PENDEKAR BODOH : JILID-15


Pek I Toanio turut bicara dan membela Cin Hai, “Sie-taihiap tidak mau membawa Sumoi oleh karena memang apa bila Sumoi ikut, maka usaha membalas dendam itu akan lebih sukar lagi.”

“Kepandaian Lin Lin belum cukup tinggi menempuh bahaya besar itu,” kata Biauw Suthai dengan sabar.

“Dan lagi, kalau Lin Lin pergi, aku akan ditinggal seorang diri di rumah, bagaimana kalau penjahat-penjahat itu datang kembali?” kata Kwee Tiong yang tidak sadar bahwa ucapan ini menunjukkan sifatnya yang pengecut.

Ang I Niocu tersenyum memandang Lin Lin. “Kau benar, Adikku. Tidak ada bahaya bagi seorang anak yang hendak membalaskan sakit hati orang tuanya.”

Lin Lin memandangnya dengan rasa berterima kasih karena ternyata Nona Baju Merah ini membela dan membenarkannya. Pada waktu ia hendak menyatakan kemenangannya kepada guru dan suci-nya, Ang I Niocu yang tidak mau berbantah dengan Biauw Suthai telah berkata pula,

“Akan tetapi betapa pun juga, kau harus tunduk kepada nasehat Gurumu.”

Ucapan ini membuat Lin Lin menunduk dan tak jadi membuka mulut. Akan tetapi di dalam hati ia merasa tertarik dan suka sekali kepada Ang I Niocu. Dengan sangat dia kemudian membujuk-bujuk supaya wanita itu suka bermalam di rumahnya. Yang lain ikut membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu menyatakan setuju.

Lin Lin gembira sekali dan dia menarik tangan Ang I Niocu ke kamarnya, karena dia tidak mau berpisah dengan nona ini dan minta Ang I Niocu bermalam di dalam kamarnya saja.

Dan pada keesokan harinya, ternyata Lin Lin sudah pergi dari rumah itu bersama Ang I Niocu. Gadis ini dengan sangat mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk membawanya pergi menyusul Cin Hai. Biauw Suthai hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata kepada Pek I Toanio,

“Muridku, biar pun keselamatan Lin Lin tak perlu dikhawatirkan karena dia pergi bersama Ang I Niocu, akan tetapi hatiku merasa tidak tenteram. Lebih baik kita juga pergi mencari mereka itu untuk membantu apa bila mereka berada dalam bahaya.”

Keduanya segera berpamit kepada Kwee Tiong yang menjadi amat kecewa dan khawatir. “Kalau Lin Lin pergi dan jiwi pergi pula, habis kalau sampai terjadi apa-apa di rumah ini, aku harus berbuat apa?”

Pek I Toanio mendongkol sekali melihat sikap pemuda yang penakut ini, maka katanya dengan ketus, “Kongcu, mengapa memiliki hati sedemikian kecilnya? Adik-adikmu pergi dengan nekad mencari musuh, akan tetapi engkau yang ditinggal di rumah seorang diri saja merasa takut.”

Akan tetapi Biauw Suthai yang tidak mau berbicara banyak dengan pemuda ini berkata, “Kwee-kongcu, jika engkau merasa takut, kau pergi saja kepada Suhu-mu dan tinggal di rumah kuil.” Kemudian guru bersama murid ini meninggalkan Kwee Tiong tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk banyak membantah.

Kwee Tiong lalu menutup pintu rumahnya, menghentikan semua pelayan yang membantu rumah keluarga Kwee dan dia pergi ke Tiang-an lalu menemui gurunya, yaitu Tong Gak Hosiang di kelenteng Ban-hok-tong, di mana dia kemudian berlutut sambil menangis dan menceritakan segala hal ihwalnya kepada pendeta itu.

Tong Gak Hosiang hanya dapat menghela napas. Dia lalu menasehati muridnya untuk berdiam saja untuk sementara waktu di kelenteng itu…..

********************

Sesudah melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti, akhirnya Cin Hai dan Kwee An tiba di kota raja. Di sepanjang perjalanan, dua anak muda ini saling menuturkan pengalaman masing-masing dan Kwee An merasa kagum sekali akan hasil yang diperoleh Cin Hai, anak yang ketika kecilnya gundul yang selalu dihina orang itu. Ia makin suka kepada Cin Hai dan selama perjalanan tiada hentinya ia minta petujuk-petunjuk dan nasehat-nasehat tentang persilatan.

Hanya dengan melihat permainan silat Kwee An saja, Cin Hai dapat melihat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya sehingga ia dapat memberikan petunjuk yang benar-benar sangat berguna bagi Kwee An dan berdasarkan petunjuk ini, ilmu silat Kwee An menjadi lebih sempurna lagi.

Di kota raja mereka berdua mencari keterangan dan mendengar bahwa asrama kaum perwira Sayap Garuda adalah sebuah bangunan besar merupakan benteng yang disebut Eng-hiong-koan atau Penginapan Para Pendekar. Dengan tabah dan berani sekali Cin Hai dan Kwee An pada keesokan harinya, pagi-pagi sudah mengunjungi Eng-hiong-koan dan memberitahukan kepada penjaga bahwa mereka ingin menemui para perwira Sayap Garuda.

“Kami adalah kenalan-kenalan baik dari Ma-ciangkun dan lain-lain perwira, terutama lima orang Shantung Ngo-hiap.”

“Sayang sekali bahwa sekarang ini semua perwira sedang mengadakan pertemuan besar sehingga kurasa tak sempat menjumpai kalian berdua,” jawab penjaga itu.

“Pertemuan apakah?” tanya Cin Hai.

“Di dalam gedung sedang diadakan pemilihan tiga orang perwira yang hendak diangkat menjadi kepala perwira istana dan menjadi pengawal pribadi Kaisar,” jawab penjaga itu.

Akan tetapi penjaga kedua yang tidak suka melihat kawannya mengajak kedua pemuda itu mengobrol, lalu berkata, “Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi saja. Pendeknya pada saat ini tak seorang pun boleh memasuki Eng-hiong-koan.”

Kwee An dan Cin Hai merasa dongkol sekali. Mereka saling pandang dan saling memberi tanda dengan kejapan mata. Keduanya bergerak cepat dan hampir berbarengan mereka mengulurkan tangan menotok kedua penjaga itu yang segera roboh dengan tubuh lemas karena jalan darah mereka sudah tertotok oleh Cin Hai dan Kwee An!

Dengan tenang dua pemuda gagah ini lalu bertindak masuk. Mereka langsung ke ruang belakang di mana terdengar suara orang bersorak dan tanpa jeri sedikit pun mereka lalu melangkah masuk dari sebuah pintu yang besar dan tinggi.

Ternyata ruangan belakang itu amat luas dan di tengah ruang itu sudah terdapat sebuah panggung karena memang ruang ini adalah ruang berlatih silat atau lian-bu-thia. Kurang lebih tiga puluh orang perwira duduk mengitari panggung itu, ada pun di kepala panggung duduk seorang hwesio gundul bertubuh tinggi kurus dan di sebelahnya duduk beberapa orang perwira tua yang kelihatannya merupakan perwira-perwira tingkat tinggi. Juga Ma Ing nampak duduk di sebelah hwesio itu.

Ketika itu memang sedang diadakan pertandingan adu silat di antara para perwira yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan ini dilakukan atas perintah kaisar sendiri yang minta supaya tiga orang panglima yang berkepandaian tinggi dan lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam istana. Siapa orangnya yang tidak mau mencoba peruntungannya pada kesempatan ini? Menjadi pengawal pribadi kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan mulia.

Pemilihan ini dilakukan dan diawasi oleh hwesio tinggi kurus itu yang sebenarnya adalah hwesio kepala dalam Kuil See-thian-tong yang menjadi kuil di lingkungan istana dan yang biasanya dikunjungi kaisar. Selain menjadi kepala hwesio di kuil kota raja itu, juga hwesio yang bernama Beng Kong Hosiang ini diangkat pula menjadi penasehat para perwira. Ini kedudukan yang tinggi, karena sebenarnya hwesio ini bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai Kong Hosiang yang sudah terkenal kelihaiannya.

Di bawah pengawasan Beng Kong Hosiang, maka sekarang diadakan pemilihan dan para perwira itu mengadu kepandaian untuk merebut kedudukan itu. Pada waktu Cin Hai dan Kwee An memasuki ruangan itu, dua orang perwira Sayap Garuda sedang bergumul di atas panggung dan semua perwira yang menonton bersorak-sorak gembira, juga Beng Kong Hosiang, Ma Ing dan perwira lain yang dianggap tertua dan terpandai, menikmati pertandingan itu hingga mereka tidak melihat masuknya pemuda ini.

Cin Hai berbisik kepada Kwee An dan keduanya lalu menggenjot tubuh mereka melalui kepala para perwira kemudian melompat ke atas panggung di mana dua orang perwira itu sedang mengadu kepandaian. Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai dan Kwee An masing-masing memegang seorang perwira pada lehernya dan melemparkan mereka ke bawah panggung seakan-akan orang melempar ayam saja!

Semua orang terkejut, tidak terkecuali Beng Kong Hosiang. Ketika Ma Ing melihat siapa yang datang mengacau, dia menjadi pucat karena dia telah mengenal Cin Hai yang telah dirasai kelihaiannya itu.

Cin Hai lalu memandang ke sekeliling dan keadaan di sana sunyi senyap karena semua orang masih tercengang melihat peristiwa yang tak disangka-sangka itu. Siapakah orang yang berani mati mengacau di dalam Eng-hiong-koan pada saat perwira-perwira sedang mengadakan pemilihan, bahkan pada saat Beng Kong Hosiang berada di sana? Mungkin setan pun tak berani mengacau, maka tindakan dua orang pemuda itu sungguh-sungguh membuat mereka tercengang dan terheran!

“Cuwi-ciangkun (para panglima yang terhormat), kedatangan kami berdua bukan sengaja hendak mengacau bahkan kami sesungguhnya tidak mempunyai urusan apa pun dengan Eng-hiong-koan ini. Akan tetapi karena musuh-musuh kami berada di sini, terpaksa kami datang juga. Kini kami minta supaya para musuh besar kami itu suka tampil ke muka dan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka yang biadab!”

Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka tercengang melihat ketenangan anak muda itu. Yang tidak tahu akan persoalannya saling pandang dan angkat pundak.

Melihat keberanian ini, Beng Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh sebab ia memandang rendah sekali pada kedua orang itu. Maka katanya dengan suaranya yang tinggi nyaring,

“Ehh, anak-anak muda yang berani mati! Siapakah musuh-musuhmu itu?”

Sekarang Kwee An yang menjawab dengan suaranya yang halus nyaring, “Musuh-musuh kami adalah si pengecut Boan Sip, kedua saudara Tan Song dan Tan Bu, kelima orang kawanan yang disebut Shantung Ngo-hiap Ma Ing, Un Kong Sian serta tiga saudaranya yang lain, dan yang terakhir adalah seorang hwesio keparat bernama Hai Kong Hosiang. Manusia-manusia biadab yang namanya kusebutkan itu kalau berada di tempat ini harap maju untuk menerima kematian!”

Semua orang terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Betapa beraninya dua pemuda itu. Orang-orang yang namanya mereka sebut adalah perwira-perwira kelas tinggi, malah Ma Ing dan Un Kong Sian mendapat tempat duduk di deretan Beng Kong Hosiang karena mereka itu sudah dianggap perwira-perwira yang tinggi kedudukan dan kepandaiannya, demikian pula tiga orang saudara seperguruannya dan yang kesemuanya berjumlah lima orang dan disebut Shantung Ngo-hiap. Terlebih lagi nama yang terakhir, yakni Hai Kong Hosiang, karena hwesio ini merupakan sute (adik sepergurunan) dari Beng Kong Hosiang sendiri!

Musuh-musuh besar yang namanya disebutkan tadi semua berada di situ, kecuali Boan Sip dan Hai Kong Hosiang. Biar pun wajah mereka menjadi berubah ketika nama-nama mereka disebut, tapi karena berada di rumah sendiri dan memiliki banyak kawan-kawan, terutama adanya Beng Kong Hosiang di situ membuat mereka tabah dan berani.

Secara otomatis Tan Song dan Tan Bu segera berdiri dan menghampiri kelima saudara Shantung Ngo-hiap yang duduk di dekat Beng Kong Hosiang. Juga lima orang jago dari Shantung itu yakni Ma Ing, Un Kong Sian, dan tiga orang lain yang belum pernah dilihat Cin Hai, lalu berdiri dari kursinya hingga ketujuh orang ini berkelompok untuk menghadapi kedua musuh itu.

Sebetulnya nama Shantung Ngo-hiap memang telah terkenal sekali. Urutan mereka ialah seperti berikut: yang pertama Lauw Tek, kedua adalah adiknya Lauw Houw. Dua saudara inilah yang dahulu ikut membasmi keluarga Kwee.

Orang ke tiga adalah seorang tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini adalah satu-satunya orang dari kelima jago dari Shantung yang tak pernah memusuhi keluarga Kwee dahulu. Akan tetapi karena dia juga menjadi anggota Shantung Ngo-hiap, maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan saudara-saudara seperguruannya.

Orang ke empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un Kong Sian. Melihat kepandaian orang ke empat dan ke lima saja yang demikian hebatnya seperti terbukti ketika Un Kong Sian dan Ma Ing memperlihatkan kepandaian di rumah keluarga Kwee dahulu, maka dapatlah dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma Keng In, Lauw Houw dan Lauw Tek!

Demikianlah, kelima Shantung Ngo-hiap itu serta kedua saudara Tan Song dan Tan Bu setelah berdiri merupakan satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,

“Ehh, dua anjing pemberontak muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau apa?”

Sambil berkata demikian, dia bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti oleh enam orang lainnya. Sambil maju, mereka meloloskan senjata masing-masing. Para perwira yang merasa marah sekali melihat kedatangan dua orang muda yang mengacau ini, juga pada bergerak mendekati panggung sehingga Cin Hai dan Kwee Ang seolah-olah hendak dikeroyok oleh puluhan orang perwira Sayap Garuda itu!

Cin Hai memandang ke arah mereka dengan senyum sindir. “Hmm, hmm, tidak kusangka bahwa selain menjadi manusia-manusia biadab yang kejam, juga para perwira Sayap Garuda yang terkenal ganas ternyata hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya berani main keroyokan. Ha-ha-ha, kalian majulah!” Sambil berkata demikian, tangannya segera bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Liong-coan-kiam telah berada di tangannya!

Juga Kwee An telah bersiap sedia dan ia mencabut pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan. Mereka sudah mengambil keputusan untuk bertempur dengan nekad dan mengadu jiwa.

Tiba-tiba terdengar bentakan Beng Kong Hosiang, “Tahan!”

Dan tahu-tahu hwesio yang tinggi kurus ini sudah berada di atas panggung, mendahului semua perwira. Dia menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang angkuh.

“Apakah kalian tidak malu?” tegurnya kepada semua perwira yang bergerak maju. “Untuk menangkap dua ekor cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar? Janganlah kalian bikin malu kepada pinceng, Cuwi-ciangkun!”

Memang ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai penasehat para perwira dan juga terkenal sebagai seorang yang sangat disegani dan ditakuti karena kepandaiannya yang sangat tinggi. Sekarang tempat itu dikacau oleh dua orang pemuda, masakan para perwira hendak mengeroyoknya, seakan-akan kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali!

Dia sudah melihat gerakan kedua orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan dia maklum bahwa di antara kedua pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, ada pun pemuda yang ke dua itu tidak berbahaya.

Mendengar bentakan Beng Kong Hosiang semua perwira menahan gerakan mereka dan hanya berdiri memandang kepada pemuda itu dengan mata mengancam.

Beng Kong Hosiang lalu tertawa. “Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid siapa sehingga berani sekali mengganggu tempat kediaman kami?”

“Aku bernama Sie Cin Hai dan ini adalah Kwee An,” jawab Cin Hai dengan suara tenang karena dia belum kenal siapa sebetulnya hwesio tua ini. “Kedatangan kami ini tidak ada hubungannya dengan orang lain, kecuali orang-orang yang namanya sudah disebut tadi. Mereka itu secara kejam sekali telah membunuh keluarga Kwee dan kami sengaja datang untuk menuntut balas!”

“Hemm, mereka itu dibunuh karena mereka sudah memberontak dan berani menghina perwira-perwira kerajaan. Kalian memiliki kepandaian apakah hingga berani mengacau di sini? Ketahuilah, anak-anak muda, perbuatan kalian ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk menghukum kalian!”

“Kami hanya ingin membasmi orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan untuk itu kami bersedia menghadapi siapa saja!” berkata Kwee An dengan marah karena dia dapat menduga bahwa hwesio ini tentulah orang yang berpengaruh di kalangan perwira Sayap Garuda.

“Ha-ha-ha! Kau seperti anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak tahu sampai di mana tingginya langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-ciangkun, marilah kau dan pinceng menghadapi dua ekor cacing-cacing tanah ini!”

Beng Kong Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau jika pihaknya disebut curang dan main keroyokan, akan tetapi ia pun tidak menghendaki pihaknya mendapat kekalahan, maka ia sengaja memanggil Lauw Tek, yaitu saudara tertua dari Shantung Ngo-hiap atau perwira berkepandaian tertinggi yang pada waktu itu hadir di situ. Dia maklum bahwa kepandaian Lauw Tek sudah cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An, sedangkan untuk menghadapi Cin Hai, dia sendiri hendak maju memperlihatkan kepandaiannya!

Sambil tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh, segera melompat ke atas panggung menghadapi Kwee An. Ia lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,

“Dulu kau masih kuberi ampun sehingga jiwamu tak sampai melayang. Apakah karena itu kau merasa menyesal dan sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?”

Kwee An mengenal orang ini sebagai salah seorang di antara mereka yang menyerbu rumahnya, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan pedangnya dan menusuk dengan gerakan Rajawali Mematuk Ikan. Lauw Tek kemudian menggerakkan pedangnya menangkis sambil tersenyum menyindir dan mereka berdua lalu bertempur hebat.

“Ha-ha-ha, anak muda, sambutlah hidanganku yang pertama!” kata Beng Kong Hosiang dan dia mengebut dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah jalan darah kin-hun-hiat di dada Cin Hai.

Sambaran ini hebat dan kuat, akan tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya mengelak dan tahu-tahu pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong Hosiang ini! Hampir saja lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh pedang Liong-coan-kiam.

Hwesio ini terkejut sekali karena ia tak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai, maka tadi dia berlaku lambat. Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan ujung lengan baju tadi bukanlah serangan yang sembarangan saja dan baru angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan yang kuat, tetapi ternyata pemuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat mengelak dari serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan bajunya memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri?

Dia mengebut lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini dilakukan dengan ujung lengan baju kanan dan mula-mula langsung meluncur ke depan mengarah muka lawan, akan tetapi gerakan ini hanya untuk mengaburkan pandangan lawan belaka, karena gerakan yang sesungguhnya adalah secepat kilat ujung lengan baju itu diputar ke arah pergelangan orang yang memegang pedang untuk merampas pedang lawan itu!

Akan tetapi, lagi-lagi ia terkejut bukan main, bahkan mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai mendiamkan saja ujung lengan baju yang mengebut ke arah mukanya karena ujung lengan baju itu memang tidak diteruskan, malah kini terputar cepat ke arah pergelangan tangannya. Cin Hai cepat menggerakkan lengan tangannya dan pedangnya menyabet ke bawah sehingga tanpa ampun lagi ujung lengan baju itu terbabat putus!

Bukan main terkejut dan marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia menyangka bahwa dalam satu dua gebrakan saja dia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini. Tidak tahunya, serangannya dalam dua jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan ia sendiri menderita kerugian karena ujung lengan baju yang merupakan senjata baginya itu sudah terbabat putus!

Dengan muka terheran-heran ia lalu mengeluarkan senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul yang bergagang bengkok dan mata pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi anehnya gagang pacul itu dapal dilipat dua dan oleh karena itu sesudah dilipat menjadi pendek dan dapat diselipkan pada pinggangnya.

Sambil membentak hebat Beng Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan menyerang dengan cepat. Gerakannya aneh sekali laksana seorang petani mencangkul tanah. Akan tetapi Cin Hai berlaku tangkas dan cepat melompat ke pinggir, lantas balas menyerang dengan pedangnya.

Di lain pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh ketangkasan serta kepandaiannya untuk mempertahankan diri terhadap serangan Lauw Tek yang benar-benar lihai itu. Melihat permainan pedang Kwee An, Lauw Tek sambil menyerang berkata,

“Ehh, anak muda she Kwee, bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?”

Kwee An merasa terkejut ketika lawannya dapat mengenal ilmu pedangnya. Ia menahan senjatanya dan membentak, “Kalau aku benar murid Kim-san-pai, kau mau apakah?”

Lauw Tek tertawa menghina. “Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang Cu untuk mampus di ujung senjataku!” Setelah berkata demikian ia segera mendesak makin hebat hinggga Kwee An yang memang kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak hebat.

Tidak tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu tokoh dari Kim-san-pai. Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An menjadi murid Eng Yang Cu.

Ketika itu, Shantung Ngo-hiap masih tinggal di Shantung dan menjadi jago yang ditakuti karena di samping lihai juga terkenal ganas. Kebetulan pada waktu itu Eng Yang Cu yang sedang merantau tiba di Shantung dan mendengar tentang keadaan Shantung Ngo-hiap, lalu sengaja menantang pibu pada mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih berdarah panas hingga ia tak tahan mendengar betapa di Shantung ada Shantung Ngo-hiap yang menjagoi dan berlaku sewenang-wenang.

Di dalam pertandingan pibu ini, seorang demi seorang dari Shantung Ngo-hiap akhirnya kena dikalahkan oleh Eng Yang Cu. Akan tetapi secara licik kelima jago Shantung itu lalu mengeroyok sehingga Eng Yang Cu menjadi terdesak dan melarikan diri. Semenjak itu, Shantung Ngo-hiap menaruh dendam kepada Eng Yang Cu.

Karena pernah bertempur dengan Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal ilmu silat Kim-san-pai yang dimainkan oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian Kwee An, ia pun dapat menduga bahwa anak muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu. Dia menjadi girang sekali karena sekarang mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu ini.

Oleh karena ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat dan mengeluarkan serangan-serangan maut yang berbahaya. Akan tetapi biar pun masih muda Kwee An bersemangat baja dan ia berlaku nekad hingga gerakan pedangnya demikian tangkas dan untuk berpuluh jurus ia masih dapat mempertahankan dirinya.

Pada waktu itu dari luar berkelebat bayangan putih dan terdengar suara orang berseru, “Lauw Tek, jangan kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee An, kau mundurlah!”

Kwee An merasa girang sekali karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu gurunya. Dia segera mundur dan membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek.

Eng Yang Cu adalah seorang tua berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah putih dan pakaiannya seperti seorang tosu, juga berwarna putih. Senjatanya ialah pedang panjang yang mengeluarkan cahaya berkeredepan.

“Eng Yang Cu, manusia sombong. Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!” Lauw Tek berseru dan menyerang dengan ganas.

Melihat kedatangan musuh lama ini, para saudaranya seketika segera datang menyerbu hingga kini pertempuran lebih hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang! Melihat betapa pihak lawan mengeroyok, Kwee An tidak mau tinggal diam dan ia menggerakkan pedangnya lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia mendapat hati dengan kedatangan suhu-nya itu.

Sementara itu, dengan ilmu pedang campuran dari Ngo-lian Kiam-hoat, Sianli Kiam-hoat dan Liong-san Kiam-hoat yang pernah dipelajarinya, juga kepandaiannya yang dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal dasar-dasar semua gerakan lawannya, Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang tak berdaya. Setiap gerakan dan serangan hwesio ini telah dapat diduga oleh Cin Hai, sebaliknya ilmu pedang Cin Hai yang campur aduk itu sangat membingungkan hwesio ini. Hanya tenaga lweekang Beng Kong Hosiang yang tinggi saja yang masih menolongnya sehingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.

Ketika melihat kedatangan suhu dari Kwee An dan melihat pula naiknya semua lawan hingga keadaan menjadi berbahaya, Cin Hai berseru nyaring dan gerakan pedangnya kini disertai tenaga khikang yang luar biasa. Inilah tenaga khikang yang ia latih atas petunjuk Bu Pun Su, dan yang mempunyai daya gempur luar biasa sekali karena seluruh tenaga lweekang, gwakang mau pun ginkang dipersatukan merupakan pergerakan hebat hingga menimbulkan angin besar.

Khikang semacam ini jarang dikeluarkan oleh Cin Hai, karena tenaga ini membutuhkan pemusatan yang bulat hingga sangat melelahkan tubuh. Ia sendiri akan mendapat celaka oleh karena kehabisan tenaga. Oleh karena inilah, maka kepandaian ini jarang sekali dia keluarkan. Untuk mempergunakan tenaga khikang ini, paling lama dia hanya kuat bersilat sampai tiga puluh jurus saja.

Akan tetapi, akibatnya hebat sekali. Baru saja ia menyerang belum lima jurus, kaki kirinya berhasil menendang dada Beng Kong Hosiang hingga hwesio ini jatuh menggelinding ke bawah panggung dalam keadaan pingsan.

Melihat kehebatan ini, para perwira menjadi kaget sekali. Permainan Shantung Ngo-hiap menjadi kacau balau sehingga Eng Yang Cu mendapat kesempatan melukai Lauw Tek dengan pedangnya. Keadaan menjadi kalut dan semua perwira mencabut senjata hendak mengeroyok. Akan tetapi karena jumlah mereka besar, sedangkan panggung itu sempit, maka gerakan mereka itu bahkan mengacaukan kawan sendiri.

Cin Hai dan Kwee An yang mengambil keputusan hendak membalas dendam, kemudian sengaja menujukan senjata mereka kepada keempat sisa anggota Shantung Ngo-hiap dan kedua saudara Tan Song dan Tan Bu. Eng Yang Cu yang tidak tahu musuh-musuh besar muridnya hanya menggerakkan senjata untuk melindungi kedua pemuda itu.

Pedang Kwee An berhasil merobohkan Tan Song dan Tan Bu, dan serangan pemuda ini disertai oleh kegemasan yang meluap sehingga dua saudara Tan itu roboh tewas mandi darah. Cin Hai yang mengamuk hebat bagaikan seekor Naga Sakti memperlihatkan diri, juga berhasil merobohkan Un Kong Sian, Lauw Houw, Ma Ing, dan Ma Keng In. Akan tetapi karena ia tahu bahwa Ma Keng In tidak ikut dalam penyerbuan ke rumah keluarga Kwee, ia masih mengampuni jiwa orang tua ini dan hanya menotoknya roboh, sedangkan yang lain-lain telah tewas di ujung pedang Liong-koan-kiam!

Melihat bahwa ketujuh musuh besar itu semua telah dapat dirobohkan, tiba-tiba saja Cin Hai melintangkan pedangnya yang masih berlumpuran darah dan ia berteriak.

“Cuwi sekalian, tahan senjata! Kami bertiga tidak mau membunuh orang tidak berdosa. Orang-orang yang sudah mengganas dan membunuh keluarga Kwee hanya enam orang yang sudah tewas ini! Sedangkan Ma Keng In karena tidak ikut berdosa, ia hanya diberi hajaran saja, demikian pula Beng Kong Hwesio yang sombong hanya diberi hajaran agar ia tidak memandang ringan kepada lain orang! Sekarang harap Cuwi beritahukan di mana adanya Boan Sip dan Hai Kong Hosiang, karena kedua orang jahat itu pun hendak kami basmi dari permukaan bumi!”

Akan tetapi, di antara semua perwira itu, mana ada yang berani menjawab dan membuka rahasia kawan sendiri? Mereka hanya berdiri diam sambil bersiap sedia dengan senjata di tangan, walau pun hati mereka telah dibikin gentar oleh kehebatan ketiga orang itu!

Karena tidak ada orang yang berani memberi keterangan, Cin Hai lalu mengajak kedua kawannya pergi dari situ. Tiga bayangan berkelebat dan para perwira baru sadar bahwa ketiga lawan mereka telah pergi setelah tak melihat mereka di atas panggung lagi.

Mereka lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan sebagian orang lalu lari memberi laporan ke istana. Keadaan menjadi kalut bukan main, karena sejak Kanglam Chit-koai mengamuk pada beberapa puluh tahun yang lalu di dalam Eng-hiong-koan ini, tak pernah ada orang yang berani mengganggu mereka.

Tak dinyana bahwa hari ini dua orang pemuda yang dibantu oleh seorang tosu tua sudah membuat mereka kocar-kacir, bahkan enam orang perwira telah binasa! Yang lebih hebat lagi, Beng Kong Hosiang yang belum pernah dikalahkan orang itu, kini juga roboh dalam tangan seorang pemuda tanggung! Ini hebat sekali.

Juga Kaisar menjadi terkejut mendengar huru-hara ini. Ia segera memerintahkan barisan pengawal untuk mengejar dan mengepung, tapi ketika itu, Cin Hai dan kawan-kawannya telah lari jauh meninggalkan tembok kota raja dan telah berhenti di dalam sebuah hutan.

Kwee An lalu memperkenalkan Cin Hai kepada gurunya dan Eng Yang Cu memandang dengan kagum kepada Cin Hai.

“Sie-taihiap, kau masih begini muda akan tetapi kepandaianmu betul-betul membuat aku menjadi kagum sekali. Siapakah Suhu-mu yang mulia?”

Sebagaimana biasa, Cin Hai merasa segan untuk memberitahukan nama suhu-nya oleh karena maklum bahwa Bu Pun Su sama sekali tak suka bahkan membenci segala nama besar yang dianggapnya kosong belaka. Maka melihat keraguan pemuda itu, Kwee An lalu mewakilinya menjawab,

“Guru Saudara Cin Hai ini adalah Bu Pun Su.”

“Ah!” Eng Yang Cu terkejut sekali mendengar ini. “Tak heran apa bila kepandaiannya lihai sekali. Pinto pernah mendengar nama besar Suhu-mu biar pun mataku belum mendapat kemuliaan dan kehormatan untuk bertemu dengan Locianpwe itu. Akan tetapi, sesudah melihat kepandaian muridnya, hatiku telah cukup puas.”

Eng Yang Cu lalu menceritakan bahwa dari seorang sahabatnya di kalangan kang-ouw ia mendengar tentang nasib buruk yang menimpa keluarga Kwee An. Kakek ini yang sangat sayang kepada muridnya itu, menjadi marah sekali dan seorang diri ia berangkat ke kota raja hendak mencari Shantung Ngo-hiap yang sudah membunuh keluarga muridnya dan kebetulan sekali ia datang di saat yang tepat hingga dapat membantu pembalasan sakit hati Kwee An dan Cin Hai.

“Baiknya Totiang cepat-cepat datang, kalau tidak, aku tidak berdaya menolong Saudara Kwee An, karena hwesio itu pun cukup lihai sehingga aku tidak mempunyai kesempatan membelanya,” kata Cin Hai terus terang.

“Kwee An, musuh-musuhmu sudah terbalas dan semua itu berkat bantuan Sie-taihiap ini, maka jangan kau melupakan budi yang besar itu.”

“Musuh belum terbalas semua, Suhu,” kata Kwee An. “Masih ada dua orang musuh besar yang memegang peranan penting dalam perbuatan biadab itu, yakni Hai Kong Hosiang yang lihai dan Boan Sip perwira yang tadinya hendak memaksa adikku menjadi isterinya.”

Eng Yang Cu terkejut. “Hai Kong Hosiang ikut-ikut dalam perbuatan keji ini? Ah, memang benar kata-kata orang kang-ouw bahwa dalam setiap perbuatan jahat yang sangat keji, tentu Hai Kong Hosiang ikut campur! Meski ilmu kepandaian Hai Kong Hosiang mungkin tak lebih hebat dari pada suheng-nya, akan tetapi hwesio itu terkenal cerdik dan banyak akalnya, lagi curang sekali. Namun pinto percaya bahwa dengan bantuan seorang kawan seperti Sie-taihiap ini, pasti ia akan terbalas!”

Kemudian, setelah memberi nasehat dan pesanan kepada muridnya agar supaya berlaku hati-hati dan supaya suka minta petunjuk-petunjuk dari Cin Hai, tosu pengembara ini lalu melanjutkan perjalanannya.

“Kalau pinto kebetulan bertemu dengan Hai Kong atau Boan Sip, tentu pinto tidak akan tinggal diam dan mencoba untuk melawan mereka,” katanya.

Kwee An merasa terharu atas pembelaan suhu-nya itu dan menghaturkan terima kasih serta selamat berpisah. Juga Cin Hai merasa kagum sekali atas kebaikan guru Kwee An itu.

“Suhu-mu itu berhati mulia sekali, Saudara An,” katanya dan ia teringat kepada suhu-nya sendiri Bu Pun Su, yang tiada kabar beritanya itu. Apakah suhu-nya itu masih berada di Goa Tengkorak?

“Saudara Cin Hai, ketika kita hendak pergi ke kota raja dan mampir di Tiang-an mencari Boan Sip, ternyata dia sudah meninggalkan tempat tinggalnya itu dan kabarnya pergi ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja pun ia tak ada. Ke manakah ia pergi dan ke mana pula kita harus mencari dia dan Hai Kong Hosiang?”

Setelah berpikir sebentar, Cin Hai menjawab, “Mungkin sekali Boan Sip ikut pergi dengan Hai Kong Hosiang. Biarlah kita menyelidiki lagi ke kota raja mencari jejak mereka. Akan tetapi kita harus berlaku sangat hati-hati, karena tentu saja Kaisar tak akan tinggal diam karena perbuatan kita yang membunuh para perwira.”

Mereka lalu menunggu sampai sore, karena bermaksud hendak memasuki kota raja pada waktu malam agar jangan terlalu banyak mengalami rintangan para penjaga yang tentu berlaku waspada setelah terjadi kerusuhan demikian hebatnya.

“Saudara Kwee An, kurasa satu-satunya orang yang dapat memberi keterangan tentang Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, adalah Ma Keng In. Perwira ini adalah orang ke tiga dari Shantung Ngo-hiap, dan dibanding dengan saudara-saudaranya, dia agaknya paling baik. Mungkin sekali dia mau memberi tahu kepada kita mengenai tempat tinggal Hai Kong Hosiang, mengingat bahwa kita telah berlaku murah hati dan tidak membunuhnya.”

Dengan menggunakan kepandaian ginkang mereka yang tinggi, Cin Hai dan Kwee Ang dengan mudah bisa melompati tembok kota di bagian yang tak terjaga dan karena malam itu gelap, maka mereka dapat menyelundup ke dalam kota tanpa menemui rintangan. Ketika Cin Hai mencari keterangan di kalangan penduduk, dengan mudah mereka dapat mengetahui di mana rumah kediaman perwira she Ma itu, yakni di dalam sebuah gedung besar yang kuno.

Segera mereka jalan di atas genteng dan menuju ke rumah itu. Akan tetapi baru saja mereka tiba di atas wuwungan rumah perwira Ma Keng In, mereka dicegat oleh seorang pemuda berpakaian biru yang sudah berdiri di sana dengan tangan memegang sebatang pedang terhunus dan tajam berkilat!

“Hmm, kalian masih belum puas dan hendak mengambil jiwa Ayahku?” bentaknya sambil menggerakkan pedang. “Nah, majulah, memang sejak tadi aku telah menanti kedatangan kalian berdua!”

Pemuda baju biru itu menyerang Kwee An dengan pedangnya, namun Kwee An cepat menangkis. Kedua pedang bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar memercik keluar tanda bahwa tenaga kedua orang muda ini seimbang! Cin Hai terkejut karena ternyata pemuda ini mempunyai gerakan cukup lihai.

“Sobat, tahan dulu,” katanya. “Kau siapakah dan mengapa tiba-tiba menyerang kami?”

“Kalian diam-diam memasuki kota raja dan mencari rumah kediaman Ma-ciangkun. Masih hendak bertanya mengapa aku di sini menanti dengan pedang di tanganku? Aku adalah anak dari Ma-ciangkun. Siang tadi kau telah melukai Ayahku dan mengganas di kota raja, sekarang sebelum kau hendak mencari Ayah, kau hadapi dulu anaknya!”

Sebelum Cin Hai dan Kwee An menjawab, pemuda itu dengan ganasnya sudah kembali menyerang kepada Kwee An. Melihat pemuda yang tampan itu dan sikapnya yang lemah lembut serta pergerakan pedangnya yang lihai, Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka dia diamkan saja dan menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian.

Yang mengherankan hatinya ialah bahwa ilmu pedang pemuda itu berbeda sekali dengan ilmu pedang Ma Keng In, bahkan tidak lebih rendah dari pada kepandaian Ma-ciangkun itu! Juga gerakan pemuda itu aneh sekali, karena selalu menyerang sambil membalikkan tubuh sehingga gerakannya bagaikan seekor naga yang menyabet dengan ekornya yang tajam. Juga dalam hal tenaga dan kecepatan, ternyata pemuda yang lihai ini tidak kalah oleh Kwee An!

Juga Kwee An tidak kurang terkejutnya karena putera Ma Keng In ini ternyata merupakan seorang lawan yang tangguh sekali dan ia hanya dapat mengimbangi pemuda itu tapi tak dapat mendesak!

“Sahabat, kita datang bukan dengan maksud buruk!” Kwee An berkata sambil menahan serangan orang. Akan tetapi pemuda itu tidak ambil peduli dan terus menyerang dengan ganasnya.

Pada saat itu terdengar suara Ma Keng In yang berat dari bawah genteng, “Hoa-ji, jangan berlaku kurang ajar kepada tamu. Jiwi, kalian turunlah jika hendak bicara dengan aku!”

Pemuda yang disebut Hoa-ji oleh ayahnya itu mengeluarkan seruan kecewa, akan tetapi ia lalu melompat ke bawah dengan ringan, diikuti oleh Kwee An dan Cin Hai. Ma Keng In telah berdiri di situ dan menyambut mereka dengan wajah kereng.

“Jiwi yang muda dan gagah malam-malam datang ke pondokku, ada keperluan apakah?”

Kwee An membalas hormatnya dan berkata, “Harap Lo-enghiong suka memaafkan kami. Sebetulnya kami berdua tak mempunyai permusuhan dengan kau orang tua, karena kau tak ikut membasmi keluargaku. Kedatangan kami ini sengaja hendak mohon pertolongan Lo-enghiong dan bertanya di mana adanya Hai Kong Hosiang dan Boan Sip, dua musuh besarku yang masih belum terbalas itu.”

Walah Ma Keng In memerah. “Hm, kalian orang-orang muda memang terlalu berani dan tidak memandang sebelah mata padaku! Kau kira aku ini seorang pengkhianat yang sudi mencurangi dan mengkhianati kawan-kawan sendiri? Meski kalian akan membunuh dan memotong lidahku, aku orang she Ma tak serendah itu untuk mengkhianati kawan-kawan sendiri.”

Kwee An tercengang dan tak dapat menjawab. Tapi Cin Hai lalu tertawa aneh. Ma Keng In memang semenjak tadi memandang ke arah Cin Hai karena ia sungguh mengagumi anak muda yang telah ia saksikan kelihaiannya siang tadi. Kini mendengar suara tertawa anak muda itu ia berkata,

“Apakah kau demikian memandang rendah kepadaku sehingga mentertawakan sikapku yang bodoh?”

“Ah, tidak, tidak sekali-kali, Ma-ciangkun! Aku yang muda bahkan merasa teramat kagum melihat sifat kesatriaanmu. Yang kuanggap lucu adalah keanehanmu. Kau begini gagah perkasa dan berjiwa satria, akan tetapi kenapa kau sudi menjadi anggota Sayap Garuda yang terkenal ganas menindas rakyat? Biarlah, hal itu bukan urusan kami dan aku pun tidak akan mengutik-utik. Akan tetapi pemandanganmu tadi keliru sekali! Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Hai Kong Hosiang dan Boan Sip merupakan orang-orang yang telah melakukan keganasan dan kekejaman yang termasuk kejahatan besar. Kalau kau memberi tahu tempat mereka kepada kami, itu berarti bahwa kau sudah melakukan perbuatan yang adil. Ingatlah bahwa permusuhan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukanmu atau kedudukan mereka sebagai anggota Sayap Garuda, akan tetapi ini adalah urusan pribadi. Lagi pula mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, maka apa perlunya mereka bersembunyi dari pada kami? Kalau kau tetap menolak untuk memberi tahukan tempat tinggal mereka, hal itu berarti bahwa kau bahkan merendahkan mereka dan berarti kau takut kalau-kalau mereka itu akan kalah dan terbunuh oleh kami!”

Ma Keng In mendengarkan ucapan panjang lebar ini dengan mata terbelalak. Dia makin heran melihat pemuda yang tidak saja berkepandaian lihai itu, akan tetapi juga memiliki pandangan yang demikian dalam dan halus. Ia menghela napas dan berkata,

“Alasan-alasanmu dapat diterima, anak muda. Memang Hai Kong Suhu adalah seorang yang tinggi hati dan bila ia tahu bahwa aku menolak untuk memberi keterangan padamu tentang kepergiannya, tentu ia akan merasa kurang senang dan menganggap aku sudah merendahkannya. Baiklah kalau kau dan kawanmu memaksa, akan tetapi apa bila kalian tewas dan celaka di dalam tangannya janganlah kalian merasa penasaran kepadaku. Hai Kong Suhu bersama Boan-ciangkun sedang menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar untuk menghubungi pasukan-pasukan Mongol di perbatasan utara. Lima hari yang lalu mereka dan beberapa orang perwira lain telah berangkat ke utara meninggalkan kota raja.”

Cin Hai segera menjura dan berkata, “Terima kasih banyak, Ma-ciangkun. Kau memang benar-benar seorang tua gagah dan berhati lurus. Mudah-mudahan kita bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan.”

Kwee An juga menghaturkan terima kasih dan keduanya lalu melompat ke atas genteng untuk meninggalkan kota raja yang sebetulnya tidak aman bagi mereka itu.

Akan tetapi, belum jauh mereka pergi, tiba-tiba saja terdengar suara orang menegur dari belakang. Mereka berhenti dan ternyata Ma Hoa, pemuda berbaju biru yang menegur mereka tadi, telah mengejar mereka!

“Eh, ehh, kau mengejar mau apa? Apakah hendak melanjutkan pertandingan yang tadi?” Kwee An menegur tidak senang.

“Kalau hendak melanjutkan pertandingan, tak perlu aku banyak cakap!” jawab pemuda itu ketus. “Ayah terlalu lemah, maka kalau kalian memang orang-orang gagah, di dalam tiga hari aku akan menanti kalian di lereng Pai-san di sebelah utara!”

Kwee An merasa mendongkol dan penasaran. “Kenapa kami tidak berani? Baiklah, kalau kami menuju ke utara kami akan mampir di tempat itu dan di sana kita boleh bertempur sampai seribu jurus! Siapa takut dengan seorang kanak-kanak seperti kau?”

Pemuda itu membanting-banting kaki dan berkata, “Aku akan menunggu di sana!”

Kemudian ia lalu membalikkan tubuh dan lari meninggalkan mereka.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)