PENDEKAR BODOH : JILID-35


"Ah, memang aku yang percuma dihidupkan di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa yang besar dan demikian banyaknya serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan tetapi yang kukerjakan hanyalah duduk melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau Kim-san-to telah kutinggalkan bertahun-tahun hingga sekarang lenyap dimakan api! Ah, arwah Suhu tentu marah melihat sikapku ini. Memang aku hanya orang yang berjiwa lemah!" Ia menghela napas berulang-ulang dan merasa kecewa terhadap diri sendiri.

"Suheng, kau adalah seorang gagah dan mulia dan melihat gerakanmu saat kau menotok roboh padaku tadi, aku yakin bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kau sia-siakan diri di tempat ini? Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan melakukan darma bakti sebagai orang yang berkepandaian? Kalau kau mengasingkan diri di tempat ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari kepandaian sampai bertahun-tahun?"

Seperti biasanya, Ang I Niocu selalu merasa bahwa dia lebih berpengalaman dan lebih ‘berakal’ dari pada orang lain, maka di dalam ucapannya ini terkandung nasehat-nasehat, teguran dan penyesalan, seperti biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau guru menasehati murid. Memang, selama ia menjelajah di dunia kang-ouw, yang disegani oleh Ang I Niocu dan yang membuat ia tunduk hanya Bu Pun Su seorang, sedangkan kepada lain-lain orang ia bersikap ‘lebih tinggi’.

Kong Sian tersenyum mendengar ucapannya ini. "Sumoi, memang demikianlah apa bila dipandang sepintas lalu saja. Akan tetapi, selama kau malang melintang di dunia ramai, apakah yang kau dapat? Hanya permusuhan, kejahatan, dan perkelahian mengadu jiwa, bunuh-membunuh sesama manusia. Aku sudah bosan menghadapi semua itu. Di sini aku mendapatkan ketenteraman jiwa dan tak terpengaruh oleh kejahatan-kejahatan manusia yang terjadi di dunia ramai. Memang, sewaktu-waktu aku tentu keluar dari pulau ini untuk meninjau dunia ramai sehingga tidak terputus hubunganku dengan manusia umum, akan tetapi, tempat ini sudah kupilih untuk menjadi tempat tinggalku yang tetap di mana aku dapat hidup dengan tenteram dan aman sentosa!"

Ucapan ini membuat Ang I Niocu menjadi tertegun. Terutama kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh suheng-nya ini berkesan di dalam hatinya. Apakah yang dia dapat selama ini? Hanya kesedihan, kekecewaan, dan permusuhan belaka.

Demikianlah, kedua orang itu kemudian bercakap-cakap dengan asyiknya, menceritakan pengalaman masing-masing. Ketika mendengar tentang Cin Hai yang menjadi murid Bu Pun Su dan yang kepandaiannya sangat dipuji oleh Ang I Niocu, Lie Kong Sian merasa kagum sekali.

"Ahh, ingin sekali aku bertemu dengan dia itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa seorang pemuda yang masih demikian muda telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian pokok dari Supek Bu Pun Su. Dahulu Suhu pernah mengatakan bahwa ilmu pengertian pokok segala gerakan ilmu silat adalah kepandaian tunggal Supek yang membuat dia menjadi seorang yang tak ada lawannya dalam dunia persilatan. Dan dia sudah mampu mencipta sendiri ilmu pedangnya. Mengagumkan sekali." Diam-diam Kong Sian membandingkan anak muda itu dengan sute-nya Song Kun yang juga amat lihai ilmu silatnya.

Sambil merawat dan memulihkan kesehatannya, Ang I Niocu berdiam di pulau itu dan melatih ilmu-ilmu silat bersama Kong Sian. Ia telah menggunakan waktu senggang untuk menjahit kembali pakaiannya hingga kini tak perlu lagi ia menyelimuti diri dengan mantel pemuda itu.

Dalam latihan ilmu silat, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda itu benar-benar hebat dan lihai sekali sehingga boleh dikata masih lebih tinggi setingkat dari pada ilmu kepandaiannya sendiri. Oleh karena ini, dia mendapat petunjuk-petunjuk dari suheng-nya ini yang juga merasa kagum sekali melihat kepandaian sumoi-nya.

Ketika mendengar tentang Song Kun, Ang I Niocu menyatakan pendapatnya,

"Suheng sudah terang bahwa sute-mu itu jahat dan membahayakan keselamatan umum, mengapa kau tidak pergi mencari dan menasehatinya?"

“Dulu sudah pernah aku mencarinya, akan tetapi dia tidak mau mendengar nasehatku," jawab Kong Sian dengan suara sedih.

"Kalau begitu, kau harus menggunakan kekerasan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memberantas kejahatan, dan siapa pun juga orangnya yang berlaku jahat, maka harus kita berantas!"

"Kami bahkan pernah bertempur dan aku tidak dapat mengalahkan. Ilmu kepandaiannya walau pun tidak lebih dari pada kepandaianku, namun ia memiliki bakat luar biasa serta kelincahan yang mengagumkan sekali. Dan… dan aku tidak tega melihat dia mendapat celaka. Aku amat menyayangnya seperti adik sendiri, sumoi."

Ang I Niocu memandangnya tajam dan kagum. "Kau memang orang yang berhati mulia, akan tetapi kau terlalu lemah, Suheng. Agaknya, kalau kau sudah mencinta seseorang, kau akan membelanya sampai mati! Sayang tidak ada seseorang wanita yang mendapat kehormatan menerima cinta di hatimu itu, Suheng. Alangkah bahagianya seorang wanita yang mendapat cinta hati seorang mulia seperti kau ini!"

Ucapan ini sebenarnya hanya muncul dari watak yang jujur dari Ang I Niocu karena dia merasa betapa ada persesuaian antara dia dan Kong Sian. Dia sendiri pun kalau sudah mencinta orang, dia rela membelanya dengan taruhan jiwa sekali pun. Seperti halnya Lin Lin dan Cin Hai, ia rela untuk mengorbankan jiwa demi kebahagiaan mereka! Akan tetapi, tanpa disangkanya, ketika mendengar ucapan yang diucapkan sewajarnya ini, mendadak Kong Sian menjadi pucat sekali.

"Suheng, kau….. kau kenapakah?"

Sambil menundukkan kepala dan tak berani menentang mata Ang I Niocu, Kong Sian lalu berkata pelan, "Sumoi, sebetulnya lidahku seolah-olah beku untuk mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi biarlah kini aku berterus terang saja. Sebelum bertemu dengan kau, tak pernah terpikir olehku mengenai diri seorang wanita dan aku telah mengambil keputusan untuk hidup menyendiri di pulau ini hingga mati. Akan tetapi, setelah aku bertemu dengan kau… bahkan sebelum aku mengetahui siapa adanya kau, melihat kau menderita sakit tanpa mengetahui apakah kau orang baik-baik atau orang jahat, hatiku sudah… tertarik sekali kepadamu dan… dan…" kemudian ia mengangkat mukanya dan dengan wajah pucat ia memandang kepada gadis itu dengan mata sayu, "Sumoi… maafkan kata-kataku ini… kita sama-sama hidup tidak berisi seakan-akan kosong dan sunyi. Maukah kau... maukah kau menghabiskan sisa hidupmu dengan aku di pulau ini?"

Warna merah menjalar di seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya, dan matanya terbelalak ketika dia memandang pemuda itu. "Suheng... apakah maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Sumoi, kalau kau sudi, marilah kita hidup bersama di pulau ini... maksudku, kita hidup sebagai suami isteri!"

Kini mata Ang I Niocu memandang tajam. “Kenapa, Suheng? Kenapa kau mengajukan usul ini? Apakah yang mendorongmu?"

Sementara itu, Kong Sian sudah dapat menetapkan hatinya yang tadi berguncang hebat. Dengan gagah dia lalu mengangkat muka, memandang wajah Ang I Niocu sepenuhnya. "Sumoi, biarlah kau mendengar pengakuanku. Meski pun kau akan mentertawaiku, akan mencaci, biarlah! Aku cinta kepadamu, Sumoi, sebagai cinta seorang laki-laki terhadap seorang wanita! Belum pernah ada perasaan demikian di hatiku, akan tetapi sesudah aku melihatmu, aku cinta kepadamu, cinta dengan sepenuh jiwaku! Karena itu, sekarang aku mengajukan pinangan kepadamu, Sumoi, apa bila kau sudi, sukalah kiranya kau menjadi isteriku dan kita menghabiskan sisa hidup sebagai suami isteri di pulau ini."

Tiba-tiba saja tanpa dapat ditahan lagi, mengalirlah air mata dari kedua mata Ang I Niocu sehingga Kong Sian menjadi terkejut dan berkata halus,

"Sumoi, kalau aku menyinggung dan melukai hatimu, ampunkanlah aku. Aku tidak akan memaksamu, Sumoi, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, apa bila kau tidak suka menerima katakanlah tanpa ragu-ragu atau sungkan-sungkan lagi. Aku takkan menyesal kepadamu, hanya akan menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak tahu diri!"

Sambil menghapus air matanya, Ang I Niocu menggelengkan kepalanya berkali-kali dan berkata, "Bukan demikian, Suheng. Jangan kau salah sangka. Aku... aku hanya merasa terharu sekali mendengar pernyataanmu yang sama sekali tak pernah kusangka-sangka itu. Aku telah menerima budi pertolonganmu yang besar yang selama hidupku tidak akan pernah kulupa. Kau sudah menolong jiwaku dan apa bila seandainya tidak ada kau, aku Kiang Im Giok pasti sudah mati! Dan seandainya aku tidak terjatuh ke dalam tanganmu, akan tetapi ke dalam tangan laki-laki lain ahh... entah nasib apa yang akan kuderita! Kau seorang gagah dan mulia, Suheng, terlalu mulia bagiku... aku... aku seorang yang jahat dan kotor! Ketahuilah, pada waktu aku masih muda, aku telah jatuh cinta yang akhirnya mengorbankan nyawa Ayahku sendiri. Aku tidak berharga bagimu, Suheng."

"Im Giok, aku sudah tahu tentang hal itu dari Suhu-ku. Aku pernah mendengar betapa kekasihmu dibunuh oleh ayahmu sendiri. Akan tetapi, kau tidak bersalah dalam hal itu. Ayahmu meninggal dunia oleh karena serangan penyakit jantung yang berbahaya. Wajar bagi seorang gadis untuk jatuh cinta!"

"Bukan itu saja, Suheng. Semenjak peristiwa itu, aku membenci laki-laki! Banyak pemuda yang jatuh cinta kepadaku, sengaja kupermainkan perasaan cintanya sehingga mereka menjadi seperti gila! Aku berlagak membalas perasaan mereka dan apa bila mereka telah menjadi gila betul-betul, aku pergi meninggalkannya. Banyak yang sudah menjadi korban, bahkan seorang pemuda yang baik budi bernama Kang Ek Sian, yang dulu bahkan telah dipilih oleh Suhu Bu Pun Su sendiri untuk menjadi suamiku, juga telah kupermainkan dan kupatahkan hatinya!"

Kong Sian menggelengkan kepala dan menarik napas dalam. "Memang kau telah berlaku kejam dan sesat, Sumoi, akan tetapi pengakuanmu ini telah meringankan dosamu, tanda bahwa kau sudah insyaf. Aku tidak menyesal mendengar ini dan tidak mengurangi rasa cintaku padamu."

"Masih ada lagi, Suheng... " kata Ang I Niocu sambil mengusap air mata yang menitik ke atas pipinya, "aku... aku yang tidak tahu diri akhirnya telah jatuh hati! Dan aku jatuh hati serta mencinta dengan sepenuh jiwaku kepada seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda dariku, padahal ketika aku bertemu dengan dia, aku telah berusia dua puluh tahun lebih dan dia baru berusia dua belas tahun! Aku... aku yang tidak tahu malu ini diam-diam mencinta kepadanya, dan... dan orang itu adalah Cin Hai, murid Suhu Bu Pun Su yang pernah kuceritakan padamu!"

"Hmm, jadi karena itukah maka kau mati-matian hendak mengorbankan nyawamu untuk menolong Lin Lin seperti yang kau ceritakan itu? Sumoi, kau benar- benar seorang mulia yang bernasib malang dan patut dikasihani! Aku dapat membayangkan betapa suci dan mulia rasa cintamu kepada Cin Hai! Melihat pemuda itu mencinta seorang gadis lain, kau tidak sakit hati, bahkan kau berdaya sekuat tenaga hendak mempertemukan mereka! Aku tahu, Sumoi, aku dapat menyelami jiwamu dan aku merasa bersyukur sekali bahwa kau dapat mengatasi perasaan-perasaan yang kurang baik. Sumoi, cerita dan pengakuanmu ini mempertinggi nilai dirimu dalam pandanganku."

Ang I Niocu mengangkat muka dan memandang heran. "Apa? Kau tidak marah padaku, Suheng? Kau tidak memandang rendah terhadapku setelah segala apa yang kuceritakan padamu itu?"

Kong Sian menggeleng-geleng kepalanya sambil tersenyum, dan dari matanya bersinar cinta kasih yang diliputi kekaguman hati. "Pengakuanmu bahkan telah mempertebal rasa cintaku, Sumoi. Sudah wajar bagi tiap manusia untuk melakukan kekeliruan, akan tetapi, setiap kekeliruan akan musnah apa bila orang itu sudah menyadari dan menginsyafinya. Kau adalah seorang mulia."

Mendengar ini, lemaslah seluruh anggota tubuh Ang I Niocu dan dia lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput sambil menangis.

"Im Giok, jangan kau merasa berat untuk menolak permintaanku tadi. Aku maklum bahwa aku memang mungkin terlalu tua bagimu dan... "

"Tidak Suheng. Usia kita tidak berselisih jauh."

"Apa?? ]angan kau membohongi aku, Sumoi!" kata Kong Sian dengan heran.

Ang I Niocu tersenyum sedih di antara air matanya. "Aku tidak bohong, Suheng. Memang mungkin aku nampak jauh lebih muda oleh karena aku banyak makan telur dari pek-tiauw (rajawali putih), akan tetapi sesungguhnya aku telah berusia tiga puluh lebih, sedikitnya tiga puluh dua tahun!"

Kong Sian mengangguk-angukkan kepalanya, karena sebagai seorang ahli pengobatan yang menerima warisan kepandaian dari Han Le, ia maklum akan khasiat yang besar dari telur burung rajawali putih.

"Pantas, pantas saja! Dan hal ini lebih-lebih menunjukkan kegagahanmu, oleh karena tak sembarangan orang dapat mengambil telur pek-tiauw! Melihat wajahmu, agaknya engkau paling banyak baru berusia dua puluh lima lebih! Bagaimana Sumoi. Bersediakah kau menerima aku yang bodoh dan buruk rupa sebagai kawan hidupmu?"

Ang I Niocu menggunakan tangan untuk menutup mukanya. Ia merasa bingung sekali. Di dalam hati ia mengaku bahwa mungkin di dunia ini tidak ada seorang pemuda yang layak dan patut menjadi suaminya selain Kong Sian. Kepandaiannya tinggi melebihinya sendiri, rupanya tampan dan sikapnya halus dan sopan santun. Pribadinya tinggi dan hal ini telah ia buktikan ketika pemuda itu mendapatkan dirinya yang berada dalam keadaan setengah telanjang itu dan ketika pemuda ini merawatnya dengan penuh kesabaran.

Semua ini telah menunjukkan bahwa pemuda ini sungguh-sungguh mencintanya dengan sepenuh jiwa. Terutama sekali, di dalam hal usia pemuda ini sebanding dengan dia! Apa lagi? Pemuda ini bahkan telah menolong jiwanya sehingga sampai mati pun belum tentu ia bisa membalas budinya.

Akan tetapi, jika dia menerima pinangan itu, seakan-akan ia terlalu murah memberi harga kepada dirinya! Dia memang berwatak tinggi hati dan keras, dan tidak mau ditundukkan dengan mudah. Akan tetapi, untuk menolak dia pun tidak berani!

"Suheng,” katanya setelah dia berpikir dengan masak-masak, "aku harus menghaturkan beribu terima kasih atas budi kecintaanmu itu. Bagaimana aku dapat menolak pinangan seorang seperti kau? Akan tetapi hal ini terjadi terlalu tiba-tiba sehingga aku belum dapat memutuskannya karena masih merasa bingung! Sekarang begini saja, Suheng. Biarlah kau anggap aku telah menerima pinanganmu itu dan aku pun takkan malu-malu mengaku bahwa aku telah menjadi tunanganmu. Akan tetapi, soal pernikahan antara kita baru bisa terlaksana setelah kau memenuhi beberapa syarat!"

Kong Sian tersenyum dan dari ucapan ini saja ia yang sudah paham akan tabiat manusia, dapat mengetahui bahwa gadis kekasih hatinya ini memiliki adat yang tinggi dan keras! Ia menjawab sambil masih tersenyum. "Sumoi, katakanlah, apa syarat-syaratmu itu?"

"Pertama, kau harus menanti sampai aku bisa bertemu kembali dengan kawan-kawanku, terutama dengan Cin Hai dan Lin Lin. Sebelum aku dapat mempertemukan kedua sejoli ini atau melihat mereka telah berkumpul kembali, tidak mungkin aku dapat mengikat diri dengan laki-laki lain!"

Kong Sian mengangguk-angguk, karena maklum akan isi hati Ang I Niocu.

“Kedua, kita harus mendapat perkenan dari Suhu Bu Pun Su, oleh karena dahulu beliau mempunyai maksud dan kehendak untuk menjodohkan aku dengan Kang Ek Sian, yang biar pun mencintaku, akan tetapi tak kubalas cintanya itu.”

Syarat ke dua ini diam-diam menggirangkan hati Kong Sian, oleh karena dari ucapan terakhir yang menyatakan bahwa gadis ini tidak menerima pinangan Kang Ek Sian oleh karena tidak mencintanya, hampir menyatakan bahwa biar pun sedikit, gadis ini ‘ada hati’ padanya, kalau tidak, tentu ia akan menolaknya pula! Karena itu ia mengangguk-angguk kembali dengan mulut tersenyum.

“Ke tiga,” kata lagi Ang I Niocu, “kau harus keluar dari pulau ini dan turun ke dunia ramai untuk mencari sute-mu Song Kun itu dan memenuhi pesan Suhu-mu, yaitu menasehati dia atau menggunakan kekerasan terhadapnya.”

“Ahh, yang ke tiga ini berat sekali, Sumoi! Kau tahu bahwa aku amat mencintanya dan tidak tega untuk mencelakakannya!”

“Inilah kelemahan yang membuat hatiku tak puas! Kau tidak tega kepada Sute-mu karena kau mencintanya, akan tetapi apakah kau akan bertega hati melihat betapa wanita-wanita diganggunya? Kelemahanmu ini menimbulkan ketidak adilan di dalam hatimu yang tidak layak dan tidak patut dimiliki oleh seorang pendekar silat.”

Kong Sian menghela napas, kemudian menjawab, “Biarlah, hal ini perlu kurenungkan dan kupikirkan baik-baik, sumoi. Masih ada lagikah syarat-syaratmu?”

Pertanyaan ini membuat Ang I Niocu menjadi merah mukanya karena dia merasa telah keterlaluan mengajukan sekian banyak syarat. Akan tetapi, syarat-syarat itu setidaknya dapat ‘mengangkat’ harga dirinya, tidak semurah kalau ia menerimanya mentah-mentah!

“Masih ada satu hal lagi,” katanya dengan muka merah dan menundukkan kepala, “akan tetapi yang terakhir ini baru akan kuceritakan kalau kau telah memenuhi yang ketiga itu.”

“Baiklah, Sumoi. Kuterima semua syarat-syaratmu.” Kemudian Lie Kong Sian meloloskan pedangnya dari pinggang dan memberikan itu kepada Ang I Niocu, lalu berkata, “Sumoi, terimalah Cian-hong-kiam ini sebagai bukti dari pada ikatan yang ada di antara kita, dan biarlah Thian yang menjadi saksi atas pertunangan kita ini.” Kata-kata ini diucapkan oleh Kong Sian dengan suara bergetar hingga mengharukan hati Ang I Niocu yang menerima pedang itu.

Kemudian Ang I Niocu mengambil perhiasan rambutnya yang terbuat dari pada mutiara dan memberikannya kepada Kong Sian. “Aku tidak mempunyai apa-apa, Suheng dan biarlah benda ini menjadi bukti dari pada kesetiaanku.”

Tak ada upacara yang mengesahkan pertunangan mereka itu selain dari pada penukaran benda yang dilakukan dengan sikap sederhana ini akan tetapi diramaikan oleh pertemuan pandang mata mereka yang menembus ke hati masing-masing.

Sesudah itu, Ang I Niocu lalu berpamit hendak pergi mencari Cin Hai dan Lin Lin. Kong Sian segera mengambil perahunya dan ia lalu mengantarkan tunangannya itu sampai ke darat di pesisir Tiongkok. Si Rajawali Emas tidak mau ketinggalan, ikut mengantar sambil terbang di atas perahu itu.

Pada saat keduanya telah mendarat dan Ang I Niocu hendak meninggalkannya, mereka saling pandang dan Ang I Niocu berbisik, “Semoga Thian memberkahi perjodohan kita dan semoga cita-cita kita bersama akan terlaksana, Koko.”

Kedua mata Kong Sian menjadi basah karena terharu dan girang mendengar sebutan ini dan semakin yakinlah dia bahwa diam-diam Ang I Niocu juga mempunyai perasaan yang sama dengan perasaan hatinya.

“Selamat Jalan, Moi-moi, dan biarlah Sin-kim-tiauw mengawanimu.”

Ang I Niocu girang sekali. Ia berkata kepada burung rajawali itu,

“Sin-kim-tiauw, kau ikutlah padaku!”

Burung itu agaknya mengerti ucapan ini, karena dia cepat menoleh kepada Kong Sian seakan-akan minta perkenannya. Dia tak akan berani pergi sebelum mendapat perkenan dari Kong Sian.

“Pergilah kau ikut dia, Kim-tiauw, dan jagalah dia baik-baik!”

Burung itu lalu mengeluarkan bunyi karena girang dan ketika Ang I Niocu berlari cepat meninggalkan tempat itu, dia lalu terbang dan mengejar. Kong Sian kembali ke pulaunya untuk merenungkan peristiwa yang tak tersangka-sangka telah terjadi dalam hidupnya itu.

Demikianlah kisah pengalaman Ang I Niocu yang diduga telah tewas itu. Beberapa bulan lamanya ia merantau mencari-cari Cin Hai dan Lin Lin. Ia kembali ke pesisir dari mana ia menyeberang ke Pulau Kim-san-to, tetapi dia tidak mendapatkan jejak kawan-kawannya sehingga ia segera menuju ke barat. Oleh karena mendengar bahwa Lin Lin ikut dengan seorang Turki dan bahwa pada waktu itu di daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, ia lalu merantau ke barat.

Pada suatu hari dia tiba di sebuah bukit di daerah Sui-yan. Dia berlari cepat, akan tetapi Sin-kim-tiauw telah mendahuluinya, terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi karena ia merasa girang bahwa Ang I Niocu tidak dapat mengejarnya!

Tiba-tiba burung itu memekik keras dan pekik kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu hingga membuatnya mempercepat larinya. Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi marah sekali oleh karena melihat betapa ada tiga orang-orang tua tengah melempar-lempar batu kecil ke arah Sin-kim-tiauw yang beterbangan dan menyambar-nyambar di atas mereka dengan marah!

Burung itu cepat mengelak dan mengebut sambitan batu dengan sayapnya sehingga tiga orang tua itu berseru kagum, “Burung bagus!”

Ketiga orang tua itu adalah seorang nenek buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti hidung kakak tua, dan berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua orang tua lainnya adalah seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang lagi tosu yang bermata lebar.

Melihat betapa rajawali itu dapat mengelak dari setiap sambitan, bahkan salah satu batu yang dikebut oleh sayapnya berbalik meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua yang buruk menjadi marah.

“Burung siluman! Rasakan sambitanku ini!”

Dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan hebatnya ke arah tubuh rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak sambil mengebut dengan sayapnya, akan tetapi sebuah dari pada batu-batu itu tepat mengenai pahanya sehingga dia merasa sakit sekali dan memekik-mekik kesakitan!

“Nenek jahat! Jangan kau mengganggu burungku!” Ang I Niocu berseru marah sambil melompat ke hadapan nenek itu.

Ketika melihat seorang gadis berbaju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi marah dan tanpa berkata sesuatu langsung menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah pundak Ang I Niocu! Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan menangkis, akan tetapi dia menjadi terhuyung-huyung ke belakang karena ternyata bahwa tenaga lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian nenek ini, Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian dan dia pun segera menyerang dengan cepat.

Dan pada saat dia bertempur dengan seru melawan nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan Ma Hoa yang terheran-heran melihat Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah mati itu!

Dua orang kakek yang tadinya hanya menjadi penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata lihai sekali ilmu pedangnya dan dapat mendesak nenek bongkok, segera berseru keras, dan maju menyerbu dengan kebutan ujung lengan baju mereka yang panjang. Ang I Niocu merasa terkejut oleh karena sambaran angin pukulan mereka ternyata jauh lebih hebat dari pada serangan nenek bongkok itu, terutama pendeta yang bersorban! Maka dia lalu memutar pedangnya dengan lebih cepat lagi dan mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat.

Melihat hal ini, Kwee An beserta Ma Hoa langsung menerjang dengan pedang di tangan dan membantu Ang I Niocu. Mereka berdua telah bermufakat untuk diam saja dan tidak menegur Ang I Niocu, untuk membuktikan bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu Ang I Niocu.

Saat melihat ada dua bayangan berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong itu adalah Kwee An dan Ma Hoa, bukan main girangnya hati Ang I Niocu dan dia segera menegur,

“Ma Hoa...! Kwee An...!”

Berdebarlah tubuh kedua anak muda itu mendengar suara ini karena kini mereka tidak perlu merasa ragu-ragu lagi, terutama sekali Ma Hoa yang tidak dapat menahan isaknya! Sambil menangkis ujung lengan baju pendeta bersorban yang sedang melayang ke arah mukanya, dia berseru dengan isak tertahan,

“Enci Im Giok...!”

Juga Kwee An berseru girang, “Ang I Niocu...!”

Sementara itu, tiga orang tua yang mendengar nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera melompat mundur dengan hati terkejut. Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk saling tubruk dan saling peluk.

“Enci Im Giok..., kau... kau masih hidup...?”

“Adik Ma Hoa...,” mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata karena girang dan keduanya saling pandang dengan tersenyum.

“Ha-ha-ha-ha, jadi kalian adalah Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An?” berkata tosu tadi. ”Kebetulan sekali!”

Juga nenek bongkok itu lalu berkata, “Hmm, memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus di tangan kami! Ang I Niocu, ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan kedua kakek ini adalah sahabat-sahabat baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin.” Ia menunjuk ke arah pendeta bersorban lalu ke arah tosu itu. “Tak perlu aku bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian, cukup kalau kuberi tahu bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah seheng-ku!”

Sekarang mengertilah Ang I Niocu serta kedua orang kawannya, dan mereka maklum bahwa pertempuran mati-matian tak dapat dielakkan lagi.

“Memang burung gagak selalu berkawan dengan burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu sambil tersenyum sindir. “Hai Kong Hosiang belum terhitung jahat apa bila belum mempunyai seorang sumoi seperti kau ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang terdiri dari pendeta-pendeta palsu pula!”

Bukan main marahnya ketiga orang itu mendengar hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu lalu mencabut keluar senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas yang panjang hingga ketika ia pegang dengan kedua tangan maka merupakan sepasang senjata lemas yang luar biasa.

Wai Sauw Pu pendeta yang bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang hingga ikut pula membela pendeta gundul itu. Pendeta bersorban ini mengeluarkan senjatanya yang jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh yang terbuat dari pada gading gajah dan merupakan lingkaran panjang.

Lok Kun Tojin, seorang pertapa yang sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang lebih lihai, yaitu sepasang roda memakai tali sehingga roda-roda itu bila digerakkan bisa berputaran bagaikan kitiran dan membuat bingung kepada lawannya.

Sambil berseru keras, ketiga orang itu lalu menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang I Niocu, pendeta bersorban menghadapi Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An. Pertempuran hebat segera berlangsung dengan ramai sekali.

Ang I Niocu memegang pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian, yaitu sebuah pedang pusaka yang ampuh. Kwee An memegang pedang Oei-kang-kiam pemberian Meilani, juga pedang pusaka hingga ia tidak takut menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin. Ada pun Ma Hoa dengan sepasang bambu runcingnya yang dimainkan secara luar biasa itu dapat mengimbangi permainan tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu!

Setelah bertempur belasan jurus, ketiga orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut oleh karena tadinya mereka memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu yang sama sekali tak pernah mereka sangka demikian lihainya.

Ang I Niocu maklum akan kelihaian Kwee An, maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda itu, akan tetapi tadinya dia merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi kakek bersorban yang nampaknya kuat dan lihai sekali. Namun begitu melihat permainan bambu runcing Ma Hoa, diam-diam ia merasa amat kagum dan juga heran, maka dengan hati gembira Ang I Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata kepada Ma Hoa,

“Adikku, kau kini hebat sekali!”

Mendengar pujian ini, Ma Hoa lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang baru saja didapatnya dari Hok Peng Taisu dan biar pun tasbeh di tangan kakek bersorban itu luar biasa gerakannya, akan tetapi sepasang bambu runcingnya juga merupakan senjata lihai yang gerakannya belum dikenal oleh Wai Sauw Pu!

Ada pun rajawali emas yang terus beterbangan dan berputar-putar di atas kepala mereka yang sedang bertempur, kini mulai menyambar turun dan siap membantu. Yang terutama dibantunya ialah Ang I Niocu dan beberapa kali ia menyerang kepala nenek bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok memaki-maki kalang kabut.

“Burung jahanam! Burung siluman! Akan kusembelih lehermu, akan kumakan dagingmu mentah-mentah!” Sambil berkata begitu, dengan tangan kanan menggunakan sabuknya untuk melayani Ang I Niocu ada pun ujung sabuk di tangan kiri beberapa kali mengebut ke arah Sin-kim-tiauw tiap kali burung itu menyambar turun.

Mendadak ketika burung itu menyambar turun, tosu yang berkelahi melawan Kwee An menggerakkan roda pada tangan kirinya dan roda itu terputar cepat menyambar ke arah burung yang terbang di atas kepala nenek bongkok itu! Ternyata bahwa tali yang ada di tengah-tengah roda itu amat panjangnya sehingga roda itu dapat terbang tinggi dan jauh! Hampir saja rajawali itu terkena hantaman roda, baiknya ia cepat mengelak dan terbang ke atas sambil berteriak marah. Kini ia menyambar turun dan menyerang Lok Kun Tojin!

“Sin-kim-tiauw, jangan!” teriak Ang I Niocu oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya roda-roda tosu itu.

Akan tetapi rajawali yang sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya. Dia tetap menyerang dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.

“Sin-kim-tiauw, tak maukah kau menurut perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan kemarahan besar yang terdorong oleh kekuatirannya.

Rajawali itu terkejut mendengar bentakan Ang I Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok Kun Tojin dengan keras mengenai dadanya! Burung itu terpental ke atas udara sambil berteriak-teriak kesakitan. Kemudian, karena merasa dadanya sangat sakit dan pula karena mendongkol mendengar bentakan dan cegahan Ang I Niocu yang dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!

Ang I Niocu merasa cemas sekali, sebaliknya Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat berbahaya dan keras. Jangankan kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur apa bila terpukul oleh rodanya, akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya, bahkan lalu terbang pergi dengan cepat!

Dengan Ilmu Silat Bambu Runcing yang lihai, Ma Hoa dapat membikin jeri hati lawannya yang sebenarnya masih lebih tinggi ilmu silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu juga membuat nenek bongkok itu merasa gentar.

Tak pernah disangkanya bahwa musuh-musuh suheng-nya yang muda-muda mempunyai ilmu kepandaian yang begini luar biasa. Tidak heran apa bila suheng-nya yang lihai itu sampai kena dikalahkan.

Sebaliknya, sungguh pun ilmu pedang yang dimiliki Kwee An juga bukanlah ilmu pedang sembarangan, yaitu ilmu pedang Kim-san-pai warisan suhu-nya yang pertama, yaitu Eng Yang Cu, dan Ilmu Pedang Hai-liong Kiam-sut warisan Nelayan Cengeng, akan tetapi sepasang roda di tangan tosu yang menjadi lawannya itu benar-benar luar biasa.

Beberapa kali pemuda ini hampir saja menjadi korban pukulan roda, untung dia masih dapat mengelak sambil mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko, hingga Lok Kun Tojin merasa kagum. Jarang sekali tosu ini mendapatkan lawan yang sanggup mengimbangi ilmu kepandaiannya dan sekarang, baru saja ia turun gunung dan bertemu dengan musuh-musuh sahabatnya, ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang dapat bertahan melawannya sampai hampir seratus jurus!

Kwee An maklum bahwa apa bila dilanjutkan, ia tak akan menang dan juga kedua orang kawannya belum tentu akan dapat menang pula, maka ketika ia melihat rajawali terbang pergi, ia mendapat akal dan berkata,

“Bagus, Sin-kim-tiauw tentu akan memanggil Suhu-mu!”

Benar saja, ucapan ini membuat ketiga orang tua itu merasa kaget dan kuatir sekali. Baru murid-muridnya saja sudah begini lihai, apa lagi kalau suhu mereka yang datang! Maka, nenek bongkok itu berkata, “Jiwi bengyu, mari kita pergi! Kita jumpai Hai Kong lebih dulu, lain kali mudah untuk mengambil nyawa ketiga tikus kecil itu!”

Ketiga orang tua itu lalu melompat pergi dan segera lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Ang I Niocu yang memiliki watak tidak mau kalah itu merasa penasaran dan kecewa, maka ia menegur Kwee An,

”Kongcu, mengapa kau menggunakan akal mengusir mereka?”

“Mereka itu sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kita, untuk apa berkelahi mati-matian?” kata Kwee An sambil menarik napas lega.

“Akan tetapi, Sin-kim-tiauw telah dilukainya!” kata Ang I Niocu.

“Belum tentu kim-tiauw itu terluka, karena kalau benar terluka, bagaimana ia bisa terbang begitu tinggi dan cepat?” Ma Hoa membela kekasihnya. “Enci Im Giok, mereka itu lihai sekali. Sudahlah jangan membicarakan mereka pula, yang perlu sekarang lekaslah kau ceritakan pengalamanmu. Kami semua, terutama Cin Hai dan Lin Lin, merasa berduka sekali, karena menyangka bahwa kau tentu sudah meninggal di atas Pulau Kim-san-to yang terbakar hebat dan meledak itu.” Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu memegang tangan Ang I Niocu dan ketiganya lalu duduk di bawah sebatang pohon untuk beristirahat dan bercakap-cakap.

Mendengar disebutnya nama Cin Hai dan Lin Lin, lenyaplah rasa kecewa dari wajah Ang I Niocu yang cantik, dan sekarang wajahnya berseri gembira. “Apa katamu? Lin Lin dan Cin Hai, apakah benar-benar mereka itu selamat dan sudah saling bertemu?”

Ma Hoa lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menuturkan segala peristiwa yang terjadi semenjak mereka berpisah, juga pengalamannya sendiri ketika terjatuh dari atas tebing bersama Kwee An.

Mendengar cerita itu, Ang I Niocu mengucap syukur karena kawan-kawan baiknya telah terhindar dari bahaya maut. Akan tetapi ketika mendengar betapa kini kedua orang muda itu tidak tahu bagaimana nasib Lin Lin dan Yousuf yang dikejar-kejar orang-orang Turki, di mana pula adanya Cin Hai, ia menghela napas dan berkata,

”Ah, sungguh kasihan sekali Lin Lin dan Cin Hai. Baru saja bertemu, mereka sudah harus berpisah pula. Sekarang kita harus mencari mereka sampai dapat.”

“Memang kami berdua pun sedang mencari jejak mereka, Niocu.” kata Kwee An. “Yang mengejar Lin Lin dan Yo-siokhu adalah orang-orang Turki, maka pada waktu mendengar bahwa di daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, kami lalu menuju ke barat untuk menyelidiki di sana. Tidak tahunya kebetulan sekali kita saling bertemu di sini.”

“Sayang sekali Sin-kim-tiauw sudah terbang pergi, entah di mana dia sekarang berada,” kata Ang I Niocu.

Tentu saja ketiga orang muda ini tidak tahu bahwa Rajawali Sakti itu sudah berjumpa dengan Bu Pun Su sehingga nyawanya tertolong, karena kakek jembel ini yang melihat Sin-kim-tiauw terbang tinggi di udara, lalu mengerahkan tenaga khikang-nya memanggil, kemudian ia mengobati luka pada dada burung sakti itu yang selanjutnya mengikuti kakek jembel itu.

Setelah menanti sampai senja dan burung itu tidak juga kembali, Ang I Niocu, Kwee An, serta Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mencari Lin Lin ke arah barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu sebelah barat…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)