PENDEKAR BODOH : JILID-09
Hek Moko dan Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani lagi sembarangan bergerak ketika Bu Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi sesuatu, berjalan terus dan sesudah tiba di tempat hiolouw, dia memegang kaki hiolouw itu dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali dia lalu meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya. Hiolouw itu berdiri dengan angker dan angkuh di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari renggangan tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi Hek Moko.
“Sungguh kalian dua iblis tua sangat sembrono, hampir saja kalian merusak hiolouw itu.” Bu Pun Su menegur dengan suaranya yang halus.
Cin Hai merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas dari pada bahaya maut dan dia tidak menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka namun hanya menegur karena mereka hampir merusak hiolouw. Tampaknya kakek aneh ini lebih mementingkan hiolouw dari pada tubuh dan nyawanya sendiri!
Hek Moko dan Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya, tentu saja merasa penasaran dan tak mau tunduk secara demikian mudah. Berbareng mereka lalu mencabut senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang pedang yang bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan kiri. Pedang di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang itu dapat digunakan untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata lawan akan terampas.
Akan tetapi tasbeh pada tangan kiri itu tidak kalah berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam yang keras dan tidak dapat diputuskan dengan senjata tajam, sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga memanjang merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu apa bila batu-batu hitam itu dilepas dari untaiannya, dia dapat pula digunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan ganas!
“Ehh, ehhh, kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh. Kalian menghendaki pertempuran dan ingin merusak tubuhku, silakan. Asal saja jangan kalian mencoba merusak hiolouw!”
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis itu lantas berbesar hati. Masih bagus bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah. Akan tetapi kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran sehingga dia tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,
”Ehh, tua bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu dari pada tubuhmu sendiri!”
Kini jawaban Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh, “Tentu saja, tentu saja! Tubuhku yang sudah tua dan lapuk ini apalah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak binasa, tidak akan ada yang dirugikan, dan kalau masih ada pun tidak akan ada gunanya bagi manusia. Tapi sebaliknya, umur hiolouw ini telah ribuan tahun dan telah banyak jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian sesudah tubuhku ini lenyap menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret di tempat ini, hiolouw itu akan tetap berdiri dan masih berguna bagi manusia yang masih hidup, karena dia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang hendak berhubungan dengan Tuhan.”
Cin Hai tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana namun mengandung arti yang dalam ini, dan diam-diam dia memutar-mutar otaknya mencari ujar-ujar kuno yang sesuai dengan filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat dia temukan.
Sementara itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di situ kakek jembel ini lalu duduk bersila dan berkata kepada Cin Hai,
“He, gundul tolol, muridku. Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu itu!”
Cin Hai terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya hanya sepotong tulang besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa, maka dia segera melemparkan tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka berseri-seri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su lalu meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya!
Cin Hai merasa makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu tidak marah kepadanya. Hanya ia mendongkol kenapa sampai sekarang ia terus disebut tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah dengan air mata!
Cepat ia melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi Ang I Niocu menggerakkan tangan mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa mereka tidak berada berdua saja di tempat itu dan bahwa di muka umum tidak pantas baginya memegang tangan Ang I Niocu meski pun dara itu adalah seorang yang sangat dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.
“Niocu, ada apakah?” bisiknya. Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan menggeleng-geleng kepalanya yang cantik, lalu menundukkan mukanya.
Pada saat itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau,
“Bu Pun Su, kau terlalu menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu dengan kau, tak peduli kau mau melayani kami atau tidak!”
Akan tetapi Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu, diam saja menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ merupakan saksi mati dari pada segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali. Mereka melihat betapa kedua iblis itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan sudah berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!
“Niocu, mari kita turun tangan membantu Suhu…,” bisik Cin Hai.
Tetapi Dara Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Hai-ji, kau belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton saja.”
“Bu Pun Su, awas kau, akan kuhancurkan kepalamu!” Pek Moko berteriak dari belakang kakek itu, lalu ia mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala Bu Pun Su!
Dalam detik-detik ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai berhenti berdetak karena kuatirnya dan tanpa terasa lagi tangannya memegang tangan Ang I Niocu dan jari-jari tangan mereka saling genggam dengan erat.
Akan tetapi, seperti ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah menyambar dekat, tiba-tiba Bu Pun Su menundukkan kepala sehingga tasbeh itu memukul angin! Legalah dada Ang I Niocu serta Cin Hai dan teringatlah mereka bahwa mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka melepaskan tangan mereka.
Ternyata Bu Pun Su bukan sedang bersemedhi sebagaimana yang mereka semua kira. Kakek jembel ini sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala pikiran dan perasaan dipusatkan menjadi satu sehingga tanpa memandang atau bergerak, dia telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun datangnya!
Pek Moko dan Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah sekali oleh kakek tua ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biar pun mereka dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang hebat sekali. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka berdua melatih diri dan bahkan mereka sudah menambah senjata pedang mereka dengan sebuah senjata tasbeh yang lihai.
Dan apakah yang dilakukan oleh Bu Pun Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk diam sambil meramkan mata dan memegang sebuah… tulang! Ini adalah penghinaan yang tiada taranya bagi mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu sudah mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim serangan dengan pedangnya, ada pun Pek Moko dari belakang juga mengirim serangan-serangan kilat yang mematikan.
Betapa pun juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan keselamatan Bu Pun Su, karena mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan lihai, masih lebih hebat dari pada kepandaian orang-orang gagah yang tadi datang ke goa itu. Lebih tinggi tingkat kepandaiannya dari pada Hai Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih lebih lihai dari pada Biauw Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka sambil duduk bersila dan meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.
Akan tetapi, setelah melihat agak lama, perasaan kuatir mereka tidak saja lenyap, bahkan mereka menjadi tertarik sekali berbareng kagum dan terheran! Ternyata bahwa dengan tangkisan tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu Pun Su dapat membela diri dengan sangat baiknya!
Kakek jembel ini tidak melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang sebuah serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau menangkis! Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya dapat ia kelit dengan mudah dan serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tidak dapat dia elakkan, maka kemudian ditangkisnya dengan tulang. Biar pun ada empat buah senjata menyerang berbareng dari empat jurusan, masih dapat ditangkisnya dengan putaran tulang yang berubah menjadi senjata yang lihai itu!
Kedua iblis itu semakin marah dan penasaran. Sudah puluhan jurus mereka membacok, menusuk, memukul dan melakukan berbagai macam serangan lain, akan tetapi hasilnya selalu sia-sia. Benarkah mereka tak akan berhasil mengalahkan seorang tua yang hanya melawan mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas sedikit pun? Ahh, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih gencar dan hebat.
Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai merasa penasaran sekali melihat betapa Bu Pun Su hanya mempertahankan dan membela diri saja tanpa mau membalas sedikit pun. Tapi apakah daya mereka? Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa kepandaiannya masih jauh dari pada kuat untuk melawan kedua iblis yang lihai itu, sedangkan Ang I Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couw-nya, tak berani turun tangan tanpa diperintah.
Cin Hai berpikir, kalau suhu-nya itu bertahan terus saja, apakah dia tidak akan lelah dan akhirnya terkena serangan juga? Dia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring dia mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,
“Seorang budiman hanya mencabut pedangnya untuk mempertahankan kehormatan dan namanya. Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah perbuatan seorang gagah, hanya dilakukan oleh kanak-kanak dan orang tolol!” Kemudian dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya sendiri, “Aku masih bingung memilih golongan untuk Hek Pek Moko, apakah mereka berdua termasuk anak-anak ataukah orang tolol?”
Karena suasana di sana sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis itu yang kadang kala beradu dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin Hai terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu.
Tentu saja kedua iblis itu dapat mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah. Biar pun hanya menduga-duga saja, tetapi ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang ‘memperebutkan benda’ adalah tepat sekali.
Cin Hai memang belum tahu mengapa para tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Goa Tengkorak. Tetapi dia dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan sesuatu yang amat penting dan berharga.
Akan tetapi, mana kedua iblis itu mau mendengarkan nasehat-nasehat yang keluar dari mulut seorang pemuda? Mereka bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.
Cin Hai menjadi bingung. Ia melihat bahwa biar pun Bu Pun Su masih dapat membela diri dengan baik, namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan tenaga untuk melayani serangan-serangan berbahaya dari dua lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak kembali, kini lebih keras dari pada tadi,
“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan mesti dilawan dengan keadilan. Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah adil namanya?”
Biar pun Cin Hai sudah berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Cin Hai tidak berputus asa, dia mengulangi lagi kata-katanya dengan suara makin keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak.
Akan tetapi pada waktu itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi serangan kedua lawannya. Apa bila dia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal lain, maka kedudukannya akan sangat berbahaya dan pertahanannya akan menjadi lemah. Oleh karena itu teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan kegaduhan yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik perhatiannya.
Cin Hai menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat kenyataan bahwa keadaan suciok-couw-nya berbahaya sekali. Gerakan-gerakan orang tua itu makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak semakin hebat!
Dara Baju Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia membantu Bu Pun Su. Bila mana nanti kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka ia akan berlaku nekat dan membelanya, biar pun untuk itu ia akan mendapat marah sekali pun!
Cin Hai kemudian berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di sudut. Dia memilih-milih dan akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis berlubang, agaknya tulang paha yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, dia lalu lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik,
“Niocu, lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!”
Walau pun merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena percaya penuh bahwa dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan kuat untuk mendapat sebatang suling. Dengan ujung pedang dia menggunakan lweekang-nya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah sebatang suling terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan bentuknya sangat sederhana.
Cin Hai merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat itu telah sangat terdesak, dia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan bingungnya ketika suling istimewa itu mengeluarkan suara yang amat ganjil dan sukar sekali diikuti nadanya! Akan tetapi Cin Hai cepat-cepat mengerahkan kepandaiannya dan mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu! Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat mendengar kata-katanya.
Maksudnya ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu Pun Su tak dapat bertahan lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau dia pun terpaksa menggunakan sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan suara suling yang nyaring ini!
Dan sangat untung baginya karena tidak hanya dia, bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi suling dan bahkan perhatian Hek Pek Moko setengah bagian sudah terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau tidak demikian halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya oleh karena perhatiannya terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah perhatiannya, maka biar pun pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya serang kedua itu pun banyak mengendur pula!
Melihat betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah Cin Hai bahwa usahanya berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan mengulangi kata-katanya tadi dengan suara nyaring dan keras sekali,
“Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan mesti dilawan dengan keadilan! Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?”
Suara suling tadi memang nyaring dan ganjil sehingga ketika tiupannya ditunda, seketika keadaan menjadi hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai terdengar sangat terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan baik. Mendadak kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hek Pek Moko,” katanya dengan suaranya yang halus sabar, “apa bila bicara mengenai kebijaksanaan, kau masih belum ada sepersepuluhnya juga dari pada muridku yang tolol ini! Sekarang apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua turun tangan?”
Akan tetapi Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir berhasil, maka mana mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih hebat lagi!
”Siancai… siancai…!” Bu Pun menyebut.
Orang tua itu kini menggerakkan tangan kirinya yang semenjak tadi hanya terletak di atas pangkuannya saja. Sekali tangan kirinya bergerak, maka dia berhasil menangkap tasbeh Pek Moko yang menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya membetot dan putuslah tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari untaiannya kemudian jatuh berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil itu dan tangan kirinya bergerak pula menyambit.
Terdengar jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek Moko yang memegang senjata sehingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta kedua senjata di tangan kanan kiri Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berdering-dering ke atas lantai!
Bukan main terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang masih duduk bersila sambil tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan hampir menangis karena kecewa dan gemasnya,
“Orang tua, kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”
Bu Pun Su hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata mereka kembali dan kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat keluar dari Goa Tengkorak dan melarikan diri.
Ang I Niocu kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah berhasil menolong orang tua itu, maka dia segera maju dan bersama Cin Hai lalu berlutut sambil menyebut,
“Suhu...”
“Susiok-couw, ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat persembunyian.”
“Sudahlah, sudahlah...” Bu Pun Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda memang paling doyan berkelahi!”
Kemudian kakek ini memandang kepada Ang I Niocu dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi terdengar jelas penyesalannya. “Kiang Im Giok, sekarang kau pergilah ke timur dan mencari Suci-mu di daerah itu. Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu hanya membikin malu saja. Beri peringatan kepadanya atau kalau dia masih belum insyaf, bawa dia ke mari. Dan kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap kelemahanmu sendiri!”
Ang I Niocu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, “Baik, Susiok-couw!” Kemudian Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan berkata lagi, “Apakah teecu harus berangkat sekarang juga?”
“Ya, pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”
Ang I Niocu memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi, akan tetapi Cin Hai tiba-tiba berkata,
“Niocu, kau pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?” suaranya terdengar pilu dan terharu sehingga Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling. Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat sekali!
“Niocu!” Cin Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhu-nya!
“Anak tolol, kau ternyata masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai.
Kemudian kakek ini berdiri dan berkata kepada Ang I Niocu yang hendak melanjutkan tindakan kakinya. “Im Giok, tunggu sebentar. Aku masih ragu-ragu, apakah jika Suci-mu membangkang, kau cukup kuat untuk menundukkannya. Coba kau lebih dulu perlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sian-li Kiam-hoat!”
Ang I Niocu tidak berani membantah, segera dia melolos pedangnya. Kemudian dia mulai menjalankan ilmu silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali bahwa pada saat itu dia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring tarian pedang Ang I Niocu! Sementara itu, sesudah gerakan Ang I Niocu menjadi cepat sehingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,
“Tahan! Coba ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima puluh, tetapi lambat saja. Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”
Ang I Niocu merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi kini dengan lambat hingga ia seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin Hai ketika melihat betapa Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil berkata,
“Coba kau serang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”
Sungguh pemandangan yang amat indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat Ang I Niocu, karena tarian kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan tarian Ang I Niocu hingga mereka bagai sepasang penari ulung yang mendemonstrasikan kepandaiannya! Sayang sekali bahwa penari prianya sudah kakek-kakek. Coba kalau yang menari seperti Bu Pun Su itu seorang pria muda, tentu akan indah dan cocok sekali!
Cin Hai tidak melihat kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su tadi, akan tetapi, sesudah Bu Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I Niocu. Benar saja, pada tiap gerakan ternyata kakek yang lihai itu sudah dapat mencari dan dengan gerakan tangannya yang bagaikan menari-nari itu dia dapat menyerang melalui lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia bersilat! Ia maklum bahwa dalam suatu pertandingan sungguh-sungguh maka tangan kakek itu tentu sudah berhasil merobohkan dirinya dengan mudah!
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menari. “Nah, kau sudah tahu kelemahan dari gerakan-gerakanmu tadi? Ingat, kau terlalu menitik beratkan kepada keindahan gerakanmu hingga kau lupa bahwa dalam setiap keindahan itu tentu terdapat kelemahan akibat perhatianmu terganggu oleh rasa bangga dan keinginan memperlihatkan kepandaian atau keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh keindahan gerak tarianmu tentu ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu, akan tetapi kalau dia waspada, maka kau tentu akan celaka. Nah, kau perhatikanlah dan pada waktu kau bersilat dengan jurus ke tiga puluh sampai ke lima puluh, kau harus mengurangi gerakan menyerang dengan pedang dan siku tangan yang memegang pedang jangan terlampau lebar terbuka, sedangkan tangan kirimu harus membuat gerakan Bunga Sembunyi di Bawah Daun atau Ikan Berenang di Bawah Permukaan Air untuk menjaga supaya jangan sampai kau dapat terserang pada tempat-tempat yang terbuka karena gerakan serangan pedangmu. Mengertikah kau?”
Ang I Niocu mengangguk-angguk dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian kakek itu menyuruhnya berangkat dengan segera.
“Kalau tidak salah, Suci-mu itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau ke sana. Cin Hai mulai saat ini akan tinggal di sini dengan aku!”
Mendengar disebutnya nama pemuda itu, mendadak wajah Ang I Niocu berubah merah. Agaknya kakek yang luar biasa ini sudah dapat menduga akan isi hati dan perasaannya terhadap pemuda itu! Maka tanpa berani memandang kepada Cin Hai lagi, Dara Baju Merah itu kemudian berlari cepat meninggalkan tempat itu, ditatap oleh Cin Hai dengan pandangan mata sedih.
“Nah, anak bodoh! Mulai saat ini juga kau harus berlatih serta belajar silat dengan rajin. Ketahuilah, aku orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid, tetapi sekali aku mengambil murid maka dia harus belajar dengan baik-baik supaya tidak akan memalukan yang mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji hendak menurut pada segala perintahku, bukan?”
Cin Hai segera berlutut di depan suhu-nya untuk memberi hormat. “Teecu akan menurut segala perintah Suhu.”
“Bagus, sekarang pertama-tama kau harus menceritakan semua pengalamanmu sejak kau meninggalkan rumah keluarga Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!”
Cin Hai dengan jelas lalu menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi sedikit pun, akan tetapi setelah dia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata,
“Hanya satu hal yang kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan Kiang Im Giok!”
Cin Hai tertegun lalu memandang kepada suhu-nya dengan penasaran dan heran. “Suhu, apakah sebabnya maka hal itu harus disayangkan? Bukankah Ang I Niocu seorang yang berhati mulia dan berwatak gagah berani?”
Bu Pun Su menghela napas. “Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang. Hubungan itu dapat meracuni hati kalian berdua!”
Cin Hai memang memiliki watak pemberani dan pantang mundur menghadapi siapa pun juga apa bila dia merasa bahwa pihaknya benar, maka dia lalu berkata lagi,
“Suhu, apakah yang Suhu maksudkan dengan racun itu? Menurut teecu, hubungan teecu dengan Ang I Niocu itu hanya mendatangkan perasaan kasih sayang suci. Kenapa tidak boleh? Teecu hanya sebatang kara dan hampir semua orang telah memperlakukan teecu dengan buruk dan jahat, dan hanya Ang I Niocu seorang yang sudah berlaku baik sekali terhadap teecu! Salahkah bila teecu mempunyai rasa kasih sayang yang besar padanya yang timbul karena perasaan terima kasih? Ujar-ujar pernah menyatakan bahwa kasih sayang yang timbul karena hutang budi adalah suci murni!”
Melihat betapa pemuda itu bicara dengan bernafsu, kakek itu menggeleng-geleng kepala dan tersenyum, lalu berkata tenang, “Cin Hai, engkau terlalu banyak menghafal ujar-ujar kuno hingga kepalamu yang besar itu penuh dijejali segala macam ujar-ujar. Ketahuilah bahwa kenyataan hidup ini jauh sekali bedanya dengan keindahan kata-kata yang disebut ujar-ujar itu, dan bahkan segala macam ujar-ujar yang terdengar indah itu ternyata tidak dapat memperbaiki sifat manusia, bahkan menjadikan lebih rusak! Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempergunakan segala keindahan ujar-ujar untuk menutupi kesalahan dan kejahatannya?”
Cin Hai tertegun dan teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya kesusastraan. Memang, sifat gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak cocok dengan perbuatannya
”Cin Hai, kau masih terlalu muda untuk mengerti semua ini. Memang bagimu aku tidak merasa kuatir, akan tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan sekali kalau anak itu menjadi korban dari pada kelemahan hatinya sendiri...”
Cin Hai mengerutkan keningnya. Akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang sudah nampak dewasa dan tinggi tegap, akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih bersifat kanak-kanak, maka ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhu-nya. Pada waktu itu usianya sudah lima belas tahun lebih akan tetapi dalam hal pengertian pergaulan pria wanita dia masih bodoh dan hijau.
“Sekarang kau harus memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan urusan lain lagi. Ketahuilah, bahwa pikiran yang bercabang tak akan dapat menghasilkan ilmu yang baik. Dan kulihat kau telah mempelajari Liong-san Kun-hoat dan Sian-li Kun-hoat. Dari Im Giok kau juga sudah mempelajari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat. Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya sama dan berpokok satu, yaitu menyerang dan membela diri. Betapa pun tinggi ilmu silat seseorang, tapi apa bila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh orang hanya ada tiga ratus enam puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja yang berbeda, sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Apa bila engkau dapat mempelajari dasar dan pokok semua gerakan tangan dan kaki ini, maka menghadapi ilmu silat dari cabang mana pun juga, kau akan dapat melawannya dengan mudah.”
Demikianlah, semenjak hari itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan mempelajari sari dan pokok gerakan silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat dan merupakan rahasia khusus dari pada semua ilmu silat, maka boleh dikata sama halnya bagi Cin Hai dengan mempelajari semua ilmu silat yang ada di dunia ini!
Kini ia mengerti dan terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh persilatan tertinggi yang memiliki kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya yang telah dapat memecahkan semua rahasia pergerakan tangan dan kaki, maka menghadapi seorang lawan yang bersilat bagaimana pun juga, Bu Pun Su dapat menirukan semua gerakan itu dengan sama baiknya, biar pun ia belum pernah mempelajari ilmu silat ini, oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!
Tentu saja, sesudah dapat mengetahui sifat dan pokok gerakan lawan, mudah saja untuk menghadapinya. Akan tetapi, pengertian saja masih belum merupakan syarat untuk dapat mengalahkan lawan itu, masih ada dua hal yang terpenting yang harus dimilikinya, yaitu kecepatan dan tenaga!
Oleh karena ini, di samping mempelajari pokok-pokok rahasia gerakan silat, Cin Hai juga mendapat latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat dirinya bisa bergerak gesit bagaikan seekor burung walet dan latihan lweekang dan khikang yang membuatnya mempunyai tenaga dalam yang hebat dan dapat menghadapi kekuatan lawan yang kasar mau pun halus.
Juga untuk latihan ginkang, lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang khusus dan istimewa, karena dia memberi pelajaran dasar dan pokoknya. Menurut kakek jembel yang luar biasa dan aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang mau pun khikang berpusat pada pusar di mana menjadi tempat tiantan yang mengatur semua tenaga gaib yang tersembunyi dalam diri manusia.
Oleh karena ini, maka latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan untuk memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersemedhi dan mempertebal iman. Jika iman manusia kuat dan tebal, dan batin yang disebutnya ‘bunga api dari Tuhan’ menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah, maka tenaga dalam akan menjadi kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya akan melemahkan tubuh dan batin.
Cin Hai mempunyai dasar-dasar serta bakat yang baik, maka tanpa banyak mengalami kesukaran ia dapat menangkap pelajaran yang diberikan oleh suhu-nya sehingga Bu Pun Su merasa girang sekali.
Waktu berjalan cepat sekali dan tanpa terasa lagi Cin Hai sudah menerima gemblengan dan latihan selama tiga tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan dia sekarang telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi dan tegap dengan wajah tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu masih saja nampak bodoh, ada pun mukanya yang lebar tidak mengurangi ‘tampang bodohnya’!
“Cin Hai,” kata gurunya pada suatu hari, “kini kau sudah dapat menangkap inti sari dari pada ilmu silat dan agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu silat yang bagaimana pun juga. Akan tetapi, kau juga maklum bahwa ilmu ini hanya dapat digunakan pada saat menghadapi seorang lawan dan sama sekali tidak dapat digunakan untuk memamerkan kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan apa bila diserang. Karena kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik sekali, muridku, dan ketahuilah bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah menyerang orang. Aku hanya bergerak apa bila diserang. Tahukah kau? Kau mengerti dan hafal akan ujar-ujar yang baik, maka kau pakailah ujar-ujar itu sebagai pedoman dan jangan kau menyombongkan kepandaianmu! Karena itu, julukan ‘Pendekar Bodoh’ harap kau pakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang berkata bahwa orang yang sesungguhnya pintar adalah dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?”
Cin Hai mengerti dengan baik akan maksud suhu-nya ini sebab semenjak berlatih ilmu di dalam Goa Tengkorak itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia hidup. Kini dia tahu akan maksud suhu-nya yang dahulu memperingatkan bahaya yang akan ada dalam hubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu adalah ‘cinta’ yaitu cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua dari padanya. Kalau dara itu sampai tergoda cinta padanya sedangkan perjodohan di antara mereka tak dapat dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan siksa dan derita bagi Ang I Niocu?
Ia sendiri masih merasa suka dan rindu kepada Ang I Niocu, akan tetapi perasaannya ini hanyalah perasaan kasih seorang adik terhadap kakaknya, atau kalau mau disebut lebih lagi, seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi, siapa tahu isi hati Dara Baju Merah itu? Ia diam-diam bergidik dan menaruh hati iba terhadap Ang I Niocu.
Pernah ia bertanya pada suhu-nya akan segala peristiwa yang terjadi di Goa Tengkorak itu dan mengapa banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su tersenyum dan menceritakan seperti berikut,
“Goa ini dahulu dibuat oleh seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu Pin. Ketika Raja Hian Tiong mengangkat seorang Tartar bernama An Lu Shan menjadi panglima, hal ini tidak disetujui oleh Menteri Lu Pin karena menteri yang waspada ini maklum akan bahayanya mengangkat seorang asing menjadi panglima yang menguasai tentara. Akan tetapi nasehatnya itu tidak dipedulikan oleh kaisar. Akhirnya, sesudah Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Hopei, lalu memberontak dengan tentara sejumlah lima belas laksa orang dan memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesir saja sehingga dengan mudah barisan kerajaan dapat dimusnahkan oleh An Lu Shan.
Kaisar sendiri kemudian mengungsi ke Secuan, ada pun ibu kota lalu diduduki oleh An Lu Shan. Semenjak itu, di mana-mana seluruh rakyat bangkit melakukan perlawanan secara bergerilya.
Lu Pin sendiri yang merasa sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri karena dia dicari-cari oleh An Lu Shan untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh dan hanya dia sendiri yang dapat melarikan diri ke daerah ini.
Lu Pin adalah seorang terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang tinggi. Setelah menemukan goa ini dan memperbaikinya sehingga menjadi sebuah tempat tinggal yang besar dan aman, dia kemudian mengumpulkan tulang-tulang binatang besar yang banyak terdapat di goa ini, yakni peninggalan dari jaman purba, lalu dengan kepandaiannya dia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu!
Jangan dikira bahwa itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah tulang-tulang binatang yang diukir kemudian dibentuk sebagai kerangka manusia! Dari sini dapat dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu itu!
Di dalam pelariannya itu Lu Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga dari dalam istana, karena dia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah maka An Lu Shan mencari-cari menteri yang setia itu.
Akan tetapi ternyata, berkat pertolongan tengkorak-tengkorak ini yang dipasang di depan dan di dalam goa, tidak ada tentara pemberontak yang berani memasuki goa dan Lu Pin selamat serta tinggal di sini sampai datang hari ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia dikubur di bawah hiolouw itu.
Kemudian hal ini akhirnya dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka menyerbu ke sini. Akan tetapi mereka tidak menyangka bahwa di dalam goa ini terlebih dahulu sudah tinggal seorang yang tidak mereka sangka-sangka, yaitu keturunan dari Lu Pin sehingga usaha mereka gagal!
Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan rasa heran. “Suhu, siapakah keturunan dari Lu Pin yang bernasib malang itu?”
Bu Pun Su tersenyum. “Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa lagi kalau bukan Suhu-mu sendiri?”
Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di hadapan suhu-nya. Tidak tahunya bahwa kakek jembel ini adalah keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang bershe Lu?
“Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah lama tidak berada di sini pula dan sudah digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai usaha perjuangan para patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap pemberontakan An Lu Shan. Yang tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan inilah barang itu!”
Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu biar pun buruk rupanya dan sudah tua sekali, akan tetapi masih berkilauan dan sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu LIONG COAN. Inilah Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka Kerajaan Tang itu.
“Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku.”
“Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang ini hanya akan menjadi alat pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?”
Bu Pun Su tersenyum. “Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua nasehatku. Akan tetapi, sebenarnya bukan pedang yang harus disalahkan dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang yang memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau pun baik hanyalah terjadi karena akibat dari pada perbuatan orang dan hanya merupakan pandangan seseorang terhadap benda itu. Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik, maka dia menjadi pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah menjadi senjata laknat!”
Setelah Cin Hai menerima pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali, “Sekarang sudah waktunya kau pergi meninggalkan goa ini, Cin Hai. Ingatlah baik-baik semua pelajaranmu di sini dan pesanku terakhir ini: Jangan sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada sesama manusia. Bila terpaksa kau harus membinasakan seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah melanggar tiga pantangan besar, pertama membunuh orang tidak berdosa, ke dua melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat yang sudah mengkhianati bangsa sendiri. Apa bila sekiranya masih ada jalan lain, terhadap mereka ini pun janganlah kau sembarangan membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”
Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan goa di mana telah tiga tahun ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel yang lihai itu.
Ketika meninggalkan Goa Tengkorak, suhu-nya telah memberinya sekantung emas murni sehingga Cin Hai tidak kuatir mengenai biaya perjalanannya. Tujuan perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak kembali ke Tiang-an buat menemui ie-ienya.
Walau pun dia sama sekali tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thio-nya, yaitu Kwee-ciangkun, akan tetapi dia tak dapat melupakan ie-ie-nya dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di dalam dunia ini, selain suhu-nya hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang dikasihinya…..
********************
Komentar
Posting Komentar