PENDEKAR BODOH : JILID-39


Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka.

Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya saat mendengar pembicaraan mereka dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi pada saat ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia lalu membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.

Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menunggu sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan pergi menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu. Wai Sauw Pu lalu mengetuk pintunya dan sesudah pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk.

Cin Hai melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka dia segera melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian. Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, sebab ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan.

Kemudian, agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri dia memegang leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Tangan kanannya lalu menampar sehingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu ini keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula.

Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya. Akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,

“Orang-orang kejam, jangan menyiksa orang tua yang lemah!”

Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar.

Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai. Maka, dengan golok di tangan mereka maju menerjang pemuda asing ini.

Cin Hai cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawan Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang golok telah dapat dirampasnya dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping.

Sesudah mengelak dari sambitan golok, kakek bersorban ini langsung melompat melalui jendela dan lari! Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya.

Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih itu.

“In-kong (Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih...,” katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah.

Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, dia menjadi kaget sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.

“Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?”

“Mereka adalah pengikut-pengikut… Pangeran muda... kejam dan ganas...” akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekali pun...” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya.” In kong... aku sudah tua, lukaku juga berat, tiada gunanya kau tolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia... kau tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya...”

Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu dan bertanya, “Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?”

Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali. “Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku, kau... kau jagalah benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!”

“Baiklah, Lopek. Kau tidak keliru memilih, karena terus terang saja, aku adalah seorang sahabat baik dari Yousuf.”

Wajah kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata, “Pergilah, lekas pergi!”

Pada saat melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek itu berkata lagi, “Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri sendiri...!”

Terpaksa Cin Hai lantas melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!

Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apakah gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat dari pada perak!

Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak beberapa banyak! Dia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran.

Tutup cawan itu kecil saja, terbuat dari pada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tidak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan?

Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapa pun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.

Ketika ia melanjutkan perjalanannya, mendadak dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.

“Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami.”

“Apa maksudmu?” Cin Hai membentak marah. “Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!”

Wai Sauw Pu tersenyum, akan tetapi matanya memandang tajam.

“Sicu, harap kau maafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu.”

“Memang barang itu ada padaku, akan tetapi aku pun telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!”

“Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?”

“Maling tua itu, kalau benar-benar dia maling, tidak lebih jahat dari pada kau beserta kaki tanganmu!” bentak Cin Hai yang marah pada saat teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.

Mendengar ucapan ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat dia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing.

Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa kali ini dia menghadapi lawan yang tangguh. Apa lagi sekarang dia tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong saja, paling banyak dengan sulingnya!

“Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, ada pun di antara kita tak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Apa bila kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!” kata pula Wai Sauw Pu membujuk.

“Ehh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku telah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini yang benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan jelek dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?”

“Sicu, ini merupakan urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.

“Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biar pun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah seorang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki. Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang telah menjadi tanah jajahan Turki? Ha-ha-ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?”

“Bangsat bermulut lancang!” Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan penuh amarah. “Jangan banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?”

”Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih berharga dari pada jiwa, tahukah kau?”

“Keparat!” Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan menyerang ke arah Cin Hai!

Dengan sigapnya pemuda ini mengelak. Akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu sudah melompat turun lantas menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong!

Cin Hai terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian banyaknya orang lihai dengan bertangan kosong adalah hal yang sangat berbahaya. Walau pun sulingnya hanya terbuat dari pada bambu tipis, akan tetapi oleh karena dia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan-jalan darah semua lawannya sehingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!

Akan tetapi, tasbeh milik Wai Sauw Pu beserta senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa dia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!

Sebetulnya apa bila Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang hanya memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi tingkat ilmu silat mereka masih jauh di bawah dia.

Akan tetapi ia pikir bahwa sebenarnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Dia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut hingga dua orang pengeroyok dapat dia robohkan tanpa menderita luka hebat, kemudian dia segera melompat keluar dari kurungan mereka dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!

Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda. Akan tetapi mereka tidak sanggup mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh!

Akan tetapi musuh-musuhnya itu tak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan sejak saat itu, Cin Hai selalu merasa bahwa dia diikuti orang! Ke mana juga dia pergi, bahkan ketika dia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam.

Dia menjadi sangat jengkel dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Dia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul lagi dan kembali mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Karena itu dia menjadi gelisah juga, sebab sedikitnya, walau pun dia tidak pernah merasa takut, hal ini mengganggu tidurnya dan dia tidak dapat menikmati perjalanannya lagi, karena dia selalu harus berlaku waspada serta hati-hati.

Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-couw, ibu kota Kansu. Ketika dia sampai di luar tembok kota, dia melihat ada sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya dia hendak melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba dia dapat melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan segera melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika dia sampai di dekat jendela pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara.

Pada saat itu dia mengalami dua macam hal yang sangat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya menjadi pucat. Yang pertama adalah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya ada dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu!

Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa rumah itu berikut dirinya, telah dikurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dipimpin oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga ikut kelihatan bayangannya!

Akan tetapi dia tak mempedulikan hal yang ke dua ini, yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu. Dia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu,

“Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!”

“Lihiap... tidak kasihankah kau padaku? Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Memang aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya sudah hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosa. Akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini tak ada orang yang mencintaimu seperti aku!” terdengar suara seorang laki-laki berkata.

“Cukup, tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja, apa bila aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan tidak ingat bahwa kau mengingatkan aku akan seseorang yang sangat kuhargai, tentu sekarang juga sudah kucabut pedangku untuk menebas batang lehermu!”

“Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tidak sampai hati mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!”

Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!

“Niocu...!” Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!

Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai. “Hai-Ji...!” serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela.

Mereka berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.

“Niocu... Niocu... benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi...?” Sambil berkata demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.

Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai. “Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-san-to.”

Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya pemuda ini lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan,

“Hai-ji, kau benar-benar sudah dewasa sekarang. Bahkan kau juga telah nampak masak. Di mana Lin Lin?”

“Dia ikut belajar silat dengan Suhu.”

Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat bayangan Ban Leng yang langsung mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit cepat dan sekarang barulah dia mengenali laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huangho.

”Eh, eh, tunggu dulu, kawan!” teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,

“Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun tangan!”

Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang dulu mengkhianati ayah bundanya?

Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba saja ia bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu.

Wai Sauw Pu menggerakkan tasbehnya dan berkata dengan marah, “Tangkap tiga tikus ini!”

Maka majulah semua orang Turki mengeroyok, sehingga Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan Cin Hai juga langsung menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok di dekat Ang I Niocu.

Tidak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar. Bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat antara orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.

“Niocu, sebenarnya mereka ini datang hendak menangkap aku!” Cin Hai berkata sambil menangkis serangan lawan yang sekarang tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.

“Mengapa?” tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.

“Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!” jawab Cin Hai sambil tertawa. Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.

“Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?” tanyanya.

“Betul,” jawab Cin Hai sambil memandang heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur, kita boleh bekerja cepat!”

Meski pun tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat lalu mengikuti Ang I Niocu yang sudah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari cepat memasuki kota Lan-couw.

Ternyata Ang I Niocu telah membawanya menuju ke Goa Tun-huang yang beratus-ratus banyaknya itu.

“Coba kau keluarkan tutup cawan itu, Hai-ji,” kata Ang I Niocu.

Pada saat Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,

“Goa ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!”

Sambil berlari-lari mencari goa ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang rahasia cawan dan tutupnya.

“Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam goa-goa ini.”

Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata, “Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya tersimpan di dalam salah satu goa-goa di Tun-huang ini.”

“Nah, itulah,” kata Ang I Niocu girang. “Dan selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar biasa banyaknya!”

Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di goa ke tiga puluh enam itu dan segera mereka masuk ke dalam goa yang besar itu.

“Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan lain!” kata Ang I Niocu.

Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding goa yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang mencurigakan. Mereka sudah mendorong-dorong dinding dan membersihkan lantai, juga memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya nihil.

Cin Hai menjadi hilang sabar. Dia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.

“Niocu, untuk apakah tergesa-gesa? Marilah kita duduk bercakap-cakap dahulu dan kau ceritakan semua pengalamanmu. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak berpisah.”

“Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka ini. Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan segera datang menyerbu,” kata Ang I Niocu sambil masih melanjutkan memeriksa kanan kiri. “Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa.”

“Apa?!” Cin Hai melompat memegang lengannya. “Kau sudah bertemu dengan mereka? Masih hidupkah mereka?”

Ang I Niocu tersenyum manis sambil memandangnya. “Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka?”

Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta ini. “Aduh, betapa mulia dan besarnya hari ini!” dia berkata sambil memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung. “Melihat Niocu masih hidup, juga mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat…”

Tiba-tiba saja dia melompat bangun dan berkata, “Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa kita lupakan yang di atas?”

“Apa maksudmu?” tanya Ang I Niocu heran.

“Langit-langit itu,” kata Cin Hai sambil menuding ke atas, “Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang kita cari?”

Ang I Niocu berseri dan pada wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka segera memeriksa lagi dengan lebih teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala ukirannya. Setelah memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, pada akhirnya mereka mendapatkan sebuah lukisan pada tutup cawan itu yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.

“Ahh, aku tadi pernah melihat lukisan ini!” kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari kembali dan memeriksa seluruh ukiran yang berada pada langit-langit dan di dinding.

“Itulah dia!” kata Ang I Niocu sambil menunjuk ke atas.

Benar saja, pada ujung kiri dari langit-langit goa ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa benar dengan ukiran pada kepala cawan itu, yakni sebuah patung Buddha yang duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh karena masih belum tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini.

Meski pun ukiran itu campur aduk, akan tetapi apa bila diteliti melihatnya, ternyata bahwa ada setangkai bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka lalu mencari tangkai bunga ini pada dinding goa dan akhirnya mereka dapat menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.

“Jangan-jangan inilah rahasianya!” kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, akan tetapi biar pun tidak berapa besar, ternyata patung itu berat sekali.

“Niocu, marilah kita pindahkan patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu rahasia!” Ang I Niocu kemudian membantu dan dengan persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.

“Awas!” tiba-tiba Ang I Niocu berseru.

Mereka segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas tiba-tiba terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini dipasangi tali baja yang menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di langit-langit goa. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di sebelah dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuno untuk menutupi rahasia ini.

Begitu pintu pada langit-langit terbuka, dari lubang di balik pintu itu segera meluncur turun sebuah barang. Cin Hai dan Ang I Niocu sangat terkejut, dan cepat bukan main keduanya sudah melompat ke belakang sambil bersiap menghadapi segala serangan. Akan tetapi serangan itu tidak pernah datang, yang terjadi adalah tiba-tiba terdengar suara keras saat barang yang tadi meluncur turun, yang ternyata ialah sebuah peti, jatuh menimpa lantai.

Ang I Niocu dan Cin Hai merasa terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum dan walau pun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi mereka masih berdebar-debar maka untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.

“Niocu, hayo kita buka peti itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!”

“Jangan-jangan terisi binatang beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?” kata Ang I Niocu sambil tertawa.

Keduanya lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali. Pada saat tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan gemilang keluar dari dalam peti dan ketika mereka sudah membiasakan mata mereka yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu berisikan dua batang pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!

“Ah, inilah Liong-cu-kiam!” kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.

“Agaknya benar juga, inilah pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!”

Otomatis mereka lalu mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil pedang yang sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil pedang yang lebih panjang dan yang pada gagangnya selain tertulis nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam, juga terdapat huruf ‘jantan’, sedangkan pedang yang terambil oleh Ang I Niocu terdapat huruf ‘betina’!

“Bagaimana Niocu? Harus kita apakan pedang ini?”

“Ehh, anak bodoh!” kata Ang I Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama dia rindu akan sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu. “Tentu saja dua pedang ini kita serahkan kepada Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa pedang ini seorang satu.”

“Niocu, lubang di atas itu besar dan gelap, mungkin di sanalah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu.”

Keduanya lalu berdiri dan memandang ka atas, akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.

“Marilah kita periksa ke atas, biarkan aku memasukinya,” kata Cin Hai, akan tetapi pada saat itu di luar terdengar banyak suara kaki orang.

“Hai-ji, lekas kita kembalikan patung itu!” Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula dan aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas!

Cin Hai sudah hendak berlari keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya, “Jangan keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!”

Keduanya segera bersembunyi sambil mengintai dari dalam goa dan setelah rombongan orang yang terdengar bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai cepat melompat keluar dari dalam goa dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan.

Sesudah tiba di luar goa, keduanya memandang kepada pedang masing-masing dengan amat kagum oleh karena setelah berada di tempat terang ternyata sepasang pedang ini mengeluarkan cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna pada sinar pedang itu hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang sekali.

“Lebih baik kita simpan pedang ini, apa bila terlihat orang akan menimbulkan keheranan,” kata Ang I Niocu dan keduanya lalu menyimpan pedang itu di dalam baju masing-masing.

“Sekarang tiba waktunya bagimu untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin mendengarkannya,” Cin Hai berkata sambil duduk di atas sebuah batu yang besar.

Ang I Niocu duduk di dekatnya dan mulai bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Akan tetapi dia masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong Sian. Pada saat dia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,

“Dia itu adalah pamanku sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku.”

Terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ucapan ini. “Ahh, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan mukamu. Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!”

Cin Hai lalu menceritakan semua pengalamannya pula, dan ketika pemuda itu bercerita tentang pertandingannya melawan Song Kun, Ang I Niocu tanpa terasa ia berseru,

“Ah, Song Kun itu adalah Sute-mu yang jahat!”

“Sute siapa?” tanya Cin Hai terheran.

Tiba-tiba wajah Ang I Niocu menjadi merah.

“Sute dia… ehhh, penolongku itu, Lie Kong Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik seperguruan Susiok-couw!”

Akhirnya, mengertilah Cin Hai dan ia berkata,

“Menurut Suhu Bu Pun Su, pedang yang dapat menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah pedang Liong-cu-kiam ini. Sekarang pedang ini sudah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi dia!”

“Jangan kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biar pun kepandaianku jauh berada di bawah tingkat kepandaianmu!”

“Ahh, jangan kau terlampau merendahkan diri, Niocu.”

Kemudian, Ang I Niocu lalu minta pada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu pedang yang dahulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati Cin Hai segera mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam, lantas mulai bersilat sehingga Ang I Niocu menjadi kagum sekali.

“Ahh, kepandaianmu makin maju saja,” katanya. ”Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan mendapat kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa. Ia sungguh lihai sekali dan permainannya bambu runcing benar-benar mengagumkan,”

“Tak disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi. Sungguh nasib orang tidak tentu. Akan tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini ia mendapat gemblengan dari Suhu.” Ketika membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.

“Hai-ji demikian besar kasih sayangmu pada Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum, “dan aku percaya bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali melihat kau bahagia, Hai-ji.”

Cin Hai merasa terharu sekali karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-san-to demi kebahagiaannya dan Lin Lin.

Dengan mesra dan suara penuh harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata, “Niocu, memang hatimu mulia sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik, sebagaimana diharapkan pula oleh Suhu.”

Merahlah seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu. Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau Nona Baju Merah itu menjadi marah mendengar kata-katanya yang lancang itu, maka dia buru-buru melanjutkan bicaranya. “Maaf, Niocu, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu...”

Ang I Niocu mengerling padanya dan tersenyum manis. “Mengapa minta maaf? Aku tidak marah dan ucapanmu itu memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke goa itu. Mereka telah pergi dan sekarang kita memiliki kesempatan untuk mencari harta terpendam yang menurut keterangan seharusnya ada di tempat itu.”

Cin Hai merasa girang sekali mendengar ucapan Ang I Niocu tadi, maka diam-diam dia mengharapkan perubahan perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju Merah itu.

Mendengar ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta terpendam, sungguh pun dia sendiri tidak ingin mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi dia lalu bangun berdiri dan mengikuti nona itu kembali ke dalam goa di mana mereka tadi sudah mendapatkan Liong-cu-kiam.

“Niocu, lubang di atas itu kecil dan tak akan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang masuk dan kau menjaga di luar goa, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihat kita dan mengetahui rahasia tempat ini.”

“Baik, akan tetapi kau berhati-hatilah karena bukan tidak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh terdapat hal-hal yang aneh dan berbahaya pula. Kabarnya pendeta-pendeta yang dulu menyimpan benda-benda ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi sekali.”

Cin Hai menjadi tertarik sekali.

“Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh, terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta terpendam itu karena tidak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya.”

Ang I Niocu dapat mengerti perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka dia lalu duduk di atas sebuah batu dalam goa itu dan berkata, “Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan tetapi aku sendiri pun hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya berupa samar-samar saja,” Nona Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat harta terpendam di dalam goa itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.

Menurut pendengarannya, diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, pada waktu pendeta-pendeta Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah timur, mereka mendapat tantangan keras dari orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka hingga tak jarang terjadi pertempuran hebat yang mengorbankan banyak jiwa orang.

Pada masa itu, di dekat perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang amat tangguh dan kuat akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak ini tiada hentinya menyerang ke wilayah pedalaman serta melakukan perampokan-perampokan yang ganas, mengumpulkan banyak barang berharga sehingga mereka itu memiliki banyak sekali emas dan permata hasil perampokan itu.

Hal ini membuat kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar membaiki para pendeta Buddha dan dapat menggunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu.

Akan tetapi, sesudah para pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok serta merampas kembali barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan kemudian mengerahkan tentara untuk mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu.

Karena tidak pernah menyangka-nyangka, para pendeta itu dapat terpukul hingga cerai berai dan sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke goa-goa Tun-huang serta menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan ditewaskan sehingga tiada seorang pun tahu di mana tempat harta pusaka itu disimpan. Hanya ada seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.

“Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, tetapi benar tidaknya entahlah,” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.

“Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, akan kita gunakan untuk apakah?” tanyanya dengan muka memandang bodoh.

Ang I Nicu tersenyum. “Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tak tahu harus mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dahulu dan kalau sudah berhasil, kita bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kau lakukan.”

“Tapi, kau sendiri, Niocu? Untuk apakah harta benda itu bagimu?”

“Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan segala macam barang itu!”

“Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?”

“Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apa bila harta benda yang besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan mala petaka belaka!”

Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata, “Benar, benar! Sekarang aku ingat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apa bila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!”

Ang I Niocu tertawa “Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi guru sastera di dalam goa ini!”

Cin Hai juga tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka pintu di atas goa. Sesudah lubang di langit-langit goa itu terbuka, Cin Hai segera melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanannya untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian dia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu.

“Ahh, gelap sekali, Niocu!” katanya.

“Biasakan dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam goa ini agar cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,” kata Ang I Niocu yang segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar goa.

Tiba-tiba ketika ia sedang mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira. Cepat dia masuk ke dalam goa dan berkata kepada Cin Hai, “Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!”

Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari goa. Ia mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah dekat sehingga perwira itu melihatnya, dia lalu membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut.

Perwira itu segera merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka dia segera mengejar dan berseru, “Nona, tunggu dulu!”

Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari goa di mana Cin Hai sedang mencari harta pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang.

Perwira itu cepat sekali larinya dan sesudah berhadapan muka, dia memandang kepada Ang I Niocu dengan hati heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, yaitu seorang perempuan suku bangsa Hui. Akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya ternyata adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Dia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya.

Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah dia bahwa perwira ini bukanlah orang sembarang. Dia lalu memandang penuh perhatian.

Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, ada pun rambutnya yang panjang dan hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak baru tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang namun nampak kuat, sedangkan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.

Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang kini menjadi panglima nomor satu di kerajaan! Ia datang menyusul para anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di barat sangat genting sehingga perlu turun tangan sendiri. Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.

“Perwira gadungan!” Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan perjalanannya dan melihat Cin Hai, “Mengapa kau mengejarku?”

Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab, “Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan diri dariku? Kau adalah seorang Han, apa pula kerjamu di daerah ini?”

“Kau peduli apa? Pergi!” Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu roboh dan lari ketakutan.

Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia menggunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang kelihaiannya luar biasa dan tidak mungkin ditangkis oleh orang sembarangan saja.

Akan tetapi bukan main terkejutnya gadis ini ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil mengelak dengan gerakan yang amat cepat! Perwira itu juga terkejut melihat serangan yang demikian hebat dan sudah mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!

“Eh, ehh, siapakah kau yang lihai ini?!” teriaknya.

Akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak, “Peduli apakah kau siapa adanya aku?”

Kini perwira tertinggi di kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tidak boleh dibuat gegabah.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)