PENDEKAR BODOH : JILID-33


Pemuda itu hanya memandang dengan heran dan kagum, kemudian tiba-tiba dia berdiri, memeluk leher Kwee An dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari rasa persahabatan dan kekaguman sehingga tadinya Kwee An merasa heran sekali. Tetapi setelah dia mendapat keterangan dari kakek itu, dia merasa lega dan sangat senang.

Semua orang tiada habisnya memuji serta mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An mendapatkan julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak? Pemuda tanggung itu adalah putera pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak muda di situ, dan sekarang Kwee An dapat mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali pun!

Sekarang semua orang bukan memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An supaya menemui pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya, maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu.

Kedatangan mereka disambut oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua orang laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang melintang dan dipilin ke atas, membuat mereka nampak gagah dan kereng! Akan tetapi yang membuatnya benar-benar tak mengerti adalah bahwa anak-anak muda yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis macam itu!

Pada saat melihat ada seorang anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee An tidak terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan tetapi ketika dia mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu!

Hanya kakek juru bahasa tadi saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia pun berkata, “Semua kumis yang kami pakai adalah kumis tulen, kumis yang tumbuh dengan wajar dari kulit!”

“Tapi... tapi anak kecil itu... usianya baru sebelas tahun!” berkata Kwee An dengan heran sekali.

Kakek itu tertawa. “Kenapa tidak? Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak laki-laki yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan upacara tumbuh kumis, yakni dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa dan di atas bibirnya kemudian digosok dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti yang kau lihat pada anak tadi.”

Kwee An baru mengerti setelah mendengar penuturan ini. Pantas semua orang di sana memelihara kumis. Yang lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul. Mereka ini rata-rata berkulit halus putih dan walau pun potongan muka hampir sama dengan orang-orang Han, namun mata mereka lebar-lebar dan bagus. Akan tetapi ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang kecil dan berderet rapi itu ternyata berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee An mengeluh dan menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi hitam!

Kwee An dibawa menghadap pada seorang Haimi yang bertubuh tinggi besar dan yang mempunyai kumis indah dan panjang sekali. Matanya lebar berpengaruh, usianya belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun. Ketika melihat Kwee An, dia lalu turun dari tempat duduknya dan menyambutnya dengan ramah.

“Sahabat, kunjungan seorang Han merupakan kehormatan besar sekali bagi kami!”

Bukan main dan herannya hati Kwee An mendengar betapa pemimpin Haimi ini dapat bicara bahasa Han dengan amat baiknya! Ia lalu menjura dan berkata girang,

“Akulah yang mendapat kehormatan besar sekali kini dapat bertemu dengan orang-orang gagah bangsa Haimi, dan girang sekali hatiku karena ternyata bahwa selain kakek itu kau pun pandai berbahasa Han!”

Tempat di mana Kwee An disambut oleh kepala suku bangsa Haimi itu adalah sebuah pondok yang cukup besar terbuat dari pada kayu-kayu hutan. Pada saat itu, dari ruang dalam muncul seorang wanita muda dan ketika Kwee An memandang, ia menjadi kagum.

Dara ini cantik sekali, terutama sepasang matanya yang lebar dan sangat indah. Dengan gerakan lemah lembut dan tanpa sungkan-sungkan lagi, dara muda itu mengambil tempat duduk di dekat pemimpin itu kemudian memandang Kwee An dengan sinar mata kagum, menatap secara langsung tanpa malu-malu seperti biasa kelakuan para gadis bangsanya sendiri! Oleh karena dipandang secara demikian itu, Kwee Anlah yang merasa malu dan sungkan!

“Ini adalah puteriku yang bernama Meilani,” kata pemimpin itu kepada Kwee An dan gadis itu tersenyum kepadanya.

Kembali datang rasa kecewa dalam hati pemuda itu ketika melihat betapa senyum manis itu dikacaukan oleh cahaya gigi yang hitam berkilau itu. Kenapa orang merusak gigi yang bagus itu?

Pemuda yang tadi dikalahkan oleh Kwee An, lalu menghampiri ayahnya dan menuturkan tentang pertandingan tadi kepada ayahnya sambil menggerak-gerakkan dua tangannya. Ia memandang kepada Kwee An dengan kagum dan agaknya ia memuji-muji kepandaian Kwee An karena Kwee An melihat betapa pemimpin itu lalu memandangnya dengan mata terbelalak, sedangkan Meilani bahkan lalu berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri dia sambil memandangnya penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, seperti seorang memeriksa dan menaksir-naksir benda yang indah menarik!

Kwee An sama sekali tidak berani bergerak ketika didekati oleh dara ini, dan pada waktu gadis ini mendekatinya dia mencium keharuman yang ganjil, seperti bau bunga mawar!

Ketika Kwee An mengerling ternyata ruang yang luas itu sudah penuh orang-orang, lelaki dan wanita, serta kanak-kanak yang semuanya memandang kepadanya dengan kagum! Dikelilingi oleh sekian banyak laki-laki berkumis sedangkan dia sendiri tidak, juga sekian banyak wanita-wanita cantik yang bergigi hitam, ia merasa seolah-olah ia sedang berada di dunia lain!

“Anak muda, ketahuilah bahwa aku adalah Sanoko, yaitu pemimpin rombongan bangsaku yang terdiri dari dua ratus jiwa lebih. Meilani adalah puteriku dan pemuda yang tadi kau kalahkan adalah puteraku. Kau siapakah dan di mana kau mempelajari ilmu cambuk yang begitu hebat hingga sudah mengalahkan puteraku?” pertanyaan ini diajukan dengan mata memandang kagum.

“Aku bernama Kwee An, dan tentang ilmu cambuk itu, sesungguhnya aku belum pernah mempelajarinya. Hanya sedikit ilmu silat bangsaku pernah kupelajari sehingga aku dapat mempertahankan diri terhadap serangan cambuk puteramu.”

Tiba-tiba gadis yang bernama Meilani itu bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya sangat merdu dan nyaring.

Ayahnya tertawa bergelak, lalu bertanya kepada Kwee An, “Kwee-taihiap, apakah engkau juga pandai bermain golok?”

Mendengar bahwa kepala suku bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebutnya taihiap (pendekar besar), Kwee An merasa sungkan juga, maka sambil merendah ia menjawab,

“Aku pernah mempelajari sedikit ilmu pedang, akan tetapi sayang sekali pedangku sudah hilang di jalan.”

Ketika Sanoko menterjemahkan ucapan Kwee An kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis itu berlari masuk ke dalam rumah dan keluar kembali sambil membawa sebatang pedang yang terbungkus kain kuning. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Kwee An yang ketika menerima dan melihat pedang itu, menjadi terkejut sekali karena pedang itu bukan pedang sembarangan, akan tetapi sebuah pedang mustika yang ringan sekali dan tajam serta mengeluarkan cahaya kekuningan! Meilani lalu bicara kepada ayahnya yang menjelaskan pada Kwee An,

“Anakku Meilani dulu pernah menemukan golok dan pedang ini di dalam sebuah goa dan oleh karena kami tidak pernah mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit ilmu golok, maka pedang ini tidak ada yang dapat menggunakannya. Maka karena anakku juga pernah belajar main golok, ia sekarang minta supaya kau suka melawannya dengan pedang ini dan apa bila kau dapat mengalahkannya, maka pedang ini akan dihadiahkan kepadamu!”

Bukan main girang hati Kwee An, oleh karena ia maklum bahwa ini benar-benar pedang yang ampuh dan tajam. Pada tempat di dekat gagang dia melihat ukiran dua huruf ‘OEI KANG’ yang berarti ‘Baja Kuning’. Akan tetapi, ketika itu ia tidak sempat memperhatikan keadaan Oei-kang-kiam itu terlebih teliti lagi oleh karena dia merasa terkejut mendengar bahwa dara cantik bergigi hitam itu mengajaknya pibu! Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu pun pandai ilmu golok.

Ketika dia melihat golok itu, dia maklum pula bahwa golok itu pun terbuat dari pada logam yang sama dengan pedangnya, karena juga mengeluarkan cahaya kekuningan. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Kwee An tidak menolak ditantang pibu, maka dia pun segera menjawab,

“Baik, hanya kuharap saja Nona Meilani akan berlaku murah hati kepadaku.”

Setelah mendengar jawaban pemuda itu, Meilani lalu bertindak keluar dari pondok, diikuti oleh ayahnya dan adiknya. Kwee An juga keluar dari tempat itu sambil membawa pedang Oei-kang-kiam, dan semua orang lalu keluar pula dengan wajah berseri gembira, mereka seakan-akan hendak menghadiri pesta perayaan yang menarik hati.

Sesudah berada di halaman pondok yang luas, Meilani lantas melompat dengan gerakan yang ringan dan lincah sambil membawa goloknya. Gadis ini kemudian mempererat ikat pinggangnya, mengikat pula dua kuncir rambutnya yang lalu diselipkan di dalam baju di belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah dan cantik, dia berdiri menanti Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum manis menghias bibirnya.

Ketika melihat gerakan gadis yang melompat tadi, Kwee An merasa kagum juga karena Meilani ternyata memiliki gerakan yang gesit. Maka dia menjadi gembira juga dan sambil memegang pedang Oei-kang-kiam di tangan kanan, ia lalu membuat gerakan Naga Sakti Menembus Awan, melompat ke hadapan gadis itu. Ia telah melompat cepat dari tempat yang jauhnya kira-kira lima tombak, maka gerakannya ini disambut dengan tampik sorak oleh semua penonton yang secara cepat sekali mengelilingi tempat adu silat itu!

Melihat bahwa pemuda ini sudah melompat ke hadapannya, Meilani berseru nyaring yang maksudnya memberitahu bahwa ia hendak mulai menyerang. Ia langsung menggerakkan goloknya, diputar-putar di atas kepalanya seperti gerakan orang Haimi bermain cambuk, kemudian tubuhnya menerjang dengan sebuah lompatan cepat dan golok itu menyambar ke arah leher Kwee An!

Seperti juga pedang Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan tetapi ringan sekali hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya. Kwee An hendak mencoba pedangnya, maka dia lalu mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara nyaring dan ketika dua batang senjata itu beradu, dari pedang dan golok yang terbuat dari logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau. Meilani berseru kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam, hampir saja senjata itu lepas dari pegangannya!

“Hebat sekali tenagamu!” katanya dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Kwee An, akan tetapi yang membuat para pendengarnya, terutama Sanoko, menjadi kagum, karena dia tahu bahwa puterinya itu sudah diberi latihan tenaga dalam yang cukup tinggi, karena itu dengan sekali tangkis saja dapat membuat puterinya memuji, tentu pemuda tanpa kumis itu benar-benar lihai!

Meilani lalu memutar-mutar goloknya dan mainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di tangannya lalu berubah menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung laksana gelombang menderu mengancam diri Kwee An. Akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan ilmu pedang Hai-liong Kiam-sut yang dulu dia pelajari dari Nelayan Cengeng.

Melihat betapa pemuda itu berkelebat cepat sekali seolah-olah menerobos di antara sinar goloknya dan kadang-kadang lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi terkejut sekali. Sedangkan semua penonton menjadi melongo keheranan melihat kehebatan ilmu sitat Kwee An dan pertandingan yang seru itu membuat mereka menahan napas dan lupa untuk bersorak.

Sanoko juga merasa kagum sekali karena puterinya yang tadinya menggerakkan golok hendak mengurung, kini bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee An. Saking tegangnya, dia sampai berdiri dari tempat duduknya kemudian memandang dengan penuh perhatian. Gerakan pedang Kwee An benar-benar bagai seekor naga laut yang mengamuk hingga diam-diam Sanoko mengakui bahwa belum pernah ia menyaksikan ilmu silat sedemikian lihainya.

Kwee An yang merasa sangat gembira karena mendapatkan pedang yang baik sekali, segera mendemonstrasikan ilmu pedangnya tanpa bermaksud melukai lawannya, hanya mengurung dengan pedangnya saja. Apa bilas dia mau, dengan mudah saja dia dapat menjatuhkan Meilani, akan tetapi mana hatinya tega untuk melukai gadis cantik yang tak bermaksud buruk terhadap dirinya itu.

Dikurung oleh sinar pedang Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan pandangan matanya kabur. Mendadak dia berseru keras dan segera tubuhnya melompat tinggi dan jauh. Ketika ia turun, ia berdiri memandang dengan wajah kemerah-merahan, kemudian setelah memandang dengan kagum kepada pemuda itu dia lalu melemparkan goloknya kepada Kwee An yang disambut dengan baik oleh tangan kiri Kwee An!

Melihat hal ini, semua orang bersorak riang dan bahkan ada beberapa orang yang cepat menghampiri Kwee An, memeluk dan menciumi pipinya hingga pemuda itu merasa geli sekali karena merasa betapa kumis-kumis mereka itu seakan-akan mengitik-itiknya.

Kakek yang dapat berbahasa Han itu pun menghampirinya dan menjura sambil berkata, “Kionghi, kionghi, (selamat, selamat)...!”

Kwee An hanya mengira bahwa kakek itu memberi selamat atas kemenangannya, maka alangkah terkejutnya ketika Sanoko datang menghampirinya, memeluknya sambil berkata dengan suara yang penuh keharuan.

“Kwee An, puteriku sudah memilih jodohnya dan aku merasa gembira sekali mendapat seorang mantu seperti engkau!”

“Apa...? Apakah maksudmu...?” Ia bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak heran.

“Meilani telah memberikan goloknya dan kau pun telah menerimanya dengan baik, masih ingin bertanya apa lagi? Harap kau berlaku seperti seorang laki-laki sejati dan jangan berpura-pura atau malu-malu. Upacara pernikahan dilakukan besok pagi dan sementara itu, kau boleh mengadakan persiapan dan akan dibantu oleh pamanku ini!” kata Sanoko sambil menunjuk kepada kakek penghisap huncwe yang ternyata adalah paman Sanoko sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dengan tindakan kaki gagah.

Kwee An berdiri bagaikan sebuah patung dan ketika kakek itu menarik dirinya menuju ke sebuah pondok tak berjauhan dari tempat itu, Kwee An segera bertanya, “Lopek, apakah maksudnya ini semua?”

“Barang kali kau tidak tahu, anak muda. Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa apa bila seorang gadis memberikan goloknya pada seorang pemuda dan pemberian itu diterima, maka itu berarti bahwa mereka telah mengikatkan diri menjadi jodoh masing-masing. Tadi Meilani telah memberikan goloknya kepadamu dan kau telah menerimanya, maka berarti bahwa kau adalah jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan berbahagia oleh karena Meilani merupakan gadis tercantik di antara bangsa kami dan telah banyak pemuda yang merindukannya. Di samping memiliki kepandaian tinggi dan menjadi puteri kepala kami, dia juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kau lihatkah betapa cantik jelitanya dia?”

Pucatlah wajah Kwee An mendengar ini. “Tapi… tapi… bukan maksudku untuk menerima dia sebagai… sebagai… jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu. Dia melemparkan goloknya kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tanganku. Lopek, tolonglah aku karena aku sungguh-sungguh tak dapat menerima perjodohan ini!”

Wajah kakek itu berubah tak senang. “Mengapa begitu? Apakah dia kurang cantik? Anak muda, ingatlah bahwa di seluruh daerah ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang gadis seperti Meilani. Dia telah memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tak patut karena tidak berkumis, semata-mata karena dia kagum melihat kelihaian ilmu pedangmu. Sanoko juga telah menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak. Penolakanmu ini akan berarti penghinaan pada kami seluruh suku bangsa Haimi, dan tentu kau akan dikeroyok dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa penolakanmu ini hanya terdengar olehku yang masih dapat berpikir panjang, kalau terdengar oleh orang lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan dibunuh!”

Bukan main terkejut hati Kwee An mendengar keterangan ini. Ia segera berdiri dan sambil menyerahkan kembali golok Meilani kepada kakek itu, ia lalu berkata, “Lopek, tolong kau kembalikan golok ini dan sampaikan salam serta rasa hormatku kepada Sanoko, dan juga penyesalan serta permohonan maafku kepada Meilani, karena kalau memang demikian halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan timbul hal-hal yang tidak diinginkan.”

Akan tetapi begitu menerima kembali golok baja kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri dengan sikap mengancam. ”Tidak bisa, anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini hanya akan membuat Meilani malu sekali sehingga dia pasti akan membunuh diri sesuai dengan adat kami. Karena ini, sebagai paman kakek gadis itu, aku tak akan membiarkan kau pergi! Kau baru bisa meninggalkan tempat ini setelah melewati mayatku!”

“Jangan, Lopek, biarkan aku pergi!” kata Kwee An dengan gugup.

Akan tetapi, kakek itu lalu menyerangnya dengan golok di tangan! Penyerangannya hebat sekali, jauh lebih lihai dari pada gerakan golok Meilani, sehingga Kwee An terpaksa harus mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko. Dan sekali tubuhnya berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu telah terampas olehnya!

“Kau benar-benar lihai, nah, kau bunuhlah dulu aku sebelum pergi dari sini!”

Lemaslah tubuh Kwee An. Ia merasa bingung sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu membunuh diri karena dia tinggal pergi, dia merasa tidak tega sekali. Karena itu dia lalu memandang kakek itu dengan mata mengandung permintaan tolong.

“Kakek, aku... tidak dapat melukaimu. Kalian sudah berlaku sangat baik kepadaku, begitu ramah tamah, bagaimana aku sampai hati mendatangkan mala petaka? Tapi perkawinan itu sungguh-sungguh tidak mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku sudah mempunyai seorang tunangan. Aku tidak bisa kawin dengan gadis lain.”

Mendengar ini, kakek itu berpikir keras. “Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi seorang pemuda untuk memiliki dua orang isteri, sungguh pun hal itu sangat jarang terjadi. Aku maklum akan penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang yang baik budi. Baiknya diatur begini saja, yang terpenting bagi seorang gadis kami ialah upacara pernikahan. Apa bila upacara itu sudah dilangsungkan, kau tidak berhalangan untuk pergi meninggalkan isterimu walau pun tidak menjadi isteri dalam arti sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau itu benar-benar kau kehendaki dan Meilani hanya akan merasa malu dan membunuh diri. Dengan demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan tidak menghina Meilani.”

“Akan tetapi, Lopek, tentu Meilani akan memandang aku sebagai seorang laki-laki berhati rendah dan seakan-akan menipunya kalau setelah melakukan upacara pernikahan aku lalu pergi meninggalkannya!” Kwee An membantah.

“Jangan kuatir, sebelum upacara dilangsungkan, malam ini juga aku akan memberi tahu kepadanya bahwa kau menjalankan upacara ini hanyalah untuk melindungi mukanya dari perasaan rendah dan malu, dan bahwa kau tidak mungkin menjadi suaminya karena kau telah mempunyai calon istri lain.”

Kwee An memegang tangan kakek itu dengan pernyataan terima kasihnya oleh karena ia anggap itu adalah cara terbaik.

Malam itu, lima orang gadis yang berwajah manis-manis serta bergigi hitam mengkilap, menyerbu masuk ke kamarnya di pondok kakek itu. Sambil tertawa-tawa dan bicara tidak karuan karena tidak dimengerti oleh Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri Kwee An. Ada yang memegang tangannya dan menarik-nariknya, ada yang memegang kepalanya, dan ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di bawah hidungnya. Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan dia lalu memberontak dan melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!

“Ehh, ehh, kalian pergilah! Keluarlah dari kamar ini! Apakah kalian sudah gila dan hendak menggangguku?” katanya dengan keras dan mata terbelalak.

Akan tetapi oleh karena kelima orang gadis itu tidak mengerti ucapannya, mereka hanya tertawa saja dan menghampirinya kembali! Kwee An berlarian ke sana ke mari di dalam kamarnya, akan tetapi terus dikejar-kejar oleh para gadis itu sambil tertawa-tawa! Karena merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan tidak lama kemudian, datanglah kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk melihat apakah yang terjadi di situ.

Melihat betapa Kwee An telah melompat ke atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut sambil memandang lima orang gadis yang mengurungnya dengan mata terbelalak bagai seekor tikus melihat lima ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu tertawa bergelak! Girang sekali hati Kwee An melihat kedatangan kakek itu dan ia lalu melompat turun dan lari ke belakang tubuh kakek tadi.

“Lopek, tolonglah aku. Mereka ini apakah tiba-tiba menjadi gila?”

“Ini pun termasuk upacara perayaan pernikahan yang akan dilangsungkan besok. Mereka ini datang untuk menggodamu dan untuk menggosok hidungmu dengan obat penumbuh kumis!”

“Apa?” Kwee An berseru sambil menutupi hidungnya dengan tangan kanan, seolah-olah merasa ngeri sekali bahwa hidungnya tadi telah terkena obat itu dan tumbuh kumis! “Aku tidak mau... aku tidak mau, Lopek. Usirlah mereka keluar!” Sedangkan di dalam hatinya, Kwee An berkata, “Alangkah akan kagetnya Ma Hoa kalau ia kelak melihat aku berkumis panjang menjungat ke atas!”

Kakek itu kemudian mengucapkan perkataan kepada para gadis itu yang lalu pergi sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi pada waktu mereka memandang Kwee An, mereka merasa kecewa sekali! Kwee An menghela napas panjang karena hatinya lega ketika melihat gadis-gadis itu sudah pergi.

“Bagaimana Lopek, apakah kau memberi tahu dan berterus terang kepada Meilani?”

Kakek itu mengangguk dengan muka sedih.

“Dan marahkah dia kepadaku?”

“Tidak, tidak marah. Hanya kecewa dan berduka. Kau... kau memang kejam.”

“Ehh, mengapa kau berkata demikian, Lopek? Pernikahan ini terjadi karena salah sangka dan bukan terjadi atas kehendakku. Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan hanya untuk menolong dia.”

Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali dia menghela napas. “Alangkah baiknya bila kau benar-benar menjadi suami Meilani dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaian yang kau miliki lihai sekali dan kau dapat kami harapkan untuk membantu kami mengusir para pengganggu kami, keparat-keparat Mongol itu!”

Tergerak hati Kwee An melihat wajah kakek yang telah keriputan itu nampak sedih sekali. “Lopek, untuk membantu kalian, tidak perlu aku harus menjadi keluarga. Kalau memang terdapat kesulitan dan aku mampu membantu, pasti aku akan membantu sekuat tenaga. Katakanlah, apakah yang sudah terjadi dan apa pula yang diperbuat oleh orang-orang Mongol terhadap bangsamu?”

Sesudah berulang kali menghela napas, kakek itu lalu bercerita, “Bangsa kami, yaitu suku bangsa Haimi, adalah bangsa yang besar dan memiliki kebudayaan tinggi. Akan tetapi, oleh karena kami merupakan bangsa perantau dan tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka inilah yang merupakan kelemahan kami. Selama beberapa tahun ini, kami selalu mendapat pukulan dan gangguan dari bangsa Mongol yang hendak memperluas daerah kekuasaan mereka. Banyak anggota keluarga kami dibinasakan, wanita diculik, dan harta benda kami dirampas! Hinaan-hinaan ini terpaksa kami terima dengan cucuran air mata dan dengan helaan napas, oleh karena kami tak berdaya. Makin banyak kami melakukan perlawanan, makin banyak jatuh korban di pihak kami hingga makin lama makin kecillah jumlah keluarga kami, oleh karena pihak Mongol memang jauh lebih kuat dari pada kami. Telah lama kami mengimpikan datangnya bintang penolong, dan setelah kini kau datang, maka besarlah harapanku dan harapan Sanoko bahwa engkaulah orangnya yang mampu menolong kami membalas dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir mereka kalau berani datang mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku yang buruk, kau bahkan mengecewakan kami, juga menghancurkan hati puteri kami yang bernasib malang...”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, dari kedua mata kakek itu mengalirlah beberapa butir air mata! Kwee An merasa terharu sekali dan ia segera memegang lengan kakek itu.

“Lopek, janganlah kau kuatir. Aku bersumpah bahwa aku akan mengusir dan menghajar orang-orang Mongol yang berani mengganggu kalian. Tunjukkan di mana mereka berada, akan kudatangi dan kuhajar mereka!” kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat sehingga kakek itu dapat tersenyum lagi.

“Hal itu mudah, nanti apa bila upacara perkawinan sudah dilanjutkan akan kutunjukkan padamu di mana keparat-keparat itu berada.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakek itu telah memberi sesetel pakaian Haimi yang indah kepada Kwee An, lengkap dengan ikat kepala yang lebar. “Pakailah ini, hanya untuk memenuhi syarat upacara adat.”

Agar supaya tidak melukai perasaan kakek itu dan semua orang, terpaksa Kwee An lalu mengenakan pakaian itu.

“Ahh, kau memang gagah sekali. Apa bila kau membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi pemuda yang paling tampan di antara kami dan kau akan menjadi suami yang cocok sekali bagi Meilani! Sayang... sayang...,” kata kakek itu sambil memandang dengan kagum.

Kemudian, sambil menabuh gendang dan tambur, serombongan anak gadis ‘mengambil’ pengantin laki-laki dan diiringkan menuju ke pondok pengantin perempuan. Ketika kedua mempelai dipertemukan, Kwee An melihat betapa wajah ‘isterinya’ itu basah dengan air mata dan diam-diam dia lalu menghela napas panjang dan terkenanglah dia kepada Ma Hoa. Ahhh, alangkah baiknya kalau yang menjadi mempelai wanita itu Ma Hoa.

Seorang pendeta Haimi membaca doa-doa dalam bahasa Haimi, namun dari cara-cara ia membaca doa, tahulah Kwee An bahwa upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha yang telah berubah, disesuaikan dengan kepercayaan nenek moyang mereka.

Kwee An harus mengakui kecantikan Meilani yang benar-benar jelita itu, akan tetapi bila mengingat gigi yang dihitamkan itu, ia merasa sayang sekali. Ketika upacara dilakukan, tiba-tiba seorang pemuda Haimi datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan sesuatu kepada Sanoko. Mendengar laporan ini, ributlah orang-orang yang berada di situ. Bahkan Meilani lantas membuka penutup mukanya dan segera mengambil goloknya yang sudah dikembalikan oleh Kwee An.

“Apakah yang telah terjadi?” Kwee An bertanya kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan mengatur orang-orangnya yang telah berkumpul dengan senjata di tangan.

“Seorang Perwira Mongol yang kosen dan yang sering mengganggu kami sudah datang dengan seorang kawannya. Dia sudah menculik dua orang gadis serta membunuh tiga orang pemuda kami!”

“Keparat!” Kwee An memaki sambil mencabut Oei-kang-kiam. “Hayo tunjukkan di mana ia berada!”

“Kami hendak mengeroyoknya, karena kepandaiannya tinggi sekali!” kata Sanoko dengan ragu-ragu.

“Jangan kuatir, biar aku yang menghadapinya!” Maka semua orang segera mengiringkan pemuda itu, berlari keluar dari hutan.

Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat yang dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis yang diculik itu telah tertolong oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua orang jahat itu sedang bertempur melawan seorang gadis yang gagah perkasa.

Hampir saja Kwee An menjerit karena girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang pengacau yang dimaksudkan itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Ada pun gadis berambut riap-riapan yang cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu runcing dengan amat hebatnya melawan dua orang kosen itu, bukan lain adalah Ma Hoa sendiri!

“Hoa-moi...!” Kwee An berseru dan dia segera menerjang maju pedangnya.

Ketika Ma Hoa memandang, dia terbelalak heran melihat kekasihnya berada di tempat itu dan mengenakan pakaian yang aneh itu.

“Koko, marilah kita gempur bangsat-bangsat ini dan membalas dendam!” katanya sambil tetap mengerjakan kedua batang bambu runcingnya dengan hebat dan luar biasa.

Walau pun merasa heran sekali melihat betapa kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh secara lihai itu, namun Kwee An tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio yang bersenjata sebatang pedang pula karena merasa kewalahan menghadapi Ma Hoa dengan tangan kosong saja.

Melihat munculnya Kwee An, Ke Ce menjadi jeri karena dia maklum bahwa setelah kini gadis itu mempunyai ilmu silat yang sedemikian lihainya, maka ditambah dengan bantuan Kwee An yang juga lihai sekali, tidak mungkin pihaknya akan memperoleh kemenangan. Apa lagi ia melihat bahwa serombongan besar orang-orang Haimi dengan golok mereka di tangan juga ikut datang pula. Orang Mongol yang licik ini lalu berseru keras dan segera melompat pergi dengan maksud melarikan diri.

Akan tetapi, Ma Hoa tentu saja tidak mau melepaskannya. Sambil berseru nyaring, dara itu lalu melompat ke atas sebuah batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar turun dengan kedua bambu runcing di tangan, bagai seekor burung rajawali menyambar korbannya. Ke Ce menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba dari atas terdengar bentakan Ma Hoa yang halus tapi nyaring,

“Bangsat keji hendak lari ke mana?”

Ke Ce menengok ke belakang dan mempercepat larinya oleh karena tadi ia telah merasa betapa lihai sepasang bambu runcing di tangan gadis ini hingga ia merasa percuma saja untuk melawan terus. Ia hendak menggunakan ginkang-nya yang tinggi untuk melarikan diri, akan tetapi Ma Hoa mengejar sambil berlompatan sehingga sebentar saja dia sudah melompati kepala Ke Ce dan berdiri menghadang di depan pemuda Mongol itu!

“Kalau mau lari, hanya boleh lari ke neraka untuk menerima hukuman!” kata lagi Ma Hoa sambil mengirim tusukan dengan kedua bambu runcingnya, yang kiri ke arah leher lawan, sedangkan yang kanan ke arah jalan darah di dada!

Ke Ce terkejut sekali melihat betapa ginkang gadis ini sudah sedemikian sempurnanya dan terlebih kaget lagi ketika dia menghadapi serangan berbahaya itu. Ia membuang diri ke kiri, bergulingan di atas tanah sampai beberapa kaki jauhnya lalu melompat berdiri dan cepat menggerakkan dua tangannya hendak mengirim pukulan Angin Topan yang hebat!

Akan tetapi Ma Hoa sudah siap menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat dia dan Kwee An terjungkal ke dalam jurang itu. Maka sambil berseru keras dia melompat ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya bergerak.

Bambu runcing di tangan kirinya lantas meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah terlepas dari busur dan sebelum Ke Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di tangan kanannya meluncur menyusul bambu pertama!

“Cepp…! Cepp…!”

Kedua bambu runcing itu menancap di tubuh Ke Ce, yang sebatang di tengah dada dan sebatang lagi di lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuh pada saat itu juga!

Terdengar sorak sorai riuh rendah dari orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh besar mereka itu binasa! Ma Hoa segera menghampiri tubuh Ke Ce dan mencabut keluar kedua bambu runcingnya serta membersihkan ujung bambu itu pada pakaian lawannya. Kemudian ia menghampiri rombongan orang Haimi yang menyambutnya dengan berlutut.

Ma Hoa mendekati Meilani dan mengangkat bangun gadis yang cantik itu. Akan tetapi ketika dia bertanya, gadis itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis itu hanya menunjuk ke arah Kwee An dan Ma Hoa menengok.

Ternyata bahwa Kwee An tengah bertempur dengan hebatnya melawan Bo Lang Hwesio. Kepandaian Bo Lang Hwesio benar-benar lihai sekali, karena meski pun Kwee An sudah mengeluarkan Ilmu Pedang Hai-liong Kiam-sut, akan tetapi hwesio itu sanggup menahan serangannya secara baik dan bahkan dapat membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya!

Kwee An lalu mengeluarkan ilmu silat yang dulu dia pelajari dari Hek Mo-ko, dan setelah mainkan ilmu silat ini dengan tangan kiri, barulah ia dapat mengimbangi desakan Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, dalam lweekang dia masih kalah setingkat sehingga tiap kali pedang mereka bertemu, Kwee An merasa betapa tangannya gemetar! Untungnya ia memegang pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau dia memegang pedang biasa tentu pedangnya akan bisa dipatahkan oleh pedang Bo Lang Hwesio yang di samping merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi itu.

Melihat ini, Ma Hoa berseru, “An-ko, jangan kuatir, aku membantumu!”

Tubuh gadis ini lalu berkelebat dan segera kedua batang bambu runcingnya menyerang secara hebat bukan main. Bo Lang Hwesio harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, karena baru menghadapi Kwee An seorang saja biar pun dia tidak akan kalah akan tetapi sudah amat sulit merobohkan anak muda itu, sekarang ditambah pula dengan permainan kedua bambu runcing Ma Hoa dalam gerakan Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa, maka dia menjadi sibuk sekali!

Dengan perlahan akan tetapi tentu, Ma Hoa serta Kwee An mendesak hwesio itu hingga keringat dingin mulai mengucur keluar dari jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa girang sekali oleh karena ia mendapat kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma Hoa amat lihai.

Sedangkan Bo Lang Hwesio amat gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai ini. Dia pun sangat heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena dia teringat bahwa yang memiliki ilmu Silat Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti yang bernama Hok Peng Taisu! Kenapa tiba-tiba gadis ini dapat memiliki ilmu kepandaian ini?

Ketika Ma Hoa mendesak makin hebat, akhirnya ujung bambu di tangan kirinya berhasil menusuk pundak Bo Lang Hwesio yang berteriak kesakitan oleh karena sungguh pun dia memiliki lweekang yang membuat kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja ujung bambu yang tajam itu telah melukainya. Sambil berseru hebat ia memutar pedangnya dan ketika kedua lawannya mengelak, dia lalu melompat ke belakang dengan cepat dan kabur dari tempat itu. Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi Kwee An mencegahnya dan berkata,

“Yang mencelakai kita dulu adalah Ke Ce. Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!”

Ma Hoa dan Kwee An berdiri saling pandang dan sekarang setelah musuh pergi, mereka saling pandang dengan perasaan terharu sekali. Tanpa terasa lagi dari mata mereka lalu mengalir air mata karena rasa girang dan terharu, seakan-akan melihat kekasihnya baru bangkit dari lubang kuburan! Bagaikan ditarik oleh tenaga mukjijat, keduanya lalu saling rangkul sambil berbisik,

“Koko...”

“Moi-moi..., serasa dalam mimpi dapat berjumpa dengan kau lagi...”

“Koko...,” kata Ma Hoa setelah melepaskan diri dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah tapi bibir tersenyum, “kau... kelihatan lucu sekali! Dari mana kau peroleh pakaian seperti itu?”

“Untung saja kau tidak melihat aku berkumis seperti mereka itu!” Kwee An berkata sambil menahan ketawanya.

Ma Hoa heran sekali mendengar ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari menghampiri mereka, dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh karena ia tidak tahu bahwa Ma Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda ini. Hati Meilani terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh mati dan terlampau bangga karena betapa pun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil mengusir musuh itu adalah ‘suaminya’.

“Engko An, siapakah gadis manis ini?”

“Dia adalah isterinya, lihiap!” Sanoko menjawab, “dan aku adalah pemimpin suku bangsa Haimi, juga menjadi ayah mertua Kwee An!”

Bukan main terkejut hati Ma Hoa mendengar keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada Kwee An dengan wajah pucat. Kwee An memegang tangan Ma Hoa dan berkata, “Tenanglah, Moi-moi, hal ini memerlukan penjelasan!”

Kemudian ia berkata kepada Sanoko dengan suara tegas, “Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah mendengar keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah kini bahwa Nona ini adalah tunanganku yang kuceritakan itu!”

Oleh karena di situ terdapat banyak orang-orang Haimi, meski pun mereka tidak mengerti percakapan mereka, akan tetapi Kwee An merasa tidak enak karena kalau sampai terjadi salah paham, maka Ma Hoa tentu akan marah sekali dan Meilani akan tersinggung, maka ia lalu memberi isyarat kepada Sanoko dan kakek penghisap huncwe untuk ikut bicara di tempat yang agak jauh dari mereka. Meilani hanya memandang dengan heran dan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak berani ikut bicara mencampuri pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa Han yang tidak dimengertinya.

“Lopek, sekarang harap kau suka ceritakan hal ini terus terang kepada tunanganku, agar tidak sampai terjadi kesalah pahaman,” kata Kwee An kepada kakek itu sesudah mereka berada jauh dari rombongan itu.

“Lihiap, kata-kata Kwee-taihiap ini memang benar. Walau pun dia terpaksa menjalankan upacara pernikahan dengan Meilani, akan tetapi hal itu hanya untuk menjaga kehormatan puteri kami itu saja. Kwee-taihiap tadinya juga bersikeras menolak, akan tetapi akhirnya menyetujui untuk melakukan upacara pernikahan berdasarkan menolong gadis itu.”

Maka dengan panjang lebar kakek itu lalu menuturkan bagaimana sudah terjadi kesalah pahaman ketika Kwee An menerima golok dari Meilani, dan betapa bila pemuda itu tidak mau memenuhi kebiasaan adat mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri karena malu.

Ma Hoa mendengarkan semua ini dengan terharu. Tadinya dia marah sekali, akan tetapi setelah tahu akan duduknya perkara, dia malah merasa kasihan sekali kepada Meilani.

“An-ko, apa bila kau memang suka kepada gadis itu, kawinlah dengan dia dan jangan kau pikirkan aku lagi!”

“Ehh, ehh, Moi-moi, mengapa kau berkata demikian? Selain dengan kau aku tidak mau kawin dengan wanita lain! Sesudah mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga merasa cemburu kepadaku?”

“Bukan cemburu, akan tetapi aku merasa kasihan sekali kepada Meilani!” Kemudian Ma Hoa lalu bertindak menghampiri Meilani dan memeluknya.

Biar pun Meilani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi oleh karena dia sudah mendengar dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa menjadi suaminya karena telah bertunangan dengan seorang gadis Han, maka ia dapat juga menduga.

Ketika melihat hubungan antara Ma Hoa dengan Kwee An, ia dapat menduga pula bahwa tentu gadis inilah yang menjadi tunangan Kwee An. Ia tidak hanya kagum akan kelihaian Ma Hoa, akan tetapi juga kagum melihat kecantikannya, sehingga dia merasa bahwa memang gadis itu lebih cocok menjadi calon isteri Kwee An. Ketika Ma Hoa memeluknya, ia hanya dapat mengalirkan air mata saja.

Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa karena ternyata bahwa ‘gadis saingan’ puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan memiliki kepandaian yang lebih hebat dari pada Kwee An sendiri. Bahkan gadis itu juga sudah meneewaskan seorang musuh yang telah banyak membunuh bangsanya!

Maka ketika kedua orang muda itu berpamit, dia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih. Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur.

Ada pun semua orang Haimi, ketika melihat Kwee An pergi meninggalkan ‘isterinya’ yang baru saja menikah dengannya, merasa tidak puas. Akan tetapi mereka tak berani banyak bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.

Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan pada waktu mendengar dari Ma Hoa bahwa dara itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali.

Sebaliknya, pada waktu Kwee An menceritakan betapa dia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam goa dengan keadaan amat menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.

"Koko," katanya di tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku membikin hitam gigiku.”

Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sebenarnya aku merasa ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"

Ma Hoa tertawa. "Bila kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"

"Betapa pun juga, bangsa Haimi itu adalah orang-orang baik, akan tetapi nasib mereka buruk sekali. Moi-moi, biarlah kita jangan berbicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah, ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"

“Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di Kansu pemandangannya amat indah dan di sana terdapat goa-goa kuno yang terkenal. Jika hendak mendengar tentang Lin Lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”

Bagi Kwee An, jangankan dia harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biar pun harus ke neraka sekali pun, kalau bersama Ma Hoa, dia akan pergi dengan senang hati.

“Dugaanmu ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula,” katanya.

Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia Dalam, menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)