PENDEKAR BODOH : JILID-12


Kembali terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari gerak-geriknya ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap gagah sekali membuka mulut besar hendak membela keempat saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip yang sangat lihai. Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan!

Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip. Kembali ia menyerang sambil memaki-maki. Pada saat bangku itu menyambar kembali, dengan gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa kayu itu mampu menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku itu terbabat putus.

Akan tetapi sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton pertempuran itu. Ketika kaki bangku itu terbabat putus, ternyata saking tajam golok yang membabat, kaki bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi Boan Sip!

“Plokk!”

Terdengar suara dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu lantas menjadi merah kulitnya dan terasa pedas sekali!

Kejadian ini terlihat jelas oleh semua orang sehingga kembali terdengar sorak riuh rendah karena ternyata walau pun bodoh dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya pemuda tolol itu sedang ‘hok-khi’ (beruntung) maka secara kebetulan sekali lawannya kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri!

Pada waktu itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah peristiwa lain yang menimbulkan tertawa geli. Kiranya dua orang tamu yang tadi berdiri melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu adiknya dengan Boan Sip hingga bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka jadi begitu gembira sehingga sambil tertawa terkekeh-kekeh mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang mereka. Akan tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan kesakitan karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang kosong dan tak ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang langgang!

Orang-orang di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis kesakitan, akan tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil menghajar Boan Sip adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka berserilah wajah mereka!

Boan Sip marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi macamnya karena bekas bacokan golok.

“Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!” Cin Hai memaki dengan suara mengejek.

Kata-kata ini mengingatkan Boan Sip bahwa kalau dia nanti membunuh anak muda tolol yang tidak bersenjata ini dengan goloknya, maka dia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang gagah. Lagi pula untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda bodoh ini lebih mudah menggunakah tangan kosong. Karena itu dia segera membanting golok dan perisainya di atas lantai sehingga mengeluarkan suara berkerontangan, kemudian sambil mendelikkan mata ia memaki,

“Baik, aku telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan mencekik batang lehermu!”

“Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab Cin Hai dengan muka lucu hingga kembali semua orang tertawa.

Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat bagaimana Cin Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani membela kakak-kakaknya!

Juga Kwee In Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu memiliki seorang keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pandangan tajam dan pengalaman luas dapat pula dikelabui oleh aksi Cin Hai yang ketolol-tololan sehingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia menolong jiwa anak muda yang tolol akan tetapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat, hendak mengeluarkan suara saking terperanjat dan kuatirnya.

Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan kedua tangannya dan ia lantas membetot. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai terus mempertahankan.

“Uhh… uhhh…” mulut Cin Hai mengeluarkan suara seolah-olah dia sedang mengerahkan seluruh tenaganya.

Demikianlah, keduanya saling membetot dan mempertahankan, sedikit pun tak ada yang mau mengalah! Bangku itu sebentar terbetot ke kanan, sebentar terbetot ke kiri sehingga seakan-akan kedua orang itu sedang mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya berubah merah!

Yang merasa sangat gembira adalah para penonton. Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa kedua orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda tolol itu!

Pada saat itu mereka merasa seolah-olah sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menarik-narik bangku sebagai gantinya tambang yang biasa dipergunakan untuk mengadu tenaga bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai sambil berteriak-teriak,

“Hayo, tarik... tarik...! Keluarkan tenagamu...”

Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira, “Hayo... lebih keras lagi... tarik...!”

Akan tetapi apa bila bangku itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang mengandung kekuatiran, “Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!”

Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan saling keluarkan tenaga. Boan Sip makin marah dan penasaran saja. Tenaganya untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu kati kuatnya.

Tiba-tiba saja Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan tetapi Cin Hai tidak melepaskan pegangannya sehingga tubuhnya ikut terbetot dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip demikian kerasnya hingga karena tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.

Orang-orang tertawa geli dan bersorak-sorai. Akan tetapi pada saat itu pula Lin Lin sudah melompat ke tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut kepada pemuda itu.

Dan alangah herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan membetot tubuhnya! Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena ditipu oleh ketololan Cin Hai sehingga dia menguatirkan keselamatan pemuda ini.

Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut perwira muda itu mengalirkan darah dan ia pun berdiri dengan terhuyung-huyung. Karena terlalu banyak menghabiskan tenaga dan tiba-tiba saja bangku dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat luka dalam yang hebat juga!

Kawan-kawannya segera menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan Sip lalu duduk diam dan cepat mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.

Lin Lin dan Ang I Niocu kembali lagi ke tempat duduk masing-masing, ada pun Cin Hai dengan mendapat sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ie-nya, yaitu di bagian para tamu wanita. Pada saat Biauw Suthai memandang pemuda itu, teringatlah wanita gagah ini. Dia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.

“Bukankah kita pernah bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.

“Sudah, Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”

“Empat kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.

“Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika engkau menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, lalu ketiga kalinya di dalam Goa Tengkorak, dan ke empat kalinya... sekarang ini!”

Biauw Suthai tertawa senang. “Ahh, benar... pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu engkau telah memiliki keberanian yang besar!”

Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata, “Hai-ko, benar-benar kau gagah berani!”

Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai merasa demikian girang hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I Niocu dari tempat duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak muda ini.

Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin Hai yang tolol itu mendapat pujian dari orang-orang.

“Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan...!” Kwee Tiong bersungut-sungut.

Pada saat itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk ke dalam arena. Dengan tertawa dingin dia menggulung lengan bajunya ke atas hingga nampak sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus putih, jauh berbeda dengan warna kulit mukanya. Dia memandang ke sekeliling dan berkata kepada Kwee In Liang,

“Kwee-ciangkun...”

“Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In Liang memotong. Perwira kate itu tertawa,

“Kwee Lo-enghiong,” katanya lagi.

“Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I Toanio boleh dianggap berakhir dengan seri karena datangnya gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan pemuda itu tidak termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum ada yang memang. Sekarang kuharap kau suka maju, atau boleh juga kau mengajukan pemuda bodoh setengah gila tadi untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak bodoh itu tidak berani!”

“Siapa yang tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang mukanya hitam, jangan membuka mulut besar!”

Terdengar orang-orang tertawa keras karena merasa geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.

“Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat padamu! Kau datang-datang memaki orang, mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka hitam?” Sambil berkata demikian, Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu. Akan tetapi Loan Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih jauh.

Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu menghampiri Kwee In Liang dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku mewakili Saudara Cin Hai?”

Kwee In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tak berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung. Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya melayang cepat dan tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi.

Semua orang memuji keindahan gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia kini sedang menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani main-main dan segera menjura dengan hormat.

“Tuan rumah sudah berhasil mengumpulkan pembela-pembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan Kwee-enghiong?”

Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu mengucapkan sajak,

Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau hendak bertanya nama?
Lihat pakaian dan pedang.
Dan cari sendiri siapa namaku!

Perwira itu lalu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Kemudian ia pun berkata dengan kaget, “Ahh, bukankah Lihiap ini Ang I Niocu?”

Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan tetapi tak seorang pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan cantiknya!

“Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pibu yang kita hadapi. Dan tentang hubungan dengan keluarga Kwee yang kau tanyakan tadi, terus terang saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu yang tidak diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik maka aku diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”

“Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku kurang hormat. Pertempuran ini tidak dapat dilanjutkan!” Si Muka Hitam berkata. “Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi karena kami datang khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song tak akan mau melayaninya!”

Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tidak berdaya dan ia tidak dapat memaksa, maka ia lalu bertindak ke tempatnya semula sesudah berkata, “Kalau begitu, masih kuharapkan agar lain kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau sombong ini, Tan-ciangkun!”

Tan Siong merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan pura-pura tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.

“Hei, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau serta kaum kerabatmu tidak berani menghadapi aku? Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh dia keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan ibunya saja!”

Bukan main hebatnya hinaan ini sehingga Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi pada saat itu pula dari luar berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian bagai seorang sasterawan telah berdiri di situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan berkata,

“Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap menghadapimu!”

“An-ji...!” Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng.

Akan tetapi karena pada waktu itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya memandang dengan girang dan juga kuatir. Apa lagi Kwee An hanya mempunyai kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup, hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat!

Cin Hai dengan jelas bisa melihat bahwa ketika masuk tadi Kwee Ang telah menggunakan Ilmu Loncat Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan sudah mempunyai ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari silat dari orang pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin mengetahui hal ini sehingga mereka menjadi girang.

Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati. Meski pun maklum bahwa Kwee An memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari menghampiri Kwee An sambil berteriak-teriak “Kwee An... Kwee An...”

Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri gembira melihat Cin Hai. “Cin Hai, engkau juga datang?” Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.

Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik,

“Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”

Akan tetapi dengan suara keras ia berkata, “Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini sebentar lagi akan bermuka biru!” Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke tempat duduknya.

Semua orang tertawa mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat sikap Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tidak akan menyangka, karena memang seorang yang memiliki Pek-mo-jiu, tidak nampak dari luar, tidak seperti halnya Hek-see-jiu atau Ang-see-jiu, sebab orang yang memiliki ilmu ini, tangannya hitam atau merah.

Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang dicampurkan obat-obat kuat dan digosok-gosokkan pada seluruh lengan tangan, juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan keras dan mempunyai tenaga luar biasa!

Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai. Dalam beberapa gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa Kwee An sudah mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari Go-bi-san yang mempunyai banyak cabang persilatan itu.

Pernah dulu Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biar pun kurang ternama, akan tetapi sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai membuktikan sendiri hingga dia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan kepandaian Si Muka Hitam ini!

Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Dia segera mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan seragan kilat yang dapat membawa maut.

Akan tetapi Kwee An berlaku hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari pada lawannya, maka ia menggunakan ginkang-nya untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya laksana seekor burung kepinis!

Orang-orang bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka itu seakan-akan seekor ular yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee An mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan segera balas menyerang dengan totokan-totokan ke arah urat dan jalan darah lawan.

Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan anak muda ini sebab Tan Song menggunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu pun mengeluarkan seruan tertahan.

Kwee An merasa betapa angin pukulan Pek-mo-ciang ini seakan mengiris kulit dadanya. Namun berkat kegesitannya, dia segera melempar diri ke belakang sambil menggerakan kedua kakinya menendang ke depan bergantian. Untung saja dia mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena kalau saja ia tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya akan menubruk maju sambil mengirim serangan ke dua.

Cepat sekali Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai sehingga tubuhnya dapat mencelat ke atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan lebih hati-hati.

Sesudah bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An yang muda serta bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang persilatan ini memang tidak banyak dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang aneh ini.

Cin Hai merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru “Hayo, Kwee An, hantam terus... hantam terus...”

Semua penonton melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua berpihak pada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang terkenal jahat. Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang tadinya disangka bodoh dan paling lemah di antara semua puteranya yang lain, ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada Lin Lin!

Ketika mendapat kesempatan baik, yaitu pada saat lawannya terhuyung mundur karena serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul dengan tangan kiri ke arah mata lawan. Tan Song cepat mengelak tetapi segera berteriak kaget karena tiba-tiba saja kaki kanan Kwee An melayang dan menendang lawan yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu.

Tak ampun lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu berteriak kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu datang menolong dan mengangkatnya ke pinggir.

Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu segera datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa bangga sekali akan kepandaian Kwee An.

“Nah, ini baru disebut kepandaian asli,” kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam engkau mengeluarkan tenaga dan dengan jujur kau mengalahkan orang she Tan yang tangguh itu. Engkau benar-benar hebat, An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.

Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi kurus dan gerak-geriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh. Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh.

Perwira ini sesungguhnya adalah kakak dari Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi dari pada Tan Boan Sip. Tetapi adatnya pendiam dan tidak sombong.

Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan berkata dengan suaranya yang besar,

“Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai, apa bila kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira sekali!”

Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.

“Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh. Kalau kini kau maju lagi, maka kau akan terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu.”

“Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?” tanya Kwee An.

Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata, “Biarlah aku yang tua ikut meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.”

Muka Kwee In Liang berseri. Dia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan ini cukup lihai dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka dia cepat menjura sambil berkata, “Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang budi besar sekali.”

Bhok Ki Sun segera bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti seorang petani sederhana ini lalu menjura dan berkata,

“Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama pula dengan pendirian Tan-ciangkun bahwa orang luar tidak boleh membantu tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka berkenan mengajukan diri untuk melayanimu.”

Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil, maka dia menjawab, “Aku bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran pendek tadi. Jika Bhok Lo-enghiong hendak turun tangan, aku merasa gembira sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!”

Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari Kun-lun-pai, maka dia pun memiliki tenaga lweekang yang cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai.

Keduanya bergerak lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak. Akan tetapi setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan sama kuatnya, mereka kemudian mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka segera mengeluarkan kecepatan dan kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran lantas berubah cepat dan hebat.

Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena orang tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu sangat mengagumkan karena di samping sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan dengan gerak cepat.

Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur sebelum terluka dalam pertempuran yang sesungguhnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini. Dengan gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun lalu meloncat ke belakang dan berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua tangannya dan berkata,

“Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!” Dia lalu menjura kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil membela nama keluarga Kwee.

Pek I Toanio tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, karena itu sesudah mendapat perkenan dari gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.

“Ingin sekali aku merasakan kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek Toanio sambil mencabut pedang di tangan kanan dan mengeluarkan sebuah hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya baju putih ini memang pernah mempelajari ilmu memainkan hudtim dan pedang dari gurunya.

“Baik, baik. Aku pun sudah melihat permainanmu yang sangat lihai tadi dan ingin sekali untuk mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni sebatang toya panjang yang ujungnya dipasangi kaitan.

Sesudah saling memberi hormat, maka kedua orang ini segera menggerakkan senjata masing-masing dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong.

Sinar pedang Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtim-nya yang cukup lihai sehingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.

Akan tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan. Toya itu sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya sehingga mendatangkan angin berkesiur yang dirasakan oleh semua penonton yang duduk di situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat hingga bisa menggerakkan pakaian dan rambut orang-orang di sekitarnya, apa lagi kalau terkena kemplang toya yang berat dan digerakkan cepat ini!

Baru bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika ia mengadu tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari sabetan toya, sambil mempergunakan kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang atau memukul jalan darah dengan ujung kebutan.

Pada saat Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sau Chian-kun atau Serampang Bersih Ribuan Tentara dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru keras, nyonya itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat laksana kitiran angin, toya Tan Bu sudah mengejar tubuh yang di atas itu dan cepat menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali hingga semua orang menahan napas.

Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi untuk berkelit, ada pun untuk menangkis dia akan kalah tenaga, maka dia segera memperlihatkan kegesitannya. Pada saat ujung toya menyambar ke arahnya, ia mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan pada ujung toya itu lalu ia mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak lupa mengebutkan hudtim-nya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan Bu!

Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya sehingga Tan Bu sama sekali tidak menduga, tahu-tahu pundaknya kena terpukul dan tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan mencelat ke atas hingga kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang di atas!

Pek I Toanio tidak kalah kagetnya. Totokannya tadi sudah mengenai urat di tubuh lawan dengan tepat sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja seakan-akan tidak pernah terpukul, apa lagi terluka!

Cepat nyonya ini meluncur turun dan dia merasa bahwa melawan terus tidak akan ada gunanya, karena harus dia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh hebat dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu menjura dan berkata,

“Terima kasih atas petunjuk Ciangkun.”

Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang sekali betapa dalam dua pertempuran berturut-turut Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan dapat menebus kekalahan Tan Song tadi.

“He, Kwee In Liang, jika kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol itu!” Tiba-tiba Boan Sip berseru keras dengan suara menghina.

Semua penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena sesudah kedua jago itu kalah, siapa lagi yang hendak maju?

Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An. “Sekarang kau, Lin Lin, atau aku sendiri yang maju dan berternpur mati-matian, membela nama kita!”

“Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata Biauw Suthai.

Akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri.

“Biarkan aku saja yang maju!” setelah berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban, lalu sekali melompat tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu!

Orang tidak melihat bagaimana dia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu telah memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.

“Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan marilah kau rasakan tajamnya pedangku!” katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding ke arah Boan Sip!

Tan Bu maju selangkah dan mengangkat kedua tangan sambil berkata,

“Bukankah engkau ini Ang I Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang besar, maka betapa beruntungnya hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu. Jangan kau hiraukan Boan-sute yang memang berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba kepandaian!”

Ang I Niocu terpaksa menghadapi Tan Bu.

“Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa orang yang mempunyai kepandaian seperti engkau ini telah berlaku sembrono dan mengacau pesta orang lain.”

“Ang I Niocu, kita sama-sama orang luar dan peduli apa dengan segala urusan remeh? Yang paling penting bagi kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing pada kesempatan yang baik ini, untuk meluaskan pengetahuan.”

“Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!” Ang I Niocu lantas membuat gerakan yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya sehingga semua penonton bertepuk tangan kagum.

Tan Bu maklum akan kelihaian lawan, karena itu dia segera mendahului dan mengirim serangan kilat dengan toyanya yang hebat. Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu mudah saja menghindarkan diri dari serangan dan menghadapi lawan tangguh ini dengan tenang serta dengan tarian indah sekali hingga keduanya merupakan dua orang mahluk yang sangat berbeda.

Para penonton merasa kagum sekali. Seumur hidup mereka belum pernah menyaksikan seorang gadis cantik menghadapi ilmu silat toya yang luar biasa ganas itu dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit pun tidak kena terpukul!

Tidak hanya para penonton yang kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio, Kwee An, dan yang lain-lainnya memandang dengan melongo dan kagum. Juga Biauw Suthai nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang dengan penuh perhatian.

Akan tetapi kegembiraan mereka bercampur dengan kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu benar-benar hebat dan dahsyat. Karena telah tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan lihai, perwira yang kosen ini lalu mengeluarkan ilmu toyanya yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada ketika ia menghadapi Pek I Toanio tadi.

Oleh karena ini diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga dan tak pernah disangkanya bahwa sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya setinggi ini. Dia lalu bertempur dengan hati-hati sekali dan selama itu belum pernah membalas dengan desakan, hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan dan mempelajari gerakan lawan.

Melihat keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali. Dia yang sudah mempunyai pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah memiliki pandangan tajam dan tahu bahwa gerakan-gerakan toya Tan Bu itu sebenarnya hanyalah ganas dan dahsyat karena toya itu selain berat, juga orang she Tan itu mempunyai tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya, maka Nona Baju Merah itu tak akan sulit mengalahkan lawannya. Oleh karena itu maka diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan sulingnya.

Lin Lin yang duduk tidak jauh dari Cin Hai, dan semenjak tadi sering kali mengerling ke arah pemuda yang sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan heran, lalu tanpa dapat ditahan lagi mengajukan pertanyaan, “Ehh, Engko Hai, mengapa kau keluarkan sulingmu pada saat seperti ini?” Ia bertanya sambil tersenyum geli.

Cin Hai juga tersenyum, namun jawabannya menghilangkan senyum gadis yang menjadi sangat terheran itu ketika mendengar Cin Hai berkata,

“Aku meniup suling untuk mengiringi tarian Niocu.”

Sebelum Lin Lin dapat bertanya lebih lanjut, Cin Hai sudah meniup suling maka tiba-tiba terdengarlah tiupan suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang menjadi heran sekali, ada pun Kwee Tiong memandang kepada Cin Hai dengan marah. Dia anggap pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas menyuling! Dia melangkah maju dan hendak melarang Cin Hai menyuling.

Akan tetapi Lin Lin memandang pada Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata, “Engko Tiong, biarkan saja dan jangan ganggu dia!”

Kwee Tiong merasa dongkol sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali dengan membawa kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya memandang dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih terus menyuling dengan asyiknya.

Akan tetapi, tiba-tiba ketika suara suling Cin Hai semakin keras, nyaring dan meninggi, terdengar seruan-seruan orang menyatakan rasa terkejut dan kagum. Ketika Kwee Tiong memandang kepada mereka yang bertempur, ia pun menjadi silau karena ternyata tubuh Ang I Niocu sudah lenyap dan kini gadis itu berubah menjadi bayang-bayang merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali!

Lin Lin memandang kagum dan diam-diam dia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam hal keindahan itu. Juga Biauw Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang lihai ini mengerling ke arah Cin Hai. Dia tahu bahwa suara suling itu sangat tepat mengiringi semua gerakan Ang I Niocu sehingga seakan-akan suara suling itulah yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju Merah itu menjadi demikian luar biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan timbul dugaan di dalam hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol, tetapi sesungguhnya berkepandaian tinggi!

Memang sebetulnya Ang I Niocu ketika tadi melayani lawannya dengan gerakan hati-hati sekali, tiba-tiba ia mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai. Tiba-tiba hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya.

Suara suling itu baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik sehingga rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya seakan bernyala-nyala. Ia lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah.

Alangkah terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya halus dan lemah gemulai serta hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan gerakan untuk menghindari serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar pedangnya melakukan serangan yang hebat, dan dia merasa betapa sinar pedang lawan ini mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan Bu bukanlah orang lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa sehingga toya ini merupakan benteng baja yang kuat dan yang melindungi seluruh tubuhnya!

Suara suling yang ditiup Cin Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin cepat pulalah gerakan pedang Ang I Niocu sehingga pada suatu saat terdengar suara kain terobek dan tiba-tiba Tan Bu melompat tinggi dan jauh. Bajunya telah terobek ujung pedang dari dada sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka kulit saja di bagian lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.

“Ang I Niocu, sungguh kau benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong kosong belaka!” Tan Bu memuji dan mengundurkan diri ke tempat kawan-kawannya di mana dia lalu membalut lukanya setelah memberi obat.

Sesudah menyimpan kembali pedangnya, dengan senyum lebar Ang I Niocu lalu kembali ke tempat duduknya, di mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian dan ucapan terima kasih.

“Niocu tarianmu hebat sekali!” kata Cin Hai tertawa-tawa.

“Hai-ji, terima kasih atas doronganmu dengan suling tadi,” Ang I Niocu menjawab sambil memandang wajah Cin Hai dengan senyum mesra.

Diam-diam Lin Lin memperhatikan mereka berdua dia heran sekali mengapa dada kirinya merasa tidak enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada Cin Hai dan betapa akrab hubungan mereka berdua. Akan tetapi dia pun heran sekali mendengar sebutan-sebutan mereka. Ang I Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan Hai-ji atau anak Hai! Sebenarnya, sampai di manakah hubungan kedua orang ini? Dia belum mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.

Pada saat itu dari pihak perwira Sayap Garuda, segera maju perwira ke empat sambil mengangkat dada dan berkata,

“Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu sudah dikalahkan oleh kepandaian Ang I Niocu yang benar-benar lihai. Sekarang aku yang bodoh hendak minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah perkasa, dan apa bila di antara keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku terpaksa melayani orang-orang luar yang ingin membela Kwee-enghiong!”

Perwira ke empat ini bernama Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi karena sebetulnya dia merupakan saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap atau Lima Jago Dari Shantung yang kesemuanya kini menjadi perwira-perwira kelas tertinggi di kota raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain mempunyai tenaga ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang mengagumkan.

Di kota raja Un Kong Sian dan kakak-kakak seperguruan mendapat tugas melatih para perwira lain, sehingga beleh dibilang bahwa dia menjadi seorang di antara guru-guru para perwira di kota raja. Oleh karena ini, maka dapatlah dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada yang lain-lain.

Ada pun Ma Ing, perwira ke lima yang menjadi suheng-nya, adalah orang ke empat dari Shantung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian Ma Ing ini masih lebih tinggi dari pada kepandaian Un Kong Sian. Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan, dan sebaliknya Ma Ing terkenal mempunyai ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang yang amat hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.

Mendengar betapa Un Kong Sian menantang keluarga Kwee, Kwee An tak sanggup lagi menahan sabarnya dan dia lalu melompat maju sebelum dapat didahului orang lain,

“Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri melayanimu,” kata Kwee An dengan tenang.

Un Kong Sian telah melihat kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil tertawa,

“Anak muda, walau pun harus diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai, akan tetapi kepandaianmu belum matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu menghadapi aku.”

Un Kong Sian adalah seorang yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan kasar, karena itu kata-katanya sering kali menyakiti hati orang. Kali ini pun ucapannya tentu saja membuat Kwee An menjadi merah telinganya. Dia dipandang ringan sekali, maka sambil tersenyum ia pun menjawab,

“Terima kasih atas rasa sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tidak berharga ini memang telah kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, jika engkau memang memiliki kepandaian tinggi, keluarkan saja kepandaianmu itu, hendak kulihat bagaimana hebatnya!”

“Ha-ha-ha! Engkau pemberani, juga, anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau terluka, jangan salahkan aku!”

Sehabis berkata demikian, Un Kong Sian lantas melempar jubah luarnya dan tampaklah kedua lengan tangan yang besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa besarnya.

“Nah, majulah, anak muda!” kata Un Kong Sian. “Biarlah kini engkau berkenalan dengan kepandaian Un Kong Sian!”

Mendengar nama ini diam-diam Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan, oleh karena ia telah kenal nama ini sebagai saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian orang ini sangat tinggi. Diam-diam dia menguatirkan keadaan Kwee An dan tak terasa lagi dia berkata kepada Cin Hai yang duduknya tidak jauh dari tempatnya,

“Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang tinggi ilmu silatnya! Engkau carilah akal agar Kwee-kongcu suka mengundurkan diri sebelum mendapat celaka!”

Ternyata bahwa kalau lain-lain orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu oleh Cin Hai dan menganggap bahwa pemuda itu benar-benar bodoh, adalah Biauw Suthai yang hanya memiliki sebuah mata saja segera bisa mengetahui bahwa Cin Hai adalah seorang pemuda yang banyak akalnya, maka sekarang dia minta kepada pemuda itu untuk dapat mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)