PENDEKAR BODOH : JILID-28


“Siluman!” bentaknya dengan hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad.

Tubuhnya berputar-putar di atas kepala dan kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi oleh karena kini Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini khusus diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur. Kaki yang tadinya harus menyerang ke pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai.

Hai Kong Hosiang benar-benar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru keras dan berdiri lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga sudah berdiri dan menyerangnya dengan hebat.

Menghadapi Pek-in Hoat-sut dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tak kuat menahan lagi dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri anak muda itu menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara lalu roboh terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.

Sebelum Cin Hai sempat mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi jiwa hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini hendak membalas dendamnya oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang, dan kini sambil memekik-mekik marah dia menyambar dan mematuk ke arah kedua mata Hai Kong Hosiang.

Biar pun kedua kaki tangannya telah lumpuh, namun hwesio ini masih mempunyai tenaga untuk mengguling-gulingkan tubuhnya sehingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak yang hendak mematuk matanya.

Cin Hai melangkah mundur, kemudian berdiri di dekat Pek-gin-ma yang masih enak-enak makan rumput. Sambil bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan berkata,

“Kong-ciak-ko, jangan kau habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu.”

Setelah beberapa kali menggulingkan tubuhnya untuk menghindarkan sepasang matanya dari serangan Merak Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah juga. Sambil mengeluarkan jeritan ngeri, Hai Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi dia terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing dari Merak Sakti itu telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta!

Pada saat itu pula terdengar seruan girang, “Hai-ko!”

Cin Hai cepat berpaling dan melihat bahwa yang berseru itu tak lain adalah Lin Lin! Gadis ini ternyata tadi sudah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh Hai Kong Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan Yousuf untuk membantunya, akan tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke dalam jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak sudah datang membelanya.

“Lin Lin...!” Cin Hai berseru girang sekali. Mereka lalu saling berpegangan tangan dengan hati penuh kebahagiaan. “Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang sudah ditanamnya sendiri!” Mereka sambil berpegang tangan lalu menonton betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.

Setelah berhasil membalas sakit hatinya, Merak Sakti terbang melayang ke angkasa dan memekik-mekik girang. Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat itu. Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin Hai.

Melihat Hai Kong Hosiang sudah rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi, Kwee An segera mencabut pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu.

Akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa menjerit, “Koko, jangan!”

Kalau orang lain yang mencegah, mungkin takkan dihiraukan oleh Kwee An yang sedang merasa marah sekali. Akan tetapi suara Ma Hoa ini memiliki pengaruh yang melemaskan tubuhnya dan memadamkan api kemarahannya.

“Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini supaya jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!”

Kwee An memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan segera berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.

Yousuf tertawa. “'Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang memiliki pribudi tinggi. Jangan terlalu mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!”

Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya untuk mendekati Yousuf. “Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah angkatku!”

Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf.

Mendadak tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak, “Bangsat-bangsat rendah, kalian kira aku tak akan dapat membalas dendam? Tunggulah pembalasanku!”

Sambil memaki-maki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang amat dalam!

“Nah, begitulah hukuman seorang jahat!” kata lagi Yousuf dan dia lalu mengajak mereka semua kembali ke rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.

Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.

Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandangan mata yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih mereka.

Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan sehingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,

“Lin Lin, kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang sudah mengorbankan jiwanya dalam usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biar pun dia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia juga meninggalkan sesuatu untuk kita buat sebagai kenangan.”

Sesudah berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang dia temukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya.

“Enci Im Giok....” bisiknya pelan, “kau... kau di manakah?” Kemudian, matanya terbelalak memandang kepada Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat jenazahnya dengan mata kepala sendiri aku tidak percaya jika seorang seperti dia dapat meninggal dunia!”

Cin Hai menghela napas dan menjawab lirih, “Mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi, menghadapi ledakan dan kebakaran hebat semacam itu, manusia manakah yang sanggup menyelamatkan dirinya?”

Untuk beberapa lama mereka berdiam diri saja, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa untuk keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayangi. Kemudian, sesudah keharuan hatinya agak mereda, Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya mengenai pertemuannya dengan Bu Pun Su dan tentang pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,

“Hai-ko, Suhu-mu berpesan agar supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang padaku, karena setelah aku memiliki pedang ini aku berhak pula mempelajari ilmu pedangnya.”

Cin Hai menghela napas dan berkata, “Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu, aku diharuskan bersumpah.”

“Aku pun bersedia bersumpah!” memotong Lin Lin sambil cemberut.

Cin Hai tersenyum. “Bukan begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, siapa pun juga orang itu.”

“Apa kau tidak percaya kepadaku?” Lin Lin memotongnya lagi.

Cin Hai memegang lengan kekasihnya. “Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak menyatakan kepadamu bahwa apa bila bukan atas kehendak Suhu sendiri, walau pun di dalam hati aku ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku tidak akan berani. Sekarang Suhu bahkan menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku merasa amat girang dan berbahagia! Akan tetapi, oleh karena telah menjadi keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, sungguh pun Suhu tidak menyaksikan sendiri, akan tetapi kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi seorang murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!”

Lin Lin mengangguk girang. Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan dua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang nyaring dan merdu, dara jelita itu bersumpah,

“Teecu Kwee Lin, dengan disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, dan disaksikan pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah bahwa kalau teecu sudah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu akan teecu gunakan semata-mata untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama hidup yang menderita, dan untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat.”

Cin Hai menyaksikan sumpah ini sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguh-sungguh. Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit itu.

Keadaan di bukit itu demikian indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali. Mereka mengambil keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua orang gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.

Dan mulai keesokan harinya Cin Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang dia dapatkan dari Bu Pun Su. Akan tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana yang sudah dia miliki, bukanlah pelajaran yang dapat dipahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran ilmu pedang yang dulu sudah diciptakannya sendiri itu.

“Apakah namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?” tanya Lin Lin.

Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia telah ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah berjasa ketika digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh, akan tetapi sampai sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.

“Ehh, kenapa kau hanya bengong saja?” Lin Lin bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu pedang ini, masa tidak tahu namanya?”

“Lin-moi, bayi yang baru terlahir tidak membawa nama pula.”

Lin Lin tertawa geli. “Jadi kau menganggap ilmu pedangmu ini seperti bayi? Kalau begitu kau terlambat memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan dia sudah jenggotan masih belum mempunyai nama!”

Cin Hai tertawa juga mendengar kelakar ini, kemudian dia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,

“Lin-moi, ilmu pedang ini kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku tak akan bisa menciptakan kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku mendapat bantuan yang amat berharga dari daun-daun bambu.”

Lin Lin merasa heran sekali mendengar ini, sehingga Cin Hai harus menceritakan bagai mana dia mencipta ilmu pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan untuk memperindah kiam-hoatnya.

“Aku sudah mempelajari Tari Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku pun suka akan seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan seni tari, atau boleh kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak saja mempunyai gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi juga memerlukan bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna. Bedanya antara keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dengan ilmu silat adalah bahwa tarian hanya menggambarkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan kaki tangan yang seluruhnya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat, baik dalam menyerang dan menangkis atau mengelak.”

“Eh, ehh, Hai-ko, biar pun uraianmu itu amat menarik hati, akan tetapi telah melantur jauh dari pada inti percakapan kita semula,” kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat betapa pandangan mata pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun. “Kalau kau bercakap seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek saja.”

Cin Hai bagaikan terbetot kembali dari alam renungan dan turut tersenyum pula. “Oh ya, kita sedang mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang terbaik? Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?” ia lalu mencela sendiri.

Tak tertahan pula geli hati Lin Lin hingga ia tertawa. “Bagaimana sih kau ini? Berbantah-bantah seorang diri, seolah-olah dalam dirimu terdapat dua orang yang sekarang sedang bertengkar!”

“Biarlah kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu saja!”

Sepasang mata Lin Lin yang indah itu bersinar gembira. “Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu Pedang Daun Bambu! Aneh seperti... penciptanya!”

Cin Hai memandang dengan mata terbelalak. “Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?”

“Memang, aneh sekali! Karena di seluruh dunia ini tidak mungkin aku berjumpa dengan seorang pemuda seperti engkau. Engkau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?”

“Kalau begitu sama saja dengan kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan gadis seperti kau, semanis kau, secantik kau, dan se... nakal engkau!”

Lin Lin mengulurkan tangannya dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan hati beruntung.

“Sudahlah, Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau saja, sampai kapan engkau akan dapat menghafal pelajaran Kiam-hoat-mu?”

“Tapi aku tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah sehingga aku menjadi bangga, tetapi apa bila lawan yang kalah itu menanyakan nama ilmu pedangku, bukankah kebanggaanku akan musnah dan terganti rasa malu bila aku menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah dapat mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja? Murah sekali!”

“Apa yang murah?”

“Daun bambu itu!”

Cin Hai hanya tertawa. “Kalau begitu, biarlah ilmu pedangku ini akan dirubah sedikit untuk sekalian disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang pendek ini. Kemudian, setelah kau dengan aku menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi nama sendiri. Bagaimana?”

Bersinar-sinar mata Lin Lin mendengar ini. “Bagus! Hai-ko! Bagus sekali, bahkan aku sudah dapat nama itu!”

Cin Hai terheran. ”Sudah ada namanya? Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama! Apakah namanya?”

“Namanya Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu.”

Cin Hai merasa girang karena menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali. Begitulah, mulai saat itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, namun diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang pendek di tangan Lin Lin.

Memang gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan pedang panjang, oleh karena pedang pendek yang merupakan sebilah belati atau pisau itu harus digunakan lebih cepat supaya jangan didahului oleh ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus dipergunakan dalam pertempuran secara mendekat dan rapat baru dapat berhasil, dan ini pun ada kebaikannya, karena dalam menghadapi seorang lawan yang bersenjata toya, lebih menguntungkan apa bila menghadapinya secara rapat sehingga gerak senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah tentu hal ini membutuhkan keberanian dasar dan ketenangan serta kewaspadaan, juga terutama sekali harus memiliki ginkang (ilmu meringankan badan) yang tinggi hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.

Akan tetapi, Lin Lin memang sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta ginkang-nya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan lweekang dan ginkang, maka dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.

Tak hanya Cin Hai dan Lin Lin yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan Ma Hoa juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan tetapi penuh kesopanan dan jangankan dalam perbuatan, bahkan di dalam pikiran pun sama sekali tidak terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan.

Keadaan ini membuat Yousuf merasa girang dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti halnya orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya timbul juga perasaan curiga dan tidak senang melihat pergaulan yang bebas itu, yang tidak dapat dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi orang-orang gagah untuk bergaul secara bebas.

Akan tetapi, melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi amat kagum. Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk menjadi jodoh masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan jsama-sama sopan pula!

Biar pun selalu memilih tempat terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalan-jalan di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil membicarakan mengenai ilmu silat. Tidak jarang mereka berlatih bersama, saling mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat itu, tingkat kepandaian Kwee An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka dia lalu memberi pelajaran kepada kekasihnya itu.

Telah beberapa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya. Rambutnya yang amat indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi sejak malam terang bulan pada waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk.

Angin gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba saja ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali dia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang sedang berdiri memandang padanya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,

“Jangan... jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja...”

“Eh, ehh, kau kenapa, An-ko?” tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.

“Kau... kau nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam berombak-ombak di sekitar lehermu dan melambai-lambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa, kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan, jangan kau sanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!”

Mata Ma Hoa sampai bertitik dua butir air mata karena merasa amat terharu dan girang mendengar pujian yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu dia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya lagi. Tentu saja dia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa dia lebih suka mengurai rambutnya.

Lin Lin dan Cin Hai, begitu pula Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur.

Pada suatu hari, pada saat Kwee An bersama Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati keindahan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru muncul sehingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu berlari cepat sekali, tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi.

Keduanya lalu berdiri menunggu dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu. Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjang terurai tertiup angin.

Di samping berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali. Potongan baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasanya dipakai orang. Juga kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah bawah hwesio gundul itu.

Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun sudah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menuju ke arah kedua anak muda itu. Setelah sampai di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,

“Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?”

Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.

“Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang berlaku hati-hati karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.

“Ehh, siapakah nama Nona yang cantik bagaikan bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah, alangkah bagusnya,” kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum.

Suaranya juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu. Akan tetapi tak perlu disangsikan lagi bahwa ia adalah seorang pria, sebab selain potongan tubuhnya yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di lehernya yang tak akan terdapat pada leher seorang wanita.

Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala-nyala. Dia hendak menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat padanya agar supaya dia bersabar.

”Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?”

Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.

“Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?”

Tiba-tiba saja mata hwesio itu terbelalak dan dia tertawa terbahak-bahak dengan girang. “Ha-ha-ha! Dicari-cari sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!”

Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tidak pernah mereka sangka bahwa kiranya hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!

Kwee An melompat maju dengan marah. “Hwesio tua! Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah kau dan mengapa kau datang-datang mengandung niat yang buruk dan jahat?”

“Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku itu telah terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?” Sambil berkata begini, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak. “Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam terhadap Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang telah membunuh Pangeran Vayami!”

Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan ini. “Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat? Pantas muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Ada pun pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!”

“Bagus!” Bo Lang Hwesio membentak marah dan dia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan kilat!

“Bo Lang Suhu, jangan kau bunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce sambil menyerbu dan menyerang Kwee An.

“Ha-ha-ha, dasar kau mata keranjang!” kata Bo Lang Hwesio.

Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa lweekang hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka dia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk melompat ke pinggir dan mengelak.

Sementara itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang begitu besarnya sehingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia segera membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini lawannya bukan orang lemah.

Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka. Oleh karena itu, ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya.

Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak mau memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat. Dengan ilmu silatnya yang tinggi Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke Ce, bahkan pada saat dia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama sekali itu.

Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali sehingga gadis ini makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa kuatir sekali, maka dia pun segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan sambil membarengi memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda rambut panjang itu melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya tadi.

Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk cepat melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru, “Hoa-moi, hati-hati di belakangmu tebing!”

Sambil berseru demikian, dia lantas menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum!

Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An mempunyai ilmu kepandaian cukup lihai, segera mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke belakang itu!

Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tidak akan dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An sudah memiliki ketenangan serta kepandaian yang hampir sempurna, maka pada waktu merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, dia berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit seperti seekor burung walet. Cara menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.

Akan tetapi, selagi tubuh Kwee An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan atau dorongan kedua telapak tangannya dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An merasa betapa besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya masih terapung di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah sana tebing.

Ma Hoa menjerit lagi dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia pun telah menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur dalamnya.

Pada saat Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusul dirinya, ia segera mengulur tangannya. Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya lalu meluncur terus ke bawah sambil saling berpegangan tangan. Entah kenapa, setelah mereka berpegang tangan, rasa takut karena terjatuh itu lenyap sama sekali.

Inilah daya rasa cinta yang besar dan dia mengalahkan segala rasa takut. Bahkan maut sendiri tidak dapat melenyapkan perasaan sentosa dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta…..

********************

Melihat betapa Ma Hoa ikut meloncat ke dalam jurang yang curam itu, Ke Ce menyatakan penyesalannya. “Sayang... sayang sekali…,” katanya. Akan tetapi sebaliknya Bo Lang Hwesio tertawa bergelak.

“Boan Sip, muridku!” teriaknya bagaikan gila sambil berdongak ke angkasa memandang awan, “seorang pembunuhmu telah tewas, kau terimalah nyawanya, dan sekarang tinggal yang seorang lagi!”

“Pendeta jahat dan rendah! Kau apakan kedua anak muda itu?” tiba-tiba terdengar suara yang keras dan Yousuf yang berlari mendatangi telah berada di situ.

Dari jauh tadi dia telah melihat betapa Kwee An dan Ma Hoa terguling ke dalam jurang, maka alangkah marah dan terkejutnya. Ketika ia memandang kepada pemuda berambut panjang itu, ia berkata lagi, “Hm, Ke Ce, kau juga menempuh kejahatan, apakah kau tidak takut akan tertimbun oleh dosa?”

Melihat kedatangan Yousuf, Ke Ce menjadi marah sekali. “Bangsat rendah!” ia memaki. “Kaulah yang berdosa besar, kau telah merintangi kehendak Kakanda Vayami yang suci, bahkan kau telah memberanikan diri untuk berusaha merampas Pulau Kim-san-to!”

Sambil berkata demikian, Ke Ce lalu menerjang dan menyerang dengan sengit. Yousuf yang merasa gelisah memikirkan nasib Kwee An dan Ma Hoa, segera menyambutnya dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Melihat bahwa kegesitan dan tenaga orang Turki ini masih mengatasi Ke Ce, Bo Lang Hwesio tidak mau membuang waktu lagi dan segera maju mengeroyok.

“Majulah, majulah! Biar kubinasakan sekalian kau hwesio jahat, untuk membalaskan dua anak muda itu!” teriak Yousuf dengan gemas karena kalau dia teringat akan kedua anak muda yang dilihatnya terguling ke dalam jurang tadi, rasanya dia mau berteriak keras dan menangis.

Akan tetapi, dia segera terkejut sekali oleh karena ilmu kepandaian dan tenaga hwesio gundul ini sungguh lihai sekali. Baru menghadapi Ke Ce saja, mungkin setelah bertempur lama baru dia akan dapat mengalahkannya, apa lagi sekarang ditambah dengan Bo Lang Hwesio yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi lagi.

Tanpa terasa lagi Yousuf lalu mengumpulkan khikang-nya dan berseru memanggil, “Lin Lin…! Cin Hai...! Lekas ke sini...!”

“Ha-ha-ha! Kau memanggil kawan-kawanmu, ha-ha-ha!” Ke Ce menyindir dengan tertawa menghina, “Panggillah semua agar lebih puas hatiku membasmi kau sekalian semua kaki tanganmu.”

Akan tetapi Bo Lang Hwesio menjadi girang sekali pada waktu mendengar nama Lin Lin disebut. Akan terlaksana agaknya usaha membalas dendam kali ini. Kalau benar-benar yang bernama Lin Lin itu adalah Kwee Lin pembunuh muridnya, maka akan bereslah tugasnya membalas dendam.

Teriakan Yousuf itu dilakukan dengan tenaga khikang sepenuhnya, karena itu suaranya bergema keras dan dapat terdengar sampai di tempat jauh. Ketika itu, Lin Lin dan Cin Hai sedang berlatih ilmu pedang di dekat rumah, maka ketika mendengar teriakan memanggil ini, keduanya terkejut sekali.

Lin Lin lalu segera meloncat tanpa membuang waktu lagi, sambil membawa Han-le-kiam di tangan kanannya. Cin Hai juga lalu meloncat bahkan ia mendahului Lin Lin oleh karena ia maklum bahwa Yousuf berada dalam bahaya. Pendengarannya yang lebih tajam dari pada pendengaran Lin Lin dapat menangkap suara yang penuh kecemasan itu.

Cin Hai yang datang terlebih dahulu dari pada Lin Lin, ketika melihat Yousuf didesak dan dikeroyok dua oleh seorang hwesio serta seorang pemuda gagah yang berpakaian aneh dan berambut panjang, tanpa banyak cakap lagi lalu menyerbu karena ia melihat betapa kedua orang lawan Yousuf itu tangguh dan hebat ilmu silatnya.

Ia tidak mau mencabut pedangnya karena melihat betapa ketiga orang itu pun bertempur dengan tangan kosong dan memang menjadi pantangan bagi Cin Hai untuk melawan musuh yang bertangan kosong dengan menggunakan senjata. Apa lagi memang dengan kedua tangannya dia cukup kuat menghadapi musuh yang bagaimana lihai pun, maka kalau tidak sangat terpaksa, dia pun tidak mau menggunakan Liong-coan-kiam.

Sebaliknya, pada saat Bo Lang Hwesio dan Ke Ce melihat sepak terjang anak muda ini, mereka terkejut sekali karena baik kegesitan mau pun tenaga Cin Hai benar-benar luar biasa, dan membuat mereka menjadi gentar! Bo Lang Hwesio menjadi penasaran oleh karena belum pernah dia melihat seorang yang masih begini muda dapat memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka dia kemudian mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan ilmu kepandaian untuk menghadapi Cin Hai seorang diri dan pertempuran berjalan seru dan hebat!

Tak lama kemudian sampailah Lin Lin di tempat pertempuran dan begitu melihat bahwa yang sedang bertempur dengan Cin Hai adalah hwesio tua yang telah dikenalnya sebagai guru Boan Sip, dia segera berteriak keras, “Hai-ko, iblis tua itu adalah Bo Lang Hwesio, suhu dari Boan Sip yang jahat!”

Cin Hai terkejut sekali dan tanpa terasa ia melompat mundur. Juga Bo Lang Hwesio yang melihat Lin Lin, segera bertanya, “Apakah kau yang bernama Kwee Lin dan yang telah membunuh muridku?”

“Benar!” Lin Lin menjawab tanpa merasa takut sedikit pun juga. “Aku dan Ma Hoa sudah menghancurkan kepala Boan Sip, kau mau apa?”

“Celaka dan sungguh sayang,“ Ke Ce yang juga berhenti sebentar dan bersama Yousuf memperhatikan percakapan mereka, tiba-tiba berkata, “Mengapa musuh-musuhmu begini cantik-cantik seperti bidadari, Bo Lang Suhu? Celaka, celaka dan sayang sekali!”

“Anak muda!” berkata Bo Lang Hwesio kepada Cin Hai. “Kau mendengar sendiri bahwa Nona itu adalah pembunuh muridku, karena itu janganlah kau turut campur. Biarkan aku bertempur mengadu jiwa dengan dia!” Ucapan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia merasa jeri terhadap Cin Hai yang lihai.

Akan tetapi sambil tersenyum, Cin Hai menjawab, “Bo Lang Hwesio, ketahuilah bahwa kalau kiranya aku bertemu dengan muridmu itu, aku pun tentu akan membunuhnya untuk yang kedua kalinya! Muridmu adalah pembunuh keluarga nona ini, dan kebetulan sekali ibu nona ini adalah bibiku pula! Muridmu sudah membunuh keluarganya dan dia telah membalas dan membunuh muridmu yang murtad itu, bukankah ini sudah pantas? Kalau sekarang kau hendak membela murid jahat itu, maka banyak kemungkinan semua orang akan menuduh bahwa kaulah orangnya yang salah dalam mendidik murid itu! Peribahasa menyatakan bahwa pohon yang tidak sehat menghasilkan buah yang masam, itu berarti bahwa guru yang buruk tentu menjadikan muridnya jahat pula.”

Merahlah muka Bo Lang Hwesio mendengar ini karena marahnya.

“Jangan banyak cakap, kalau kau mau membela perempuan ini, pinceng pun tidak takut!”

“Hai-ko, biarlah aku melawan sendiri pendeta siluman ini dengan pedangku!” seru Lin Lin.

Dan Cin Hai yang maklum bahwa gadis ini tentu hendak mencoba Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut yang baru dipelajarinya, segera berpikir bahwa baik juga membiarkan gadis itu mencoba ilmu pedangnya karena dia telah memberi latihan ginkang dan lweekang. Akan tetapi oleh karena ilmu pedang itu baru saja dipelajari sehingga tentu saja belum matang dan sempurna ia lalu berkata,

“Baik, Moi-moi, kau lawanlah dia, bila dia terlalu berat bagimu, baru aku yang akan turun tangan!”

Dengan seruan garang, Lin Lin lalu maju menerjang dengan pedang Han-le-kiam. Ketika mencipta ilmu pedang ini, Lin Lin yang berwatak jenaka dan gembira itu sudah memberi nama pada tiap jurus dan gerakan bersama dengan Cin Hai. Maka muncullah sebutan-sebutan aneh dan lucu dalam tiap gerakan yang hanya dikenal dan dimengerti oleh Lin Lin dan Cin Hai.

Ada gerak tipu-gerak tipu yang diberi nama Cin-hai Kwa-houw atau Cin Hai Menunggang Harimau, ada Pula Lin-lin Chio-cu atau Lin Lin Merebut Mustika, bahkan ada nama Ang-I Lo-be atau Ang I Niocu Turun Dari Kuda.

Ketika dia menerjang maju, dia menggunakan tipu gerakan Lin-lin Chio-cu. Tangan kanan yang memegang pedang menusuk tenggorokan Bo Lang Hwesio, sedangkan tangan kiri bukan diangkat ke belakang sebagai imbangan badan, akan tetapi bahkan melaksanakan serangan pula dengan sebuah gerakan dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.

Hebatnya Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut ini ialah perkembangan atau perubahannya yang benar-benar tak terduga dan semua serangan hanya merupakan pancingan belaka yang kemudian disusul menurut gerak dan serangan pembalasan lawan.

Maka ketika Bo Lang Hwesio yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya mengebut ke arah pedang pendek yang menyambar ke tenggorokan, dan lengan kiri dengan tenaga lweekang sepenuhnya menghantam pergelangan tangan kiri Lin Lin yang mencengkeram dada, tiba-tiba pedang pendek itu sudah meluncur ke bawah mengubah sasaran dan kini bergerak menusuk iga kiri, sedangkan tangan kiri dara itu yang tadi mencengkeram dada ketika hendak dihantam oleh tangan Bo Lang Hwesio, tiba-tiba ditarik mundur dan terus diluncurkan ke atas dengan dua jari terbuka, mengarah kedua mata lawan.

Hwesio itu terkejut bukan main melihat perubahan gerakan yang sekaligus mematahkan serangan atau tangkisannya itu dan yang terus dilanjutkan dengan serangan lainnya. Dia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya yang panjang untuk menangkis dan membelit pedang lawan yang mengarah iga kirinya, sedangkan untuk menghindarkan serangan jari pada matanya, ia menundukkan kepala.

Akan tetapi, kembali Lin Lin merubah gerakannya karena sebelum pedangnya tertangkis dan terlibat oleh ujung lengan baju, pedang itu dengan mengeluarkan suara angin sudah berkelebat dengan belokan indah dan kini melakukan serangan hendak memenggal leher hwesio yang sedang menundukkan kepala itu, sedangkan tangan kiri ditarik dan langsung menyodok perut.

Memang hebat bukan main llmu Pedang Han-le Kiam-sut ciptaan Cin Hai ini. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan perubahannya amat tak terduga-duga sehingga tiap kali serangan tak berhasil, lalu disusul dengan gerak serangan lain yang disesuaikan dengan kedudukan atau posisi lawan.

Sungguh sayang bahwa Lin Lin belum mahir dan belum cepat betul dalam menjalankan serangan-serangan sehingga meski pun perubahannya cepat, tetapi semua masih dapat dilihat oleh lawan hingga masih sempat mengelak. Kalau saja yang mainkan itu Cin Hai atau Ang I Niocu yang sudah memiliki kecepatan tubuh yang otomatis dan memiliki gaya gerakan yang tidak sewajarnya hingga dapat membuat gerakan palsu yang tidak terduga, tentu ilmu pedang ini akan merupakan ilmu pedang yang amat sukar dilawan.

Betapa pun juga, Bo Lang Hwesio sudah dapat dibikin bingung dan untuk menghindari serangan-serangan selanjutnya yang bertubi-tubi dan yang seakan-akan otomatis serta timbul dari cara ia menangkis atau pun mengelak itu, dia lalu berseru dan melangkah ke belakang dua tombak lebih jauhnya.

Sesudah jauh dari Lin Lin barulah dia terhindar dari serangan yang bertubi-tubi dan kini dia menghadapi gadis itu dengan hati-hati sekali, lalu maju menyerang dengan cepat, memutar-mutar dua ujung lengan baju bagaikan kitiran angin cepatnya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)