PENDEKAR BODOH : JILID-08


Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran kenapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!

Akan tetapi pada saat itu dari luar goa terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan, “Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk goa ini?”

Sebelum gema suara ini lenyap, orangnya sudah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali karena orang ini ternyata adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memamerkan dadanya yang berbulu. Juga hwesio ini memegang senjatanya yang lihai, yakni sebatang tongkat ular.

Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas. Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam goa itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali!

“Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian tak akan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang telah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam tanganku!”

Giok Yang Cu marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tidak berhasil membunuhmu adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Kini kami akan menebus kekalahan itu!”

“Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”

Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, “Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!”

Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Memang kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Toya Seribu Ular luar biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya sangat cepat dan hebat sehingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.

Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san Kun-hoat yang juga luar biasa dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi dari pada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka sebab permainan tongkat Hai Kong Hosiang betul-betul hebat sekali dan mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman maut!

Hai Kong Hosiang yang melihat betapa dia dapat mendesak tiga orang lawannya, merasa gembira sekali. Hwesio gundul ini tertawa ha-ha hi-hi sambil memperhebat serangannya. “Ehh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”

Akan tetapi, meski pun dia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san Kun-hoat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tidak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.

“Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “dapatkah kau mengalahkan si gundul itu?”

Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu, kemudian bibirnya yang manis dan merah tersenyum.

“Agaknya tak akan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”

Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya dia berada begitu dekat Ang I Niocu, maka hatinya merasa girang dan terharu sekali.

Tanpa terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi mendadak tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Pada saat pemuda itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan mukanya untuk menonton pertempuran yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.

Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa sekarang Kanglam Sam-lojin benar-benar terdesak dan keadaan mereka sudah berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang semakin gagah dan ganas saja.

Pada saat itu kembali terdengar suara gaduh di luar goa, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!

“Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak punya waktu lagi untuk melayanimu terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru.

“Ha-ha, Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari tempat ini dan jangan mengganggu aku!”

Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke dalamnya.

Asap mengepul semakin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Dia lalu melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat.

Dia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkat hiolouw. Tapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak!

Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa mempergunakan tangannya untuk menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Dia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia pun merasa geli bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.

Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar goa masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul.

Cin Hai makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Kenapa ada banyak sekali orang-orang lihai datang ke goa ini?

Sementara itu, ketika mendengar suara orang masuk ke dalam goa, Hai Kong Hosiang lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu!

Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, dia lantas tersenyum menyindir, “Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari pusaka ke dalam goa ini?”

Biauw Leng Hosiang membalas sindiran orang dengan suara memandang rendah, “Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apa bila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!”

“Biauw Leng, kau sungguh tidak memandang orang lain! Kepandaian apakah yang kau andalkan maka kau berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?”

“Sudahlah jangan banyak cakap lagi dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu kembali berkata.

Sekarang Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,

“Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk ke sini terlebih dulu? Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau? Ketahuilah, aku masih memandang muka Suci-mu, Biauw Suthai yang selain gagah perkasa juga patut dihargai sebab memegang teguh peraturan kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”

Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti suara ketawa seorang wanita.

”Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu! Kau bilang bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kau kira bahwa aku tidak melihat Kanglam Sam-lojin keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka masuk, akan tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih dulu dari padamu?”

Hai Kong Hosiang menjadi malu dan semakin marah. “Tidak perlu kita mengadu lidah! Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau pun harus dapat mengantarkan!” Ini adalah tantangain berkelahi!

“Hai Kong! Kau kira pinceng tidak akan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw Leng Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!

Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini tentu saja ia merasa senang sekali melihat betapa beberapa kali terjadi pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi,. Ia maklum akan kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian tinggi juga.

Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang memiliki darah panas itu sudah mulai menyerang secara hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan kiri dan sebuah pedang pendek pada tangan kanannya, gerakannya cepat dan berat, kedua senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!

Sambil mengintai Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu sebab dia sedang mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kau duga siapa yang akan menang?”

Sejak tadi Ang I Niocu melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan suka sekali kepada anak muda ini. Dahulu ketika Cin Hai masih kecil dan berkepala gundul, dia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri. Kini Cin Hai telah hampir dewasa dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap.

Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu terus memandang pertempuran dengan mata berkilat-kilat, wajah berseri-seri, serta mulut tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa sebetulnya dia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa heran dan tidak mengerti kenapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!

“Apa katamu?” ia balas berbisik.

Sesudah Cin Hai mengulangi pertanyaannya, dia lalu memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah siapa yang akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walau pun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi dan lebih lihai geraknya, akan tetapi Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam setiap gerakannya. Mungkin pertempuran ini akan berjalan lama.”

Cin Hai memperhatikan baik-baik. Baginya, setiap pertempuran merupakan penambahan pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka dia dapat memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara jago tua itu, dia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal sekali. Dia merasa bahwa untuk dapat mempunyai kepandaian tinggi dan mampu menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, dia masih harus belajar banyak!

Karena merasa jengkel tidak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata memiliki kepandaian lebih lihai dari pada yang semula dia sangka, Biauw Leng Hosiang merasa tidak sabar dan tiba-tiba dia bersuit keras.

Dari luar goa terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba saja dari luar menerobos lima orang yang berpakaian seragam. Mereka ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok Hai Kong Hosiang!

Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira yang dibagi menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang.

Sudah tentu saja masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini segera membuat Hai Kong Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi semakin sibuk lagi. Akhirnya sebuah totokan yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat dihindarkan sudah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak keras sekali lalu roboh!

Apa bila orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang kuat, maka nyawanya tentu melayang. Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan sehingga ia hanya menderita luka dalam yang tak membahayakan jiwanya. Akan tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya sehingga untuk beberapa lama dia hanya duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan luka di pundaknya yang menembus hingga dadanya.

”Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka laksana pantat kuali dan matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang.

Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat suci-nya telah berada di situ! Hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.

Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu pada saat Biauw Leng Hosiang menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai segera pergi. Akan tetapi ia masih merasa curiga pada adik seperguruannya yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran aturan perguruan mereka dan berkali-kali dia tegur karena menjalankan kejahatan itu. Maka dia lalu mengikuti adik seperguruannya itu secara diam-diam.

Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke Goa Tengkorak itu. Dia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan sesudah melihat betapa sute-nya mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia langsung menyerbu masuk dan telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sute-nya yang tersesat.

“Biauw-suci, kau lagi-lagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?” kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena dia dapat mengandalkan bantuan kelima perwira yang kosen itu.

“Biauw Leng! Apakah kau sudah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dahulu? Percuma saja kau menjadi pendeta apa bila kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentunya masih ingat bahwa di antara segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim dan menjadi anjing penjilat. Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih bersabar sebab mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi tetap saja kau selalu melanggar. Sekarang, marilah kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan makam Suhu!”

“Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat bahwa kau dulu sering melatih dan memberi pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tapi kau jangan terlalu mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan melawan jika diinjak, apa lagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci yang baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”

Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu semakin memburuk dan matanya yang tinggal satu di sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa dia marah sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut dan jeri juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.

“Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya.

Biauw Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik mendiang suhu mereka dan yang apa bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai sudah mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun tentu akan dihukum mati oleh suci-nya sendiri!

Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.

Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika dia dirobohkan oleh Biauw Leng Hosiang, maka dia merasa bersimpati kepada tokouw ini. Apa lagi kalau dia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka dia tidak dapat lagi menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang erat-erat tulang paha manusia yang masih dipegangnya pada saat ia pergi bersembunyi, lalu ia meloncat keluar sambil berteriak,

“He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!”

Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Dia maklum bahwa kepandaian Cin Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu, maka dia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai sambil berseru,

“Hai-ji, hati-hati!”

Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang datang dan bersembunyi, akan tetapi dia tak berdaya karena Biauw Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.

Sementara itu, ketika melihat keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak kelima perwira Sayap Garuda tertegun. Kemudian sesudah Ang I Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.

Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang sudah pernah ia pelajari. Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san Kun-hoat! Dengan ilmu silat campuran ini ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.

Ada pun perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja sudah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang bagaikan menari-nari di depannya itu!

Melihat betapa kini perwira ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali dikeroyok tiga! Selain menghadapi ketiga lawannya, nona ini juga berusaha mendekati Cin Hai sehingga dapat bersiap sedia membela serta menolong pemuda itu apa bila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.

Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosiang dan seorang perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat sekali. Suatu saat dia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah dan tewas seketika itu juga!

Semua perwira merasa amat terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat betapa orang yang mereka andalkan sudah tewas, maka mereka tidak berani bertempur lagi.

Ketika melihat sute-nya rebah di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba Biauw Suthai menubruk sambil menangis tersedu-sedu!

“Sute… Sute… mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin berkeluh-kesah dengan suara memilukan.

Biauw Suthai lantas menghampiri Hai Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata untuk mengobati luka di dalam dadanya. Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan lukanya menjadi berkurang sakitnya.

“Hai Kong Hosiang, kau maafkan Sute-ku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya.”

Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini pergi meninggalkan tempat itu. Biauw Suthai kemudian mengangkat sute-nya dan sambil memondong tubuh yang tak bernyawa lagi itu, ia hendak meninggalkan goa.

Akan tetapi Cin Hai melangkah maju dan sambil memberi hormat dia bertanya, “Suthai yang mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?”

Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Ehh, anak muda yang berani, kau siapakah?”

“Suthai tentu sudah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau mencu... ehhh… membawanya pergi!”

Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu ia pergi sambil memondong jenazah sute-nya!

Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang pandai, mereka merasa jeri menghadapi Ang I Niocu yang kelihaiannya tadi telah mereka kenal.

Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat teguran dari susiok-couw-nya karena sudah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,

“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!”

Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa. Ada pun Cin Hai merasa sangat tidak puas melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut terhadap Bu Pun Su. Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali.

Orang ini bertubuh pendek sekali, barang kali sama tingginya dengan seorang anak-anak berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik kian ke mari tiada hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali laksana telinga gajah, sedangkan mulutnya berbibir tebal. Ia memakai jubah panjang yang menggantung hingga ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna jubah ini yang hitam sekali.

“Eh, siapa orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi berlutut di depan orang kate itu.

Ang I Niocu juga menengok dan terkejutlah dia, terkejut sebab mengingat betapa lihainya orang ini yang dapat datang ke sana tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan dia sendiri dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang kate ini telah berdiri di depannya.

Ketika ia bangun dan memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!

Ang I Niocu kemudian mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe kami yang muda memberi hormat.”

Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.

“Pemuda tolol! Kau siapakah? Kau ini apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.

Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa semakin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri bukan main, apa lagi melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu berbicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), dia merasa semakin geli karena alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya dengan sebutan locianpwe.

Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, dia melihat betapa telinga gajah itu bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar-benar digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tidak dapat lagi menahan rasa geli di hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memutar-mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.

”Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.

“Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!”

Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!

“Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”

Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka dia berkata, “Orang tua, orang baru tertawa kalau hatinya senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa, tentulah berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah ujar-ujar tentang tertawa?”

Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkan dirinya, akan tetapi dia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu. “Coba kau ceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan dua mata tetap berputar-putar.

Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh menirukan suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,

“Mati diantar tangis, lahir disambut tawa. Namun bagaimanakah sikap orang bijaksana? Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”

“Bagus, bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan dia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.

“Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!

“Kenapa aku tertawa? Ha-ha-ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?”

Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah salah satu tengkorak sehingga tengkorak yang dikebutnya itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!

“Hek Moko, kau jangan terlalu sheji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!” Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru!

Ternyata dalam kata-katanya ini Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan tenaga khikang-nya yang sudah dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biar pun dia tidak meninggalkan goa itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko.

Hek Moko diam-diam memuji dan dia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga. Dari luar goa terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar goa menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di hadapan Hek Moko!

Orang yang baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggota mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya berupa dua garis melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!

Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya. Walau pun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sute-nya.

Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama asli mereka sudah dilupakan orang.

Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.

“Kalian Iblis Hitam dan Iblis Putih, sesudah lebih dari lima belas tahun tidak berjumpa, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” Bu Pun Su berkata sesudah berhadapan dengan mereka.

“Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kuduga kau masih hidup. Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.

“Hek Moko, jangan berbicara seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, kenapa takut aku menjadi perintang? Berbuatlah apa yang kau suka, aku tak akan peduli.”

Girang wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. Memang, semenjak tadi dia telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jeri hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lampau, ia dan sute-nya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai itu sehingga mereka masih merasa jeri dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.

“Ha-ha-ha, bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. “Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian tadi sudah mendengar kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!”

Setelah berkata demikian, Hek Moko segera melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang cukup besar.

Hek Moko menjenguk dan dia segera meloncat sambil memperdengarkan suara tawanya yang aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh dan memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.

“Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek Moko berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.

“Biarlah sekali lagi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!

Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri di dekat Bu Pun Su sehingga hiolouw itu tidak hanya mengancam Si Kakek Jembel saja, tetapi juga sekaligus mengancam mereka berdua!

Hiolouw raksasa itu begitu berat sehingga sebelum datang, anginnya sudah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa sehingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini!

Akan tetapi di hadapan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau ngeri. Karena itu dia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya menegang dan mata terbelalak.

Biar pun telah memiliki kepandaian tinggi, namun Ang I Niocu mengerti bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka dia hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apa bila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek gurunya, takut kalau-kalau dianggap lancang tangan.

Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar ke arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.

Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, pada waktu kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seolah-olah besi sembrani yang menarik hiolouw itu sehingga kaki hiolouw menempel pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!

Tidak hanya Cin Hai yang tanpa terasa lagi terpaksa meleletkan lidah saking kagum dan herannya, akan tetapi Ang I Niocu juga memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia menyaksikan sucouw-nya mendemonstrasikan kekuatan lweekang-nya yang tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.

Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lantas berkata dengan suara lemah lembut, “Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang, maka harus dihormati. Apa lagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua dari pada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku tak akan mengampunimu, Hek Moko!”

Sesudah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat.

Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian mereka sendiri dan biar pun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus.

Untuk bisa menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekang-nya dan meski pun tenaga lweekang kakek itu sangat hebat, namun sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini?

Biar pun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba saja keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud untuk main-main. Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri menotok urat kematian di iga belakang!

Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh curang!”

Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu dia sudah mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka kemudian mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!

Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu Pun Su mempunyai kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau saja mereka tetap meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok.

Cepat mereka menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan serangan lainnya! Mereka berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua itu tak akan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!

Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!”

Tubuhnya merupakan bayangan merah segera berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!

Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu semakin cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu sehingga anginnya telah membuat rambut kakek itu berkibar.

Bu Pun Su tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya. Tadi dia telah mengatakan bahwa orang harus menghormat hiolouw itu, maka biar pun berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, sekali-kali dia tidak mau membiarkan hiolouw itu jatuh terbanting ke tanah sehingga isinya tumpah atau rusak. Jika ia tidak menyayangi hiolouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas menyerang kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja dia akan berhasil mengelak dari serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau dia melakukan ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.

Akan tetapi tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai ahli silat nomor satu di kolong langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk menyelamatkan diri dari pada serangan dua lawannya, yaitu dengan membarengi mengirim pukulan maut sebagai serangan balasan, akan tetapi dia tidak sudi menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan.

Tiba-tiba saja dia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi tergetar, sedangkan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang saling beradu. Kedua iblis itu pun menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat mereka tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka.

Kesempatan yang hanya beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan sebaiknya karena tiba-tiba saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana caranya ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas dari pada kedua serangan maut itu.

Perhitungan Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun makin cepat dan oleh karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko yang terulur ke depan ketika menjalankan pukulan mereka tadi.

Dengan hati terkejut kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil meloncat mundur, takut kalau-kalau tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang hati, kini Si Jembel tua sudah rebah terlentang ada pun hiolouw itu dengan kecepatan luar biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel tua yang mereka takuti itu.

Akan tetapi kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat. Karena tak ada kesempatan untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, sambil rebah terlentang Bu Pun Su lantas mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke atas, kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat sekali, kaki itu bergerak ke bawah melebihi kecepatan luncuran hiolouw, lantas membuat gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun, dan kekuatan hebat yang ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan luncurannya kemudian dibelokkan oleh ayunan ini.

Arah tekanan yang mula-mula meluncur ke bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh kedua kaki Bu Pun Su, kemudian kaki itu menendang sedikit sehingga sekarang luncuran dibelokkan ke atas kembali! Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan tenaga yang sudah patah hingga tidak sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun Su telah meloncat berdiri pula dan dengan kepalanya dia kembali menerima hiolouw itu! Hebat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)