PENDEKAR BODOH : JILID-11


Bukan main kecewa rasa hati Ang I Niocu.

“Maaf, Susiok-couw, teecu... tidak... belum ingin mengikat diri dengan perjodohan!”

“Im Giok, jawabanmu ini sama artinya dengan penolakan! Katakanlah! Apakah Kang Ek Sian bukan seorang laki-laki yang baik?”

“Dia memang seorang baik, Susiok-couw, akan tetapi... bagaimana teecu dapat menjadi isteri seorang yang tidak... teecu cinta...?”

“Aha, anak muda jaman sekarang!” Bu Pun Su berseru. “Cinta membutakan mata, anak. Bukti-bukti telah menyatakan bahwa kerukunan dan saling mengerti dapat mendatangkan rasa cinta yang jauh lebih sempurna dari pada cinta muda yang hanya terdorong oleh nafsu semata! Aku maklum bahwa hatimu telah tertarik oleh Cin Hai. Betulkah?”

Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini. Bagaimana kakek guru ini dapat mengetahui segalanya? Dapat mengetahui mengenai segala persoalannya dengan Kang Ek Sian dan dapat tahu pula rahasia hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani mengangkat muka dan hanya tunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

“Im Giok, kau sudah mendekati jurang yang curam dan berbahaya! Kau boleh menaruh hati sayang terhadap Cin Hai, akan tetapi bukan kasih sayang seorang wanita terhadap laki-laki. Seharusnya kasih sayangmu itu kau dasarkan atas rasa kasihan dan kecocokan tabiat. Ingatlah, berapa usiamu sekarang, dan berapa usia Cin Hai? Harus kuakui bahwa engkau memang masih nampak muda sekali berkat telur burung rajawali putih dan berkat kecantikanmu, akan tetapi lewat sepuluh tahun lagi saja, kau akan menjadi tua dan Cin Hai masih tetap muda. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kepincangan sehingga akan merupakan gangguan hebat terhadap kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan sekarang pergilah!”

Mendengar kata-kata yang terus terang dan menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I Niocu lalu menangis tersedu-sedu sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Ia tidak melihat betapa Bu Pun Su memandangnya dengan sinar mata penuh iba hati.

“Im Giok, kelak kau akan teringat bahwa aku memberi semua nasehat ini semata-mata untuk kebaikanmu sendiri dan kau akan mendapat kenyataan bahwa semua kata-kataku benar belaka. Sekarang gunakanlah imanmu dan kuasailah hatimu kembali. Kau boleh pergi dan apa pun yang menjadi keputusanmu aku tidak akan melarang. Aku tidak akan mencampuri urusan orang muda, tetapi sewaktu-waktu kalau kau setuju dengan usulku tadi, kau boleh mencariku.”

Ang I Niocu lalu menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri, lalu keluar dari goa itu diikuti pandangan mata Bu Pun Su yang menggeleng-gelengkan kepala, karena kakek ini diam-diam merasa kasihan sekali.

“Nafsu, nafsu... kau memang kejam dan suka mempermainkan hati orang muda!” katanya perlahan kepada asap putih yang mengepul di depannya.

Setelah keluar dari goa itu diam-diam Ang I Niocu mengingat-ingat segala ucapan Bu Pun Su dan setelah berada di tempat terbuka sehingga hawa sejuk mendinginkan kepalanya, ia merasa betapa tepat dan betulnya nasehat kakek itu. Biar pun ia tidak diberi tahu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Cin Hai tentu telah turun gunung. Tentu saja dia tidak berani bertanya kepada Bu Pun Su mengenai anak muda itu, setelah Bu Pun Su secara tepat dapat membongkar rahasia hatinya terhadap Cin Hai.

Ang I Niocu sama sekali tak pernah menyangka bahwa Cin Hai baru beberapa hari yang lalu meninggalkan Goa Tengkorak itu. Ia hanya mengira bahwa pemuda itu tentu kembali ke rumah bibinya, yaitu di Tiang-an, karena pemuda itu pernah menceritakan riwayatnya kepadanya. Oleh karena ini, secepatnya ia menuju ke Tiang-an untuk menyusul Cin Hai. Betapa pun juga ia harus bertemu dengan pemuda itu, karena ia tidak dapat menahan rindu hatinya lagi.

Sesudah mencari Ang I Niocu di Liok-bin-si dengan sia-sia, Cin Hai kemudian kembali ke Sam-hwa-bun untuk mengunjungi rumah keluarga Kwee In Liang. Dan terjadilah sebuah hal yang tak terduga-duga!

Ketika ia tiba di sebuah kaki gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia melihat titik merah mendatangi dengan amat cepat dari arah depan! Hatinya berdebar girang karena hanya seorang manusia berpakaian merah di dunia ini yang dapat bergerak seperti itu! Ia segera mengendurkan tindakan kakinya karena ia tidak mau memperlihatkan kepada Ang I Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu ginkang yang hebat.

Benar saja dugaannya, tak lama kemudian Ang I Niocu tiba di hadapannya. Ang I Niocu tiba-tiba berhenti bagaikan ditahan oleh tenaga raksasa ketika dia melihat pemuda yang berdiri memandangnya dengan wajah berseri-seri itu! Ia hampir pangling melihat Cin Hai dan tak pernah disangkanya bahwa waktu yang tiga tahun lamanya itu sudah mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak menjadi seorang pemuda yang cakap dan tegap!

“Kau... kau... Hai-ji...?” bisiknya.

“Niocu!” Cin Hai tertawa lebar, dan maju memegang tangan Ang I Niocu.

Kegirangan besar membuat ia lupa akan kesopanan dan ia memegang tangan Dara Baju Merah itu dengan erat bagaikan bertemu dengan seorang yang telah lama dirindukannya. Sebenarnya perasaan Cin Hai ketika itu terhadap Ang I Niocu hanyalah perasaan kasih sayang terhadap orang yang dianggapnya paling baik di dunia ini. Akan tetapi sikapnya telah dipandang salah oleh gadis itu.

Ang I Niocu mengira bahwa Cin Hai mempunyai perasaan yang sama terhadap dirinya, maka jika tadinya ia merasa ragu-ragu dan kata-kata Bu Pun Su selalu bergema di dalam telinganya sehingga dia tidak ingin memperlihatkan kesukaan hatinya karena pertemuan ini, maka sekarang hatinya meluap-luap karena girangnya. Dia balas memegang lengan tangan Cin Hai yang kuat itu dan berkali-kali berbisik,

“Hai-ji... Hai-ji…”

Mereka lalu pergi duduk di pinggir jalan sambil saling pandang dengan mesra.

“Hai-ji, suah selama tiga tahun kau belajar kepandaian dari Susiok-couw, tentu sekarang telah memiliki kepandaian tinggi.”

“Ah, Niocu, kepandaian apakah yang dapat kupelajari dengan baik? Suhu hanya memberi pelajaran menari!” Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang suling dari pinggangnya kemudian mengangkat suling itu tinggi-tinggi sambil tertawa. Ang I Niocu juga tertawa girang.

“Kalau begitu, tentu kau sekarang telah dapat menarikan Tari Bidadari?” tanyanya sambil memandang muka yang tampan dengan hiasan rambut yang hitam bagus.

”Barang kali saja dapat. Aku pun telah lama ingin sekali melihat kau menari, Niocu. Bagai mana kalau kita menari bersama-sama? Aku akan mencoba mengikuti gerakanmu.”

Dengan girang sekali Ang I Niocu bangkit berdiri, diikuti oleh Cin Hai yang segera meniup sulingnya. Memang selama belajar silat kepada Bu Pun Su, pemuda ini tidak pernah lupa untuk meniup sulingnya yang menjadi kesukaannya. Bahkan gurunya sendiri suka sekali mendengar tiupan sulingnya yang merdu.

Maka terdengar tiupan suling yang indah dan merdu di kaki gunung itu. Ang I Niocu lalu menari dengan gerakan yang indah dan gemulai, dan Cin Hai yang sudah mempelajari pokok-pokok segala silat, sekali lihat saja dengan mudah mampu mengimbangi tarian itu! Memang Tarian Bidadari bukanlah sembarang tarian akan tetapi pada hakekatnya adalah sebuah ilmu silat yang lihai.

Sepasang pemuda-pemudi itu menari dengan indahnya di tempat yang sunyi itu. Gerakan kaki mereka cocok sekali bagaikan memang diatur sebelumnya, hanya kalau sepasang lengan tangan Ang I Niocu bergerak dengan lincah indah, maka kedua tangan Cin Hai tidak digerakkan karena dia menggunakan untuk memegang suling yang ditiupnya untuk mengiringi tarian itu.

Bukan main senangnya hati Ang I Niocu dan ia juga merasa amat kagum karena gerakan kaki Cin Hai sungguh tepat dan tidak ada salahnya. Gadis ini merasa sangat bahagia dan gembira hatinya hingga ia menari-nari sambil tertawa-tawa girang dan memandang wajah Cin Hai dengan sinar mata penuh rasa cinta!

Cin Hai juga gembira. Namun sebaliknya dia menari dengan tenang dan wajahnya yang tampan itu tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, hanya girang dan gembira. Sesudah selesai menari, mereka kembali duduk di atas batu di pinggir jalan.

“Hai-ji, kau hebat sekali! Dalam tiga tahun saja kau telah sanggup meniru Tarian Bidadari sedemikian sempurnanya! Kau tentu sudah mempelajari ilmu silat yang tinggi sekali dari Susiok-couw! Coba kau perlihatkan pelajaran ilmu silatmu itu untuk kukagumi.”

“Sebenarnya, Niocu. Aku tidak mempelajari apa-apa, hanya tarian-tarian itu saja. Bahkan tarian itu pun baru dapat kulakukan jika kau menari bersamaku, kalau aku disuruh menari seorang diri aku tak akan sanggup melakukannya.”

Ang I Niocu memandang heran, akan tetapi ia percaya bahwa Cin Hai tidak berbohong. Ia hanya menyangka bahwa pemuda ini memang agak bodoh hingga susiok-couwnya tidak memberi pelajaran lain ilmu silat yang tinggi.

“Biarlah, kau tidak perlu kecewa, Hai-ji. Mulai sekarang, aku akan memberi pelajaran silat kepadamu!”

“Terima kasih, Niocu, kau memang baik sekali.”

“Sekarang, kau hendak ke mana, Hai-ji? Apakah kau sudah bertemu dengan Bibimu dan keluarga Kwee?”

“Aku sudah bertemu dengan Ie-thio, akan tetapi belum bertemu dengan Ie-ie. Sebetulnya aku pun sedang menuju ke sana untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Ie-thio.” Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan pertemuannya dengan Kwee In Liang.

Ang I Niocu mengerutkan alisnya yang bagus. ”Kalau begitu, keadaan mereka berbahaya sekali. Aku mendengar bahwa perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai sekali. Apakah kau hendak membantu mereka? Kalau begitu biar aku ikut dengan kau untuk membantu mereka!”

Cin Hai merasa gembira sekali mendengar ini. Demikianlah, mereka lalu bercakap-cakap dengan girang sekali dan Ang I Niocu telah lupa sama sekali akan pesan susiok-couwnya setelah bertemu dengan Cin Hai! Mereka sudah mengambil keputusan untuk datang ke Sam-hwa-bun pada saat pesta dilangsungkan.

Pada bulan itu juga, tanggal lima belas, di rumah Kwee In Liang yang besar akan tetapi sederhana itu diadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun Kwee In Liang yang ke enam puluh. Sebenarnya orang she Kwee ini tidak hanya khusus merayakan hari lahirnya untuk bersenang-senang saja, akan tetapi ia mengandung lain maksud.

Puterinya Lin Lin, sejak kembali dari perguruan sudah memiliki kepandaian tinggi sekali dan telah berusia tujuh belas tahun. Putera-puteranya yang berjumlah lima orang itu telah dipertunangkan, kecuali Kwee An yang tetap tidak mau dicarikan jodoh. Kini Kwe In Liang mengadakan perayaan dan mengundang banyak orang gagah yang sudah dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak mencari-cari seorang calon mantu yang cocok untuk Lin Lin.

Kenapa Kwee-ciangkun meletakkan jabatan dan menjadi orang biasa? Hal ini juga akibat terpengaruh oleh kembalinya Lin Lin. Memang Kwee-ciangkun tadinya terkenal sebagai seorang panglima yang sangat setia dan gagah. Dia mematuhi perintah dan menunaikan kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan dan perasaan sendiri. Oleh sebab ini jasanya besar sekali dan ia mendapat penghargaan dari kaisar.

Akan tetapi, ketika Lin Lin pulang dengan diantar oleh Biauw Suthai, wanita gagah ini dan muridnya lantas mengadakan percakapan dengan Kwee In Liang dan membujuk supaya Kwee-ciangkun tidak membantu lagi kaisar yang sesungguhnya lalim dan tidak adil itu. Dengan alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk ayahnya, disertai penuturan Biauw Suthai tentang pengalaman-pengalamannya yang membongkar semua rahasia kejahatan kaki tangan kaisar, terutama barisan Sayap Garuda yang mengganggu dan memeras rakyat.

“Kalau Ayah tidak segera mengundurkan diri, aku kuatir sekali kelak kita akan dimusuhi oleh orang-orang gagah sedunia!” kata Lin Lin dengan bujukannya.

Akhirnya Kwee In Liang menginsyafi kedudukannya yang berbahaya dan akan keadaan di dunia luar. Ia adalah seorang yang berhati tabah dan pemberani, dan sama sekali ia tidak takut akan ancaman orang kang-ouw karena kedudukan sebagai panglima. Yang ia takuti ialah bahwa karena membantu dan berada di pihak yang tidak benar, maka jangan-jangan namanya akan dikutuk orang dan akan meninggalkan nama busuk sesudah meninggal kelak. Kedua kalinya, dia ini sudah tua serta sudah merasa bosan dan capai untuk memegang pangkat.

Oleh karena ini, dia segera mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan sudah terlalu tua dan lemah. Atasannya dapat menerima permohonannya dan ia pun berhenti dengan hormat lalu pindah ke Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah dan hidup bertani.

Pada hari itu rumah keluarga Kwee telah dihias dengan kertas warna-warni dan kembang. Tampak putera-putera keluarga Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Siang dan Kwee Bun. Yang seorang lagi yakni Kwee An, tidak tampak di antara mereka. Telah lebih dari empat tahun yang lalu, Kwee An pergi meninggalkan rumah ketika ia bertengkar dan berkelahi dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya meninggalkan surat dan memberi tahu kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi merantau.

Keempat putera keluarga Kwee yang hadir di situ nampak amat gagah dan bersemangat. Terutama Kwee Tiong yang nampak paling gagah dan cakap dalam pakaiannya yang indah mentereng. Mereka ini oleh ayah mereka dilatih ilmu silat, bahkan akhir-akhir ini mereka berguru kepada seorang hwesio yang bernama Tong Kak Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong di luar tembok kota Tiang-an.

Hwesio ini adalah seorang perantau yang akhirnya bertempat tinggal di Ban-hok-tong. Oleh karena ini, maka kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini boleh dibilang tinggi juga, terutama Kwee Tiong yang memiliki tenaga besar. Hanya Kwee An yang telah pergi merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya tak mendapat kemajuan dalam pelajaran silat, karena pemuda itu lebih mengutamakan ilmu kesusasteraan.

Para tamu datang berbondong-bondong hingga tak lama kemudian penuhlah ruang yang disediakan untuk tempat pesta. Kwee In Liang sendiri bersama empat orang puteranya duduk di ruangan depan dan menyambut datangnya para tamu dengan sikap ramah dan menghormat.

Lin Lin sibuk membantu ibu tirinya di belakang dan setelah semuanya hadir, baru mereka berdua keluar dan menyambuti tamu-tamu wanita yang banyak juga menghadiri pesta itu. Di antara tamu-tamu wanita terdapat pula Biauw Suthai yang diminta datang oleh Lin Lin untuk mengharapkan bantuannya karena mungkin sekali akan ada bahaya mengancam dari pihak perwira Sayap Garuda yaitu Boan Sip.

Perwira she Boan ini adalah pengganti Kwee-ciangkun dan dia menjadi kepala penjaga keamanan kota Tiang-an. Dia adalah salah seorang perwira Sayap Garuda yang terkenal memiliki kepandaian tinggi.

Ketika melihat kecantikan Lin Lin, orang she Boan itu mengajukan lamaran, tetapi yang ditolak keras oleh Kwee In Liang dan Lin Lin. Oleh karena inilah maka dia menaruh hati dendam sehingga beberapa hari yang lalu dia sengaja mengganggu Lin Lin dan ayahnya di dalam hutan.

Karena ini maka kedatangan Biauw Suthai dalam pesta itu tidak hanya menggirangkan hati Lin Lin, tetapi juga membuat Kwee In Liang bernapas lega.

Selain Biauw Suthai, di situ nampak juga seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan berpakaian serba putih. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sinar matanya berpengaruh.

Ini adalah murid pertama dari Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng dan yang memiliki kepandaian tinggi sehingga terkenal dengan nama Pek I Toanio atau Nyonya Gagah Baju Putih. Bwee Leng adalah seorang wanita yang telah menjadi janda. Juga nyonya ini bisa dibujuk oleh Lin Lin yang menjadi sumoi-nya. Memang, baik Biauw Suthai mau pun Bwee Leng sangat sayang kepada Lin Lin.

Perjamuan berjalan dalam suasana gembira dan diselingi oleh datangnya para tamu yang mengucapkan selamat pada tuan rumah. Arak wangi dan hidangan-hidangan dikeluarkan oleh pelayan yang sibuk melayani para tamu.

Tiba-tiba seorang di antara para tamu, seorang kakek yang berpakaian sebagai seorang petani yang telah terkenal di antara para tamu sebagai seorang pendekar tua dari selatan yang bernama Bhok Ki Sun, berdiri dari tempat duduknya. Sambil menjura kepada tuan rumah yang duduk tak jauh dari situ, ia berkata,

“Kwee-enghiong, aku orang tua selain menghaturkan selamat padamu dengan doa agar kau diberkahi panjang umur, juga menyatakan kegirangan hatiku mendengar bahwa kau telah bertemu kembali dengan puterimu yang baru kembali dari belajar silat. Memang kau beruntung sekali, Kwee-enghiong, karena puterimu telah menjadi murid dari Biauw Suthai yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di sini. Kuharap Kwee-enghiong suka berlaku murah dan memberi kepuasan kepada kedua mataku yang tua ini untuk dapat menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia. Bagaimana Cuwi sekalian, apakah usulku ini tak cukup baik?” tanyanya kepada semua yang hadir.

Di tempat itu juga hadir banyak pemuda yang sudah mendengar tentang puteri keluarga Kwee yang tersohor cantik jelita dan kabarnya telah mempelajari ilmu silat tinggi, maka tentu saja mereka merasa gembira sekali dan menyambut dengan tepuk sorak gembira.

Sebetulnya di luar tahunya semua orang, Kwee In Liang yang cerdik telah minta bantuan Bhok Ki Sun yang menjadi kawan baiknya, untuk sengaja mengeluarkan usul ini supaya terbuka jalan baginya untuk mencari seorang mantu yang cocok. Maka sekarang, sambil tersenyum lebar dia berdiri dari tempat duduknya dan menjura kepada semua tamunya sambil berkata,

“Cuwi sekalian, Bhok-enghiong terlalu memuji, apakah kebisaan anakku yang muda ini? Tapi karena di pesta ini tidak ada hiburan apa-apa, sudah menjadi kewajiban kami untuk mengadakan sesuatu yang kiranya bisa menghibur dan menggembirakan Cuwi sekalian. Lin Lin, kau penuhilah permintaan Bhok-enghiong setelah mendapat ijin dari Gurumu!”

Lin Lin adalah seorang gadis yang lincah dan tabah. Menghadapi sekian banyak pasang mata yang memandang ke arahnya, sedikit pun ia tidak merasa gugup. Dengan tenang ia minta perkenan dari gurunya dan setelah Biauw Suthai memberi persetujuannya, dara ini dengan tabahnya menuju ke tempat bersilat yang memang sudah disediakan di tempat itu, tepat di tengah-tengah ruang yang luas itu.

Sesudah menjura sebagai pemberian hormat kepada semua yang hadir, Lin Lin lalu mulai bersilat dengan gayanya yang indah dan cepat. Dia mainkan ilmu Silat Pat-kwa Kun-hoat atau Ilmu Silat Pat-kwa yang mempunyai gerakan selain indah, juga cepat sekali hingga sebentar saja mata orang yang tak begitu tinggi ilmu silatnya menjadi kabur dan melihat seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi tiga empat orang.

Tepuk sorak terdengar riuh rendah menyambut ilmu silat yang memang hebat ini. Baru saja Lin Lin menghentikan ilmu silatnya tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek dari luar. Suara tertawa ini terdengar nyaring sekali sehingga semua tamu menengok ke luar. Juga Kwee In Liang memandang keluar dan seketika dia menjadi pucat.

Yang datang adalah Boan Sip serta empat orang lain yang juga memakai tanda Sayap Garuda pada topi mereka dan kesemuanya memakai jubah merah, tanda bahwa mereka ini adalah perwira-perwira kelas satu. Yang menarik hati ialah bahwa di antara mereka ini terdapat seorang perwira yang usianya telah lebih dari lima puluh tahun tetapi tampaknya masih gagah dan kuat.

“Sungguh bagus, orang-orang bergembira dan berpesta pora sampai lupa mengundang sahabat!” Perwira tua itu berkata keras dan dialah yang tadi mengeluarkan suara ketawa itu.

Kwee In Liang sudah kenal kepada perwira tua ini, karena dia ini adalah Ma Ing, seorang yang terkenal sekali karena mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi salah seorang di antara para perwira terkemuka di istana. Diam-diam orang she Kwee ini merasa terkejut sekali karena ia maklum bahwa pihak musuh menjadi sangat kuat dengan adanya Ma Ing ini. Akan tetapi dia dapat menetapkan hatinya dan cepat-cepat maju menyambut sambil menjura memberi hormat,

“Ngo-wi yang mulia, silakan duduk di dalam.”

Boan Sip sambil tertawa menyeringai mendahului masuk, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka berlima masuk ke ruang itu sambil mengangkat dada dan dengan tindakan kaki lebar, sama sekali tak memandang mata kepada sekalian yang hadir. Boan Sip langsung menghampiri Lin Lin yang masih berdiri di tengah ruang tempat bermain silat dan sambil menyeringai ia berkata,

“Kwee-siocia, ilmu silatmu tadi sungguh-sungguh indah dipandang dan manis sekali!”

Lin Lin memandang dengan mata melotot dan gadis ini marah bukan main sebab teringat betapa beberapa hari yang lalu dia sudah tertangkap oleh orang she Boan ini dan hampir saja diculik pergi! Hampir saja ia tak dapat menahan kesabaran hatinya dan memaki atau menyerangnya, akan tetapi pada saat itu dari luar terdengar suara yang nyaring,

“Ie-ie…!”

Lin Lin cepat menengok. Ia melihat Cin Hai diikuti oleh seorang gadis cantik jelita berbaju merah. Cin Hai langsung berlari menghampiri Loan Nio atau Nyonya Kwee yang duduk di bagian tamu wanita.

Loan Nio yang belum diberi tahu oleh suaminya tentang perjumpaannya dengan Cin Hai, berdiri memandang dengan mata terbelalak pada pemuda tampan yang menghampirinya. Cin Hai menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Ie-ie, aku Cin Hai menghadap. Apakah selama ini Ie-ie baik-baik saja?”

“Cin Hai, kaukah ini?” Loan Nio menubruk dan mengangkat bangun anak itu, sementara tak tertahan lagi air matanya mengucur keluar dari kedua matanya.

Cin Hai juga mengeluarkan air mata dari sepasang matanya karena terharu dan girang. Kemudian dia memperkenalkan Ang I Niocu kepada ie-ie-nya.

“Ie-ie, ini adalah Nona Kiang Im Giok yang amat berbudi dan telah banyak menolongku.”

Loan Nio memandang Ang I Niocu dengan kagum dan mempersilakan gadis itu duduk di bagian tamu wanita. Ketika bertemu dengan Biauw Suthai lalu berkata,

“Ehhh, tidak tahunya Ang I Niocu yang datang. Silakan…, silakan, aku masih ingat akan pertolonganmu di goa dulu itu!” Dengan ramah Biauw Suthai lalu memperkenalkan Ang I Niocu kepada Pek I Toanio dan mereka segera bercakap-cakap dengan gembira.

Sementara itu Lin Lin juga berlari menghampiri mereka dan diperkenalkan dengan Ang I Niocu, sedangkan Cin Hai kemudian menghampiri ie-thio-nya untuk memberi hormat dan menghaturkan selamat. Dengan ramah Kwee In Liang lalu menyuruh pemuda itu duduk di tempat tamu.

Sementara itu, melihat kesibukan tuan rumah karena kedatangan seorang pemuda dan seorang gadis baju merah, Boan Sip beserta kawan-kawannya menjadi tidak puas dan merasa betapa mereka dipandang ringan dan tidak dilayani seperti tamu agung.

“Eh, ehh apakah tuan rumah lebih mementingkan kedatangan budak itu dari pada kami?” Boan Sip dengan sikap sombong berkata sambil bertolak pinggang. Ketika Kwee In Liang memandang ke arahnya, ia berkata,

“Kwee Lo-enghiong, kau telah tahu akan maksud kedatanganku. Maka sekarang juga aku minta keputusanmu dan marilah kau beri sedikit pengajaran kepadaku untuk melanjutkan main-main yang kita lakukan di dalam hutan beberapa hari yang lalu. Aku sudah berjanji akan datang, apakah kau tidak berani menyambutku?”

Bukan main marahnya hati Kwee In Liang mendengar kata-kata orang yang tidak sopan dan sikap yang kasar menantang ini. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jika dibandingkan dengan perwira muda ini, akan tetapi tentu saja ia tak mau memperlihatkan kelemahannya.

“Orang she Boan! Agaknya kau sudah melupakan aturan kesopanan dan sengaja datang membawa kawan-kawanmu untuk mengacau pestaku!” orang tua ini lalu bertindak maju.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Lin Lin telah mendahului ayahnya dan dengan sekali lompatan ia telah menghadapi Boan Sip.

“Orang she Boan, engkau menjabat pangkat namun tidak mengenal aturan! Kami tidak mengundang akan tetapi engkau sudah menebalkan muka untuk datang di pesta kami. Apakah engkau tidak malu? Apa bila datang hendak mengajak pibu, apakah engkau tidak dapat memilih lain hari?”

“Ha-ha-ha-ha!” Boan Sip tertawa mengejek. “Jika hanya mengandalkan keberanian untuk mengadu kepandaian, tidak perlu memilih waktu dan tempat. Sekarang kebetulan sekali banyak orang menjadi saksi, apa bila pihak tuan rumah memiliki kegagahan, silakan maju memperlihatkan kepandaian!”

“Bangsat, apa kau kira kami takut padamu?” Lin Lin berseru dan meraba punggung untuk mencabut senjatanya.

Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan putih yang datang dari pihak tamu wanita dibarengi bentakan, “Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di sini!”

Bayangan itu ternyata adalah Pek I Toanio yang mewakili sumoi-nya dan lantas saja dia menyerang dengan tamparan keras ke arah pipi Boan Sip. Akan tetapi siang-siang Boan Sip telah dapat memaklumi akan kelihaian wanita ini karena tamparannya mendatangkan angin pukulan dahsyat dan gerakannya ketika melompat tadi ringan sekali.

Ia mengangkat tangan menangkis dan sepasang lengan beradu keras. Boan Sip terkejut sekali karena dia terdorong ke samping sampai terhuyung-huyung! Sementara itu Lin Lin mengundurkan diri dan duduk di dekat gurunya yang memandang dengan sikap tenang.

Ketika melihat sikap Boan Sip yang sombong dan sengaja datang mengacau itu, Kwee Tiong beserta ketiga orang adiknya menjadi marah sekali dan mereka berempat sambil mencabut pedang lalu maju menghampiri dengan sikap mengancam.

Akah tetapi Kwee In Liang yang maklum bahwa kepandaian mereka ini masih terlampau rendah untuk bisa menghadapi Boan Sip, segera membentak, “Jangan kurang ajar, kalian mundurlah dulu!”

Kwee Tiong merasa penasaran sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah ayahnya. Maka bersama adiknya dia lalu berdiri dan bersiap sedia menghalau musuh yang kurang ajar itu.

Boan Sip yang melihat hal ini lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha-ha-ha! Kwee Lo-enghiong agaknya tahu akan kebodohan putra-putranya, karena itu tak mengijinkan anak-anaknya maju, bahkan telah mengumpulkan orang-orang gagah untuk mewakilinya! Cerdik sekali!” Kemudian ia berkata kepada Pek I Toanio, “Tidak tahu siapakah Lihiap yang begitu baik hati mewakili tuan rumah menyambutku?”

“Orang she Boan, bila sikapmu tak begini menjemukan dan kesombonganmu tidak begitu besar, siapa yang sudi melayanimu? Akan tetapi engkau sudah lupa akan sopan santun dan tak memandang mata kepada tuan rumah dan para tamunya. Apakah kau kira hanya engkau seorang saja yang mempunyai kepandaian? Orang lain boleh engkau hina, tetapi aku Pek I Toanio tak sudi menerima hinaan dari orang macam engkau!”

Memang biar pun Pek I Toanio berwatak pendiam, akan tetapi kalau telah mengeluarkan kata-kata selalu tajam dan berterus terang. Boan Sip sudah pernah mendengar nama ini dan maklum akan kelihaiannya, akan tetapi dia tidak takut.

“Hmm, apakah benar-benar engkau hendak mencoba kepandaianku?” tanyanya.

“Siapa yang sedang main-main padamu?” jawab Pek I Toanio dengan senyum mengejek sehingga kemarahan Boan Sip makin meluap.

“Kalau begitu kau mencari penyakit sendiri!” bentaknya dan ia lalu maju menyerang.

Pek I Toanio cepat berkelit dan membalas menyerang sehingga sebentar saja mereka berdua sudah bertempur dengan seru.

Sementara itu, sejak datang dan duduk di kursi terdepan, beberapa kali Cin Hai bertukar pandang dengan Lin Lin dan gadis yang sedang marah itu apa bila terbentur pandangan matanya dengan Cin Hai, lalu tersenyum seakan-akan minta maaf bahwa dia tidak bisa menyambut sebagaimana mestinya karena terganggu oleh para perwira kasar itu.

Kebetulan sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat tempat dia duduk. Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri mereka.

“Tiong-ko, bagaimana, apakah engkau sudah mendapat kemajuan besar?” tanya Cin Hai dengan manis.

Kwee Tiong memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk kesopanan dia menjawab juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar apakah?”

Juga Kwee Sin, Kwee Siang serta Kwee Bun menghampiri Cin Hai untuk melihat dan bertanya kepada anak muda ini. Sikap mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan tetapi rata-rata mereka memandang rendah kepada Cin Hai.

“Ahh, aku tidak belajar apa-apa,” jawab Cin Hai sederhana.

Ketika Cin Hai sedang bercakap-cakap dengan Kwee Bun, Kwee Tiong menegur mereka, “Sudahlah, jangan banyak cakap. Sekarang bukan waktunya mengobrol. Lihat tamu kita bertempur untuk kita, tidak pantas kita hanya mengobrol saja!”

Memang benar ucapan Kwee Tiong ini, oleh karena pada waktu itu pertempuran sedang berlangsung hebat. Boan Sip sungguh lihai dan gerakan-gerakannya selain cepat, juga mantap dan keras sehingga Pek I Toanio harus mengeluarkan segenap kepandaiannya untuk melayani lawan yang kosen ini.

Cin Hai hanya memandang sebentar, akan tetapi ia tidak tertarik melihat pertempuran itu. Sebaliknya ia celingukan ke sana ke mari mencari Kwee An dengan matanya. Kenapa ia tidak melihat Kwee An? Ia kemudian menowel lengan Kwee Bun dan ketika pemuda ini berpaling, ia bertanya sambil berbisik,

“Di manakah adanya Saudara Kwee An?”

“Dia pergi merantau, sudah empat tahun belum kembali.”

Pada saat Cin Hai hendak bertanya lagi, Kwee Tiong menengok kepada mereka dengan pandangan tidak senang sehingga Cin Hai dan Kwee Bun tidak melanjutkan percakapan mereka. Sebetulnya pada saat itu perhatian Kwee Tiong tidak tertuju sepenuhnya kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya, namun sebagian besar tertuju kepada Dara Baju Merah yang duduk di dekat ibu tirinya.

Di dalam pandangan matanya, Ang I Niocu nampak sedemikian cantik dan ayu sehingga sepasang matanya seakan-akan telah ditarik oleh besi sembrani. Ingin sekali Kwee Tiong memperlihatkan kegagahannya dan melawan musuh supaya bisa menarik perhatian dan kekaguman gadis jelita itu. Ia merasa heran sekali mengapa Cin Hai, anak tolol itu dapat datang bersama-sama dengan seorang gadis demikian cantiknya!

Pada saat melihat jalannya pertempuran, Ang I Niocu juga merasa terkejut di dalam hati. Baginya, kepandaian Pek I Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi ternyata bahwa orang she Boan itu lebih lihai lagi dan gerakan-gerakannya masih diperhebat dengan ilmu cengkeraman dari Mongol yang sukar diduga gerakannya, sehingga beberapa kali kalau tidak berlaku cepat tentu lengan Pek I Toanio sudah kena dicengkeram!

Diam-diam Ang I Niocu menguatirkan keadaan paman dari Cin Hai, karena baru seorang lawan saja sudah begini tinggi kepandaiannya, belum lagi yang empat lainnya! Ia maklum bahwa di situ ada Biauw Suthai yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi sampai di manakah tingkat kepandaian kawan-kawan Boan Sip yang duduk dengan muka tenang dan sombong itu?

Ia mengerling ke arah Cin Hai yang duduk sambil memandang ke sana ke mari dan yang tidak memperhatikan jalannya pertempuran. Pada saat Ang I Niocu memandang kepada Cin Hai, pandangan matanya terbentur dengan pandangan mata Kwee Tiong. Ia terkejut dan cepat mengalihkan pandangan matanya dan hatinya merasa tak senang.

Ia tahu bahwa pemuda tinggi tampan itu adalah putera dari Kwee In Liang karena tadi ia melihat betapa Kwee Tiong dan adik-adiknya hendak turun tangan tetapi mereka dicegah oleh Kwee In Liang. Mengapa pemuda itu memandangnya begitu macam? Apakah hanya kebetulan saja?

Sekali lagi Ang I Niocu mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap saja ia melihat betapa pemuda itu menatapnya dengan pandangan mata penuh arti! Ang I Niocu merasa sebal dan marah, akan tetapi diam saja dan sama sekali tidak mau memandang ke arah anak muda itu lagi.

Pertempuran itu benar-benar berjalan seru dan hebat. Pek I Toanio adalah murid pertama dari Biauw Suthai dan memiliki kepandaian tinggi dan sudah hampir mewarisi kepandaian gurunya, maka dapat dibayangkan betapa lihainya.

Akan tetapi Boan Sip adalah seorang Perwira Sayap Garuda kelas satu hingga tentu saja kepandaiannya sudah cukup tinggi, karena apa bila tidak memiliki kepandaian tinggi, dia yang masih muda tidak akan dapat menduduki pangkat yang besar itu, karena rata-rata Perwira Sayap Garuda kelas satu terdiri dari orang-orang yang sudah berusia tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh tahun.

Setelah bertempur beberapa puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba saja Boan Sip merubah gerakannya dan kini dia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai Gila Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah lawan dan sambil bergulingan tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai, sedangkan goloknya menyambar-nyambar ke arah kaki lawan!

Ilmu gerakan ini benar-benar berbahaya dan cepat, dan ke mana saja Pek I Toanio loncat menghindar, selalu Boan Sip dengan amat cepat lantas mengejar sambil bergulingan dan melancarkan serangan berbahaya. Ia tak hanya bergulingan sambil menyerang kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan menyerang dengan golok itu kemudian bergulingan pula!

Diserang secara begini, Pek I Toanio menjadi gugup sekali dan tak berdaya melancarkan serangan balasan. Ia menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan sebuah gerakan dan serangan nekad.

Sambil berseru nyaring Pek I Toanio lalu menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun Kering Tertiup Angin! Dia mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan dia membabat dengan pedangnya dari samping. Karena serangannya ini hampir menempel pada lantai, maka tak mungkin tertangkis dengan perisai.

Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan ternyata bahwa Cin Hailah yang berteriak itu. Seperti lakunya seorang yang bingung dan gugup pemuda ini menyambar bangku yang didudukinya dan melemparkan bangku itu dengan sambaran cepat ke arah mereka yang sedang bertempur sambil bergulingan!

Kwee Tiong dan adik-adiknya serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai merasa heran sekali melihat perbuatan pemuda ini. Sementara itu, ketika Cin Hai melemparkan bangkunya, Pek I Toanio setelah pedangnya kena ditangkis, kemudian bergulingan pergi menjauhi Boan Sip yang telah siap untuk melempar goloknya.

Ketika mendapat kesempatan baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang bergulingan pergi membelakanginya, ia lalu menyambitkan goloknya ke arah punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada saat itu, bangku yang dilempar oleh Cin Hai telah tiba di antara mereka hingga sebelum golok itu terlepas dari tangan Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya kembali dan tidak jadi melontarkan goloknya.

Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun berdiri. Boan Sip sambil bertolak pinggang memandang sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring,

“Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu berani mati melempar bangku tadi?”

Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai, “Cin Hai, engkau bodoh dan lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?”

Cin Hai pura-pura gugup dan bingung. “Aku... aku merasa ngeri melihat pertempuran itu dan berusaha memisahkannya!”

Mendengar ini, semua orang tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia masih begini bodoh, pikirnya!

Di antara semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya tadi yang telah membuka punggungnya pada saat dia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh gurunya, dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang demikian tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman?

Bahkan Ang I Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek I Toanio sehingga Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin Hai.

Sekali lagi Boan Sip berseru, “Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah berani mengganggu,” katanya dengan lagak sombong.

Sementara itu, atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura kepada Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil mengalahkan lawannya.

Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan pedang di tangan sambil membentak, “Orang she Boan, jangan sombong! Yang melempar bangku adalah adik keponakanku yang tolol dan bodoh, namun tidak perlu engkau memusuhi dan menantangnya. Kalau engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!”

Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini barusan mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa ketiga orang adiknya. Melihat gerakan mereka itu, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata sambil tertawa,

“Ha-ha-ha-ha, kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya mempunyai putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”

Kwee In Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia lalu berseru keras dan menubruk dengan pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya yang menyerang dengan berbareng.

Boan Sip mengeluarkan suara di hidung dan menggerakkan goloknya menangkis. Sekali tangkis saja, dua dari empat batang pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan Boan Sip melanjutkan gerakannya dengan serangan pembalasan.

Baiknya perwira muda ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang dia rindukan, maka dia tidak memiliki niat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda serta memperlihatkan kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya hanya nampaknya saja hebat mengerikan karena goloknya menyambar-nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan cepat hingga keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan wajah pucat.

Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang tamu yang berdiri karena tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di tangan, Cin Hai berlari menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara membabi buta sambil berseru berkali-kali,

“Jangan membunuh kakak-kakakku, jangan mencelakakan kakak-kakakku!”

Mendapat serangan kacau balau itu, Boan Sip terkejut dan cepat melihat penyerangnya. Karena ia tujukan perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda inilah yang tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah sekali.

“Orang tolol, engkau mencari mampus!” bentaknya.

Dia kemudian menggunakan goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang cukup panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru inilah yang membingungkan Boan Sip.

Gerakan silat dapat diduga karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan yang menggila ini benar-benar membingungkan dan sebelum dia dapat menyerang, sebuah kaki dari pada bangku yang diobat-abitkan itu telah mengenai tubuh belakangnya.

“Bukk!” terdengar suara karena bokongnya kena dihajar kaki bangku.

Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang pemuda tolol itu. Akan tetapi karena dalam ketololannya pemuda itu berani membela keempat pemuda Kwee, walau pun mereka mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat memukul bokong Boan Sip yang sombong.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)