PENDEKAR BODOH : JILID-07


“Nah, nah, kalian lihat. Sesudah beberapa lama, totokan di leher itu buyar sendiri dan dia dapat bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama. Masih banyak lagi jalan darah yang dapat ditotok, di antaranya tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini, maka dia akan roboh dengan lemas dan selamanya tak akan dapat berdiri kembali, kecuali kalau totokan itu telah dibebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tapi hal ini akan kalian pelajari kelak bila mana sudah sempurna gerakan tangan kalian.”

Semua murid memandang kagum, sementara dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai meninggalkan tempat itu, sambil di dalam hatinya dia mengutuk guru silat itu. Kalau saja Louw-loya tidak demikian baik hati padaku, hmm... akan kuhajar kau! Demikian ia berpikir dengan hati mendongkol sekali.

Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai juga harus menderita penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan genit dan dalam hal menyombongkan kepandaian silatnya, dia tak kalah dari Ting Sun. Alangkah jauhnya beda perangai gadis ini dengan ayahnya.

Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat tembok itu sambil melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini? Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!

Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri gadis itu yang telah berdiri di tengah tempat berlatih silat.

“Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.

Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan pesan Bin Nio. Setelah menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat dengan pedangnya.

Cin Hai berdiri di tepi sambil menonton gadis itu bersilat pedang. Alangkah jauh bedanya dengan permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak berani menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji dengan suara kagum.

Bin Nio duduk di atas sebuah bangku.

“Ahh, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu lantai sampai bersih, menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam yang begini indah hanya ada kau, anak tolol. Hayo kau bersihkan sepatu ini!”

Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut sepatu gadis itu yang kotor terkena debu ketika bersilat tadi.

“Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk menyenangkan hati puteri majikannya ini.

“Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali, tapi cobalah kau lihat Ting-kauwsu bermain pedang!” gadis itu menghela napas dengan rasa kagum. “Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran darinya!”

Cin Hai merasa heran. “Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu, Siocia?” tanyanya.

“Ahh, Ayah tidak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan ingin sekali melihat aku mengganti pedangku dengan jarum sulam! Untungnya ada Ting-kawsu yang mengajarku pada waktu malam. Sayang, sekarang sudah tidak diijinkan lagi oleh Ayah!” Gadis itu tampak kecewa sekali dan Cin Hai yang telah selesai membersihkan sepatunya lalu mundur.

Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan.

“Ehh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?”

Cin Hai menjawab perlahan, “Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”

“Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh orang lain, terutama jangan sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”

“Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona. Tetapi kenapa tidak boleh terlihat oleh orang lain?”

“Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku dan habis perkara. Nah, ini suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya. Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan pedang ini!” Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai.

Cin Hai pura-pura ketakutan kemudian berkata, “Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”

Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar dia berlaku hati-hati untuk menyampaikan surat rahasia itu, Cin Hai lalu pergi ke kamarnya di tempat pelayan. Malam itu dia tidak dapat tidur, seluruh pikirannya terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.

Pada waktu itu, dia sudah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw Sun Bi, dan usianya telah hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa dewasa, ia dapat menduga bahwa di antara Louw Bin Nio dengan Ting Sun pasti ada hubungan yang tidak sebenarnya. Hal ini harus diberantas, pikirnya.

Louw Sun Bi sudah melepas budi padanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh anaknya sendiri dan oleh pembantunya. Dia harus menghalangi hal ini. Sudah menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu!

Dengan pikiran ini Cin Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali kemudian membacanya. Ia tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela melakukan hal yang tidak patut ini!

Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar saja sebagaimana dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengah malam!

Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia yang tak tahu malu. Ting Sun adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat saudara sehingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh dibilang bahwa Bin Nio merupakan keponakan Ting Sun sendiri! Namun ternyata dua orang itu sudah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai lalu memutar otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.

Semalaman penuh Cin Hai tidak dapat tidur. Pada keesokan harinya, dengan diam-diam setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu.

Ting Sun menerima surat dan membacanya dengan wajah gembira. Berbeda dari pada biasanya, dia berlaku manis terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak itu kini dapat merupakan jembatan bagi hubungannya dengan Bin Nio.

Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai datang-datang berlutut di depannya dan menangis!

Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku.

“Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang sudah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau sakit?”

“Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih sekali!”

Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak banyak cerewet ini.

“Katakanlah, jangan takut-takut!”

“Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dahulu saya mohon maaf sebesar-besarnya karena sesudah hal ini saya ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan saya.”

Kini terkejutlah Louw-kauwsu. “Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi sehingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!”

Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan mengenai surat Bin Nio dan bahwa malam nanti kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya dengan berkata sedih, “Saya sangat bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya yang baik hati tertimpa kejadian macam ini, ahhh...” Cin Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang makin pucat itu.

Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada terasa panas hampir meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa membuat dia bisu tak dapat berkata-kata. Ia telah tahu akan hubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu dia bahkan telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua. Tetapi sama sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.

Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tidak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai terharu sekali, lalu ia berkata,

“Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang tak pernah khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya penyakit dari pada mengobatinya sesudah datang! Karena itu, maka dari pada ribut-ribut dan marah sehingga semua orang mendengar hal yang belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!”

Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Dia memandang wajah Cin Hai dengan hati heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu!

“Cin Hai, kau adalah seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama sekali tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar dari sini?”

“Loya, Siocia sudah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi, maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan.”

Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi dia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan bersifat gagah ini.

“Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah peristiwa ini kubereskan.”

“Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”

Louw Sun Bi memandangnya tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan pembalasannya, ada aku di sini!”

Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai. “Loya, biar pun saya hanya seorang bodoh dan lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya, saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu bertindak keluar.

Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Dia langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya menginjak tanah, dia langsung berdiri diam bagaikan patung!

Di sana, di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam!

“Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagi pula, kau datang bukan sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”

Ting Sun kaget bukan main dan merasa seakan-akan ada petir menyambar kepalanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!

“Orang she Ting, aku sudah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid bahwa kau hendak pergi jauh dan tidak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau berani-berani memperlihatkan mukamu di sini!”

Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar.

Celaka sekali! Orang tua itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini, tapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan rahasianya!

Pada keesokan harinya, sesudah semua anak murid berkumpul, Louw Sun Bi sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di sana dan mendengarkan serta menyaksikan Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran kepada anak gadisnya itu bahwa sebagai seorang gadis baik-baik dia harus tahu menjaga kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.

Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar sudah berada di sana, semua murid yang berjumah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan seperti biasanya, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun kering yang malam tadi rontok dari pohon.

Akhirnya orang yang dinanti-nantikan, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan gagah serta dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian dia melihat ke arah Cin Hai yang sedang menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya dia menghadapi semua murid dan berkata,

“Anak-anak sekalian, aku membawa berita yang penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini juga aku akan berangkat meninggalkan Ki-bun.”

“Hendak pergi ke mana, Suhu?” tanya seorang murid.

“Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali ke sini. Tetapi kalian tidak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu pasti akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan kepada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat yang ada di punggung. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”

Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan sudah tiba. Dia menghampiri guru silat itu dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kemarahan dan kebencian itu.

“Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak menggunakan jembel busuk ini untuk contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. “Lihatlah baik-baik, untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”

Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam.

“Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian dia lalu menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.

Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak mengenai sasaran.

“Jangan, Siauwya, jangan…!” Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencegah serangan Ting Sun. Akan tetapi guru silat itu marah sekali melihat betapa tadi totokannya dikelit.

“Bangsat rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya.

Ia mengirim tendangan ke arah lambung Cin Hai. Tendangan ini hebat sekali dan kalau terkena, pasti nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.

Louw Sun Bi amat terkejut dan marah. Pada saat dia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba ia merasa terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.

Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi kemudian berlari-lari memutari pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan!

Ting Sun yang tidak mengenal gelagat, biar pun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sangat aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai menari-nari!

Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari?

Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangannya selalu tidak mengenai sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai!

Mereka ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus dia menyerang sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun pukulannya itu selalu meleset dan tidak pernah mampu mengenai tubuh Cin Hai! Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba saja tubuh atau bagian tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!

Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, akan tetapi yang kelihatannya betul-betul mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biar pun belum banyak mempelajari ilmu silat mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?

Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerakan tarinya. Sesudah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong itu.

Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri. Maka, tanpa ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling!

Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali dia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!

Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap dia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!

“He, Siauwya, kau kenapakah?” Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah.

Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya tadi sehingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai sudah mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung!

“Ehh, ehhh, Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.

Melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, murid-murid bukoan menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat ke dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.

“Anak-anak semua. Lihat, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik? Contohlah anak ini, sebenarnya dia seorang berilmu tinggi, tetapi dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai bertahun-tahun sehingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!”

Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang kemudian dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai sangat lihai, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok lagi!

Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, karena itu dia lalu bertanya, “He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sesungguhnya engkau ini murid siapakah. Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?”

Dengan sikap hormat dan merendah Cin Hai menjura. “Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa.”

Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kanglam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.

Louw Sun Bi mengira bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak lagi, hanya menyatakan kagumnya. Akan tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.

Louw-kauwsu tak dapat lagi menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya. Akan tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu.

Cin Hai menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian sesudah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Dia tak lupa memberi hormat sambil berkata, “Siocia, aku mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!”

Bin Nio hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Dia insaf betapa dia telah salah mengenal orang…..

********************

Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Kini ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap, matanya lebar dan mukanya bulat, muka yang membayangkan kejujuran dan ketinggian pribudi.

Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa ‘Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!’

Dulu ia sering kali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Akan tetapi sekarang dia mengerti betapa tepat serta mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus dipergunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara sendiri, sehingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran.

Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk bisa menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya.

Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya sekedar makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih terdapat banyak sekali tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau ‘saudara’ kita yang hidup menderita kesusahan

.

Sesudah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang dulu pada waktu masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.

Dengan kepandaiannya, walau pun dia baru mempelajari tiga perempat bagian saja dari Liong-san Kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya ‘Pendekar Bodoh’ karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh.

Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, dia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, dia lalu mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggota Sayap Garuda sedang menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta di dalam pelukannya. Sambil memondong korbannya, orang itu meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur.

Tetapi sekali meloncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, “Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”

Anggota Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara dua jari tangan.

Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu segera membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi secepat kilat Cin Hai lalu menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggota Sayap Garuda itu.

Si Penculik menjerit kesakitan, namun ternyata dia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biar pun telah terluka, dia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu!

Cin Hai sudah banyak mendengar mengenai kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh serta kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa salah seorang anggota gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, dia menjadi marah sekali. Dia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.

Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggota Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggota mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!

Selama dalam perantauannya, Cin Hai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu dia sudah banyak menjatuhkan lawannya yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan.

Akan tetapi sekali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata mempunyai kepandaian tinggi, dia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama dia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.

Tiba-tiba hwesio gundul yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,

“Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang itu agaknya tidak mudah merobohkan Cin Hai.

Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, karena itu ia mendahuluinya dan langsung mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.

Tetapi sungguh aneh! Lawannya tidak berkelit mau pun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju dan hendak mencengkeram pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan meski pun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!

Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa dia melepaskan sulingnya lantas membuang diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.

“Ha-ha-ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!

Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,

“Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki anjing?”

Sebutan kaki anjing merupakan sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam bagaikan pantat kuali, pipinya keriput ada pun matanya yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.

Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja dia berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang,

“Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?”

“Tetapi aku tidak akan tinggal diam saja kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”

Hwesio itu menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sute-mu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”

Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang segera meloncat pergi dan Biauw Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!

Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda lantas menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.

Mendadak nampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak, seorang anggota Sayap Garuda roboh mandi darah!

“Niocu!” Tiba-tiba Cin Hai berseru keras.

Kedua matanya dikejap-kejapkan seolah-olah dia tak percaya pada pandangan matanya sendiri. Sesudah jelas bahwa yang menolong dirinya dan sedang mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.

“Niocu... !” sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.

“Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.

Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak keras,

“Ang I Niocu yang datang, lekas lari!”

Dan ia mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa korban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.

“Niocu...!” Sekali lagi Cin Hai berseru girang.

Gadis itu memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat betapa Cin Hai sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tanpa terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata.

“Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”

“Niocu... Niocu... jangan kau tinggalkan aku lagi!”

Mendengar ucapan yang masih bersifat kekanak-kanakan ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.

Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ. Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya mengenai pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang.

Tanpa menyembunyikan sesuatu Cin Hai lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya sehingga ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menangis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.

“Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” Cin Hai bertanya sambil memandang wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.

“Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah goa rahasia yang disebut Goa Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa goa itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini itu! Oleh karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu dapat bertemu.”

Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa dia sudah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.

“Bukit itu disebut Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku harus dapat mencari goa itu di sana. Ketahuilah bahwa selain aku, masih terdapat banyak orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan goa itu. Karena itu marilah kau turut bersamaku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”

Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tidak berani membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, dia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.

Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil juga mendapatkan goa itu yang tertutup oleh tumpukan batu-batu yang ratusan banyaknya. Dengan tidak mengenal lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah goa yang luar biasa besarnya dan gelap!

Mereka masuk ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati serta merayap beberapa lamanya, ternyata di sebelah dalam goa itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas. Mereka terus maju ke dalam hingga akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.

Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu, tampaklah tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar. Tengkorak itu tingginya paling sedikit tiga kali tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar itu.

Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Mendadak Ang I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan,

“Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?”

Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan dia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat dari pada batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam.

Di tengah-tengah kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruangan yang luar biasa luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi mati ketakutan!

“Aneh,” kata Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?”

“Itulah yang kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api dalam hio-louw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu.”

Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun goa masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk?

Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Dia berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya.

Cin Hai mengikuti di belakangnya dengan hati berdebar kencang dan mulut terasa kering. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.

Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan dia merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking ngeri dan takutnya.

Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan mukanya menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi dia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tidak pernah lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.

“Niocu...” katanya terengah-engah, “lihat...“

Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat dia menjadi terkejut dan ngeri. Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak ke kanan-kiri!

Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya kemudian siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tak membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi dia lalu memungut sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan senjata istimewa itu di tangannya!

Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruangan itu dan terdengar menyeramkan sekali.

“Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”

“Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?”

“Hushh...”

“Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang-orang lain! Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kau kira aku tak mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah datang dan berada di luar goa!”

Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.

Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba saja dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai heran sekali pada saat melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sute-nya!

Akan tetapi pada saat itu tiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang tinggi besar itu juga telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruangan itu sambil memandang ke kanan kiri....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)