PENDEKAR BODOH : JILID-04
“Dan lagi,” sambung Giok Keng Cu si Tosu Pendek, “coba kau lihat yang seorang lagi. Lebih hebat lagi!” Dan tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka jeri.
“Yang satu lagi siapakah itu?” tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.
Kini Giok Yang Cu yang melanjutkan kata-kata sute-nya. “Yang dimaksudkan oleh Sute tadi adalah seorang wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan Giok-gan Kuibo. Wanita ini adalah Sumoi-nya (Adik Perempuan Seperguruan) yang berjuluk Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian merah. Nona ini masih muda dan ilmu kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian Suci-nya (Kakak Perempuan Seperguruan) itu! Ang I Niocu seorang diri pernah naik ke Bu-tong-san dan menantang adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-pai dan ternyata ilmu pedangnya belum pernah dikalahkan orang!”
Mendengar kelihaian-kelihaian sedemikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan lidah saking kagumnya. “Hebat sekali!” serunya kagum.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya oleh Gak Im Cu, merasa tubuhnya tergantung dan tidak menginjak tanah, tetapi ia maju cepat sekali sehingga angin dingin berkesiur di kanan-kiri kepalanya. Jurang-jurang yang tidak berapa besar dilompati begitu saja oleh ketiga orang tosu itu hingga berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke bawah.
Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak sekali orang pandai yang luar biasa. Baru ketiga tosu ini saja kepandaiannya sudah demikian hebatnya, padahal tadi ia mendengar betapa mereka ini masih memuji-muji kepandaian orang lain, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya kepandaian orang-orang yang mereka puji itu! Karena itu timbullah keinginan di dalam hatinya untuk belajar keras supaya ia pun bisa mempunyai kepandaian itu sehingga kelak tidak ada lagi orang di dunia ini yang berani memaki dan menghinanya.
Di sepanjang jalan, orang-orang yang melihat Cin Hai pasti tertawa geli karena di dalam pakaian yang besar dan longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu dan aneh sekali.
“Mungkin anak gila,” terdengar orang berkata.
“Mungkin karena tololnya maka memakai pakaian demikian besarnya,” kata orang lain.
Ketiga tosu merasa kasihan dan berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan pakaiannya diubah, dikecilkan dan dijahit pula. Namun dengan keras hati dan bersungut-sungut Cin Hai menjawab.
“Tidak, biarkan sajalah! Biarkan saja anjing-anjing itu menggonggong, mereka tidak akan menggigit! Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan mereka!”
Tiga orang tosu itu saling pandang dan mereka kagum akan kekerasan serta ketabahan hati anak ini. Dan untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tak peduli kepada semua orang yang mentertawakannya itu, Cin Hai mengeluarkan suling bambunya dan sambil berjalan dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya memainkan beberapa lagu merdu!
Tiga hari kemudian sampailah mereka di daerah Kanglam.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai ke dalam sebuah hutan yang sangat liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah lapangan rumput bersih dan indah permai, berbeda dengan tempat yang penuh rumput, alang-alang, dan pohon-pohon tua dan liar.
Di tengah-tengah padang rumput itu terdapat sebuah gunung kecil yang ditumbuhi oleh pohon-pohon liu, ada pun bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu. Di sebelah kiri terdapat mulut goa yang lebar dan gelap. Inilah tempat tinggal Kanglam Sam-lojin.
Benar-benar tempat yang indah menyenangkan. Di dekat goa terdapat sumber air yang memancar keluar dan mengalir merupakan beberapa anak sungai kecil yang airnya bagai berdendang tiada hentinya, bermain-main dengan batu-batu yang hitam dan halus. Ada pun burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada hentinya berkicau.
Cin Hai merasa senang sekali berada di tempat itu. Biar pun mulut goa itu tampak gelap, akan tetapi sesudah masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang masuk melalui beberapa lubang di kanan kiri yang menembus atas gunung.
Semenjak hari itu, Cin Hai mulai menerima latihan silat tingkat permulaan dari ketiga tosu itu dengan bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar dari sana dan pergi untuk berbulan-bulan lamanya, kadang-kadang hanya seorang yang pergi, kadang kala berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal seorang diri.
Kanglam Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam itu merupakan tiga saudara seperguruan, sebab itu kepandaian mereka berasal dari satu cabang persilatan, yaitu cabang persilatan Liong-san-pai. Hanya saja ketiganya mempunyai keistimewaan khusus, yaitu seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika mereka bertempur menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu.
Giok Im Cu yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang sudah mencapai tingkat tinggi sehingga pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh di dalam tangannya akan berubah menjadi senjata yang amat ampuh. Oleh karena mengandalkan tenaga lweekang-nya, Giok Im Cu tak pernah memegang senjata. Dulu pun pada waktu menghadapi Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan sebatang ranting kayu.
Sebaliknya dari pada suheng-nya, Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa sehingga menjadi kebal dan keras. Di samping itu, dia mahir sekali memainkan pedang yang digerakkannya secara luar biasa cepat dan kerasnya. Tentu saja ilmu pedangnya ini adalah Liong-san Kiam-hoat yang memang dikenal memiliki gerakan-gerakan yang cukup lihai.
Tosu ke tiga jika dipandang begitu saja memang dapat menimbulkan pandangan rendah sebab tubuhnya yang kecil itu kelihatan tak bertenaga. Tapi janganlah orang memandang rendah padanya, karena tosu kate ini kepandaiannya tidak kalah oleh kedua suheng-nya! Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata rahasia) yang bersayap di kanan kirinya sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Di samping ini, dia memiliki ginkang yang paling sempurna dibandingkan kedua suheng-nya sehingga gerakannya lincah, cepat dan ringan sekali.
Walau pun Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan hebat, namun dia pun tidak sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki ketekunan terhadap sesuatu yang disukainya. Justru ia suka ilmu silat dan sudah semenjak dulu ia ingin sekali mempelajarinya. Apa lagi ketika dia sering menerima pukulan serta hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi.
Kini, ketika sekaligus dia mendapat didikan dari tiga orang lihai, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah dia menerima pelajaran dan berlatih siang malam hingga kadang-kadang lupa makan lupa tidur.
Karena ketiga tosu itu memang bukan ahli mendidik dan pula karena mereka memberi pelajaran kepada Cin Hai hanya semata-mata karena merasa berhutang budi dan hendak membalasnya, bukan berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap muridnya, maka mereka memberi pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai peraturan lagi!
Mereka berganti-gantian memberi pelajaran silat Liong-san Kun-hoat secara cepat sekali, padahal Ilmu Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus delapan jurus dan setiap jurus mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam, hingga seorang anak-anak seperti Cin Hai yang menerima pelajaran ini secara bertubi-tubi mana dapat mengingatnya?
Selain itu, Ilmu Silat Liong-san-pai bukan ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan oleh sembarang orang. Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna saja membutuhkan latihan-latihan keras berhari-hari. Memang karena penolakan Cin Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai guru, membuat ketiga tosu itu menjadi kurang perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir bahwa jika anak itu diberi kepandaian asli sampai sempurna, padahal ia bukan anak murid Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka tidak berhak melarangnya, karena dia bukan anak murid Liong-san-pai.
Oleh karena tindakan ketiga tosu ini, Cin Hai menjadi bingung sekali dan dia tidak dapat berlatih dengan baik. Baru saja dia mempelajari beberapa jurus dan sama sekali belum sempurna, lain tosu sudah memberi pelajaran pula jurus-jurus berikutnya! Dengan begitu, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya benar-benar telah terlupa lagi!
Meski pun masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan ahli filsafat yang dipelajarinya dahulu, dia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera melakukan hal yang cerdik juga.
Dengan diam-diam dia mempergunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas selembar kertas! Tiap kali menerima pelajaran jurus baru, dia segera mengingat baik-baik dan malamnya pada saat berada seorang diri dalam kamarnya di goa itu, ia segera mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tosu yang mengajarnya tadi!
Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai itu telah dapat ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh Cin Hai. Tapi, sebenarnya kalau disuruh berlatih silat, paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum sempurna betul.
Melihat ketololan anak itu, ketiga tosu diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu khawatir lagi, akan tetapi di luar mereka memperlihatkan muka tidak senang dan sering memaki-maki Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh. Kelambatan ini sebenarnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol, tetapi adalah karena waktunya banyak dia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya baik-baik secara rahasia.
Seperti semua anak-anak di dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai masih haus akan permainan dan kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari teman-teman untuk bermain-main atau mencari segala macam barang permainan untuk menyenangkan hati, tetapi bagi Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia berdiam di dalam goa dan kalau ia keluar dari goa, yang ada hanya hutan betantara yang penuh pohon-pohon besar dan binatang-binatang buas.
Pernah terjadi ketika pada beberapa bulan yang lampau dia pergi agak jauh dari goa dan memasuki hutan yang agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar menghadang jalan pulangnya! Cin Hai terkejut sekali, kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar-debar. Tetapi anak itu dapat menetapkan hatinya dan berlaku waspada.
Sambil mengeluarkan gerengan hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada saat itu Cin Hai sudah mempelajari jurus Ilmu Silat Liong-san-pai. Maka, melihat datangnya terkaman harimau itu, otomatis kakinya bergerak dengan tipuan Lo-wan Tong-ki atau Monyet Tua Meloncati Cabang sehingga ia terhindar dari terkaman harimau. Setelah berhasil berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi dari sana, tetapi terdengar auman keras dan harimau itu menubruk dari belakang!
Biar pun matanya tak melihat, akan tetapi ternyata latihan-latihan silat yang dipelajarinya telah membuat telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh harimau itu. Cepat ia berkelit sambil meloncat ke samping, dan dengan gerakan membalik, pada saat harimau itu lewat di sampingnya, ia lalu memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah lambung harimau!
Namun apakah artinya pukulan tangan seorang kanak-kanak yang baru saja berlatih silat kurang dari dua tahun? Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit dan begitu keempat kakinya menginjak tanah, cepat tubuhnya berbalik dan meloncat menubruk lagi!
Cin Hai benar-benar terdesak dan ia hanya dapat menggunakan segala kepandaian yang dipelajarinya untuk bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tak menyangka bahwa biar pun baru mempelajari beberapa belas jurus dari Liong-san Kun-hoat, ia telah dapat bertahan dari seekor harimau besar sampai beberapa lama! Apa bila ia tidak memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk saja ia sudah menjadi mangsa binatang itu.
Tiba-tiba Cin Hai teringat akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari Giok Keng Cu. Tosu kate itu adalah seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula akan adatnya, maka Cin Hai sengaja memuji-mujinya sehingga tosu itu lantas menurunkan semacam kepandaian loncat tinggi kepadanya!
Ilmu loncat ini merupakan pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te Hui-teng Kang-hu yang jika sudah dipelajari secara sempurna dapat dipergunakan untuk meloncat jauh sambil menggunakan kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga tampaknya seperti melayang! Tetapi tosu kate itu hanya memberi pelajaran pada bagian loncat tinggi saja, yakni tipu gerakan Cian-liong Seng-thian (Naga Naik ke Langit).
Demikianlah, sesudah teringat dengan pelajaran meloncat ini, Cin Hai perlahan-lahan lalu menggeser kakinya dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat mendekati sebatang pohon yang memiliki cabang rendah dan berada di atas kepalanya. Ketika harimau itu meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya, Cin Hai menerobos ke bawah tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia lalu meloncat ke atas cabang pohon di atasnya dengan gerakan Cian-liong Seng-thian yang sudah dipelajarinya itu!
Ia berhasil dan tubuhnya melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki mengenjot diri pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi. Untung sekali dia berbuat demikian, karena baru saja ia meninggalkan cabang terendah itu, tiba-tiba saja si harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang hendak lari, segera meloncat pula ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan bunyi keras! Tubuhnya segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu berdongak memandang ke arah Cin Hai yang telah berada di cabang tinggi dengan aman.
Anak itu dengan hati geli dan senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, serta meludahinya dan melemparinya dengan cabang-cabang kering yang dia dapatkan di atas pohon-pohon! Harimau itu mengaum-ngaum dan meraung-raung, mengeluarkan suara keras sekali untuk melampiaskan hatinya yang marah dan kecewa.
Untuk beberapa lamanya binatang itu terus mendekam di bawah pohon, menanti calon mangsanya itu sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas dengan hidung kembang-kempis. Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki, bahkan anak itu lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu!
Entah karena jengkel dan kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri dan setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.
Cin Hai tak berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu masih bersembunyi di dekat situ. Ia menanti lagi sampai hampir setengah hari, barulah ia berani turun dan lari pulang ke goa. Semenjak pengalamannya itu Cin Hai tahu akan manfaat kepandaiannya, maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak berani lagi meninggalkan goa terlalu jauh.
Pada suatu hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika merasa kesepian, Cin Hai lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut goa lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain suling.
Selama berdiam di goa itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul karena penyakit kudis itu selalu timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang. Juga pakaiannya masih yang dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!
Ketika dia sedang asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan merah yang makin lama makin membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat merupakan seorang wanita berpakaian serba merah. Dia berdiri di depan goa, tidak jauh dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan tubuh tak bergerak.
Cin Hai juga melihat kedatangan orang itu. Namun dia tetap saja menyuling tanpa ambil peduli sama sekali, karena yang datang adalah seorang wanita asing.
Wanita itu adalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya luar biasa cantik jelitanya, dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut yang sangat manis dengan sepasang bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah. Pakaiannya serba merah dan bersih sekali, juga sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.
Dara baju merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan ia mendengar dengan penuh perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan ia tahu banyak akan lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dahulu, yaitu Kui-sianseng, memang ahli menyuling dan dari mendengarkan gurunya itu bersuling, maka dapatlah Cin Hai meniru lagunya.
Makin lama makin merdu dan merayu suara suling Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula lalu berjalan mendekati dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis itu duduk di dekatnya dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali dan menghentikan tiupan sulingnya.
Dara muda itu terlihat kecewa dan berkata, “Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus sekali, mainkanlah lagi beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak.” Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.
Cin Hai merengut ketika disebut ‘hwesio cilik’. Ia menjawab tak senang. “Kira-kira dong kalau memanggil orang! Aku bukan hwesio kecil.”
Melihat anak itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Dia memang merasa aneh dan ganjil bertemu dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan kepalanya gundul berada di tengah-tengah hutan liar seorang diri, dan anak ini pandai bersuling pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.
“Saudara kecil, kalau kau memang bukan seorang hwesio, kenapa kepalamu gundul dan pakaianmu jubah hwesio?”
Baru kali ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan mencela pakaiannya. “Aku gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan engkau? Kau cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?”
Walau pun kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya cantik, Dara Baju Merah itu tidak marah, malah memperlihatkan senyum yang agaknya akan membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau saja dia sudah dewasa. Namun senyum nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia menganggap nona itu berhati sabar dan tidak mudah marah.
“Engko cilik, apa bila aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon padamu, tiuplah lagi sulingmu, aku suka sekali mendengarnya.”
“Boleh, asal saja kau suka menari menurut lagu sulingku.”
Mendadak gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget, “Dari mana kau tahu bahwa aku pandai menari?” Pertanyaan ini mengandung ancaman supaya Cin Hai mengaku.
Cin Hai merasa heran dan menjawab, “Siapa yang tahu kalau kau pandai menari? Hanya menurut pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya pandai menari.”
Maka tertawalah Gadis Baju Merah itu. “Baiklah, kau tiup sulingmu dan aku akan menari untukmu.”
Cin Hai merasa girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut goa yang gelap sehingga pakaiannya yang putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan latar belakang goa hitam gelap itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis Baju Merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari pedang.
Sambil menyuling Cin Hai memandang gadis itu dan dia bagaikan kena pesona. Bukan main indah tarian itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan tarian seorang bidadari! Pedang di tangannya itu menambah keindahan tarian dan membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!
Dara Baju Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya, dengan gerakan-gerakan leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah menggairahkan. Tetapi makin lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling yang ditiup Cin Hai dan pada saat Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang, maka tubuh Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang berwarna putih dengan sinar merah dari bajunya!
Cin Hai kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada hentinya meniup suling, barulah dia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun menghentikan tariannya yang luar biasa dan indah itu.
“Hebat sekali permainan sulingmu!” dengan senyum manis sekali gadis itu memuji.
“Lebih hebat adalah tarianmu!” Cin Hai memuji sambil memandang dengan dua matanya yang lebar.
“Kau menyukai tarianku?” tanya gadis itu.
“Suka sekali, dan tentu jauh lebih dari pada sukamu kepada suara sulingku,” kata Cin Hai cepat-cepat dan sejujurnya.
Gadis itu tersenyum. “Engko kecil, siapakah namamu?”
Cin Hai menjawab sambil tersenyum juga, “Namaku Cin Hai, tetapi orang tua itu lebih suka menyebutku Tolol atau Bodoh!”
Gadis itu untuk beberapa lama menatap wajahnya, memandang kepalanya yang gundul dan besar, kemudian ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah memandang, dia lalu menganggukkan kepalanya dan berkata pasti,
“Memang kau kelihatan tolol dan bodoh!”
Cin Hai mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua, “Memang aku bodoh dan tolol, pula buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi harus diingat, bodoh itu dasar kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan.”
Si Nona Baju Merah mengerutkan alisnya yang kecil memanjang. “Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Bukankah sebelum pintar harus bodoh dulu? Nah, karena itulah maka pintar itu berdasar pada bodoh. Dan kecantikan macam apakah yang tak akan lenyap dan berakhir dengan keburukan? Lihat saja cahaya matahari berganti malam yang gelap lagi buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat saja wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik jelita.”
“Stop segala omongan ini!” Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar tentang nona cantik yang berubah menjadi nenek keriput ompong, “kau anak kecil tetapi bicara seperti pendeta, dari siapakah kau mempelajari semua ini?”
Cin Hai tertawa. “Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai.”
“Jadi kau ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?”
Cin Hai cepat-cepat menggelengkan kepalanya, “Aku bukanlah pendeta, dan mengenai pakaian…” dia menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, “apa daya, hanya ada satu yang terpaksa kupakai.”
Dara Baju Merah itu tertawa geli. Sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu tampak berseri-seri, karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan pandai bersuling ini.
“Engko gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?”
“Aku dibawa oleh orang tua yang berjuluk Kanglam Sam-lojin.”
“Ahh? Jadi mereka itu suhu-suhu-mu?”
Cin Hai cepat menggeleng kepalanya, “Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja. Dan kau ini siapakah? Aku pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang disebut Ang I Niocu…”
Nona itu meloncat dengan amat kaget. “Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang I Niocu?”
Cin Hai menghela napas. “Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia itu orang macam apakah? Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar tosu-tosu itu bercerita.”
Gadis itu tersenyum pula. “Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?”
Cin Hai mengangguk.
“Kalau begitu, mari kita bertukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku ingin sekali belajar menyuling.”
Cin Hai mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih kemerah-merahan itu. Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu berseri-seri karena mendengar bahwa orang hendak memberi pelajaran menari padanya.
“Boleh, boleh!” katanya. “Tetapi siapakah namamu, Nona?”
Sambil tersenyum gadis itu menjawab, “Akulah Ang I Niocu.”
Kini Cin Hai lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa geli gadis itu berkata, “Mengapa? Apakah kau juga takut kepada Ang I Niocu? Apakah mukaku begitu menyeramkan?”
“Tidak, tidak!” Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mukamu halus dan cantik. Aku tidak takut kepadamu.”
“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu?” dara itu menegaskan.
“Dan tidak takut kepada Ang I Niocu!” Cin Hai berkata tetap.
“Kalau begitu, lekas kau kumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita pergi.”
Cin Hai memandang pada wajah yang halus cantik dan mata yang bening bersinar tajam itu. Ia memandang dengan muka bodoh dan berkata,
“Barang-barangku?” Ia lantas memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian hwesio yang dipakainya. “Barangku hanya suling dan pakaian ini.”
Pandangan mata Ang I Niocu mengandung perasaan iba. “Jadi kau tak berbohong ketika tadi berkata bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?”
“Membohongi orang lain berarti membohongi diri sendiri,” jawab Cin Hai menirukan bunyi sebuah ujar-ujar, “dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri.” Ia lalu mengosok-gosok kepalanya yang gundul.
“Kalau begitu mari kita berangkat!”
Cin Hai mengangguk.
Namun pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah tiba di situ. Mereka ini bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan mereka.
Melihat bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera memanggil dengan suara keras. Namun Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa, lalu melambaikan tangan sebagai salam berpisah! Tentu saja Kanglam Sam-lojin merasa penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.
“Hai, Tolol, kau hendak minggat ke mana?” tegur Giok Yang Cu yang brewok dan tinggi besar dengan suara mengguntur.
“Ji-totiang, teecu hendak pergi belajar menari!”
“Apa? Belajar menari? Kepada siapa dan di mana?” Giok Keng Cu si pendek bertanya dengan heran.
“Belajar kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar di mana saja, di sepanjang jalan, bukankah begitu, Nona?”
Ang I Niocu hanya tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Mendadak ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu lalu berkata dengan hati-hati.
“Kami bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami berhadapan dengan Nona yang gagah itu?”
“Sam-wi Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang sangat tajam. Aku betul Ang I Niocu.”
Kalau dilihat sungguh mengherankan, oleh karena begitu mendengar nama Ang I Niocu, tiga tokoh kang-ouw yang telah berusia lanjut ini lalu nyata sekali tampak terkejut dan dari jauh mereka mengangkat tangan memberi hormat.
“Sungguh pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak tahu apakah keperluan yang membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang sunyi ini?”
Ang I Niocu tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika sepasang lesung pipit menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Dia kemudian bersyair sambil memandang ke langit.
Berkawan sebatang pedang,
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau masih bertanya maksud keperluan?
Tanyalah kepada burung di puncak pohon,
Terbang ke sini berkehendak apa?
“Bagus, bagus sekali!” Cin Hai bersorak girang. “Niocu, syairmu ini bagus sekali, biar aku nanti buatkan lagunya yang merdu!”
Ang I Niocu mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu menjawab kepada tiga tosu itu,
“Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat saja di sini dan bertemu dengan engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!”
Kanglam Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena bagaimana pun juga, mereka sudah menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh diambil orang lain sedemikian mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat mereka. Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka masih ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan.
Akan tetapi, Giok Keng Cu si pendek gesit yang memang memiliki watak agak sombong, melihat bahwa Ang I Niocu tak lain hanyalah seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan bersikap lemah lembut lalu memandang rendah sekali.
“Eh, Ang I Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia kang-ouw yang gagah dan namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya hanyalah seorang anak muda yang masih hijau dan tidak tahu peraturan kang-ouw! Ataukah kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat kurang ajar?”
Sungguh pun Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun saja, akan tetapi sebetulnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama lima tahun lebih namanya sudah menggegerkan dunia kang-ouw karena selain kepandaiannya yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang sangat berani dan dapat menyimpan perasaannya.
Kini mendengar betapa ada orang memandang rendah kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena walau pun Giok Keng Cu memandang rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa dia masih sangat muda merupakan pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin disebut muda dan ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.
Karena inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,
“Totiang, bicaramu agak berlebihan. Mengapa kau anggap aku tidak memandang kalian orang tua dan berbuat kurang ajar?”
“Anak tolol itu adalah murid kami, mengapa tanpa minta ijin kau kini hendak menculiknya begitu saja? Bukankah hal itu melanggar aturan namanya?” berkata Giok Ken Cu dengan marah.
Sebelum Ang I Niocu menjawab, Cin Hai mendahuluinya dengan suaranya yang nyaring.
“Ehh, ehh, semenjak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid? Harap Totiang ingat bahwa teecu bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada Niocu!”
Sementara itu, Ang I Niocu yang tadinya mengira bahwa Cin Hai yang membohonginya, kini melihat betapa anak gundul itu berani berkata sedemikian rupa terhadap tosu itu, menjadi lega karena menganggap bahwa anak ini benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang muka Giok Keng Cu yang menjadi kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa lama tidak dapat menjawab kata-kata Cin Hai.
Melihat keadaan sute-nya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar berkata keras,
“Ang I Niocu! Betapa pun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja. Biar pun dia bukan murid kami, tetapi dia sudah ikut kami dan tidak boleh diambil oleh orang lain tanpa ijin kami!”
Giok Yang Cu sengaja berkata keras karena dia hendak menghilangkan rasa malu yang diderita oleh sute-nya, apa lagi memang dia tidak puas melihat sikap Ang I Niocu dan Cin Hai yang sama sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!
“Kalian ini orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja,” kata Ang I Niocu yang mulai merasa sebal. “Siapa yang menculik anak ini? Ia hendak ikut aku dengan suka rela dan aku pun tidak keberatan, habis kalian mau apa?”
Kini Giok Im Cu yang menjawab sesudah mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya seperti biasa dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan.
“Hm, Ang I Niocu, melihat sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia kang-ouw bahwa kau adalah seorang yang tinggi hati dan sombong. Apa bila kau berkeras hendak membawa anak ini, biarlah kami bertiga lebih dulu menerima petunjuk-petunjuk darimu!” Ini adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau hendak mengajak pibu (mengadu kepandaian).
“Begini lebih bagus, tak usah membuang kata-kata dan obrolan kosong!” kata Ang I Niocu dengan senyum manis dan wajahnya berseri gembira ketika dia mencabut pedang dari pinggangnya.
Ketiga pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu memungut sebatang ranting kayu dari bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan Giok Keng Cu meloloskan goloknya.
Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang memang paling doyan melihat pibu atau pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata,
“He, Sam-wi Totiang, apa kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda seperti Ang I Niocu? Aneh, sungguh aneh!”
Ang I Niocu sambil tertawa berkata, “Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka sekaligus maju bertiga agar gembira kau menonton!”
Sebenarnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan tetapi sesudah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, sehingga mereka kini tidak perlu sungkan-sungkan lagi!
Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,
“Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga? Apakah kau nanti tidak akan mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?”
“Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku sheji-sheji (sungkan) segala?” kata Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.
Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu.
Ketiga orang tosu itu terkejut sekali melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini. Mereka kemudian memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, berupa kepungan segi tiga yang sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kanglam Sam-lojin yang dapat maju bersama dengan secara kompak sekali.
Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang mengeroyok dirinya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis. Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Dia melihat betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi hanya merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran cepat sekali. Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan amat sedap dipandang.
Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia ini! Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan yang halus dan nampak lambat karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga dan kecepatan.
Tiap kali ada serangan lawan yang datang, dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh sedikit dengan ujung pedang, maka senjata lawan itu pasti lantas menyeleweng arahnya. Sedangkan dengan pinjaman tenaga dan kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat ia pentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balasan! Juga ia melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi sehingga setiap kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa tangan mereka tergetar!
Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Saking asyiknya menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat beterbangan menyambari mukanya.
Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.
Ketika Hai Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya.
Akan tetapi kini, walau pun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Mendadak lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat kemudian salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga!
Anak itu baru sadar dan dengan marah ia lalu menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu dia teringat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan goa. Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling. Maka dia lalu meniup sulingnya, meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.
Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba saja gerakan pedangnya berubah semakin hebat! Apa lagi ketika Cin Hai meniup sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedangnya lenyap terganti gundukan sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!
Tentu saja perubahan ini membuat tiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang bersamaan sehingga ketiganya juga meloncat mundur berbarengan!
“Ang I Niocu, kau memang lihai bukan main! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu benar-benar lihai,” kata Giok Yang Cu dengan jujur.
“Kau memang cukup pantas untuk menjadi guru anak tolol ini, Nona,” kata Giok Keng Cu dengan suara mengandung ejekan.
“Hemm, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kelak kau tentu akan mencapai kemajuan hebat,” kata Giok Im Cu.
Namun Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!
Sementara itu, mendengar kata-kata ketiga pendeta itu, Ang I Niocu lalu berkata sambil tetap tersenyum,
“Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya.”
Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata cepat, “Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan siapa murid?”
Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu yang memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan dan pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka kini mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara baju merah itu dahulu bersyair di depan Kanglam Sam-lojin, maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke mana saja mengandalkan kaki dan hati!
Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatang kara dan tak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan ini tak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya.
Wanita muda itu selain sangat pandai menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu segera meminjam suling milik Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu.
Sebaliknya, dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar biasa yang disebut Sian-li Kun-hoat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi pada mulanya dia mengalami kesukaran karena betapa pun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan tentu saja tubuhnya tak selemas tubuh perempuan, padahal Sian-li Kun-hoat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut.
Akan tetapi dengan sabar serta telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul ini bertambah cepat sekali, apa lagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sian-li Kun-hoat, biar pun masih agak kaku.
Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu.....
Komentar
Posting Komentar