PENDEKAR BODOH : JILID-16



“Ah, Saudara An, mengapa kau mencari musuh baru? Orang itu kulihat lihai sekali, ilmu kepandaiannya tidak kalah jika dibandingkan dengan ayahnya,” Cin Hai menegur dengan suara menyesal.

“Siapa takut dia?” jawab Kwee An yang merasa mendongkol dan penasaran sekali sebab tadi ia benar-benar tak bisa mengalahkan pemuda itu. Setelah pemuda itu menantangnya apakah ia harus mundur? “Lagi pula kita pun hendak melewati Pai-san. Apa bila kita tidak menyambut tantangannya, bukankah kita akan ditertawakan oleh seorang kanak-kanak?”

Cin Hai tersenyum dan maklum bahwa Kwee An merasa penasaran sekali karena tidak dapat mengalahkan seorang pemuda yang sikapnya masih seperti kanak-kanak itu!

Sesudah melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya di jalan kepada penduduk dusun mengenai rombongan Hai Kong Hosiang, tiga hari kemudian Cin Hai dan Kwee An tiba di lereng bukit Pai-san.

Pemandangan di lereng bukit ini sungguh indah dan tanah di sana subur. Hal ini adalah karena di lereng itu mengalir sebuah sungai yang menjadi sumber atau mata air Sungai Liong-kiang dan yang menjadi anak sungai atau cabang Sungai Huangho, karena sungai Liong-kiang ini akhirnya memuntahkan airnya di Sungai Kuning yang besar itu.

Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang berdiri termangu-mangu sambil memandang ke arah air sungai yang mengalir sambil memperdengarkan dendang riak air yang menyedapkan telinga, tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang bergerak maju melawan arus air.

Sesudah dekat, ternyata yang duduk di dalam perahu itu adalah pemuda baju biru putera Ma Keng In dan seorang tua berpakaian nelayan yang bertubuh kurus laksana tengkorak hidup dan berwajah gembira. Biar pun melawan arus air, akan tetapi dengan dayungnya pemuda itu mampu menggerakkan perahu dengan lajunya, sehingga dapat dibayangkan betapa kuat tenaganya.

Mendadak terdengar nelayan tua itu berdendang, suaranya yang parau itu diiringi suara riak air.

Di belakang pintu gerbang merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan hingga masam membusuk!
Di luar pintu gerbang kotor sunyi melengang
berserakan tulang rangka sisa korban dingin dan lapar!

Cin Hai terkesiap. Ia mengenal syair yang diucapkan dalam lagu ini. Ini adalah syair yang ditulis oleh pujangga Tu Fu. Pada jaman dahulu keadaan rakyat di bawah pemerintahan Raja Hsuan Tsung sangat menderita dan pada suatu hari ketika lewat di Pegunungan Lisan, Pujangga itu melihat betapa Raja Hsuan Tsung bersenang-senang dan berpelesir dengan para selir di istananya yang disebut istana Hua Cin.

Oleh karena merasa betapa janggalnya perbedaan ini, yaitu antara kehidupan raja yang tahunya hanya bersenang-senang belaka tanpa mau mempedulikan keadaan rakyat yang sangat sengsara dan banyak yang mati kelaparan dan kedinginan, maka jiwa patriot yang menggelora di hati pujangga Tu Fu menggerakkan tangannya untuk membuat syair itu.

Semenjak dahulu syair ini dilarang oleh semua kaisar yang memerintah karena dianggap sangat menghina kaisar dan bersifat memberontak, maka jarang ada orang mengenalnya lagi, apa lagi menyanyikannya, karena apa bila terdengar oleh kaki tangan kaisar, tanpa ampun lagi orang itu dapat ditangkap sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi nelayan tua yang duduk di dalam perahu itu bahkan berani menyanyikannya dengan lagu suara yang bersemangat sekali. Orang yang berani bernyanyi seperti itu di tempat terbuka, tentulah seorang yang luar biasa dan berilmu tinggi.

“Bagus sekali syair itu, seolah-olah kulihat Tu Fu menjelma kembali,” dengan suara keras Cin Hai memuji.

Ketika itu perahu kecil tadi telah sampai di depan mereka, nelayan itu lalu memandang ke arah Cin Hai. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tahu-tahu tubuh yang seperti tengkorak itu telah melayang berdiri di depan Cin Hai.

“Hi-hi-hi, anak muda, kau kenal Tu Fu?” tanyanya.

“Kenal? Ia adalah sahabat baikku di alam mimpi!” jawab Cin Hai yang lalu mengucapkan sebuah syair lain dari Tu Fu dengan suara nyaring.

Mungkinkah membangun sebuah gedung dengan laksaan kamar
untuk memberi tempat bagi para fakir miskin di seluruh dunia
yang akan merasa bahagia biar pun dalam hujan
karena gedung kokoh kuat bagaikan bukit raksasa?

Kalau saja aku dapat melihat ini tiba-tiba muncul di depan mataku,
biarlah gubukku ini hancur lebur,
biarlah aku mati kedinginan,
aku akan mati dengan mata meram dan jiwa tenteram!

Nelayan itu melebarkan matanya dan memandang kepada Cin Hai dengan wajah girang sekali. Tiba-tiba dari kedua matanya yang lebar itu mengalir air mata dan ia lalu memeluk leher Cin Hai dan menangis tersedu-sedu sambil menyandarkan kepalanya pada pundak pemuda itu.

Kepala nelayan tua itu mengeluarkan bau amis seperti bau ikan. Ketika dia memeluk Cin Hai dan kedua tangannya merangkul, Cin Hai merasa seolah-olah ia ditindih oleh sebuah batu besar yang beratnya ribuan kati. Dia merasa terkejut sekali dan tahu bahwa secara diam-diam kakek nelayan ini telah mencoba tenaganya.

Karena itu ia segera menahan napas dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan tekanan yang hebat ini. Ia hampir saja tidak kuat, akan tetapi berkat keteguhan hatinya, ia tidak mengeluh atau memperlihatkan kelemahannya.

Akhirnya kakek nelayan itu melepaskan pelukannya sehingga Cin Hai merasa lega sekali. Keringat dingin telah keluar dari kulit mukanya, maka ia lalu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut peluh itu.

Setelah memandang tubuh Cin Hai dari kepala sampai kaki dengan mata berseri-seri dan wajah gembira, kakek nelayan itu lalu berpaling pada pemuda baju biru yang sementara itu telah keluar dari perahu dan menghampiri mereka.

“Ehh, anak nakal, pemuda inikah yang kau maksudkan? Ahh, Hoa-ji, kau akan kalah! Kau tentu kalah!”

Pemuda yang bernama Ma Hoa itu menggeleng kepalanya dan menuding ke arah Kwee An, “Bukan dia, Suhu, yang inilah!”

Kwee An dan Cin Hai memandang ke arah pemuda itu. Mereka pun tercengang, karena sesudah melihat pemuda itu di siang hari, ternyata bahwa wajah pemuda ini benar-benar tampan sekali serta sikapnya pendiam dan agung!

Ma Hoa lalu melangkah rnenghadapi Kwee An dan berkata,

“Hemm, ternyata kau mematuhi janji. Nah, mau tunggu apa lagi? Cabutlah senjatamu dan coba kau perlihatkan kepandaianmu!” Sambil berkata demikian, Ma Hoa segera melolos pedangnya dari pinggang dan bersiap sedia.

Kwee An berdiri bingung karena ia merasa jeri juga menghadapi pemuda yang bersikap agung dan tenang ini. Dia berpaling kepada Cin Hai, akan tetapi Cin Hai sedang saling pandang dengan nelayan tua itu sambil tersenyum-senyum, sedangkan kakek nelayan itu lalu memegang tangan Cin Hai, ditarik untuk bersama duduk di bawah sebatang pohon dan dengan tertawa haha-hihi ia berkata,

“Mari, mari, sahabatku, kita duduk di sini dan menonton kedua anak nakal itu!”

Cin Hai maklum bahwa kakek nelayan luar biasa ini tak bermaksud jahat, maka dia tidak menguatirkan keselamatan Kwee An dan ia lalu ikut duduk di sebelah kakek itu.

Pada saat melihat Kwee An berdiri bengong, Ma Hoa lalu membentak, “Tidak lekas-lekas mengeluarkan senjatamu? Apakah kau takut?”

Marahlah Kwee An melihat kecongkakan pemuda itu, maka dengan muka merah ia lantas mencabut senjatanya dan berkata, “Tenang, kawan. Siapa yang takut kepada engkau?”

Ma Hoa lalu menyerang dengan hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi Kwee An dengan cepat menangkis dan balas menyerang. Sebentar saja keduanya sudah bertempur seru sekali, saling mengerahkan tenaga dan kepandaian, saling melepas umpan, membuat gerak tipu dan mengeluarkan segala jurus yang saling berbahaya.

Cin Hai duduk dengan bengong karena kagum. Dia tidak hanya mengagumi kepandaian kedua anak muda ini, akan tetapi dia mengagumi kenyataan bahwa kepandaian kedua orang itu boleh dibilang sama tinggi dan sama pandai. Dan yang lebih mengherankannya lagi, walau pun sikapnya congkak sekali, akan tetapi di dalam pertempuran itu agaknya Ma Hoa tidak mengandung hati ingin mencelakakan Kwee An. Hal ini bisa dilihatnya dari gerakan pemuda itu yang selalu terlambat sedikit dari pada seharusnya dalam mengirim serangan maut!

Kwee An tak pantas disebut murid Kim-san-pai yang lihai kalau dia tidak mengetahui hal ini. Mula-mula ia merasa heran dan menganggap bahwa lawannya memang masih belum matang betul kepandaiannya, tetapi karena berkali-kali Ma Hoa sengaja memperlambat gerakannya, ia menjadi maklum dan hatinya girang sekali. Ternyata pemuda ini mencoba kepandaiannya saja.

Oleh karena itu, ia segera mengeluarkan kepandaiannya yang paling hebat dan memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga sinar pedangnya bergulung-gulung, akan tetapi dia pun menjaga-jaga jangan sampai melukai pemuda lawannya itu. Suatu pertempuran yang sungguh hebat dan indah dipandang.

Bukan main girang hati Cin Hai melihat keadaan itu, karena ia maklum bahwa keduanya sama-sama tidak mempunyai keinginan mencelakakan lawan. Tadinya dia sudah merasa khawatir kalau-kalau harus bermusuhan dengan nelayan tua yang hebat ini, karena kalau dia dan Kwee An sampai menjadi musuh nelayan ini, hal itu berarti bahwa mereka telah menanam bibit permusuhan yang berbahaya.

Laginya, ia merasa suka sekali kepada kakek nelayan yang bersemangat ini. Kegirangan hatinya dan keadaan tamasya alam yang indah di sana telah membuat hatinya bahagia sekali dan tak terasa pula dia kemudian mengeluarkan suling bambunya. Kakek nelayan itu memandangnya dengan senang sekali sehingga Cin Hai lalu mulai menyuling, sambil matanya memandang kepada dua orang muda yang masih bermain pedang.

Cin Hai memang pintar sekali menyuling. Pada saat suara lengking sulingnya melagukan sebuah lagu peperangan kuno yang bersemangat, maka Kwee An dan Ma Hoa tak terasa pula terpengaruh oleh nyanyian ini dan mereka bermain pedang makin hebat dan indah, seakan-akan dua orang penari yang mendengar suara gamelan merdu yang membuat tarian mereka lebih indah.

Kakek nelayan itu menatap wajah Cin Hai dan aneh sekali. Kembali dari kedua matanya yang lebar mengalir keluar air mata. Ternyata hati kakek nelayan ini perasa sekali hingga membuat ia terkenal sebagai seorang yang cengeng atau mudah menangis. Oleh karena inilah, maka dia mendapat sebutan Nelayan Cengeng!

Cin Hai juga dapat melihat bahwa kedua anak muda itu sudah terpengaruh oleh suara sulingnya. Ia melihat betapa mereka berdua telah berpeluh karena pertempuran itu telah berjalan dua ratus jurus lebih! Dia menjadi kasihan dan tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya.

Keadaan menjadi sunyi setelah suara suling itu terhenti dan yang terdengar kini hanyalah riak air. Keadaan yang sunyi ini melenyapkan nafsu dan semangat kedua anak muda itu sehingga dengan sendirinya mereka lalu melompat mundur.

Wajah kedua pemuda itu berpeluh dan berwarna merah, akan tetapi sungguh aneh. Kini Kwee An tidak mempunyai perasaan penasaran akibat tidak dapat mengalahkan pemuda itu, bahkan dia memandang ke arah pemuda itu dengan sorot mata berterima kasih dan ingin bersahabat karena timbul rasa suka di dalam hatinya kepada pemuda itu.

“Bagus, bagus!” tiba-tiba nelayan tua itu melompat berdiri dan berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil yang baru diberi kembang gula. “Mereka itu cocok dan sesuai sekali, bukan?” katanya kepada Cin Hai dan Cin Hai lalu mengangguk sambil tersenyum.

“Cocok, sama tampan, sama tangkas, dan sama-sama keras hati! Sungguh, jodoh yang cocok! He, anak muda she Kwee, engkau adalah jodoh muridku, tidak ada pemuda lain yang lebih cocok untuk menjadi calon suami muridku, ha-ha-ha!” Kakek nelayan yang luar biasa ini tertawa terkekeh-kekeh karena girangnya.

Kwee An merasa bingung dan tak mengerti. Ia memandang ke arah Cin Hai dan tiba-tiba Cin Hai berkejap dan menunjuk dengan sulingnya ke arah Ma Hoat! Kwee An tetap tidak mengerti dan ketika ia memandang kepada Ma Hoa, ia melihat pemuda itu berdiri dengan kepala tunduk dan muka kemerah-merahan dan kadang kala sudut matanya mengerling dengan malu-malu! Ini adalah sikap seorang gadis dan tiba-tiba ia menjadi mengerti!

Hampir saja ia menempeleng kepalanya sendiri. Kenapa ia begitu bodoh? Ma Hoa bukan seorang pemuda, akan tetapi seorang gadis. Gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula! Mengingat hal ini, tiba-tiba saja wajah Kwee An menjadi merah bagai kepiting direbus dan ia lalu pergi menghampiri Cin Hai dan tak berani berkata-kata lagi.

“Bukankah mereka cocok sekali?” lagi-lagi kakek nelayan itu bertanya kepada Cin Hai. “Aku yang akan menjadi comblangnya dan aku tanggung Ma-ciangkun tak akan mampu menolak seorang calon mantu yang begini baik! Eh, anak muda she Kwee, mengapa kau diam saja?”

Cin Hai mewakili Kwee An dan berdiri sambil menjura, “Lo-cianpwe, maafkanlah kawanku ini. Dia masih kurang pengalaman dan pemalu sekali, dan mengenai perjodohan ini tentu saja harus ia tanyakan dulu kepada Suhu-nya karena kedua orang tuanya telah tidak ada lagi.”

“Ahh, jangan banyak upacara lagi!” kata kakek nelayan. “Orang she Kwee, bukankah kau juga suka kepada Hoa-ji seperti dia suka kepadamu?”

Kwee An memandang wajah kakek itu dengan heran. Mulutnya tak berani bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung banyak pertanyaan, yaitu bagaimana kakek ini dapat menduga demikian?

Agaknya kakek nelayan ini memang dapat membaca pikiran orang sebab setelah tertawa terkekeh-kekeh ia lalu berkata,

“Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan suka dari kalian berdua, apakah kalian dua orang bodoh dapat menipuku? He, Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?”

Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat suhu-nya yang selalu bersikap terus terang dan jujur. Akan tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu saja ia merasa amat malu mendengar orang berbicara tentang perjodohan dan tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi! Maka ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu itu meninggalkan mereka!

“Ha-ha-ha... hi-hi... lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu ia telah marah dan mengamuk. Jika ia pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau tidak boleh menolak murid Si Nelayan Cengeng!”

Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa di antara tokoh-tokoh yang luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di darat mau pun di dalam air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhu-nya, maka mereka berdua kemudian menunjukkan sikap menghormat sekali.

“Locianpwe, harap kau orang tua sudi memaafkan teecu yang bodoh ini. Sebagaimana dikatakan oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam urusan perjodohan, bukan teecu menampik, akan tetapi teecu harus minta nasehat Suhu terlebih dahulu.”

“Ehh, siapa Suhu-mu yang beradat kukuh dan kuno itu?” tanya Nelayan Cengeng.

“Suhu adalah Eng Yang Cu.”

“Oh, tosu dari Kim-san itu? Ha-ha, aku sudah menduga bahwa engkau tentu anak murid Kim-san-pai, akan tetapi tidak kuduga bahwa imam tua itu masih mau mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju sepuluh bagian!”

“Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe, akan tetapi sungguh, teecu pada waktu ini belum berani mengikat diri dengan perjodohan!”

Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai perasaan yang mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting kakinya hingga tanah di mana kakinya terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!

“Apa katamu?! Kau menolak? Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan yang kuat dan dapat diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini!”

Kini Cin Hai yang buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena dia cukup mengenal adat Kwee An yang walau pun pendiam akan tetapi keras hati dan tidak kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin marah orang tua itu.

“Locianpwe, sebetulnya Saudara Kwee An sama sekali tak menolak dan bahkan merasa bahagia sekali karena mendapat kehormatan besar sudah dipilih sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan berkabung dan kini sedang melakukan perjalanan dengan teecu untuk mencari musuh besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar itu.”

Cin Hai kemudian secara singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa keluarga pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa yang sangat menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu hingga Kwee An merasa amat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air mata yang membasahi pipinya.

“Jadi dua musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan seorang perwira? Ahh, Hai Kong, engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam air sampai perutmu menjadi kembung!” katanya dengan marah. Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata kepada Cin Hai,

“Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya sudah maju pesat karena dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tidak dapat melawannya. Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu, akan tetapi ketahuilah bahwa hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah engkau mengerti ilmu dalam air?”

Cin Hai menggelengkan kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa dia hanya dapat berenang sedikit saja.

“Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap menghadapi hwesio itu, baik di darat mau pun di air!”

Cin Hai serta Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua minggu mereka menerima latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat latihan ilmu pedang yang disebut Hai-liong Kiam-hoat atau Ilmu Pedang Naga Laut dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta gerakan-gerakan renang.

Ada pun untuk Cin Hai, nelayan itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan sebab kepandaian pemuda itu katanya malah telah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu mendapat latihan bermain di dalam air. Oleh karena Cin Hai memang telah mempunyai lweekang yang tinggi dan dapat menahan napas sampai lama, maka sebentar saja dia pun dapat menguasai ilmu itu dan dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja.

Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak muncul, akan tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak pergi meninggalkan Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang, tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari jauh. Cin Hai lalu menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan!

Ketika gadis itu melompat keluar dari perahu dan kebetulan Kwee An mengangkat muka memandang, ia menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan pandangan matanya lagi dari gadis itu. Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar biasa cantiknya.

Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat pinggang serta pengikat rambutnya berwarna merah darah, berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di pinggang menambah kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.

Nelayan Cengeng melebarkan sepasang matanya pada waktu melihat pakaian muridnya itu. “Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu ini hendak pergi melanjutkan perjalanan.”

Memang orang tua ini terlalu sekali. Kejujurannya yang luar biasa sehingga dia menyebut Kwee An sebagai tunangan muridnya itu sudah membuat kedua anak muda itu menjadi jengah dan malu sekali.

“Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah, apa artinya segala sikap malu-malu kucing? Kesinikan pedangmu!”

Biar pun sangat keras hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhu-nya yang menganggapnya sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala dia bertindak maju. Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan gemetar dia lalu melolos pedangnya dan diberikan kepada suhu-nya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan suara, maka suaranya akan terdengar menggigil.

Nelayan Cengeng gembira, lalu dia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah, “Kwee An, terimalah pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan pedangmu kepada tunanganmu!”

Dengah sikap menghormat Kwee An menerima pedang itu, lalu dia mencabut pedangnya sendiri dan hendak diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,

“Saudaraku, kau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus kau berikan sendiri kepada tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?”

Nelayan Cengeng itu memandang dengan hati heran kepada Cin Hai, akan tetapi hanya sebentar saja karena dia tertawa bergelak dan berkata, “Benar, benar! Cin Hai berkata betul sekali! Kau harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!”

Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan dua orang ini. Dengan hati berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengasurkan pedang itu.

Akan tetapi, karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka sehingga tidak melihat dia mengangsurkan pedang, maka gadis itu tidak menerima pedang yang diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah, terpaksa dia menggerakkan bibirnya memanggil,

“Moi… ehh… Siocia, kau terimalah pedang ini!”

Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali Ma Hoa menyambar pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang dan dia lalu tertunduk kembali!

“Ahhh, salah... salah...!” Cin Hai menggoda terus. “Saudara An, engkau harus memanggil moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil koko, ini baru benar!”

Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Dia lalu bersorak-sorak dan meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk tangan. “Benar, benar...! Bagus...!”

Ma Hoa tidak dapat lagi menahan jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah Kwee An dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu berlari ke perahunya, segera mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak.

“Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekaslah kembali!” kata Kong Hwat Lojin sambil bertindak pergi.

Kwee An dengan mulut cemberut lantas berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau sungguh terlalu! Menggoda orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!”

Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya itu dan merasa sedih sekali. Akan tetapi, cepat dia mampu menekan perasaannya dan berkata, “Ahhh, bukankah godaan-godaan tadi diam-diam membikin engkau berbahagia sekali?”

Kwee An tidak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian dari hati dan perasaan Kwee An sudah tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di tepi Sungai Liong-kiang itu!

Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara di mana bertemu dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup secara berkelompok. Pada suatu hari mereka sampai di sebuah sungai yang cukup besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.

Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu dan mengangkut kantong-kantong yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini, banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok sehingga mereka dapat berbicara dalam bahasa Han, yang biar pun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai dan Kwee An.

Dari mereka inilah kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang Pangeran Mongol bernama Vayami. Pangeran ini sudah bertukar nama karena dia telah memeluk Agama Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada Agama Sakya Buddha ini. Barang-barang yang lagi diangkut ke dalam perahu itu adalah sumbangan-sumbangan dari para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada Pangeran Vayami.

Ketika Cin Hai serta Kwee An sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba mereka melihat Hai Kong Hosiang di atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenali dengan mudah karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak merah putih dan kepalanya yang gundul licin.

Pada saat itu perahu telah bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan tempat itu, ada pun para pemeluk agama yang berdiri di pinggir sungai sedang berlutut memberi hormat yang terakhir kepada Pangeran Vayami.

Cin Hai dan Kwee An lalu menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas perahu hingga mereka yang melihat perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah. Hai Kong Hosiang dengan mata terbelalak dan tindakan lebar menyambut kedatangan pemuda itu dengan bentakan,

“Dua ekor anjing rendah dari manakah berani memperlihatkan kekurang ajaran di sini?”

“Hai Kong Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata dan kau masih banyak bertingkah lagi?” Kwee An balas membentak dan memaki.

Hai Kong Hosiang memandang anak muda itu dan ia lalu teringat serta mengenal wajah Kwee An, “Eh, kau masih belum mampus bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan kanannya mencabut keluar tongkat ularnya yang lihai sambil berkata. “Baik, kalau begitu biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya kurang sempurna agar kau tidak menjadi penasaran!”

Sambil berkata demikian ia maju ke arah Kwee An. Akan tetapi pada saat itu pintu kamar yang terdapat di perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian pendeta jubah merah. Pendeta ini membentak dengan suaranya yang halus,

“Hai Kong bengyu, tahan dulu!” Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang halus, dan anehnya, Hai Kong Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena pendeta gundul ini lalu menahan senjata dan menjura. Pemuda ini bukan lain ialah seorang pangeran yaitu Pangeran Vayami sendiri.

Vayami memandang kepada Kwee An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya dan berkata dalam bahasa Han yang fasih,

“Jiwi-enghiong (Kedua Tuan yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan kepadaku dan mengunjungi perahu ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?”

Kwee An dan Cin Hai tercengang melihat Pangeran Mongol yang pandai berbahasa Han dan yang halus tutur sapanya ini, juga mereka merasa heran melihat bahwa pemimpin agama ini ternyata masih muda sekali takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya! Cin Hai lalu merangkapkan kedua tangan pula dan membalas hormat, diikuti oleh Kwee An.

“Maafkan kami berdua yang tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat ini berada di atas perahu, kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke atas perahumu. Akan tetapi, kami berdua sama sekali tak hendak mengganggu kepada Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini, karena dia adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu jiwa dengannya.”

Pangeran Vayami tersenyum halus akan tetapi kedua matanya mengeluarkan sinar tajam yang membuat Cin Hai terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa selain mempunyai tenaga lweekang yang tinggi juga pangeran ini sangat berpengaruh dan cerdik.

“Jiwi-enghiong yang muda dan gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan tuan rumah dan tamunya. Hai Kong Hosiang Suhu sekarang menjadi tamu kami dan oleh karenanya, selama dia berada di atas perahuku, aku harus melindunginya dengan segala tenagaku, bahkan dengan jiwaku sekali pun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang mukaku dan tak mengganggunya selama dia masih berada di sini!”

Setelah berkata demikian, pangeran itu lalu menggerakkan dua tangannya dan bertepuk tangan tiga kali. Mendadak dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya yang berjubah merah dan nampak kuat serta pandai ilmu silat.

Cin Hai dapat merasai kebenaran ucapan pangeran itu, maka dia lalu menuding kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui kedosaan dan perbuatanmu dan tentunya tidak begitu pengecut untuk lari dari tuntutan balas kami. Jika memang kau seorang laki-laki, maka harap kau mau turun ke darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih pandai!”

Hai Kong Hosiang tadi sudah melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke dalam perahu, maka ia pun maklum bahwa anak muda ini jauh lebih lihai dari pada Kwee An. Maka ia berkata,

“Jangan kau mengacau dan membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang tidak pernah lari dari musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga pemuda ini, dan kau tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau ikut campur?”

“Ha-ha-ha, hwesio gundul yang palsu! Kau juga telah memiliki hutang padaku. Ingatkah kau dahulu ketika kau bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an? Anak kecil yang meniup suling dan yang hendak kau bunuh dulu itu siapa? Lihatlah mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat bahwa kau sekarang berhadapan dengan anak itu yang kini hendak membalas kebaikan budimu dulu!”

Hai Kong Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan Ang I Niocu di dalam goa Tengkorak itu, maka diam-diam ia merasa agak jeri. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah seorang gagah yang telah lama malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang bertemu tanding, karena itu tentu saja dia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang anak muda yang masih hijau itu.

“Bagus, kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan hidup!”

“Hwesio keparat, kau turunlah ke darat!” Kwee An membentak marah.

“Ha-ha! Siapa sudi menurut perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun kalau aku suka dan sekarang aku belum ada ingatan untuk turun dan melayani kalian.”

Cin Hai menjura pada Pangeran Vayami. “Maaf, karena hwesio ini membandel, terpaksa kami berlaku kurang ajar dan bertindak di sini!”

Sambil tersenyum Pangeran Vayami berkata. “Cobalah kalau engkau dapat, karena aku tak mungkin tinggal diam melihat tamuku diganggu.”

Ia kemudian memberi tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap mengancam dan mengurung Cin Hai serta Kwee An!

“Saudara An, kau lawanlah lima boneka merah itu dan aku akan membinasakan kera tua ini!”

Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang mendengar dirinya dimaki ‘kera tua’! Dia lalu berseru nyaring dan senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering itu meluncur dan menyerang ke arah tenggorokan Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit dan waspada, dia segera mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.

Kelima pendeta Sakya itu bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee An yang memutar pedangnya secara hebat luar biasa. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu hanya memiliki tenaga hebat dan kuat seperti kerbau jantan, akan tetapi kepandaian silat mereka tak seberapa tinggi sehingga Kwee An tak sampai terdesak oleh mereka.

Akan tetapi, bagi pemuda itu pun tak mudah merobohkan mereka karena ia harus berlaku hati-hati sekali. Walau pun serangan lawan-lawannya tidak cukup gesit dan berbahaya, akan tetapi karena tenaga mereka besar sekali, maka sekali saja terkena pukul tongkat mereka, ia pasti akan celaka! Karena itu ia berlaku tenang dan hati-hati dan menjaga diri dengan sangat kuatnya, sedikit pun tak ingin memberi waktu kepada mereka untuk dapat memukulnya.

Yang hebat adalah pertarungan antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Ternyata pendeta ini betul-betul telah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang pernah dikatakan oleh Nelayan Cengeng.

Karena berkali-kali bertemu dengan lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw Suthai, dan yang lain-lain, dan semenjak dia kena dikalahkan oleh Biauw Leng Hosiang, pendeta ini lalu melatih diri dan mempelajari ilmu silat lain yang tinggi untuk menambah kepandaiannya. Bahkan dalam perjalanannya ke daerah utara, dia sengaja mengunjungi tokoh-tokoh ternama untuk bertukar ilmu silat dan mempelajari kepandaian mereka itu.

Maka dalam pertempuran Cin Hai kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat pendeta ini jauh lebih hebat dari pada ketika ia bertempur di dalam Goa Tengkorak. Terutama tongkatnya yang hebat itu, yang di dalam tangannya seolah-olah telah berubah menjadi seekor ular berbisa yang masih hidup, sangat berbahaya sekali.

Walau pun Cin Hai sudah dapat menduga gerakan dalam setiap serangan yang hendak dilancarkan, akan tetapi karena senjata lawannya ini berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan terpaksa berlaku hati-hati sekali. Dia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li Utauw pelajaran Ang I Niocu, karena dengan ilmu silat ini dia dapat bergerak gesit sekali sehingga tubuhnya berkelebat ke sana ke mari menolak serangan lawan dan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Melihat pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai dengan Hai Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini berdiri di depan pintu kamarnya dan menonton dengan mata berseri.

Ia kagum sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong Hosiang, pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah senjata saja. Akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin lama makin hebat permainan silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu berubah-ubah.

Memang untuk mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai sudah sengaja mencampur permainan silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang dia mengeluarkan jurus Liong-san Kiam-hoat, lalu Ngo-lian-kiam-hoat, bahkan kadang kala ia mengimbangi permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan Jian-coa Kiam-sut atau Ilmu Pedang Seribu Ular.

Hai Kong Hosiang tercengang dan heran sekali sehingga dia menunda serangannya dan membentak, “Bangsat dan maling rendah! Dari mana kau curi ilmu pedangku?”

“Ha-ha, gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang tak berguna? Lihatlah, aku mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu pedangmu itu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu menyerang dengan pedangnya.

Hai Kong Hosiang hampir berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai benar-benar menyerangnya dengan Ilmu Pedang Jian-coa Kiam-sut, akan tetapi jauh lebih sempurna. Padahal sesungguhnya Cin Hai hanya meniru-niru serangan Hai Kong tadi, hanya saja karena dia telah dapat memecahkan rahasia dasar ilmu silat yang telah dimainkan itu, dia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat pula memperbaikinya. Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah dilatih, akan tetapi cukup membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jeri.

Tidak disangkanya bahwa pemuda ini demikian hebat kepandaiannya. Kehebatan meniru ilmu-ilmu silat ini mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia dipermainkan oleh jembel tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan jeri. Namun, karena melihat bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru dewasa, dia memperkuat hatinya dan sambil membentak keras ia menyerang lagi.

Kini tangan kirinya mencabut keluar sebatang sabuk ular yang penuh racun. Jangankan sampai terpukul oleh sabuk ini, bahkan baru keserempet sedikit saja, maka racun ular yang mengenai kulit dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali racun itu dapat meresap ke dalam daging kemudian meracuni darah hingga membahayakan jiwa lawannya.

Baru saja sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai sudah mencium bau yang sangat amis, maka tahulah dia akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Dia lalu menggunakan tangan kirinya mencabut keluar sulingnya. Untuk mengimbangi lawan, dia menggunakan dua macam senjata pula, di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam, di tangan kiri suling bambunya!

Melihat suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan peristiwa dulu ketika Cin Hai masih kecil dan dengan suling bambunya telah menggagalkannya untuk mengalahkan Kanglam Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan matinya kelima ularnya karena Bu Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu menyerang sambil berteriak,

“Anak setan, kali ini kalau belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”

Melihat kemarahan Hai Kong Hosiang ini, diam-diam Cin Hai merasa amat girang dan ia melayani serbuan hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan kehebatan ilmu pedangnya yang dicampur dengan gerakan sulingnya tak dikurangi kecepatannya. Kedua orang ini bertempur mati-matian hingga bayangan dua orang ini tak tampak lagi, tertutup oleh sinar senjata masing-masing.

Sementara itu, Kwee An yang mengamuk dengan Kim-san Kiam-hoatnya telah berhasil merobohkan dua orang pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi terkejut sekali. Pangeran yang cerdik ini maklum bahwa dua anak muda yang sedang mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan apa bila dilawan terus akan membahayakan keselamatannya. Maka ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa Mongol.

Beberapa orang pelayan yang berkepandaian rendah dan karenanya tidak berani turut membantu lalu menurunkan dua buah perahu kecil ke atas air. Vayami lalu menyalakan api dan membakar layar yang tergantung ke bawah sehingga sebentar saja api menyala hebat di atas perahu itu. Dia lalu melompat dan hendak turun ke dalam perahu-perahu kecil yang telah dilepas ke atas air.

Akan tetapi, melihat kecurangan pangeran ini, Kwee An cepat meninggalkan ketiga orang pengeroyoknya dan ia mengejar pangeran itu sambil berteriak.

“Jangan kau berlaku curang!”

Akan tetapi, ketika ia telah tiba di depan pangeran itu, tiba-tiba Vayami menyerangnya dengan obor yang masih menyala. Kwee An terkejut karena serangan ini hebat juga dan dilayangkan ke arah pakaiannya. Cepat-cepat ia mengelak dan tahu-tahu obor di tangan Vayami yang lihai itu telah diserangkan pula ke arah mukanya!

Kwee An miringkan kepala dan selagi dia hendak membalas menyerang, tahu-tahu kaki Vayami telah berhasil menendang lututnya. Biar pun dia dapat miringkan kakinya hingga yang tertendang hanya di atas lututnya dan karena dia mengerahkan tenaga dalamnya maka pahanya tidak sampai terluka, akan tetapi karena tendangan itu keras, dan juga karena mereka berdiri di pinggir perahu, maka tak ampun lagi tubuh Kwee An terpelanting keluar perahu dan jatuh tercebur ke dalam air!

Cin Hai terkejut sekali. Akan tetapi ia tidak berdaya menolong karena Hai Kong Hosiang mendesaknya dengan hebat. Ia melihat betapa semua pengikut Vayami dan pangeran itu sendiri melompat ke dalam perahu-perahu kecil dan terdengar Vayami berseru,

“Hai Kong Bengyu, lekas kau melompat ke sini!”

Akan tetapi Hai Kong Hosiang mana dapat meninggalkan Cin Hai begitu saja. Anak muda ini maklum bahwa jika hwesio itu dapat melompat ke dalam perahu, maka selain musuh besar ini tidak dapat dirobohkan, juga dirinya berada dalam keadaan bahaya. Api di atas perahu telah mulai membesar dan bahkan kini sudah memakan tiang besar di tengah perahu!

Oleh karena ini, maka Cin Hai mengambil keputusan nekad dan menyerang mati-matian sehingga hwesio itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lari. Terpaksa Hai Kong Hosiang mengertak gigi dan melayani dengan sama sengitnya.

Masih terdengar beberapa kali suara Vayami memanggil Hai Kong Hosiang. Akan tetapi karena hwesio itu tak dapat ikut pergi, terpaksa Vayami dan orang-orangnya mendayung perahu mereka melawan arus yang besar dan kuat karena perahu besar di mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur mati-matian itu sudah hanyut ke tengah dan telah tiba di tempat yang airnya mengalir kencang.

Kwee An yang tercebur ke dalam air pun tak kuasa menahan bantingan air yang hebat dan terpaksa dia membiarkan dirinya terbawa hanyut sampai jauh. Baiknya dia pernah berlatih berenang pada Nelayan Cengeng, kalau tidak, mungkin dia akan mati di dalam permainan arus amat kuat itu!

Dia tak kuasa berenang ke pinggir karena arus amat deras dan sungai itu sangat lebar. Maka, ia hanya mempergunakan kepandaiannya untuk menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang dan membiarkan dirinya hanyut di permukaan air.

Sebentar saja ia terbawa hanyut jauh sekali dan setelah melalui sebuah tikungan, perahu besar di mana Cin Hai dan Hai Kong Hosiang bertempur sudah lenyap dari pandangan matanya. Dia masih melihat betapa perahu itu mulai berkobar, maka diam-diam Kwee An sangat mengkhawatirkan keselamatan Cin Hai.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)