PENDEKAR BODOH : JILID-14


Cin Hai memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.

“Ha, kau mengingatkanku akan hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan yang berkuncir dua, yang nakal, bengal, dan bandel bukan main!” Cin Hai tertawa dan matanya memandang penuh menggoda.

Lin Lin cemberut. “Dan kau... kau... ahh, lucu sekali...”

“Aku kenapa...?” Cin Hai menuntut.

“Engkau buruk rupa, kepalamu gundul penuh kudis, dan engkau bodoh... dan nakal...” Lin Lin tertawa geli dan Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin Lin lebih cepat, karena gadis ini telah berdiri dan lari.

Cin Hai mengejarnya sambil berkata, “Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang nakal itu!”

Lin Lin berlari memutari pohon dan tanaman kembang, Cin Hai mengejar dan mereka pun berkejar-kejaran bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra dan penuh bahagia.

Tiba-tiba Kwee Tiong muncul dari pintu belakang. Dengan wajah tak senang dia berkata, “Lin Lin Ayah memanggilmu!”

Tanpa menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin memperlihatkan wajah kecewa.

Akan tetapi Cin Hai berkata, “Pergilah, Lin-moi! Tentu ada suatu hal penting maka Ie-thio memanggilmu.”

Lin Lin kemudian masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang kembali duduk melamun dengan penuh kebahagiaan.

Ketika tiba di kamar ayahnya, Lin Lin melihat ayahnya duduk seorang diri dengan muka muram. Begitu melihat anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta menegur,

“Lin Lin sikapmu sungguh tidak patut dan memalukan!”

Lin Lin terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan heran, “Ada apakah, Ayah?”

“Engkau bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”

Lin Lin tahu bahwa ayahnya ini tentu telah mendapat laporan-laporan dari Kwee Tiong.

“Ayah, apakah salahnya kalau aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia keluarga kita sendiri dan bukankah ia juga seorang pemuda yang baik dan gagah serta telah menolong kita?” jawabnya dengan berani.

“Betul, akan tetapi kau harus ingat bahwa engkau telah dewasa dan dia seorang pemuda dewasa pula. Tidak patut kalau engkau berlaku terlalu manis dengan dia. Apa akan kata orang luar kalau melihat?”

“Ayah, mengapa engkau berkata demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah. “Engko Hai adalah seorang pemuda baik dan sopan. Aku... aku suka bergaul dengan dia!”

Memang semenjak dulu Lin Lin sangat dimanja oleh ayahnya sehingga ia berani bersikap bandel terhadap ayah ini.

“Lin Lin,” Kwee In Liang menghela napas. “Di dalam hal ini engkau harus taat kepadaku. Engkau sudah cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang melamarmu. Engkau harus memutuskan hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan lagi kau bertemu dengan dia kalau tidak ada keperluan penting.”

“Ayah!” Gadis itu berseru.

“Diam!! Engkau harus menurut, atau... apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?!”

Dibentak seperti ini, Lin Lin menundukkan kepala dan menangis!

“Ayah, kau... kau kejam!” katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke kamarnya, di mana ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.

Tak lama kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia memeluk tubuh gadis itu dan berbisik mesra,

“Lin Lin, aku sudah tahu akan kemarahan Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka kepada Cin Hai? Jawabnya terus terang, anakku, bagaimana kalau aku mengajukan usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin Hai... di... jodohkan? Setujukah kau?”

Lin Lin tersentak bangun dan menyusut air mata. Dia lalu memandang kepada Loan Nio dengan mata terbelalak. Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan dengan Cin Hai, karena itu pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini lantas membuatnya bingung dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu tirinya dan menangis lagi.

“Lin Lin.” kata Loan Nio sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku tak perlu kau menyimpan rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah! Jika kau diam saja, maka akan kuanggap bahwa kau setuju, dan sekarang juga aku akan bicara dengan Ayahmu.”

Lin Lin diam saja, hanya tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya!

“Sudahlah, tenangkan hatimu dan kau serahkan saja persoalan ini padaku.” Dan setelah menepuk-nepuk bahu Lin Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.

Lin Lin adalah seorang gadis yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak dapat menahan sabar menunggu hasil dari pada pembicaraan ibu tirinya dengan ayahnya. Maka, setelah menanti sebentar, lalu dia mempergunakan kepandaiannya melompat keluar dari jendela kamarnya, kemudian dengan hati-hati sekali dia mengintai di atas genteng dan mengintai ke bawah, di mana ayahnya sedang bercakap-cakap dengan Loan Nio!

Pada saat itu Cin Hai dengan hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk memasuki kamarnya. Tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat suara Kwee In Liang seperti orang sedang marah. Maka ia lalu mengambil jalan memutar, keluar lagi ke belakang dan mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas genteng.

Alangkah herannya ketika dia mendapatkan Lin Lin sedang mengintai pula, maka secara diam-diam ia cepat menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian lain. Ia tak perlu mengintai, hanya mempergunakan ketajaman telinganya untuk mendengarkan.

“Tidak, tidak! Sekali-kali tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan dengan suara marah. “Memang ia seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan tetapi orang jaman dahulu pernah berkata bahwa memilih mantu harus melihat keadaan orang tuanya. Dan apakah orang tua anak itu? Pemberontak! Apakah kau pikir aku harus berbesan dengan seorang pemberontak?”

“Tetapi ayahnya sudah meninggal dunia dan tidak perlu lagi kiranya kita membawa-bawa namanya!” terdengar Loan Nio membantah.

“Hemm, harimau mati meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya! Dan nama apakah yang ditinggalkan oleh orang she Sie itu? Nama busuk pula!”

“Pikirlah dengan tenang. Cin Hai berbeda dengan ayahnya, ia adalah seorang anak yang baik. Juga mereka berdua telah saling mencintai!”

“Apa?” terdengar Kwee In Liang berseru marah. “Saling cinta? Bagaimanakau bisa tahu?”

“Lin Lin sudah mengaku kepadaku!”

“Anak keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus menjadi mantu keluarga Gan di See-tok, dan habis perkara!”

Kedua suami isteri yang sedang bertengkar ini tidak tahu betapa di atas genteng terdapat dua orang yang pada saat itu berwajah pucat sekali. Air mata mengalir turun membasahi pipi Lin Lin dan hatinya terasa bagaikan diremas-remas.

Sedangkan Cin Hai berdiri pucat dan air matanya mengalir pula, akan tetapi bukan akibat sedih, hanya sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya dipandang hina dan rendah sekali. Sakit hatinya yang dahulu, yang telah dapat dipadamkan ketika ia bertemu kembali dengan ie-ie-nya dan terutama dengan Lin Lin, kini timbul kembali.

Ayahnya sekeluarga telah ditangkap oleh Kwee In Liang, dan kini bahkan dihinanya lagi! Ayahnya yang telah menjadi tanah itu masih direndahkan!

Timbul keangkuhan serta kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja dia tidak ingat kepada Lin Lin, tentu dia sudah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang yang berani merendahkan ayahnya!

Dengan hati sangat terluka Cin Hai meloncat turun dan langsung menuju ke kamarnya, mengambil semua pakaiannya dan segera keluar dari situ. Akan tetapi, ketika keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di atas genteng sambil menangis, dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun pula dan mengejar sambil berseru,

“Hai-ko... kau hendak ke mana...?”

Mendengar suara panggilan Lin Lin, Cin Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi dia malah mempercepat larinya!

Akan tetapi, karena serangan batin yang amat hebat itu dan karena nafsu marahnya yang menggelora, maka luka di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali dan tiba-tiba saja ia merasa betapa dadanya sesak dan panas! Cin Hai mempertahankan rasa sakit ini dan terus berlari cepat, sedangkan Lin Lin tetap mengejar sambil berteriak-teriak dan menangis.

“Engko Hai... tunggu...! Engko Hai...!”

Setelah hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai merasa tidak kuat lagi. Hari mulai gelap dan kebetulan sekali dia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Dia lalu membelok ke sana dan seorang hwesio tua menyambutnya.

“Losuhu, tolonglah beri sebuah kamar padaku. Aku sedang terluka dan tolong kau cegah siapa saja yang memasuki kamarku.”

Hwesio yang baik hati ini membawa Cin Hai ke sebuah kamar di mana terdapat sebuah pembaringan bambu sederhana. Cin Hai kemudian menutup kamar itu dan duduk di atas pembaringan, lalu bersemedhi untuk melawan rasa sakit di dadanya.

Lin Lin yang tidak tertinggal jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari yang cukup cepat, juga karena sakit di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak lambat larinya, dapat cepat menyusul dan gadis ini girang sekali ketika melihat bahwa Cin Hai memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh hwesio tua tadi.

“Losuhu, di manakah perginya orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”

Hwesio itu dengan muka sabar berkata, “Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi sudah berpesan bahwa siapa pun tidak boleh bertemu dengan dia.”

Tetapi Lin Lin menjadi tidak sabar. “Orang lain tak boleh bertemu dengan dia, tetapi aku harus bicara dengan dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan suara keras sekali.

“Tidak baik memaksa orang yang tidak mau bertemu muka, Nona,” hwesio tadi berkata dengan masih sabar.

Kata-kata ini membangkitkan keangkuhan Lin Lin, maka ia berkata, “Kalau memang tidak mau bertemu, biarlah aku bicara dari luar kamarnya saja!”

Karena gadis ini mendesak terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan Lin Lin ke kamar Cin Hai.

“Engko Hai...!” Suara Lin Lin mengandung isak ketika ia memanggil dari luar kamar.

Semenjak Lin Lin datang, Cin Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini menahan gelora hatinya yang ingin sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi hatinya berbisik, “Ayahnya telah menghina Ayahku!”

Maka ia lalu menjawab dari dalam, “Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah mendengar sendiri kata-kata Ayahmu tadi?”

Hwesio itu meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar memiliki hubungan dengan orang di dalam kamar.

“Hai-ko, jangan kau samakan Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara memohon.

“Sudahlah Lin-moi, kau pulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali jika tahu kau menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana seorang diri. Kau lupakan aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang terhormat. Ingatlah, aku seorang keturunan pemberontak hina!”

“Engko Hai...!”

Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat dia lalu mendorong daun pintu kamar Cin Hai. Dia melihat betapa pemuda itu dengan muka pucat sedang rebah di pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu basah oleh air mata!

“Engko Hai...!” Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil mendekap kaki Cin Hai yang tertutup selimut.

Melihat keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati yang sangat tulus kepadanya ini, hati Cin Hai melunak.

“Lin-moi... Lin-moi... jangan kau bersedih, Adikku yang manis...,” katanya dengan penuh kasih sayang.

Lin Lin menyusut kering air matanya, dan di antara air mata yang membasahi bulu mata yang panjang dan bagus itu, ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar suara Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.

“Apa bila kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan kau pergi meninggalkan aku, Engko Hai.”

Cin Hai merasa terharu sekali. “Adikku, percayalah, selama hayat di kandung badan, aku takkan sanggup membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta dengan sepenuh hati dan nyawa.”

Lin Lin memandang dengan sayu. “Hai-ko... kau maafkanlah kata-kata Ayahku tadi. Dia memang kejam... ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku mati atau... atau... aku akan minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”

Cin Hai tersenyum sedih. “Jangan begitu, Lin Lin. Tidak baik seorang gadis gagah dan berbudi seperti engkau melarikan diri.”

“Habis, bagaimanakah baiknya, Hai-ko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”

“Puterinya begini keras hati dan kukuh, kenapa ayahnya tidak?” Cin Hai menggoda. “Kita harus bersabar. Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita menanti sampai dia berubah pendirian dan tidak begitu membenciku.”

“Ayah tidak membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu.”

Cin Hai menghela napas. “Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang kau pulanglah agar supaya kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin Lin, aku takkan melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang kembali”

Lin Lin mengangkat mukanya. “Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”

“Aku akan pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan tentang orang tuaku.”

“Tetapi... kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?”

“Tentu saja, Lin-moi, kau kira aku akan merasa senang berjauhan dengan engkau?”

Lin Lin kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan. “Hai-ko, kalau kau tidak kembali, aku akan betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu sampai dapat!”

Akhirnya Lin Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji bahwa pemuda itu benar-benar akan kembali. Akan tetapi, belum berapa lama gadis itu pergi, tiba-tiba saja ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali. Dengan terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai.

“Celaka, Hai-ko, celaka...!” Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, akan tetapi lalu menangis dengan sedih.

Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin Lin.

“Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang terjadi?”

Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata,

“Celaka, Hai-ko! Rumah sudah kedatangan musuh. Perwira-perwira jahanam itu kembali datang dan mencelakakan serumah tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah...”

Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai cepat menarik tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil itu. Dia menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan terbang. Mereka segera menuju ke rumah keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.

Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, dengan pedang di tangan Kwee Tiong langsung menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi, sekali melayangkan kakinya, Lin Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu mencelat jauh.

“Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata beringas. “Engkau main gila di luar, tidak tahu di rumah ditimpa mala petaka! Aku akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!”

Pemuda yang sudah kalap ini lalu menubruk maju. Akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan menotoknya sehingga dia lantas roboh dengan lemas, tak dapat berkutik mau pun berteriak lagi.

“Lebih baik begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan bersama Lin Lin dia lalu lari memasuki rumah.

Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu membuat sepasang kaki Cin Hai terasa lemas dan memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah! Pada sudut masih nampak banyak orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!

Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan. Kwee In Liang menderita luka parah di dadanya karena bacokan pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata sudah tewas karena bacokan yang tepat mengenai lehernya. Demikian juga Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena biar pun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh lebih kuat dari pada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan sekali.

Cin Hai tidak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Dia mengangkat jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan memanggil para pelayan untuk membantunya. Kemudian ia segera menolong Kwee An dan Kwee In Liang.

Sesudah menotok jalan darah dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.

Kwee An kemudian dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut luka pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah pundaknya diurut oleh Cin Hai, orang tua ini membuka kedua matanya.

Untuk beberapa saat kedua matanya memandang sayu seakan-akan tak dapat mengenal keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya semakin terang sehingga dia dapat mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua tangan dan menyuruh kedua anak muda itu mendekat, lalu dia menggerak-gerakkan bibirnya.

Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap kata-kata orang tua ini.

“Lin Lin kau jaga baik-baik dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau... kau... balaskan sakit hati ini... jangan kau kawini Lin Lin sebelum kau balaskan sakit hati ini”

Cin Hai serta Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak.

“Cin Hai... kau berjanjilah…,” suara orang tua itu makin lemah.

“Aku berjanji, Ie-thio!” kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena dia merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membalaskan sakit hati bibinya yang terbunuh secara kejam.

“Aku… aku puas... balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu... kalau telah berhasil kau sungguh-sungguh mantuku yang sangat baik…,” setelah berkata demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir.

Lin Lin menubruk jenazah ayahnya, tetapi akhirnya gadis ini jatuh pingsan! Setelah sadar, dia menangis dengan amat sedihnya sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri sebab merasa menyesal mengapa kejadian itu terjadi di luar tahunya!

“Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah. Karena kalau berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An yang begitu lihai pun dapat dirobohkan. Apa bila engkau dan semua menjadi korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?”

Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee Tiong lalu dibebaskan dari totokan, dan dengan kata-kata tajam Cin Hai dapat mengusir kemurkaan yang menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan peristiwa yang hebat itu.

Pada saat Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira Sayap Garuda menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang perwira yang dahulu mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lainnya yang menjadi anggota dari Shantung Ngo-hiap, yaitu orang pertama dan ke dua, ada pun yang ke tiga adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang adanya!

Kedatangan mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan mereka yang lalu. Akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh semua keluarga Kwee!

Tentu saja Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An yang dengan gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat melukai beberapa orang perwira. Akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, sehingga pada akhirnya semua kena dirobohkan!

Hanya pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga dirobohkan dengan bacokan pedang. Kwee Tiong yang bersifat pengecut dan licin, melihat kehebatan rombongan itu lalu cepat-cepat melarikan diri dan bersembunyi sehingga dia terhindar dari pada kebinasaan!

Mendengar penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela serta mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu.

“Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau persalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah, sebenarnya aku pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali lagi. Sedangkan Adik Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti bila mana Kwee An sudah sadar, kita dapat mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.

Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam, akhirnya Kwee Tiong tidak mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.

Sesudah sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata berlinang dan gigi dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang dahulu mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari Shantung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”

“Hmm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kau tenangkanlah hatimu, Saudaraku. Besok aku segera berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha untuk membasmi delapan orang bangsat kejam itu!”

“Jangan, Cin Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee An berkata penuh semangat.

“Kenapa?”

“Kau kira aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk membalas dendam ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!”

Cin Hai tersenyum maklum. “Baiklah, aku akan menunggu sampai kau sembuh dan kita akan pergi bersama!” Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega dan ia lalu jatuh pulas.

Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan minta bantuan gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa berduka dan gemas kemudian berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit hati itu.

Dan dua pekan kemudian, berkat pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang sangat telaten dari Lin Lin beserta Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada luka-luka yang dideritanya. Sesudah melihat bahwa Kwee An sembuh dan kuat kembali, barulah Cin Hai mengajak pemuda itu berangkat untuk mencari musuh-musuh mereka.

Pada saat mereka hendak berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut membalas dendam. Sebenarnya gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan Cin Hai yang sangat dicintainya dan dia tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk menghadapi bahaya seorang diri. Akan tetapi ketika mereka berdua bicara di dalam ruang belakang, Cin Hai berkata,

“Lin Lin, kau sendiri tahu alangkah pentingnya perjalanan yang akan kulakukan bersama Kwee An ini. Bukan saja penting akan tetapi amat berbahaya, maka biarkanlah aku pergi berdua dengan Kwee An dan jangan kau ikut menghadapinya.”

Lin Lin menyemberutkan mulutnya, “Justru karena penting dan berbahaya ini maka aku harus ikut Engko Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi tugasku, mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya karenanya? Dan kalau memang ada bahaya, apa kau kira aku dapat enak-enak saja berpeluk tangan tinggal di rumah dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya? Ah, Hai-ko engkau tahu bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu berdua. Biarkan aku ikut, Engko Hai!”

Cin Hai menjadi serba salah. Dia memang harus membenarkan pendapat gadis ini, akan tetapi kepandaian gadis ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi perwira-perwira Sayap Garuda yang lihai dan kejam itu. Kalau saja gadis ini dibiarkan ikut, bukan dapat membantu usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya akan menambah beban saja, karena dia harus melindungi Lin Lin yang dia cinta.

“Jangan engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku? Engkau mendengar sendiri pesan terakhir dari Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat menjadi... suamimu!”

Akan tetapi dengan sikap membandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil membanting-banting kaki dan berkata, “Tidak... tidak... aku mau ikut...!”

Cin Hai melihat sikap Lin Lin yang seperti seorang anak kecil hendak ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu tersenyum dan menyentuh pundaknya,

“Sudahlah, jangan engkau marah. Biar kita merundingkan dahulu dengan kakakmu serta Gurumu, karena aku bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita untuk merudingkan persoalan ini.”

Maka mereka lalu mengadakan perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An. Juga Pek I Toanio yang sering berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.

“Lin Lin, muridku, pendapat Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut pergi, sebab kepandaianmu masih belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini. Ketahuilah, kepandaian musuh-musuhmu amat tinggi dan sama sekali bukan lawanmu.”

“Akan tetapi aku sama sekali tidak takut!” Lin Lin menjawab sambil berdiri dengan kedua tangan dikepalkan dan kedua mata bernyala penuh semangat.

Biauw Suthai dan yang lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini. “Aku percaya penuh akan ketabahanmu,” berkata Biauw Suthai, “akan tetapi ketahuilah, bukan soal takut atau berani yang terpenting dalam hal ini. Kalau engkau ikut, maka tidak saja engkau tak akan membantu, justru akan menambah beban pada Sie-taihiap dan kakakmu Kwee-kongcu.”

“Menambah beban?” kata Lin Lin penasaran “Teecu tak minta digendong, teecu sanggup berjalan sendiri, dan mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu asal teecu boleh ikut.”

“Lin Lin, engkau sungguh bodoh,” kata gurunya. “Bukan demikian maksudku, akan tetapi apa bila terjadi pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal ini merupakan tambahan tugas yang lebih berat bagi kedua anak muda ini yang harus melindungimu. Mengertikah engkau? Apakah kau akan senang apa bila pembalasan dendam ini sampai gagal hanya karena kau memaksa ikut?”

Mendengar alasan yang kuat ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab lagi, hanya mulutnya yang berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya. Akhirnya dia dapat dibujuk oleh Pek I Toanio dan gurunya membatalkan keinginannya.

Setelah mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga Kwee Tiong yang mendengarkan perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai dan Kwee An. Mereka berdua tahu ke mana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni ke kota raja! Mereka berdua berangkat berjalan kaki saja sambil mempergunakan kepandaian mereka berlari cepat.

Pada saat Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam kamarnya. Biauw Suthai menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu berkata kepada Pek I Toanio,

“Anak itu kecewa akibat ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak panah asmara sudah tertancap di hatinya, dan selain itu, dia pun merasa bersedih karena merasa sunyi ditinggal seorang diri oleh mereka berdua. Sekarang kau pergilah, hiburlah hatinya dan katakan bahwa kita akan tinggal di sini untuk sementara waktu dan menemaninya.”

Sambil tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam kamarnya dan ia mendapatkan gadis itu sedang berbaring telungkup di atas tempat tidurnya dan tubuhnya bergoyang-goyang oleh karena menahan isak tangisnya! Kakak seperguruan yang amat mencintai sumoi-nya ini lalu memeluk pundaknya dan berkata menghibur,

“Sumoi, seorang gadis gagah seperti engkau tidak patut bersikap begini lemah.”

Lin Lin bangun dan duduk di dekat suci-nya, “Suci aku tidak sedih karena tidak boleh ikut pergi, akan tetapi sedih karena yang menyebabkan aku tak bisa ikut adalah kedangkalan ilmu silatku.”

“Sumoi, kalau memang begitu, mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak memperdalam ilmu silatmu? Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal di sini menemanimu untuk sementara waktu.”

Mendadak wajah gadis yang muram itu berubah terang dan dia tersenyum! Pek I Toanio menjadi geli melihat gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja menangis sekarang sudah tersenyum.

Lin Lin lalu menghadap kepada gurunya dan dia sendiri lalu mengatur dua buah kamar di dalam rumah yang besar itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta kepada gurunya untuk memberi petunjuk-petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya. Ia berlatih giat sekali karena dia berpikir bahwa untuk mengimbangi Cin Hai yang berilmu tinggi, dia juga harus mempertinggi kepandaiannya!

Pada suatu sore dia berlatih silat di dalam pekarangan belakang sambil mendengarkan petunjuk-petunjuk Biauw Suthai yang berdiri memandang gerakan-gerakannya. Sesudah selesai bersilat Lin Lin lalu duduk bercakap-cakap dengan Biauw Suthai.

“Suthai, bagaimana pendapatmu tentang ilmu silat Engko Hai?”

“Ilmu silat Sie Taihiap sudah mencapai tingkat yang tidak dapat diukur tingginya, muridku. Ia telah mewarisi kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu Pun Su yang luar biasa. Biar pun anak muda itu tidak memperlihatkannya, akan tetapi sebenarnya dia sudah memiliki segala inti sari ilmu silat dan mendapat gemblengan yang hebat secara aneh dari Bu Pun Su orang tua sakti itu.”

“Suthai, apakah teecu bisa mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?”

Biauw Suthai tertawa dan wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira sekali. “Muridku, kepandaian manusia tak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha, tentu dia akan mencapai tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian silat seperti Sie-taihiap orang harus memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang luar biasa seperti Bu Pun Su.”

“Dan sampai di mana tingkat kepandaian Ang I Niocu?” tiba-tiba Lin Lin bertanya.

“Dia? Ah, kepandaiannya pun hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian Sie-taihiap adalah satu cabang. Ketahuilah, kalau aku tak salah, Ang I Niocu adalah cucu murid dari Bu Pun Su karena Kakek itu adalah susiok-couw-nya. Dalam hal ilmu silat, walau pun Ang I Niocu memiliki gerakan yang indah dan lebih matang, akan tetapi dia masih kalah setingkat oleh Sie-taihiap.”

“Suthai, teecu ingin sekali mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu takkan kalah melawan dia,” entah mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah dan sengit karena perasaan cemburu telah menyerang hatinya.

Gurunya heran mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi bisa mendengar suara tindakan kaki yang sangat ringan di belakang mereka. Ketika nenek ini mengerling, ternyata Ang I Niocu sudah berada di belakang mereka, bersembunyi di balik sebatang pohon.

“Wanita itu agaknya sombong dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja Suthai ingat kembali betapa dia berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu itu.”

“Lin Lin, kalau belum tahu jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak terhadap orang lain. Lagi pula, bukankah dia telah membantu pihakmu dalam pertempuran dulu itu?” kata Biauw Suthai yang hatinya merasa tidak enak sekali karena tentu saja Ang I Niocu dapat mendengar percakapan mereka.

“Suthai, teecu tidak menyangka yang tidak-tidak, karena sesungguhnya teecu juga tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan dia kecuali... karena dia... kawan baik Engko Hai, maka ia pun boleh kuanggap sebagai kawan. Akan tetapi, jika dia tidak sombong, kenapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia menjadi kawan baik Engko Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan meninggalkannya pergi?”

“Sudahlah Lin Lin, kau membicarakan seorang yang berdiri tak jauh dari kita!” kata Biauw Suthai, lalu nenek ini berpaling dan berkata, “Niocu, silakan duduk!”

Ang I Niocu keluar dari belakang pohon dan Lin Lin cepat berdiri lalu memandang kepada Dara Baju Merah itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran bukan main ketika melihat betapa wajah Ang I Niocu sangat pucat dan dari kedua mata yang bagus itu keluar dua titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.

Akan tetapi, pada waktu pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I Niocu mengeluarkan senyum sedih. “Adikku yang baik, semua kata-katamu benar belaka. Aku memang seorang yang sombong dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi hatimu, jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku hanya... hanya kawan baik dan kawan senasib belaka...”

Dara Baju Merah itu memejamkan mata seakan-akan sedang menahan rasa sakit yang menyerang dadanya, lantas dia berkata lagi, sekarang suaranya terdengar tegas, “Akan tetapi dalam hal kepandaian silat, agaknya kau masih harus belajar banyak untuk dapat mengimbangi kepandaianku, apa lagi jika hendak menyamai ilmu kepandaian Hai-ji. Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku, bukan? Nah, agar kau puas marilah kita main-main sebentar!”

Lin Lin memang berhati tabah, sedikit pun dia tidak menjadi jeri. Dia lalu menarik keluar sebilah belati pendek yang menjadi senjata ampuhnya. Biauw Suthai hendak mencegah, akan tetapi Ang I Niocu menghadapi nenek ini sambil berkata dan menjura,

“Suthai, aku bukan anak kecil lagi, tak perlu Suthai salah sangka. Aku hanya bermaksud menambah pengertiannya dan kepandaian Adik ini.”

Mendengar ucapan dan melihat sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas lega. Dia hanya menggerakkan tangannya kepada Lin Lin dan berkata. “Lin Lin, jangan kau berlaku kurang ajar kepada tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I Niocu!”

Ang I Niocu lalu menghunus pedangnya dan berkata kepada Lin Lin, “Nah, kau maju dan seranglah, Adikku yang baik, dan jangan kau berlaku sungkan-sungkan lagi.”

Lin Lin adalah seorang gadis yang masih sangat muda dan belum mempunyai banyak pengalaman. Hatinya masih keras dan tabah, karena itu ketika mendengar ucapan Ang I Niocu, dia merasa bahwa dia disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi dia lalu menyerang dengan belatinya.

Ang I Niocu mengelak cepat dan keduanya lantas bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa belati pendek itu membuat gerakan tangannya cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada gerakan pedang. Lagi pula, gadis ini sudah mendapat didikan ilmu silat semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi, maka dapat dimengerti bahwa gadis ini telah mempunyai kepandaian yang lumayan dan tak mudah dikalahkan oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga tubuhnya ringan sekali dan gerakannya gesit laksana seekor burung walet.

Akan tetapi sekarang ia menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga telah memiliki pengalaman lebih luas dari pada Lin Lin. Juga, jika Lin Lin bertempur dengan bernafsu sekali, adalah Ang I Niocu menghadapinya dengan tenang.

Nona Baju Merah ini lalu memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu Pedang Tari Bidadari yang indah dan lihai. Tubuhnya bergerak-gerak perlahan secara lemah gemulai, pedangnya berkelebat cepat dan dapat menangkis setiap serangan Lin Lin yang semakin bernafsu melancarkan serangan-serangan hebat.

Ang I Niocu sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri dari pada menyerang. Ia biarkan Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis atau mengelak sehingga ia hanya sedikit mengeluarkan tenaga, ada pun Lin Lin seperti seekor naga yang muda dan ganas menyambar-nyambar dengan belatinya!

Lama juga mereka saling mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar sedang Ang I Niocu mengelak dan mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin Lin yang menjadi kemerah-merahan dan kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar galak, ada pun Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang.

Rambut Ang I Niocu yang diikat dengan sapu tangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar mengikuti gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir dua menyabet ke sana ke mari bagaikan dua ekor ular hitam.

Biauw Suthai berdiri menonton pertempuran itu dengan mata kagum. Karena asyiknya ia menonton, tak terasa lagi kadang-kadang Biauw Suthai menggerak-gerakkan tangannya seakan-akan dia sendiri yang sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu. Kalau Lin Lin melakukan kesalahan dalam gerakannya, ia menjadi kecewa lantas membanting-banting kakinya, sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan baik dalam sebuah serangan, ia menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan lidahnya. Orang tua ini benar lupa diri karena asyik dan kagumnya melihat pertempuran itu.

Sebetulnya Ang I Niocu hanya hendak mengukur saja sampai di mana kepandaian gadis itu. Karena itu, setelah puas melayani Lin Lin, tiba-tiba dia merubah gerakannya dan kini melancarkan serangan-serangan hebat sehingga pedangnya berkelebat amat cepat dan bayangan tubuhnya bergulung-gulung akibat cepatnya gerakan tubuhnya. Lin Lin terkejut sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau menyerang terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,

“Adik, sudah cukup kita mengukur tenaga.”

Lin Lin merasa kagum sekali. Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah itu tidak berniat buruk. Maka buru-buru ia menyimpan belatinya dan menghampiri Ang I Niocu.

“Cici, kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon engkau sudi memberi petunjuk.”

Ang I Niocu pada saat mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos dari Lin Lin, timbul perasaan sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata, “Adik Lin Lin, engkau masih harus belajar banyak kalau ingin mengimbangi kepandaian Hai-ji.”

Ketika melihat betapa wajah gadis ini tertutup oleh kedukaan, dia bertanya, “Adik Lin Lin, kenapa wajahmu nampak amat murung? Bagaimana dengan keluargamu, baik-baik saja bukan?”

Ternyata Ang I Niocu sama sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang sudah menimpa keluarga Kwee, oleh karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak hatinya sehingga membuat ia angkat kaki dan pergi tanpa pamit dulu, ia lalu menjauhkan diri dari dusun itu dan hendak melanjutkan perantauannya.

Telah dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia gagal. Makin dilupa, justru ia makin teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia tak dapat menahan hatinya lagi. Dia teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan dia menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat dia kembali ke kampung itu dan dengan diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara Lin Lin dan Biauw Suthai.

Ketika mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak tertahan lagi Lin Lin segera memeluk Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan sedih. Ang I Niocu menjadi bingung, akan tetapi ketika dia memandang ke arah Biauw Suthai, nenek tua ini memberi isyarat padanya hingga ia hanya mengelus-elus kepala Lin lin yang disandarkan di dadanya.

“Adikku yang baik. Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik-baik.” Ia lalu menuntun Lin Lin ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh Biauw Suthai.

Kwee Tong dan Pek I Toanio menyambut Ang I Niocu yang dalam pandangan matanya tidak ada bedanya bagaikan seorang bidadari! Maka Kwee Tiong lalu menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan dan dia melayani tamunya dengan hormat dan bermuka-muka. Akan tetapi Ang I Niocu yang telah tahu akan sifat pemuda macam Kwee Tiong ini, tidak ambil peduli kepadanya dan bersikap seolah-olah pemuda ini tidak ada.

Sesudah mendengar penuturan Lin Lin tentang bencana yang menimpa keluarga Kwee, wajah Ang I Niocu menjadi merah karena ia merasa marah sekali.

“Jahanam benar perwira-perwira itu! Dan Hai Kong Hosiang selalu turut campur dalam segala macam urusan busuk. Pendeta palsu itu sudah seharusnya dibasmi dari muka bumi!” Sambil mengepal-ngepal tangannya Ang I Niocu menyatakan perasaannya. “Dan bagaimana dengan luka kakakmu? Di mana adanya dia dan di mana Hai-ji?” tanyanya kepada Lin Lin.

“Mereka telah pergi lima hari yang lalu untuk mencari musuh-musuh kami itu kemudian membalas dendam!”

Ang I Niocu mengangguk. “Dan kau sendiri, Adik Lin, mengapa kau tidak ikut pergi?”

Pertanyaan ini mengandung dua maksud. Pertama-tama sebab ia memang merasa heran kenapa Lin Lin tidak mau ikut membalaskan sakit hati kedua orang tuanya. Kedua kalinya karena ia hendak memancing dan menyelidiki sampai di mana hubungan antara gadis ini dengan Cin Hai.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)