PENDEKAR BODOH : JILID-13


“Mengetahui kepandaian lawan lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah tindakan gagah berani, tetapi hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!” kata Cin Hai sambil menuding Un Kong Sian dengan sulingnya. “Hanya Co Cho saja yang memiliki kelicinan dan kecurangan seperti itu!”

Co Cho yang dimaksudkan oleh Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal curang dan licin sehingga banyak orang membenci dan menghinanya, walau pun Co Cho adalah seorang yang terlalu cerdik.

Un Kong Sian menunda niatnya hendak menyerang Kwee An. Memang dia merasa benci dan mendongkol kepada Cin Hai karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang dengan mata dipelototkan.

“Pemuda tolol! Gangguan apa lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?” bentaknya. “Lekas engkau menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!”

“Memang kau licin, lebih licin dari pada Co Cho!” Cin Hai menyindir lagi, sedangkan Kwee An memandang kepada Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.

“Bangsat tolol, mengapa kau menyebut aku licin dan curang?” bentak Un Kong Sian.

“Engkau sudah melihat sampai di mana tingkat kepandaian Kwee An, namun kami semua belum melihat tingkat kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan bagimu, karena kau dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawanmu. Kalau kau memang gagah dan adil kau harus memperlihatkan dulu kegagahan dan tenagamu. Apa bila kau bisa meniru perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An yang gagah perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba mencari penyakit!”

Semua orang yang hadir kali ini dibikin tercengang dan heran karena sungguh-sungguh mereka tidak mengerti maksud Cin Hai.

”Anak bodoh! Kau mempunyai kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku sanggup meniru dengan baik lagi!”

Cin Hai lalu meniup sulingnya sebentar, kemudian berkata, “Nah, kau bisa tidak meniru kepandaianku tadi?”

Semua orang tertawa geli melihat kebodohan yang tolol ini, ada pun Un Kong Sian marah sekali sampai membanting-banting kaki.

“Tolol! Kepandaian meniup suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi menirunya. Kalau kau memperlihatkan demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau menirunya.”

“Ha-ha-ha-ha, agaknya kau bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba keluarkan senjatamu!”

Meski pun merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil senjatanya, yaitu sebuah toya yang beratnya lebih dari seratus kati. Inilah senjata perwira she Un yang benar-benar hebat itu.

“Nah, ini senjataku, kau mau apa?” bentaknya.

“Aku akan memainkan senjata ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya,” kata Cin Hai dengan gagah.

Dengan sikap dibuat-buat ia lalu menerima toya besar dan hebat itu, mengangkat dengan kedua tangan dan mempergunakan sikap seakan-akan ia hampir tidak kuat mengangkat toya itu. Semua orang tertawa geli dan Kwee An memandang dengan wajah pucat. Tak ia sangka bahwa Cin Hai setolol ini.

“Celaka, budak tolol itu kali ini benar-benar membikin malu kita!” kata Kwee Tiong dengan mendongkol sekali.

Tetapi Cin Hai lalu memutar toya itu beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu, terdengarlah suara mengaung yang sangat hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran toya dan mengembalikannya kepada Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka berhentilah suara mengaung itu.

“Nah, kau tirulah perbuatanku tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar tenagaku!”

Kembali semua orang tertawa, akan tetapi mereka masih merasa heran mengapa Cin Hai dapat memutar toya sampai mengeluarkan suara mengaung, padahal baru mengangkat saja sudah hampir tidak kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin Hai menyembunyikan sulingnya di belakang toya dan ketika ia memutar toyanya, dengan khikang yang tinggi ia meniup ke arah lubang suling itu hingga menerbitkan suara mengaung.

Un Kong Sian menerima toyanya dan memutarnya begitu cepat sehingga mendatangkan angin keras, akan tetapi mana bisa toya itu mengaung seperti suling ditiup! Paling hebat toya itu hanya mengeluarkan suara mengiuk saja.

“Aha, ternyata engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak mampu memutar toyamu sampai mengeluarkan angin mengaung!”

“Bangsat tolol!” Un Kong Sian marah sekali, lalu ia pergunakan tenaganya menancapkan toyanya yang berat itu pada lantai, dan toya itu menancap sampai setengahnya di lantai yang keras itu! “Lihatlah tenagaku dan siapa yang dapat mencabut toya ini, barulah dia berharga untuk melayani aku!”

Kwee An terkejut sekali melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan agaknya inilah yang dimaksudkan oleh Cin Hai.

“Aha, engkau sungguh hebat, Un-ciangkun. Engkau seperti Thio Hwie!” Thio Whie adalah seorang tokoh yang gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok. “Di dalam ruangan ini hanya satu orang saja yang dapat menandingi engkau dan orang itu bukanlah Kwee An yang masih muda belia ini!”

“Cin Hai, engkau mundurlah. Walau pun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang bodoh masih akan mencoba minta pengajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena anak muda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan rasa jeri terhadap lawannya.

“Nah, segera mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah dari pada engkau yang hanya pandai bicara dan mengacau!” kata Un Kong Sian.

“Eh, ehh mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya inilah yang hendak engkau layani.”

“Akan kucoba untuk mencabutnya!” Kata Kwee An sambil melangkah maju.

Cin Hai menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu hatinya dan dia pun percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum akan peringatan Biauw Suthai dan tahu pula betapa berbahayanya bagi Kwee An menghadapi orang she Un ini, oleh karena orang she Un ini mempunyai muka yang membayangkan kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka kalau mereka bertempur, banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh!

Dia lalu melangkah maju dan berkata, “Nanti dulu! Aku tadi sudah berkali-kali dihinanya, biarkan aku mencoba dahulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut kayu gapuk ini?”

Dengan lagak dibuat-buat Cin Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong Sian segera melangkah mundur dan memandang dengan mata menghina dan kedua lengan tangan bersilang. Cin Hai pura-pura mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi, jangan kata tercabut, toya itu bergoyang pun tidak. Semua orang yang menonton tertawa geli dan kini mereka mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat.

Sebenarnya, Cin Hai betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga lweekang yang disalurkan di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui siapa pun ia telah dapat mematahkan ujung toya yang terpendam di lantai.

Dia lalu bangun dan menjura kepada Un Kong Sian. “Tenagamu benar-benar hebat. Aku tidak kuat mencabut!” katanya sambil terengah-engah.

Kwee An merasa malu bukan main melihat sikap Cin Hai. Dengan penasaran ia hendak mencuci malu di pihaknya yang ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia lantas melangkah maju dan membetot toya itu. Alangkah herannya ketika dia mampu membetot keluar toya itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.

Tepuk sorak riuh menyambut kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee An yang dianggap luar biasa dan besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga memandang pucat. Tidak mungkin pemuda itu mempunyai tenaga sedemikian hebatnya. Juga Cin Hai bertepuk-tepuk gembira sambil tertawa dan sama sekali tidak menghiraukan pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan ditujukan kepadanya dengan penuh kecurigaan.

Mendadak Un Kong Sian mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas toyanya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. “Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini tidak mencabut keluar toyaku, akan tetapi dia telah mematahkannya! Tentu saja hal ini tidak aneh.”

Kwee An tercengang lagi. Dia sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi benar saja, ketika dia memandang, ternyata bahwa ujung toya itu telah patah. Kini ia dapat menduga bahwa sengaja Cin Hai mencegahnya bertempur melayani orang she Un ini. Akan tetapi, benarkah Cin Hai demikian lihai, dan apa maksudnya bertempur melawan Un Kong Sian?

“Betul, betul!” kata Cin Hai dengan suara keras. “Ujung toya itu telah patah. Jelas bahwa Kwee An tidak dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas melayanimu. Ada orang lain yang lebih tepat menghajarmu.”

Bukan main marahnya Un Kong Sian karena toyanya telah patah. “Siapa dia? Suruh maju lekas!” bentaknya.

“Sabarlah orang she Un. Kalau kau mencari lawan, pinni bersedia untuk melayanimu!” Dan tahu-tahu Biauw Suthai sudah berada di situ. Cin Hai cepat membetot tangan Kwee An dan dibawa pergi dari situ.

“Aku hanya melakukan perintah Biauw Suthai.” bisik Cin Hai menjawab pandangan mata Kwee An yang penasaran dan curiga kepadanya.

Sementara itu, ketika melihat seorang tokouw yang berwajah buruk dan mengerikan telah berdiri di depannya, Un Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan bertanya,

“Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi pelajaran kepadaku?”

“Orang-orang memanggilku Biauw Suthai.”

Diam-diam hati Un Kong Sian berdebar karena dia sudah pernah mendengar nama besar Biauw Suthai, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa jeri.

“Kebetulan sekali. Sudah lama aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor dan ingin sekali merasakan kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan tangan kosong atau dengan senjata?”

“Toyamu telah patah, maka tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain senjata.”

“Bagus, kalau begitu marilah kita menguji kepandaian tangan!”

Tanpa banyak cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.

Dalam hal ilmu silat Biauw Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan pengalaman pertempuran yang luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang memiliki tenaga hebat itu, ia telah bertemu dengan tandingannya. Gerakan pukulan dua orang ini mendatangkan angin dan membuat para penonton menahan napas. Juga Cin Hai tidak berani berjenaka lagi oleh karena dia maklum betapa kepandaian kedua orang itu benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat sekali.

Setelah bertempur puluhan jurus, Biauw Suthai yang lihai itu sudah dapat memukul dua kali pada pundak dan dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un Kong Sian demikian hebat hingga perwira itu hanya terhuyung saja dan terus nekad menyerang lagi. Cin Hai merasa terkejut karena dia maklum bahwa meski pun di luar tidak kelihatan terluka parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi pukulan Biauw Suthai yang disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan luka di sebelah dalam.

Juga Biauw Suthai merasa sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat kenekatan orang yang sudah terang mendapat luka, maka dia lalu menyerang semakin hebat. Pada suatu saat, ketika Biauw Suthai mendapat kesempatan baik, tokouw itu lalu menggunakan jari tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian.

Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau berkelit, bahkan berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan Ular Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan kanan Un Kong Sian mengarah leher Biauw Suthai dengan hebatnya.

Gerakan kedua orang ini cepat sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi. Biauw Suthai memiringkan tubuh hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga pukulan Un Kong Sian meleset dan hanya mengenai pundaknya. Akan tetapi pukulan dua orang ini cukup hebat untuk membuat keduanya terpental mundur.

Biauw Suthai dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat. Ada pun Un Kong Sian terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian dia roboh sambil memuntahkan darah.

Kawan-kawan Un Kong Sian segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan Lin Lin cepat-cepat meloncat menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat duduknya. Tokouw ini lantas mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya dan minum obat itu dengan segelas air. Kemudian tokouw yang baik budi ini mengeluarkan tiga butir pil merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu kepada Un Kong Sian.

Akan tetapi pemberian obat itu ternyata ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan obatnya sendiri bagi sute-nya. Kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah maju ke kalangan.

“Sekarang di pihak kami hanya tersisa aku seorang. Hayo kau keluarkanlah jago-jagomu, Kwee-enghiong, dan kita sudahi adu kepandaian ini!”

Kwee In Liang menjadi bingung sekali. Dia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini sangat tinggi dan kini setelah Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang dapat diharapkan bantuannya untuk menghadapi Ma Ing?

Ma Ing agaknya tahu pula bahwa pihak keluarga Kwee sudah kehabisan jago, karena itu dengan sombongnya dia berkata,

“Kalau di pihak tuan rumah tak ada jago yang berani menghadapi aku seorang diri, boleh kamu semua maju berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing seorang diri pun cukup untuk melayani kamu sekeluarga!”

Biar pun kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi mendengar ucapan sombong ini, sambil berseru keras mereka cepat meloncat maju berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang sambil memegang pedang maju dan serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi!

Ma Ing mengeluarkan suara menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan serta kakinya menendang dan dalam beberapa gebrakan saja keempat batang pedang di tangan Kwee Tiong dan adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget sekali Kwee Tiong dan adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan mereka yang kena pukulan dan tendangan!

“Ha-ha-ha-ha! Segala tikus kecil berani mengganggu kumis macan?” Ma Ing menyindir.

Sikap dan kata-katanya yang sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan Kwee An. Kedua orang ini tanpa berjanji terlebih dahulu, tahu-tahu meloncat berbareng dan dengan pedang di tangan mereka berdua menyerang Ma Ing!

Ma Ing cepat mencabut pedangnya dan ketiga orang ini segera bertempur. Menghadapi keroyokan Kwee An dan Ang I Niocu yang mempunyai kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani main-main dan melayani dengan sengit, dan dalam waktu sebentar saja dia sudah dapat mendesak kedua anak muda!

Kwee Tiong dan adik-adiknya kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa marah dan sebal melihat betapa Cin Hai memandangnya sambil tersenyum dan betapa pemuda itu dengan enaknya duduk memegang-megang sulingnya! Orang lain lagi sibuk melayani musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya tersenyum mentertawakannya.

“Kenapa kau tertawa?” tegurnya.

“Aku kagum melihat kelihaian orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak saja dapat merampas pedang kalian berempat!” jawab Cin Hai.

Kwee Tiong marah sekali dan apa bila ia tidak ingat bahwa di situ banyak orang, tentu ia sudah mengirim kepalannya ke arah Cin Hai.

“Kau sendiri orang tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu. Coba kau lihat Kwee An, dia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh. Tidak seperti engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?”

“Tiong-ko, jangan kau menghina orang!” Lin Lin menegur kakaknya sambil mendekati Cin Hai. “Engko Hai, Ang I Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?”

Cin Hai memandang kepada Lin Lin dengan senyum manis. “Adikku yang baik, apakah kau juga ingin melayani orang she Ma itu?”

Lin Lin mengerutkan alisnya yang bagus. Ia sungguh tak dapat segera mengerti maksud kata-kata Cin Hai ini.

“Ahh, sedangkan Ang I Niocu dan Engko An yang memiliki kepandaian amat tinggi masih terdesak olehnya, apa lagi aku! Aku melihat kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah guruku!”

Cin Hai bangun dari duduknya. “Lin-moi, kau siapkan pedangmu dan marilah kau kuantar melawan orang she Ma itu. Kalau kau tidak mampu merobohkannya jangan kau panggil aku Engko Hai lagi!” kata-katanya ini disertai senyum mesra kepada gadis yang masih memandangnya dengan mata terbelalak. “Lin Lin benarkah kau tidak percaya kepadaku?” tanya Cin Hai sungguh-sungguh.

“Aku percaya kepadamu, Hai-ko. Mari kita maju!”

Lin Lin dan Cin Hai lalu maju ke kalangan pertempuran.

“Niocu! Saudara Kwee! Kalian mundurlah, biar aku dan Adik Lin Lin menggantikanmu!”

Mendengar kata-kata ini, Ma Ing menunda serangannya karena heran sekali mendengar bahwa pemuda tolol itu hendak maju. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Niocu dan Kwee An untuk melompat mundur ke belakang.

“Hai-ji, dia lihai sekali, jangan kau main-main!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai.

“Lin Lin, dia bukan lawanmu!” kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.

Akan tetapi, baik Cin Hai mau pun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini. Lin Lin lalu mencabut pedangnya dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang sulingnya.

“Ehh orang she Ma! Apa kau berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?”

“Ha-ha-ha! Orang tolol! Kau agaknya sudah bosan hidup! Ingat, sekali ini aku tidak mau mengampuni kau pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian berdua, biar kau tambah seratus orang lagi, aku Ma Ing tak akan gentar.”

“Nah, kau bersiaplah!” kata Cin Hai.

Dia segera menggerakkan sulingnya dengan sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing segera melangkah mundur dan tertawa bergelak-gelak.

“Kau bersenjata suling? Ha-ha-ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda. Tukarkan senjatamu dengan pedang atau lain senjata tajam.”

“Tidak usah, orang sombong. Aku tak akan melukaimu karena yang akan menyerangmu hanya Kwee-siocia ini, aku hanya menghalangi serbuanmu saja, untuk apa menggunakan senjata tajam?”

Tidak hanya Ma Ing, akan tetapi semua orang yang berada di situ menggeleng-gelengkan kepala karena menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang berkata kepada Kwee Tiong yang membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai.

“Kwee-kongcu, kau tenanglah sebab sekarang Ma Ing betul-betul akan kehilangan muka!”

Kwee Tiong heran sekali mendengar kata-kata ini. Akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini dia tidak berani banyak cakap.

“Cuwi sekalian, semua orang hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini mencari matinya sendiri. Aku tak akan mengganggu Kwee-siocia, akan tetapi kalau hari ini aku tak dapat membunuh anak gila ini, janganlah orang memanggil namaku Ma Ing lagi!” Setelah berkata demikian, Ma Ing lalu menyerang dengan pedangnya.

Benar saja, dia menujukan serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan sebuah tusukan kilat ke arah dada kiri pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena sudah terbayang di depan mata betapa dada Cin Hai akan tertembus pedang.

Akan tetapi Cin Hai juga menjerit, “Ayaaaa...!“

Sambil menggunakan gerakan Monyet Jatuh Dari Cabang, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan gerakan canggung, akan tetapi tubuhnya terluput dari pada tusukan pedang. Sambil terhuyung-huyung ini Cin Hai berkata,

“Wah, galak... galak...! Lin-moi, lekas kau serang dia!”

Lin Lin tak perlu diperintah lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri Hai, dia sudah merasa khawatir sekali dan cepat mengirim serangan dengan pedangnya. Ma Ing hendak menangkis, akan tetapi mendadak Cin Hai meniru gerakannya tadi dan menusuk ke arah punggungnya dengan suling itu.

Terpaksa Ma Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai lagi dan hendak membacok suling itu dengan pedang. Akan tetapi tiba-tiba suling yang ditusukkan itu dirobah lagi dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda ini sama benar dengan gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan itu.

Ma Ing terkejut sekali karena meski pun suling itu hanya terbuat dari pada bambu, akan tetapi tangannya merasa sakit sekali. Dia cepat memutar pedangnya dan menyerang Cin Hai dengan serangan kilat. Akan tetapi, tiba-tiba ia memandang dengan mata terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat persis ilmu silatnya sendiri.

Semua orang yang menonton menjadi terheran-heran. Mereka menganggap bahwa Cin Hai hanya meniru-niru gerakan Ma Ing saja. Akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak dapat mempercayai matanya karena semua gerakan Cin Hai bahkan lebih sempurna dari pada gerakannya sendiri. Maka dia cepat meloncat mundur dan berseru.

“Tahan dulu! Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan dari mana kau dapat memainkan Pek-coa Kiam-hoat?” Pek-coa Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang tadi dimainkan oleh Ma Ing tadi.

Cin Hai pura-pura memandang heran. “Orang she Ma, kenapa kau masih bertanya lagi? Aku mempelajari ilmu pedang ini darimu sendiri!”

“Bangsat penipu! Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?” Ma Ing berseru marah,

“Bukankah baru saja kau telah memperlihatkan ilmu pedangmu?”

Jawaban Cin Hai ini memang sebenarnya saja, oleh karena ilmu silat apa pun juga kalau digunakan untuk menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia telah kenal akan pokok-pokok dasar segala macam gerakan silat.

“Anak muda, ternyata kau hanya berpura-pura tolol saja. Apa bila kau memang laki-laki, jangan maju keroyokan. Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan melukai Kwee-siocia,” kata Ma Ing.

Cin Hai memandang kepada Lin Lin. “Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini ternyata takut kepada pedangmu, biarlah aku yang melayaninya sendiri!”

“Tapi, Hai-ko...,” kata Lin Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.

Tiba-tiba saja Cin Hai mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya tersenyum. “Tidak percaya kau kepadaku?”

Gadis itu tidak menjawab, dia lalu mengangsurkan pedangnya. “Kau pakailah pedangku, Hai-ko!”

“Tak usah, Adikku, cukup dengan suling saja. Jika memang perlu, aku sendiri pun sudah mempunyai sebatang pedang.”

Lin Lin mengundurkan diri, tetapi ia berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga kalau-kalau Cin Hai berada dalam bahaya. Ma Ing lantas mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga pedang itu lalu berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan yang menyerbu ke arah Cin Hai.

“Bagus!” Cin Hai berseru.

Dia lalu mengikuti gerakan lawan itu. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari dan sulingnya diputar cepat hingga pada saat ada angin memasuki lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking yang aneh dan lucu.

Baru sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya lihai sekali. Mereka bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi ramai dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai dan yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat menonton lebih jelas!

Sebaliknya, Kwee Tiong serta adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh keheranan. Kwee An mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Ah, kepandaian Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi dari pada kebisaanku.”

Ma Ing merasa pusing sekali karena dia tidak berhasil mendesak kepada Cin Hai. Jangan kata mendesak, menyerang pun sulit baginya, sebab pemuda itu secara aneh sekali telah mengetahui semua rahasia penyerangannya sebelum serangan itu sempat dilakukan.

Tiap kali apa bila pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin Hai mendahului serangannya dengan tusukan sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga serangan-serangannya itu selalu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh sekali. Dan yang lebih gila, tiap serangan dibalas oleh Cin Hai dengan serangan yang sama pula.

Ma Ing merasa penasaran sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah ahli dalam ilmu Pedang Pek-coa Kiam-hoat, karena itu tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi ia kecele, karena pemuda itu pun telah mengenal baik ilmu pedang ini dan dapat melakukan ilmu pedang ini dengan sama sempurna!

Ia mengubah-ubah terus ilmu silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing memang memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai, akan tetapi kini dia benar-benar tidak mengerti, karena baru saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan sedikit pun tidak berbeda. Masih seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu dibalas dengan serangan semacam pula.

Ma Ing merasa seolah-olah ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri di dalam cermin. Dan yang lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya, karena sudah beberapa kali suling itu berhasil memukulnya secara perlahan, baik di kepala, punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Meski pun pukulan ini perlahan sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih adalah perasaan di dalam hatinya.

“Orang she Ma, sudah beberapa kali engkau kukemplang dengan sulingku, masih belum mau kalahkah engkau?” Cin Hai bertanya dengan ejekannya.

Adapun sorak-sorai penonton semakin riuh sebab sungguh-sungguh mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pemuda tolol itu benar-benar berkepandaian sedemikian tingginya sehingga berhasil mempermainkan Ma Ing! Juga Biauw Suthai kini benar-benar kagum sekali dan menyatakan kekagumannya itu dengan kata-kata sehingga terdengar oleh Ang I Niocu dan gadis itu berkata kepadanya.

“Tidak heran bahwa ia demikian lihainya, karena ia adalah murid tunggal dari Bu Pun Su Susiok-couw!”

Mendengar ini, terkejutlah Biauw Suthai dan tokouw ini mengangguk-angguk maklum.

Mendengar ejekan Cin Hai, Ma Ing makin marah dan menyerang dengan nekad. Tiba-tiba Cin Hai lalu berkata, “Ahhh, aku sudah bosan, Ma-ciangkun! Biarlah engkau lelah sendiri, aku hendak mengaso!” Sesudah berkata demikian Cin Hai lalu duduk bersila di tengah kalangan itu sambil meramkan mata seperti orang bersemedhi!

Semua orang merasa heran sekali sehingga mereka memandang dengan mata terbelalak tanpa pernah berkejap karena mereka tidak percaya bahwa Cin Hai hendak menghadapi lawannya dengan duduk bersila sambil meramkan mata!

Juga Ma Ing merasa ragu-ragu. Akan tetapi karena dia telah merasa lelah sekali apa lagi hatinya terasa sakit dan mendongkol karena telah dipermainkan, dia menjadi mata gelap. Dengan mengertak gigi, dia lalu membacok ke arah kepala Cin Hai yang sedang duduk bersila sambil meramkan mata itu.

Kwee An bergerak hendak melompat dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia ditahan oleh Biauw Suthai, dan Ang I Niocu yang sudah mengetahui kelihaian Cin Hai. Juga Lin Lin sudah siap dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba suling di tangan Cin Hai digerakkan dan suling itu tidak menangkis pedang yang menyambar kepalanya, bahkan mendahului gerakan Ma Ing!

Terpaksa Ma Ing menahan gerakannya dan membacok dengan hebat ke arah pundak Cin Hai. Akan tetapi, dengan mata masih meram, sekali gerakkan pundak saja pemuda itu telah berhasil mengelit bacokan itu sambil berkata perlahan,

“Ah, Ma-ciangkun, engkau telah mendapat luka dalam, masih belum insyafkah engkau?”

Ma Ing kaget sekali dan cepat menahan pedangnya. Ia memang merasa betapa di dalam dadanya terasa panas dan yang membuatnya tak enak sekali, seperti orang yang merasa mual dan hendak muntah.

“Rabalah iga kirimu dan engkau akan tahu!” kata Cin Hai lagi.

Seperti dalam mimpi Ma Ing lalu menggunakan tangan kiri meraba iganya dan terkejutlah dia karena iganya terasa sakit sekali dan ketika dia merobek bajunya, ternyata di iga itu terdapat sebintik tanda merah sebesar jempol kaki! Ia maklum bahwa ia telah kena dilukai oleh Cin Hai, maka ia cepat menjura sambil berkata,

“Sungguh mataku bagaikan buta sehingga tidak melihat besarnya Gunung Thai-san yang menjulang di depan mata. Sicu lihai sekali, jadi aku merasa takluk. Tidak tahu siapakah sebenarnya Sicu ini, dan murid siapakah?”

Cin Hai lalu mempergunakan kepandaiannya sehingga dalam keadaan bersila, tahu-tahu tubuhnya dapat mumbul ke atas. Inilah demonstrasi tenaga ginkang yang jarang dipunyai oleh sembarang tokoh persilatan. Setelah berada di udara, Cin Hai melepaskan kaki dan berdiri. Ia membalas pemberian hormat Ma Ing dan berkata sambil tersenyum,

“Ma-ciangkun, siauwte bukanlah orang yang bernama besar. Siauwte bernama Cin Hai, she Sie dan orang memberi julukan kepada siauwte Pendekar Bodoh!”

Orang-orang tertawa dan memuji, menyatakan heran dan kagum karena meski pun telah memiliki kepandaian sehebat itu, namun ternyata Cin Hai tidak menjadi sombong bahkan merendahkan diri serta bersikap ketolol-tololan.

“Kau sangat pandai menyembunyikan kepandaian, Sicu. Siapakah nama Suhu-mu yang mulia?” tanya Ma Ing lagi yang kini benar-benar telah mati kutu dan tidak berani bersikap sombong.

“Suhu-ku lebih bodoh lagi dari padaku, dia tak memiliki kepandaian apa-apa.”

Ma Ing menjadi pucat mendengar ini, karena guru pemuda ini tentu kakek jembel Bu Pun Su yang berarti tidak punya kepandaian! Dia lalu menjura lagi dan berkata “Terima kasih atas pengajaranmu, biarlah lain kali apa bila ada jodoh kita bertemu kembali.” Ma Ing lalu mengajak kawan-kawannya pergi dari situ.

Sesudah kelima orang perwira itu pergi, semua orang lalu merubung dan memuji-muji Cin Hai. Lebih-lebih Lin Lin, gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya ke arah ayahnya.

“Ayah, coba lihat Engko Hai ini! Semenjak pertama bertemu aku telah menduga bahwa ia memiliki kepandaian hebat!” kata gadis itu dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.

Kwee In Liang hanya mengangguk-angguk dan dengan suara terharu ia berkata, “Terima kasih, Hai-ji. Kau telah menyelamatkan kami sekeluarga.”

Loan Nio memeluk keponakannya dengan girang dan terharu. Akan tetapi pada waktu itu dari luar terdengar seruan-seruan kaget dan tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa. Suara ini menyeramkan sekali.

Cin Hai juga merasa kaget sekali karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan diri dari pelukan bibinya dan melompat keluar. Ternyata di sana sudah berdiri Hek Moko dan Pek Moko yang tertawa bagaikan dua orang gila!

“Ha-ha-ha! Anak muda, kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Engkau ternyata telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su Si Kakek Gila. Marilah, kita main-main sebentar!”

“Ji-wi Locianpwe,” Cin Hai berkata dengan sabar dan suara sungguh-sungguh. “Kita tidak pernah bermusuhan, untuk apa kita harus bermain-main yang hanya akan menimbulkan buah tertawaan orang belaka?” Suara Cin Hai kini terdengar berpengaruh, tidak seperti tadi ketika dia mempermainkan para perwira itu. Lin Lin dan Ang I Niocu tahu-tahu sudah berdiri di kanan-kirinya.

“Anak muda, tak perlu banyak cerewet!” Pek Moko membentak. “Gurumu telah berhutang kepada kami dan sekarang engkaulah yang harus membayar!” Setelah berkata demikian, mereka berdua mencabut keluar pedang mereka yang mengerikan itu dan juga mereka mengeluarkan senjata tasbeh lalu menyerang dengan hebat ke arah Cin Hai!

Terpaksa Cin Hai mencabut pedang pemberian suhu-nya dahulu, yaitu Liong-coan-kiam, dan dia lalu menggerakkan pedangnya meniru gerakan-gerakan lawannya itu! Tiga orang ini lalu bertempur dengan hebat dan sebentar saja mereka bertiga lenyap dari pandangan mata dan hanya nampak debu mengepul dan tiga bayangan pedang bercampur menjadi satu!

Melihat pertempuran yang luar biasa hebatnya ini, baik Lin Lin mau pun Ang I Niocu tidak berdaya untuk membantu karena kedua-duanya maklum bahwa jika mereka membantu, tidak hanya sangat berbahaya bagi mereka, bahkan itu takkan menolong Cin Hai, bahkan mungkin akan mengacaukan pertahanannya.

Ang I Niocu mengerling ke arah Lin Lin. Ia melihat betapa gadis muda ini meremas-remas kedua tangannya dan dengan wajah pucat serta sepasang mata basah dengan air mata memandang ke arah bayangan-bayangan yang bergulung-gulung itu!

Ang I Niocu merasa betapa hatinya tiba-tiba saja menjadi perih seperti tertusuk pedang. Ia maklum bahwa gadis muda yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai! Keperihan hati ini membuat ia menjadi nekad. Dengan pedang di tangan ia menyerbu dan kini gulungan sinar pedang itu bertambah dengan sinar merah.

“Niocu, kau mundur!” Terdengar seruan Cin Hai yang berpengaruh sekali.

Tiba-tiba bayangan merah itu terlempar pada waktu pedangnya beradu dengan tasbeh Pek Moko, hampir saja dia mendapat celaka.

Sesudah bertempur agak lama lagi, tiba-tiba saja terdengar teriakan ngeri dan tahu-tahu gulungan sinar pedang Hek Moko dan Pek Moko sudah mengendur dan tiba-tiba kedua iblis itu sambil berteriak-teriak kesakitan lari dari situ! Cin Hai berdiri dengan wajah pucat dan pedang di tangan kanannya bergetar karena tangan yang memegang itu menggigil!

Ang I Niocu memburu, akan tetapi ia kalah dulu dengan Lin Lin. Gadis ini memeluk tubuh Cin Hai yang berdiri bagaikan patung itu sambil berseru berkali-kali,

“Engko Hai... Engko... Hai... kau kenapakah?”

Cin Hai memandang Lin Lin dengan tersenyum, lalu mengerling ke arah Ang I Niocu yang juga sudah mendekatinya, tapi tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan dan jatuh pingsan! Untunglah Lin Lin cepat menyambarnya dan gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu segera memondong tubuh Cin Hai dibawa masuk ke dalam rumah.

Para tamu dan tuan rumah menjadi panik dan bingung. Cin Hai sudah mendapat luka di dalam tubuh karena pukulan tasbeh Hek Moko, namun di ujung pedang Liong-coan-kiam juga terdapat tanda-tanda darah yang menyatakan bahwa pemuda ini pun telah berhasil melukai kedua lawannya yang tangguh!

Kwee In Liang lalu minta maaf kepada semua tamunya dan para tamu lalu bubaran dan tiada habis-habisnya mereka membicarakan mengenai Pendekar Bodoh yang luar biasa dan lihai itu! Di dalam perjamuan itu mereka benar-benar telah disuguhi pertunjukan silat yang luar biasa hebatnya…..

********************

Cin Hai dibaringkan di dalam kamar Lin Lin, dan Loan Nio duduk menangis di dekatnya, sedangkan Ang I Niocu juga berdiri di situ dengan wajah pucat. Biauw Suthai yang pandai akan ilmu pengobatan melakukan pemeriksaan pada tubuh Cin Hai dan ternyata bahwa Cin Hai sudah kena pukul tasbeh di pundak kanannya hingga menderita luka dalam yang hebat juga.

“Tidak perlu kuatir,” kata Biauw Suthai, “Kalau orang lain yang terkena luka ini, tentu akan melayang jiwanya. Akan tetapi anak muda ini betul-betul telah mendapat latihan sinkang yang tinggi sehingga luka ini takakan membahayakan jiwanya.”

Dia segera mengeluarkan tiga belas butir pil putih dan memberikan pil itu kepada Lin Lin. “Berikan pil ini sehari tiga butir dan bila mana semua pil telah ditelan habis tentu ia akan sembuh kembali!”

Lin Lin cepat menerima pil itu dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu pergi ke dapur mengambil air panas, lalu dengan kedua tangannya sendiri memasukkan pil itu ke dalam mulut Cin Hai dan memberi pemuda itu minum air. Dengan sangat mesra gadis ini lalu menggunakan sapu tangannya untuk menyusut peluh yang berkumpul pada jidat Cin Hai.

Melihat gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan Nio tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil memeluk pundak Lin Lin. Gadis ini merasa heran dan memandang muka bibinya dengan tidak mengerti, akan tetapi ketika melihat betapa semua mata ditujukan padanya, ia lalu menjadi insyaf bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga tiba-tiba air mukanya berubah kemerah-merahan karena jengah dan malu!

Tiba-tiba Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu karena dia hendak bertanya kepada Dara Baju Merah ini tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya. Akan tetapi ketika dia memandang, ternyata Dara Baju Merah ini tidak berada di dalam kamar lagi! Dia cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan Ang I Niocu! Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya kepada kakaknya ini barang kali melihat Ang I Niocu.

“Dia telah pergi dan minta supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada semua orang. Agaknya ia sebal melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau barang kali ia cemburu, karena tidak melihatkah engkau betapa mesra dan akrab hubungan antara dia dengan Cin Hai?” Kwee Tiong yang mempunyai hati iri melihat kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun di hati Lin Lin.

Akan tetapi gadis ini dengan muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab,

“Engko Tiong, kau tidak berhak ikut campur segala urusanku. Engko Hai adalah keluarga kita sendiri dan dia dengan gagah berani telah berhasil membela nama baik kita. Apakah tidak pantas kalau aku berlaku baik kepadanya?” Dengan muka cemberut gadis ini pergi meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar Cin Hai.

Biauw Suthai bersama Pek I Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan meninggalkan rumah keluarga Kwee. Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai dan tidak menurut perintah ayahnya yang menyuruh dia mengaso. Melihat kebandelan anaknya ini, Kwee In Liang hanya menggeleng kepala dan menghela napas saja, lalu dia meninggalkan kamar itu dengan muka muram.

Benar seperti kata-kata Biauw Suthai, sesudah diberi makan obat pil itu, pada keesokan harinya Cin Hai siuman dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara dan menjaganya selama itu. Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih yang bersemi di dalam hatinya terhadap Lin Lin semakin mendalam dan berakar.

Bibinya juga sering kali datang menengok, sedangkan pamannya biar pun tiap hari paling sedikit satu kali datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang sama sekali tak pernah datang menengok.

Hanya Kwee An yang sering datang. Setiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu memuji-mujinya dan minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu silat kepadanya.

Pada hari yang ke tiga Cin Hai keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di belakang rumah yang mempunyai sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan Ang I Niocu dan berpikir dengan heran kenapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika diberitahu oleh Lin Lin akan kepergian Ang I Niocu dia hanya merasa menyesal mengapa Gadis Baju Merah itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia masih pingsan.

Akan tetapi dia tidak kecewa. Dia tidak mengerti mengapa kini setelah berkumpul dengan ie-ie-nya dan dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang I Niocu lenyap. Dia tidak tahu bahwa dahulu dia hidup sebatang kara dan hanya mempunyai teman Ang I Niocu, tetapi sekarang dia telah berada di rumah Loan Nio, bibinya yang sangat cinta kepadanya itu, dan di sini ada pula Lin Lin yang telah dapat merebut hatinya dengan diam-diam.

Pada waktu dia sedang duduk melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya, “Engko Hai... Engko Hai...”

Cin Hai tersenyum. Dia mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam saja, bahkan dia lalu duduk di bawah sebatang pohon di dalam taman itu. Akhirnya suara panggilan Lin Lin terdengar penuh kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi tidak tega. Dia lalu menjawab, “Aku berada di sini!”

Lin Lin berlari-lari menghampiri. Wajah gadis ini menjadi merah, matanya bersinar, akan tetapi mulutnya cemberut.

“Engko Hai, engkau nakal sekali. Mengapa engkau diam saja dan malah bersembunyi di sini? Kukira engkau...”

“Kau kira apa?”

“Kukira engkau sudah pergi tanpa pamit, seperti Ang I Niocu...“ Lin Lin lalu menjatuhkan diri duduk di dekat Cin Hai.

“Kalau aku pergi, kenapakah?”

“Bila engkau pergi, aku... ahh... ahh, Engko Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau lupa belum menelan pil ini!” Gadis itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari sakunya dan memberikan itu kepada Cin Hai.

Cin Hai menerima pil itu sambil memandang wajah Lin Lin yang berada di dekatnya. “Lin Lin... kenapakah engkau... sebaik ini kepadaku...?” suara Cin Hai terdengar menggetar penuh perasaan.

Lin Lin membalas memandang dan ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cin Hai, dia lalu menundukkan mukanya dengan wajah merah.

“Engkau jangan memandang aku seperti itu, Engko Hai...,” katanya berbisik.

Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan merasa betapa tangan dara itu menggigil. “Lin Lin, kenapakah? Kau pandanglah aku dan jawablah pertanyaanku tadi!”

Akan tetapi Lin Lin tidak berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di dada. “Aku... tidak berani, Hai-ko.”

“Lin Lin, kau aneh sekali. Mengapa tidak berani? Katakanlah...”

Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan mencoba untuk merenggutkan tangannya yang terpegang, akan tetapi tidak dapat. “Sudahlah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa malu sekali. Telanlah piI itu!”

Tetapi Cin Hai tetap tidak melepas tangan gadis itu. “Jawab dulu pertanyaanku…”

Lin Lin makin merasa malu dan kini tubuhnya menggigil. “Sudahlah, Engko Hai lepaskan tanganku dan telanlah pil itu!” katanya memohon.

“Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”

“Engkau nakal sekali, Engko Hai!”

“Jawablah dulu!”

Dengan tersenyum kemalu-maluan serta matanya yang indah mengerling tajam, Lin Lin pun mengangguk!

Bukan main senangnya Cin Hai melihat pengakuan gadis ini. “Lin Lin, kini hidup ini berarti bagiku. Alangkah indahnya dunia ini. Lihatlah semua pohon-pohon itu menari-nari girang menyaksikan kebahagiaan kita!”

“Ahh, pohon itu bergerak karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.

“Dan daun-daun itu melambai-lambai pada kita. Burung-burung itu pun bernyanyi karena hendak turut menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh-sungguh membuat aku berbahagia sekali. Adikku, aku... aku cinta kepadamu...”

“Sudahlah, kau telan pil itu!” kata Lin Lin cemberut, tetapi hatinya berdebar-debar karena gembira dan bahagia.

“Baiklah, akan kutelan. Tapi kau jangan cemberut, karena kalau kau marah dan cemberut wajahmu menjadi makin manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit ini!”

“Kau... kau memang nakal!” Lin Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda itu.

Cin Hai lalu menelan pil itu dan merasa betapa lukanya telah tak terasa lagi sakitnya. Ia lalu mengeluarkan sulingnya.

“Lin Lin aku akan melagukan sebuah nyanyian indah untukmu.”

Cin Hai segera meniup sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya yang mencinta di dalam tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang indah merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin meramkan matanya, karena di dalam suara suling itu, dia seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih Cin Hai kepadanya.....

selanjutnya>>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)