PENDEKAR BODOH : JILID-47


Sian Kek Losu berusaha mengelak. Akan tetapi gerakan Lin Lin itu luar biasa cepatnya dan juga tidak diduganya semula, maka tiada ampun lagi pedang Han-le-kiam yang tajam itu dengan jitu menusuk dadanya dari bawah lengan! Sian Kek Losu menjerit, kemudian gendewanya terlepas, tubuhnya sempoyongan lalu roboh dan tewas pada saat itu juga!

Juga Bo Lang Hwesio yang sudah tidak tahan menghadapi Lie Kong Sian, dengan nekat lalu memutar-mutar poan-koan-pit di tangannya dan menyerang bagaikan harimau terluka yang sudah nekat hendak mengadu jiwa. Lie Kong Sian terus mengurung dengan sinar pedangnya sehingga kini Bo Lang Hwesio terpaksa mempergunakan lweekang-nya untuk mengerahkan tenaga pada kedua senjatanya, menangkis sambil terdesak mundur.

Ujung pedang Lie Kong Sian berkelebat cepat mengarah tenggorokannya dan Bo Lang Hwesio lantas membuat gerakan nekat yang hendak memberi pukulan maut tanpa peduli akan keselamatan sendiri. Pada waktu pedang itu meluncur ke arah lehernya, dia hanya sedikit miringkan kepala dan berbareng dengan itu mengirim tusukan dengan sepasang poan-koan-pit ke arah dada Lie Kong Sian.

Bila Lie Kong Sian meneruskan serangannya dengan membalikkan pedang, maka ia pun akan termakan oleh sepasang poan-koan-pit itu dan keduanya pasti akan tewas! Akan tetapi tentu saja Lie Kong Sian tidak mau diajak mati bersama, maka ia berseru keras dan menggerakkan tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih.

Kiranya Lie Kong Sian telah menggunakan gerakan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk menangkis tusukan poan-koan-pit itu! Sedangkan pedangnya tetap dia teruskan dengan bacokan ke arah leher lawan!

Bo Lang Hwesio merasa girang melihat ini karena dia telah mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya yang tinggi ke arah tangan yang memegang senjata, maka ia merasa pasti bahwa tusukannya akan menewaskan musuh. Tidak tahunya, ketika tangan kiri Lie Kong Sian menyampok, poan-koan-pitnya kena disampok terpental oleh tenaga yang luar biasa sehingga dia merasa terkejut sekali. Pada waktu itu pedang Lie Kong Sian telah datang menyambar. Bo Lang Hwesio berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Ia pun menjerit keras dan roboh mandi darah dengan leher hampir putus oleh pedang Lie Kong Sian!

Kini Lin Lin dan Lie Kong Sian melihat pertempuran yang terjadi antara Cin Hai dan Thai Kek Losu dengan serunya. Thai Kek Losu yang harus menghadapi Cin Hai seorang diri, merasa jeri sekali karena dia pernah merasai kelihaian pemuda ini. Melihat betapa Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio sudah tewas, dia menjadi nekat dan menyerang Cin Hai dengan mati-matian. Tengkorak kecil di tangannya lalu diputar-putar laksana maut sendiri terbang berkeliaran mencari korban.

Ada pun Cin Hai yang pernah menghadapi That Kek Losu, bahkan dahulu hampir saja mendapatkan celaka karena pengaruh racun jahat yang keluar dari tengkorak itu, bersilat dengan sangat hati-hati. Sebegitu jauh dia belum berani membacok tengkorak itu, kuatir kalau-kalau racun jahat dan senjata-senjata rahasia yang ada di dalam tengkorak itu akan menyambar keluar dan biar pun ia akan dapat mengelak namun hawa beracun yang luar biasa itu masih tetap merupakan bahaya besar. Dulu pun baru lewat dekat mukanya saja dan dia mencium bau racun, dia telah terkena celaka dan kalau tidak kebetulan bertemu dengan suhu-nya, tentu dia telah binasa.

Melihat keragu-raguan kekasihnya, Lin Lin hendak maju membantu, akan tetapi Cin Hai melarangnya. “Mundurlah Lin-moi, sekarang juga aku akan merobohkannya. Lihat!”

Lin Lin melompat mundur kembali dan pada saat itu tengkorak kecil menyambar ke arah Cin Hai dengan mulut di depan seakan-akan hendak mencium muka pemuda itu. Cin Hai tidak mengelak, hanya memandang dengan tajam dan kedua pedang di tangannya telah siap sedia.

Ketika tengkorak itu sudah datang dekat, tiba-tiba saja pedang pendek di tangan kirinya menyambar dari samping dengan miring, yaitu dia tidak menggunakan tajamnya pedang untuk membacok, hanya mempergunakan permukaan pedang untuk menampar dari arah samping dengan tenaga yang diatur sedemikian rupa hingga tengkorak itu kena ditampar dan terbalik, kini mukanya menghadap kepada Thai Kek Losu.

Secepat kilat pedang Cin Hai di tangan kanan lalu membacok tengkorak itu dari belakang sambil menggunakan tenaga lweekang sekerasnya dan ketika terdengar suara ledakan yang terjadi pada waktu tengkorak itu kena bacok, Cin Hai segera lompat menjauh dan kebetulan sekali Lin Lin pada saat itu berdiri dekat, maka Cin Hai segera menyambar lengan kekasihnya dan dibawanya melompat juga!

Memang Cin Hai telah berlaku sangat hati-hati dan hal ini ada baiknya bagi dia dan Lin Lin, karena kalau ia tidak bertindak cepat, mungkin mereka akan terancam bahaya. Pada waktu tengkorak itu meledak, tidak hanya dari mulut, hidung serta matanya saja keluar jarum-jarum beracun yang amat jahat dan yang kesemuanya melayang ke arah Thai Kek Losu, akan tetapi setelah semua jarum habis, tengkorak itu sendiri meledak dan pecah berhamburan menjadi potongan-potongan kecil yang lantas menyambar ke sekelilingnya. Potongan ini tidak boleh dipandang rendah, karena setiap potongan kecil ini mengandung racun jahat dan apa bila melukai kulit, akan membahayakan jiwa yang terluka!

Thai Kek Losu yang tadinya sudah merasa gembira melihat Cin Hai berani membacok tengkorak itu, menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa semua senjata rahasia yang keluar dari tengkorak yang telah terbalik itu menyambar ke arahnya! Ia hendak mengelak pergi, akan tetapi terlambat. Beberapa batang jarum telah mengenai tubuhnya dan tanpa berteriak lagi ia roboh dan tewas oleh jarum-jarumnya sendiri!

Lie Kong Sian juga melompat pergi ketika ledakan tengkorak terjadi, dan dia kemudian menghampiri Cin Hai dan Lin Lin.

“Sute dan Sumoi, kalian benar-benar gagah perkasa. Apakah Supek Bu Pun Su dalam keadaan sehat-sehat saja?” katanya sambil tersenyum tenang.

Melihat sikap orang ini, baik Lin Lin mau pun Cin Hai merasa tertarik dan suka. Sikap Lie Kong Sian polos, jujur, dan sederhana sekali, hampir sama dengan sikap Bu Pun Su.

Setelah menjura dan memberi hormat, Cin Hai segera memegang tangan Lie Kong Sian dengan girang dan berkata, “Beliau sehat, Suheng. Sudah lama aku mendengar tentang namamu yang besar. Alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau, apa lagi karena mendengar tadi bahwa kau telah bertunangan dengan Ang I Niocu!”

Kembali Lie Kong Sian tersenyum. “Aku memang sedang mencarinya, di manakah dia?”

Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan menceritakan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lainnya mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk membagi-bagikan harta pusaka kepada rakyat miskin.

“Lie-suheng, ada berita girang untukmu,” tiba-tiba saja Lin Lin yang lincah dan jenaka itu berkata kepada Lie Kong Sian sambil menatap wajah pemuda yang tenang dan tampan itu.

Lie Kong Sian sudah mendengar dari Ang I Niocu tentang kejenakaan gadis ini dan dia tahu bahwa tunangannya amat mengasihinya maka sambil tertawa dia berkata, “Sumoi, kau tentu akan menggodaku. Silakanlah, apakah berita girang yang kau maksudkan?”

“Aku sudah mendengar tentang syarat-syarat yang diajukan oleh Enci Im Giok kepadamu dan...”

“Ehh, ehhh, dari mana kau bisa mengetahui hal itu?” Lie Kong Sian memotong sambil memandang heran, akan tetapi dia tidak marah karena bibirnya tetap tersenyum.

“Dari Enci Ma Hoa.”

Lie Kong Sian mengangguk-angguk dan Lin Lin melanjutkan bicaranya, “Dan sekarang, dua dari pada tiga syarat itu telah terpenuhi. Aku dan Engko Hai sudah bertemu kembali sebagaimana yang diharapkan oleh Enci Im Giok dan syarat ke dua pun telah terlaksana.”

Lie Kong Sian menatap wajah Lin Lin dengan tajam, kini senyumnya menghilang. “Sumoi, apa maksudmu? Syarat yang mana? Lekas kau ceritakan padaku!”

“Sute-mu yang jahat itu telah tewas dalam tangan Hai-ko!”

“Apa?!” Wajah Lie Kong Sian menjadi pucat sekali dan dua butir air mata menitik turun.

Ia memandang kepada Cin Hai yang berdiri sambil menundukkan kepala karena pemuda ini pun sudah mendengar betapa besar cinta kasih Lie Kong Sian terhadap Song Kun. Sikap dan wajah Cin Hai ini membuat hati Lie Kong Sian lemah kembali.

Kalau saja yang membunuh Song Kun bukan pemuda ini, pasti ia akan menjadi marah dan membalas dendam. Akan tetapi, pemuda ini adalah sute-nya sendiri pula, murid Bu Pun Su yang tidak saja kepandaiannya lebih tinggi dari pada dirinya sendiri, akan tetapi pemuda ini adalah seorang pemuda yang sangat dicinta oleh Ang I Niocu.

“Sute, kau benar-benar lihai sekali. Tak sembarang orang dapat merobohkan Song Kun, bahkan terus terang saja, aku sendiri tidak sanggup mengalahkannya. Coba kau tuturkan bagaimana hal itu terjadi.”

“Maafkan aku banyak-banyak, Lie-suheng. Memang dia lihai sekali dan andai kata dia tak tersesat dan menjadi seorang jahat, mungkin aku pun tidak akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi, kejahatan pasti akan hancur dan kalah pada akhirnya.”

Kemudian Cin Hai lalu menceritakan mengenai pertempurannya dengan Song Kun yang disaksikan oleh Bu Pun Su. Juga menuturkan pula betapa Song Kun telah mencuri obat dan menggunakan obat itu untuk mengancam dan hendak mengganggu Lin Lin.

Mendengar ini semua, Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Sayang betapa pun gagah seseorang, apa bila ia tidak memiliki kesempurnaan budi, ia menjadi orang yang sehina-hinanya dan serendah-rendahnya dan akhirnya orang itu pasti akan mengalami bencana besar dalam hidupnya.”

“Kau benar, Suheng,” kata Cin Hai dan Lin Lin hampir berbareng.

“Dan sekarang kalian hendak pergi ke manakah?”

“Kami hendak pergi ke Goa Tengkorak, tempat tinggal Suhu Bu Pun Su,” jawab Cin Hai.

“Bagus! Aku pun ingin sekali bertemu dengan orang tua itu,” kata Lie Kong Sian.

“Untuk memenuhi syarat ke tiga, bukan Suheng?” Lin Lin menggoda dan Lie Kong Sian mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandangnya.

“Kau benar-benar nakal, Sumoi.” Ketiganya lalu tertawa.

“Sebelum kita pergi, lebih dulu marilah kita mengubur jenazah tiga orang ini.”

Mendengar ucapan Lie Kong Sian ini, Lin Lin dan Cin Hai merasa kagum dan diam-diam memuji keluhuran budi tunangan Ang I Niocu itu. Cin Hai makin merasa girang bahwa Ang I Niocu mendapat calon suami yang selain gagah perkasa, juga berbudi tinggi.

Jenazah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio lalu mereka kubur dengan baik-baik, menjadi tiga gundukan tanah berjajar dan sebagai tandanya, Lie Kong Sian memindahkan tiga batang pohon Siong yang masih kecil, dan ditanam di depan kuburan-kuburan itu.

Matahari telah menurun ke barat ketika mereka bertiga selesai melakukan pekerjaan itu dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Goa Tengkorak…..

********************

Kini kita ikuti perjalanan Ang I Niocu yang bertugas membagi-bagikan sekantung harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Oleh karena Dara Baju Merah ini memang sudah biasa melakukan perjalanan seorang diri, dan pula untuk membagi-bagikan harta benda itu memang seharusnya berpencar, maka dia segera memisahkan diri dan berjanji akan saling bertemu dengan kawan-kawannya ini di rumah Lin Lin di Tiang-an sebagai tempat tujuan terakhir.

Mereka saling berpesan bahwa apa bila ada yang berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin, harus memberi tahu bahwa kedua teruna remaja itu pun ditunggu di Tiang-an. Dengan demikian, maka nantinya mereka tak usah saling mencari dan dapat mengarahkan tujuan perjalanan mereka ke suatu tempat tertentu.

Ang I Niocu lalu melakukan perjalanan seorang diri seperti biasa, bebas bagaikan seekor burung di udara. Dia membagi-bagi harta benda itu dengan adil dan memilih orang-orang yang benar-benar berada dalam keadaan yang amat sengsara. Pekerjaan ini dia lakukan dengan hati gembira sebab keharuan dan kegirangan wajah orang-orang yang menerima pembagian itu membuat hatinya ikut merasa terharu dan girang sekali.

Pada suatu hari, ketika ia tiba di luar kota Lang-i, tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang dari jalan simpangan. Ang I Niocu cepat bersembunyi di belakang sebatang pohon ketika melihat bahwa dua orang itu bukan lain ialah Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio. Kedua orang itu berlari cepat memasuki kota Lang-i, maka diam-diam Ang I Niocu mengikuti mereka.

Dara Baju Merah ini merasa benci bukan main terhadap Hai Kong Hosiang yang sudah mencelakakan Lin Lin, maka dia sudah mengambil keputusan untuk mencari kesempatan membunuh hwesio jahat itu agar kelak tidak menimbulkan kekacauan pula. Akan tetapi, melihat bahwa hwesio itu bersama Wi Wi Toanio yang kosen, ia merasa ragu-ragu untuk turun tangan, karena terlalu berat baginya untuk menghadapi dua orang tangguh itu.

Kedua orang itu menuju ke sebelah barat kota dan secara diam-diam Ang I Niocu terus mengikuti mereka. Sesudah tiba di ujung kota, mereka masuk ke dalam sebuah gedung yang besar. Ang I Niocu mengambil jalan dari belakang dan pada saat melihat bahwa di belakang gedung itu sunyi, ia lalu melompati pagar tembok dan mengintai. Dan apa yang dilihatnya di dalam gedung itu membuat hatinya berdebar karena terkejut dan heran.

Ternyata bahwa di dalam gedung itu terdapat sebuah ruangan yang amat lebar dan yang dipasangi banyak meja dan kursi. Ruangan itu telah penuh oleh banyak orang dan justru orang-orang inilah yang membuat Ang I Niocu terkejut, karena dia melihat wajah-wajah yang telah dikenalnya baik, antara lain Kam Hong Sin perwira tinggi kerajaan, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tojin. Si Hwesio yang selalu tertawa dan tosu yang selalu mewek, Kong-lam Sam-lojin tiga orang tokoh Liong-san, Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu. Tampak juga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan dua orang yang baru masuk, yaitu Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio!

Orang-orang ini adalah sebagian dari pada orang-orang yang tadinya mewakili golongan-golongan yang bermusuhan, yaitu golongan Turki, Mongol, dan kerajaan yang semuanya telah dikalahkan oleh Bu Pun Su. Mengapa mereka sekarang mengadakan pertemuan bersama? Apakah mereka hendak mengadu kepandaian?

Ang I Niocu mengintai dengan hati-hati sekali oleh karena dia maklum bahwa orang yang berada di dalam itu bukanlah orang-orang lemah dan berbahaya sekali baginya apa bila sampai dapat terlihat oleh mereka. Kebetulan sekali di luar gedung itu terdapat setumpuk rumput kering, maka ia mendapatkan tempat persembunyian yang baik sekali di belakang rumput itu, sambil mengintai melalui celah-celah jendela yang berada dekat di situ.

Agaknya Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio merupakan orang terakhir yang dinanti-nantikan, karena setelah mereka berdua datang dan disambut oleh Kam Hong Sin lalu dipersilakan duduk, perwira itu segera berdiri dari tempat duduknya dan berkata kepada semua orang.

“Cu-wi sekalian. Aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih dan selamat datang bagi Cu-wi sekalian yang telah sudi memenuhi undangan kami untuk berkumpul di sini. Hal ini membuktikan bahwa bagaimana pun juga, Cu-wi sekalian masih ingat akan kebangsaan sendiri. Sebagaimana yang Cu-wi sekalian ketahui, harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan bangsa kita itu telah dicuri dan dibawa pergi orang. Kita tak perlu membongkar-bongkar urusan yang lalu dan sekarang kita merupakan sekumpulan orang yang hendak berusaha mendapatkan kembali harta pusaka itu dan membasmi para pemberontak yang telah berani berlancang tangan mencuri harta pusaka dari tangan kita.”

Hai Kong Hosiang berdiri sendiri dan mengangkat tangannya, tanda bahwa ia minta Kam Hong Sin berhenti bicara karena ia sendiri hendak bicara. Matanya yang tinggal satu itu bersinar-sinar tajam memandang kepada Kam Hong Sin ketika ia berbicara.

“Kam-ciangkun, pencuri harta pusaka itu adalah Hok Peng Taisu, seorang yang berilmu tinggi dan tangguh. Selain dia, masih ada pula Bu Pun Su yang selalu mengacaukan keadaan, karena kami tahu bahwa dia pun menghendaki harta pusaka itu! Siapa tahu kalau-kalau kedua orang tua jahat itu telah bersekutu! Hal ini tak boleh dipandang ringan, karena selain mereka berdua yang lihai, masih banyak terdapat anak muridnya yang tak boleh dipandang ringan, seperti Pendekar Bodoh, Ang I Niocu, Kwee Lin, Ma Hoa, Kwee An, dan ada pula Nelayan Cengeng!”

Kam Hong Sin mengangguk-angguk, “Aku maklum, Hai Kong Suhu, dan aku pun telah tahu akan kelihaian mereka. Akan tetapi dengan kerja sama yang baik dan mengerahkan tenaga kita dibantu dengan para Perwira Sayap Garuda yang banyak jumlahnya, apakah sukarnya untuk menangkap mereka dan merampas kembali harta pusaka itu?”

Wi Wi Toanio berdiri dan biar pun suaranya halus, akan tetapi jelas terdengar bahwa ia merasa gemas dan marah sekali ketika ia berkata,

“Apa artinya berbicara tentang merampas kembali harta pusaka? Harta itu telah mereka sebar dan bagi-bagikan kepada rakyat! Ini semua adalah salahnya Bu Pun Su dan kalau perundingan ini dimaksudkan untuk menghukum dia, aku baru mau turut serta!” Setelah berkata demikian, Wi Wi Toanio duduk kembali di dekat Hai Kong Hosiang.

Terdengar seruan-seruan marah dari sana sini mendengar bahwa harta pusaka itu sudah dibagi-bagi kepada rakyat. Ada pun Kam Hong Sin yang sudah mengetahui hal itu, hanya tersenyum dan berkata,

“Cuwi sekalian, memang benar ucapan Wi Wi Toanio tadi. Aku pun sudah mendengar tentang hal itu, dan rupanya para pemberontak itu hendak menghasut rakyat agar supaya memberontak pula dengan menyogok harta benda pada mereka. Akan tetapi, kita akan bertindak tegas dan membasmi sebelum mereka mendapat kesempatan mengumpulkan tenaga bantuan. Aku membawa surat resmi dari Kaisar sendiri yang ditujukan kepada Cuwi yang gagah perkasa.”

Sambil berkata demikian, Kam Hong Sin mengeluarkan sesampul surat yang dibungkus sutera kuning bersulamkan burung Hong. Ketika dia membacakan surat itu, semua orang terdiam dengan penuh hormat, karena bagaimana pun juga, menerima surat dari kaisar sendiri adalah satu penghormatan besar yang jarang sekali dirasakan orang!

Isi surat itu ternyata adalah satu pengharapan dari Kaisar agar orang-orang gagah suka membantu usaha Kaisar menangkap atau menghukum para pemberontak yang dipimpin oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu!

Ternyata dalam sakit hatinya untuk dapat membalas kekalahannya, Kam Hong Sin sudah berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan putusan menghukum kedua tokoh besar itu supaya dia dapat mencari bala bantuan dengan mudah. Selain mengharapkan untuk mendapat pertolongan, di dalam surat itu Kaisar menjelaskan bahwa orang-orang gagah yang suka mengulurkan tangan menolong kelak akan diberi pangkat tinggi, tempat tinggal gedung besar di dalam kota raja, dan sejumlah uang yang banyak sekali.

Tentu saja semua orang yang hadir di situ merasa mengilar mendengar janji upah yang besar itu. Bukan semata-mata upahnya yang mereka inginkan, akan tetapi nama besar dan penghormatan. Kini terbukalah kesempatan untuk membantu Kaisar dan membuat pahala yang akan mendatangkan hasil besar dan nama baik di samping menebus semua dosa mereka yang lalu!

Memang, hampir semua orang yang hadir di sana, kecuali hamba-hamba Kaisar, dahulu sering kali melakukan pelanggaran-pelanggaran yang berarti berdosa kepada Kaisar, dan dengan adanya kesempatan ini, maka dosa-dosa itu tentu akan dilupakan dan bahkan akan mengangkat diri mereka menjadi orang-orang berkedudukan tinggi!

“Kalau demikian, aku setuju!” kata Wi Wi Toanio dan untuk menutupi keinginannya akan kedudukan dan kemuliaan yang dijanjikan oleh Kaisar itu, ia berkata lagi, “Bukan, karena aku inginkan semua kemuliaan itu, akan tetapi karena aku akan mendapat kesempatan membalas dendam kepada Bu Pun Su yang sudah menghina kita dan kepada Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka itu! Tentang kelihaian mereka, jangan kuatir, aku memiliki seorang supek yang menjadi tokoh nomor satu di daerah barat, yaitu Pok Pok Sianjin. Kalau aku berhasil minta bantuannya, jangankan baru Bu Pun Su dan Hok Pek Taisu biar ditambah seratus orang lagi, dengan mudah mereka akan dapat dihancurkan!”

Semua orang memandang heran karena sepanjang pendengaran mereka, tokoh besar dari barat yang disebut Pok Pok Sianjin itu kabarnya sudah musnah dan sudah naik ke Sorga menjadi dewa! Demikianlah dongeng yang dituturkan orang.

Hai Kong Hosiang tertawa. “Memang di atas dunia ini terdapat empat orang tokoh besar yang dapat disebut menduduki tempat tertinggi di dunia persilatan. Untuk daerah selatan dan timur, nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu disebut-sebut sebagai dua tokoh besar tanpa tandingan. Akan tetapi di bagian barat terdapat Pok Pok Sianjin, ada pun di bagian utara terdapat Swi Kiat Siansu, Suhu dari Thai Kek Losu. Kudengar bahwa Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sudah tewas oleh Pendekar Bodoh, maka kalau kita pergi ke utara dan melaporkan hal ini kepada Swi Kiat Siansu, mustahil dia tidak akan turun gunung membantu kita!”

Semua orang merasa girang sekali karena kalau saja dua orang sakti itu benar-benar mau turun gunung membantu, pekerjaan yang berat dan hebat ini akan jauh lebih ringan lagi. Tiba-tiba Ceng To Tosu sambil mewek-mewek bangun berdiri dari tempat duduknya dan berkata,

“Cu-wi, sesudah diadakan persetujuan untuk bekerja sama, menurut pendapat pinto yang bodoh, ada baiknya kalau diangkat seorang ketua atau pemimpin agar segala pekerjaan yang dilakukan berada di bawah pimpinan seorang yang tepat dan yang terbaik di antara kita semua!”

Mendengar ucapan ini, semua orang saling pandang dan mulailah mereka sama-sama mempertimbangkan, siapa kiranya yang tepat untuk dijadikan pemimpin.

“Seorang ketua harus mempunyai kepandaian tertinggi, maka untuk menentukan siapa yang patut menjadi ketua, lebih baik kita mengajukan beberapa orang calon, kemudian calon-calon itu menguji kesaktian untuk membuktikan bahwa dia memang cukup pandai untuk diangkat menjadi ketua,” kata Hai Kong Hosiang.

Orang-orang lalu saling bercakap-cakap hingga keadaan menjadi riuh, sedangkan Ang I Niocu yang melihat dan mendengar semua ini, diam-diam merasa terkejut sekali. Kalau mereka semua telah bersatu dan berhasil memanggil kedua orang tokoh besar yang tadi disebutkan, maka pihaknya akan menghadapi lawan yang amat tangguh.

Ia pernah mendengar nama Pok Pok Sianjin yang bertapa di Puncak Go-bi-san dan juga sudah mendengar nama Swi Kiat Siansu yang bertapa di pegunungan daerah Mongolia, dan kabarnya kedua orang itu memiliki kesaktian yang luar biasa! Sambil menahan napas agar jangan mengeluarkan suara berisik, Ang I Niocu melanjutkan pengintaiannya.

Sesudah dipilih-pilih, pada akhirnya yang diajukan menjadi calon adalah tiga orang yang dianggap memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, yaitu Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Kam Hong uSin sendiri. Tadinya Siok Kwat Mo-li Si Nenek Bongkok juga dipilih, akan tetapi ia tidak mau menerimanya dan mengundurkan diri sambil berkata,

“Hai Kong Suheng telah dipilih, kenapa pula aku sebagai Sumoi-nya harus maju? Biarlah dia yang mewakili aku sekalian!”

Sambil tersenyum Kam Hong Sin berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio, “Oleh karena kita berada di antara kawan-kawan sendiri, maka kuharap adu kepandaian ini dilakukan dalam cara damai sebagaimana yang biasa dilakukan oleh perwira-perwira kerajaan.”

“Bagus, bagaimanakah cara itu, Kam-ciangkun?” tanya Wi Wi Toanio.

“Di waktu para perwira menguji kepandaian, mereka mempergunakan sepasang sumpit gading yang dipegang pada tangan kanan seperti orang sedang makan nasi. Kemudian dengan sumpit itu mereka saling menjepit dan berusaha membetot sumpit pada tangan lawannya dan siapa yang sumpitnya terlepas, dia dianggap kalah.”

“Baik sekali!” Hai Kong Hosiang memuji. “Memang siapa yang lebih tinggi lweekang-nya akan mendapat kemenangan. Akan tetapi, tentu saja kita tidak boleh menyerang tangan orang dengan sumpit itu, bukan?”

“Tidak boleh sama sekali! Dalam hal ini tentunya kita harus mengandalkan kejujuran dan kepandaian, sama sekali tidak boleh melukai tangan lawan!”

Setelah mendapat persetujuan, Kam Hong Sin, Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang lalu duduk mengelilingi sebuah meja dan para pelayan segera mengambil tiga pasang sumpit gading. Untuk menguji kekuatan sumpitnya itu, Kam Hong Siang lalu berseru keras dan menancapkan sepasang sumpit itu di atas meja sehingga sumpit itu menancap sampai setengahnya di dalam kayu meja yang keras itu.

Wi Wi Toanio tersenyum. Ia pun ingin menguji kekuatan sumpitnya yang akan digunakan dalam pertandingan ini, maka dia pun mengetuk-ngetuk ujung meja dengan perlahan dan hancurlah ujung meja itu berhamburan ke bawah.

Hai Kong Hosiang tidak mau kalah. Dia menggunakan sepasang sumpitnya seperti dua batang pensil dan menggurat-guratkan ujungnya pada permukaan meja. Maka tampaklah guratan-guratan yang dalam pada permukaan meja itu, bagaikan tanah lempung yang digurat-gurat dengan pisau tajam saja.

Orang-orang yang melihat demonstrasi lweekang dari tiga orang itu bersorak memuji, dan Ang I Niocu sendiri diam-diam merasa kagum melihat pengerahan tenaga lweekang yang tidak boleh dianggap ringan itu.

Menurut kebiasaan seperti dituturkan oleh Kam Hong Sin, karena pengikut pertandingan itu ada tiga orang, maka segera dilakukan undian untuk menentukan siapa yang harus bertanding lebih dulu. Pemenang pertandingan pertama ini lalu akan berhadapan dengan orang ke tiga untuk menentukan juara dan jabatan ketua.

Pada saat undian dilakukan, ternyata bahwa yang mendapat giliran pertama adalah Kam Hong Sin dan Wi Wi Toanio. Mereka tersenyum dan duduk berhadapan dengan tangan menjepit sumpit masing-masing.

“Ciangkun, silakan kau mulai lebih dulu, oleh karena kau yang lebih tahu mengenai cara pertandingan ini.”

Kam Hong Sin mengangguk dan berseru, “Toanio, jagalah sumpitmu!” Sambil berkata demikian, sepasang sumpit Kam Hong Sin digerakkan dengan terbuka seperti sepasang patuk burung, hendak menjepit sumpit di tangan Wi Wi Toanio.

Nenek tua ini tidak mengelak karena dia hendak mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawan. Ia membiarkan sepasang sumpitnya terjepit dan tenyata bahwa sepasang sumpitnya itu terjepit kuat bagaikan terjepit oleh catut besi saja. Kini adu tenaga dimulai.

Kam Hong Sin mengerahkan tenaga untuk memutar sumpit lawannya agar terlepas dari pegangan. Akan tetapi ia merasa betapa sumpit itu dipegang dengan kendur dan tenaga lweekang-nya tidak berdaya menghadapi tenaga halus yang meruntuhkan gerakannya dengan menyerah, akan tetapi yang mengandung kekuatan yang luar biasa besarnya hingga ketika ia mencoba untuk memutarnya, sepasang sumpit lawan itu bergerak sedikit pun tidak.

“Ciangkun, kau sudah terlalu lama menjepit!” kata Wi Wi Toanio sambil tersenyum.

Hal ini mengherankan Kam Hong Sin oleh karena di dalam pengerahan tenaga khikang, mengucapkan kata-kata merupakan pantangan. Ia membarengi pada saat Wi Wi Toanio membuka mulut, lalu membetot keras untuk menarik sumpit lawan supaya terlepas, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sumpit lawan itu menjadi demikian licin hingga jepitannya terlepas.

Kini Wi Wi Toanio yang menggerakkan sumpitnya dan ketika sumpitnya sudah terjepit sepasang sumpit Kam Hong Sin, nenek itu tiba-tiba membuat gerakan mendorong, bukan membetot. Ini adalah gerakan yang licin dan penuh perhitungan, karena pada waktu itu Kam Hong Sin memang sedang mengerahkan tenaga untuk menahan sumpitnya, maka tentu saja ketika tiba-tiba didorong, tangannya menjadi terdorong dan sumpitnya hampir terlepas.

Pada saat dia mempertahankan diri dan mulai merobah tenaganya dari menarik menjadi mendorong untuk melawan tenaga dorongan lawan, tiba-tiba Wi Wi Toanio secara tidak terduga-duga membetot sekerasnya sambil berseru,

“Lepas!”

Hal ini betul-betul tak pernah diduganya, maka Kam Hong Sin tak dapat mempertahankan sumpitnya lagi dan sungguh pun dia masih mampu mempertahankan sebatang, yang lain telah kena dibetot terlepas! Kam Hong Sin bangun berdiri dan menjura di depan Wi Wi Toanio mengaku kalah, sedangkan para hadirin bertepuk tangan memuji.

Hai Kong Hosiang tertawa terbahak-bahak. “Permainan yang bagus sekali! Selain tenaga dan keuletan, dalam permainan ini juga diperlukan kecepatan serta kelincahan, ditambah lagi otak yang cerdik! Aku yang bodoh mana dapat melawan Toanio?” Akan tetapi sambil berkata demikian, dia lalu duduk menghadapi Wi Wi Toanio, menggantikan tempat Kam Hong Sin yang sudah kalah.

“Seranglah, Hai Kong!” kata Wi Wi Toanio menantang.

“Tidak, engkau saja yang menyerang, aku hendak mempertahankan diri saja,” jawab Hai Kong Hosiang yang cerdik.

Hwesio ini terkenal amat cerdik dan banyak tipu muslihatnya, maka Wi Wi Toanio berlaku hati-hati sekali. Nenek ini benar-benar ingin diangkat menjadi ketua, karena hal ini akan menguntungkannya. Kalau dia yang menjadi pemimpin, maka dia mendapat kesempatan lebih banyak untuk membalas dendamnya kepada Bu Pun Su. Ia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang dan ilmu silat, mungkin tingkatnya masih lebih tinggi dari Hai Kong Hosiang, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia sering mengagumi hwesio ini.

Wi Wi Toanio segera menyergap dengan sumpitnya untuk menjepit kedua sumpit Hai Kong Hosiang, akan tetapi tiba-tiba hwesio ini membuka mulut sumpitnya dan kini sumpit-sumpit itu menjadi saling jepit! Sepasang sumpit Wi Wi Toanio menjepit sumpit Hai Kong Hosiang sebelah bawah, sedangkan sepasang sumpit Hai Kong Hosiang menjepit sumpit Wi Wi Toanio sebelah atas, bagaikan mulut dua ekor jangkerik sedang saling gigit dalam sebuah perkelahian yang sengit!

Saking tegangnya pertandingan itu, tiada terdengar sedikit pun suara di antara penonton yang memandangnya. Kini Wi Wi Toanio maklum bahwa Hai Kong Hosiang yang cerdik tidak mau mengadu kecepatan, karena itu dia sengaja menjepit sebuah sumpit lawan dan membiarkan sumpitnya yang sebatang terjepit pula sehingga dalam keadaan demikian, terpaksa mereka harus mengandalkan tenaga belaka.

Mereka masing-masing tidak mau mengalah, dan dua pasang sumpit itu sampai tergetar saking serunya pertemuan tenaga mereka yang disalurkan melalui sepasang sumpit pada tangan masing-masing! Sebentar sumpit terputar ke kanan, sebentar ke kiri, akan tetapi keduanya sama kuat hingga empat batang sumpit itu seakan-akan telah tumbuh menjadi satu!

Dari getaran-getaran yang menyerang ke jari-jari tangannya, Hai Kong Hosiang maklum akan kehebatan tenaga lweekang Wi Wi Toanio. Akan tetapi, nenek tua itu pun merasa betapa sepasang sumpit di tangan Hai Kong Hosiang demikian kokoh kuatnya bagaikan dua bukit karang yang sukar dirobohkan!

Lama sekali adu tenaga ini berlangsung dan pada jidat Hai Kong Hosiang sudah nampak keringat keluar membasahi jidatnya, sedangkan Wi Wi Toanio juga mulai nampak pucat! Kam Hong Sin berdiri dengan mata terpentang lebar karena baru kali ini dia menyaksikan pertandingan sumpit yang demikian seru dan hebatnya.

Tiba-tiba Wi Wi berseru keras sekali dan dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Hai Kong mencoba untuk bertahan, akan tetapi tiba-tiba…

“Krekkk!”

Terdengar suara keras dan tiga batang sumpit telah patah, yaitu dua batang sumpit Hai Kong Hosiang dan sebatang sumpit Wi Wi Toanio! Hal ini menunjukkan bahwa lweekang Wi Wi Toanio masih menang setingkat!

Hai Kong Hosiang menghapus keringatnya sambil tertawa. “Sudah kukatakan bahwa aku tak akan bisa menang menghadapi Wi Wi Toanio yang tangguh! Akan tetapi, kita semua enak-enak mengadu kepandaian hingga melupakan orang yang mengintai dari luar!”

Ang I Niocu merasa terkejut bukan main dan serba salah. Terang bahwa mata Hai Kong Hosiang yang tinggal satu itu awas sekali dan sudah dapat melihatnya. Ang I Niocu tidak kenal arti takut, akan tetapi dalam keadaan seperti itu dia benar-benar menjadi bingung. Kalau ia melarikan diri dari situ, dia akan merasa malu kepada diri sendiri, sebaliknya jika dia melompat masuk, dia yakin bahwa dia tidak akan kuat menghadapi sekian banyaknya orang-orang gagah.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari sebelah atasnya yang disusul ucapan mengejek, “Ha-ha-ha, memang semenjak tadi aku berada di sini. Bagaimana aku bisa masuk sebelum diundang?”

Ang I Niocu terkejut bukan main. Bagaimana ada orang bisa berada di atasnya tanpa dia ketahui sama sekali? Dia menengok dan melihat seorang kakek botak duduk di atas tiang yang melintang di atas kepalanya. Kakek itu duduk bagaikan seorang anak-anak sedang menonton pertunjukan indah, sedangkan pada lengan kirinya terjepit sepasang tongkat bambu warna kuning.

Dia menjadi tercengang karena dapat menduga bahwa orang ini tentulah Hok Peng Taisu yang pernah diceritakan oleh Ma Hoa kepadanya. Dan, orang inilah agaknya yang sudah mencuri harta pusaka itu. Sementara itu, kakek botak yang bukan lain adalah Hok Peng Taisu itu, memandang kepadanya dan mengedipkan mata sambil menyeringai, memberi tanda agar Dara Baju Merah itu jangan mengeluarkan suara.

Sementara itu, ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mendengar suara dari luar itu, segera berjaga-jaga dan Kam Hong Sin sebagai tuan rumah lalu berkata, “Tamu yang berada di luar dipersilakan masuk!”

Terdengar suara tertawa bergelak dan tiba-tiba ada tubuh seorang kakek botak melayang masuk dengan gerakan yang ringan sekali. Dengan sepasang matanya yang amat tajam, kakek botak itu menyapa semua orang yang berada di ruang itu dan berkata,

“Aduh, semua telah berkumpul. Bagus, bagus! Tadi telah kusaksikan pertandingan sumpit yang bagus. Aku tua bangka pun memiliki semacam permainan sumpit yang sama, akan tetapi apakah ada orang yang cukup bergembira untuk melayaniku bermain-main atau tidak, entahlah!”

“Biarlah pinceng melayanimu, Kakek Tua!” kata Hai Kong Hosiang.

“Bagus, bagus, akan tetapi sebagai tamu baru, aku belum mendapat jamuan, sedangkan perutmu yang gendut sudah diisi penuh, tentu saja aku akan kalah tenaga! Biarkan aku makan beberapa mangkok sayur dahulu!” Sambil berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu mengambil semangkok daging kambing dan sepasang sumpit bambu. Sambil berdiri dia makan daging itu sepotong demi sepotong dan kelihatannya dia menikmati makanan itu.

“Locianpwe ini siapakah?” Kam Hong Sin bertanya karena merasa penasaran melihat lagak orang yang tidak tahu akan kesopanan.

“Baru saja namaku kau sebut-sebut, sekarang hendak bertanya pula, bukankah ini aneh namanya? Akan tetapi, aku jangan kau bandingkan dengan Bu Pun Su yang lihai!”

Terkejutlah semua orang, dan ketika mereka melihat ke arah dua batang tongkat bambu yang dikempit di bawah lengan kiri, Kam Hong Sin menjadi pucat dan bertanya,

“Apakah kau Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka?”

Tiba-tiba Hok Peng Taisu tertawa bergelak-gelak. “Sudah berpuluh tahun aku orang tua menyembunyikan diri dalam goa dan akibat perbuatan orang-orang yang suka mencurilah yang menyebabkan aku keluar dari goa. Sekarang aku bahkan dituduh menjadi pencuri. Lucu, lucu!” Kemudian, dengan tangan kiri masih menyangga mangkok sedang di bawah lengan kiri itu masih terjepit tongkat-tongkat bambunya, tangan kanan memegang sumpit, ia menuding ke arah Hai Kong Hosiang dengan sumpitnya itu dan bertanya,

“Bagaimana, apakah kau masih mau melayani aku bermain sumpit?”

“Boleh, asal kau orang tua jangan bermain curang!”

Kembali Hok Peng Taisu tertawa bergelak dan dia mengulurkan tangan yang memegang sumpit sambil berkata, “Nah, kau jepitlah sumpitku ini!”

Hai Kong Hosiang yang melihat bahwa sepasang sumpit kakek itu adalah sumpit bambu biasa saja, lalu melangkah maju dan dengan sumpit gading yang kuat dia lalu menyerang maju, akan tetapi bukan menjepit sumpit kakek itu, melainkan menotok dengan sepasang sumpitnya ke arah pergelangan tangan Hok Peng Taisu!

Akan tetapi, kakek botak ini agaknya tidak tahu akan kecurangan lawan, maka dia hanya menggerakkan sumpitnya ke bawah, lalu sesudah dapat menangkis sumpit di tangan Hai Kong Hosiang, dia memutar sumpitnya sedemikian rupa hingga sumpit Hai Kong Hosiang ikut terputar-putar tanpa dapat ditahan pula!

Terpaksa Hai Kong Hosiang lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot, akan tetapi sumpitnya seolah-olah sudah timbul akar pada sumpit kakek itu sehingga tak dapat dibetot. Ia mengerahkan tenaganya lagi dan tiba-tiba kakek itu melepaskannya sehingga tubuh Hai Kong Hosiang terhuyung ke belakang.

“Ha-ha-ha! Kau lucu sekali hwesio!” katanya, lalu dengan sumpitnya ia menjepit sepotong daging yang dimasukkan ke dalam mulutnya seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!

Wi Wi Toanio yang dapat memaklumi akan kelihaian kakek botak ini, secara diam-diam menghampirinya dari belakang dengan sepasang sumpit gading di tangannya.

“Hok Peng Taisu, aku pun ikut bermain-main dengan sumpit!”

Dan belum juga habis kata-kata ini dia ucapkan, dia telah menyerang dengan sepasang sumpitnya, menotok jalan darah Hok Peng Taisu dari belakangnya! Kakek botak itu tidak bergerak atau pun membalikkan tubuh, seakan-akan dia tidak mendengar ucapan tadi, hanya tangan kanannya yang memegang sumpit saja digerakkan ke belakang tubuhnya. Pada saat itu, Hai Kong Hosiang yang merasa penasaran, lalu menyerang lagi dari depan dengan sepasang sumpitnya digerakkan ke arah kakek botak itu.

Biar pun diserang dari belakang dan depan, agaknya Hok Peng Taisu masih saja terus enak-enakan mengunyah daging beberapa potong yang tadi dimasukkan ke dalam mulut. Ketika sumpit Wi Wi Toanio telah dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba saja sumpit di tangan kanannya bergerak dan…

“Krekkk!”

Terdengar suara, diikuti seruan Wi Wi Toanio yang melompat mundur karena merasa telapak tangannya sakit sekali, dan ternyata bahwa sepasang sumpitnya telah terpotong menjadi dua, setelah tadi terjepit oleh sumpit bambu Hok Peng Taisu!

Sedangkan dua batang sumpit Hai Kong Hosiang yang menyambar ke arah ulu hatinya, juga tidak dielakkan oleh kakek botak itu, akan tetapi tiba-tiba dia membuka mulutnya dan dua kali dia meniupkan daging-daging yang dimakan tadi dari mulut! Daging-daging itu meluncur bagaikan pelor dan tepat sekali mengenai ujung sepasang sumpit itu.

Hai Kong Hosiang hanya merasa betapa tusukan sumpitnya tertahan oleh tenaga yang kuat sekali dan tahu-tahu dia melihat betapa dua batang sumpitnya telah menancap pada dua potong daging bakso yang besar! Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini dan dia merasa dirinya dipermainkan, maka dia pun berseru.

“Jangan jual lagak di sini!” Sambil berseru demikian dia mengayunkan tangan sehingga sepasang sumpitnya yang masih ada baksonya itu meluncur cepat ke arah dua mata Hok Peng Taisu!

Akan tetapi kakek botak itu sambil terkekeh-kekeh lalu berkata. “Hwesio, mengapa kau tidak makan bakso-bakso itu?”

Lalu dia mengangkat kedua tongkat bambunya, memukul ke arah sepasang sumpit yang melayang itu. Heran sekali, ketika tongkat bambu itu beradu dengan sumpit, bakso yang berada di ujung sepasang sumpit itu melayang kembali ke arah Hai Kong Hosiang, ada pun sumpit-sumpitnya melayang ke samping, menuju kepada Wi Wi Toanio!

Hai Kong Hosiang mengelak dan sambil menyumpah-nyumpah segera mencabut keluar tongkat ularnya. Sedangkan Wi Wi Toanio juga menjadi marah dan menyampok kedua batang sumpit yang melayang ke arah dirinya itu hingga runtuh ke atas lantai! Kemudian, nenek ini pun maju menyerang dengan kedua tangan merupakan cakar burung garuda. Sebenarnya, Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Kuku Garuda) yang dimiliki oleh nenek ini bukan Eng-jiauw-kang biasa, maka gerakannya aneh serta lihai sekali.

Melihat dirinya akan dikeroyok, Hok Peng Taisu segera menggerakkan sepasang tongkat bambunya dan dua kali tubuhnya berkelebat, tahu-tahu tongkat ular di tangan Hai Kong Hosiang sudah kena dibikin terpental dan Wi Wi Toanio hampir saja terkena sabetan itu pada pipinya! Keduanya merasa terkejut sekali dan melompat mundur.

Hok Peng Taisu tertawa terbahak-bahak. “Kalian ini benar-benar merupakan tuan rumah yang kurang sopan! Sekarang lebih baik aku pergi saja lagi!” Sesudah berkata demikian, kakek botak itu menggerakkan kakinya dan melayang pergi.

“Locianpwe, tunggu dulu!” tiba-tiba Kam Hong Sin berseru dan memburu ke pintu.

“Apa kehendakmu?” terdengar suara kakek botak itu dari atas genteng.

“Kami hendak menantangmu dan juga Bu Pun Su untuk mengadakan pertandingan adu kepandaian di Puncak Hoa-san pada bulan tiga. Apakah kau berani menerima tantangan kami ini?”

Kembali kakek botak itu tertawa terkekeh-kekeh. “Tak usah kau ceritakan, aku pun sudah maklum akan maksud kalian yang buruk itu. Baik, baik, memang sudah lama sekali aku ingin bertemu dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu. Mengenai Bu Pun Su, aku tidak tanggung bahwa dia akan mau melayani ajakan kalian yang gila itu!”

Hok Peng Taisu lalu melayang ke tempat mana Ang I Niocu bersembunyi dan memberi tanda dengan tangan agar supaya Dara Baju Merah itu mengikutinya. Ang I Niocu segera melompat ke atas genteng dan mengikuti kakek itu pergi dari sana. Sesudah berada di tempat jauh, kakek botak itu berkata,

“Bukankah kau yang bernama Ang I Niocu?”

Ang I Niocu menjura dengan sangat hormatnya. “Betul Locianpwe dan sudah lama aku yang bodoh mendengar tentang nama Locianpwe dari Ma Hoa. Aku merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan seorang sakti seperti Locianpwe.”

“Ahh, jangan terlalu memuji, Nona. Kau tentu sudah mendengar semua kehendak mereka itu, bukan? Nah, sekarang semua terserah padamu apakah kau hendak menyampaikan undangan mereka terhadap Bu Pun Su atau tidak. Hanya saja, boleh kau katakan pada Bu Pun Su bahwa aku tua bangka tentu akan menghadapi tantangan mereka itu pada waktunya di Puncak Hoa-san!”

Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu berkelebat pergi sedangkan Ang I Niocu kemudian melanjutkan perjalanannya. Memang dia pun ada maksud untuk pergi ke Goa Tengkorak menemui susiok-couw-nya, sekalian hendak menemui Bu Pun Su untuk minta ijin orang tua itu tentang perjodohannya dengan Lie Kong Sian…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)