PENDEKAR BODOH : JILID-17
Sungguh harus dia akui bahwa inilah lawan yang paling tangguh yang pernah dia jumpai, kecuali Hek Pek Moko. Kalau dibanding dengan Beng Kong Hosiang, yaitu suheng atau kakak seperguruan Hai Kong, hwesio ini bahkan jauh lebih tangguh. Apa lagi sabuk ular di tangan kirinya, sungguh-sungguh sukar dilawan karena berbahaya sekali.
Sebenarnya, ilmu kepandaian yang diwarisi oleh Cin Hai dari Bu Pun Su, boleh dibilang menjadi rajanya ilmu silat, karena ilmu ini membuat dia dapat mengetahui semua rahasia segala macam ilmu silat yang ada. Akan tetapi, oleh karena sebelum mempelajari ilmu kepandaian yang hebat ini Cin Hai belum mempunyai dasar-dasar ilmu silat lain, maka sekarang ia hanya mempunyai daya tahan yang sangat kuat saja, dan kurang kuat dalam hal menyerang atau boleh juga disebut kurang agresip.
Memang, daya tahannya luar biasa kuatnya dan tak sembarang tipu gerakan yang dapat merobohkannya. Akan tetapi sebaliknya daya serangnya lemah sekali oleh karena untuk dapat menyerang dia hanya dapat memetik dari jurus-jurus Ilmu Silat Liong-san yang dulu dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin, atau Ilmu Silat Lima Teratai dan Tarian Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu.
Paling banyak dia hanya dapat meniru gerakan lawan untuk membalas menyerang, akan tetapi sudah tentu saja gerakannya kurang mahir. Dan pula, apa artinya ilmu silat lawan digunakan untuk menyerang? Sudah tentu lawan itu sudah mengenal serangan ini dan amat mudah mengelak atau menangkisnya.
Maka meski pun Cin Hai dapat menghadapi Hai Kong Hosiang dengan baik, akan tetapi juga amat sukar baginya untuk dapat menjatuhkan lawan yang luar biasa tangguhnya ini. Memang dengan Tarian Bidadari, beberapa kali dia sudah berhasil menghantam pundak dan lengan Hai Kong Hosiang dengan sulingnya, akan tetapi hwesio ini mempunyai tubuh kebal sebab dia telah mempelajari dan mempunyai ilmu kebal yang disebut Kim-kang-san atau Pakaian Baju Emas. Juga lweekang hwesio ini telah cukup tinggi hingga sering kali bila suling Cin Hai menotok jalan darahnya, ia tidak mengelak, akan tetapi menggunakan tenaganya untuk menutup jalan darahnya itu sambil mengerahkan Kim-kang-san untuk menolak pukulan itu!
Diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali. Dia tidak menyangka bahwa Hai Kong Hosiang juga merasa kagum kepadanya karena hwesio ini mengakui di dalam hati bahwa apa bila pemuda ini sudah matang latihannya, tentu dia tidak akan sanggup menghadapinya lebih lama dari pada seratus jurus!
Sementara itu, kini seluruh permukaan perahu telah mulai berkobar dan bahkan api telah menjalar mendekati mereka yang sedang bertempur! Tiang besar di dekat mereka juga telah terbakar dan hawanya menjadi panas bukan main!
Pada saat itu, Hai Kong Hosiang tanpa disengaja menginjak sebuah papan yang terbakar sehingga sepatunya menginjak api panas, sedangkan pedang pada tangan Cin Hai telah disabetkan dengan hebat ke arah pinggangnya! Hwesio itu berteriak karena kaget, akan tetapi masih sempat menjatuhkan diri ke belakang sehingga papan yang terbakar itu kena tertindih tubuhnya dan padam.
Dalam kemurkaannya, hwesio itu lalu menggunakan kakinya menyapu tiang besar yang terbakar dan terdengarlah suara keras pada saat tiang yang telah terbakar itu tidak tahan tertendang kaki Hai Kong Hosiang dan menjadi roboh! Dengan mengeluarkan suara hiruk pikuk, tiang yang terbakar beserta layar yang masih menggantung di atasnya itu tumbang menimpa mereka berdua!
Cin Hai cepat melompat pergi ke kepala perahu dan terhindar dari pada bahaya tertimpa tiang yang besar dan berat. Hai Kong Hosiang juga hendak melompat, akan tetapi celaka baginya. Kakinya yang tadi dipergunakan untuk menyapu tiang secara kebetulan sekali terlibat oleh tali tambang yang besar, yaitu tali penarik layar yang bergantungan di tiang itu.
Oleh karena ini, gerakannya melompat membawa tiang itu dan layar di atasnya roboh ke arah dirinya! Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi tali itu seperti tangan yang kuat memegangi kakinya sehingga kakinya tertimpa tiang itu dan layar yang lebar serta tebal menyelimuti tubuhnya!
Dengan kekuatan Kim-kang-san yang dimilikinya, Hai Kong Hosiang masih berhasil pula menyelamatkan kakinya sehingga kaki itu tidak menjadi patah walau pun tertimpa tiang sebesar itu, akan tetapi dia menjadi sibuk karena sukar untuk keluar dari selimutan layar yang besar itu, sedangkan layar itu pun mulai berkobar dan termakan api!
Hai Kong Hosiang meronta-ronta, akan tetapi layar dan tiang itu sukar sekali dilepaskan dan ia menjadi gugup serta panik. Asap api telah masuk ke dalam selubungan layar dan membuat napasnya menjadi sesak. Dan pada saat itu, Hai Kong Hosiang tiba-tiba saja merasa takut! Ia merasa ngeri dan takut sekali menghadapi bahaya maut berupa api yang hendak membakar dirinya. Oleh karena ini, tak terasa pula ia memekik-mekik.
“Tolong...! Tolong… tolonglah jiwaku...!”
Pada saat itu Cin Hai sudah berdiri di kepala perahu dan telah bersiap untuk terjun ke air, meninggalkan perahu yang telah terbakar itu. Dia memandang ke arah Hai Kong Hosiang yang tertimpa tiang dan tertutup layar, dan ia merasa girang karena musuh besar ini pasti akan mampus terpanggang.
Tadinya ia bersiap sedia, karena jika hwesio itu dapat melepaskan diri dari tindihan layar, ia hendak mengirim serangan tiba-tiba untuk menamatkan riwayat musuh yang tangguh itu. Akan tetapi ia menjadi lega ketika melihat bahwa hwesio itu tidak mampu melepaskan diri dari pada kurungan layar dan tiang!
Cin Hai tersenyum, memasukkan pedang ke dalam sarung pedang, menyelipkan suling ke ikat pinggangnya dan hendak mengayunkan tubuhnya terjun ke air. Akan tetapi, pada saat itu telinganya mendengar jeritan Hai Kong Hosiang yang minta tolong!
Cin Hai berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu. Mendengar pekik minta tolong itu, segera lenyaplah perasaan permusuhan terhadap Hai Kong Hosiang. Pada saat itu yang terlintas dalam pikirannya hanyalah ada orang yang sedang terancam bahaya maut dan ia kuasa menolongnya, maka bagaimana ia dapat berlaku kejam dan tinggal berpeluk tangan saja melihat orang dimakan api? Ahh, hatinya tak sekejam itu dan ia menjadi tidak tega meski pun di waktu bertempur, dengan senang hati ia akan menancapkan pedangnya di ulu hati hwesio itu!
Tanpa banyak pikir lagi, Cin Hai segera melompat ke dekat layar dan tiang yang masih mengurung Hai Kong Hosiang, lalu dengan menggunakan sepatunya dia menginjak-injak api yang mulai membakar layar itu dari tubuh Hai Kong Hosiang.
Ternyata keadaan hwesio itu telah mulai payah karena selain api telah ada yang menjilat tubuhnya, juga ia telah dibuat tak berdaya oleh asap. Pertolongan yang datang tiba-tiba ini membuat ia dapat bernapas lagi dan ia duduk terengah-engah sambil terbatuk-batuk sedangkan kakinya masih tertindih tiang!
Melihat muka hwesio yang telah menjadi hitam karena asap dan api, kaki Cin Hai segera menendang pergi tiang yang menindih tubuhnya dan tanpa banyak cakap lagi dia lantas mengangkat tubuh Hai Kong Hwesio dari kurungan api. Dia melompat ke pinggir perahu dan selagi dia hendak menurunkan tubuh musuh itu, tiba-tiba dia merasa pundak kirinya sakit sekali dan terdengar suara Hai Kong Hosiang tertawa!
Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang telah menggunakan kesempatan ketika ia digendong oleh Cin Hai untuk menotok pundak Cin Hai di bagian jalan darah soat-hong-hiat! Totokan ini sebenarnya hebat sekali dan dapat mendatangkan kematian bagi Cin Hai, akan tetapi karena tenaga Hai Kong Hosiang telah berkurang, sedangkan Cin Hai tadi masih sempat menutup jalan darahnya walau pun sedikit terlambat, maka pemuda itu hanya menderita luka dalam yang cukup hebat sehingga ia merasa betapa setengah badannya sebelah kiri telah menjadi lumpuh.
Cepat Cin Hai menggunakan tenaga terakhir untuk melempar dirinya beserta Hai Kong Hosiang ke dalam air. Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua tubuh itu terbanting di air yang mengalir cepat itu.
Hai Kong Hosiang jatuh dengan terlentang sehingga untuk beberapa saat dia gelagapan. Akan tetapi hwesio ini telah mempelajari ilmu di dalam air, maka dengan cepat dia dapat membalikkan diri, kemudian dengan matanya yang telah menjadi pedas dan kabur akibat serangan api tadi, ia mencari-cari mangsanya.
Akan tetapi Cin Hai tidak nampak di situ. Selagi Hai Kong Hosiang mencari-cari dengan heran, tiba-tiba dari bawah permukaan air, sebuah lengan tangan menyerangnya dengan kekuatan yang luar biasa. Inilah Pukulan Petir Menyambar Awan yang dilakukan oleh Cin Hai dengan hati gemas.
Biar pun sebelah tubuhnya telah menjadi lumpuh, namun dengan mengeraskan hati dan mengumpulkan tenaga di tangan kanannya, Cin Hai dapat melancarkan pukulan hebat itu yang secara tepat menghantam punggung Hai Kong Hosiang. Pukulan ini dilakukan oleh Cin Hai dengan tangan kanan dan jari-jari terbuka dan hebatnya luar biasa hingga tenaga Cin Hai tinggal setengah bagian saja, dan biar pun dilakukan dari dalam air namun tubuh Hai Kong Hosiang yang besar itu sampai terpental ke atas air. Kepala dan tubuh Cin Hai tidak kelihatan dan hanya tangan kanannya saja nampak memukul dari dalam air, ada pun tangan kirinya sudah tak berdaya sama sekali.
Hai Kong Hosiang mengeluarkan jeritan ngeri dan merasa seakan-akan nyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya, kepalanya pusing sekali dan matanya menjadi gelap. Ia terbanting lagi ke dalam air dan tubuhnya hanyut terbawa air karena ia telah pingsan terkena Pukulan Petir Menyambar Awan itu.
Ada pun Cin Hai yang sudah merasa lelah sekali dan tubuhnya lumpuh sebelah, setelah melakukan serangan balasan yang hebat ini pun langsung menjadi pingsan dan tubuhnya hanyut di belakang tubuh Hai Kong Hosiang. Dalam keadaan pingsan Cin Hai tak merasa bahwa dia telah ditolong oleh kaki tangan Pangeran Vayami.
Juga Hai Kong Hosiang ditolong oleh pangeran itu. Keduanya lalu dibawa ke utara dan dibawa masuk ke dalam salah satu tempat kediaman pangeran itu yang memiliki banyak sekali gedung di daerah utara yang dibangun model gedung bangsa Han.
Berkat tubuhnya yang luar biasa kuatnya, sesudah mendapatkan perawatan dari seorang tabib Mongol, dalam beberapa hari saja luka yang diderita oleh Hai Kong Hosiang akibat pukulan Cin Hai telah dapat disembuhkan lagi.
Juga Cin Hai telah sadar dari pingsannya, akan tetapi dia merasa tubuhnya masih lemah sekali. Ia merasa heran kenapa ia mendapat perawatan demikian baiknya dari Pangeran Vayami dan diam-diam ia merasa bersyukur dan berterima kasih.
Ketika Hai Kong Hosiang sadar dan melihat bahwa Cin Hai masih hidup serta berada di tempat itu pula, dia serentak bangun dan hendak membunuh pemuda itu, tetapi Vayami mencegahnya. Hai Kong Hosiang adalah utusan kaisar yang ditugaskan menghubungi Pangeran Vayami yang berpengaruh, bahkan dia diberi tugas membawa surat undangan kepada pangeran itu, maka hwesio ini maklum bahwa Pangeran Vayami adalah seorang yang terhormat dan yang perintahnya harus ditaati karena pangeran ini merupakan calon tamu agung yang diundang ke istana kaisar.
“Hai Kong Bengyu, jangan salah paham,” kata pangeran ini dengan wajah berseri dan senyumnya yang manis. “Bukan aku sengaja membela dia karena aku membenarkan dia dan memusuhimu, akan tetapi aku membutuhkan tenaga dan kepandaiannya. Ketahuilah bahwa dia sudah terkena pengaruh madu merah dari tabibku dan sebentar lagi dia akan menjadi alat kita yang boleh dipercaya.”
Hai Kong Hosiang mengangguk-angguk dan ia membatalkan niatnya hendak membunuh pemuda tangguh yang hampir saja menewaskannya itu. Ia merasa sangat gembira akan muslihat Pangeran Vayami yang cerdik dan licin.
Ternyata di daerah utara terdapat banyak sekali obat-obatan yang sangat manjur dan ramuan obat yang luar biasa jahatnya, dan yang sama sekali tidak pernah dikenal oleh penduduk Tiongkok pedalaman. Pangeran Vayami mempunyai tabib tua yang ahli dalam hal obat-obatan bangsa Mongol dan di antara obat-obat yang mengandung racun luar biasa terdapat semacam obat yang disebut madu merah.
Madu merah ini memang madu dari bangsa tawon langka yang terdapat di lain bagian di dunia, dan hanya terdapat di daerah salju di utara. Madu merah ini bukanlah racun yang berbahaya bagi tubuh, akan tetapi mempunyai khasiat memabokkan dan dapat membuat orang menjadi lupa akan keadaan dirinya dan yang diberi minum madu merah ini akan menjadi manusia penurut yang tak dapat menguasai pikiran sendiri dan tahunya hanya menjalankan perintah orang lain yang mempengaruhinya. Kalau sekarang mungkin orang macam ini akan disebut manusia-manusia robot! Pangeran yang cerdik ini merasa kagum akan kepandaian Cin Hai, karena itu diam-diam dia menggunakan obat mujijat ini untuk mencengkeram Cin Hai dan memperalatnya!
Cin Hai mendapat perawatan yang luar biasa telaten dari tabib tua kepercayaan Vayami sehingga dengan mudah saja pemuda itu dapat diberi minum madu merah yang manis rasanya dengan alasan bahwa obat itu berguna untuk menguatkan tubuhnya. Memang benar tubuh Cin Hai menjadi kuat kembali, malah luka akibat totokan Hai Kong Hosiang telah sembuh.
Akan tetapi dia juga merasa makin hari makin malas dan semua hal yang sudah terjadi berangsur-angsur terlupa olehnya. Bahkan ketika sudah diperbolehkan keluar kamar dan melihat Hai Kong Hosiang, ia tidak mengenal lagi hwesio ini!
Cin Hai hanya merasa senang luar biasa tinggal di situ dan tidak mempunyai kehendak lain. Meski pikirannya telah dipengaruhi obat mujijat itu, tetapi tenaga dan kepandaiannya masih ada padanya. Hanya kepandaiannya serta julukannya saja yang dia masih ingat, yaitu ‘Pendekar Bodoh’!
Demikianlah, dengan cara keji sekali, Pangeran Vayami telah dapat menaklukkan Cin Hai yang semenjak itu telah menjadi seorang hambanya yang setia dan yang menurut akan segala perintahnya. Hal ini tak mengherankan karena pangeran itu selalu bersikap manis dan baik kepadanya, dan dengan pengaruh sihirnya yang cukup kuat ia dapat merampas pikiran Cin Hai dan dapat mempengaruhi pemuda itu. Selain Pangeran Vayami, tidak ada orang lain yang mampu mempengaruhi pemuda ini, karena betapa pun juga pemuda ini mempunyai batin dan dasar pelajaran yang kuat!
Sesudah tubuh Cin Hai dan Hai Kong Hosiang sembuh kembali, Vayami lalu membawa rombongannya itu menuju ke selatan, karena ia hendak memenuhi undangan kaisar yang hendak bersekutu dengannya.
Sesudah menyeberangi sungai, rombongan ini lalu melanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Pangeran Vayami memiliki seekor kuda putih yang tinggi besar dan yang punya tenaga luar biasa dan nampaknya liar. Kuda ini bukanlah binatang sembarangan dan dinamakan ‘Pek-gin-ma’ atau Kuda Perak Putih yang dapat berlari seribu li dalam sehari tanpa berhenti!
Pangeran yang cakap ini nampak gagah sekali naik kuda yang berbulu putih itu, sehingga jubahnya yang berwarna merah darah itu kelihatan sangat mencolok. Di sepanjang jalan pangeran yang tampan ini bersikap gembira sekali dan menyambut penghormatan para rombongan orang-orang Mongol dengan sikap ramah dan agung.
Memang hatinya sangat gembira dan girang karena kini ia telah memiliki seorang penjaga pribadi yang juga menunggang kuda bagaikan sebuah patung hidup di sebelahnya, yaitu Cin Hai! Wajah pemuda yang memang sudah nampat bodoh itu kini benar-benar terlihat bodoh sekali karena tidak menunjukkan perasaan apa-apa bagaikan orang sedang duduk di atas kuda sambil bermimpi!
Pada suatu hari, rombongan Pangeran Vayami tiba di sebuah kampung padang rumput dan mereka lalu memasang tenda di padang rumput, agak di luar kampung. Pada malam harinya, penduduk kampung yang berpenduduk campuran antara bangsa Han, Mongol dan Mancu, keluar menyambut Pangeran Vayami untuk menghiburnya.
Pangeran ini namanya sudah terkenal sekali dan banyak orang mendewa-dewakannya sebagai seorang Buddha hidup, bahkan banyak orang percaya bahwa siapa yang dapat menyenangkan hatinya atau memancing keluar senyum bibirnya yang manis, orang itu akan mendapat hadiah Nirwana atau Surga ke tujuh!
Oleh karena itu, maka semua penduduk, tua muda, lelaki dan perempuan, bahkan gadis kampung tidak ketinggalan menyerbu ke tempat pemberhentian rombongan itu. Mereka menghidangkan hidangan yang lezat-lezat dari daging domba, bahkan satu rombongan pemain musik memainkan perkakas mereka dan memainkan lagu rakyat.
Gadis-gadis bergembira ria dan menari di hadapan Pangeran Vayami yang memandang semua itu dengan wajah menyatakan bosan. Memang ia tak tertarik menonton tari-tarian itu, oleh karena gadis-gadis di kampung utara memang rata-rata berwajah kasar seperti laki-laki dan kulit kehitam-hitaman.
Tiba-tiba saja, ketika gadis-gadis itu masih menari-nari, berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di tengah-tengah kalangan gadis yang sedang menari itu tampak seorang gadis lain berbaju merah yang menari-nari pula. Akan tetapi tariannya berbeda dengan tarian para gadis kampung itu, dan wanita ini wajahnya demikian cantik jelita hingga Pangeran Vayami memandang dengan kedua mata terbelalak.
Gadis ini tidak saja memiliki kulit yang begitu halus dan putih laksana sutera, akan tetapi juga mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan serta gerak-geriknya lemah gemulai menarik hati! Tidak hanya para pemusik yang menjadi kagum dan saking gembiranya mereka lalu mainkan tetabuhan mereka lebih ramai lagi, akan tetapi juga para gadis yang tengah menari-nari itu menjadi demikian kagum sehingga mereka menghentikan tarian mereka dan kini hanya berdiri merupakan sederet barisan yang bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa-tawa mengikuti irama lagu sambil menikmati tarian Gadis Baju Merah itu.
Tiba-tiba saja Hai Kong Hosiang berseru di antara cahaya obor yang membuat wajahnya nampak menyeramkan, “Ang I Niocu...!”
Dia segera mencabut keluar senjatanya yang mengerikan itu. Akan tetapi Vayami yang duduk di dekatnya segera mengangkat tangan dan berkata,
“Hai Kong Bengyu, jangan sembarangan bergerak. Biarkan bidadari itu menari!”
Ucapan ini merupakan perintah, oleh karena pangeran itu benar-benar tidak suka melihat gangguan Hai Kong Hosiang. Karena ini, sambil menggigit bibirnya, Hai Kong Hosiang berdiri saja sambil menatap Ang I Niocu dengan mata merah.
Memang benar, yang datang itu adalah Ang I Niocu sendiri! Dara Baju Merah ini sudah dapat melihat Cin Hai berada dalam rombongan Pangeran Vayami, akan tetapi karena sikap Cin Hai mencurigakan, ia lalu sengaja memancing dengan tariannya.
Sambil menari dia mengerling ke arah Cin Hai. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan mendongkolnya ketika ia melihat wajah Cin Hai yang tersorot sinar obor itu menunjukkan seakan-akan pemuda itu tidak kenal kepadanya dan seakan-akan tariannya yang indah itu dalam pandangan Cin Hai hanyalah tarian seekor kodok meloncat-loncat yang tak ada harganya untuk dipandang.
Dalam kemendongkolannya, Ang I Niocu hendak marah, akan tetapi perasaan wanitanya yang halus itu dapat pula menduga adanya bahaya yang mengancam. Apa lagi ketika ia melihat wajah Hai Kong Hosiang yang berada di situ pula!
Aneh pikirnya, tentu telah terjadi sesuatu atas diri Hai-ji! Oleh karena ini, ketika ia melihat betapa sepasang mata pangeran muda itu tertuju padanya penuh kekaguman dan gairah, dan melihat pula betapa besar pengaruh pangeran itu sehingga berani membentak Hai Kong Hosiang, dia lalu menari lebih indah pula untuk membuat pangeran itu benar-benar mabok!
Pangeran Vayami memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Setiap hari ia melihat wanita-wanita yang buruk rupa, maka sekali ini Ang I Niocu yang demikian cantik jelita dan demikian indah tariannya, tak heran apa bila ia menjadi tergila-gila! Setelah Ang I Niocu menghentikan tariannya, pangeran itu bertepuk-tepuk tangan dan memuji,
“Bagus, bagus! Hebat sekali! Eh, nona yang cantik seperti bidadari, silakan kau datang ke mari!”
Dengan tindakan kaki yang menarik-narik kalbu Pangeran Vayami, Ang I Niocu kemudian menghampiri pangeran itu, sedangkan Hai Kong Hosiang berdiri di belakang pangeran itu bersiap sedia dengan hati curiga.
Ang I Niocu menjura dan memberi hormat dengan senyum manis bermain pada bibirnya yang merah.
“Nona, kau yang luar biasa ini siapakah namamu? Dan di mana tempat tinggalmu?”
“Sudah kukatakan tadi, dia ini adalah Ang I Niocu yang tersohor namanya!” kata Hai Kong Hosiang. “Gadis ini berbahaya sekali!”
Akan tetapi baik Pangeran Vayami mau pun Ang I Niocu tidak mempedulikan ucapan pendeta itu, dan Ang I Niocu menjawab dengan suaranya yang merdu, “Hamba bernama Kiang Im Giok dan tempat tinggal hamba tidak tentu karena sebenarnya hamba adalah seorang perantau.”
“Ahh, kau membawa-bawa pedang, tentu kau seorang kang-ouw juga bukan? Kebetulan sekali, aku pun suka pada orang-orang gagah dan maukah kau ikut dengan rombongan ini?”
“Pangeran sungguh berbudi mulia dan hamba hanya mohon berkah dari Pangeran yang suci ini.”
Mendengar ucapan ini Hai Kong Hosiang menjadi ragu-ragu. Benarkah gadis yang gagah ini pun percaya dan tunduk kepada pangeran ini? Sementara itu, Ang I Niocu mengerling ke arah Cin Hai, akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat wajah Cin Hai yang seperti mayat itu. Maka dengan hati berdebar-debar ia lalu berkata pula,
“Hamba telah kenal dengan Hai Kong Hosiang yang berdiri di belakang Paduka itu, malah hamba pernah kenal dengan pemuda ini. Mengapa mereka berdua juga berada dalam rombongan Paduka?” tanyanya dengan hati-hati sambil menunjuk kepada Cin Hai yang sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.
“Ha-ha-ha! Tak heran kau kenal mereka, karena mereka adalah tokoh besar di kalangan kang-ouw. Hai Kong Hosiang tuan rumahku yang mengantar aku berkunjung ke kerajaan, sedangkan pemuda itu adalah penjagaku yang setia. Ha-ha, marilah kita bicara di dalam, Nona, tak perlu kita membicarakan orang-orang ini.”
“Hamba hanya menurut kehendak Paduka,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum.
Dengan suara lantang Pangeran Vayami lalu membubarkan semua orang dan memberi berkah dengan kedua tangan dilambai-lambaikan, kemudian dengan berani sekali dia lalu memegang tangan Ang I Niocu yang halus lemas dan menggandeng gadis itu menuju ke kemahnya. Pangeran ini lalu memerintahkan kepada para pelayannya agar menyediakan meja perjamuan dan dia lalu mengajak Ang I Niocu makan minum dengan gembira.
Dengan menggunakan senyum dan kerlingnya yang menawan hati, Ang I Niocu berhasil memancing Pangeran Vayami untuk menceritakan pengalaman Cin Hai. Pengaruh arak telah membuat lidah pangeran itu menjadi fasih dan dia pun menceritakan sambil diseling kata-kata memuji-muji kecantikan Ang I Niocu.
Bukan main marahnya Gadis Baju Merah ini mendengar bahwa Cin Hai kini telah berada dalam pangaruh madu merah yang berbahaya. Tiba-tiba ia menendang meja yang ada di depannya dan sekali dia bergerak, dia sudah menangkap tangan Pangeran Vayami dan menempelkan pedangnya di leher pangeran itu. Pangeran Vayami menjadi pucat sekali dan tubuhnya gemetar, kedua kakinya menjadi lemas.
“Ang I Niocu penjahat perempuan! Sudah kuduga engkau memiliki niat buruk!” tiba-tiba terdengar bentakan di luar tenda.
“Mundur atau leher pangeran cabul ini akan kupenggal lebih dulu!” bentak Ang I Niocu.
Terpaksa sambil memaki-maki Hai Kong Hosiang mundur lagi dan keluar dari kemah.
“Lekas kau perintahkan agar kuda Pek-gin-ma dibawa ke sini!” Ang I Niocu memerintah sambil memutar lengan Pangeran Vayami.
Pangeran ini merasa kesakitan dan dengan suara megap-megap ia perintahkan orangnya untuk membawa kuda Pek-gin-ma ke situ. Setelah kuda putih yang indah itu didatangkan, Ang I Niocu memerintah pula,
“Sekarang kau panggil Cin Hai ke sini!”
Cin Hai tak akan mau datang kalau lain orang yang memanggil, maka setelah Pangeran Vayami memberi tahukan masalah ini kepada Ang I Niocu, gadis itu lalu memaksa dan mendorongnya keluar untuk mencari Cin Hai. Kebetulan sekali, Cin Hai tidak berada jauh di situ dan pemuda ini duduk di dekat api unggun sambil termenung.
“Cin Hai, kau ke sini!” Pangeran Vayami memerintah.
Bagaikan sebuah robot, pemuda itu bangun berdiri dan menghampiri Pangeran Vayami. Hati Ang I Niocu perih sekali melihat keadaan Cin Hai demikian rupa.
Sementara itu dengan bantuan sinar obor dan api unggun, Pangeran Vayami menatap serta memandang mata Cin Hai dengan tajam dan diam-diam dia mengerahkan tenaga sihirnya sehingga pada saat itu Cin Hai menjadi tunduk betul-betul dan berada di bawah pengaruhnya sama sekali.
Melihat Hai Kong Hosiang mendekat, Ang I Niocu membentak, “Kau berdiri jauh di sana, kalau tidak aku tak akan mengampunkan Pangeranmu ini!”
Terpaksa dengan mendongkol sekali Hai Kong Hosiang lalu mundur dan berdiri agak jauh sambil memandang dengan mata tajam. Ia maklum bahwa kepandaian Ang I Niocu tak boleh dibuat gegabah dan bahwa bukan hal yang mudah untuk menolong jiwa pangeran yang telah berada di bawah ancaman pedang.
Dengan tangan kanan masih memegang pedangnya yang ditodongkan kepada Pangeran Vayami, Ang I Niocu lalu melepaskan pegangan tangan kirinya dan kini ia menggunakan tangannya untuk memegang lengan Cin Hai. Akan tetapi, Cin Hai sama sekali tidak mau mempedulikannya dan tetap memandang pada Pangeran Vayami bagaikan seekor anjing memandang kepada tuannya, siap menanti perintah.
Tiba-tiba Pangeran Vayami berkata dalam bahasa Mongol yang artinya, “Tangkap wanita ini!”
Memang ia telah mengajar Cin Hai mengerti perintahnya dalam bahasa Mongol. Ada pun Ang I Niocu sama sekali tidak mengerti bahasa itu.
Mendengar perintah ini, tiba-tiba Cin Hai bergerak dan tahu-tahu ia telah memeluk Ang I Niocu dan sebelah tangannya memegang pergelangan tangan gadis itu yang memegang pedang. Ang I Niocu tak dapat berkutik dalam pelukan Cin Hai yang keras ini, maka gadis ini hanya dapat mengeluh,
“Hai-ji... aduh, Hai-ji...”
Aneh sekali, panggilan yang dikeluarkan oleh suara Ang I Niocu ini menusuk telinga dan menembus hati Cin Hai. Pada saat itu dia merasa seperti mendengar suara dari surga yang amat dikenalnya, suara yang membangunkannya dari alam mimpi dan membuat ia merasa bahwa hanya suara inilah yang harus ditaatinya.
Ini tidak aneh, karena dulu ketika dia masih kecil, memang suara panggilan yang keluar dari mulut Ang I Niocu dan yang biasa menyebut ‘Hai-ji’ atau ‘anak Hai’ inilah yang selalu berkumandang di dalam telinganya dan yang selalu dikenangnya sebagai panggilan yang paling mesra dan menyenangkan hati di dunia ini. Maka kenangan lama yang sudah menggores dalam-dalam di hatinya ini tidak mudah terhapus oleh pengaruh baru yang mempengaruhi pikirannya.
Tiba-tiba saja dia melepaskan pelukannya dan memandang kepada Ang I Niocu dengan bingung, tak tahu harus berbuat apa.
“Cin Hai tangkaplah wanita ini!” Sekali lagi Pangeran Vayami berseru.
Akan tetapi Ang I Niocu segera berkata, “Hai-ji, mari kau ikut aku!”
Ternyata suara Ang I Niocu ini lebih kuat mempengaruhi jiwa Cin Hai sehingga sekarang dia benar-benar berada di bawah pengaruh Ang I Niocu! Dengan wajah membayangkan kegembiraan, pemuda itu mengikuti Ang I Niocu.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara angin menyambar, dan Ang I Niocu berteriak,
“Hai-ji, mari kita binasakan hwesio binatang ini!”
Oleh karena tadinya pemuda ini patuh sekali kepada Pangeran Vayami, maka Pangeran Vayami tidak merampas pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai. Maka, ketika kini mendengar perintah Ang I Niocu, Cin Hai mencabut senjatanya dan menangkis serbuan Hai Kong Hosiang!
Ang I Niocu membantu dan terpaksa Hai Kong Hosiang berkelahi sambil mundur karena menghadapi keroyokan dua orang ini, ia merasa jeri! Ia maklum sepenuhnya bahwa jika dilanjutkan, ia tak akan menang menghadapi Cin Hai dan Ang I Niocu.
Kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu untuk membetot tangan Cin Hai ke arah kuda Pek-gin-ma yang masih berdiri di sana dan kendalinya dipegang oleh seorang pelayan pangeran. Pangeran Vayami tidak berani menghalangi karena ia maklum kalau Hai Kong Hosiang tidak berani menghadapi dua orang ini, apa lagi dia!
“Hai-ji, kau naik di belakang dan kau mempertahankan setiap serangan!” kata lagi Ang I Niocu yang lalu melompat ke atas kuda itu.
Cin Hai pun hanya menurut dan naik di belakang Ang I Niocu! Gadis itu menggunakan kakinya untuk menendang roboh pelayan yang memegang kendali dan dia lalu menarik kendali kuda Pek-gin-ma itu yang segera meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi ke atas, lalu berlari secepat angin!
Sambil mengucapkan sumpah serapah Hai Kong Hosiang lalu mengayunkan tiga batang piauw beracun ke arah mereka. Akan tetapi, dengan mengebut lengan bajunya, Cin Hai berhasil menyampok ketiga batang piauw itu ke tanah.
Malam itu terang bulan dan kuda Pek-gin-ma yang berbulu putih itu berlari cepat. Bulunya mengkilap tertimpa sinar bulan hingga ia benar-benar merupakan kuda yang mempunyai bulu bagaikan perak tulen!
Ang I Niocu mencabut sapu tangannya yang lalu digulungnya merupakan cambuk dan ia membujuk kuda Pek-gin-ma dengan mencambuk perlahan pada kuncungnya agar dapat berlari lebih cepat lagi. Kuda itu meringkik gembira dan ia benar-benar lari keras sekali seakan-akan keempat kakinya yang putih itu tidak menyentuh tanah! Sementara itu, Cin Hai duduk di belakang Ang I Niocu dengan anteng bagaikan sebuah boneka besar yang duduk diam sambil berdongak ke atas memandangi bulan!
“Hai-ji... Hai-ji... kau kenapakah...?” berkali-kali Ang I Niocu bertanya sambil menoleh dan khawatir melihat sikap Cin Hai yang sudah berubah menjadi manusia robot itu!
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab apa-apa, hanya termenung memandang bulan. Tapi akhirnya dia menjawab juga,
“Aku Pendekar Bodoh dan kau... kau... sahabatku yang harus kubela!” Hanya demikian ia menjawab dan selanjutnya ia tak dapat memikir apa-apa lagi.
Sebetulnya bagaimanakah maka Ang I Niocu, atau Dara Baju Merah yang gagah perkasa itu dapat tiba-tiba muncul di daerah utara ini dan kebetulan sekali dapat menolong Cin Hai? Untuk dapat mengetahui hal ini, baiklah kita menengok sebentar pengalamannya semenjak dia melarikan diri dengan Lin Lin dari keluarga Kwee…..
********************
Semenjak Ang I Niocu datang ke rumahnya, Lin Lin merasa tertarik dan suka sekali pada Nona Baju Merah ini sehingga ia mengajak Ang I Niocu tidur di kamarnya. Dan di dalam kamarnya, dengan terus terang dia mengeluarkan isi hatinya, dan menuturkan betapa dia dan Cin Hai telah saling mencinta.
Ia menceritakan pengalamannya dengan Cin Hai tanpa malu-malu lagi, tidak tahu sama sekali betapa kata-katanya semua itu merupakan sebuah senjata yang lebih tajam dari pada sebuah pedang pusaka yang menusuk-nusuk hati dan perasaan Ang I Niocu.
Akhirnya Lin Lin berkata sambil merangkul Ang I Niocu dan menangis,
“Cici yang baik, bayangkan betapa sedih hatiku ketika Engko Hai pergi meninggalkanku untuk membalaskan dendam ini. Selain merasa kecewa, aku pun merasa khawatir sekali akan keselamatannya. Bagaimana kalau dia sampai menemui bahaya? Kalau aku boleh ikut, meski kami berdua menghadapi bahaya maut dan sampai terbinasa sekali pun, aku merasa puas dan dapat mati dengan mata meram!”
Ketika Lin Lin tidak mendengar Ang I Niocu menjawab, ia lalu memandang dan melihat bahwa Nona Baju Merah itu pun menangis dengan sedihnya sehingga ia terisak-isak. Lin Lin menyangka bahwa Nona Baju Merah ini ikut merasa sedih dan terharu, maka ia lalu berbalik menghibur.
“Cici, kalau engkau sudi membawaku mengejar Hai-ko dan An-ko! Setidaknya kita akan dapat membantu mereka, bukan? Apa lagi dengan adanya kau yang lihai, aku tidak akan takut menghadapi siapa pun juga.”
Karena bujukan-bujukan ini akhirnya Ang I Niocu tak kuasa menahan lagi dan begitulah, dengan diam-diam mereka pada malam hari itu juga melarikan diri untuk menyusul Cin Hai dan Kwee An! Ang I Niocu dapat melihat bahwa cinta gadis ini terhadap Cin Hai besar sekali, dan kalau pemuda itu pun membalas cinta Lin Lin, sudah menjadi tugasnya untuk mempertemukan mereka kembali.
Bukankah ia mencinta pada Cin Hai dengan sepenuh jiwanya? Cintanya bukan terdorong oleh nafsu, akan tetapi ia betul-betul ingin melihat pemuda itu hidup bahagia di samping wanita yang dicintainya, dan menurut pandangannya, Lin Lin cukup pantas menjadi gadis pilihan Cin Hai.
Ang I Niocu yang telah berpengalaman itu dengan mudah dapat menduga bahwa Cin Hai dan Kwee An tentu menuju ke kota raja untuk mencari musuh-musuh besar itu, maka ia pun langsung mengajak Lin Lin menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan tiada bosannya ia memberi petunjuk ilmu silat kepada Lin Lin, bahkan memberi tahu tentang rahasia latihan lweekang yang lebih tinggi.
Ketika mereka tiba di kota raja, Ang I Niocu mendengar tentang penyerbuan Cin Hai dan Kwee An, dan tentang terbunuhnya empat orang dari Shantung Ngo-hiap dan dua orang perwira lain. Lin Lin mengucurkan air mata karena merasa gembira dan terharu. Ketika mendengar bahwa dua orang musuh besarnya, yaitu Hai Kong Hosiang dan Boan Sip masih belum terbalas dan kedua pemuda itu mengejar mereka ke utara, Lin Lin lalu minta kepada Ang I Niocu untuk mengejar ke utara juga.
Ang I Niocu menyetujui pula dan begitulah, pada keesokan harinya mereka melakukan pengejaran ke utara. Mereka tertinggal tujuh hari oleh Kwee An dan Cin Hai.
Pada suatu hari mereka tiba di pinggir Sungai Liong-kiang dan melihat dua orang sedang dikeroyok oleh sekumpulan perwira kerajaan. Dua orang ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng serta muridnya, yaitu Ma Hoa atau gadis puteri Ma Keng In yang berpakaian seperti laki-laki. Yang mengeroyok adalah tujuh orang perwira dan seorang hwesio yang gagah perkasa, karena hwesio ini bukan lain ialah Beng Kong Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah roboh di tangan Cin Hai.
Beng Kong Hosiang beserta tujuh orang perwira itu mendapat tahu bahwa kedua orang pemuda yang mengacau di Eng-hiong-koan telah mengejar ke utara, karena itu mereka merasa kuatir akan keselamatan Hai Kong Hosiang lalu melakukan pengejaran pula. Di pinggir Sungai Liong-kiang mereka melihat sebuah perahu kecil di mana duduk seorang tua yang berpakaian nelayan dan seorang pemuda tampan.
Walau pun para perwira itu mengenal Ma Keng In sebagai seorang perwira, akan tetapi mereka tidak mengenal Ma Hoa yang berpakaian laki-laki. Mereka menyangka bahwa pemuda ini tentulah seorang nelayan pula.
Melihat sikap nelayan yang memandang acuh tak acuh itu, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa orang tua itu tentulah seorang kang-ouw yang berkepandaian, karena itu setelah menjura dia berkata,
“He, kawan nelayan tua, tolonglah kami menyeberang sungai ini dengan perahumu, dan berapa saja upahnya yang kau minta, tentu pinceng bayar lunas!”
Nelayan Cengeng tertawa haha-hihi mendengar ucapan ini, kemudian menatap mereka baik-baik. Dia lalu menjawab,
“Hwesio yang bercampur gaul dengan segala perwira kerajaan, permintaanmu ini pantas sekali. Akan tetapi jawablah dulu. Kalian delapan orang dari istana ini hendak menuju ke manakah?”
Melihat sikap nelayan yang sama sekali tidak menghormati mereka, Beng Kong Hosiang yang menyangka bahwa nelayan itu tentu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka lalu menjawab, “Nelayan tua, ketahuilah bahwa pinceng adalah Beng Kong Hosiang yang menjadi kepala penjaga dari kelenteng di istana dan menjadi penasehat dari kaisar sendiri. Maka jangan kau banyak bertanya lagi dan seberangkanlah pinceng bersama semua ciangkun ini.”
Mendengar nama ini, terkesiaplah hati Nelayan Cengeng dan Ma Hoa. Mereka sudah mendengar dari Kwee An bahwa hwesio ini adalah suheng dari Hai Kong Hosiang yang pernah bertempur dengan kedua pemuda itu, maka mereka segera bisa menduga bahwa rombongan ini tentulah sedang mengejar Cin Hai dan Kwee An yang sudah melanjutkan perjalanan pada beberapa hari yang lalu.
“Beng Kong Hosiang, apa bila kau tidak memberi tahu maksud kepergianmu ke utara ini, terpaksa aku menolak untuk menyeberangkan kalian.”
Seorang perwira yang berangasan menjadi marah dan membentak,
“He, tua bangka! Tidak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan para perwira kaisar? Apakah kau ingin mampus? Hayo, seberangkan kami dan jangan banyak tingkah lagi!”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar kekasaran ini, lalu menjawab,
“Perahu ini adalah perahuku, dan hanya aku yang berhak menentukan, apakah kalian boleh atau tidak memakai perahu ini. Sekarang aku katakan tidak boleh dan kalau kalian hendak menyeberang, gunakan saja lain perahu!”
Melihat sikap ini, Beng Kong Hosiang dapat menduga bahwa nelayan tua itu tentu bukan orang sembarangan. Kalau saja di situ terdapat lain perahu tentu ia tidak akan melayani lagi. Akan tetapi di situ tak ada perahu lain dan perahu nelayan itu hanyalah satu-satunya yang ada. Maka ia lalu berkata dengan suara halus,
“Sahabat, mungkin karena kita belum berkenalan, maka kau tak sudi menolong. Bolehkah pinceng mengetahui namamu yang mulia?”
Melihat sikap pendeta ini, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa geli sekali sehingga kedua matanya keluar air mata.
“Ha-ha-ha-ha! Ternyata Beng Kong Hosiang dapat juga merendahkan diri. Sungguh lucu! Ketahuilah, aku hanyalah seorang nelayan tua yang malang-melintang di sungai ini untuk mencari ikan. Aku jauh lebih suka berdekatan dengan ikan-ikan dari pada dengan segala perwira tukang pukul dan aku lebih tak suka melihat hwesio-hwesio yang bergelandangan dengan tukang-tukang pukul itu, karena hwesio yang demikian ini tentu bukan hwesio baik-baik!”
Bukan main marahnya ketujuh perwira itu mendengar makian ini, akan tetapi Beng Kong Hosiang dapat mengendalikan perasaannya dan dia segera bertanya dengan rasa heran, “Apakah kau ini Si Nelayan Cengeng?”
“Ha-ha-ha, aku tertawa atau menangis menurut keadaan dan waktuku, apa sangkutannya dengan kau?” jawab Nelayan Cengeng itu.
Jawaban yang tidak karuan ini menguatkan dugaan Beng Kong Hosiang karena ia pernah mendengar bahwa Nelayan Cengeng adalah orang aneh yang kadang-kadang membawa tingkah seperti orang gila.
Sementara itu, ketujuh perwira yang telah mencabut senjata segera mendekat ke pinggir perahu dan membentak, “Orang tua, kau lekas keluar dari perahu dan berikan perahurnu kepada kami untuk dipakai menyeberang dan jangan banyak cakap lagi!”
Ma Hoa semenjak tadi menahan marahnya, kini ia pun melompat keluar dari perahu ke darat sambil menghunus pedangnya. Ketujuh perwira itu menyerbu kepada Ma Hoa dan segera pemuda itu terkurung rapat.
Nelayan Cengeng tertawa bergelak dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menghadapi Beng Kong Hosiang. Pendeta ini tidak mau memperlihatkan kelemahannya dan ia segera menerjang dengan senjatanya yang aneh sekali, yaitu sebatang pacul. Nelayan Cengeng mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah hebatnya, yaitu sebatang dayung yang terbuat dari pada kayu hitam dan keras.
Kepandaian Nelayan Cengeng memang sangat tinggi dan tenaganya besar sekali, maka sebentar saja Beng Kong Hosiang telah terdesak oleh gerakan dayung yang mengamuk bagaikan seekor naga sakti menyambar-nyambar itu. Melihat hal ini, maka dua orang perwira segera membantunya dan yang lima orang lain masih saja mengeroyok Ma Hoa yang segera terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali.
Sebenarnya Nelayan Cengeng sama sekali tidak terdesak. Akan tetapi ilmu pacul Beng Kong Hosiang yang cukup hebat itu, disertai bantuan dua orang perwira yang terpandai, membuat ia tidak dapat membantu muridnya yang terdesak.
Dan pada saat itulah Ang I Niocu dan Lin Lin tiba di tempat itu. Ketika Ang I Niocu melihat bahwa yang mengeroyok nelayan tua dan pemuda cakap itu adalah rombongan perwira istana dan seorang hwesio yang tangguh, tanpa bertanya ia telah bisa memilih pihaknya.
Ia lalu berbisik kepada Lin Lin, “Kau bantulah pemuda itu!”
Kemudian sambil mencabut pedangnya, Ang I Niocu melompat dan menjadi sebuah sinar merah yang cepat sekali menggempur Beng Kong Hosiang dari samping sambil dibarengi teriakannya, “Hwesio penjilat kaisar, jangan kau menjual kesombongan di sini!”
Pedang Ang I Niocu berkelebat-kelebat membuat Beng Kong Hosiang terkejut sekali.....
Komentar
Posting Komentar