PENDEKAR BODOH : JILID-46
Nelayan Cengeng memang cerdik dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, dia lalu teringat akan cerita gadis itu tentang suhu-nya yang baru, maka dia sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek aneh ini.
“Bagaimana dengan murid kita itu?” tanya Hok Peng Taisu.
“Baik, baik, dan kuhaturkan terima kasih kepadamu yang sudah memberi bimbingan pada dia. Kepandaian yang kau berikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tidak mungkin dapat kuberikan dalam sepuluh tahun!” jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.
“Ahh, memang kau benar-benar mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji. Sudahlah, Kong Hwat Lojin, sekarang mari kita bicara tentang hal penting. Ehh, siapakah anak muda ini?”
“Dia adalah calon suami murid kita.”
Hok Peng Taisu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum. Baru mendengar pertanyaan Kwee An mengenai harta itu tadi saja sudah membuat dia dapat menghargai sikap dan kebersihan hati pemuda itu.
“Sekarang dengarlah kalian. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku ingin menggunakan kesempatan selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka itu!”
Nelayan Cengeng memandangnya tajam, “Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?”
“Ha-ha-ha-ha! Kini kau mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban yang kau berikan kepada pemuda ini tadi!”
Nelayan Cengeng mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku setuju membantumu.”
Kakek botak itu lalu berkata, “Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Bagaimana, sanggupkah kalian?”
Tentu saja Nelayan Cengeng dan Kwee An langsung menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian, Hok Peng Taisu meminta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu telah lenyap dari pandangan mata.
Nelayan Cengeng menarik napas panjang lantas berkata, “Entah mana yang lebih tinggi kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan.”
Kwee An juga merasa kagum melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah goa itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat sekali laksana seekor burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga sudah tertotok roboh olehnya.
“Bukan main!” seru Kwee An dengan kagum sekali.
Tadi dia melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para penjaga itu untuk melawan atau pun melihatnya!
Tidak lama kemudian, kembali kakek botak itu keluar dari goa dan menuju ke tempat mereka dan sekarang dia telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali. Ternyata bahwa kakek botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.
“Nah, kalian terimalah ini. Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, di antara harta pusaka itu terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak, terserah padamu. Nah, aku pergi dulu!” Dan sebelum Kwee An mau pun Nelayan Cengeng dapat membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ!
Nelayan Cengeng dan Kwee An lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua pengalamannya. Saat mereka memeriksa harta pusaka itu, ternyata memang terdapat banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, karena itu Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata,
“Saudara Yo, bangsamulah yang berhak menerima sebagian dari pada harta ini. Bawalah kembali ke Turki, sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya.”
Yousuf menerima harta pusaka itu sambil berlinang air mata. “Kedudukan Pangeran Tua yang kini menjadi Raja amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda menggunakan kesempatan ini untuk membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan Turki.”
“Terserah kepadamu, Saudaraku. Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!”
Yousuf lalu menyuruh orang membuat kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian harta pusaka itu.
Demikianlah pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee An seperti yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.
“Kalau demikian, memang telah ada persesuaian antara Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw,” kata Ang I Niocu. “Kita harus menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu dengan baik.”
“Harta ini harus cepat dibagikan dan tidak boleh ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada kita,” kata Kwee An. “Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu tanpa menundanya lagi.”
“Akan tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin Hai? Apakah kita tidak harus menunggu sampai Lin Lin sembuh?” Ma Hoa berkata ragu-ragu.
“Tak perlu,” jawab Ang I Niocu. “Bukankah Susiok-couw sudah memberi perintah kepada mereka untuk menyusul ke Goa Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu dan kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur.”
“Biarlah aku yang menanti mereka di sini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini,” Yousuf menyatakan kesanggupannya.
Semua orang telah menyetujui keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka, yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, serta Kwee An lalu masing-masing mendapat sekantung.
Setelah berpamit kepada Yousuf serta kawan-kawannya, empat orang pendekar itu pergi meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada rakyat miskin. Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah mereka. Maka timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin yang sedang menderita sengsara…..
********************
Setelah tinggal di dalam goa batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin sudah pulih kembali seperti sedia kala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama sekali.
Hal ini dapat dia rasakan karena kalau biasanya tiap hari dia sering merasakan kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga Cin Hai terpaksa memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, sekarang denyutan kepala itu telah hilang sama sekali! Bahkan ketekunannya berlatih dan semedhi membuat dia dan Cin Hai mendapat kemajuan yang lumayan.
Sepasang teruna remaja itu lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di hadapan ayah angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata merah, karena menahan runtuhnya air matanya,
“Lin Lin, anakku yang baik. Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau sudah terbebas dari keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhu-mu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang sudah menolongmu.”
Lin Lin dan Cin Hai terkejut. “Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?”
Yousuf menggelengkan kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata, “Ayah, kau harus ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah lagi dengan kau.”
Yousuf tersenyum dan memandang kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar. “Anakku yang baik, alangkah bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan sudah memberi berkah yang berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu usiaku telah tua, aku masih dapat memperoleh seorang anak seperti engkau! Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat dengan engkau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!” Mendengar ucapan terakhir ini, baik Lin Lin mau pun Cin Hai menjadi merah mukanya.
“Kalau begitu, marilah kau ikut dengan kami ke timur, Ayah,” kata Lin Lin dengan girang.
Kembali Yousuf menggelengkan kepalanya. “Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dahulu menyusul Suhu-mu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting.”
Kemudian orang Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu, dan juga menuturkan bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.
“Sedangkan emas yang menjadi hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan lebih dahulu ke negeriku supaya dapat digunakan untuk membangunkan kembali kerajaan yang telah dikacau oleh Pangeran Muda.”
Karena dapat mempertimbangkan bahwa hal itu memang sangat penting dan memang sudah menjadi kewajiban Yousuf untuk bekerja demi kebaikan negara serta bangsanya, maka terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat membantah pula.
“Hanya kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku.”
Sesudah melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai lalu menuturkan mengenai tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai Kong Hosiang. Mendengar ini, bukan main marah dan terkejutnya Lin Lin, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung itu, di mana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.
Lin Lin bersembahyang di depan kuburan guru dan suci-nya dan sambil menangis ia pun bersumpah,
“Suci dan Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati ini pasti akan kubalaskan dan bangsat gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci.”
Setelah berdiam di makam subo dan suci-nya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini sudah melukainya dan kalau tidak tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula!
Cin Hai maklum akan perasaan hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut dia berkata, “Lin-moi, janganlah kau berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku yang dulu telah melepaskan hwesio itu dan tidak membinasakannya sehingga dia masih hidup dan kini mendatangkan mala petaka pula.”
Lin Lin memandang kekasihnya dan tersenyum manis menghibur.
“Koko yang baik, semua itu bukan salahmu, sama sekali bukan!”
Melihat senyum manis kembali telah menghias bibir gadis yang sangat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi gembira sekali karena dia pun tahu bahwa kekasihnya telah melupakan kesedihannya.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu melakukan perjalanan bersama! Dalam kegembiraannya ini, sering kali mereka berhenti di bawah pohon yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan pedangnya dan di dalam pandangan mata Cin Hai, apa bila Lin Lin menari diiringi sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya dari pada tarian Ang I Niocu sendiri!
Untuk membalas kebaikan Cin Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya dia bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.
Memang, bagi siapa saja yang pernah mengalaminya, tentu akan mengaku bahwa tidak ada kegembiraan penuh bahagia yang lebih nikmat dari pada berduaan dengan seorang tunangan yang saling mencinta mesra, bercakap-cakap, bersendau gurau namun tetap saling menjaga kesusilaan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan dan berbudi. Sekali saja kesusilaan dilanggar karena dorongan nafsu yang ditimbulkan oleh iblis maka akan hancur leburlah kebahagiaan murni yang mereka nikmati.
Tetapi, Lin Lin dan Cin Hai adalah orang-orang muda yang sudah sama-sama mendapat gemblengan dan didikan dari orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka telah menjadi kuat dan batin mereka sudah bersih. Mereka telah menjadi majikan dari pada nafsu sendiri dan menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat, bukan seperti halnya orang-orang lemah iman yang malah dikuasai dan diperhamba oleh nafsu yang menunggangi mereka.
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah hutan yang besar, mereka melihat dua orang berlari-lari cepat dengan wajah seakan-akan sedang menderita ketakutan hebat. Dua orang itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah sekali dan yang memelihara kumis tebal menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya, matanya tajam dan sikapnya agung. Sedangkan orang kedua adalah seorang gadis yang sangat cantik jelita, bermata jeli dan bermuka manis bukan main, akan tetapi pada waktu itu wajahnya kemerah-merahan dan matanya mengandung kedukaan besar,
“Mereka seperti orang ketakutan, mari kita tolong!” kata Lin Lin dan Cin Hai mengangguk. Mereka lalu menghadang di tengah jalan dan Cin Hai berseru,
“Ji-wi harap berhenti dulu!”
Kedua orang yang sedang berlari itu menahan kaki mereka dan dengan napas tersengal-sengal mereka berhenti, memandang kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan heran.
“Mengapa ji-wi berlari-lari seakan-akan ada yang mengejar ji-wi?” Lin Lin bertanya sambil memandang dengan kagum dan hati suka kepada gadis manis tadi.
“Memang kami sedang dikejar-kejar orang, akan tetapi urusan ini adalah urusan bangsa kami sendiri dan sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi,” kata laki-laki tadi dengan suara gagah, menandakan bahwa dia memiliki keangkuhan serta ketinggian hati, tidak suka minta tolong kepada orang lain.
Cin Hai tersenyum. “Sahabat, ketahuilah bahwa kami bukan bermaksud jahat tetapi kami hanya ingin menolong kepadamu, yaitu apa bila kau berada dalam bahaya.”
“Memang aku dan anakku ini sedang berada dalam keadaan bahaya. Akan tetapi bagi seorang kepala suku bangsa Haimi seperti aku, tak pernah aku minta tolong kepada lain orang untuk memusuhi bangsa sendiri!”
“Suku Haimi?” seru Cin Hai yang teringat akan penuturan Kwee An ketika pemuda itu dulu menceritakan pengalamannya. “Apakah kau bukan Sanoko yang gagah dan nona ini Nona Meilani?”
Kedua orang itu tercengang. “Bagaimana kau dapat mengetahui nama kami?” Sonoko bertanya dengan muka heran.
Lin Lin yang juga sudah mendengar penuturan itu dari Cin Hai, lalu berkata girang, “Nona Meilani, kau tentu masih ingat kepada Kwee An, bukan?”
Mendengar nama ini disebut-sebut, Meilani menundukkan kepala dengan muka merah. “Dia... dia adalah suamiku...”
“Benar,” kata Lin Lin yang sudah tahu pula akan ‘perkawinan’ itu. “Dan aku adalah bekas adik iparmu, karena Kwee An itu adalah kakakku!”
Mendengar ucapan ini, Meilani mengeluarkan isak tangis, lalu dia maju menubruk Lin Lin. Dua orang gadis itu berpelukan dengan mesra, dan Lin Lin mencium bau kembang yang luar biasa harumnya keluar dari tubuh gadis bangsa Haimi yang cantik itu.
Juga Sanoko menjadi girang sekali. Ia cepat menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Maaf, maaf! Tidak tahunya kami bertemu dengan sanak keluarga sendiri. Tidak tahu siapakah nama enghiong yang mulia?”
“Siauwte bernama Sie Cin Hai.”
“Apakah kau juga masih keluarga Kwee An?” tanya Sanoko.
Cin Hai merasa ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi Lin Lin mendahuluinya.
“Dia itu adalah tunanganku.”
Meilani yang sudah pandai berbahasa Han, membelalakkan matanya yang sangat indah dan sambil tersenyum manis hingga giginya yang hitam berkilauan itu nampak sedikit, ia bertanya kepada Lin Lin, “Apakah artinya tunangan?”
“Tunangan adalah... calon suami.”
“Ahh...” Meilani kemudian berlari menghampiri Cin Hai, memeluknya dan mencium kedua pipinya.
Tentu saja Cin Hai menjadi kaget sekali sehingga matanya terbelalak lebar, dan mukanya menjadi merah bagaikan udang direbus. Juga Lin Lin yang melihat hal ini menjadi heran sekali, akan tetapi sebagai seorang wanita, dia menjadi cemburu dan wajahnya berubah pucat.
Sanoko agaknya tahu akan hal ini, maka cepat-cepat ia berkata,
“Nona, kebiasaan suku bangsa kami adalah bahwa setiap orang wanita berhak, bahkan diharuskan memberi selamat kepada seorang mempelai laki-laki dengan cara seperti itu.”
Kini legalah hati Lin Lin, karena dia tadi melihat betapa wajah Cin Hai menjadi kemerah-merahan dan dengan belaian kasih sayang seperti itu dari seorang gadis yang secantik Meilani, bukanlah hal yang boleh dianggap ringan bagi pertahanan hati Cin Hai. Dan apa bila dia harus mendapat saingan dari seorang gadis seperti Meilani, akan berbahayalah! Kecuali giginya yang hitam mengkilap, Meilani adalah gadis yang jarang terdapat karena cantik jelitanya.
Meilani kembali menghampiri Lin Lin dan memeluknya. “Siapakah namamu, Adikku yang baik?” tanyanya.
“Panggil saja Lin Lin kepadaku,” jawab Lin Lin sambil tersenyum.
Diam-diam ia mengerling ke arah Cin Hai dengan pandangan tajam. Adakah Cin Hai juga mencium bau kembang yang harum dan sedap itu? Demikian pikirnya.
“Sanoko Lo-enghiong, karena sudah kau ketahui bahwa kita adalah orang sendiri, maka ceritakanlah mengapa kau bersama Nona Meilani berlari-lari dan siapa pula yang sedang mengejarmu?”
“Amat memalukan kalau diceritakan,” kata orang tua itu sambil menarik napas panjang, “Semua ini adalah gara-gara keponakanku sendiri. Lenyap sudah sifat-sifat ksatria yang setia, gagah dan jujur, setelah dia merantau dan memiliki kepandaian dari... orang-orang Han. Maafkan ucapanku ini, Sie-taihiap, aku tak bermaksud menghina orang-orang Han.”
Cin Hai tersenyum dan mengangguk. “Siauwte juga tidak akan membela bangsa sendiri kalau memang dia benar-benar jahat dan terus terang saja, di antara bangsa Han juga banyak yang jahat, sebagaimana terdapat pula pada bangsa lain. Teruskanlah ceritamu, Lo-enghiong.”
Sanoko segera bercerita secara singkat. Ternyata bahwa biar pun sudah menjadi ‘janda’ yaitu setelah ditinggal pergi oleh Kwee An saat baru saja melangsungkan ‘pernikahannya’ dengan Meilani, Meilani tetap menjadi pujaan para pemuda bangsa Haimi. Akan tetapi, agaknya gadis itu telah mengalami penyakit patah hati sehingga ia menolak tiap pinangan pemuda bangsanya. Menurut adat kebiasaan mereka, seorang janda yang telah ditinggal oleh suaminya lebih dari seratus hari, maka dia berhak untuk menerima pinangan laki-laki lain dan si suami itu apa bila telah kembali, tidak berhak lagi terhadap bekas isterinya.
Meilani tinggal menjadi janda kembang sampai berbulan-bulan, dan akhirnya ia jatuh hati juga pada seorang pemuda yang baru saja kembali pulang dari perantauan, yaitu seorang pemuda pemburu yang gagah berani bernama Manoko. Ketika Manoko mengajukan pinangan, maka pinangan itu diterima.
Akan tetapi, pada saat itu datanglah seorang pemuda keponakan Sanoko sendiri yang semenjak kecil telah merantau ke daerah selatan dan telah mempelajari silat dari seorang guru bangsa Han. Ketika pemuda yang bernama Saliban ini datang, maka semua orang mengaguminya karena dia memang benar-benar pandai dan berilmu silat tinggi. Semua jago-jago Haimi jatuh dalam tangannya.
Juga orang-orang Haimi banyak yang membencinya, karena tenyata bahwa keponakan dari Sanoko itu beradat buruk, jahat, dan sombong sekali. Dia bertingkah meniru lagak orang-orang Han, bahkan dia tidak memelihara kumis dan cambang seperti orang Han, dan berbicara pun dia selalu mempergunakan bahasa Han!
Semenjak datang dan kembali tinggal bersama bangsa sendiri, telah sering kali Saliban mengganggu anak bini orang, dan semenjak ia datang, ia menaruh hati kepada Meilani, saudara misannya itu. Dia tidak mau atau memang dia tidak suka mengikat diri dengan sebuah pernikahan dan niatnya hanya ingin menjadikan Meilani sebagai kekasihnya saja! Tentu hal ini tidak dapat diterima oleh Meilani yang memang menaruh hati benci kepada pemuda yang mempunyai lagak menjemukan itu.
Ketika pinangan Manako diterima, Saliban menjadi marah sekali. Dia lalu menggunakan kepandaian dan pengaruhnya untuk menghasut teman-temannya kemudian mengadakan pemberontakan. Hal ini terjadi pada hari perkawinan Meilani dengan Manako.
Tiba-tiba saja Saliban menyerang, sehingga terjadi pertempuran hebat di antara bangsa sendiri. Pengikut-pengikut Sanoko tak ada yang kuat melawan Saliban sehingga banyak yang menjadi korban, sedangkan Manoko sendiri terluka pada pundaknya dan melarikan diri ke dalam hutan. Sanoko dan Meilani setelah mengadakan perlawanan hebat, ternyata tak kuat menghadapi Saliban yang tangguh itu, maka mereka melarikan diri, dikejar-kejar oleh Saliban dan kawan-kawannya yang bermaksud membunuh Sanoko, mengangkat diri sendiri menjadi kepala suku dan memaksa Meilani menjadi kekasihnya!
Bukan main marahnya hati Cin Hai dan Lin Lin mendengar penuturan ini, dan pada saat Sanoko mengakhiri cerita-ceritanya, tiba-tiba terdengar sorakan ramai dari depan.
“Itulah mereka telah datang, biarlah aku dengan anakku mengadakan perlawanan sampai titik darah penghabisan!” kata Sanoko sambil bangun berdiri dan memegang pedangnya dengan sikap gagah. Juga Meilani telah mencabut pedangnya dan bersiap sedia.
“Duduklah, Lo-enghiong, dan kau juga, Meilani. Biarkan aku yang menghadapi bangsat-bangsat itu!” kata Lin Lin dengan gagahnya.
Meilani dan Sanoko ragu-ragu, akan tetapi Cin Hai berkata, “Benar, Lo-enghiong, biarkan tunanganku itu menghadapi Saliban. Kau dan Nona Meilani sudah lelah, kini mengasolah sambil menonton!” Mendengar kata-kata itu, mundurlah kedua orang ini dan membiarkan Lin Lin seorang diri menghadapi Saliban.
Benar saja, yang datang itu adalah serombongan orang Haimi terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh seorang pemuda Haimi yang berpakaian seperti orang Han dan yang lagaknya sombong sekali. Melihat betapa orang-orang Haimi yang masih muda-muda itu semuanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung dan menjungat ke atas, tak dapat ditahan lagi Lin Lin tertawa geli, sedangkan Cin Hai tak terasa lagi meraba-raba kulit bawah hidungnya yang masih halus dan belum ditumbuhi kumis itu.
Saliban melihat betapa seorang gadis Han yang cantik luar biasa dengan sikap gagah menghadang di jalan, sedangkan Sanoko bersama Meilani hanya duduk di bawah pohon seakan-akan dilindungi oleh gadis itu, menjadi terheran-heran dan melihat kecantikan Lin Lin, timbullah sikap kurang ajarnya. Ia tersenyum dibuat-buat dan berkata,
“Nona cantik, apakah kau sudah mendengar nama Saliban yang gagah perkasa sehingga sengaja kau datang menyambutku untuk berkenalan?”
“Jadi inikah tikus yang bernama Saliban? Eh, tikus, apa maksudmu mengejar Sanoko dan Meilani?” berkata Lin Lin dengan suara mengejek.
“Lin-moi, dia itu bukan tikus! Lihat saja dia tidak berkumis, mungkin kumisnya itu telah dia sembunyikan di belakang menjadi ekor! Dia ini lebih cocok disebut monyet buduk!” kata pula Cin Hai untuk mengejek orang itu.
Bukan main marahnya Saliban mendengar ejekan-ejekan ini dan lenyaplah maksudnya hendak mengganggu Lin Lin, berubah menjadi kebencian besar.
“Dari mana datangnya dua ekor anjing kurang ajar ini?” dia membalas memaki dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang piauw menyambar ke arah Cin Hai yang sedang duduk di bawah pohon dan sekali lagi tangannya bergerak, maka sebatang piauw lain sudah pula menyambar ke leher Lin Lin!
Dengan tenang Cin Hai memungut ranting kayu yang terletak di dekatnya dan pada saat piauw itu menyambar ke arahnya, dia menggerakkan ranting itu dan sekaligus piauw itu kena dipukul sedemikian rupa sehingga piauw itu membuat gerakan membalik dan kini meluncur kembali ke arah kaki Saliban!
Sementara itu, piauw yang meluncur ke arah leher Lin Lin, disambut dengan sikap dingin oleh gadis itu. Ketika piauw menyambar, dia lalu mengulur tangan dan berhasil menjepit piaiuw itu di antara jari-jari tangannya, lalu melihat betapa piauw yang melayang ke arah Cin Hai telah di’retour’ oleh pemuda itu, dia menanti sampai piauw itu melayang ke kaki Saliban dan saat melihat Saliban meloncat naik untuk mengelak dari sambaran piauwnya sendiri, Lin Lin tersenyum dan ia pun lalu menyambitkan piauw yang ditangkapnya tadi ke arah kaki Saliban lagi yang justru hendak turun. Terpaksa Saliban melompat lagi ke atas sehingga dia telah berlompat-lompatan dua kali untuk menghindarkan diri dari sambaran piauwnya sendiri!
“Ha-ha-ha! Lihat, benar-benar ia monyet yang pandai menari-nari!” Cin Hai tertawa sambil menuding ke arah Saliban, sedangkan Lin Lin juga tertawa mengejek.
Sanoko dan Meilani terpaksa ikut tersenyum melihat kejenakaan dua orang muda yang ternyata dapat mempermainkan Saliban. Diam-diam Meilani merasa kagum sekali melihat Lin Lin yang mempunyai cara demikian indah untuk menerima sambitan piauw dari jarak dekat dan mengembalikannya ke arah kaki lawan hanya untuk mempermainkannya.
Saliban makin marah, maka dia lalu mencabut pedangnya sambil berseru,
“Bangsat-bangsat kurang ajar! Kau mencampuri urusan suku bangsa lain?”
“Saliban, orang rendah! Jangan kau membuka mulut besar! Kami berdua memang selalu mencampuri urusan semua orang-orang biadab macam kau yang hendak mengandalkan kejahatan untuk mencelakakan orang. Kau sungguh tidak tahu malu. Meilani tidak suka menjadi permainanmu, mengapa kau hendak memaksa?”
“Meilani adalah adik misanku. Dia telah menjadi janda dan memalukan sekali kalau dia menerima pinangan orang lain! Itu berarti merendahkan nama keluarga kami! Kau berhak apakah mencampuri urusan rumah tangga kami?”
“Dengarlah!” bentak Lin Lin dengan marah. “Meilani adalah kakak iparku karena ia adalah janda dari kakakku Kwee An. Kakakku dan aku pun sudah setuju kalau dia menikah lagi dengan orang yang dipilihnya sendiri atas persetujuan Ayahnya, kau ini mempunyai hak apa maka berani menghalanginya?”
“Bagus, kalau begitu biarlah kalian kubinasakan semua!”
Sambil berkata demikian Saliban lalu maju menubruk dan menyerang dengan pedangnya ke arah Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin dengan tenang sekali menghadapinya dengan tangan kosong.
“Adik Lin Lin, kau pergunakan pedangku ini!” kata Meilani karena merasa kuatir melihat betapa gadis itu menghadapi Saliban yang lihai dengan tangan kosong saja.
Akan tetapi Lin Lin menoleh dan hanya tersenyum kepadanya sambil menjawab, “Untuk menghadapi seekor tikus… ehh, monyet macam ini perlu apakah harus mempergunakan pedang? Tanganku cukup untuk merobohkannya!”
Juga Cin Hai yang melihat gerakan Saliban walau pun cukup lihai namun masih belum cukup berbahaya bagi Lin Lin, berkata kepada Meilani, “Tenanglah, Nona. Lin-moi cukup kuat menghadapinya dengan tangan kosong.”
Sementara itu, Saliban yang merasa terhina sekali oleh ucapan Lin Lin, dengan nekat lalu menyerang sambil mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi, sambil menari-nari dan mempergunakan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang sudah dipelajarinya, Lin Lin mempermainkan Saliban hingga Meilani memandang bengong. Bagaimana mungkin menghadapi seorang tangguh seperti Saliban itu dengan menari-nari macam itu?
Kawan-kawan Saliban maju mengeroyok Lin Lin, akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu beberapa buah senjata di tangan mereka melayang dan terpental ke mana-mana. Ternyata Cin Hai yang begitu melihat gerakan mereka sudah mendahului dan dengan sekali bergerak saja ia telah membuat pedang dan golok mereka terlepas dari pegangan!
Orang-orang Haimi itu terkejut sekali dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kembali tubuh Cin Hai berkelebat dan bergerak, dan terdengar jerit kesakitan berkali-kali. Pada waktu mereka semua meraba ke arah hidung mereka yang terasa sakit dan perih, ternyata bahwa Cin Hai sudah mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mencabuti kumis-kumis mereka itu seorang demi seorang!
Sambil melemparkan rambut-rambut kumis itu ke udara sehingga beterbangan tertiup angin, Cin Hai tertawa-tawa sehingga Meilani yang melihat hal ini tak kuasa lagi menahan geli hatinya dan ikut tertawa terkekeh-kekeh. Sanoko yang melihat kehebatan gerakan itu dengan kepala pening, juga tersenyum meski di dalam hatinya dia merasa kasihan juga kepada anak buahnya yang memberontak itu karena bagi seorang laki-laki Haimi, dicabut kumisnya sama dengan dicabut kepalanya dari leher!
“Kalian yang memberontak dan mengikuti bangsat Saliban, tidak pantas berkumis lagi!” kata Cin Hai sambil memandang kepada belasan orang yang sekarang telah kehilangan kumisnya itu. Mereka menundukkan kepala sambil menutupi hidungnya yang berdarah itu, dan merasa amat malu karena tanpa kumis bagi mereka hampir sama dengan berdiri telanjang dihadapan orang lain!
“Kalau kalian sayang jiwa, hayo berlutut minta ampun kepada kepala suku yang asli, yaitu Sanoko!” teriak Cin Hai lagi.
Orang-orang itu telah merasai kelihaian Cin Hai, dan kini mereka tidak berani membantah lagi, lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Sanoko yang berdiri sambil memandang dengan kagum kepada Cin Hai. Sementara itu, Saliban telah merasa pening karena dipermainkan oleh Lin Lin, dan pada waktu gadis itu sudah merasa cukup puas mempermainkan Saliban, tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na yang lihai, ilmu silat yang diajarkan oleh Bu Pun Su!
Saliban terkejut sekali ketika tubuh gadis itu melompat tinggi dan menyambar-nyambar dari atas bagai seekor burung besar menyerang marah. Ia menyabet dengan pedangnya, namun lebih dulu sudah ditotok oleh Lin Lin dan sebelum dia tahu bagaimana hal itu bisa terjadi tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan!
Saliban merasa amat terkejut dan hendak melompat pergi. Akan tetap kaki Lin Lin telah mendahuluinya menendang pundaknya dari atas hingga tak ampun lagi ia terguling roboh sambil mengeluh kesakitan karena sambungan tulang pundaknya telah terlepas.
Melihat keponakannya yang jahat itu sudah roboh, Sanoko lalu menghampiri Cin Hai dan Lin Lin dan memintakan ampun untuk jiwa Saliban, sehingga Cin Hai dan Lin Lin merasa kagum akan kemurahan hati kepala Suku ini.
“Saliban,” kata Cin Hai kepada pemuda Haimi itu, “dengarlah betapa pamanmu mintakan ampun untuk kau yang telah memberontak dan berbuat jahat kepadanya. Tidak malukah kau? Orang seperti engkau ini seharusnya dibinasakan, karena selain berbuat jahat, kau pun telah merusak nama baik Suhu-mu yang tentu seorang Han adanya. Kau tidak lekas minta ampun?”
Melihat kelihaian Lin Lin dan Cin Hai, Saliban segera insyaf bahwa ilmu kepandaiannya sebetulnya masih amat rendah dan ia merasa malu dan menyesal, maka sambil merayap ia berlutut minta ampun kepada pamannya dan bersumpah bahwa dia takkan mengulang perbuatannya lagi.
Pada saat itu, dari jauh datang serombongan orang Haimi yang dipimpin oleh Manako. Pemuda ini walau pun sudah terluka pundaknya, namun dengan nekat ia mengumpulkan kawan-kawan dan menyusul untuk menyerbu Saliban serta menolong calon isteri dan mertuanya. Juga Manako memaafkan Saliban, sedangkan Cin Hai dan Lin Lin diam-diam memuji ketampanan serta kegagahan Manako, hanya mereka diam-diam menyayangkan bahwa anak muda ini sebenarnya belum pantas memakai cambang yang demikian tebal dan panjangnya.
Setelah mereka bercakap-cakap dan beramah tamah dengan orang-orang Haimi serta meninggalkan banyak nasehat kepada Saliban, Cin Hai dan Lin Lin kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke timur.
Pada saat mereka berdua tiba di Pegunungan Lian-ko-san yang tidak jauh lagi dari Goa Tengkorak, hanya tinggal satu hari perjalanan lagi, dan sedang berjalan melalui sebuah padang rumput, tiba-tiba muncul tiga orang yang membuat mereka terkejut dan bersiap sedia, karena tiga orang itu bukan lain ialah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.
Tiga orang ini yang sudah dikalahkan oleh Bu Pun Su, maklum bahwa anak-anak muda yang menjadi musuh mereka itu masih berada di daerah barat, maka sengaja mereka menghadang di sana untuk membalas dendam. Ketika Bu Pun Su lewat di situ, mereka bersembunyi saja tidak berani keluar, akan tetapi setelah kini melihat kedatangan Cin Hai dan Lin Lin, mereka lalu muncul dan menghadang di jalan dengan hati penuh dendam, terutama sekali Bo Lang Hwesio yang hendak membalas dendam terhadap Lin Lin atas kematian muridnya dahulu, yaitu Boan Sip yang menjadi gara gara semua permusuhan.
Cin Hai berlaku tenang-tenang saja, juga Lin Lin dengan tabah dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri berdiri di sebelah kiri kekasihnya sambil memandang tajam kepada musuh-musuh besar itu.
“Eh, kiranya Sam-wi Lo-suhu yang berada di sini. Tidak tahu mempunyai maksud apakah maka menghadang perjalanan kami?” kata Cin Hai dengan sikap hormat.
“Pendekar Bodoh! Telah berkali-kali kau dengan kawan-kawanmu memusuhi dan menjadi penghalang kami, bahkan Suhu-mu sendiri sudah menghina kepada kami. Kini kebetulan kita bertemu di sini, masih hendak bertanya tentang maksud kami? Cabutlah senjatamu dan biarlah saat ini akan menentukan siapa diantara kita yang lebih kuat!” kata Thai Kek Losu kepada Cin Hai.
Aedangkan Bo Lang Hwesio dengan mata memandang marah membentak kepada Lin Lin. “Dan kau tentu masih ingat akan dosamu membinasakan muridku, maka sekarang aku hendak membalas dendam. Hutang jiwa ya harus dibayar jiwa pula!” Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio mengeluarkan sepasang poan-koan-pit.
Lin Lin sudah mendengar mengenai pertempuran tokoh-tokoh besar ini melawan Bu Pun Su, maka melihat poan-koan-pit itu, ia menyindir,
“Bo Lang Hwesio, agaknya kau telah mencuri sepasang poan-koan-pit baru, apakah yang dulu telah tak dapat digunakan lagi?”
Marahlah Bo Lang Hwesio mendengar ini, maka sambil menerjang maju dia membentak lagi, “Perempuan rendah, bersedialah untuk mampus!”
Dengan tenang Lin Lin kemudian mencabut keluar Han-le-kiam dari pinggangnya, segera menyampok poan-koan-pit lawan yang menyerangnya, kemudian secepat kilat ia pun lalu balas menyerang dengan hebat.
Sementara itu, Thai Kek Losu sudah mengeluarkan senjatanya yang sangat hebat, yaitu tengkorak kecil yang rantai pengikatnya kini telah diperbaikinya dan diganti, ada pun Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yakni sebatang gendewa. Juga gendewanya yang dulu telah dipatahkan oleh Bu Pun Su itu kini telah digantinya dengan sebatang gendewa yang baru, terbuat dari pada besi kuning.
Cin Hai maklum akan kelihaian senjata-senjata lawannya, maka ia pun tidak mau berlaku sungkan lagi, segera mencabut keluar sepasang pedangnya Liong-cu-kiam yang panjang dan pendek, dipegang pada kedua tangannya. Kedua Pendeta Sakya Buddha itu terkejut melihat sepasang pedang yang mengeluarkan sinar gemilang itu, maka mereka maklum bahwa sepasang pedang itu tentu pedang-pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Mereka lalu membentak dan mendahului menyerang dengan hebat.
Cin Hai memperlihatkan kegesitannya dan melawan dengan tenang serta waspada. Dia melihat betapa gerakan Thai Kek Losu jauh lebih gesit dari pada dulu, agaknya selama ini pendeta itu sudah melatih diri, sedangkan gerakan Sian Kek Losu juga hebat bukan main. Untung ia mempergunakan sepasang pedang Liong-cu-kiam yang tajam sehingga kedua lawannya tidak berani menahan pedangnya dengan senjata mereka sehingga serangan dua orang itu dapat dibalas dengan serangan-serangan kilat yang cukup membuat kedua lawannya berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa murid Bu Pun Su ini tidak boleh dibuat gegabah!
Sementara itu, pertempuran antara Lin Lin dan Bo Lang Hwesio juga berjalan seru sekali. Ilmu Pedang Han-le-kiam memang luar biasa dan sangat cepat, sedangkan kini Lin Lin telah memperoleh kemajuan hebat dan bahkan telah melatih diri dengan limu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na.
Akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio yang sudah jauh lebih berpengalaman dan ulet itu, dia mendapatkan lawan yang amat kuat dan tangguh. Sepasang poan-koan-pit pada tangan Bo Lang Hwesio menyambar-nyambar ke arah jalan darah yang berbahaya dan juga setiap kali pedang Han-le-kiam kena disampok oleh poan-koan-pit, Lin Lin merasa betapa telapak tangannya menggetar sebab ternyata tenaga hwesio itu masih lebih besar sedangkan ilmu lweekang-nya pun lebih tinggi dari pada Lin Lin.
Maka gadis ini yang tahu akan keadaan itu segera mempergunakan kelincahannya dan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari desakan poan-koan-pit, sedangkan jurus-jurus berbahaya yang ia keluarkan dari ilmu pedangnya membuat Bo Lang Hwesio diam-diam merasa terkejut juga.
Alangkah beda tingkat ilmu pedang gadis ini dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu ketika dia dengan Ke Ce menyerbu ke atas bukit tempat tinggal Yousuf dan berhasil menjatuhkan Kwee An dan Ma Hoa ke dalam jurang. Ketika dahulu itu, walau pun ilmu pedang gadis ini sudah aneh dan luar biasa, akan tetapi gerakannya belum sematang ini. Maka hwesio itu cepat mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga setelah bertempur lama, Lin-Lin merasa terdesak juga!
Ada pun Cin Hai yang dikeroyok dua oleh Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, meski pun belum terdesak, tetapi sukar pula baginya untuk mendesak kedua lawannya yang berilmu tinggi. Terutama sekali tengkorak di tangan Thai Kek Losu sangat berbahaya karena Cin Hai tidak berani menangkisnya dengan pedang. Dia maklum bahwa tengkorak itu amat berbahaya dan bila ditangkis akan menyebarkan jarum-jarum beracun yang lihai sekali.
Juga gendewa di tangan Sian Kek Losu bukanlah senjata yang mudah dilawan biar pun dia dapat menduga ke arah mana gerakan gendewa itu akan dilancarkan. Maka untuk menghadapi kedua lawan yang tangguh ini, Cin Hai memainkan dua macam ilmu pedang dengan kedua tangannya.
Pedang panjang di tangan kanan ia mainkan dengan jurus-jurus dari Ilmu Pedang Daun Bambu, sedangkan pedang pendek di tangan kiri ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, sehingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa terkejut dan mengadakan perlawanan dengan mati-matian. Mereka harus mengakui bahwa selain Bu Pun Su, belum pernah mereka menemukan tandingan seorang pemuda yang sedemikian tinggi ilmu silatnya!
Pada saat pertempuran sedang berjalan dengan seru, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang gerakannya ringan sekali dan laki-laki ini langsung membentak marah,
“Pendeta-pendeta pada dewasa ini hanya menggunakan pakaian sebagai kedok belaka, akan tetapi di dalam tubuh mengandung iman yang bobrok dan batin yang amat rendah! Jangan kalian berani mengganggu murid seorang sakti dan mulia seperti Bu Pun Su!”
Kemudian laki-laki itu menarik keluar pedangnya dan menerjang Bo Lang Hwesio sambil berkata kepada Lin Lin. “Nona, kau bantulah kawanmu itu dan biarkan Si Gundul ini tewas dalam tanganku.”
Lin Lin mendengar suara ini diucapkan dengan halus dan sopan akan tetapi mengandung pengaruh besar, karena itu dia lalu meninggalkan Bo Lang Hwesio dan melompat untuk membantu Cin Hai.
Lin Lin maklum bahwa ilmu kepandaian Thai Kek Losu terlampau tinggi baginya, maka ia lalu menyerang Sian Kek Losu! Memang perhitungannya tepat karena di antara ketiga orang lawan yang paling lihai dan sangat berbahaya untuk dilawan adalah Thai Kek Losu.
Bo Lang Hwesio memiliki ilmu kepandaian yang hanya sedikit berada di bawah tingkat kepandaian pendeta Sakya Buddha ini, bahkan di dalam hal lweekang, mungkin Bo Lang Hwesio lebih tinggi tingkatnya! Ada pun Sian Kek Losu hanya memiliki tenaga besar saja dan ilmu silatnya biar pun tinggi, namun tidak selihai kedua orang kawannya itu.
Kini pertempuran terpecah menjadi tiga dan keadaan berubah dengan cepatnya. Orang yang baru datang tadi dengan ilmu pedangnya yang gerakannya luar biasa cepat dan aneh, segera berhasil mendesak Bo Lang Hwesio. Ketika Lin Lin dan Cin Hai mendapat kesempatan memandang ke arah orang itu, hampir saja mereka berseru karena heran dan kagum.
Ternyata ilmu pedang yang dimainkan oleh orang itu memiliki dasar-dasar gerakan yang sama dengan ilmu silat mereka! Lin Lin teringat akan penuturan Ma Hoa ketika bertemu dengannya di dalam goa bersama Ang I Niocu, karena itu sambil menangkis serangan gendewa di tangan Sian Kek Losu ia berseru,
“Enghiong yang gagah bukankah Lie-enghiong tunangan Ang I Niocu?”
Orang itu tersenyum dan sambil menangkis poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio, dia pun menjawab,
“Betul, dan Ji-wi tentulah Nona Lin Lin dan Saudara Cin Hai!”
Mendengar percakapan ini, Cin Hai merasa heran sekali. Hal ini merupakan ‘surprise’ baginya, yaitu merupakan hal yang sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Tunangan Ang I Niocu? Dan demikian gagah perkasa?
Hatinya menjadi girang dan fia ingin sekali cepat-cepat mengakhiri pertempuran ini agar supaya dapat bercakap-cakap dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian yang sama dengan kepandaiannya sendiri.
Ia dulu mendengar bahwa Ang I Niocu ditolong oleh Lie Kong Sian, akan tetapi Dara Baju Merah itu tidak menceritakan bahwa ia telah menjadi tunangan Lie Kong Sian. Ia maklum bahwa orang ini adalah Suheng dari Song Kun, maka boleh dibilang masih suheng-nya sendiri pula.....
Komentar
Posting Komentar