PENDEKAR REMAJA : JILID-01


Demikian pula keadaan kota Shaning. Kemakmuran kota ini terpancar keluar dan dapat dilihat dari seri wajah para penduduknya. Di sepanjang Sungai Yang-ce nelayan-nelayan melakukan pekerjaan mereka sambil bernyanyi gembira, juga petani-petani mengerjakan sawah ladang dengan giat dan muka berseri-seri, yakin akan hasil tanah yang diolahnya, para penggembala menghalau hewan ternaknya dengan perasaan ayem dan hati senang sambil memperdengarkan suara suling bambunya di kala mereka duduk di bawah pohon memandang dan menjaga hewan-hewan yang sedang makan rumput yang hijau segar. Juga di dalam kotanya sendiri jelas nampak kemakmuran dengan banyaknya pedagang-pedagang yang menjual kebutuhan penduduk dengan harga murah.

Pembesar-pembesar setempat melakukan tugas mereka dengan sangat baik, jujur, dan adil, berbeda sekali dengan sebagian besar petugas yang mempergunakan kedudukan dan kekuasaan mereka untuk menghisap rakyat dan memenuhi kantung mereka sendiri. Hal ini tidak terjadi karena kebetulan saja pejabat-pejabat di Shaning adalah orang-orang yang baik budi, akan tetapi terutama sekali karena pengaruh seorang pendekar besar yang bertempat tinggal di koti Shaning.

Pendekar inilah yang membuat para pembesar merasa takut untuk bertindak tidak adil atau memeras rakyat. Bahkan dengan adanya pendekar ini, maka daerah di sekitar kota Shaning menjadi aman sekali. Tak ada seorang pun perampok yang berani mengganggu daerah ini.

Memang tidak mengherankan apa bila para petualang dari kalangan Hek-to (jalan hitam atau dunia penjahat) tidak berani melakukan kejahatan di daerah itu, karena pendekar ini bukan lain adalah Sie Cin Hai, yaitu pendekar berilmu tinggi yang telah membuat gempar seluruh dunia persilatan dan kelihaiannya telah diakui oleh para tokoh persilatan di empat penjuru.

Di samping pendekar ini yang di kalangan kang-ouw mendapat nama julukan Pendekar Bodoh, juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang tidak kurang-kurang lihainya, karena isterinya ini adalah bekas sumoi-nya (adik seperguruan) sendiri, yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat cantik jelita.

Di samping sepasang suami isteri yang tinggi ilmu kepandaiannya itu, masih ada lagi seorang yang juga amat disegani, yakni ayah angkatnya Nyonya Sie yang bernama Yo Se Fu. Melihat warna kulitnya dan potongan mukanya, orang akan menduga bahwa Yo Se Fu ini bukanlah seorang Han. Memang betul, kakek tua yang disebut Yo Se Fu ini berasal dari Turki dan dahulu namanya adalah Yousuf, seorang bangsawan Turki yang selain berilmu tinggi juga amat baik budi.

Di dalam cerita Pendekar Bodoh, diceritakan bahwa Yousuf atau Yo Se Fu ini sudah diangkat sebagai ayah oleh Lin Lin atau Kwee Lin yang sekarang menjadi Nyonya Sie Cin Hai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, juga Yo Se Fu memiliki ilmu hoat-sut (sihir) yang cukup tinggi.

Dengan adanya keluarga inilah, maka kota Shaning menjadi tenteram dan damai. Rumah mereka yang besar mendatangkan rasa aman di dalam hati semua penduduk Shaning, seakan-akan di dalam rumah besar itu terdapat ribuan orang penjaga keamanan yang boleh dipercaya.

Pada suatu pagi yang cerah, semua penduduk Shaning sudah keluar dari pintu rumah masing-masing untuk melakukan pekerjaan mereka. Ada yang hendak pergi ke ladang untuk mencangkul tanah, juga ada yang pergi ke sungai untuk mulai dengan pekerjaan mereka mencari ikan atau menambangkan perahu, ada pula yang pergi untuk berdagang dan lain-lain.

Yang amat menarik adalah kenyataan bahwa pintu rumah para penduduk itu dibiarkan terbuka begitu saja sungguh pun di antaranya ada yang sama sekali kosong ditinggalkan oleh para penghuninya yang pergi bekerja. Memang telah lama sekali penduduk Shaning tak mengenal adanya perampokan atau pencurian sehingga mereka boleh meninggalkan rumah-rumahnya dengan pintu terbuka dan dengan hati aman!

Kalau pada pagi hari itu di jalan raya yang banyak toko-tokonya itu keadaan demikian ramainya, di lorong-lorong kecil tempat tinggal para petani dan nelayan amatlah sunyinya karena semua orang pergi meninggalkan rumah untuk bekerja.

Tiba-tiba terdengar suara nyanyian memecah kesunyian sebuah lorong kecil yang diapit oleh dua deretan rumah di kanan kiri. Suara nyanyian itu merdu sekali, dan dari suaranya yang bening dan tinggi nadanya itu dapat diduga bahwa yang bernyanyi adalah seorang anak perempuan. Di samping merdu sekali, juga suara itu terdengar sangat gembira dan jenaka.

Plak! Plok! Plak! Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya sudah tua,
Jalannya kaya onta!

Kemudian dari sebuah belokan di lorong itu muncullah penyanyinya. Cocok betul dengan suaranya yang bening merdu, anak perempuan yang kurang lebih berusia delapan tahun itu luar biasa cantik dan manisnya.

Rambutnya yang hitam serta panjang itu dikuncir dua, dengan jambul di atas kepala, di kanan kiri yang membuatnya nampak lucu sekali. Mukanya halus dan putih kemerahan, dengan sepasang mata yang indah bening bagaikan mata burung Hong.

Kesegaran mukanya ini makin jelas karena hiasan setangkai bunga merah di atas telinga kanannya. Kalau melihat bunga merah itu, orang akan membandingkannya dengan mulut kecil mungil dan merah yang selalu tersenyum gembira itu. Baik dari sepasang matanya yang bersinar-sinar, atau dari hidungnya yang kecil mancung dan dikembang-kempiskan dengan cara lucu, mau pun dari bibirnya yang tersenyum-senyum, nampak kegembiraan yang membuat wajah ayu itu selalu berseri-seri.

Pakaian yang dikenakannya juga amat pantas, menambah kemungilan dan kelucuannya. Bajunya berwarna merah dengan pinggiran putih. Celananya warna putih bersih dengan pita lebar warna hijau di bagian bawah, sepatunya yang kecil berwarna hitam. Baik baju mau pun celananya terbuat dari pada sutera mahal yang indah dan juga sepatunya yang baru dan baik itu menunjukkan bahwa dia adalah anak seorang yang berkeadaan cukup baik, dan kejenakaannya menunjukkan kemanjaan.

Siapakah anak perempuan yang sangat lucu dan menyenangkan hati setiap orang yang memandangnya ini?

Apa bila pertanyaan ini diajukan kepada penduduk kota Shaning, setiap orang, baik dia petani, nelayan, mau pun pedagang, baik dia kakek-kakek, orang dewasa, mau pun anak kecil, akan dapat menjawabnya dengan cepat. Dia adalah anak kedua dari pendekar Sie Cin Hai. Anak perempuan ini sebetulnya bernama Sie Hong Li, akan tetapi ibunya yang sangat memanjakannya biasa menyebutnya Lili dan untuk memudahkan, lebih baik kita pun menyebut Lili saja kepadanya.

Lili memang memiliki sifat periang dan jenaka, sungguh pun harus diakui bahwa kadang kala dia amat bengal sehingga sering kali dimarahi oleh ayahnya. Jauh bedanya dengan kakaknya yang usianya dua tahun lebih tua darinya, yakni putera sulung keluarga Sie yang bernama Sie Hong Beng.

Semenjak kecil Hong Beng menunjukkan sifat pendiam, akan tetapi kedua matanya yang bersinar-sinar bagaikan bintang pagi itu mencerminkan kecerdasan otak yang luar biasa. Sebaliknya, Lili tidak begitu maju dalam hal pelajaran membaca dan menulis. Sebetulnya bukan karena anak perempuan ini terlampau bodoh, akan tetapi karena dia memang tak suka duduk diam dan tekun belajar.

Pada waktu menghafalkan pelajaran, pikirannya lebih sering melayang pada kesenangan bermain-main, dan bahkan sering kali dia mengganggu serta menggoda kakaknya yang sedang tekun belajar sehingga dia mendapat omelan dari ayahnya. Kalau sudah begitu, tentu ibunya yang akan datang menghibur dan memanjanya, atau juga kakeknya, yakni Yousuf yang amat mencintanya. Hal ini membuat Lili menjadi makin bengal.

Betapa pun juga, dalam hal pelajaran ilmu silat harus diakui bahwa Lili mempunyai bakat yang luar biasa dan baik sekali. Gerakan-gerakan kaki tangannya amat lemas dan indah kadang-kadang mengingatkan ayah atau ibunya kepada Ang I Niocu, seorang pendekar wanita kenamaan yang menjadi sahabat baik mereka dan yang tinggal dengan suaminya di seberang laut, di sebuah pulau kecil.

Oleh karena bakatnya ini maka biar pun usianya baru saja delapan tahun dan sungguh pun dia tidak dapat menandingi kakaknya yang memang luar biasa cerdik dan pandainya itu, Lili sudah menjadi seorang anak yang pandai ilmu silat, bahkan laki-laki dewasa yang biasa saja jangan harap akan dapat mengalahkannya!

Lili memang benar-benar nakal. Hampir setiap hari dia pasti pergi dari rumah, pergi ke kampung-kampung, bermain-main dengan kawan-kawan satu kampung atau... berkelahi! Memang luar biasa sekali, apa lagi pada jaman itu, ada seorang anak perempuan selalu mencari jago-jago kecil di setiap kampung dan mengajaknya mengadu kepalan!

Dan hasilnya selalu tentu Lili yang menang, ada pun jago kecil itu mendapat telur yang menjendol di kepala atau pipinya menjadi matang biru. Apa bila sudah begitu, orang tua anak itulah yang akan datang mengadu sehingga sering kali Lili dimarahi secara keras oleh ayahnya.

“Lili! Apakah kelak kau akan menjadi tukang pukul orang? Sungguh tak tahu malu, anak perempuan bertingkah sekasar itu!” Ayahnya mengomel.

Akan tetapi di luar tahunya Cin Hai biar pun telah dimarahi oleh ayahnya, Lili masih dapat mendongeng di depan ibunya atau kakeknya tentang jalannya ‘pertempuran’ yang tadinya dia lakukan dengan anak laki-laki itu!

Demikianlah, pada hari itu seperti biasa, Lili telah mulai ‘keluyuran’ dan keluar dari rumah sejak pagi-pagi sekali. Kali ini dia lebih bebas dari pada biasanya, oleh karena telah ada sepekan ini ayah dan ibunya pergi ke barat untuk mengantarkan kakaknya, Hong Beng, ke tempat pertapaan seorang kakek sakti bernama Pok Pok Sianjin yang juga terkenal sebagai ahli silat nomor satu di bagian barat!

Sepuluh tahun yang lalu, sebelum Hong Beng lahir bahkan sebelum Sie Cin Hai menikah dengan Lin Lin, kakek sakti ini pernah berjanji kepada Cin Hai bahwa kelak dia akan memberi pelajaran ilmu silat tongkat kepada keturunan Pendekar Bodoh, maka setelah kini Hong Beng berusia sepuluh tahun, Cin Hai bersama isterinya lalu membawa putera mereka ini ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menagih janji, sekalian melakukan perjalanan melancong untuk menghibur hati.

Lili yang hanya tinggal berdua dengan kakeknya, tentu saja lebih bebas karena Yousuf memang amat memanjakan cucu perempuannya ini. Sambil menyanyikan lagu-lagu lucu yang dia pelajari dari Yousuf karena kakek asal Turki ini sering mendongeng kisah-kisah kuno kepada kedua cucunya, dongeng Turki yang didongengkan sambil bernyanyi. Lili berjalan sambil berlompatan meniru larinya kuda yang dinyanyikannya dalam lagu ‘Kisah Si Tolol Naik Kuda’.

Lorong kecil yang dilaluinya itu dipasangi batu-batu lebar dan rata pada bagian tengah, dijajarkan memanjang dan jalan batu ini dipergunakan pada waktu musim hujan karena jalan kecil itu tentu akan menjadi amat becek berlumpur.

Kini Lili melompat-lompat dari satu batu ke batu lain sambil bernyanyi gembira, kadang kala diseling oleh suara lucu meniru bunyi ringkik kuda, sehingga siapa saja yang melihat kelucuan dan kegembiraan anak perempuan ini, tentu akan ikut tertawa gembira.

Memang Lili sedang gembira sekali. Betapa tidak? Ayah ibunya tidak berada di rumah, ini berarti bahwa ia tidak usah menghafalkan pelajaran membaca kitab-kitab kuno yang sulit itu, tidak usah menghafalkan ujar-ujar dan sajak-sajak kuno yang sering membingungkan kepalanya.

Sebetulnya, oleh ibunya telah ditinggalkan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalkan dan ditulisnya, dan Yousuf mendapat tugas untuk mengawasinya. Akan tetapi, kakek ini tidak kuat menghadapi senyum atau rengek Lili dan sekali saja anak perempuan ini dengan pandang mata manja menyatakan keinginannya hendak pergi bermain, Yousuf tak dapat dan tidak tega melarangnya pula!

Ketika Lili sedang berlompatan sambil menyanyi dengan riangnya, tiba-tiba ia mendengar bunyi derap kaki kuda yang sesungguhnya. Ia berhenti dan berdiri di atas jalan batu itu dengan mata dipentang lebar.

Dari sebuah tikungan jauh di depan, muncullah tiga orang penunggang kuda, seorang di depan dan dua lainnya di belakangnya. Dan ketika dia melihat penunggang kuda yang di depan itu, tak terasa lagi, Lili memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya berkata perlahan,

“Ahh, dia itu benar-benar Si Tolol Menunggang Kuda yang didongengkan oleh Kongkong (Kakek)!”

Penunggang kuda yang di depan itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Mukanya cukup tampan dan hidungnya mancung, akan tetapi ia memelihara cambang bauk yang membuatnya menjadi brewok dari bawah telinga sampai ke dagu dan bawah hidungnya, menutupi mulutnya. Kepala dibungkus dengan ikat kepala yang lebar, menyembunyikan semua rambutnya, dan ikat kepala ini berwarna merah.

Pakaiannya berwarna putih dan sepatunya tinggi sampai ke lutut, terbuat dari pada kulit. Di pinggang kirinya nampak gagang sebatang golok dengan ronce-ronce sutera merah. Kuda yang ditungganginya berwarna putih dan bagus, dengan kendali warna merah pula. Pendeknya, seorang setengah tua yang gagah.

Lili menganggap laki-laki ini seperti Si Tolol Naik Kuda yang tadi dinyanyikan oleh karena memang di dalam dongeng kakeknya itu, terdapat seorang lelaki tampan yang naik kuda, akan tetapi karena ketolotannya, dia sering kali menghadapi hal-hal yang lucu.

Dua orang yang menunggang kuda di belakang Si Brewok ini adalah dua orang pemuda, seorang berjubah putih dan yang ke dua berjubah hitam. Keduanya memakai topi putih yang bentuknya segi empat.

Memang tidak terlalu salah bila mana Lili mempersamakan penunggang kuda itu dengan tokoh dalam dongeng kakeknya, karena orang-orang ini memang bukan orang Han, dan muka mereka memiliki potongan yang sama pula dengan Yousuf. Dan bila Lili mengenal siapa adanya Si Brewok itu dan tahu apa maksud kedatangannya di kota Shaning, tentu anak ini takkan berdiri setenang dan sesenang itu menghadapi ketiga orang penunggang kuda ini!

Melihat ada seorang anak perempuan yang cantik jelita sedang berdiri di tengah jalan sambil memandang dengan mata terbelatak, Si Brewok lantas menahan kudanya, diturut oleh kedua orang pengikutnya.

“Hei, Nona kecil! Tahukah kau di mana rumahnya bangsat tua Yousuf?” suaranya parau dan kata-katanya ini diucapkan dalam bahasa Han yang sangat kasar dan kaku, akan tetapi yang amat menyakitkan hati Lili adalah sebutan ‘bangsat tua’ kepada kakeknya itu!

Lili sudah tahu pula bahwa kongkong-nya itu mempunyai nama yang aneh, dan pernah kakeknya itu menceritakan bahwa ia datang dari negeri barat yang amat jauh dan di sana ia disebut sebagai ‘Yousuf’. Akan tetapi Lili sendiri selalu menyebutnya ‘Yo-kongkong’. Ia dapat menduga bahwa orang berkuda ini tentu mencari kongkong-nya, akan tetapi dia sengaja menjawab dengan mulut mentertawakan orang itu.

“Tidak ada bangsat-bangsat di sini, biar tua mau pun muda. Apakah kau yang bernama Aladin?” Lili menyebutkan nama tokoh dongeng yang diceritakan oleb kakeknya itu.

Si Brewok itu memandang heran mendengar pertanyaan ini.

“Eh, apa maksudmu?” tanyanya sambil menahan kendali kudanya yang telah tidak sabar dan kaki depannya menggaruk-garuk tanah.

Lili tidak menjawab, hanya tersenyum mengejek, kemudian dia pun membuat gerakan melompat-lompat seperti kuda dan terdengar pula nyanyiannya.

Plak! Plok! Plak Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya putih tua,
Jalannya seperti onta!

Ia sengaja mengganti kata-kata ‘kudanya sudah tua’ menjadi ‘kudanya putih tua’ karena kuda yang ditunggangi oleh Si Brewok itu memang berbulu putih.

Mendengar nyanyian ini, Si Brewok dan dua orang kawannya nampak terkejut dan heran. Nyanyian dongeng Turki, bagaimana anak bangsa Han ini dapat menyanyikannya?

“Bocah kurang ajar, siapakah yang mengajarmu bernyanyi seperti itu?” Laki-laki brewok itu membentak sambil memandang tajam.

Lili masih tersenyum-senyum lucu dan karena mengira bahwa tiga orang itu mengagumi nyanyiannya seperti orang-orang lain, dia lalu menjawab bangga,

“Di kota ini, siapa lagi kalau bukan Yo-kongkong yang dapat mengajarkan nyanyian yang bagus-bagus? Kalau kau mencari orang, lebih baik kau bertanya kepada kakekku Yo Se Fu, akan tetapi jangan berlaku kurang ajar kepadanya!”

Berubahlah wajah Si Brewok itu pada saat ia bertanya, “Jadi Yo Se Fu adalah kakekmu? Apakah kau anak dari Sie Cin Hai?”

“Dia memang ayahku! Siapa yang tidak tahu akan hal ini?” kata pula Lili dengan bangga karena memang dia tahu bahwa ayahnya dipuji-puji dan disegani orang.

Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa Si Brewok itu ketika mendengar bahwa dia adalah cucu Yo Se Fu dan anak Sie Cin Hai, lalu mukanya berubah beringas dan sambil mencabut gotok tajam yang tergantung di pinggang, membentak,

“Bagus! Kalau begitu, kau pun harus mampus mendahului Yousuf!”

Setelah membentak demikian, Si Brewok itu segera majukan kudanya dan menggunakan goloknya membacok ke arah Lili yang masih berdiri di atas jalan batu, di sebelah kanan kudanya itu! Bacokan itu cepat dan kuat sekali sehingga yang nampak hanya sinar putih berkelebat dari goloknya yang tajam berkilau, yang diikuti sinar merah dari ronce-ronce goloknya. Bagaikan kilat menyambar, golok ini menyambar ke arah leher Lili yang masih berdiri tak bergerak. Agaknya dengan sekali bacok saja, akan putuslah leher anak itu!

Akan tetapi, biar pun usianya baru delapan tahun, Lili adalah anak dari Pendekar Bodoh, seorang pendekar gagah perkasa yang mempunyai kepandaian tinggi, dan sejak kecil Lili telah mendapat gemblengan ilmu silat dari ayah dan ibunya, bahkan mendapat banyak petunjuk dari Yousuf. Maka biar pun dia belum memiliki ilmu silat tinggi, namun dia telah memiliki dasar-dasarnya dan telah pula memiliki gerakan otomatis dan gaya reflek, yakni gerakan yang timbul dengan sendirinya pada kondisi bahaya, gerakan yang dikendalikan oleh perasaan dan urat syaraf apa bila melihat atau mendengar sesuatu yang mungkin mendatangkan bahaya atau serangan pada dirinya, seperti yang dimiliki oleh semua jago silat yang telah tinggi kepandaiannya.

Karena itu, ketika Lili melihat berkelebatnya sinar golok ke arah lehernya dan mendengar bunyi angin sambaran senjata itu, otomatis dia lalu membuang tubuh bagian atas ke kiri sehingga golok itu menyambar lewat di atas punggungnya. Demikian cepat dan kerasnya sambaran golok itu sehingga Lili merasa betapa leher dan punggungnya menjadi dingin!

Ketiga orang itu melongo pada saat melihat betapa anak perempuan itu dengan gerakan yang indah dapat mengelakkan diri dari serangan tadi, padahal Si Brewok itu biasanya bila sudah turun tangan, jarang sekali dapat digagalkan biar pun yang diserang memiliki kepandaian silat. Apa lagi hanya seorang anak-anak!

Merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya maut, Lili cepat menggunakan kesempatan saat ketiga orang itu masih terheran-heran, lalu melompat cepat ke pinggir sebuah rumah dan rnelarikan diri. Dia mendengar suara kaki orang turun dari kuda dan mengejarnya.

Cepat bagaikan seekor tikus yang dikejar oleh kucing, Lili menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu rumah yang terbuka dan bersembunyi di balik pintu. Dia sama sekali tidak merasa ketakutan, akan tetapi tidak berani pula mengeluarkan suara, hanya berdiri diam sambil mengepal kedua tinjunya yang kecil!

Para pengejarnya berlari cepat melewati pintu rumah itu dan tak lama kemudian mereka datang kembali dengan langkah perlahan. Ketika tiba di depan pintu rumah itu, Si Brewok melangkah masuk, akan tetapi hanya menjenguk ke dalam saja. Melihat di dalam rumah tidak ada orang, dia lalu keluar lagi dan berkata kepada kawan-kawannya.

“Setan cilik itu sudah pergi, biarlah kita mencari Yousuf terlebih dahulu. Mudah saja untuk mencarinya kemudian!”

Orang-orang itu lalu pergi lagi dan Lili yang bersembunyi di balik daun pintu tersenyum girang, lantas keluar dan melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah kawan-kawannya. Anak kecil ini tidak begitu mempedulikan ucapan orang-orang tadi dan tidak tahu akan adanya bahaya yang mengancam kakeknya, karena biar pun dia dapat menduga bahwa mereka tidak mempunyai maksud baik terhadap kakeknya, akan tetapi ia percaya penuh bahwa kakeknya yang amat pandai itu akan dapat mengusir mereka.

Siapakah sebetulnya tiga orang tadi? Dan mengapa mereka mencari Yousuf dan tiba-tiba menyerang Lili anak kecil itu pada waktu mendengar bahwa Lili adalah cucu perempuan Yousuf dan anak Sie Cin Hai? Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, marilah kita meninjau secara singkat peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dua belas tahun yang lampau…..

********************

Kira-kira dua belas tahun yang lalu, beberapa kali Kerajaan Turki mengirim ekspedisi ke Tiongkok ketika mendengar bahwa di tempat-tempat tertentu di Tiongkok terdapat harta terpendam yang nilainya sangat besar.

Ekspedisi pertama dilakukan untuk memperebutkan sebuah pulau di seberang timur laut Tiongkok, yang disebut Kim-san-tho (Pulau Bukit Emas) dan yang disangka mengandung bukit penuh logam kuning berharga itu. Dalam usaha memperebutkan pulau ini, terjadilah perang hebat antara barisan Turki, barisan Mongol, dan juga barisan Kerajaan Tiongkok untuk maksud yang sama.

Pemimpin besar dari barisan Turki adalah seorang gagah perkasa bernama Balutin yang amat sakti sehingga ekspedisi itu berhasil sampai di tempat tujuan. Akan tetapi kemudian Balutin tewas dalam pertempuran ketika melawan tentara Tiongkok yang dibantu oleh seorang hwesio lihai sekali bernama Hai Kong Hosiang bersama supek-nya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang gagu akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.

Kemudian, di Turki terjadi perpecahan setelah ada usaha-usaha yang jahat dari seorang pangeran yang disebut Pangeran Muda. Pada waktu itu, yang berkuasa di Turki adalah Pangeran Tua yang adil dan bijaksana, dan diantara kedua orang pangeran ini timbullah permusuhan, akan tetapi akhirnya pengaruh Pangeran Muda serta kaki tangannya yang terdiri dari orang-orang jahat dapat dihancurkan. Peristiwa hebat ini dapat diikuti dengan jelas dalam cerita Pendekar Bodoh.

Dalam keributan-keributan itu, terdapat seorang pemuda yang dilupakan orang. Pemuda ini adalah putera tunggal dari Balutin yang gagah perkasa itu, dan yang telah berusia dua puluh lima tahun ketika ayahnya gugur dalam ekspedisi mencari Pulau Bukit Emas.

Tentu saja dia merasa amat berduka dan hatinya penuh diliputi dendam. Akan tetapi, biar pun dia telah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya, namun dia maklum bahwa ia tidak berdaya membalas dendam atas kematian ayahnya itu. Sedangkan ayahnya sendiri masih kalah melawan jago-jago bangsa Han apa lagi dia.

Pemuda ini mempunyai darah Tionghoa, oleh karena ibunya adalah seorang bangsa Han pula yang dahulu diculik oleh Balutin dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi, ibunya meninggal dunia ketika melahirkannya sehingga terpaksa dia dirawat oleh seorang inang pengasuh yang juga seorang perempuan bangsa Han yang diculik oleh Balutin.

Ia telah menganggap inang pengasuh itu sebagai ibu sendiri dan oleh inang pengasuh itu ia juga diberi nama Tionghoa, yaitu Bouw Hun Ti. Selain ini, Bouw Hun Ti juga mendapat pelajaran membaca dan menulis bahasa Tionghoa oleh inang pengasuhnya, maka selain bahasa Turki, Bouw Hun Ti juga mahir bahasa Han. Mungkin karena ia masih berdarah Tionghoa, maka ia cinta sekali kepada inang pengasuhnya itu.

Balutin sendiri tak begitu peduli pada puteranya, karena panglima ini memang berwatak kurang baik dan sungguh pun dia mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi dia terkenal pula sebagai seorang laki-laki mata keranjang.

Betapa pun juga, dia memberikan latihan ilmu silat tinggi kepada putera tunggalnya itu sehingga Bouw Hun Ti mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi yang tidak diketahui oleh banyak orang.

Setelah Balutin tewas dalam pertempuran, Bouw Hun Ti kemudian keluar dari negerinya, bersama inang pengasuhnya yang kini sudah menjadi nenek-nenek pergi ke pedalaman Tiongkok, di mana ia lalu mengembara setelah mengantar inang pengasuh itu kembali ke kampung halamannya. Cita-cita Bouw Hun Ti hanya satu, ialah membalas dendam atas kematian ayahnya.

Oleh karena maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih belum cukup tinggi untuk dapat melaksanakan maksud ini, maka dia mulai mencari guru dalam perantauannya. Akhirnya dia pun bertemu dengan Ban Sai Cinjin, yakni seorang yang berilmu tinggi. Bouw Hun Ti lalu mengangkat guru kepada orang berilmu ini dan mempelajari ilmu silat, terutama ilmu golok yang amat lihai gerakannya.

Sesudah bertahun-tahun mempelajari ilmu silat dari Ban Sai Cinjin, dan kepandaiannya sudah banyak maju, Bouw Hun Ti lalu mencari musuhnya, pembunuh ayahnya. Alangkah kecewanya pada saat dia mendengar bahwa Hai Kong Hosiang dan Kam Ki Sianjin telah meninggal dunia. Pada waktu itu, inang pengasuhnya sudah meninggal dunia pula akibat usia tua.

Hal ini membuatnya tidak kerasan untuk tinggal lebih lama di pedalaman Tiongkok dan ia segera kembali ke negaranya, dengan hati tetap mengandung dendam yang belum dapat terbalas. Di dalam hati kecilnya dia merasa benci terhadap orang-orang Han yang telah membunuh ayahnya, dan terutama sekali ia memindahkan kebenciannya dari dua musuh besar yang telah mati itu kepada para pendekar yang dahulu pernah memusuhi pengikut Pangeran Muda.

Memang, Bouw Hun Ti juga menjadi pengikut setia dari Pangeran Muda, maka setelah ia kembali ke Turki, dia pun kembali bersekutu dengan Pangeran Muda bahkan sekarang mendapat kepercayaan besar dan kedudukan tinggi karena Pangeran Muda tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian tinggi.

Kedudukan yang tinggi membuat watak Bouw Hun Ti yang sudah kejam dan sombong makin menjadi. Pengaruhnya besar sekali dan mengandalkan kepandaiannya, dia mulai mendesak pengaruh Pangeran Muda dan bahkan dia mulai bercita-cita untuk mendesak pula kedudukan raja dengan pengaruhnya!

Pangeran Muda yang melihat hal ini menjadi khawatir sekali, maka segera dicarinya akal untuk melenyapkan orang berbahaya ini. Pada suatu hari, dia memanggil Bouw Hun Ti menghadap dan dinyatakannya bahwa dia amat membutuhkan seorang penasehat yang cerdik pandai. Dalam percakapan ini, disebutnya nama Yousuf.

“Kalau saja Yousuf bisa didatangkan dan membantuku, ah, hatiku akan menjadi senang. Ia adalah seorang yang arif bijaksana dan pandai mengurus pemerintahan. Oleh karena itu harap kau suka mencarinya di pedalaman Tiongkok, dan apa bila mungkin, sekalian kau balaskan sakit hati kita terhadap seorang pendekar yang disebut Pendekar Bodoh, bernama Cin Hai, she Sie! Menurut para penyelidik, sekarang Yousuf tinggal di rumah Pendekar Bodoh itu, di kota Shaning dalam Propinsi An-hui.”

Maka berangkatlah Bouw Hun Ti ke pedalaman Tiongkok untuk melakukan tugas ini. Ia membawa dua orang pengikut yang mempunyai kepandaian cukup tinggi dan langsung menuju ke Propinsi An-hui.

Pada luarnya saja dia seakan-akan mentaati perintah Pangeran Muda, padahal di dalam hati dia mempunyai pendapat lain. Kalau sampai orang yang bernama Yousuf itu dibawa ke tanah airnya, maka hal itu berarti bahwa ia akan menghadapi saingan berat, apa lagi dia mendengar bahwa Yousuf juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Hatinya yang kejam dan penuh kedengkian membuat dia merasa sangat benci terhadap Yousuf, lebih-lebih sesudah dia mendengar dari para prajurit yang dulu turut melakukan ekspedisi mencari pulau emas, bahwa Yousuf pernah mengkhianati Kerajaan Turki, dan mengkhianati ekspedisi yang dipimpin oleh Balutin, ayahnya. Ia menganggap kegagalan ayahnya adalah akibat dari pada pengkhianatan Yousuf ini dan oleh karena ini Yousuf harus dibunuh, tidak saja untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi juga untuk mencegah orang tua itu memperoleh kedudukan tinggi di Turki!

Demikianlah sedikit riwayat Bouw Hun Ti, seorang yang berkepandaian tinggi dan yang kini datang memasuki kota Shaning dengan maksud yang sangat buruk dan berbahaya. Kalau saja dia tadinya tidak memandang rendah kepada anak perempuan yang menjadi cucu Yousuf itu, tentulah Lili sudah menjadi korbannya yang pertama. Baiknya Lili dapat mengelak serangannya dan karenanya membuat Bouw Hun Ti terheran-heran sehingga terlambat mengejarnya.

Kini Bouw Hun Ti bersama dua orang pengikutnya melanjutkan perjalanannya mencari rumah kediaman Pendekar Bodoh. Ia adalah orang yang cerdik dan sebelum memasuki kota Shaning terlebih dahulu dia telah melakukan penyelidikan sehingga dia tahu bahwa Cin Hai beserta isterinya sedang keluar kota dan yang berada di rumah hanyalah Yousuf seorang.

Berita ini sangat menggembirakan hatinya karena sepanjang pendengarannya, Pendekar Bodoh dan isterinya adalah orang-orang yang merupakan lawan amat tangguh, ditambah pula dengan Yousuf, maka ia merasa jeri juga! Kini kedua suami isteri itu tidak berada di rumah dan hal ini merupakan kesempatan yang amat baik baginya.

Rumah Sie Cin Hai adalah sebuah bangunan besar yang dilindungi pekarangan luas, sedangkan di kanan kiri dan belakang rumah ditanami bunga-bunga indah. Tanaman ini diurus oleh Yousuf sendiri yang memang amat suka bunga. Karena adanya pekarangan ini, maka letak rumah-rumah tetangga di kanan kiri agak jauh dari bangunan itu.

Pada pagi hari itu, Yousuf yang kini telah tua sekali itu sedang berada di kebun bunga sebelah kiri rumah, memetik dan membuangi daun-daun kering dan membunuh ulat-ulat yang mengganggu tanaman. Dengan perlahan dan asyik sekali, ia melangkah dari pohon ini ke pohon itu, dan nampaknya amat gembira.

Memang, kakek tua ini merasa hidupnya bahagia sekali. Betapa tidak? Anak angkatnya yang terkasih, sudah mempunyai rumah tangga yang baik dan dia telah mempunyai dua orang cucu sedangkan kehidupan mereka sekeluarga dalam keadaan aman dan damai. Ketenteraman hati ini membuat dia sehat-sehat saja dan jarang sekali menderita sakit, sungguh pun usianya telah tua dan tenaganya telah banyak berkurang.

Seorang pelayan wanita lalu datang menghampirinya dan membungkuk sambil berkata, “Yo-loya, minuman untuk Loya telah tersedia di ruang tengah.”

Yo Se Fu atau Yousuf mengangguk, kemudian menjawab, “Biarlah dulu, dan lebih baik kau menyediakan makan pagi untuk Siocia (Nona Kecil).”

“Siocia semenjak tadi telah pergi keluar, Loya.”

Yousuf menggeleng-geleng kepala, “Ah, anak itu! Sepagi ini telah pergi. Kalau nanti ayah ibunya datang dan mendapatkan ia tidak berada di rumah, bukan saja ia akan mendapat marah, aku pula akan mendapat teguran. Mengapa kalian tidak mencegahnya dan tidak menyuruh ia memberi tahukan lebih dulu kepadaku sebelum pergi?”

“Siocia tidak bisa dicegah, Loya. Kami pun telah minta ia memberi tahu lebih dulu kepada Loya, akan tetapi dia menjawab bahwa Loya takkan melarangnya keluar bermain dengan teman-temannya.”

Yousuf hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Sudahlah, dan kau bersama pelayan lain bekerjalah baik-baik, jaga agar semua barang dalam rumah nampak bersih agar tuan dan nyonyamu akan senang hati kalau datang nanti.”

“Baik, Yo-loya,” kata pelayan itu yang kemudian mengundurkan diri.

“Anak bandel...” Yousuf berkata seorang diri dengan mulut tersenyum, “mungkin seperti ibunya ketika masih kecil.”

Dia lalu melanjutkan pekeriaannya membuangi daun-daun kering dan ulat-ulat. Kadang-kadang Yousuf tersenyum geli seorang diri kalau ia teringat akan kenakalan-kenakalan Lili, dan tersenyum bangga apa bila teringat kepada Hong Beng yang pendiam, tampan, dan cerdik.

Amat berbahagialah orang tua yang mempunyai anak seperti Hong Li dan Hong Beng dan Yousuf merasa turut beruntung melihat Sie Cin Hai dan Lin Lin berbahagia, karena kedua orang yang dianggap laksana anak sendiri itu memang orang-orang baik hati dan juga amat berbakti kepadanya. Tidak ada kesenangan lain bagi hati kakek tua ini kecuali melihat Cin Hai serumah tangga sehat-sehat dan hidup beruntung.

Tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan ketika ia menengok, ia merasa terkejut dan heran karena melihat ada tiga orang penunggang kuda masuk ke dalam pekarangan itu. Orang-orang yang baru datang ini adalah Bouw Hun Ti bersama dua orang pengikutnya. Yousuf segera melangkah dan menghampiri tiga orang pengunjung itu.

Mudah saja bagi Bouw Hun Ti untuk menduga siapa adanya kakek tua yang berpakaian seperti orang Han akan tetapi berwajah orang Turki itu, karena itu dengan cekatan dia melompat turun dari kudanya dan bertanya,

“Apakah Saudara Yousuf yang terhormat baik-baik saja?”

Yousuf terkejut sekali mendengar pertanyaan ini dan dia lalu memandang dengan penuh perhatian. Matanya yang tua itu sudah agak lamur, akan tetapi dia masih dapat melihat bahwa orang ini adalah seorang Turki, baik dipandang dari kepalanya mau pun bentuk mukanya sungguh pun kulitnya kekuning-kuningan seperti kulit orang Han. Akan tetapi, betapa pun ia mengingat-ingat, ia tidak merasa pernah melihat orang ini, maka jawabnya ragu-ragu,

“Maaf, Saudara Muda, sepasang mataku telah terlalu tua untuk mengingat kembali wajah orang-orang yang sudah lama tidak bertemu denganku. Saudara ini siapakah dan datang dari mana?”

Bouw Hun Ti tertawa bergelak hingga Yousuf merasa tak enak di dalam hatinya, karena suara tawa ini menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berhati kejam dan sombong. Memang Yousuf mempunyai perasaan halus dan pandangan tajam, dapat mengenal watak-watak manusia hanya dengan mendengar suara tawanya atau melihat wajahnya.

“Saudara Yousuf, walau pun kau sudah lupa kepadaku, agaknya kau tidak lupa kepada Panglima Besar Balutin yang telah gugur dalam menjalankan tugas yang gagal karena pengkhianatan bangsa kita sendiri!”

Makin tidak enaklah hati Yousuf mendengar ucapan ini, karena dia maklum bahwa yang dimaksudkan dengan pengkhianatan itu tentu dia sendiri. Akan tetapi dengan tenang dia mengangguk dan menjawab,

“Tentu saja aku kenal Panglima Balutin yang gagah perkasa, sungguh pun harus kuakui bahwa perkenalan itu tidak sangat erat. Akan tetapi, aku masih belum mengerti apakah hubungannya perkenalanku dengan Balutin itu dengan kunjunganmu sekarang ini. Apa kau sengaja datang jauh-jauh dari Turki hanya untuk mencariku?”

Bouw Hun Ti mengangguk. “Memang kami sengaja datang untuk mencarimu, dan amat kebetulan kita bisa bertemu dengan mudah. Saudara Yousuf, lupakah kau kepada Bouw Hun Ti, putera dari Balutin? Dulu aku hanya dapat melihatmu dari jauh, mengingat akan kedudukanmu dan selalu aku memandangmu dengan kagum, yaitu sebelum mendengar betapa kau mengkhianati ekspedisi pemerintahan kita.”

Yousuf teringat bahwa Balutin memang mempunyai seorang putera yang berkepandaian tinggi, akan tetapi dulu ia belum pernah berhubungan dengan orang muda itu. “Sudahlah, tidak ada gunanya kita membicarakan hal yang sudah lampau. Setiap orang mempunyai kesalahan-kesalahannya sendiri, tergantung dari sudut orang itu memandangnya. Yang terpenting sekarang beritahukanlah maksud kedatanganmu ini.”

“Ha-ha-ha! Setidaknya kau masih memiliki sifat terus terang dan langsung seperti sifat bangsa kita!” Sekarang suara Bouw Hun Ti berubah kasar dan tanpa penghormatan pula. “Yousuf, aku datang atas perintah Pangeran untuk membawamu ke Turki!”

Mendengar ini, Yousuf merasa kaget dan memandang penuh kecurigaan. Ia tahu bahwa Pangeran Tua tak mungkin akan memanggilnya, karena ia telah minta ijin dari Pangeran Tua untuk meninggalkan tanah air dan masuk menjadi bangsa Han sedangkan Pangeran Tua telah memberi perkenan sepenuhnya. Dan semenjak saat itu, hubungannya dengan Turki telah putus sama sekali dan ia telah menganggap diri sendiri sebagai seorang Han asli. Mengapa sekarang tiba-tiba Pangeran Tua yang memanggilnya?

“Bouw Hun Ti, kalau benar Pangeran Tua memanggilku, tentu ada suratnya. Perlihatkan suratnya kepadaku.”

Bouw Hun Ti tersenyum sindir. “Untuk memanggil seorang hambanya, Pangeran tidak perlu menggunakan surat. Apakah kau tidak percaya padaku? Ketahuilah, Yousuf bahwa aku adalah tangan kanan Pangeran dan kalau kau sudah tiba di sana, akan kau ketahui sendiri.”

“Kau selalu menyebut Pangeran, yang mana maksudmu? Tentulah bukan Pangeran Tua yang menyuruhmu, bukan?”

“Siapa sudi membantu Pangeran yang lemah itu? Pangeran Muda yang mengutus aku untuk membawamu kembali!”

Kini mengertilah Yousuf, dan dia tahu pula bahwa orang ini memang sengaja datang hendak membikin ribut. Semua orang tahu belaka bahwa dia, Yousuf, adalah pengikut Pangeran Tua dan yang selalu memusuhi segala tindakan yang tak patut dari Pangeran Muda, maka tentu saja kalau sekarang pangeran itu mengutus seorang untuk memanggil atau membawanya ke Turki, itu berarti bahwa utusan ini telah diberi wewenang penuh untuk membawanya hidup-hidup atau pun mati!

Akan tetapi, walau pun telah tua sekali, Yousuf masih belum kehilangan keberanian dan kegagahannya. Dia memandang tajam dan berkata,

“Dengarlah, Bouw Hun Ti! Apa bila Pangeran Muda yang memanggilku, jangankan tanpa surat, biar pun dengan surat yang disimpan dalam kotak emas permata sekali pun, aku tidak akan mau mentaatinya!”

“Ha-ha-ha! Bagus, Yousuf, memang inilah yang kukehendaki! Dengan jawabanmu ini, maka ada alasan bagiku untuk memenggal batang lehermu!” Sambil tertawa bergelak, Bouw Hun Ti lalu menggerakkan tangan kanannya dan goloknya yang tajam berkilauan telah dicabutnya!

Yousuf sama sekati tidak takut menghadapi Bouw Hun Ti, biar pun dia dapat menduga bahwa putera Balutin ini tentu kepandaiannya tinggi sekali. Akan tetapi ketika Bouw Hun Ti mencabut goloknya, tiba-tiba saja wajah Yousuf menjadi sangat pucat dan sepasang matanya terbelalak lebar. Diluar dugaan Bouw Hun Ti, kakek ini segera menjatuhkan diri berlutut menyembah dengan jidat menempel di tanah sambil berkata penuh hormat,

“Hamba menanti perintah.”

Melihat hal ini, Bouw Hun Ti yang tadinya merasa heran, menjadi girang sekali karena ia mengerti bahwa goloknya inilah yang membuat Yousuf bersikap seperti itu. Golok yang dipegangnya ini adalah golok pusaka yang biasa digunakan oleh Pangeran Tua dan yang dipergunakan sebagai lambang kekuasaannya. Menurut peraturan lama dari kerajaan itu, barang siapa pun yang diberi kekuasaan oleh Pangeran Tua untuk memegang golok ini, maka dia berhak menghukum setiap orang sebagai wakil penuh.

Biar pun Yousuf merasa heran kenapa golok pusaka dari Pangeran Tua itu bisa terjatuh ke dalam tangan orang ini, akan tetapi kesetiaannya terhadap Pangeran Tua membuat ia tidak berani banyak cakap dan segera berlutut, karena ia pikir bahwa di bawah pengaruh golok itu, ia harus menyerah dan membiarkan dirinya dibawa ke Turki!

Akan tetapi, Yousuf masih tidak tahu akan kekejian hati Bouw Hun Ti yang memang telah memiliki keinginan untuk membunuhnya. Ketika melihat Yousuf bertutut dan menyembah di hadapannya seperti itu, manusia berhati kejam dan curang ini lalu mengayun goloknya ke arah leher Yousuf!

Bukan main terkejutnya hati Yousuf ketika mendengar sambaran angin di atas lehernya, namun sudah terlambat. Sebelum ia tahu apa yang terjadi atas dirinya, golok yang tajam itu telah membabat lehernya! Dari lehernya darah mengalir keluar bagai pancuran ketika kepala kakek tua yang bernasib malang itu menggelinding ke atas tanah!

Dua orang pelayan wanita menjerit ketika mereka keluar dan melihat tubuh Yousuf rebah di tanah dengan leher putus. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi hanya dengan satu lompatan saja Bouw Hun Ti sudah dapat menyusul mereka dan dua kali goloknya bergerak, maka robohlah dua orang pelayan itu dalam keadaan mandi darah dan tidak bernyawa lagi!

Melihat darah para korbannya itu, Bouw Hun Ti menjadi makin buas.

“Tunggu di sini, biar aku mengadakan pemeriksaan di dalam!” katanya kepada dua orang pengiringnya yang memandang semua kejadian itu dengan muka menahan kengerian hati.

Bouw Hun Ti segera berlari masuk ke dalam rumah Sie Cin Hai, aduk sana bongkar sini membunuh dua orang pelayan laki-laki yang kebetulan berada di situ, kemudian keluar lagi. Dia lalu mengambil kepala Yousuf dengan memegang rambutnya dan membungkus kepala itu dengan sapu tangan lebar, lalu memberi tanda kepada dua orang pengiringnya untuk pergi dari situ.

Beberapa orang yang kebetulan lewat di depan rumah itu, menjadi ketakutan dan segera melarikan diri sambil berteriak-teriak, memberi tahu kepada semua orang bahwa Kakek Yo telah dibunuh orang! Orang-orang sekota menjadi gempar dan mereka lalu membawa senjata dan beramai-ramai menuju ke tempat itu.

Akan tetapi, Bouw Hun Ti dan kedua pengiringnya sambil membawa kepala Yousuf telah pergi dari situ. Orang-orang itu hanya mendapatkan mayat Yousuf yang kepalanya hilang beserta mayat empat orang pelayan.

Gegerlah keadaan di situ, dan terdengarlah suara tangis para wanita ketika mendengar bahwa Empek Yo yang baik hati itu terbunuh orang. Mereka lalu mencari-cari ke dalam rumah dan ketika mereka tidak melihat Hong Li, keadaan menjadi makin ribut lagi.

“Aduh celaka! Nona Lili lenyap...!” Mereka mengeluh dan peluh dingin keluar dari jidat mereka karena mereka dapat membayangkan betapa akan marahnya pendekar besar Sie Cin Hai dan isterinya apa bila mengetahui hal ini!

Sementara itu, Bouw Hun Ti yang melarikan kuda bersama dua orang pengiringnya itu, lalu memberikan bungkusan kepala itu kepada mereka dan berkata,

“Kalian berdua kembalilah dulu ke Turki dan berikan ini kepada Pangeran Muda. Kalian boleh ceritakan kepada Beliau bahwa karena Yousuf menolak dibawa ke Turki, terpaksa kubunuh mati. Aku sendiri hendak mencari anak perempuan dari Pendekar Bodoh itu dan kemudian sebelum kembali ke Turki, aku hendak mengunjungi guruku.”

Kedua orang pengiringnya tak berani membantah, menerima bungkusan kepala itu, akan tetapi lalu berkata dengan muka pucat, “Kepala ini tentu akan membusuk sebelum kami tiba di Turki.”

Bouw Hun Ti tertawa bergelak, lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk sambil berkata, “Campurkan obat ini dengan air, kemudian balurkan di seluruh kulit muka dan kepala itu, terutama beri yang banyak pada bagian leher, tentu akan terpelihara baik dan tidak rusak kepala jahanam itu!”

Setelah memberikan obat itu kepada mereka, Bouw Hun Ti lalu pergi menuju ke lorong di mana tadi dia telah bertemu dengan Hong Li! Sedangkan kedua orang pengiringnya yang merasa tidak aman berada di dalam kota itu lebih lama lagi, segera membalapkan kuda keluar dari kota sambil membawa bungkusan kepala itu…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)