ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-25


Akan tetapi, Lai Seng ternyata tidak kapok dan masih sering kali melanggar, sungguh pun kini secara bersembunyi supaya jangan diketahui kakaknya. Lai Tek maklum di dunia ini dia hanya mempunyai adiknya itu seorang sebagai anggota keluarganya, maka dia juga tak mau main keras, hanya kadang-kadang memberi nasehat dengan pengharapan kelak adiknya yang masih muda itu dapat merubah kesalahannya.

Pada suatu hari, pada waktu Lai Tek sedang bekerja di sawahnya, seorang tetangganya datang berlari-lari dan memberi tahu bahwa adiknya tengah bertempur dengan dua orang hwesio gundul. Lai Tek segera meninggalkan paculnya di tengah sawah. Dengan kedua kaki tangan masih penuh lumpur, ia berlari pulang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat Lai Seng roboh, terpukul oleh dua orang hwesio itu tepat pada saat ia datang.

“Keparat gundul, kau membunuh adikku?” bentaknya sambil menyerang.

Dua orang hwesio itu melompat mundur. “Nanti dulu, Sicu. Pinceng berdua datang untuk menghukum seorang anak murid Bu-tong-pai yang sudah menyeleweng dan melakukan kejahatan. Harap kau jangan mencampuri urusan pinceng.”

Lai Tek maklum bahwa dua orang hwesio ini tentu orang-orang Bu-tong-pai yang datang menghukum Lai Seng. Akan tetapi pada saat itu perasaan kasih sayang terhadap adiknya yang disertai oleh kesedihan besar melihat adiknya menggeletak mati itu sudah menutup semua pertimbangan Lai Tek.

“Dia itu adik kandungku, bagaimana tidak boleh ikut campur? Hwesio keji, semenjak lahir dia itu sudah menjadi adikku, sedangkan dia baru menjadi murid Bu-tong-pai setelah dia sudah besar. Kalian membunuhnya secara keji tanpa minta pertimbanganku terlebih dulu. Hutang nyawa harus dibayar nyawa pula!”

Sesudah berkata demikian, Lai Tek mengambil pedangnya dan menyerang kedua orang hwesio itu. Tingkat kepandaian Lai Tek memang sudah tinggi, ada pun serangannya itu dilakukan dalam keadaan nekad dan marah sekali.

Dalam sebuah pertempuran mati-matian, akhirnya seorang hwesio Bu-tong-pai tewas di tangan Lai Tek dan hwesio ke dua melarikan diri, memberi laporan kepada para pimpinan Bu-tong-pai.

Lo Beng Hosiang, Bu-tong-san Ciangbunjin adalah seorang kakek yang sabar dan alim. Mendengar laporan ini, ia menarik napas panjang dan berkata,

“Lai Tek membalas sakit hatinya oleh karena dia melihat adiknya dihukum mati, itu sudah sewajarnya. Hanya sayang sekali dia sebagai seorang gagah tidak menjunjung keadilan, tidak rela melihat adiknya dihukum padahal adiknya itu jelas-jelas sudah menjadi seorang penjahat pengganggu rakyat. Akan tetapi, perbuatannya itu bukan berarti bahwa dia pun jahat, hanya dia tidak dapat melepaskan kasih sayangnya terhadap adiknya. Apa lagi dia itu masih anak murid Kim-san-pai. Oleh karena itu, biarlah urusan ini dihabiskan saja, tak perlu diperpanjang.”

Akan tetapi, para hwesio lainnya diam-diam tidak menyetujui pendapat ini dan beberapa orang hwesio yang merasa penasaran, diam-diam lalu pergi naik ke puncak Kim-san-pai, menjumpai ketuanya dan menyampaikan protes.

Thian Beng Cu, ketua Kim-san-pai yang sudah tua itu, mendengarkan protes para hwesio Bu-tong-pai dengan tenang, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata,

“Baiklah, pinto akan memanggil Lai Tek dan akan minta pertanggungan jawabnya. Kalau memang betul dia bersalah, pasti pinto akan menghukumnya. Harap sampaikan salam pinto kepada Lo Beng Hosiang dan semoga kelak dia tidak sampai keliru memilih murid.”

Kata-kata ini seakan memperingatkan bahwa gara-gara semua peristiwa itu adalah akibat kesalahan pihak Bu-tong-pai dalam memilih murid. Inilah kata-kata mengandung sindiran yang memperingatkan bahwa kesalahan bukan berada di pundak pihak Kim-san-pai dan semua ini sebetulnya adalah sudah sepatutnya.

Para hwesio Bu-tong-pai yang mendengar ini pun dapat mengerti, maka mereka sudah merasa puas mendengar janji dari Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai bahwa Lai Tek akan diadili. Sambil menghaturkan terima kasih mereka turun dari puncak Kim-san dan pulang ke Bu-tong-san.

Akan tetapi, ketika pada keesokan harinya atas perintah Thian Beng Cu, tiga orang tosu Kim-san-pai mendatangi dusun tempat tinggal Lai Tek untuk memanggil pemuda ini ke Kim-san-pai, mereka mendapatkan Lai Tek telah menggeletak di kamarnya dengan tubuh rusak dicacah-cacah senjata tajam dan pada tembok kamarnya terdapat tulisan dengan huruf darah.

Mampuslah Lai Tek, anak murid partai peniru Bu-tong-pai!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati ketiga orang tosu itu. Tanpa memberi tahukan guru mereka lagi, mereka segera menyerbu Bu-tong-pai dan di sana mereka menantang. Mereka merasa yakin bahwa yang membunuh Lai Tek pasti orang-orang Bu-tong-pai.

Terjadi pertempuran di puncak Bu-tong-san. Akan tetapi tiga orang tosu yang tingkatnya hanya ke tiga ini tentu saja kalah oleh hwesio Bu-tong-pai yang tentu saja mengajukan jago yang lebih tinggi tingkatnya. Dengan hati sakit dan tubuh luka-luka, tiga orang tosu itu pulang ke Kim-san-pai dan mengadu kepada Thian Beng Cu.

Ketua Kim-san-pai mengerutkan kening, meraba-raba jenggotnya yang putih, kemudian menggeleng-geleng kepalanya

“Eh, ehh, bagaimana bisa terjadi seperti ini? Mereka membunuh Lai Tek, kalau ini untuk membalaskan kematian seorang hwesio Bu-tong, itu masih tidak apa. Akan tetapi mereka menghancurkan tubuh Lai Tek, ini sungguh-sungguh tidak sesuai dengan watak seorang penganut agama! Dan mereka menuliskan kata-kata menghina, hemm, dalam hal apakah partai Kim-san-pai meniru Bu-tong-pai?”

“Dan mereka itu tidak mau mengakui bahwa mereka yang membunuh Lai Tek, Suhu,” kata seorang di antara tiga orang tosu itu.

Thian Beng Tosu mengangguk-angguk. “Bisa dimengerti... bisa dimengerti. Sudah tentu saja Lo Beng Hosiang dan lain-lain tokoh Bu-tong-pai tak akan mau mengakui perbuatan rendah itu dan mungkin sekali pekerjaan busuk itu dilakukan secara diam-diam oleh salah seorang murid Bu-tong-pai. Akan tetapi baiklah kita tunggu, tentu Lo Beng Hosiang akan berusaha menangkap pembunuh Lai Tek itu.”

Demikianlah, ketua kedua pihak sama-sama bersikap sabar dan tidak mau memperbesar urusan itu. Akan tetapi anak buah kedua pihak makin panas hati dan semenjak hari itu, sering kali terjadi bentrokan di antara anak-anak murid Bu-tong-pai dan anak-anak murid Kim-san-pai.

Ada pun lima orang tosu yang bertemu di lereng gunung dengan Ang I Niocu itu, mereka adalah tosu-tosu Kim-san-pai. Dua orang yang terluka adalah Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, yaitu dua orang sute dari Thian Beng Cu, sedangkan yang tiga orang lagi adalah murid-murid Thian Beng Cu yang sudah tinggi kepandaiannya.

Tujuh orang tosu ini tadinya diutus oleh Thian Beng Cu untuk mewakilinya, berangkat ke Bu-tong-pai untuk berunding dengan pihak Bu-tong-pai yang maksudnya mendamaikan urusan pertikaian antara anak-anak murid kedua pihak itu. Akan tetapi sebelum sampai di kuil para hwesio Bu-tong-pai, baru saja tiba di lereng bukit, kebetulan mereka bertemu dengan serombongan hwesio Bu-tong-pai yang melarang mereka naik.

Karena kedua pihak memang telah mendendam, lalu diadakan pibu di lereng gunung itu. Masing-masing pihak lantas mengajukan jagonya. Untuk mencegah pihaknya mengalami kekalahan, maka Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang tosu tua itu mengajukan diri. Dari pihak Bu-tong-pai maju dua orang hwesio tua yang kosen pula.

Pertempuran berjalan sengit sekali dan akhirnya Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dapat merobohkan dua orang lawannya. Kemudian dari pihak Bu-tong-pai muncul seorang jago muda, bukan seorang hwesio. Pemuda ini lihai sekali dan melihat gerakan-gerakannya, dia itu bukanlah anak murid Bu-tong-pai, melainkan lebih tepat kalau menjadi anak murid Go-bi-pai karena ilmu pedangnya lihai sekali.

Menghadapi pemuda yang menjadi jago Bu-tong-pai ini, seorang demi seorang kedua tosu tua Kim-san-pai kena dirobohkan! Setelah dua orang susiok ini roboh, tentu saja lima orang tosu Kim-san-pai yang lainnya tidak berani maju, tahu bahwa hal itu akan percuma saja dan akan menambah besar rasa malu.

Mereka lalu menggotong tubuh dua orang tosu tua itu untuk dibawa kembali ke puncak Kim-san dan di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu. Demikian penuturan Siauw Seng Cu, murid dari Thian Beng Cu atau seorang di antara lima orang tosu tadi.

Mendengar ini, ketua Kim-san-pai nampak marah, akan tetapi masih berusaha sedapat mungkin menahan perasaannya.

“Kembali hal ini tidak ada hubungannya dengan Lo Beng Hosiang. Keributan itu terjadi di lereng Bu-tong-san dan di luar pengetahuan Lo Beng Hosiang. Pinto tak bisa ikut campur. Hal ini hanya akan mengeruhkan suasana. Sayang sekali kedua orang sute kurang dapat menyabarkan hati, bahkan sudah terjun ke dalam pertempuran sebelum bertemu dengan Lo Beng Hosiang sendiri.”

Dia menarik napas panjang, lalu menyuruh murid-muridnya membawa Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu ke dalam kamar untuk dirawat selanjutnya. Walau pun luka-luka mereka parah, akan tetapi tidak membahayakan jiwa.

Sesudah dua orang tosu yang terluka itu dibawa masuk, pandang mata Thian Beng Cu menyapu para tosu anak-anak murid Kim-san-pai yang hadir di tempat itu dan jumlahnya empat puluh orang lebih, lalu berkata,

“Kalian harus mampu menjaga diri dan menahan perasaan. Mulai hari ini, sekali-kali tidak boleh mencari gara-gara dengan pihak Bu-tong-pai. Kalau ada pihak mereka yang datang mencari gara-gara, jangan ada yang turun tangan akan tetapi cepat memberi tahu supaya pinto sendiri yang dapat membereskan!”

Di dalam kata-kata ini biar pun terkandung nasehat supaya anak murid Kim-san-pai dapat bersabar, namun bukan sekali-kali memperlihatkan sifat takut, karena kalau ada apa-apa, Thian Beng Cu sendiri hendak turun tangan. Terang bahwa tosu tua ini mengalah, akan tetapi bukan takut.

Tiba-tiba di antara pakaian para tosu yang berwarna putih, kuning dan abu-abu itu, mata Thian Beng Cu yang masih tajam melihat warna merah yang menyolok mata. Ketika dia memandang, dia terkejut dan heran bukan main melihat seorang gadis cantik jelita duduk di bagian belakang para hadirin.

“Ehh, siapakah Nona yang berada di sana?” tegurnya.

Siauw Seng Cu cepat berkata, “Maaf bahwa tadi teecu belum sempat memberi tahukan akan kedatangan seorang tamu. Dia itu adalah seorang utusan dari Sin-taihiap Bu Pun Su.”

Berseri wajah tosu tua itu dan tangannya memberi isyarat kepada semua anak muridnya supaya bubar dari ruangan itu. Kemudian ia melambai ke arah Ang I Niocu dan berkata,

“Harap jangan berkecil hati bahwa pinto tidak dari tadi menyambut, karena adanya sedikit keributan tadi. Mari, Nona, silakan duduk di sini.”

Ang I Niocu menghampiri Ketua Kim-san-pai itu dan memberi hormat. “Locianpwe, harap maafkan jika kedatanganku mengganggu. Aku diutus oleh Susiok-couw Bu Pun Su untuk bertemu dengan Locianpwe.”

“Aha, jadi Pendekar Sakti Bu Pun Su itu masih ada di dunia ini? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali kalau seorang pendekar besar dan sakti seperti dia itu masih ingat bahwa di dunia ini terdapat sebuah partai kecil seperti Kim-san-pai. Nona, siapakah namamu dan kau diutus apakah oleh Susiok-couw-mu itu?”

“Maaf, Locianpwe, maaf kalau aku tidak dapat memberi tahukan nama kecilku yang telah kulupakan. Orang menyebutku Ang I Niocu dan kedatanganku di sini adalah atas perintah Susiok-couw Bu Pun Su. Susiok-couw mendengar tentang pertikaian yang timbul antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Orang tua itu merasa prihatin sekali mendengar akan hal ini, maka mengutus aku datang ke sini untuk mohon kepada Locianpwe atau lebih luas lagi kepada pihak Kim-san-pai agar supaya suka menghentikan segala permusuhan di antara kawan sendiri yang hanya mendatangkan kerugian bersama. Susiok-couw Bu Pun Su minta agar aku menyampaikan bahwa pada saat ini, negara sedang terancam bahaya perang dari pihak pemberontak-pemberontak, dan rakyat sedang menderita karena timbul kekacauan di mana-mana. Dan oleh karena itu, perlu bagi kita semua untuk menghimpun tenaga serta memperkuat persatuan, menghapus segala macam salah paham di antara kita. Demikianlah pesan Susiok-couw dan orang tua itu mengharap supaya Locianpwe sudi mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai.”

Thian Beng Cu tersenyum dan mengangguk-angguk perlahan.

“Ang I Niocu, kau masih begini muda sudah melupakan nama sendiri, alangkah hebatnya kesengsaraan yang kau derita. Pinto hanya berharap kau akan kuat menahan ujian hidup ini dan tidak menjadi putus harapan. Karena kau yang sudah dipilih oleh Bu Pun Su untuk mewakilinya dalam urusan ini, tentu kau sudah memiliki kekuatan itu. Pandangan Bu Pun Su yang kau kemukakan tadi memang betul, akan tetapi, apa kau kira pinto sendiri tidak menyadari akan hal itu? Kalau sekiranya pinto tidak menjaga keutuhan hubungan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, apakah sejak siang-siang tidak sudah terjadi pertumpahan darah besar-besaran? Kau sudah sejak tadi berada di tempat ini, kiranya kau pun sudah mendengar sendiri peristiwa apa yang baru saja terjadi. Pinto sudah berusaha hendak mendamaikan urusan, akan tetapi sayangnya, utusan pinto bahkan dihadang di jalan dan dua orang sute-ku dilukai. Nona biar pun masih muda, akan tetapi kau adalah utusan Bu Pun Su, oleh karena itu, pinto serahkan urusan ini kepadamu untuk dibereskan. Usaha untuk damai dari pihak kami sudah cukup dan kalau dipaksakan lagi, kiranya hanya akan mendatangkan keributan saja. Biar sekarang kau yang mencoba untuk membereskan.”

Thian Beng Cu memang cerdik. Dia sama sekali tidak gentar menghadapi Bu-tong-pai, akan tetapi tadi ia mendengar bahwa kedua orang sute-nya itu dirobohkan oleh seorang anak murid Go-bi-pai. Hal ini bukan main-main, karena kalau tidak berhati-hati, bisa jadi Kim-san-pai akan bertambah seorang musuh lagi, yakni Go-bi-pai.

Kalau ini terjadi, sungguh amat berbahaya dan akan semakin membahayakan kedudukan Kim-san-pai. Oleh karena itu, setelah kini Ang I Niocu muncul sebagai utusan Bu Pun Su, biarlah dia mengoperkan tugas perdamaian itu kepada gadis ini.

Ang I Niocu menyanggupi. Pada malam hari itu Ang I Niocu mendengar penuturan para tosu Kim-san-pai tentang asal mula pertikaian itu timbul. Sementara itu, diam-diam Thian Beng Cu menyuruh salah seorang muridnya untuk pergi ke Propinsi Hokkian dan mencari seorang sute-nya yang sudah lama merantau, yakni Eng Yang Cu.

Sute-nya ini jauh lebih muda darinya, usianya paling banyak lima puluh tahun. Akan tetapi kalau dibanding tingkat kepandaiannya, kiranya Eng Yang Cu ini termasuk orang paling tinggi tingkatnya di Kim-san-pai. Memang Eng Yang Cu adalah murid yang dahulu paling disayang oleh mendiang guru mereka, dan menerima warisan ilmu yang paling banyak.

Sebetulnya, Eng Yang Cu inilah dahulunya yang dicalonkan menjadi ketua Kim-san-pai. Akan tetapi ternyata bahwa Eng Yang Cu mempunyai darah perantau dan tidak betah tinggal di puncak gunung. Oleh karena itu, terpaksa kedudukan ciangbunjin diserahkan kepada Thian Beng Cu, murid tertua dan Eng Yang Cu melakukan perantauan di Propinsi Hokkian.

Thian Beng Cu memanggil sute-nya yang boleh diandalkan itu untuk menjaga kalau-kalau usaha perdamaian gagal dan pecah pertempuran di antara kedua pihak. Hanya sute-nya inilah yang boleh ia andalkan.

Pada esok harinya, pagi-pagi sekali Ang I Niocu sudah bangun dan bersiap-siap hendak ke Bu-tong-pai. Ia telah memperoleh keterangan dan penjelasan dari Ketua Kim-san-pai, sekarang ia harus menemui Ketua Bu-tong-pai sehingga sesudah mendengar keterangan dari kedua belah pihak, akan mudah baginya untuk mendamaikan urusan ini. Ia merasa girang sekali bahwa ternyata pihak Kim-san-pai sangat bijaksana dan tidak menghendaki dilanjutkannya permusuhan itu.

“Mudah-mudahan saja pihak Bu-tong-pai juga dapat diajak berunding,” pikirnya.

Akan tetapi, sebelum ia berangkat, tiba-tiba ia melihat beberapa orang tosu berlari-larian masuk dengan muka berubah dan mendengar mereka memberi laporan kepada Thian Beng Cu bahwa ada beberapa orang hwesio Bu-tong-pai datang menyerbu Kim-san-pai. Mendengar ini, Ang I Niocu berkata,

“Locianpwe, biarkan aku menghadapi mereka!”

Ia merasa penasaran sekali dan melihat gelagat seperti ini, ia hampir menduga bahwa di dalam pertikaian itu, pihak Bu-tong-pailah yang keterlaluan!

Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Ang I Niocu turun dari puncak. Tak lama kemudian benar saja, dia dapat melihat serombongan orang mendaki puncak itu. Mereka ini terdiri dari tujuh orang hwesio gundul dan seorang pemuda yang tampan dan gagah.

Melihat sikap mereka, makin besar dugaan Ang I Niocu bahwa mereka ini sengaja datang mencari keributan, maka ia lalu mencabut pedangnya dan memegang pedang itu dengan sikap tenang dan gagah. Setelah mereka datang dekat, baru ia tahu bahwa mereka ini ialah rombongan orang-orang Bu-tong-pai yang dulu pernah membantunya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan pasukan pemberontak Lie. Pemuda itu ternyata adalah pemuda tampan yang mengejar-ngejarnya untuk berkenalan!

Ada pun ketika melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, pemuda itu serta rombongannya segera mengenalnya. Pemuda itu melompat cepat menghampirinya.

“Kau di sini, Nona...,” tegurnya dengan wajah berseri.

Akan tetapi Ang I Niocu hanya memandang kepadanya dengan muka dingin dan sinar mata menyelidik. Kemudian Ang I Niocu menghadapi tujuh orang hwesio itu dan berkata, suaranya nyaring akan tetapi halus,

“Cu-wi Suhu sekalian ini bukankah hwesio-hwesio Bu-tong-pai?”

Seorang di antara tujuh orang hwesio itu, yang tertua, menjawab,

“Betul, Nona, pinceng dan saudara-saudara pinceng ini adalah murid-murid Bu-tong-pai. Kau sendiri siapakah dan mengapa dahulu dikeroyok oleh pasukan pemberontak?”

“Aku Ang I Niocu dan urusanku dengan mereka itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Yang terpenting sekarang, kalian ini datang ke Kim-san mempunyai keperluan apakah?”

Hwesio itu nampaknya tidak senang.

“Ang I Niocu, kau bilang tadi bahwa urusanmu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Sebaliknya, urusan kami di Kim-san ini pun kiranya tak ada sangkut-pautnya denganmu!”

Ang I Niocu tersenyum dan jika tadinya di antara para hwesio itu ada yang marah, maka kemarahan itu sekaligus mencair oleh senyum yang luar biasa manisnya ini. Pemuda tampan itu sampai melongo dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Begitu hebat wajah Ang I Niocu menarik hatinya.

“Hwesio-hwesio dari Bu-tong-pai, ketahuilah. Aku sudah mendapat tugas dari Locianpwe Thian Beng Cu untuk menyelesaikan urusan pertikaian antara Kim-san-pai dengan pihak Bu-tong-pai. Sekarang aku justru hendak pergi ke Bu-tong-pai untuk menghadap Lo Beng Hosiang dan mendamaikan urusan. Akan tetapi, baru kemarin utusan Kim-san-pai yang datang ke Bu-tong-pai untuk mendamaikan urusan, telah dilukai orang…” Ang I Niocu lalu menggunakan lirikan matanya yang tajam menyambar ke arah pemuda tampan itu. “Dan melihat gelagatnya, agaknya kalian inilah yang menyerang mereka. Kini kalian datang ke sini dengan sikap aneh, membawa-bawa pula seorang jagoan. Mau apakah?”

Pemuda itu menjadi merah mukanya! Cepat ia maju dan menjura kepada Ang I Niocu, lalu bicara dengan suaranya yang halus dan sikapnya yang sopan,

“Maaf, maaf... harap Niocu sudi memberi maaf. Agaknya dalam urusan ini ada kesalah pahaman, dan antara kau dan aku kiranya ada persamaan tugas. Ketahuilah, Nona, aku Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai mewakili Susiok Twi Mo Siansu, datang ke Bu-tong-pai juga dengan maksud untuk mendamaikan urusan perselisihan antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai.”

Tiba-tiba pemuda itu menunda kata-katanya karena ia melihat betapa sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar berapi-api dan wajah gadis itu menjadi merah. Jelas sekali bahwa gadis itu marah luar biasa kepadanya.

“Ehh, Nona... kau... mengapa kau marah kepadaku?” tanyanya gagap.

Memang, Ang I Niocu marah sekali sehingga ia merasa seluruh tubuhnya tergetar-getar. Tangan yang memegang pedang menggigil dan jika ia tidak mengerahkan seluruh tenaga batin, tentu sejak tadi ia sudah menyerang pemuda di depannya ini.

Jadi inilah pemuda yang bernama Liem Sun Hauw, inilah pemuda yang disebut-sebut oleh ayahnya dahulu, pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia! Inilah pemuda yang menjadi gara-gara, menjadi biang keladi hingga ia kehilangan kekasihnya dan kehilangan ayahnya pula. Kalau tidak ada pemuda ini di muka bumi, kiranya ia tidak akan kehilangan ayahnya, dan kiranya ia akan dapat berjodoh dengan Gan Tiauw Ki.

“Kau...?!” Ketika hendak mengeluarkan kata-kata, ternyata lehernya seperti tercekik dan yang keluar hanya sebuah kata-kata itu saja.

Pemuda itu memandang heran. Ia tidak mengerti mengapa nona cantik ini begitu marah kepadanya. Akan tetapi Ang I Niocu teringat akan tugasnya, teringat bahwa dia sedang melakukan tugas yang diperintahkan oleh susiok-couw-nya Bu Pun Su. Kalau ia menuruti nafsu hatinya sehingga urusan itu menjadi kacau, tentu ia akan mendapat marah besar dari susiok-couw-nya.

Setelah dapat menekan debar jantungnya, ia berkata, melanjutkan kata-katanya tadi.

“Kau bilang hendak mendamaikan, tetapi mengapa kau justru melukai dua orang tosu Kim-san-pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke puncak Bu-tong-san? Kenapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-san-pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?”

Menghadapi tuduhan Ang I Niocu ini, Liem Sun Hauw merasa penasaran sekali. Sebagai mana telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini telah dipilih oleh Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai sebagai wakilnya memenuhi permintaan Bu Pun Su. Tugas Liem Sun Hauw adalah untuk mendamaikan pertikaian yang timbul antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.

Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan telah mendatangkan rasa kagum pada Kiang Liat sehingga pendekar itu mempunyai niat untuk memungut pemuda ini sebagai mantunya!

Setelah Liem Sun Hauw berpisah jaIan dengan Kiang Liat, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-pai yang amat jauh itu. Karena perjalanan ini melalui Propinsi Shansi, dan kampungnya hanya terletak seratus li dari jalan itu, ia hendak singgah dulu di kampungnya, Peng-kan-mui untuk memberi tahu ayahnya akan segala pengalamannya. Pemuda ini memang seorang anak berbakti dan dia tidak tega meninggalkan ayahnya seorang diri terlalu lama.

Alangkah sedihnya ketika ia mendapatkan ayahnya yang sudah tua dan duda itu ternyata sedang menderita sakit panas yang agak berat juga. Terpaksa dia harus menunda dulu perjalanannya. Tugas yang dia terima dari susiok-nya boleh jadi penting, akan tetapi lebih penting lagi menjaga dan merawat ayahnya. Oleh karena inilah maka perjalanannya jadi terlambat. Sampai lima bulan lebih ia tinggal di rumahnya untuk merawat ayahnya.

Ketika dia pergi, yang merawat ayahnya ialah Tang Siok Lan, gadis tetangga yang sudah dikenalnya semenjak kecil. Gadis ini sangat manis dan terkenal sebagai bunga kampung Peng-kan-mui, dan melihat gelagatnya, semenjak dahulu gadis itu ‘ada hati’ kepadanya. Akan tetapi, tentu saja tidak pernah menyatakan hal ini dengan kata-kata atau gerakan, hanya sinar matanya saja yang berkata banyak.

Sebaliknya, Sun Hauw juga amat suka kepada gadis itu, kawan mainnya semenjak kecil. Seperti juga dia, Siok Lan telah ditinggal mati ibunya dan. hanya hidup bersama ayahnya dan kakaknya yang sudah menikah dan tinggal satu rumah dengan ayahnya.

Sesudah Sun Hauw datang, Siok Lan mengundurkan diri dan pemuda itu yang kemudian menggantikannya merawat ayahnya sendiri. Akan tetapi boleh dibilang setiap hari Siok Lan pasti datang untuk membawa ini-itu, untuk menyatakan ini-itu, sehingga diam-diam Sun Hauw makin suka dan merasa berhutang budi kepada gadis manis itu.

Akhirnya ayahnya sembuh kembali dan Sun Hauw teringat lagi akan tugasnya. Dia lalu menceritakan semua pengalamannya pada ayahnya, kecuali tentang maksud Kiang Liat menariknya menjadi mantu.

“Berangkatlah, Sun Hauw. Sudah menjadi tugasmu untuk memenuhi perintah susiok-mu itu. Akan tetapi kau berhati-hatilah dan jangan terlalu lama pergi. Setelah tugasmu selesai kau harus segera pulang, karena aku bermaksud merayakan pernikahanmu.”

Sun Hauw kaget. “Pernikahan...?!”

Ayahnya mengangguk. “Kau sudah cukup dewasa, Sun Hauw. Dan kau melihat sendiri betapa baiknya Siok Lan. Kiranya di atas dunia ini sukar mencari keduanya. Lagi pula, bukankah dia kawan mainmu semenjak kecil? Dan bukankah kalian sudah saling suka? Aku sudah mengambil keputusan dan berdamai dengan ayahnya, perjodohan antara kau dan Siok Lan sudah kuikat. Kau kuberi waktu setengah tahun, Anakku. Ayah sudah tua dan sudah ingin melihat seorang cucu.”

Sun Hauw menundukkan kepalanya saja, tidak berani membantah. Memang harus ia akui bahwa selama ini, satu-satunya gadis yang menarik hatinya hanyalah Siok Lan seorang. Akan tetapi, mendengar ucapan ayahnya tentang perjodohannya dengan Siok Lan, ia jadi teringat akan usul Kiang Liat dan ia menjadi ragu-ragu.

Tak dapat disangkalnya bahwa Siok Lan merupakan seorang gadis pilihan. Cukup cantik manis dan ia sudah tahu dan kenal betul akan watak gadis itu yang lemah-lembut, halus dan berbudi mulia. Akan tetapi, gadis itu adalah seorang yang lemah, yang tidak pernah belajar ilmu silat sedikit pun juga!

Berbeda dengan puteri dari Kiang Liat, pendekar yang berilmu tinggi itu. Apa lagi menurut penuturan Kiang Liat sendiri, puterinya yang bernama Kiang Im Giok dan berjuluk Ang I Niocu itu, kepandaiannya bahkan lebih tinggi dari pada Kiang Liat. Padahal kepandaian Kiang Liat saja sudah tinggi sekali!

Hati Sun Hauw menjadi bimbang. Bingung ia kalau harus memilih. Siok Lan cantik jelita, berbudi baik, akan tetapi tidak pandai silat. Ang I Niocu Kiang Im Giok lihai ilmu silatnya akan tetapi ia belum pernah melihatnya, tidak tahu apakah dia itu juga cantik dan bagai mana pula wataknya.

Akan tetapi Sun Hauw tidak berani membantah. Ia tidak mau membikin ayahnya kecewa dan berduka, oleh karena itu dia tidak menyatakan sesuatu tentang perjodohan ini. Maka berangkatlah Sun Hauw menuju ke Bu-tong-san.

Ketika tiba di kaki Pegunungan Min-san, di tengah jalan ia bertemu serombongan anak murid Bu-tong-pai. Sun Hauw bermata tajam dan sekali melihat saja dia dapat menduga bahwa rombongan yang terdiri dari belasan orang ini adalah orang-orang berkepandaian silat. Maka ia menyapa mereka dan mengajak berkenalan.

Alangkah girangnya ketika mereka itu terus terang mengaku bahwa mereka adalah para anak-anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan tugas meronda. Ternyata bahwa Bu-tong-pai tidak tinggal diam dan berpeluk tangan saja melihat adanya pemberontakan-pemberontakan di berbagai tempat. Atas perintah Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai, anak-anak murid yang bukan hwesio diberi tugas melakukan penjagaan dan penyelidikan di beberapa tempat.

Min-san termasuk wilayah perbatasan Secuan-Kansu-Shensi, karena itu di tempat ini pun terdapat pula murid Bu-tong-pai yang melakukan ronda dan penjagaan. Rombongan yang bertemu dengan Sun Hauw ini adalah rombongan anak murid Bu-tong-pai yang sedang melakukan penyelidikan.

“Kebetulan sekali,” berkata Sun Hauw. “Siauwte juga sedang menuju ke Bu-tong-pai atas perintah dari Susiok Twi Mo Siansu ketua Go-bi-pai.” Dengan singkat ia lalu menuturkan tentang tugasnya.

Tentu saja rombongan Bu-tong-pai itu merasa girang. Akan tetapi mereka menyatakan bahwa pada waktu itu mereka sedang menyelidiki ke puncak Min-san, karena mendengar kabar tentang datangnya pasukan pemberontak, yakni anak buah pasukan pemberontak Lie di propinsi Shensi.

“Kami harus menyelidiki apa yang mereka lakukan di sini, dan kalau perlu mengusir mereka,” kata seorang di antara rombongan Bu-tong-pai itu.

Karena Sun Hauw juga termasuk orang yang anti pemberontak, ia segera menyatakan kesediaannya untuk membantu. Demikianlah, mereka lalu mendaki puncak Min-san dan kebetulan sekali melihat Ang I Niocu sedang dikeroyok oleh pasukan pemberontak, lalu turun tangan membantunya. Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu tidak mau menghubungi mereka dan pergi meninggalkan Sun Hauw yang sangat tertarik oleh kecantikannya.

Memang Sun Hauw benar-benar tertarik sekali. Harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang dara demikian ayu dan demikian tinggi ilmu silatnya. Tidak mengherankan apa bila ia terpesona sekali dan merasa seakan-akan semangatnya terbetot keluar mengikuti bayangan nona itu.

Diam-diam ada juga dugaan di dalam hatinya yang berdebar-debar. Nona itu berpakaian serba merah, cantik jelita dan lihai sekali. Apakah dia itu yang disebut Ang I Niocu, puteri dari Kiang Liat? Kalau teringat akan dugaan ini, Sun Hauw menjadi berdebar-debar.

Kalau betul nona itu Ang I Niocu yang hendak dijodohkan dengan dia, aduuuh! Bukan main cantiknya! Dan bukan main tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi, wataknya... mengapa demikian galak?

Bersama rombongan Bu-tong-pai ini, Sun Hauw lalu menuju ke Bu-tong-san. Kebetulan sekali, baru saja ia naik sampai di lereng puncak Bu-tong-san dan disambut oleh para hwesio penyambut, tiba-tiba seorang hwesio berlari-larian dari bawah melaporkan bahwa ada orang-orang Kim-san-pai datang menyerbu!

Sementara itu, di sepanjang perjalanan Sun Hauw telah mendengar cerita dari anak-anak murid Bu-tong-pai bahwa Kim-san-pai selalu mencari perkara dan permusuhan, dan biar pun Bu-tong-pai sudah banyak mengalah, selalu Kim-san-pai mendesak mengandalkan ilmu silatnya yang katanya lebih tinggi dari Bu-tong-pai!

Hal ini memang sudah wajar. Tiap kali ada dua pihak yang bermusuhan, masing-masing pihak tentu saja tidak mau mengaku salah, dan selalu menganggap pihak yang lain amat jahat. Siapakah orangnya yang berani mengaku dia yang salah dan pihak lawan yang benar? Orang demikian inilah betul-betul orang gagah, akan tetapi di dunia hanya ada satu setiap seribu!

Sun Hauw tidak mau berlaku ceroboh. Meski pun ia sudah mendapat kesan jelek tentang Kim-san-pai dari para anak murid Bu-tong-pai, akan tetapi ia hendak melihat dahulu dan tidak akan mencampuri kalau tidak perlu sekali. Maka ia pun ikut dengan para hwesio itu turun lagi dari lereng untuk menyambut datangnya rombongan Kim-san-pai.

Apa bila dua pihak yang bermusuhan dan di dalam hati sudah mengandung dendam dan benci saling bertemu, sukarlah untuk mengharapkan kata-kata yang baik. Suasana tentu menjadi panas sekali dan hal ini dapat dimaklumi. Ketika melihat tujuh orang tosu naik ke puncak Bu-tong-pai sambil menggunakan ilmu lari cepat, para hwesio Bu-tong-pai sudah menduga salah sehingga menuduh mereka itu sengaja memamerkan kepandaian mereka dalam ilmu lari cepat!

Kini kedua rombongan itu sudah saling berhadapan.

“Tosu-tosu sombong, mau apa kalian berani naik ke sini?” seorang hwesio Bu-tong-pai menegur. Sementara itu, semua hwesio Bu-tong-pai telah mencabut pedang dan bersiap sedia. Mereka memandang kepada para tosu itu dengan penuh curiga.

Melihat sikap bermusuhan dari hwesio-hwesio Bu-tong-pai, para tosu Kim-san-pai itu pun merasa tersinggung dan tak senang. Apa lagi kalau mereka lihat bahwa hwesio-hwesio yang menyambut mereka dengan sikap kurang ajar dan bermusuh ini bukanlah hwesio-hwesio tingkat tinggi, melainkan hwesio tingkat rendah saja.

Yang datang adalah dua orang sute dari Ketua Kim-san-pai bersama lima orang hwesio tingkat tinggi, ini merupakan rombongan orang-orang terkemuka dari Kim-san-pai. Akan tetapi kedatangan mereka disambut secara kasar oleh hwesio-hwesio dari tingkat rendah. Benar-benar hal ini merupakan penghinaan bagi Kim-san-pai.

Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, dua orang sute dari Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai mengerutkan kening. Thian Lok Cu adalah seorang tosu yang berwatak keras. Melihat sikap para hwesio itu ia lalu melangkah maju dan berkata nyaring,

“Sobat-sobat gundul, ketahuilah bahwa kami datang untuk berbicara dengan Lo Beng Hosiang, bukan untuk ribut mulut dengan kalian. Lekas kalian laporkan kedatangan kami kepada Lo Beng Hosiang atau kalian cepat menyingkir supaya kami dapat naik sendiri ke kuil Bu-tong-pai!”

“Tosu sombong! Orang macam kalian ini mau bertemu dengan guru besar kami? Kalau ada keperluan, lekas beri tahu kepada kami, bila tidak lebih baik kalian lekas-lekas pergi dari sini sebelum kami terpaksa mendorong kalian menggelundung turun!” kata seorang hwesio yang pernah menjadi pecundang dalam sebuah pertempuran dengan anak murid Kim-san-pai beberapa hari yang lalu.

Suasana menjadi makin panas ketika serombongan hwesio turun pula dari atas. Mereka ini sebagian besar adalah hwesio-hwesio tingkatan rendah yang merasa paling ‘dendam’ kepada pihak Kim-san-pai, maka ramailah mereka mengeluarkan kata-kata menantang.

Para tosu Kim-san-pai juga sudah mencabut pedang, takut kalau-kalau para hwesio yang amat banyak itu menyerbu dengan tiba-tiba. Thian Lok Cu menggerak-gerakkan tangan sambil membentak,

“Hwesio-hwesio tidak tahu aturan, apakah kalian hendak mengeroyok kami?”

Seorang hwesio bermuka hitam segera melompat keluar dan melintangkan toya di depan dadanya. Hwesio ini adalah Twi Kang Hwesio, murid termuda dari Lo Beng Hosiang, sifatnya jujur dan amat berangasan, tidak mau kalah. Ia sudah marah sekali mendengar kata-kata Thian Lok Cu tadi, maka katanya dengan suara menggeledek,

“Tosu bau! Masa untuk menghadapi seorang Kim-san-pai saja harus dilakukan dengan keroyokan? Pinceng sendiri sudah cukup mencegah kau naik dan membikin ribut. Hayo segera turun, atau kau berani menghadapi toyaku ini?” Diamang-amangkan toyanya di depan muka Thian Lok Cu.

“Keparat gundul, kami datang dengan maksud baik, kalian sengaja mengajak pibu? Baik, baik, jangan kira Kim-san-pai tidak mempunyai orang lihai. Kalau aku kalah olehmu, aku akan kembali ke Kim-san-pai dan belajar sepuluh tahun lagi.”

Tak dapat dicegah pula, pertempuran hebat pasti akan terjadi. Melihat hal ini, Thian Hok Cu yang lebih tua dan lebih sabar dari pada Thian Lok Cu, menggoyang-goyang tangan dan berkata,

“Sahabat-sahabat dari Bu-tong-pai, harap tenang dan sabar. Lebih baik laporkan kepada Lo Beng Hosiang bahwa kami hendak bertemu bukan mencari keributan di sini.”

Akan tetapi suasana yang sudah panas itu mana dapat dibikin dingin oleh Thian Hok Cu yang tidak pandai bicara? Seorang hwesio tinggi kurus yang memegang pedang, yakni suheng dari Twi Kang Hwesio yang bernama Lu Pek Hwesio, lantas melangkah maju menghadapi Thian Hok Cu sambil berkata,

“Tosu, kalau kau tidak berani menerima tantangan pibu, lebih baik kau pulang saja dan jangan berlagak pula di sini. Ingat bahwa di sini adalah tempat kami!”

Terdengar suara seorang hwesio dari belakang, “'Hah! Satu lawan satu saja dia sudah ketakutan. Lihat mukanya pucat seperti mayat, ha-ha-ha. Tosu pengecut!”

Memang Thian Hok Cu memiliki muka yang pucat kuning, maka sindiran ini benar-benar menyakitkan hatinya.

Thian Lok Cu berkata kepada suheng-nya,

“Suheng, apakah kita harus diamkan saja orang-orang hutan ini menghina partai kita? Sedikitnya kita harus menjaga nama baik Kim-san-pai. Marilah kita layani tantangan pibu mereka.”

Didesak seperti itu, akhirnya Thian Hok Cu kehilangan kesabaran pula. Dia memandang kepada rombongan hwesio dan berkata,

“Biarlah kami berdua melayani tantangan pibu kalian. Akan tetapi apa bila kami menang, kami harus boleh naik menemui Lo Beng Hosiang!”

Twi-Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio sudah siap sedia. Twi Kang Hwesio Si muka hitam menghadapi Thian Lok Cu dan berkata,

“Menang kalah masih belum tentu mengapa ribut-ribut? Kalau kalian mampu menangkan kami, tentu saja kalian boleh lakukan apa yang kalian suka, siapa berani menghalangi? Siaplah dan lihat senjata!”

Sambil berkata begini, toyanya menyelonong ke depan melakukan serangan pertama. Dengan mudah Thian Lok Cu menangkis, dan terjadilah pertempuran sengit antara Thian Lok Cu melawan Twi Kang Hwesio dan Thian Hok Cu yang bertempur melawan Lu Pek Hwesio.

Berbeda dengan sute-nya yang bermain toya, Lu Pek Hwesio bermain pedang sehingga pertempuran ini lebih ramai. Suara senjata bertemu senjata terdengar sangat nyaring dan menegangkan hati, berkelebatnya sinar senjata menambah keseraman pertempuran itu.

Liem Sun Hauw semenjak tadi hanya menonton, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia diberi tugas untuk mendamaikan pertikaian antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, dan sekarang ia menjadi saksi pertempuran antara kedua partai itu!

Kalau ia turun tangan keadaannya tak akan menjadi lebih baik, pikirnya. Suasana sudah terlalu panas dan kedua pihak sudah marah sekali. Apa bila dia datang memisah, belum tentu mereka suka menurut, bahkan dia sendiri mungkin akan dimusuhi oleh kedua pihak! Ia telah mendapat kesan baik tentang Bu-tong-pai dan kesan buruk tentang Kim-san-pai, dan sekarang dia melihat bahwa pertempuran itu adalah sebuah pibu yang adil, maka ia menjadi serba salah dan hanya menonton di pinggir.

Tak lama kemudian ternyata bahwa tingkat kepandaian dua orang tosu Kim-san-pai itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian Twi Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio. Dalam waktu yang hampir bersamaan, dua orang hwesio itu roboh dengan menderita luka-luka ringan, terkena tusukan dan babatan pedang dua orang tokoh Kim-san-pai itu.

Para hwesio Bu-tong-pai menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan lebih dari lima puluh orang hwesio ini agaknya akan menyerbu, mengeroyok tujuh orang tosu Kim-san-pai. Melihat hal ini, Liem Sun liauw cepat melompat ke tengah, mendahului para hwesio itu dan menghadapi Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu.

“Ji-wi totiang harap mundur saja dan jangan lanjutkan maksud naik ke puncak,” katanya nyaring.

Para hwesio yang melihat pemuda utusan Ketua Go-bi-pai itu maju, berhenti bergerak dan menjadi besar hati. Mereka tahu akan kelihaian utusan Go-bi-pai ini maka diam-diam mereka hanya memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ada pun Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, sesudah mendapat kemenangan, tentu saja tidak mau mundur. Mereka menganggap amat tidak adil kalau pihak yang menang justru harus mundur! Bukankah tadi sudah dijanjikan bahwa karena mereka menang, mereka akan diperkenankan menemui Lo Beng Hosiang?

“Kau ini siapakah dan ada hak apakah akan melarang kami?” Thian Lok Cu membentak marah.

Liem Sun Hauw tersenyum. “Totiang, siauwte sekali-kali bukan melarang, hanya siauwte menganggap jauh lebih baik menghindari pertengkaran yang makin menghebat dari pada berkeras kepala.”

“Kami sudah menang, kau mau apa? Kalau masih ada yang penasaran, boleh coba-coba. Kami selalu sedia melayani, asal jangan dilakukan pengeroyokan secara pengecut!” kata pula Thian Lok Cu.

Sun Hauw mengerutkan kening. Sikap yang diperlihatkan oleh tosu ini sama sekali tidak baik, pikirnya. Sikap yang seperti inilah yang memperbesar permusuhan, yakni sikap tak mau mengalah dan keras kepala. Tosu ini menganggap diri sendiri yang paling pandai, dan kiranya perlu diberi hajaran. Demikian Sun Hauw berpikir.

Kalau sampai terjadi pertempuran keroyokan, kiranya keselamatan jiwa tujuh orang tosu ini akan berbahaya sekali. Dari pada pertempuran keroyokan lebih baik dia turun tangan dulu mengusir mereka turun gunung.

“Totiang, kau memang keras kepala dan mengira di dunia ini kau sendiri yang paling kuat. Aku ingin sekali mencoba-coba!” Sambil berkata demikian, Sun Hauw lalu mengeluarkan pedangnya dan berdiri dengan tegak, sikapnya menantang.

Thian Lok Cu mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya bergerak dan dia sudah mulai menyerang sambil berseru,

“Bocah lancang, lihat pedang!”

Akan tetapi alangkah kagetnya pada saat pemuda itu menangkis. Thian Lok Cu merasa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa pemuda itu mempunyai tenaga yang amat besar. Kemudian dia menjadi lebih kaget dan heran lagi menyaksikan ilmu pedang yang cepat dan ganas, jauh bedanya dengan ilmu pedang Bu-tong-pai!

Akan tetapi ia tidak sudi mundur dan melawan dengan gerakan cepat dan nekat. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari pemuda tampan ini lihai sekali. Setelah tiga puluh jurus lebih bertempur dengan sengit dan seru, akhirnya dengan mengeluarkan jurus yang hebat, yakni jurus yang disebut Sin-mo Sam-bu (Payung Sakti Memutar Tiga Kali), Sun Hauw berhasil merobohkan Thian Lok Cu.

Jurus ini sebetulnya bukan jurus ilmu pedang Go-bi-pai, melainkan ilmu pedang Thian Mo Siansu yang di samping memiliki ilmu silat Go-bi-pai juga mempunyai ilmu silat lihai dari orang-orang sakti sehingga Thian Mo Siansu dapat menciptakan ilmu pedang tersebut.

Dengan pedang diputar merupakan bundaran sehingga nampak seperti orang memakai payung, Sun Hauw berhasil melukai kedua pundak Thian Lok Cu sehingga tosu itu roboh tak dapat bangun lagi. Kawan-kawannya menolongnya dan Thian Hok Cu melompat maju dengan pedang di tangan.

“Anak muda, pinto lihat ilmu pedangmu bukan dari Bu-tong-pai, agaknya kau adalah anak murid Go-bi-pai, mengapa kau mencampuri urusan kami? Apakah Twi Mo Siansu sudah mengajarmu untuk menjadi orang yang usil dan suka mencampuri urusan orang lain?”

Mendengar ini, Liem Sun Hauw kaget. Ternyata tosu ini dapat mengenal ilmu pedang dan agaknya kenal pula kepada Ketua Go-bi-pai, susiok-nya Twi Mo Siansu. Cepat ia menjura memberi hormat dan berkata,

“Totiang, harap suka maafkan. Memang siauwte anak murid Go-bi-pai yang datang untuk mendamaikan urusan antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai. Akan tetapi sayang sekali Totiang dan kawan-kawan Totiang datang mengacaukan keadaan dan memperbesar permusuhan. Oleh karena itu, siauwte harap Totiang sudi pulang saja ke Kim-san-pai dan lain hari siauwte akan datang minta maaf kepada Ketua Kim-san-pai.”

“Bocah sombong, kau kira pinto takut kepadamu? Kau bilang datang untuk mendamaikan urusan, akan tetapi kau bahkan melukai sute-ku! Kalau kau mau menjadi jago undangan Bu-tong-pai, mari kita coba-cobal”

Sambil berkaia demikian, Thian Hok Cu menyerang dengan pedangnya. Tosu ini tentu saja tidak mau mengalah karena keadaan sudah seperti itu. Sute-nya terluka dan kalau ia mengundurkan diri begitu saja, sikapnya ini bersifat pengecut sekali.

Sun Hauw menarik napas panjang dan terpaksa melayani. Sesungguhnya dia tidak suka berkelahi dengan tosu-tosu Kim-san-pai dan kalau pun bertempur, ia tidak suka melukai mereka.

Akan tetapi kepandaian tosu ini sudah sangat tinggi sehingga sukarlah baginya mencapai kemenangan tanpa melukainya. Ia hanya menang sedikit saja, menang dalam hal ilmu pedang, maka seperti juga tadi, terpaksa ia membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah lihainya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)