PENDEKAR BODOH : JILID-34


Pendek kata, Ma Hoa dan Kwee An melakukan perjalanan berdua dengan hati dipenuhi kebahagiaan dan kegembiraan. Apa lagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang sama sekali belum pernah mereka kunjungi sehingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.

Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.

Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera menatap wajah kekasihnya yang tiba-tiba berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat sekali.

Sepasang mata gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur itu dengan terbelalak penuh keheranan dan tampaknya amat terkejut bagaikan melihat setan di tengah hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan pula dua orang yang bertempur itu. Tiba-tiba dia pun memandang dengan mulut celangap.

Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan, "Koko... apakah kau juga melihat apa yang kulihat?"

Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran…. heran….. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar dia?"

"Siapa lagi? Walau pun lupa akan wajah dan bentuk badannya, aku tak akan melupakan gerakan dan ilmu silatnya. Dia benar-benar Enci Im Giok!"

"Mari kita membantunya!" kata Kwee An, akan tetapi Ma Hoa menjawab,

"Jangan dulu! Enci Im Giok paling tidak suka dibantu apa bila keadaannya tidak terdesak. Lihat, dia sedang mendesak lawannya, dan dua orang pendeta yang menonton itu, entah mereka itu kawan atau lawan. Sebaiknya kita menonton sambil bersembunyi dan melihat gelagat."

Keduanya lantas mengintai dari balik pohon. Ternyata bahwa yang bertempur itu adalah seorang nenek tua yang mengerikan. Tubuhnya bongkok karena punggungnya tinggi dan di sana terdapat daging yang menonjol, merupakan punggung onta. Rambutnya digelung dan diikat dengan sapu tangan bersulam yang kecil. Telinganya memakai anting-anting yang besar melingkar. Nenek itu sedang bertempur dengan tangan kosong menghadapi seorang dara jelita berpakaian merah yang memegang pedang.

Nona ini cantik sekali dan sekali pandang saja orang yang sudah pernah melihatnya tak akan ragu-ragu lagi bahwa dia ini bukan lain adalah Ang I Niocu! Apa bila gerakan Ang I Niocu indah menarik dan gesit sekali hingga nampaknya seperti sedang menari dengan pedangnya, gerakan nenek itu tidak kalah hebatnya.

Tubuh nenek itu berlompatan ke atas sambil menyerang dahsyat dengan cengkeraman-cengkeraman tangan yang jari-jarinya ditekuk bagaikan cakar burung garuda! Di dekat tempat pertempuran itu, dua orang kakek berdiri menonton dengan tertarik. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi besar, berjubah hitam panjang dan kepalanya ditutup oleh sebuah sorban. Kakek ke dua adalah seorang tosu yang mukanya penuh cambang bauk.

Pada waktu itu, Ang I Niocu sedang mendesak hebat dengan ilmu pedangnya. Apa bila gerakan nenek itu boleh diumpamakan sebagai seekor garuda yang ganas menyambar-nyambar korbannya, Ang I Niocu merupakan seekor burung merah yang indah dan luar biasa gesitnya.

Di samping memiliki ginkang yang tinggi dan sempurna, ternyata nenek itu juga memiliki tenaga dalam yang hebat karena selain serangan mencengkeram yang mirip dengan Ilmu Silat Eng-jiauw-kang dari ahli silat Tiongkok Selatan, juga kadang-kadang dia mengirim pukulan-pukulan yang anginnya saja membuat rambut Ang I Niocu berkibar dan menjadi awut-awutan!

Akan tetapi, pedang Ang I Niocu sangat lihainya, sinar pedangnya dapat mendesak terus sehingga nenek itu terpaksa berkelahi sambil mundur. Pada saat nenek itu mundur dan melompat ke atas sebuah batu karang, Ang I Niocu membabat dengan pedangnya ke arah kaki lawannya dengan gerakan Bidadari Menyebar Bunga hingga hampir saja kaki nenek itu terbabat.

Akan tetapi, dengan cepat sekali nenek itu lantas melompat ke atas sambil mengeluarkan teriakan keras, dan ketika tubuhnya masih berada di atas, tiba-tiba saja kedua tangannya digerakkan dan berhamburanlah hancuran batu menyerang ke arah Ang I Niocu!

Ternyata bahwa ketika tadi nenek itu meloncat ke atas batu karang, kedua tangannya lalu mencengkeram batu karang hingga hancur di dalam kedua tangannya dan sekarang dia menggunakan hancuran batu karang itu untuk menyerang Ang I Niocu! Hancuran batu karang yang menjadi kerikil kecil-kecil ini tak boleh dipandang ringan, oleh karena tenaga lemparan yang disertai tenaga khikang ini membuat batu-batu kecil itu dapat menembus kulit dan daging, dan setiap potongan kecil merupakan sebuah senjata rahasia yang lihai!

Akan tetapi Ang I Niocu yang berkepandaian tinggi tidak gentar menghadapi serangan hebat ini. Dengan tenang dia segera memutar pedangnya hingga tubuhnya seakan-akan terlindung oleh dinding baja dan semua potongan batu kecil itu dapat terpukul jatuh.

Kembali mereka bertempur seru, masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaian mereka yang paling tinggi. Meski pun Ang I Niocu selalu mendesak, namun agaknya tidak mudah menjatuhkan nenek yang lihai itu.

Sebelum kita maju lebih lanjut dengan cerita ini, lebih baik kita ikuti dulu pengalaman Ang I Niocu semenjak dia berada di Pulau Kim-san-to, karena pembaca tentu merasa heran bagaimana Ang I Niocu bisa muncul di sini sedangkan dulu ia berada di Pulau Kim-san-to ketika pulau itu terbakar dan meledak? Baiklah kita mundur sejenak supaya selanjutnya cerita ini dapat diikuti dengan lancar.

Sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Ang I Niocu mendahului Cin Hai pergi ke Pulau Kim-san-to untuk mencari Lin Lin. Dengan nekat Gadis Baju Merah itu naik ke atas puncak untuk mencari Lin Lin, akan tetapi bukan Lin Lin yang ia jumpai, bahkan ia melihat pemandangan yang amat mengerikan, yaitu seluruh danau di bukit itu terbakar hingga merupakan neraka yang dahsyat.

Ia melihat bayangan Vayami seperti sedang melambai-lambai memanggilnya dari tengah lautan api itu, maka dengan hati ngeri sekali Ang I Niocu mencari-cari Lin Lin, berlari ke sana ke mari dan suaranya sampai serak karena terus-menerus ia memanggil,

“Lin Lin…. Lin Lin….! Di mana kau…?”

Ketika ia sedang berlari menubruk sana menubruk sini memanggil-manggil Lin Lin seperti orang gila, tiba-tiba saja terdengar sebuah letusan hebat dan daya tenaga raksasa yang keluar dari ledakan itu membuat tubuh Ang I Niocu terlempar ke atas udara. Walau pun semangat Ang I Niocu seolah-olah terbang keluar dari tubuhnya karena hebatnya ledakan itu, namun ia masih sempat berteriak lagi memanggil, "Lin Lin…. Lin Lin…. Hai-ji…. "

Ang I Niocu kemudian pingsan selagi tubuhnya masih melayang di udara! Memang mati atau hidup seseorang sepenuhnya berada di dalam kekuasaan dan tangan Yang Maha Kuasa. Kalau Tuhan menghendaki, seorang yang sudah berada di mulut harimau masih akan dapat tertolong dan hidup, sedangkan seorang segar bugar dapat tiba-tiba mati. Hal ini harus diakui oleh semua orang karena banyak terjadi bukti-bukti akan kekuasaan yang besar ini. Tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi dalam tangan Tuhan!

Begitu pula dengan nasib Ang I Niocu. Agaknya Tuhan belum menghendaki dia terbebas dari hidup di dunia, maka tubuhnya terlempar ke angkasa tanpa terluka. Hal ini memang tidak begitu aneh oleh karena dapat diketahui sebab-sebabnya.

Kalau sekiranya Ang I Niocu tidak berada terlalu dekat dengan bukit yang meledak itu, seperti halnya para tentara Turki dan tentara kerajaan yang terbasmi habis seluruhnya, tentu Dara Baju Merah itu pun akan tewas juga, termakan oleh api dan minyak panas. Akan tetapi saat ledakan terjadi, tubuh Ang I Niocu berada dekat sekali sehingga sebelum api dapat membakar tubuhnya, hawa letusan yang luar biasa kerasnya itu telah membuat tubuhnya terlempar ke udara!

Karena hebatnya tekanan ledakan itu, pakaiannya yang merah sampai terobek ke sana sini. Potongannya lalu terlempar dan melayang-layang terbawa angin yang didatangkan oleh ledakan hingga sepotong dari pakaian ini kemudian ditemukan oleh Cin Hai di atas laut.

Biar pun pada saat dia terlempar ke udara, Ang I Niocu terhindar dari bahaya api yang mengamuk, akan tetapi dia masih belum terlepas dari bahaya maut sama sekali, karena dia telah menjadi pingsan dan kalau dia jatuh kembali, maka tubuhnya tentu akan hancur dan dimakan api! Akan tetapi, memang Tuhan belum menghendaki kematiannya, maka kembali Yang Maha Kuasa memperlihatkan kekuasaanNya lagi.

Di antara semua makhluk hidup yang berada di atas Pulau Kim-san-to pada saat ledakan terjadi, selain Ang I Niocu yang selamat, masih ada yang lainnya lagi, yakni Sin-kim-tiauw atau rajawali sakti berbulu emas. Kebetulan sekali pada waktu ledakan terjadi, burung rajawali ini sedang terbang tinggi di atas pulau karena ia merasa terkejut melihat sekian banyak orang sedang berperang di atas pulaunya yang biasanya sunyi dan tenteram itu.

Ia terbang berputar-putar di angkasa sambil berteriak-teriak marah, karena perasaannya memberi tahukannya bahwa orang-orang yang sedemikian banyaknya itu bukanlah orang baik-baik. Dia hendak mengamuk serta menyerang, akan tetapi tidak berani dan merasa takut untuk menghadapi sekian banyak orang, maka kini dia hanya terbang tinggi sambil memekik-mekik marah.

Pada waktu terjadi ledakan, Sin-kim-tiauw merasa terkejut sekali dan sambil menyambar-nyambar ke bawah dengan marah, ia pun menjadi bingung dan takut melihat api berkobar hebat membakar pulaunya. Kemudian, tiba-tiba dia melihat tubuh orang yang berpakaian merah melayang ke udara dengan kecepatan luar biasa.

Tadinya burung itu merasa terkejut dan takut, oleh karena belum pernah ia melihat orang yang dapat terbang! Tentu ilmu kepandaiannya lihai sekali, pikirnya. Karena itu dia hanya terbang mengelilingi dan tidak berani menyerang, sungguh pun dia merasa marah sekali.

Akan tetapi, ketika Ang I Niocu menjadi pingsan dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuh itu mulai melayang jatuh kembali ke bawah, Sin-kim-tiauw kemudian menyambar dan mencengkeram tubuh itu. Perlu diketahui bahwa Sin-kim-tiauw bukanlah burung liar sembarangan saja, akan tetapi adalah burung peliharaan yang telah dilatih oleh Bu Pun Su dan adik seperguruannya Han Le, hingga burung ini telah dapat membawa apa saja dalam cengkeramannya tanpa melukai. Maka ketika ia mencengkeram tubuh Ang I Niocu yang pingsan, ia tidak melukai tubuh itu, hanya membawanya terbang menuju ke timur dengan cepat sambil berteriak-teriak girang seperti biasa kalau ia menang berkelahi!

Burung rajawali yang besar itu membawa tubuh Ang I Niocu terus ke timur lalu membelok ke arah tenggara, dan selama itu Ang I Niocu masih saja pingsan tak sadarkan diri sebab ledakan hebat itu betul-betul telah mengguncang jantungnya, sedangkan perasaan kuatir dan takut membuat semangatnya seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya.

Burung rajawali itu terbang terus dan setelah berputar-putaran tinggi di atas pulau yang banyak terdapat di permukaan Laut Tiongkok, dia lalu menyambar turun ke atas sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon hijau. Ketika ia telah terbang rendah di atas pulau itu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit keras dan Sin-kim-tiauw segera terbang ke arah suara suitan itu.

"Ehh, Kim-tiauw, siapakah yang kau bawa itu?" mendadak terdengar bentakan halus dan seorang lelaki keluar dari sebuah goa memandang pada Kim-tiauw yang terbang rendah itu.

"Lepaskan dia!" teriaknya dan Sin-kim-tiauw dengan taat segera melepaskan tubuh Ang I Niocu dari cengkeraman kakinya.

Tubuh Dara Baju Merah itu melayang ke bawah dan dengan gerakan cepat, laki-laki itu lalu menyambut tubuhnya. Merahlah muka laki-laki itu melihat betapa Ang I Niocu hampir tidak berpakaian lagi karena pakaiannya yang merah sudah robek di sana-sini oleh hawa ledakan tadi! Cepat-cepat laki-laki itu menanggalkan mantelnya, menyelimuti tubuh yang segera dibawanya masuk ke dalam goa itu, kemudian diletakkannya di atas tanah yang bertilamkan rumput-rumput kering.

Dengan hati-hati laki-laki itu lalu memeriksa nadi pergelangan tangan Ang I Niocu, lalu ia menarik napas lega. Dari sudut goa dia segera mengambil bungkusan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kulit buah labu yang telah dikeringkan dan dipergunakan sebagai tempat air. Ternyata bahwa isinya bukanlah air biasa, akan tetapi sari buah-buahan yang mengandung khasiat menguatkan tubuh dan mendatangkan ketenangan pada hati.

Dengan hati-hati, dia lalu membuka bibir dan mulut Ang I Niocu dengan tangan kanan dan menuangkan sedikit isi tempat air itu ke dalam mulut gadis itu. Kemudian, sesudah menyimpan tempat air ke dalam bungkusannya kembali, ia lalu berdiri memandang wajah dara itu dengan penuh perhatian lalu menarik napas panjang dan keluar dari goa.

Burung rajawali melihat kedatangannya, lalu berjalan menghampiri sambil mengeluarkan keluhan panjang.

"Sin-kim-tiauw, dari manakah kau datang dan siapakah gadis itu? Aku mendengar suara ledakan keras dari arah Pulau Kim-san-to dan melihat api berkobar-kobar. Heran sekali, apakah yang telah terjadi?"

Kim-tiauw itu mengeluarkan keluhan keras dan aneh, lalu dia mengembangkan sayapnya dan memukul-mukul tanah, seakan-akan hendak menceritakan peristiwa hebat yang telah menimpa pulaunya. Akan tetapi tentu saja laki-laki itu tidak mengerti sama sekali, hanya dia dapat menyangka bahwa tentu telah terjadi hal yang aneh sekali, karena tidak biasa Sin-kim-tiauw berlaku seaneh ini.

Siapakah laki-laki yang tinggal seorang diri di sebuah pulau kecil yang asing dan tiada berkawan ini? Ia adalah seorang laki-laki yang berwajah cukup tampan, berkening lebar dan sinar matanya tajam berkilat. Tubuhnya tegap dan sedang, ada pun usianya paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya terbuat dari pada bahan kasar berwarna biru dan sebilah pedang tergantung di pinggangnya.

Sesungguhnya orang ini adalah seorang pendekar silat yang mengasingkan diri, seorang berilmu tinggi yang patah hati oleh karena kecewa melihat keadaan dunia yang penuh kepalsuan. Dulu dia tinggal di atas Pulau Kim-san-to, ikut belajar silat kepada suhu-nya yang bukan lain adalah Han Le atau sute dari Bu Pun Su! Mereka tinggal bertiga dengan seorang sute-nya, karena Han Le memiliki dua orang murid, yaitu lelaki ini yang bernama Lie Kong Sian, dan seorang pemuda bernama Song Kun.

Baik Lie Kong Sian mau pun Song Kun, keduanya adalah anak-anak yatim piatu yang menjadi korban keganasan tentara Mongol. Ayah bunda mereka sudah tewas pada saat tentara Mongol menyerbu dusun-dusun dan mereka berdua mendapat pertolongan dari Han Le yang lalu membawa mereka ke atas Pulau Kim-san-to dan mengangkat mereka menjadi murid.

Walau pun Lie Kong Sian mempunyai bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi kepandaian suhu-nya, namun dia masih kalah apa bila dibandingkan dengan Song Kun yang memiliki bakat luar biasa sekali. Bahkan Han Le sendiri pernah berkata kepada Lie Kong Sian yang dipercaya penuh dan disayangi seperti anak sendiri.

"Muridku, kau lihat saja, Song Kun kelak akan mempunyai ilmu kepandaian yang jarang mendapatkan tandingan oleh karena anak itu memiliki tulang dan bakat yang luar biasa. Dalam hal ilmu silat, bakat mempunyai pengaruh hebat sekali oleh karena biar pun ilmu silat yang dipelajarinya sama dengan yang kau pelajari, akan tetapi bakatnya akan dapat membuat ilmu silatnya menjadi lebih lihai dan hebat, karena mendapat tambahan sendiri oleh bakatnya yang baik. Akan tetapi dia masih sangat muda, muridku, dan apa bila aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, kaulah yang harus menjadi wakilku untuk menuntunnya ke arah jalan benar."

Bertahun-tahun kedua orang murid ini digembleng oleh Han Le di atas Pulau Kim-san-to, kemudian Han Le mengajak kedua muridnya itu berkelana untuk mencari pengalaman di dunia ramai. Dan hal inilah yang kemudian membuat Song Kun berubah. Kelihatanlah watak aslinya ketika pemuda ini melihat benda-benda berharga dan hal-hal yang terjadi di dunia ramai. Ia mulai menjadi sesat dan pengaruh-pengaruh buruk menguasai hatinya. Sebuah di antara wataknya yang buruk ialah kesukaannya akan wanita cantik.

Baik Han Le mau pun Lie Kong Sian mengetahui hal ini, maka setelah berkelana selama dua tahun, Han Le lalu mengajak Song Kun kembali ke Pulau Kim-san-to dan menyuruh Lie Kong Sian mengembara seorang diri untuk meluaskan pengalaman dan menjalankan pekerjaan sebagai seorang pendekar yang harus menolong sesama hidup yang sedang menderita kesukaran.

Diam-diam Song Kun merasa mendongkol sekali kepada suhu-nya, akan tetapi dia tidak berani menyatakan dengan terus terang, bahkan ia lalu dengan cerdiknya merubah sikap menjadi penurut dan berbakti sekali. Ia melayani suhu-nya dengan amat baiknya, bahkan ketika Bu Pun Su datang berkunjung ke pulau itu, ia dapat pula menipu kakek jembel ini hingga Bu Pun Su juga salah sangka dan memuji murid adik seperguruannya ini, lalu menurunkan semacam kepandaian ilmu silat kepada Song Kun.

Di atas pulau itu, selain Song Kun dan gurunya, sudah ada tiga ekor binatang sakti yang dahulu dipelihara oleh Bu Pun Su, yaitu Rajawali Emas, Harimau Bertanduk dan Merak Sakti. Ketika dulu Bu Pun Su bertapa di pulau itu, ia memelihara ketiga ekor binatang ini dan kemudian meninggalkannya kepada Han Le yang tetap berdiam di pulau itu.

Selama Lie Kong Sian pergi merantau, Song Kun dapat menipu suhu-nya dan membujuk sehingga Han Le lalu memberi pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Dan pada suatu hari, tanpa memberi tahu kepada suhu-nya, Song Kun minggat dari pulau itu! Han Le terkejut sekali dan mulailah ia merasa sedih dan jatuh sakit berat di atas pulau itu.

Kebetulan sekali Lie Kong Sian datang ke Pulau Kim-san-to untuk mengunjungi suhu-nya dan sute-nya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat suhu-nya dalam keadaan sakit berat. Cepat-cepat dia menolong serta merawatnya, akan tetapi terlambat. Agaknya memang sudah menjadi takdir bagi Han Le untuk meninggalkan dunia ini di pulau itu! Sebelum ia menutup mata, ia meninggalkan pesan kepada Lie Kong Sian.

“Muridku, kalau aku telah mati, kuburkanlah mayatku di dalam goa ini, dan juga pedangku ini harus ikut ditanam pula, kemudian kau pergilah mencari sute-mu Song Kun. Selidikilah keadaannya karena aku kuatir sekali kalau-kalau ia akan mencemarkan namaku dengan perbuatan rendah. Akan tetapi, kau berhati-hatilah menghadapinya, Kong Sian, karena ilmu silatnya hampir sempurna. Kalau kau perlu bantuan, kau carilah supek-mu Bu Pun Su untuk membantu menangkapnya. Selain supek-mu Bu Pun Su, kukira tidak ada orang lain yang akan dapat melawannya!”

Tidak lama kemudian, sesudah Lie Kong Sian memenuhi pesanan suhu-nya yang telah meninggal, yaitu mengubur jenazah suhu-nya bersama pedangnya di dalam goa yang penuh pasir itu, lalu ia meninggalkan Pulau Kim-san-to. Ketiga ekor binatang sakti masih berdiam di pulau itu dengan sedih dan kesunyian.

Lie Kong Sian berhasil bertemu dengan sute-nya, akan tetapi, biar pun ia melihat bahwa sute-nya ini menyimpang dari perjalanan hidup yang benar, dia tidak tega untuk minta pertolongan Bu Pun Su. Sejak kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat bersama sute-nya ini hingga ia pandang Song Kun seperti adik sendiri yang amat ia kasihi, maka ketika ia melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi nasehat.

Akan tetapi, benar sebagaimana dugaan suhu-nya, adiknya itu tak mau menurut bahkan menantangnya hingga mereka lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang sama, akan tetapi Song Kun memiliki kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya Lie Kong Sian dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.

Hal ini amat mendukakan hati Lie Kong Sian. Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega melihat adiknya terhukum, kalau didiamkan saja bagaimana. Maka dalam keraguan dan kebimbangan, dia lalu kembali ke Pulau Kim-san-to dan menangis di depan kuburan suhu-nya, mengakui akan kelemahannya.

Kemudian dia lalu mengasingkan diri dan bertapa di sebuah pulau kosong tidak jauh dari Kim-san-to, yaitu sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Pek-le-to. Sering kali Merak Sakti terbang ke pulau itu untuk mengunjunginya, dan juga beberapa kali Lie Kong Sian mendayung perahu kecil mengunjungi pulau di mana suhu-nya dimakamkan itu.

Demikianlah selama beberapa tahun bertapa di Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut penghidupan tenteram, sampai pada hari itu ia dikejutkan oleh ledakan yang datang dari arah Pulau Kim-san-to. Kemudian datang pula Sin-kim-tiauw yang membawa tubuh Ang I Niocu yang pingsan, maka tentu saja ia menjadi heran, akan tetapi kepada siapa ia harus bertanya? Sesudah menepuk-nepuk punggung rajawali itu, Kong Sian kembali ke dalam goa.

Seperti tadi, dia berdiri memandang Ang I Niocu lagi dan kembali dia merasa jantungnya berdebar aneh. Ia menjadi terkejut sekali oleh karena belum pernah selama hidupnya dia mendapat perasaan seperti ini, sungguh pun telah banyak ia jumpai wanita-wanita cantik selama ia merantau.

Ia segera maklum pengaruh apa yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat dia segera membuang muka dan tidak mau memandang lagi. Akan tetapi, oleh karena hatinya masih saja berdebar, dia lalu pergi ke sudut goa di mana terdapat sebuah batu besar yang pada bagian atasnya ia tilami jerami kering, lalu duduk dan bersemedhi untuk menenteramkan hatinya yang terguncang!

Tidak lama kemudian, Kong Sian berhasil menekan perasaan hatinya yang bergelora itu, maka ia lalu turun dari atas batu dan menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya betapa wajah dara itu merah sekali dan pernapasannya sesak.

Ia mengulurkan tangan meraba jidat gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa gadis itu terserang demam hebat. Maka cepat dia keluar dari goa dan mencari daun obat yang banyak tumbuh di atas pulau Pek-le-to, lalu memeras daun itu dan meminumkan airnya pada Ang I Niocu, kemudian dengan sapu tangan yang dibasahi air ia lalu mengompres kepala Ang I Niocu.

Kekagetan dan ketakutan yang menyerang Ang I Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa ledakan yang dahsyat itu, membuat gadis itu pingsan dan menderita sakit demam hebat selama tiga hari. Dan selama itu pula, dengan setia dan hati penuh iba Kong Sian terus menjaga di sampingnya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Akan tetapi selama tiga hari itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang biasa berhati teguh dan beriman baja itu harus pergi untuk bersemedhi dan mengatur pernapasannya serta menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!

Pada hari ke empatnya, tubuh Ang I Niocu sudah mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan tetapi tubuhnya ternyata lemah sekali. Karena gerakan yang gelisah itu, beberapa kali mantel yang menutupi tubuhnya terbuka tapi dengan cepat dan sopan, Kong Sian lalu menutupkannya kembali. Kemudian dia lalu mengurut jalan darah gadis itu hingga Ang I Niocu merasa mendingan dan tidak begitu gelisah lagi, akan tetapi gadis itu masih belum membuka matanya. Sambil bergerak perlahan dengan mata tertutup ia berbisik.

“Lin Lin…. Hai-ji….” Kemudian sambil mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan di bibirnya ia berbisik lagi, “Air…. air….”

Ketika Kong Sian meraba jidatnya, maka ternyata panasnya sudah naik lagi. Kong Sian merasa kuatir sekali dan segera mengambil air yang sudah dimatangkannya, lalu dengan sebuah sendok yang terbuat dari kayu, dia menyuapi air matang ke dalam mulut Ang I Niocu yang menelannya dengan lahap sekali. Kong Sian lalu mengambil bubur gandum yang tadi telah dimasaknya, lalu dengan pelan-pelan dia menyuapkan bubur ini sesendok demi sesendok ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa membuka mata.

Sesudah diberi makan bubur, gadis itu lalu tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong Sian tetap menjaganya dengan perasaan penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah rasa cinta yang amat besar dan mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga puluh lima tahun ini.

Memang tadinya Kong Sian mengambil keputusan untuk tak akan kawin selama hidupnya dan terus tinggal di pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat, dan ilmu pengobatan. Akan tetapi semenjak pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam keadaan yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan dia merasa betapa hidup ini baginya menjadi berubah sama sekali. Sering kali ia duduk di dekat Ang I Niocu dan kemudian membayangkan betapa akan hancur hatinya dan kosong hidupnya apa bila gadis cantik ini meninggal dunia karena sakitnya.

Sesudah dirawat dengan sangat teliti serta telaten oleh Kong Sian selama dua hari dua malam dalam keadaan setengah sadar, dan selama itu pula Ang I Niocu belum pernah membuka matanya, maka lenyaplah demam yang menyerang dirinya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan biar pun tubuhnya masih agak lemah, akan tetapi ia tidak gelisah lagi.

Pada hari ke tujuh semenjak dia tiba di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua matanya bagaikan baru bangun dari alam mimpi yang sangat dahsyat. Ia bangun sambil tersentak kaget dan begitu membuka mata, dia segera bangun duduk sambil memanggil nyaring.

"Lin Lin…. Hai-ji….. " dan cahaya kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang cantik.

Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa kini dia sedang duduk diatas setumpuk rumput kering di dalam sebuah goa dan melihat seorang laki-laki cakap duduk di dekatnya sambil memandangnya dengan kagum sekali karena setelah kini Ang I Niocu membuka matanya Kong Sian merasa seakan-akan dia melihat seorang bidadari yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!

Ang I Niocu meloncat ke atas karena kagetnya dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya sehingga Kong Sian juga buru-buru melompat ke belakang dan memutar tubuhnya untuk membelakangi gadis itu.

"Nona, pakailah mantel itu baik-baik, baru kita bicara!" katanya perlahan dan halus.

Sementara itu Ang I Niocu terkejut bukan main melihat betapa pakaiannya telah robek tak karuan hingga ia hampir telanjang! Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia lalu menyambar mantel itu kembali dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu dengan ikat pinggangnya yang berwarna kuning emas. Setelah selesai, maka dengan mata bernyala ia lalu menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.

"Bangsat kurang ajar! Kau berani menghinaku?" serunya.

Mendengar ada sambaran angin pukulan, Kong Sian merasa terkejut sekali dan cepat dia mengelak sambil berkata,

"Ehh, Nona, sabar dulu... aku... aku …."

Walau pun merasa tubuhnya masih lemah, akan tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu tetap menyerang dengan hebat sambil mengeluarkan ilmu silat Kong-ciak Sin-na. Kong Sian merasa terkejut sekali oleh karena tentu saja dia juga mengenal ilmu silat dari suhu-nya ini, maka dengan heran ia lalu melayani Ang I Niocu dengan baik.

Makin kagumlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata lihai sekali dan biar pun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan lweekang gadis ini menyatakan bahwa dia menghadapi seorang pendekar wanita yang tidak boleh dibuat gegabah.

Ia pikir bahwa gerakan-gerakan ini akan membahayakan kesehatan gadis yang baru saja sembuh itu, maka dengan cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu dengan totokan- totokan luar biasa dan karena Ang I Niocu belum cepat gerakannya disebabkan tubuhnya yang masih lemah, lagi pula oleh karena ilmu kepandaian silat Kong Sian memang masih lebih tinggi, maka sebentar saja pemuda itu berhasil menotok pundak Ang I Niocu yang segera mengeluh dan roboh dengan lemas!

Kong Sian segera mengangkat tubuh Ang I Niocu dan membawanya keluar goa di mana ia menaruh tubuh gadis itu di bawah sebatang pohon sehingga angin gunung yang sejuk membuat Ang I Niocu merasa nyaman sekali.

"Nona, banyak sekali hal yang perlu kita bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan bicaraku. Pertama-tama yang perlu kau ketahui ialah kau sama sekali keliru menyangka padaku. Aku bukanlah orang jahat dan sama sekali aku tidak mempunyai maksud buruk terhadapmu. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang mengasingkan diri di pulau ini dan tujuh hari yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke mari sambil mencengkeram tubuhmu yang sedang pingsan! Kemudian kau jatuh sakit tidak sadarkan diri sampai tujuh hari dan aku merawatmu di dalam goa itu!"

Mendengar ucapan ini, lenyaplah sinar marah dari mata Ang I Niocu dan Kong Sian lalu mengulur tangan memulihkan totokannya pada pundak gadis itu sambil berkata, "Biarlah, kalau kau tetap tidak percaya padaku, kau seranglah aku lagi, aku tak hendak membalas untuk menyatakan bahwa kata-kataku tadi benar belaka!"

Setelah sadar dari totokan, Ang I Niocu memandang dengan mata bengong dan dia tidak berkutik dari tempat duduknya. Tubuhnya masih terasa lemah sehingga ia menyandarkan diri saja pada pohon itu.

"Benar-benar masih hidupkah aku?" tanyanya perlahan setengah berbisik, karena kini dia teringat betapa dia sudah dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.

Kong Sian tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak bersungguh-sungguh itu berubah sesudah dia tersenyum. Sekarang dia tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira.

"Tentu saja kau masih hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini? Kau berada di Pulau Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya."

"Bagaimana seekor rajawali dapat membawaku ke sini?" Di mana burung itu?" tanya Ang I Niocu yang masih merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya kepada cerita yang aneh itu.

Lie Kong Sian lalu berdiri dan bersuit keras. Dari atas lalu terdengar suara balasan dari seekor burung dan tiba-tiba nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar turun dengan cepatnya. Setelah tiba mendekat, ternyata yang melayang turun itu adalah seekor burung rajawali besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada burung rajawali yang dulu menyambar-nyambar dirinya di atas perahu ketika dia masih mencari Pulau Kim-san-to di atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Akan tetapi rajawali ini lebih besar dan bulunya indah sekali. Sin-kim-tiauw terbang rendah lalu turun di hadapan Kong Sian, memandang kepada Ang I Niocu dengan sepasang matanya yang tajam sinarnya.

"Nah, inilah Sin-kim-tiauw yang membawamu ke sini. Sekarang akulah yang ingin minta keterangan kepadamu bagaimana kau bisa terbawa oleh burung sakti ini."

"Aku…. aku berada di Pulau Kim-san-to dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku terlempar ke udara oleh ledakan itu kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Agaknya ketika tubuhku melayang di udara dalam keadaan pingsan, burung sakti ini menyambar diriku dan membawanya ke sini. Kalau begitu, dia adalah penolong jiwaku!" Sesudah berkata demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia berlutut di depan burung itu!

Kim-tiauw itu adalah seekor burung yang luar biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, dia agaknya tahu dan sambil mengeluh panjang dia kemudian menundukkan kepalanya dan membelai kepala Ang I Niocu dengan lehernya yang berbulu tebal. Kemudian, sambil memekik gembira burung itu lalu terbang ke atas dan berputaran di udara seakan-akan merasa girang sekali bahwa ada orang yang berterima kasih dan berlutut padanya!

"Kau katakan tadi bahwa aku sudah jatuh sakit dan tidak ingat diri sampai tujuh hari di sini?" tanya Ang I Niocu sambil menghadapi Kong Sian kembali. Mereka masih duduk di atas rumput, saling berhadapan.

Kong Sian mengangguk. "Ya, kau pingsan selama tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas sekali. Kau terserang demam hebat dan tiap hari mengigau dalam keadaan tidak ingat orang. Kemudian kau dapat bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas sekali dan sama sekali tidak membuka matamu. Aku telah merasa kuatir sekali dan sudah hampir habis harapanku untuk dapat melihat kau hidup lagi."

Ketika Kong Sian sedang bercerita, Ang I Niocu memandang dengan penuh keheranan. Duduk berhadapan dengan Kong Sian dan mendengar suara orang ini bercerita tentang keadaannya, dia merasa seakan-akan dia telah menjadi kenalan lama, apa lagi ketika dia dapat menangkap nada suara yang penuh getaran karena terharu pada saat pemuda itu menceritakan kegelisahannya melihat dia sakit!

“Kalau begitu, selama tujuh hari aku menderita sakit… akan tetapi… sungguh heran… bagaimana aku masih dapat hidup….?”

Kong Sian merasa segan dan malu untuk menceritakan betapa ia telah merawat gadis ini selama sakit, maka ia hanya menjawab, “Thian itu adil dan selalu melindungi orang-orang baik, maka Thian telah melindungimu dari keadaan yang membahayakan jiwamu itu.”

Ang I Niocu menggelengkan kepalanya. “Betapa pun juga, jika dalam keadaan sakit aku tidak diberi obat dan selama tujuh hari tidak makan apa-apa, tak mungkin aku akan dapat hidup! Siapakah yang merawatku dan siapa yang memberi makan padaku?”

Merahlah wajah Kong Sian mendengar ini. Sikapnya menjadi canggung sekali, ada pun suaranya menjadi gagap ketika ia menjawab, “Memang… aku telah… aku yang memberi obat kepadamu dan… dan melihat kau begitu lemah dan gelisah…. aku memberi bubur gandum kepadamu."

Ketika mendengar ini, terbayang sinar terima kasih yang amat mendalam pada mata Ang I Niocu karena biar pun pemuda itu tidak menceritakannya, ia sudah dapat menduganya. Sikap ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa pemuda itu sudah merawatnya, membuat pandangannya terhadap pemuda itu semakin tinggi dan kagum sekali. Sikap ini hanyalah menunjukkan betapa tinggi pribadi orang ini.

Akan tetapi, tiba-tiba Ang I Niocu teringat akan sesuatu dan sinar kemarahan tercampur keraguan membayang kembali pada wajahnya yang menjadi makin memerah.

"Dan... keadaan pakaianku ini…!”

Dia lalu melompat berdiri lagi, kedua tangannya terkepal, "katakanlah terus terang, apa yang terjadi dengan pakaianku? Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan mantel? Mantel siapakah ini?" Pertanyaan ini diucapkan dengan ketus dan marah oleh karena ia merasa bercuriga.

Kong Sian menarik napas panjang. "Nona, kalau saja bukan kau yang bersikap seperti ini dan menyangka yang bukan-bukan terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan menjadi amat marah! Kau kira aku Lie Kong Sian ini orang macam apakah? Nona, kau boleh maki padaku, bahkan kau boleh menyerangku, akan tetapi janganlah sekali-kali kau menduga aku sudah berlaku rendah dan biadab terhadap dirimu! Pada waktu Sin-kim-tiauw datang membawamu ke sini, pakaianmu sudah robek semua dan tidak keruan macamnya, maka lalu aku menyelimutimu dengan mantelku. Nah, itulah keadaan yang sebenarnya!"

Sambil berkata demikian, teringatlah Kong Sian akan hal itu sehingga dia menundukkan kepala dengan kemalu-maluan. Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu ia akan melihat betapa Ang I Niocu menjadi merah sekali mukanya dan betapa kedua mata gadis itu mencucurkan air mata!

Tiba-tiba Ang I Niocu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu sambil berkata dengan suara penuh keharuan, "In-kong (Tuan Penolong), kau maafkan aku yang kasar dan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong jiwaku, telah merawatku selama tujuh hari, memberi obat, menyuapkan makan, akan tetapi aku yang tertolong bahkan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Maafkanlah aku…" Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak saja dia merasa terharu, akan tetapi dia juga teringat akan semua peristiwa dan dia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin Hai!

Lie Kong Sian lalu berkata dengan halus, "Duduklah, Nona, dan kini legalah hatiku sebab sekarang kau telah percaya kepadaku."

Ang I Niocu bangun, lantas duduk kembali sambil menyusuti air matanya dengan ujung mantelnya. Ia kini merasa sangat jengah dan malu sehingga dia tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu.

"Yang amat mengherankan," katanya kemudian, "kenapa tubuhku tak terluka sedangkan aku dicengkeram dan dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang begitu besar dan ganas.”

“Tidak usah kau merasa heran, Nona. Sin-kim-tiauw bukanlah burung rajawali biasa. Dia telah terlatih baik sekali oleh Supek-ku yang sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun Su saja yang dapat melatihnya.”

Ang I Niocu mengangkat kepalanya dan memandang tajam. “Apa? Jadi kau adalah murid keponakan dari Suhu Bu Pun Su?”

Kong Sian juga memandang heran. “Benar, mendiang Suhu-ku yang bernama Han Le adalah sute dari Supek Bu Pun Su. Nona, ketika kau menyerangku di dalam goa tadi kau telah mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?”

Dengan girang sekali Ang I Niocu berkata, “Kalau begitu, kau masih terhitung seheng-ku (kakak seperguruan) karena aku pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun Su! Biar pun sebetulnya Suhu Bu Pun Su masih menjadi susiok couw-ku sendiri karena mendiang ayahku ialah murid keponakannya. Akan tetapi akhir-akhir ini aku juga mendapat latihan Kong-ciak Sinna serta Pek-in Hoat-sut dari Suhu Bu Pun Su sehingga aku boleh juga menyebutnya Suhu!"

Bukan main girang rasa hati Kong Sian "Ahh, ahh, dunia ini memang tidak berapa luas! Siapa tahu bahwa aku sudah menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh aku merasa girang sekali mendengar ini. Akan tetapi, siapakah mendiang Ayahmu?"

"Ayahku adalah Kiang Liat," jawab Ang I Niocu dengan singkat oleh karena dia merasa malu membicarakan ayahnya yang mati karena gila!

Kong Sian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku sudah pernah mendengar dari Suhu tentang ayahmu itu yang berjuluk Jian-jiu Sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu). Ketika merantau, aku juga pernah mendengar nama besar dari seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang I Niocu, apakah kau sendiri orang itu?"

Ang I Niocu mengangguk. "Memang itu nama julukanku yang kosong tak berisi. Namaku adalah Kiang Im Giok, seorang yatim piatu yang hidup sunyi dan penuh penderitaan."

"Sumoi, kata-katamu ini benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa bosan sekali di dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian."

Keduanya lalu berdiam sampai lama, dan tenggelam dalam lamunan masing-masing.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)