PENDEKAR BODOH : JILID-10
Cin Hai segera bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan ketika dia memandang dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat mengenal muka seorang di antara mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya, Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang!
Biar pun muka pamannya telah berubah kurus dan rambutnya sudah banyak uban, tetapi Cin Hai tidak pangling melihat wajahnya. Ia heran sekali kenapa pamannya mengenakan pakaian petani biasa!
Kwee In Liang sedang bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju putih, tanda pada pinggir pakaiannya menyatakan bahwa dia adalah seorang tingkat tiga, sehingga lagi-lagi Cin Hai merasa sangat heran. Mengapa pamannya yang juga seorang panglima, bertempur melawan perwira istana kaisar? Aneh sekali!
Kemudian ia memperhatikan orang yang menjadi kawan pamannya, yang juga bertempur dengan hebatnya. Orang ini adalah seorang gadis muda yang memiliki kepandaian silat, gesit dan hebat, bahkan dengan sekali pandang saja tahulah Cin Hai bahwa kepandaian gadis muda ini jauh melebihi kepandaian Kwee-ciangkun sendiri.
Gadis ini mengenakan pakaian yang atasnya berwarna hijau muda sedang bagian bawah bergaris-garis merah dan putih. Tubuhnya kecil dan ramping, dan wajahnya manis sekali. Rambutnya dikuncir dua dan rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang emas yang berkilauan.
Dara manis ini bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang berkepandaian hebat sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang walau pun berusia muda tetapi berkepandaian setinggi itu? Dia lalu memperhatikan lawan gadis itu yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman.
Ia menjadi terkejut karena kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar lihai dan barang kali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya model Mongol, yaitu ilmu pukulan yang dicampur dengan ilmu gulat. Dua lengan tangan perwira baju merah ini merupakan cengkeraman harimau yang menyerang dengan buas. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!
Sebaliknya, Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, mampu mendesak lawannya yang hanya menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap Garuda. Lambat tetapi tentu ia mendesak lawannya sehingga pada suatu saat yang baik, ketika lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk hingga berhasil menangkap lengan tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya berada di belakang tubuh perwira itu.
Sekali saja ia mengentakkan lengannya yang tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya sehingga perwira itu pun terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dan ia lalu menangkap baju perwira itu di punggung dan siap melemparkannya!
Pada saat Kwee-ciangkun berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju merah itu pun telah berhasil pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan Ular Menyambar dari Bawah Rumput dan berhasil menotok jalan darah dara muda itu dengan tiam-hoat (ilmu totok) model Mongol akan tetapi cukup lihai hingga berhasil membuat lawannya tak berdaya! Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak gadis tadi dan hendak dilarikannya!
“Keparat she Boan, jangan kau ganggu anakku!” Kwee-ciangkun membentak dan segera melemparkan perwira yang telah dikalahkannya tadi. Ia pun lantas memburu.
Pada waktu mendengar betapa Kwee-ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, Cin Hai yang mengintai di balik sebatang pohon menjadi tercengang dan memandang lebih memperhatikan. Maka setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa gadis itu bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak perempuan yang dulu diculik oleh Biauw Suthai!
Hampir saja Cin Hai berseru memanggil nama Lin Lin karena girangnya. Entah mengapa ketika melihat wajah Kwee-ciangkun tadi, ia tidak mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya, akan tetapi kini sesudah tahu bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak perempuan yang dahulu sangat jenaka dan nakal itu, timbullah kegembiraan luar biasa di dalam hatinya.
Untung tadi ia dapat menahan lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh perhatian. Ketika melihat Kwee-ciangkun bergerak menyerang untuk menolong Lin Lin, perwira baju merah itu segera mendahului dengan serangan kakinya sehingga Kwee-ciangkun kena tersapu oleh kaki itu dan tubuhnya terlempar! Ternyata bahwa Kwee-ciangkun bukanlah lawan perwira yang kosen ini.
“Ha-ha-ha! Orang she Kwee, aku hendak membawa puterimu, kau mau apa? Kau tolak pinanganku yang kuajukan dengan halus, baik! Sekarang aku menggunakan cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?” Sehabis berkata demikian, ia lalu memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!
Akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke arah perwira itu! Orang she Boan ini memang lihai, maka dia cepat mengelak sambaran pertama yang mengarah lehernya itu dengan miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi benda ke dua sudah cepat menyambar tepat ke arah pundak kirinya. Hampir saja benda itu mengenai sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan diri dengan merendahkan tubuhnya. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja tubuhnya merendah, tanpa dapat dikelit pula benda ke tiga telah menyambar pundak kanannya!
Dia tidak merasa sakit karena benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi karena yang disambar adalah urat penting di bagian pundaknya, maka lengannya menjadi lemas kesemutan sehingga dia terpaksa melepaskan tubuh Lin Lin.
Dan pada saat yang sama, kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung Lin Lin dan sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang merasa sudah terbebas cepat melompat ke samping dan menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di kakinya karena babatan kaki perwira she Boan itu tadi.
Perwira itu merasa kaget sekali saat melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir buah kecil bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang ada di depannya itu, dan dia maklum bahwa tentu ada seorang pandai yang mempermainkannya. Ia tahu bahwa penyerang itu tentu berada di balik pohon besar, maka sekali ini ia menggerakkan tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu mencari.
Tetapi aneh, di sana tidak terdapat seorang pun! Ia celingukan dan mencari-cari dengan matanya, akan tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan tak terdapat orang lain kecuali mereka berempat!
“Orang she Kwee!” kata perwira itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau, tetapi tunggulah kedatanganku pada pesta ulang tahunmu untuk memberi selamat!”
Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan menyangka bahwa benar-benar orang she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu berkata,
“Boan-enghiong, kenapa kau masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa anakku ini bukan jodohmu dan semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang lain!”
“Tidak perlu merundingkan hal ini sekarang,” jawab perwira itu, ”Nanti saja di pesta ulang tahunmu. Kita berunding kembali dengan baik-baik.”
Sesudah berkata demikian, perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ dengan cepat. Kwee In Liang menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,
“Baiknya dia berlaku murah hati dan tidak mau mengganggu kita.”
Lin Lin memandang kepada ayahnya dan menjawab, “Ayah, kau tidak tahu. Apa bila tidak ada orang pandai yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan kita.”
Ia lalu menceritakan betapa ia telah dibebaskan dari totokan dengan sambitan dua butir buah angcho, sedangkan perwira she Boan itu pun sudah kena diserang sambaran buah angcho yang lihai!
“Sayang, orang pandai itu menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya dia tidak mau berkenalan dengan kita,” kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebenarnya dia ingin sekali melihat siapa orangnya yang demikian lihai.
Mendengar ucapan puterinya, Kwee In Liang terkejut sekali dan cepat ia berseru dengan suara keras,
“Enghiong yang telah membantu kami, silakan keluar agar kami dapat menyatakan terima kasih kami!”
Akan tetapi biar pun telah berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul atau menjawab.
“Sudahlah, Ayah. Agaknya dia benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita. Ayah, bangsat itu agaknya masih merasa penasaran dan dia telah menyatakan hendak datang nanti pada hari ulang tahunmu. Kurasa dia tidak mempunyai maksud baik, karena itu kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”
Kwee In Liang menghela napas. “Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar sekali. Tapi aku masih ragu-ragu apakah ia akan bersikap begitu kurang ajar untuk menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam pestaku.”
”Orang macam itu mungkin melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya aku pergi untuk minta pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah... apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu tadi bahwa... bahwa aku sudah... dipertunangkan...?” Tiba-tiba wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.
Ayahnya tersenyum. Ia memang tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka berkata terus terang sehingga tidak malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.
“Tidak, Lin Lin, itu hanya alasan kosong untuk mencegah dia mendesak lebih jauh.”
“Ayah, mengapa kau menggunakan alasan itu? Tidak perlu kiranya kita terlalu takut!” kata Lin Lin dengan gemas. “Kalau Guruku atau suci-ku dapat kuajak datang membantu, aku akan mengajar adat kepada bangsat rendah itu!”
Sambil bercakap-cakap mereka melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu. Pada saat mereka sampai di luar hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang pemuda berjalan mendatangi.
Pemuda itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah bungkusan pakaian yang terbuat dari pada kain berwarna kuning. Pakaiannya sederhana bagaikan pakaian seorang petani dengan baju luar yang lebar dan besar. Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan kain pita kuning. Jubahnya berwarna biru dan celananya putih.
Kwee In Liang memandang pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian karena dia seakan-akan merasa sudah kenal pada pemuda ini, sedangkan Lin Lin hanya mengerling sekali tanpa perhatian. Akan tetapi, ketika pemuda itu telah berada di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri diam, lalu ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil berkata,
“Maaf maaf! Bukankah aku sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”
Kwee In Liang memandang tajam. Juga Lin Lin kini memandang penuh perhatian kepada pemuda ini.
“Betul, aku adalah Kwee In Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal padaku?”
Tiba-tiba pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya kemudian memberi hormat sambil menjura,
“Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah adalah Cin Hai!”
“Cin Hai... ?” Kwee In Liang berseru terkejut, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.
“Engko Hai...!” Lin Lin berteriak girang sekali. “Ehh, kau sekarang tidak gundul lagi!”
Mendengar kata-kata yang lucu ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat menahan geli hatinya sehingga dia tertawa gembira. Juga Lin Lin tertawa senang sambil memandang dengan sepasang matanya yang bening dan indah seperti mata burung Hong itu.
“Engko Hai, bertahun-tahun ini kau pergi ke mana saja?” tanya Lin Lin.
“Aku... aku hanya merantau tak tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah selama ini Ie-thio dan seluruh keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi memaafkan aku yang telah lama tidak dapat menghadap.”
“Tidak apa, tidak apa-apa. Cin Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa. Agaknya kau telah mendapatkan banyak kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini amat sederhana sehingga Cin Hai maklum bahwa pamannya ini masih saja tidak suka kepadanya, maka dia pun tidak banyak bicara, hanya berkata singkat,
“Sebenarnya, aku pun hendak pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah ia dalam keadaan baik-baik saja?”
“Dia sehat dan selalu merindukanmu, Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak lagi tinggal di Tiang-an, telah hampir tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun. Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang tidak menjabat pangkat lagi dan kini kami telah menjadi orang-orang biasa yang hidup sebagai petani!”
Berita ini betul-betul tak terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada Ie-thio-nya dengan mata terbelalak dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi, Kwee In Liang malah menegur puterinya.
“Lin Lin, hal itu tak perlu kita bicarakan di sini. Cin Hai, sekarang kau hendak ke mana?”
Ucapan ini bukanlah merupakan sebuah undangan, karena itu Cin Hai juga tidak hendak merendahkan diri sehingga dia menjawab,
“Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di sana lagi, aku... aku akan melanjutkan perantauanku...”
“Ehh, Hai-ko, kau harus mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!” Memang anak-anak Kwee In Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.
Karena tiada ucapan dari orang tua itu yang mengundangnya, Cin Hai hanya menjawab sederhana, “Baiklah, Adik Lin. Kalau kebetulan aku lewat di Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”
“Kebetulan? Ah, Engko Hai, apakah kau betul-betul telah melupakan Bibimu, melupakan kami? Oh, ya! Nanti pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh hari lagi, kami akan mengadakan sedikit perayaan untuk memperingati hari ulang tahun ayah yang ke enam puluh. Kau harus datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!”
“Apakah ini merupakan sebuah undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang kepada Kwee In Liang sehingga terpaksa orang tua ini berkata,
“Benar, Cin Hai, kau datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin, sudahlah kita jangan mengganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai keperluan penting. Hayo kita pergi!”
Maka berpisahlah mereka, tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil berkata keras-keras, “Engko Hai, jangan lupa hari ke lima belas, dan... kau masih pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta sulingmu!”
Setelah mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan kedua orang tadi. Jelas bahwa Kwee In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka padanya. Sikap orang tua itu sungguh dingin hingga ia segan sekali untuk mengunjungi rumahnya.
Akan tetapi Lin Lin mendatangkan perasaan gembira dan hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang sungguh cantik jelita dan manis sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu. Lincah, jenaka dan gembira. Alangkah indahnya mata gadis itu.
Dan kepandaiannya juga tidak rendah. Pantas Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai. Diam-diam ia bersyukur dan girang sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi kepandaian yang tinggi.
Haruskah ia datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin, apa lagi nanti sikap Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak dilayani dan dianggap sepi?
Akan tetapi, ia harus melihat ie-ie-nya yang sudah lama ia rindukan. Biarlah, biar mereka menghina atau menganggap rendah kepadanya, karena dia tidak butuh dengan mereka. Di sana masih ada bibinya, juga ada Lin Lin yang tentu akan menyambut kedatangannya dengah tamah. Dan yang lebih penting pula, pada hari ke lima belas itu, Lin Lin terancam bahaya!
Perwira she Boan itu akan datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu tadi, agaknya sukar bagi Lin Lin untuk menyelamatkan diri. Dia harus datang, dan hanya akan melihat-lihat saja dulu. Kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan lain-lain orang pandai, dia hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi apa bila sampai gadis manis itu terancam bahaya, mau tidak mau dia terpaksa harus turun tangan!
Cin Hai lalu berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali kenapa wajah Lin Lin yang manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan tetapi, pada saat dia teringat akan kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah ditunangkan dengan pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang, heran sekali!
Diam-diam Cin Hai menegur perasaannya sendiri yang tidak layak ini. Seharusnya ia ikut gembira mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia harus merasa tidak senang? Ada hak apakah dia? Pikiran ini membuat hatinya menjadi dingin kemudian dia berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin dari pikirannya, akan tetapi dia tidak berhasil!
Dia lalu melayangkan pikirannya kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun dia tidak bertemu dengan Dara Baju Merah yang telah berlaku baik sekali kepadanya itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan ingin sekali bertemu kembali. Bu Pun Su dulu menyuruh Ang I Niocu mencari suci-nya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki Giok-gan Kuibo Si Biang Iblis Bermata Intan.
Hari ke lima belas masih sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu dia akan mencoba mencari Ang I Niocu. Dia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi ke Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak jauh dari situ. Untuk pergi ke sana pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari, masih ada waktu baginya.
Maka, dengan hati tetap Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Lok-bin-si, yaitu sebuah kota di lereng pegunungan yang banyak hutannya…..
********************
Setelah menerima perintah dari Susiok-couw-nya, Ang I Niocu pergi mencari suci-nya ke Lok-bin-si. Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ia mendengar bahwa Giok-gan Kui-bo telah lama pergi meninggalkan daerah itu dan kabarnya merantau ke arah barat.
Sebenarnya Ang I Niocu ingin lekas-lekas kembali ke Goa Tengkorak karena semenjak meninggalkan tempat itu, hatinya tertinggal di sana bersama Cin Hai, pemuda yang telah merebut seluruh isi hatinya itu. Akan tetapi ia tidak berani kembali dan bertemu dengan susiok-couw-nya sebelum bertemu dengan suci-nya. Ia maklum bahwa susiok-couw-nya itu sangat bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum tugas itu diselesaikan, maka ia tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh karena ini, dia segera menyusul ke barat, mencari suci-nya.
Daerah barat sangat luas sehingga tak mudah mencari seorang yang tidak diketahui jelas di mana tinggalnya, biar pun orang itu begitu terkenal seperti Giok-gan Kui-bo sekali pun! Oleh karena ini maka Ang I Niocu merantau sampai dua tahun lebih belum juga dapat bertemu dengan Giok-gan Kui-bo. Hatinya bingung dan sedih sekali.
Ia merasa amat rindu kepada Cin Hai, akan tetapi apa dayanya? Pemuda itu sekarang berada dengan susiok-couw-nya dan dia sekali-kali tidak berani menghadap Bu Pun Su sebelum tugasnya selesai.
Oleh karena memang berwatak baik, di sepanjang jalan Ang I Niocu tiada hentinya selalu mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya untuk menolong mereka yang sedang menderita, membela kaum tertindas serta membasmi para penjahat yang mengganas. Maka di daerah barat namanya pun menjadi terkenal sekali.
Setelah dia tiba di sebuah kota yang disebut Bok-chiu, akhirnya dia mendapat keterangan tentang nama suci-nya. Kiranya suci-nya terkenal sekali di kota ini sebab dengan seorang diri saja Giok-gan Kui-bo telah menghajar habis-habisan pada kawanan Piauwsu Harimau Kuning yang terkenal sekali di kota Bok-chiu.
Pertempuran ini terjadi pada saat para piauwsu itu bermusuhan dengan seorang piauwsu baru yang belum lama membuka perusahaan piauwkiok (kantor pengirim barang) di kota itu. Memang Oei-houw Piauwkiok terkenal mempunyai barisan yang terdiri dari jago-jago silat berkepandaian tinggi dan karenanya ditakuti oleh semua orang di kota itu. Juga para penjahat dan perampok yang biasa mencegat di hutan-hutan dan gunung-gunung apa bila melihat bendera warna kuning dengan gambar kepala harimau, tidak ada yang berani mengganggu.
Akan tetapi Oei-houw Piauwkiok memasang tarip terlalu tinggi untuk biaya pengiriman dan pengawalan barang. Oleh karena itu, pada waktu piauwsu yang baru itu membuka perusahaannya, para saudagar yang hendak mengirimkan barang mulai mempercayakan barang-barangnya kepada piauwsu yang bernama Ong Hu Lin itu. Hal ini membuat para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok menjadi marah sekali dan terjadilah permusuhan.
Ong Hu Lin ialah seorang piauwsu yang masih muda dan berwajah tampan. Ilmu silatnya lumayan juga dan ia mempunyai ilmu golok yang lihai. Almarhum ayahnya juga seorang piauwsu yang ternama di daerah barat dan dia hanya menggantikan kedudukan ayahnya oleh karena tidak dapat mencari pekerjaan lain. Dengan mengandalkan kepandaiannya, dia lalu mencari nafkah dengan mengawal barang-barang berharga dan mendapat upah sekedarnya.
Pada suatu hari, Ong Hu Lin mendapat kepercayaan dari hartawan Lui untuk mengawal kiriman segerobak cita yang amat mahal harganya. Ketika melalui sebuah hutan, tiba-tiba dia diganggu oleh kawanan perampok yang terdiri dari belasan orang.
Ong Hu Lin menghadapi kepala rampok itu dan berkata, “Sahabat, harap kalian jangan mengganggu aku yang sedang mencari nafkah. Kalau kalian menghargai persahabatan, maka sepulangku dari tempat ke mana barang ini harus kukirim, aku akan singgah untuk memberi hormat dan akan membawa sekedar barang hadiah sebagai tanda hormatku.”
Akan tetapi Ong Hu Lin sama sekali tidak tahu bahwa perampok-perampok itu bukan lain adalah kaki tangan para piauwsu di Oei-houw Piauwkiok yang sengaja menyewa tenaga mereka untuk mengganggu Ong Hu Lin. Maka tentu saja kata-katanya itu ditertawakan saja oleh kawanan perampok, dan kepala perampok yang tinggi besar itu membentak,
“Piauwsu hijau jangan banyak cakap. Tinggalkan semua barang-barang ini di sini dan kau pergilah kalau kau sayangi jiwamu. Orang macam kau tidak pantas menjadi piawsu, dan lebih baik kau tutup saja perusahaanmu itu! Ha-ha-ha!”
Ong Hu Lin marah sekali. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan dia lalu dikeroyok. Akan tetapi, ternyata bahwa kepandaian Ong-piauwsu cukup tangguh hingga tak lama kemudian beberapa orang anggota perampok telah roboh mandi darah. Dengan ilmu goloknya yang lihai ia dapat mendesak sekalian perampok itu.
Pada saat itu mendadak muncul tiga orang yang membantu para perampok mengeroyok Ong-piauwsu dan mereka ini bukan lain adalah para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok! Ternyata kepandaian ketiga orang piauwsu ini lihai juga dan sebentar saja Ong-piauwsu terdesak hebat dan jiwanya terancam.
Pada saat itu terdengar suara wanita tertawa yang terdengar halus merdu tapi mendirikan bulu tengkuk sebab tak terlihat orangnya dan tahu-tahu berkelebat bayangan menyambar para pengeroyok itu. Sebentar saja habislah para perampok berikut ketiga orang piauwsu itu disapu oleh seorang wanita yang bergerak menari-nari dengan cepat dan ganas.
Di mana saja tangan atau kakinya menyambar, tentu seorang perampok akan terlempar dan bergulingan sampai jauh! Akhirnya semua perampok lari tunggang langgang sambil membawa kawan-kawan yang terluka.
Ong Hu Lin berdiri memandang dengan kedua mata terbelalak. Ternyata yang menolong dirinya dengan kepandaian luar biasa itu adalah seorang wanita cantik dengan sepasang mata genit dan liar mengerling kepadanya. Mulut wanita itu tersenyum manis. Rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan tergantung di punggungnya, bajunya berwarna hijau dan celananya putih.
Ong Hu Lin sadar dari keheranannya dan buru-buru dia menjura memberi hormat, “Lihiap yang gagah perkasa, siauwte sungguh berhutang budi dan tidak tahu bagaimana harus membalasnya.”
“Ong-piauwsu, janganlah kau terlalu sungkan. Bukankah kita adalah orang-orang sekaum di kalangan kang-ouw dan sudah seharusnya saling menolong?” Wanita itu menjawab dengan suaranya yang merdu.
Ong Hu Lin terkejut. “Bagaimana Nona bisa mengetahui namaku?”
“Bukankah kau Ong Hu Lin piauwsu muda yang membuka perusahaan di Bok-chiu?” kata wanita itu yang ternyata bukan lain ialah Giok-gan Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali aku bertemu dengan tiga orang Piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok itu dan mendengar mereka membicarakan engkau. Mana bisa aku berpeluk tangan membiarkan saja mereka berlaku sewenang-wenang?”
“Terima kasih banyak, Lihiap. Tetapi siapakah nama Lihiap yang lihai bagai bidadari ini?”
Giok-gan Kui-bo mengerling dengan gaya yang manis dan genit, lalu memandang wajah yang tampan itu dengan tajam. “Namaku Kim Lian dan orang menyebut aku Giok-gan Lihiap (Pendekar Wanita Bermata Intan).”
Melihat gerak-gerik dan lagak wanita cantik ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita yang genit, maka dia kemudian berlancang mulut berkata sambil tersenyum manis.
“Sungguh nama dan julukan yang indah dan manis, sesuai benar dengan orangnya.”
Giok-gan Kui-bo berpura-pura marah dan memandang dengan mata melotot, tapi bibirnya tetap tersenyum!
“Lihiap, harap kau jangan kepalang menolong orang,” kata Ong Hu Lin.
“Apa maksudmu?”
“Sudah jelas bahwa diriku yang tidak punya kawan ini dimusuhi oleh kawanan Oei-houw Piauwkiok yang terdiri dari orang-orang pandai. Kalau tidak ada engkau yang lihai, Lihiap, tentu aku telah binasa. Maka sudilah kau mengawani aku berjalan bersama-sama sampai di tempat tujuan agar mereka itu tidak berani mengganggu lagi.”
“Kalau aku mau apakah upahnya?” Kim Lian bertanya sambil tertawa genit.
“Apa pun yang kau minta, Lihiap, biar jiwaku sekali pun akan kuberikan padamu,” jawab Ong Hu Lin yang ternyata pandai bermain kata-kata.
Demikianlah semenjak saat itu mereka berdua menjadi kawan baik yang tak terpisahkan lagi. Ketika Ong Hu Lin bersama Kim Lan kembali ke Bok-chiu, mereka sudah ditunggu oleh kawanan piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua piauwsu itu dengan mudah saja dapat dihajar oleh Giok-gan Kui-bo! Akhirnya piauwsu-piauwsu itu menyatakan takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi pemimpin piauwkiok itu.
Sebaliknya, Giok-gan Kui-bo tetap menjadi kawan baik Ong Hu Lin. Akan tetapi, karena memang sudah biasa merantau dan tidak kerasan tinggal di dalam sebuah rumah dan mengurus rumah tangga, Kim Lan lalu meninggalkan Ong Hu Lin dan membuat tempat tinggal sendiri di dalam sebuah goa di gunung yang dekat dengan kota Bok-chiu. Goa ini dia jadikan tempat beristirahat dan kadang-kadang saja dia pergi menemui Ong Hu Lin di rumahnya.
Giok-gan Kui-bo sama sekali tak pernah menyangka bahwa Ong Hu Lin sebetulnya telah memiliki seorang isteri! Dan isterinya ini bukanlah seorang sembarangan karena isterinya ini adalah Pek-bin Moli Si Iblis Wanita Muka Putih, yakni puteri tunggal dari Pek Moko!
Ong Hu Lin bertemu dengan Pek Moko dan puterinya, kemudian Pek-bin Moli jatuh cinta kepadanya hingga akhirnya dipaksa kawin dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya bila melihat orangnya, setiap pemuda pasti akan bersedia dengan senang hati untuk menjadi suami Pek-bin Moli yang selain muda dan cantik, juga memiliki kepandaian silat tinggi, karena dalam hal kepandaian silat, selain menerima pendidikan dari ayahnya, Pek Moko, ia juga menerima pendidikan dari supek-nya, yaitu Hek Moko yang lihai!
Akan tetapi celakanya, Pek-bin Moli yang cantik jelita ini berotak miring! Gadis ini menjadi gila karena suatu penyakit panas hingga betapa pun cantiknya, akhirnya Ong Hu Lin tidak tahan melihat keadaan isterinya dan menjadi jijik dan takut!
Oleh karena ini, maka pada suatu hari Ong Hu Lin berhasil melarikan diri dan minggat dari isterinya yang gila ini hingga akhirnya tiba di Bok-chiu dan bertemu dengan Giok-gan Kui-bo yang walau pun kecantikannya tidak melebihi Pek-bin Moli, akan tetapi sikapnya menarik hati dan tidak gila!
Suami yang meninggalkan isterinya ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada saat itu, isterinya yang gila sudah menyusulnya dan berhasil mengetahui tempat tinggalnya! Bahkan isteri yang gila akan tetapi mewarisi kecerdikan ayahnya ini sudah mengetahui pula akan perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo! Kalau saja ia tahu, tentu ia akan lari pergi karena sebenarnya dia takut setengah mati kepada isterinya ini dan sudah maklum akan kepandaian isterinya yang lihai sekali.
Maka pada suatu malam, ketika Ong Hu Lin dengan enaknya tidur di dalam kamarnya, tahu-tahu jendela kamarnya terbuka dari luar dan terdengar suara yang sangat dikenal dan ditakutinya memanggilnya. Ong Hu Lin membuka matanya dan ia menggosok-gosok mata karena mengira bahwa ia sedang bermimpi.
Ternyata bahwa sambil tersenyum-senyum manis tetapi dengan sepasang mata bersinar menakutkan, di depan pembaringannya telah berdiri Pek-bin Moli, isterinya yang berotak miring itu! Pek-bin Moli memakai baju kotak-kotak lucu sekali dan celananya berwarna kuning gading.
“Kau...?!” Ong Hu Lin berseru.
“Hi-hi-hi, kau sudah rindu kepadaku, suamiku yang manis?” Pek-bin Moli tertawa sambil menghampiri hingga diam-diam Ong Hu Lin menggigil ketakutan. “Hayo kau beritahukan padaku di mana adanya sundal yang menjadi kekasihmu itu?”
“Sia... siapa... yang kau... kau maksudkan...?” Ong Hu Lin bertanya gagap.
“Hi-hi-hi-hi, siapa lagi kalau bukan Giok-gan Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan antar aku menemuinya. Atau haruskah aku menggunakan paksaan?”
Biar pun suara isterinya terdengar merdu sekali, akan tetapi sinar matanya mengeluarkan ancaman hebat sehingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa menyanggupi. Dia dapat membujuk-bujuk isterinya yang gila itu untuk menunggu sampai besok pagi, karena tidak mungkin malam-malam yang gelap itu mencari goa tempat Giok-gan Kui-bo.
Karena Pek-bin Moli sangat mencinta suaminya, maka ia menurut dan malam itu Ong Hu Lin terpaksa menuturkan cerita bohong, dan mengatakan bahwa ia pergi karena hendak merantau dan meluaskan pengalaman.
Sesudah malam tergantikan pagi, maka Ong Hu Lin terpaksa mengantarkan isterinya itu mengunjungi goa di mana Giok-gan Kui-bo tinggal! Semua piauwsu di situ terheran-heran karena tak ada yang tahu bila mana datangnya seorang wanita cantik yang bersikap dan berpakaian aneh itu dan tahu-tahu wanita itu telah keluar dari kamar bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah Ong-piauwsu memberitahukan bahwa wanita itu adalah isterinya, semua orang terkejut sekali tak seorang pun berani banyak bertanya.
Kebetulan sekali pada hari itu juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan mendengar tentang perhubungan suci-nya dengan Ong Hu Lin. Dia pergi menyelidik dan mendengar semua peristiwa mengenai diri Giok-gan Kui-bo yang sekarang kabarnya tinggal di dalam sebuah goa di gunung yang berada tidak berapa jauh dari kota itu. Maka ia pun lalu menyusul ke sana!
Giok-gan Kui-bo sedang duduk seorang diri di dalam goa tempat tinggalnya, menunggu mendidihnya air yang dimasak, ketika tiba-tiba saja tirai bambu yang dipasang di depan goanya itu terbuka. Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian aneh telah berada di depannya sambil tertawa ha-ha hi-hi.
Kim Lian memperhatikan wanita cantik ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai ke belakang dan di atasnya diikat dengan pita berwarna hijau. Bajunya kotak-kotak hitam dan nampak lucu sekali.
“Siapa kau?” tanya Kim Lian tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah seorang gadis dusun yang ingin menemuinya.
“Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang merampas suamiku? Ha-ha-ha!”
“Kau... kau gila!” Kim Lian memaki marah sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Kau yang gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari telunjuknya yang runcing. “Kau harus mampus!”
Sesudah berkata demikian Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah pipi Kim Lian. Giok-gan Kui-bo marah sekali dan ia menggerakkan tangannya hendak menangkap tangan yang menampar itu. Akan tetapi alangkah herannya saat tangan yang menampar itu dapat berkelit dan melanjutkan tamparannya dari lain jurusan dan…
“Plakk!” pipinya kena tampar!
Bukan main marahnya Giok-gan Kuibo. Selama dia merantau di dunia kang-ouw belum pernah ada orang berani menghinanya, apa lagi menamparnya!
“Anjing betina! Siapakah kau berani main gila di depanku?” bentaknya dengan dada turun naik karena marahnya.
“Hi-hi-hi. Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku? Kau belum pernah mendengar tentang Pek-bin Moli?”
Terkejutlah Giok-gan Kui-bo mendengar nama ini. “Kau yang disebut Pek-bin Moli? Jadi kau ini puteri Pek Moko? Lalu mengapa kau datang-datang memaki dan menamparku?” tanyanya heran hingga untuk sesaat dia melupakan kemarahannya.
“Hi-hi-hi! Kau sudah berani main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa aku menamparmu? Ha-ha-ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”
Giok-gan Kui-bo melirik keluar goa dan dia melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.
“Hm, jadi orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia suamimu.”
“Ha-ha-ha! Ia terlalu cinta padaku, mana dia mau mengobral namaku untuk disebut-sebut kepada sembarang orang? Hi-hi-hi!”
“Pek-bin Moli! Kau sudah datang ke sini dan jangan kau kira aku Giok-gan Kui-bo takut kepadamu. Sekarang kau mau apa?”
“Eh, ehh, kau mau melawan? Baik, kau mampuslah!” Setelah berkata demikian, Pek-bin Moli lalu menyerang dan keduanya lalu bertempur hebat di dalam goa yang sempit itu!
Apa bila Giok-gan Kui-bo lihai sekali gerakan tangannya yang seperti menari-nari dengan buasnya itu, adalah Pek-bin Moli yang bermuka putih halus itu luar biasa lihainya dalam mempergunakan kedua kakinya! Harus diketahui bahwa di dalam sepatu, tepat di bawah telapak kakinya, tersembunyi besi baja yang menambah kelihaian setiap tendangan dan sepakan wanita ini. Selain itu, Pek-bin Moli mempunyai ginkang luar biasa dan tubuhnya seakan-akan melayang-layang ke atas sambil mengirim tendangan bertubi-tubi bagaikan kedua kakinya tak pernah menyentuh tanah.
Akan tetapi Giok-gan Kui-bo melawan dengan sungguh-sungguh. Pertempuran itu sangat menarik dan hebat sekali. Tendangan dan pukulan sampai menimbulkan angin mendesir dan suaranya keluar dari goa itu membuat tirai bambu yang berada di luar bergoyang-goyang seakan-akan terhembus angin besar. Ong Hu Lin berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.
Tiba-tiba dari jauh tampak oleh Ong Hu Lin setitik bayangan merah yang naik ke tempat itu dengan cepat sekali. Dia cepat menyelinap ke samping goa dan bersembunyi karena maklum bahwa yang datang itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi. Setelah dekat, dia melihat bahwa yang datang itu adalah seorang wanita berbaju merah yang luar biasa cantiknya.
“Ong-piauwsu, kau keluarlah, tak usah bersembunyi karena aku sudah melihatmu!”
Kaget sekali Ong Hu Lin mendengar ini dan dengan muka makin pucat ia pun keluar dari tempat persembunyiannya.
“Dimana adanya Giok-gan Kui-bo?” Ang I Niocu dengan suara kereng.
Ong Hu Lin makin heran. Siapakah wanita ini yang agaknya memiliki kepandaian hebat dan yang datang-datang menanyakan Giok-gan Kui-bo?”
“Kau siapakah?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Tak usah kau tahu. Lekas katakan saja di mana adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I Niocu membentak marah sehingga Ong Hu Lin merasa ketakutan. “Dia... dia sedang bertempur melawan isteriku...“
“Isterimu? Siapakah dia?”
“Pek-bin Moli...”
Mendengar nama ini, Ang I Niocu memandang ke arah tirai bambu yang tergantung di depan goa yang kini bergoyang-goyang karena sambaran angin pukulan dari dalam goa. Ia segera melompat dan menggunakan tangan kiri menyingkap tirai itu.
Pada saat itu pula, dengan Ilmu Tendangan Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang mendesak hebat kepada Giok-gan Kui-bo yang berkelit ke sana ke mari mengelak tendangan maut yang datang bertubi-tubi itu. Tepat pada saat Ang I Niocu membuka tirai memandang, sebuah tendangan kaki kiri Pek-bin Moli sedang melanggar pundak kiri Giok-gan Kuibo yang mengeluarkan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Pek-bin Moli mengejar hendak mengirim tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu tendangannya itu tertangkis oleh sebuah lengan tangan yang kuat sekali. Pek-bin Moli terkejut dan melompat mundur sambil memandang Dara Baju Merah yang menghalang-halangi serangannya tadi.
“Pek-bin Moli, harap kau suka bersabar dan tenang sedikit. Maafkanlah Suci-ku kalau dia bersalah. Kesalahannya tidak sangat besar sehingga kau tidak perlu menjatuhkan tangan maut!”
“Siapa kau?” tanya Pek-bin Moli dengan mata berputar-putar hebat.
“Aku Sumoi-nya.”
Setelah memutar otaknya dan melihat pakaian itu, agaknya Pek-bin Moli teringat. “Hi-hi, kau tentu Ang I Niocu bukan? Kau memang cantik jelita!”
“Pek-bin Moli,” kata Ang I Niocu yang maklum bahwa wanita di depannya itu memang berotak miring maka percuma saja diajak bicara panjang lebar, “sekarang kau putuskan. Kau pergi dari sini membawa suamimu sebelum ia lari lagi, atau kau biarkan suamimu lari pergi dan kau bertempur melawan aku?”
Kedua mata Pek-bin Moli terbelalak “Apa? Suamiku lari pergi lagi? Mana dia...? He, Ong Hu Lin...! Tunggu...!”
Wanita gila ini segera berlari keluar sambil berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Sesudah bertemu di luar, dia lalu menggandeng tangan suaminya itu dan diajak pulang. Ong Hu Lin hanya menurut saja seperti seekor kerbau ditarik tali hidungnya.
Ang I Niocu menghampiri Giok-gan Kui-bo yang merintih-rintih. Luka di pundaknya walau pun tidak membahayakan jiwanya, tetapi terasa sakit sekali.
“Suci, sudah dua tahun ini aku mencari-carimu di mana-mana. Tidak tahunya di sini kau memperebutkan seorang laki-laki dengan wanita gila itu!”
Mendengar kata-kata keras ini, Giok-gan Kui-bo tak menjawab dan hanya menundukkan kepala. Ang I Niocu menghela napas, karena tahu bahwa kalau berhadapan dengannya, Kim Lian selalu memperlihatkan sikap lemah dan mengalah. Ia maklum bahwa suci-nya ini mempunyai kebiasaan buruk dan genit hingga banyak orang kang-ouw menganggap ia sebagai perempuan lacur, akan tetapi sebenarnya, di dalam hati ia tak begitu jahat.
“Suci, kalau saja kau berada di pihak benar, belum tentu kau kalah oleh wanita gila itu. Akan tetapi kau telah berlaku sesat dan membiarkan dirimu dengan mudah saja tergoda oleh laki-laki, maka sedikit luka itu kau anggap saja sebagai hukuman. Aku datang atas perintah Susiok-couw!”
Mendengar disebutnya susiok-couw terkejutlah Giok-gan Kui-bo hingga wajahnya segera berubah pucat.
“Tidak, jangan kau takut. Susiok-couw belum menjatuhkan keputusan pendek dan tegas. Akan tetapi beliau minta supaya aku memberi peringatan kepadamu. Sudah berkali-kali kau melanggar pantangan sebagai orang gagah dan banyak melakukan perbuatan hina. Kau mencuri, merampok, menculik pemuda-pemuda dan kau sudah mencemarkan nama perguruan kita. Sekarang jawablah, bagaimana pikiranmu?”
Dengan muka masih tunduk Giok-gan Kui-bo menjawab, “Im Giok, memang aku sudah bersalah... tetapi apa dayaku? Aku sebatang kara, hidupku merana menderita. Kalau aku tidak mencari kesenangan sendiri, siapakah yang dapat memberi kesenangan kepadaku? Apakah aku harus melewatkan hidup dalam kesunyian dan mati dengan hati menderita?”
Ang I Niocu merasa terharu mendengar ini, akan tetapi ia mengeraskan suaranya ketika berkata dengan tegas, “Suci, kau tahu bahwa di dunia ini ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang buruk dan jahat dan ada pula kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau menurutkan nafsu hatimu yang jahat? Apakah kau tidak mempunyai cukup tenaga untuk mengekang nafsu jahatmu dan apakah kau tidak lagi mempunyai kebersihan batin seorang wanita yang sopan dan menjunjung tinggi kesusilaan?”
“Sudahlah, sudahlah...” tiba-tiba Giok-gan Kui-bo menjatuhkan diri sambil menangis. “Kau mana tahu tentang kasih sayang, mana tahu tentang cinta! Selama hidupmu agaknya kau tidak pernah menderita dan merasa bagaimana celakanya hati yang tergoda rasa rindu. Agaknya hatimu terbuat dari pada batu!” Kim Lian memandang sumoi-nya dengan mata basah.
Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam menusuk ulu hati Im Giok hingga Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat. Dara Baju Merah ini teringat akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ahh, Suci, kalau saja kau tahu betapa berat rasa hatiku karena pemuda itu, pikirnya.
“Im Giok, aku memang sudah bersalah. Beritahukan saja kepada Susiok-couw bahwa sejak hari ini aku Kim Lian akan mencukur rambut dan menjadi nikouw (pendeta wanita) dan bertapa di goa ini. Aku takkan mencampuri urusan dunia lagi dan hanya ingin bertapa menebus dosa!”
Ang I Niocu tidak tahan lagi menahan keharuan hatinya. Ia maju menubruk dan memeluk suci-nya dan mereka berdua sama-sama menangis. Ang I Niocu merasa sangat gembira mendengar akan keinsyafan suci-nya ini, akan tetapi kata-kata Kim Lian tadi benar-benar menusuk hatinya.
“Im Giok, mudah-mudahan kau takkan sampai tersesat seperti aku,” kata Kim Lian sambil mengusap-usap rambut sumoi-nya yang halus.
“Suci... aku pun hanya seorang manusia biasa saja yang tidak terbebas dari kesesatan...”
Giok-gan Kui-bo dapat menetapkan hatinya yang terharu, kemudian dengan tiba-tiba dia mencabut pedang yang tergantung pada punggung Ang I Niocu. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan tergantung riap-riapan di punggungnya itu telah dipotongnya!
Ang I Niocu hanya dapat memandang dengan hati terharu sekali. Sesudah kedua kakak beradik seperguruan itu bercakap-cakap saling melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu pergi meninggalkan Kim Lan.
Dara Baju Merah ini berjalan secepatnya sebab ia ingin segera sampai di Goa Tengkorak dan memberi laporan kepada Bu Pun Su tentang tugas yang telah diselesaikannya itu. Padahal sebetulnya karena ingin segera bertemu dengan Cin Hai, maka ia melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa itu!
Ketika dengan hati berdebar-debar Ang I Niocu memasuki Goa Tengkorak itu, ia melihat Bu Pun Su duduk bersila menghadapi hiolouw yang mengepulkan asap putih. Dia tidak melihat Cin Hai di situ dan diam-diam ia merasa kecewa dan kuatir.
Segera ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Susiok-couw, teecu datang menghadap.”
“Bagus, Im Giok, kau telah kembali. Bagaimana dengan usahamu mencari Kim Lian?”
Dengan panjang lebar Ang I Niocu menceritakan pengalamannya. Ketika ia menceritakan keputusan suci-nya yang nekad dan mencukur rambut untuk masuk menjadi nikouw, tak tertahan pula ia mengucurkan air mata.
Bu Pun Su mengangguk-angguk dan menghela napas.
“Baik juga keputusannya itu. Betapa pun dosa seseorang, asalkan dia dapat insyaf dan kembali ke jalan benar untuk selanjutnya menebus kekeliruan yang sudah-sudah dengan tindakan-tindakan sempurna, maka ia boleh disebut seorang bijaksana.”
Kemudian, sesudah berdiam untuk beberapa lama sambil memandang wajah gadis yang tunduk itu dengan tajam, tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Im Giok, jika aku tidak salah duga, luka di hatimu akibat gagalnya perjodohanmu dengan pemuda pilihanmu dahulu agaknya kini sudah sembuh dan kulihat kegembiraan hidupmu telah kembali. Anak, bagi seorang wanita, mendirikan rumah tangga yang baik dan penuh damai adalah jalan yang terutama untuk membebaskan diri dari pada godaan dunia dan untuk memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang manusia. Lihatlah contohnya Suci-mu itu, karena sebagai seorang gadis hidup seorang diri dan tidak mendirikan rumah tangga, maka banyak penggoda menyesatkan jalan hidupnya. Aku maklum bahwa kau memiliki iman yang kuat dan batin yang bersih, akan tetapi, apa perlunya menyiksa diri dengan hidup menyendiri? Kau tidak punya jodoh untuk menjadi seorang pendeta wanita yang tidak akan kawin selama hidupnya!”
Ang I Niocu mendengarkan kata-kata orang tua itu dengan hati berdebar-debar, karena kata-kata itu memang tepat dan seolah-olah susiok-couw-nya dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi karena merasa malu, ia tidak berani mengangkat muka dan tetap bertunduk.
“Im Giok, baiklah kita berterus terang saja. Kau perlu mendapat seorang suami yang baik sekali, dan aku telah melihat seorang pria yang agaknya akan cocok sekali untuk menjadi kawan hidupmu selamanya.”
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu memerah dan hatinya makin berdebar. Timbul harapan yang diliputi kekuatiran di dalam hatinya. Siapakah orang laki-laki yang sedang dimaksudkan oleh susiok-nya ini? Apakah Cin Hai?? Ia tak berani bertanya dan masih tetap tunduk.
“Kalau kau setuju, aku bersedia menjadi perantara, Im Giok. Biarlah aku mengakhiri masa hidupku dengan menjadi seorang comblang yang menghubungkan dua orang manusia sehingga menjadi suami isteri yang hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”
Terpaksa Ang I Niocu menjawab dengan suara hampir tak terdengar,
“Susiok-couw, bagaimana teecu dapat menjawab kalau teecu tidak tahu siapa... orang yang dimaksudkan itu?”
“Ha-ha-ha, Im Giok. Bukan orang yang tidak kau kenal, bahkan hubunganmu dengan dia akrab sekali!”
Makin berdebarlah hati Im Giok dan ia mendengar dengan penuh perhatian.....
Komentar
Posting Komentar