ang Niocu dengan ketakutan.
“Mohon ampunkan hamba sekalian, Lihiap. Hamba sekalian hanya orang-orang culikan yang tidak berdosa...,” mereka meratap.
Ang I Niocu menjadi amat terharu. Diam-diam ia mengutuk kejahatan para perampok dan merasa girang bahwa yang dibasminya benar-benar gerombolan orang jahat pengganggu rakyat.
“Jangan takut, aku memang akan menolong kalian. Sekarang kumpulkan semua barang-barang berharga, bagi-bagi di antara kalian, kemudian kalian boleh pulang ke kampung masing-masing.”
Dengan gembira sekali belasan orang laki-perempuan itu lalu berserabutan lari ke dalam kamar-kamar di mana terdapat barang-barang berharga dan tak lama kemudian mereka sudah berkumpul di luar, masing-masing membawa bungkusan besar. Ang I Niocu lalu membakar bangunan besar itu yang sebentar saja menjadi lautan api karena bangunan itu terbuat dari kayu.
“Kalian pulanglah ke rumah masing-masing,” kata pula Ang I Niocu.
Rombongan orang muda itu menjatuhkan diri berlutut untuk menghaturkan terima kasih, kemudian mereka berlari-lari turun gunung dengan perasaan kegirangan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka, kegirangan seperti burung-burung yang dilepas dari sangkarnya yang sempit.
Ang I Niocu lalu turun gunung lagi melalui lereng yang tadi, untuk mencari kudanya. Akan tetapi, alangkah heran dan cemasnya ketika ia tidak dapat menemukan Pek-hong-ma. Ia sudah memanggil-manggil nama kuda itu dengan suara keras, akan tetapi Pek-hong-ma tetap saja tidak mau muncul.
“Ehh, kemanakah dia?” Ang I Niocu menjadi cemas. “Apakah di sini ada kuda lain yang menariknya?”
Gadis itu lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari cepat ke sana ke mari, melompati jurang-jurang kecil yang kiranya dapat dilompati kudanya. Tiba-tiba ia mendengar suara ringkik Pek-hong-ma di balik gunung kecil. Cepat ia berlari ke tempat itu dan ketika tiba di belokan gunung ini, dia melihat pemandangan yang membuat bibir dan pelupuk matanya gemetar saking marahnya.
Kuda Pek-hong-ma telah rebah miring, dalam keadaan berkelojotan hampir mati. Leher dan dadanya mengucurkan darah. Ketika mata kuda itu melihat Ang I Niocu, binatang ini mengeluarkan suara lagi, terdengar menggelogok. Kakinya lalu berkelojotan keras seperti hendak meronta-ronta, kemudian menjadi lemas. Binatang itu telah menjadi bangkai.
Dengan sinar mata tajam berapi-api, Ang I Niocu memandang kepada orang-orang yang berada di tempat itu, yang semuanya berdiri seperti patung dan memandang kepadanya dengan sinar mata menantang. Di dekat kuda itu berdiri tiga orang wanita, yaitu seorang nenek dan dua orang gadis. Sekali pandang saja Ang I Niocu mengenal mereka.
Nenek itu bukan lain adalah Koai-tung Toanio tokoh besar Kong-thong-pai dan dua orang gadis itu adalah anak-anaknya yang terkenal dengan sebutan Kim-jiu Siang-eng Kwan Ci-moi! Tiga orang wanita itu dahulu pernah bertempur dengannya ketika ia melakukan perjalanan bersama Gan Tiauw Ki.
Apakah kehendak tiga orang wanita yang sekarang datang bersama serombongan orang yang berpakaian seperti pasukan pemerintah? Dulu tiga orang wanita ini sengaja mencari gara-gara dan memusuhinya. Kini, begitu muncul mereka agaknya sengaja membunuh kudanya Pek-hong-ma, apakah artinya semua ini?
Saking marahnya melihat Pek-hong-ma sudah dibunuh orang, Ang I Niocu membentak sambil menudingkan pedang yang sudah dicabutnya ke arah tiga orang wanita itu.
“Kalian ini tiga siluman wanita ibu dan anak mengapa selalu memusuhiku? Dahulu kalian sudah menjadi pecundang, kenapa ada orang-orang begitu tidak tahu malu, menimpakan sakit hati kepada kudaku? Sungguh keji dan pengecut besar!”
Koai-tung Toanio yang dahulu pendiam sekarang nampak marah sekali. Ia menudingkan tongkatnya ke arah Ang I Niocu dan berkata marah,
“Manusia keji Ang I Niocu! Baru saja kau telah membunuh anak-anakku Kwan Liong dan Kwan Bi Hoa, masih saja kau berkata tidak punya kesalahan terhadap kami? Manusia celaka, dulu kau melakukan penghinaan terhadap kami masih boleh kami lupakan, akan tetapi sekarang, kau berani membunuh mati kedua orang anakku beserta kawan-kawan mereka. Benar-benar aku tak bisa hidup bersamamu di muka bumi ini, seorang di antara kita harus mampus sekarang dan di sini juga!”
Ang I Niocu kaget dari baru sekarang ia melihat beberapa di antara pelayan yang tadi ia bubarkan berada di situ, berlutut dan bajunya robek-robek, agaknya tadi dicambuki dan disuruh mengaku. Tidak tahunya dua orang Min-san Sam-kui adalah anak dari Koai-tung Toanio atau kakak-kakak dari dua orang gadis yang sekarang menghadapinya bersama mereka.
Dia menjadi marah. Meski pun tiga orang wanita itu datang bersama pasukan yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, semuanya nampak tegap-tegap dan merupakan tentara yang terlatih, dia sama sekali tidak menjadi gentar.
“Pantas... pantas...! Hari ini aku bertemu dengan keluarga besar penjahat dan pengecut! Majulah kalian, biar aku tidak kepalang tanggung dan biar pedangku kenyang dan puas membabat iblis-iblis bermuka manusia!”
Pada lain saat Ang I Niocu sudah dikeroyok dan sebuah pertempuran yang seru segera terjadi di lapangan itu. Saking marahnya melihat kuda kesayangannya dibunuh, kini Ang I Niocu mengamuk hebat.
Dia mengeluarkan ilmu pedangnya Sian-li Kiam-sut atau ilmu Pedang Tari Bidadari, yang nampaknya indah akan tetapi sangat berbahaya bagi lawan. Sukar sekali mata mengikuti gerakan-gerakannya, nampaknya hanya sebagai seorang dewi cantik menari-nari, tetapi pada sekeliling tubuh dewi ini nampak sinar terang. Inilah sinar pedang yang menyambar-nyambar tanpa dapat diketahui ke mana gerakan berikutnya sehingga musuh yang begitu banyaknya itu menjadi bingung dan pengeroyokan menjadi kacau-balau.
Akan tetapi, para pengeroyok sekarang ini jauh bedanya kalau dibandingkan dengan para pengeroyok di puncak gunung tadi. Tadi para pengeroyok Ang I Niocu hanya terdiri dari kaum perampok yang kasar dan dalam pertempuran hanya mengandalkan tenaga besar belaka.
Kali ini para pengeroyok yang membantu Koai-tung Toanio dan kedua orang anaknya itu adalah pasukan terlatih dari Gubernur Lie Kong, yaitu gubernur yang mempunyai cita-cita untuk memberontak di Propinsi Shansi. Mereka ini terdiri dari prajurit-prajurit pilihan yang sedikit banyak mengerti ilmu silat, maka pengepungan dan penyerbuan mereka teratur sekali. Mereka dapat bekerja sama, baik dalam penyerangan mau pun dalam pertahanan sehingga sebegitu lama Ang I Niocu masih belum berhasil merobohkan seorang lawan pun, sedangkan pengepungan makin lama semakin rapat.
Baru beberapa jam yang lalu, Ang I Niocu telah melakukan pertempuran hebat, dikeroyok oleh banyak orang dan di dalam pertempuran membasmi kawanan perampok di Gunung Min-san itu telah membutuhkan banyak tenaga. Oleh karena itu, ia sudah amat lelah.
Sekarang, dia menghadapi keroyokan musuh yang lebih tangguh, tentu saja keadaannya menjadi terancam. Akan tetapi Ang I Niocu adalah seorang gadis yang tak mengenal apa artinya takut. Sedikit pun dia tidak menjadi gentar dan khawatir, bahkan kini pedangnya diputar makin cepat sehingga dalam beberapa gebrakan saja ia berhasil merobohkan tiga orang anggota pasukan yang mengepungnya.
Hasil ini membuat para pengepungnya terkejut dan kacau-balau, ada pun semangat Ang I Niocu justru bertambah besar. Biar pun kaki tangannya sudah terasa lemas, ia memaksa diri, memutar-mutar pedangnya dengan gerakan-gerakan lincah sekali sehingga kembali ia merobohkan dua orang.
“Serbu dan bunuh saja!” Koai-tung Toanio kini berseru keras dengan hati penasaran dan marah sekali.
Tadinya dia memang berpesan kepada anak buah pasukan itu untuk menangkap Ang I Niocu hidup-hidup, karena ia mempunyai maksud untuk menyerahkan gadis baju merah itu kepada majikan mudanya, yakni Lie Kian Tek si putera gubernur. Akan tetapi melihat sepak terjang Ang I Niocu yang demikian hebat, dia lalu merubah niatnya. Orang dengan kepandaian seperti gadis baju merah ini kiranya tidak mungkin ditawan hidup-hidup.
Benar saja, sesudah dia mengeluarkan aba-aba ini, para anak buah pasukan yang juga khawatir akan menjadi korban jika berlaku lemah terhadap gadis cantik jelita yang kosen itu, kini mulai mendesak dengan serangan-serangan maut. Sekarang barulah Ang I Niocu dapat didesak, karena dia betul-betul harus menjaga diri terhadap desakan dan serangan puluhan batang senjata yang melancarkan serbuan-serbuan mengancam keselamatan itu. Betapa pun juga, dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan dan bila mana saja terdapat lowongan, pasti pedangnya merobohkan seorang dua orang lawan.
Namun, pasukan itu adalah pasukan terlatih dan di dalam ketentaraan Gubernur Shansi, pasukan ini disebut Pasukan Maut. Mereka itu sudah dilatih, tidak saja latihan jasmani, akan tetapi juga dilatih untuk bertempur sampai orang terakhir!
Menghadapi pasukan yang semuanya tidak takut mati ini, Ang I Niocu menjadi kewalahan juga. Akan tetapi ia pun tidak mengenal artinya takut atau mundur. Bagaikan seekor naga betina dia mengamuk, pedangnya berkelebat-kelebat dan tubuhnya menyambar ke sana ke mari, sepak-terjangnya benar-benar hebat.
Meski pun Ang I Niocu mengerti bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, tak mungkin ia bisa menewaskan sekian banyaknya lawan dan akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan roboh, namun ia masih belum mau menyerah dan tidak sudi melarikan diri sebelum tenaganya habis betul-betul!
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras, “Kaum pemberontak hina dina sungguh tak tahu malu mengandalkan orang banyak mengeroyok seorang dara!”
Muncullah seorang pemuda gagah perkasa yang diiringi oleh belasan orang berpakaian seperti jago-jago silat. Sikap mereka gagah bukan main dan atas isyarat pemuda gagah itu, mereka lantas menyerbu dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka serupa, menandakan bahwa mereka ini datang dari satu partai, ilmu pedang yang menyambar-nyambar dari kanan ke kiri dan sebaliknya, dibarengi bentakan-bentakan nyaring.
Ang I Niocu seperti pernah melihat ilmu pedang seperti ini, kalau tidak salah ilmu pedang partai Bu-tong-pai. Sebentar saja pasukan Gubernur Lie menjadi kalang-kabut dan Ang I Niocu kini hanya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan dua orang gadisnya saja. Walau pun kedatangan pemuda tampan gagah bersama kawan-kawannya itu merupakan pertolongan baginya, namun diam-diam Ang I Niocu merasa mendongkol sekali.
Gadis ini memang mempunyai watak yang tinggi hati dan tidak mau kalah. Meski pun berada dalam keadaan bahaya dia tidak mengharapkan pertolongan orang lain, apa lagi pertolongan serombongan orang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya.
Salah seorang di antara dua gadis puteri Koai-tung Toanio yang melihat datangnya bala bantuan ini, memaki marah dan kecewa, “Dasar perempuan jalang, di mana-mana ada laki-laki yang membantu. Cih, tak tahu malu!”
Mendengar makian ini, naiklah darah Ang I Niocu. Tanpa mempedulikan serangan lain, pedangnya menyambar ke arah orang yang memakinya. Ketika tongkat Koai-tung Toanio menyodok dadanya, ia tidak mengelak dan juga tidak mau menunda serangannya, hanya menyampok dengan tangan kiri.
Tongkat itu terpental, akan tetapi Ang I Niocu merasa lengannya sakit sekali. Ia menggigit bibir, lantas melanjutkan serangannya sampai ujung pedangnya mengenai pundak gadis yang memakinya tadi. Gadis itu memekik dan roboh dengan pundak kanan hampir putus!
Koai-tung Toanio dan puterinya yang seorang lagi cepat mendesak sehingga Ang I Niocu tidak punya kesempatan untuk mengirim tusukan kedua, namun ia telah puas, wajahnya berseri dan ia melayani para pengeroyoknya dengan tenang. Ketika ia melihat pemuda gagah yang membantunya mengamuk hebat dan berada dekat dengan tempat di mana ia bertempur, ia pun berseru kepada pemuda itu, “Aku tidak membutuhkan bantuan kalian. Pergilah!”
Pemuda itu tertegun dan menengok, mengeluarkan seruan kaget dan menjauhkan diri dari pertempuran, berdiri seperti patung memandang kepada Ang I Niocu dengan penuh kekaguman. Agaknya baru kini ia melihat wajah orang yang dibantunya dan penglihatan ini membuat ia tercengang.
Melihat ini, Ang I Niocu makin mendongkol. Gadis ini sudah terlalu sering menyaksikan laki-laki berlaku seperti itu apa bila memandang kepadanya dan ia menjadi mendongkol sekali, di samping keinginan hendak mempermainkan laki-laki yang tergila-gila padanya. Senyumnya penuh ejekan dan ia sengaja memainkan ilmu silatnya dengan gerakan dan gaya yang indah sekali seperti orang menari-nari.
Ada pun Koai-tung Toanio yang melihat betapa pihaknya jadi terdesak dan jatuh banyak korban, segera memberi aba-aba keras dan ia sendiri menyambar tubuh puterinya yang terluka, lalu melarikan diri dari tempat itu.
Ang I Niocu yang sudah lelah bukan main tentu saja tidak mau mengejar. Demikian pula orang-orang yang datang membantunya tidak mau mengejar pula.
Semua orang itu kini menoleh dan memandang kepada Ang I Niocu dengan sinar mata kagum, bukan hanya kagum melihat ilmu silat gadis ini saja, akan tetapi terutama sekali kagum akan kecantikannya yang memang jarang bandingnya itu. Melihat ini, Ang I Niocu tersenyum mengejek lalu memutar tubuhnya dan lari dari tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada mereka!
Melihat ini, pemuda tampan dan gagah tadi segera melompat dan mengejarnya sambil berseru, “Lihiap yang gagah perkasa, harap kau tunggu dulu, mari kita bicara!”
Akan tetapi Ang I Niocu hanya menoleh sebentar dan berkata, “Aku tidak ada urusan dengan kau!” Dan ia berlari terus, kini makin cepat.
Pemuda itu penasaran mengerahkan ginkang-nya. Sekali melompat dia sudah maju dua puluh kaki lebih! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu pun melompat, bahkan lebih jauh dari pada lompatannya.
“Nona yang baik, harap kau berhenti dulu, aku hanya ingin berkenalan!” serunya pula, akan tetapi Ang I Niocu tidak mempedulikannya, bahkan mempercepat larinya.
Pemuda itu masih hendak mengejar sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, akan tetapi sia-sia. Gadis itu dapat berlari lebih cepat dan sebentar saja sudah lenyap di balik gunung!
Terpaksa kini Ang I Niocu melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Setelah melihat bahwa pemuda tampan itu tidak mengejarnya lagi, baru terasa olehnya betapa lelahnya setelah dua kali berturut-turut ia melakukan pertempuran hebat tadi.
Ia berhenti dan duduk beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Dengan ujung lengan bajunya, disusutnya peluh yang membasahi leher dan jidatnya. Matahari telah tenggelam di barat dan keadaan sudah mulai gelap. Tak terasa pula senja telah lewat dan malam sudah di ambang pintu.
Di samping kelelahan yang sangat, baru sekarang Ang I Niocu merasa lapar sekali. Sejak pagi ia belum makan dan sehari penuh hanya bertempur saja. Lengan kirinya sekarang terasa sakit sekali, akibat benturan dengan tongkat Koai-tung Toanio tadi. Kemudian ia teringat lagi akan kudanya yang sudah mati.
Celaka sekali! Dengan kehilangan Pek-hong-ma berarti ia pun kehilangan segala-galanya yang menjadi bekal. Pakaian, uang dan lain-lain semua ada di punggung Pek-hong-ma dan sekarang semua itu hilang.
Ang I Niocu mengerutkan keningnya, wajahnya muram. Semenjak ikut ayahnya, ia selalu dimanja dan selalu terpenuhi apa yang menjadi kehendaknya, belum pernah kekurangan makan dan pakaian. Sekarang, dia seorang diri dan lelah serta lapar. Setelah kehilangan segalanya, ia merasa sengsara sekali.
Tak terasa lagi air matanya jatuh bertitik ketika ia tiba-tiba teringat kepada ayahnya dan kepada Gan Tiauw Ki. Ketika masih tinggal di gedung ayahnya, belum pernah ia merasa selelah dan selapar ini. Pada saat ia melakukan perjalanan-perjalanan dengan Tiauw Ki, betapa jauh bedanya dengan sekarang. Dengan Gan Tiauw Ki ia mengalami perjalanan yang penuh madu, penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Tiba-tiba dia bangkit berdiri, “Alangkah bodohku, susiok-couw akan marah kalau melihat aku selemah ini...” pikirnya.
Ia berjalan lagi, menuju ke sebuah dusun yang atap-atap rumahnya sudah kelihatan dari situ. Sebelum cuaca menjadi gelap ia harus sudah berada di dusun itu kalau ia tidak mau tidur di tengah hutan.
Alangkah herannya ketika ia tiba di luar dusun, ia disambut oleh semua penduduk dusun, di sana-sini terdengar seruan!
“Ang I Niocu...! Dia sudah datang... Sambut Ang I Niocu, pendekar kita yang mulia...”
Setelah memandang lebih teliti baru Ang I Niocu tahu bahwa di antara para penyambut itu terdapat bekas-bekas pelayan di pesanggrahan perampok. Tentu mereka inilah yang sudah mengabarkan tentang pembasmian terhadap para perampok itu. Kepala kampung itu, seorang laki-laki setengah tua yang berkumis panjang, mengepalai penyambutan dan menjura dengan penuh hormat kepadanya.
“Lihiap yang mulia, telah bertahun-tahun kami hidup dalam ketakutan dan penindasan kaum perampok di Min-san. Bahkan ada beberapa orang muda dusun kami diculik, selain harta benda kami. Kini muncul Lihiap yang gagah perkasa, yang telah membasmi mereka dan berarti membebaskan kami dari cengkeraman perampok jahat. Benar-benar Thian telah mengirimkan Lihiap sebagai seorang dewi untuk menolong kami yang sudah lama memohon kemurahan dan keadilan Thian.” Setelah berkata demikian, kepala kampung itu berlutut di depan Ang I Niocu, diturut oleh semua orang kampung.
Akan tetapi, ketika mereka mengangkat kepala, ternyata dara baju merah itu telah lenyap! Tentu saja mereka heran dan kagum sekali, dan sekali lagi mereka berlutut, mengira bahwa gadis yang cantik luar biasa dan bisa ‘menghilang’ itu benar-benar seorang dewi kahyangan utusan dari langit! Semenjak hari itu, orang sekampung sering kali memasang hio, memuja kepada dewi penolong baju merah itu…..
********************
Ada pun Ang I Niocu dengan bersungut-sungut berlari cepat meninggalkan kampung itu. Dasar awak lagi sial, gerutunya. Ia sama sekali tak mau melayani sambutan orang-orang kampung yang menganggapnya bagaikan dewi itu, karena ia maklum bahwa apa bila ia melayani mereka, akan berarti ia tidak tidur lagi semalam suntuk.
Tentu orang-orang kampung akan mengerumuninya, akan memujanya, dan ia pun akan menjadi pusat perhatian orang belaka. Padahal ia melakukan pekerjaan di puncak bukit tadi, secara mati-matian membasmi perampok, sama sekali bukan untuk mencari muka atau mencari nama. Disambut secara demikian oleh kepala kampung dan penduduknya, bukan menjadi girang, sebaliknya Ang I Niocu menjadi mendongkol kemudian pergi tanpa pamit.
Malam hari itu Ang I Niocu terpaksa tidur di atas pohon di dalam hutan, dan perutnya yang berteriak-teriak kelaparan itu ia diamkan dengan beberapa butir buah apel. Ia tidak mengira bahwa perbuatannya membasmi Min-san Sam-kui dan anak buahnya di Gunung Min-san itu telah menggemparkan dunia kang-ouw sehingga sekaligus nama Ang I Niocu disebut-sebut orang! Ia dianggap sebagai tokoh hebat yang baru muncul ke dalam dunia kang-ouw.
Dengan melakukan perjalanan cepat, dua pekan kemudian Ang I Niocu sudah tiba di kaki Pegunungan Kim-san. Dari keterangan seorang penduduk dusun di kaki pegunungan ini, ia mendapat tahu bahwa kuil Kim-san-pai berada di puncak yang sebelah kiri. Ang I Niocu langsung mendaki puncak ini.
Baru saja ia tiba di lereng, ia mendengar suara orang-orang dari bawah dan dilihatnya lima orang tosu berlari-lari mendaki puncak itu. Dua orang di antara mereka memondong tubuh dua orang tosu tua yang wajahnya amat pucat dan matanya dipejamkan, agaknya terluka atau sakit payah.
Melihat Ang I Niocu berdiri di pinggir jalan memandang mereka, lima orang tosu itu balas memandang dengan sinar mata bercuriga. Kemudian dua orang yang memondong kedua tosu terluka tadi berlari terus, sedangkan yang tiga orang berhenti di depan Ang I Niocu.
Ang I Niocu yang melihat cara lima orang tosu tadi berlari cepat, maklum bahwa dia kini sedang berhadapan dengan orang-orang berkepandaian tinggi, maka ia lalu menjura dan berkata,
“Mohon, tanya, apakah betul jalan ini menuju ke kuil dari Kim-san-pai? Apakah Sam-wi Totiang juga hendak ke sana?”
Mendengar pertanyaan Ang I Niocu yang ramah itu, kecurigaan tiga orang tosu tadi jadi berkurang. Seorang di antara mereka, yang tertua dan berusia kurang lebih empat puluh tahun, memberi hormat dan menjawab,
“Tak salah dugaan Nona, ini memang jalan menuju ke kuil Kim-san-pai dan pinto bertiga memang betul sedang menuju ke sana sebab pinto bertiga merupakan tosu-tosu anggota Kim-san-pai. Tidak tahu siapakah Nona ini dan apakah maksud penghormatan kunjungan Nona ini?”
“Aku adalah... hemm, orang-orang memanggilku Ang I Niocu, dan aku datang ke sini atas perintah susiok-couw-ku, Bu Pun Su.” Ang I Niocu tidak mau memperkenalkan namanya sendiri karena ia memang lebih suka namanya tak diketahui orang dan lebih suka dikenal sebagai Ang I Niocu.
Nama Ang I Niocu baru saja terkenal, ada pun para tosu Kim-san-pai itu belum pernah mendengarnya, maka nama ini tidak mendatangkan apa-apa. Akan tetapi pada saat Ang I Niocu menyebutkan nama Bu Pun Su, berubah wajah mereka dan berseri pandang mata mereka. Otomatis ketiganya lalu memberi hormat dengan membungkuk.
“Maafkanlah, pinto bertiga tidak tahu bahwa Niocu adalah utusan Sin-taihiap Bu Pun Su. Marilah kami antarkan Niocu bertemu dengan Suhu, karena kebetulan sekali pinto bertiga juga mau menghadap Suhu.”
Sesudah berkata demikian, tiga orang tosu itu segera berlari cepat mendaki puncak itu, nampaknya terburu-buru sekali.
“Maaf, Nona, pinto bertiga jalan di depan!” kata tosu tadi sambil menoleh.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia sudah tidak dapat melihat lagi nona yang tadi ditinggalkannya. Hanya bayangan merah berkelebat melewati mereka dan sebentar saja bayangan merah tadi sudah jauh di atas!
“Hebat... !” tosu itu menarik napas panjang dan berkata kepada dua orang kawannya, “melihat kepandaiannya, dia betul-betul utusan Sin-taihiap Bu Pun Su dan agaknya nama baik Kim-san-pai akan dapat tercuci bersih!” Ia lalu mengajak dua orang kawannya untuk cepat-cepat mengejar ke puncak.
Ketika tiga orang tosu itu sudah di puncak dan memasuki kuil besar yang berada di situ, mereka melihat semua tosu sudah berkumpul di ruangan besar, bahkan guru mereka juga sudah berada di situ. Ada pun Nona Baju Merah tadi hanya duduk agak jauh tidak berani mengganggu karena guru besar Kim-san-pai sedang sibuk memeriksa dua orang tosu yang terluka.
Tiga orang tosu yang baru datang mendapat jalan dan segera masuk ke tengah ruangan di mana guru mereka bersila di lantai sedang memeriksa dua orang anak murid yang tadi dipondong naik.
“Suhu...!” tiga orang tosu ini berlutut.
Kakek yang memeriksa tosu-tosu terluka tadi memandang. Ternyata dia adalah seorang tosu tua. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih akan tetapi dia masih kelihatan sehat dan kuat. Keningnya berkerut dan pandang matanya suram, tanda bahwa ia sedang menahan ketidak senangan hatinya.
“Siauw Seng Cu, coba kau ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi atas diri kedua orang susiok-mu ini,” kata kakek itu yang ternyata bukan lain adalah Thian Beng Cu, ketua dari Kim-san-pai. Berbeda dengan partai lain, para tosu di Kim-san-pai menggunakan nama dengan huruf belakang Cu semua, dari ketuanya sampai tosu pelayan.
Siauw Seng Cu, yakni tosu yang tadi bercakap-cakap dengan Ang I Niocu, lalu bercerita. Untuk mengetahui lebih jelas tentang pertentangan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, baiklah kita meninjau keadaan antara kedua partai itu dan apa sebabnya kedua partai itu sampai bermusuhan.
Kim-san-pai dan Bu-tong-pai berdekatan, hanya berbeda puncak saja akan tetapi masih satu daerah pegunungan, yakni pegunungan Bu-tong-san. Bahkan kalau melihat riwayat dahulu, Kim-san-pai masih ada hubungan dengan Bu-tong-pai, oleh karena pendiri dari Kim-san-pai adalah sute dari pendiri Bu-tong-pai, jadi ilmu silat mereka masih berasal dari satu sumber. Tentu saja ratusan tahun kemudian, ilmu silat itu lalu berkembang biak dan mengalami banyak perubahan sehingga akhirnya banyak perbedaannya, masing-masing mempunyai corak dan kelihaian sendiri.
Asal mulanya kakak beradik seperguruan, yang satu pendiri Bu-tong-pai dan satu lainnya pendiri Kim-san-pai, hanya terpisah puncak sebagai tempat bertapa. Tapi kemudian para murid mereka setelah berkembang biak, mempunyai perbedaan dalam kepercayaan atau agama. Kalau pihak si suheng itu anak muridnya menganut Agama Buddha, adalah anak murid si sute menganut Agama To.
Inilah kiranya yang menjadi jurang pemisah hingga akhirnya timbul dua partai persilatan yang berbeda sekali, yakni Bu-tong-pai yang menganut Agama Buddha dan Kim-san-pai penganut Agama To. Ratusan tahun kemudian, di puncak Bu-tong-san berdiri kelenteng besar di mana dipuja patung Buddha dan penghuni atau pendeta-pendetanya yakni anak murid Bu-tong-pai, terdiri dari hwesio-hwesio gundul. Dan sebaliknya, di puncak Kim-san berdiri kuil besar dari Agama To dan anak-anak murid Kim-san-pai adalah tosu-tosu yang mempunyai nama akhir huruf Cu.
Selama ratusan tahun, hubungan antara kedua partai ini baik saja. Sungguh pun berbeda agama, akan tetapi mereka tak mau saling menyinggung, juga tak mau saling mengejek, walau pun tak boleh dibilang bahwa hubungan mereka itu erat dan baik pula. Pendeknya, kedua pihak sadar bahwa di antara mereka masih ada hubungan saudara seperguruan, dan untuk menjaga agar jangan sampai terjadi salah paham, sengaja kedua pihak saling menjauhi dan hanya ‘saling mendoakan’ saja dari jauh!
Akan tetapi, kurang lebih dua tahun yang lalu, mulailah terjadi permusuhan antara dua partai yang bersaudara ini. Di kaki pegunungan Bu-tong-san, di sebuah dusun terdapat dua orang pemuda kakak beradik Lai Tek dan Lai Seng. Semenjak kecil Lai Tek menjadi anak murid Kim-san-pai, sedangkan Lai Seng pada waktu sedang menggembala kerbau, dibawa oleh seorang hwesio Bu-tong-pai yang melihat bakat baik di dalam dirinya dan selanjutnya Lai Seng menjadi murid Bu-tong-pai.
Setelah tamat mempelajari ilmu silat di Kim-san-pai, Lai Tek pulang ke dusunnya sambil membawa kepandaian tinggi dan dia menjadi petani menggantikan pekerjaan ayahnya. Ada pun Lai Seng dibujuk oleh gurunya untuk masuk menjadi hwesio sebab oleh gurunya dianggap bahwa murid ini hanya akan memperoleh kebahagiaan hidup abadi apa bila suka menjadi hwesio.
Lai Seng tidak mau menerima bujukan ini, bahkan minggat dari Bu-tong-pai dan pulang ke dusunnya, di mana dia membantu pekerjaan kakaknya yang tentu saja girang sekali melihat adiknya pulang sudah menjadi seorang pandai pula.
Sayang sekali bahwa watak Lai Seng jauh bedanya dengan kakaknya. Lai Tek seorang yang amat jujur dan berbudi baik, menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan. Sebaliknya setelah turun gunung, Lai Seng menjadi ‘binal’ dan mulailah melakukan hal-hal yang tidak patut. Bahkan dia berani mengandalkan kepandaiannya untuk mengganggu anak gadis orang dan minta harta secara paksa setengah merampok.....
Komentar
Posting Komentar