PENDEKAR REMAJA : JILID-08


Oleh karena itu, tak heran apa bila di tempat yang jauh dari dunia ramai ini telah banyak orang datang dan desa-desa yang cukup ramai terdapat di sepanjang sungai besar itu. Dengan adanya Sungai Huang-ho yang tidak pernah mengering ini, lapangan pencarian nafkah hidup bagi mereka tidak kurang.

Selain bercocok tanam di lembah yang subur, para penduduk dapat pula bekerja sebagai nelayan, sebab air sungai mengandung cukup banyak ikan. Selain ini, mereka dapat pula mengambil hasil hutan terutama kayu-kayu yang keras dan baik untuk pembangunan.

Pekerjaan ini makin lama semakin ramai dan bahkan ada beberapa orang yang cukup memiliki modal lalu mendirikan perusahaan kayu bangunan. Banyak tukang kayu disebar ke hutan-hutan untuk menebang pohon yang baik kayunya, kemudian kayu yang sudah menjadi balok-balok besar itu lalu ditumpuk di pinggir sungai, siap dikirim ke mana saja datangnya pesanan. Untuk mengangkut kayu-kayu balok itu, air Sungai Huang-ho selalu siap melakukannya tanpa menuntut bayaran sepotong uang pun!

Pada suatu hari, tiga orang lelaki yang berusia tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampak kuat, berjalan mendaki sebuah puncak di Pegunungan Ho-lan-san. Mereka ini membawa alat-alat penebang kayu, yaitu tambang besar yang digulung dan digantung pada pinggang, sebuah golok dan sebuah kapak besar yang berat dan tajam.

Ketika mereka sampai di luar sebuah hutan yang kecil akan tetapi liar dan gelap, mereka berhenti mengaso dan duduk di atas rumput. Sambil bercakap-cakap mereka memandang ke arah hutan yang angker itu. Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang dari hutan itu, membuat bagian tanah di gunung ini nampak paling tinggi menonjol.

“Sute, aku masih saja merasa sangsi untuk memasuki hutan ini,” terdengar orang yang tertua berkata. “Bukankah Suhu sudah berpesan agar kita lebih baik jangan mengganggu hutan ini? Suhu sendiri katanya mengambil jalan memutar kalau melakukan perjalanan lewat di sini. Menurut Suhu, bukan karena dia takut, akan tetapi sungkan menghadapi permusuhan dengan sepasang setan itu.”

“Ah, Twa-suheng,” kata yang termuda, “mengapa kita harus percaya akan segala tahyul bodoh dari orang-orang dusun? Mereka itu hanya menyiarkan kabar bohong yang belum pernah mereka buktikan sendiri. Siapakah orangnya yang pernah melihat sepasang iblis itu? Aku tidak percaya. Kalau Suhu lain lagi, karena Suhu adalah seorang pendeta yang menghormati kepercayaan orang lain. Kita adalah orang-orang muda yang datang dari kota dan memiliki kepandaian, kenapa kita harus takut terhadap segala tahyul bohong?”

Orang ke dua menyambung. “Ucapan Sute memang ada benarnya, akan tetapi melihat keadaan hutan yang demikian liar dan angker, timbul juga perasaan tidak enak di dalam hatiku. Dunia ini memang aneh dan banyak hal-hal yang belum kita mengerti. Bagaimana kalau kabar itu ternyata tidak bohong? Bagaimana kalau benar-benar muncul setan di tengah hari dan menyerang kita?”

“Mengapa takut?” berkata pula yang termuda. “Percuma saja kita mempelajari ilmu silat sampai beberapa tahun lamanya, dan percuma pula kita menjadi murid Pek I Hosiang yang namanya telah terkenal di dunia kang-ouw! Lagi pula, kita bukan bermaksud buruk. Kita memasuki hutan hanya untuk menebang pohon dan mencari kayu besi yang amat dibutuhkan. Kui-loya (Tuan Kui) berani membayar kita tiga kali lebih banyak dari pada kayu-kayu biasa.”

Tiga orang yang nampak kuat dan gagah ini adalah tiga orang di antara begitu banyak penebang pohon yang banyak bekerja di daerah ini. Mereka adalah murid-murid dari Pek I Hosiang, seorang hwesio yang menjadi ketua dari sebuah kelenteng di dalam dusun tempat tinggal mereka.

Hwesio ini memang berkepandaian tinggi dan ia mempunyai banyak sekali murid. Boleh dibilang, lebih tiga puluh orang penebang kayu yang muda-muda dan kuat-kuat menjadi muridnya! Para penebang pohon ini kemudian menjual kayu yang mereka tebang kepada perusahaan-perusahaan kayu yang banyak didirikan orang di tempat itu dan di antaranya yang terbesar adalah perusahaan kayu milik orang she Kui yang berasal dari kota besar di daerah timur.

Telah menjadi semacam dongeng yang selama bertahun-tahun amat dipercaya oleh para penduduk di daerah Pegunungan Ho-lan-san, bahwa daerah puncak yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, jurang-jurang dalam dan goa-goa yang angker itu menjadi tempat tinggal sepasang siluman atau iblis yang amat jahat. Sebenarnya, belum pernah terjadi pembunuhan atau penganiayaan terhadap manusia yang dilakukan oleh sepasang iblis itu, akan tetapi karena perasaan takut mereka, maka orang-orang lalu bercerita bahwa iblis-iblis yang menjadi penghuni hutan itu amat jahat dan mengerikan!

Hanya satu kali terjadi peristiwa yang membuktikan bahwa di hutan itu memang terdapat makhluk yang sakti, sungguh pun orang tak dapat membuktikan dengan nyata bahwa makhluk itu adalah iblis atau siluman. Terjadinya peristiwa itu telah dua tahun lebih, yaitu ketika serombongan piauwsu mengantar seorang hartawan bersama keluarganya yang melakukan perjalanan. Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, tiba-tiba, entah dari mana datangnya, terdengar suara bergema di empat penjuru dan suara ini berkata tegas,

“Lekas keluar dari hutan ini!”

Para piauwsu yang mengawal rombongan ini merupakan orang-orang gagah yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak gentar menghadapi perampok-perampok dan bahkan jarang ada perampok berani mengganggu mereka. Akan tetapi, peristiwa ini baru sekali mereka alami, yaitu adanya suara yang melarang mereka melalui sebuah hutan. Kepala rombongan itu lalu menjura ke empat penjuru dan menjawab,

“Mohon maaf sebesarnya dari Tai-ong kalau kami berani berlaku kurang ajar dan melalui wilayah Tai-ong (Raja Besar, sebutan untuk kepala rampok) tanpa mendapat ijin terlebih dulu. Kami bersedia membayar uang sewa jalan apa bila Tai-ong kehendaki, akan tetapi harap Tai-ong perkenankan kami melalui jalan ini”

Untuk beberapa lama tak terdengar suara sesuatu, akan tetapi mendadak terdengar lagi suara yang berlainan dengan suara pertama. Jika suara pertama yang mengusir mereka keluar dari hutan tadi terdengar halus dan nyaring seperti suara wanita, kini terdengar suara yang juga halus dan nyaring akan tetapi lebih besar seperti suara seorang pemuda.

“Jangan banyak cakap! Kami tak butuh segala uang sewa jalan! Pergilah lekas dari hutan ini!”

Para piauwsu yang jumlahnya tujuh orang itu menjadi amat penasaran. Mereka mencabut senjata masing-masing dan memandang ke sekeliling dengan sikap menantang.

“Kalau kami tidak mau pergi dan tetap hendak melanjutkan perjalanan kami melalui hutan ini, kau mau apakah?” tanya kepala piauwsu itu dengan marah.

Kini yang menjawab adalah suara pertama yang masih terdengar halus akan tetapi amat berpengaruh.

“Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan! Kami memberi waktu sampai ada ayam hutan berkokok, itulah tanda bahwa kami akan bergerak apa bila kalian belum keluar dari sini!”

Seorang di antara para piauwsu itu yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia secara diam-diam mengeluarkan beberapa batang senjata piauw, dan tiba-tiba ia menyambitkan tiga batang piauw ke arah daun-daun pohon besar dari mana suara tadi datang.

Akan tetapi hanya terdengar berkereseknya daun terbabat senjata-senjata piauw itu, dan selain itu tidak nampak tanda-tanda bahwa di pohon itu terdapat manusianya! Yang lebih mengherankan, ketiga batang piauw tadi tidak turun lagi ke bawah, seakan-akan lenyap ditelan oleh daun-daun yang lebat itu.

Para piauwsu itu saling pandang dengan heran, sedangkan keluarga hartawan itu duduk berkumpul di dekat kereta dengan muka pucat.

“Tidakkah lebih baik bila kita mengambil jalan memutar saja?” tanya hartawan itu kepada kepala piauwsu. Akan tetapi yang ditanya menggeleng kepala.

“Wan-gwe (sebutan hartawan) tidak tahu. Hal ini adalah soal kehormatan bagi piauwsu-piauwsu seperti kami. Apa bila kami mengalah begitu saja terhadap segala penggertak, bagaimana kami dapat menjadi piauwsu?”

Mereka menanti dengan hati penuh ketegangan dan tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mendengar suara yang mereka nanti-nanti, yakni kokok seekor ayam hutan dari jauh.

“Waktunya sudah habis, kalian harus pergi!” tiba-tiba seru suara tadi.

Dan entah dari mana datangnya, bagaikan meluncur dari atas awang nampak dua sosok bayangan berkelebat cepat menubruk tujuh orang piauwsu tadi. Para piauwsu itu terkejut sekali dan cepat memutar senjata untuk menyerang dua sosok bayangan itu, akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika bayangan itu lalu bergerak dengan amat cepatnya, merupakan sinar putih dan merah dan tahu-tahu semua senjata di tangan para piauwsu itu terlempar jauh!

Sebelum ketujuh orang piauwsu itu sempat memandang, tahu-tahu mereka merasa sakit sekali pada pundak mereka. Terdengar jerit mereka susul-menyusul lantas tubuh mereka roboh tak dapat bangun kembali karena mereka telah terkena tiam-hoat (ilmu totok) yang lihai. Setelah itu, hanya nampak bayangan dua sosok tubuh berpakaian merah dan putih berkelebat lenyap di balik serumpun alang-alang!

“Itulah hukuman bagi tujuh orang piauwsu sombong!” tiba-tiba saja terdengar suara yang halus itu dari atas pohon. “Naikkan tujuh tikus itu ke atas kereta dan kembalilah kalian keluar dari hutan ini!”

Dengan perasaan ketakutan setengah mati, rombongan itu lalu menolong para piauwsu, menaikkan dan menumpuk tubuh mereka yang lemas itu ke atas kereta lalu rombongan itu membalap keluar dari hutan!

Maka tersiarlah berita ini sehingga nama kedua iblis penghuni hutan sangat terkenal dan sejak saat itu, tidak ada seorang pun berani melangkahkan kaki memasuki hutan. Siapa orangnya yang tak akan merasa takut dan ngeri mendengar betapa tujuh orang piauwsu ternama dibikin tak berdaya oleh sepasang siluman yang lihai itu?

Berita tentang sepasang iblis itu tentu saja tidak begitu dipercaya oleh para pendatang baru dari kota-kota besar, terutama sekali oleh orang-orang yang memiliki kepandaian ilmu silat. Betapa pun juga, karena tahu pula bahwa di dunia ini banyak terjadi hal yang aneh dan banyak sekali terdapat orang-orang pandai, mereka tak berani mencoba untuk melanggar pantangan penduduk dan tidak mau memasuki hutan itu.

Bahkan Pek I Hosiang, seorang tokoh kang-ouw yang sudah ulung dan berkepandaian tinggi, juga menasehatkan murid-muridnya yang banyak jumlahnya agar supaya jangan mengganggu hutan itu.

“Siapa tahu,” kata hwesio itu kepada muridnya yang membantah, “kalau-kalau di tempat itu ternyata terdapat seorang pertapa yang sedang mengasingkan diri dan pertapaannya tidak mau diganggu.”

Akan tetapi, seperti telah dituturkan di depan, tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat itu duduk di luar hutan, merundingkan mengenai kehendak mereka menebang kayu besi yang terdapat di hutan itu. Ketiga orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang terhitung pandai, dan sungguh pun tadinya yang tertua di antara rnereka masih merasa ragu-ragu untuk memasuki hutan itu, namun berkat desakan kedua orang sute-nya (adik seperguruannya), akhirnya mereka masuk juga ke dalam hutan itu!

“Bagaimana pun juga, Sute, kita harus selalu berhati-hati dan lebih baik bekerja secara diam-diam, jangan banyak berisik,” berkata orang tertua di antara ketiga orang penebang pohon itu. Kedua sute-nya menurut, karena memang keadaan hutan yang masih liar dan tak pernah dimasuki orang itu sangat menyeramkan.

Ketika mereka bertiga berjalan lambat sambil melihat ke kanan kiri untuk mencari pohon besi yang hendak mereka tebang, tiba-tiba orang tertua itu melihat sesuatu dan ia cepat memegang tangan kedua sute-nya kemudian ditariknya mereka untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon yang besar.

“Lihat, apakah itu?” katanya kepada kedua orang sute-nya yang memandang heran.

Dua orang kawannya memandang ke arah yang ditunjuknya dan mereka masih sempat melihat bayangan putih berkelebat cepat sekali.

“Orangkah dia?” seorang berbisik.

“Entahlah, akan tetapi gerakannya sungguh cepat!” memuji orang termuda yang hatinya paling tabah. “Mari kita mendekat, dia masuk ke dalam goa itu!”

Kedua orang kawannya merasa ragu-ragu, akan tetapi karena tak melihat bayangan tadi muncul kembali, sedangkan sute mereka dengan beraninya telah keluar dari balik pohon dan menuju ke tempat bayangan tadi menghilang, mereka juga mengikuti sute mereka.

Benar saja, di tempat yang meninggi terdapat sebuah goa yang lebar. Goa ini amat gelap sehingga tidak kelihatan apakah goa itu merupakan terowongan atau bukan.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari dalam goa, “He! Kalian mau apa datang ke sini? Hayo cepat pergi!” Berbareng dengan ucapan itu, terlihat berkelebat bayangan putih keluar dari goa yang gelap itu dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang pemuda yang luar biasa eloknya!

Muka pemuda ini berkulit halus dan putih, dan matanya sangat tajam berpengaruh. Garis mulutnya yang kuat membayangkan kehendak yang teguh dan kemauan yang membaja. Tubuhnya sedang dengan pinggang langsing, pakaiannya sederhana tapi rapi, berwarna putih seperti pakaian seorang pelajar. Dia mengenakan mantel panjang yang putih pula, dan di antara semua pakaian yang menutup tubuhnya, hanya leher baju yang menurun terus ke pinggang dan kopyahnya saja yang berwarna biru. Juga sepatunya warna hitam. Memang janggal sekali melihat seorang penghuni goa yang berpakaian sedemikian putih bersih.

Melihat pemuda ini hanyalah seorang manusia biasa, bukan seorang iblis, ketiga orang penebang pohon itu pun segera bernapas lega.

“Kami adalah penebang-penebang kayu dan sekarang hendak mencari pohon besi yang banyak tumbuh di hutan ini,” jawab penebang tertua.

Pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, digoyang beberapa kali kemudian berkata, “jangan kalian melakukan hal itu. Lebih baik lekas kalian pergi dari sini!”

Penebang kayu yang termuda melangkah maju dan berkata marah,

“Orang muda, dengan alasan apakah kau melarang kami melakukan penebangan pohon besi di hutan ini? Dan hak apakah yang kau andalkan untuk mengusir kami?”

“Alasannya, kalau kau melakukan penebangan pohon, berarti kau melanggar laranganku dan ini berbahaya sekali bagi keselamatanmu. Ada pun tentang hak, aku menggunakan hak sebagai seorang yang lebih dulu datang di tempat ini dari pada kalian bertiga!”

Marahlah penebang muda itu. “Kau anak kecil sombong amat! Kalau kami bertiga tetap melanjutkan kehendak kami, kau mau apakah? Apakah kau ini siluman yang menguasai hutan ini seperti yang dikabarkan orang?”

“Tutup mulut dan pergilah!” seru pemuda itu dan biar pun sikapnya masih setenang tadi, namun sepasang alisnya yang indah bentuknya itu mulai bergerak-gerak.

Akan tetapi, biar pun sinar mata pemuda ini tajam dan berpengaruh, akan tetapi ia hanya merupakan seorang pemuda yang halus dan tidak nampak berbahaya. Tentu saja ketiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat dan mempunyai kepandaian silat itu tidak takut menghadapinya. Mereka bertiga lalu mengeluarkan senjata mereka yang menyeramkan, yaitu tangan kanan memegang golok lebar yang tajam sedangkan tangan kiri memegang sebatang kapak yang tidak kalah hebatnya.

“Ha-ha-ha-ha, anak muda! Betapa pun galaknya mulutmu, kami tidak takut. Kami hendak menebang pohon dengan kapak dan golok ini, kau mau apa? Ha-ha-ha!”

Akan tetapi baru saja penebang pohon itu menutup mulutnya, pemuda itu sudah lenyap. Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan putih dan penebang pohon yang termuda ini memekik keras ketika merasa betapa kapak dan goloknya bagaikan bisa terbang sendiri meninggalkan kedua tangannya tanpa bisa dicegah pula! Ternyata bahwa dengan sekali gerakan saja, pemuda baju putih itu sudah berhasil merampas kapak dan goloknya yang kini dilempar di atas tanah!

Dua orang penebang yang lain menjadi marah dan terkejut sekali. Sambil berseru marah, mereka lalu maju menyerang dan pada saat itu, dua batang golok dan dua batang kapak telah menyambar ganas menuju ke tubuh pemuda baju putih itu!

Namun kembali mereka dibikin bengong oleh pemuda aneh itu. Agaknya tubuh pemuda itu tak bergerak sama sekali, buktinya kedua kakinya tidak berpindah tempat. Hanya dua lengan tangannya saja bergerak cepat serta tubuhnya bergoyang-goyang menghindari sambaran keempat senjata itu dan...

“Aduh...! Aduh...!”

Dua orang itu merasa kedua lengan mereka mendadak menjadi lemas dan sakit sekali, oleh karena entah dengan gerakan bagaimana, jari-jari tangan pemuda itu sudah berhasil menotok pergelangan tangan kedua orang penebang pohon itu! Kembali senjata-senjata mereka terpaksa harus mereka lepaskan sehingga jatuh bertumpuk di atas tanah!

Sudah tentu saja mereka bertiga hampir tak dapat percaya akan kejadian yang baru saja mereka alami itu. Bagaimana mereka yang memegang senjata dan memiliki kepandaian tinggi, sekarang dipaksa melepaskan senjata dengan cara yang demikian mudahnya oleh pemuda ini? Ilmu silat apakah yang tadi dipergunakan oleh pemuda baju putih itu untuk menghadapi mereka? Mereka hanya memandang dan berdiri bagai patung. Silumankah pemuda ini, demikian mereka berpikir dan memandang dengan hati merasa seram.

“Pergilah...! Pergilah...!” pemuda itu dengan acuh tak acuh berkata sambil menggerakkan tangan kanan seperti mengusir lalat yang mengganggunya!

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam goa. “Siong-ji..., lempar saja tikus-tikus itu ke dalam jurang! Untuk apa melayani mereka?”

Pemuda baju putih itu menengok ke arah goa dan menjawab, “Mereka hanya tiga orang penebang pohon yang tak berarti, Ibu!”

“Mereka telah lancang, berani mendekati tempat kita!” suara dari dalam goa itu semakin nyaring.

Tiba-tiba ketiga orang penebang pohon itu melihat berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali cepatnya. Belum sempat mata mereka melihat dengan jelas, tiba-tiba mereka telah roboh pingsan!

Ketika tiga orang penebang pohon itu siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di luar hutan yang menyeramkan itu! Sambil mengeluh mereka meraba-raba pundak mereka yang masih terasa sakit dan linu, bekas tertotok secara luar biasa sekali oleh bayangan merah tadi.

“Ah, Sute. Jika kau tadi mendengar omonganku, tak akan kita mengalami kesengsaraan ini!” kata yang tertua sambil bangun dengan tubuh masih lemas.

Penebang termuda tak dapat menjawab karena pengalaman tadi masih membuat hatinya berdebar-debar.

“Mereka itukah siluman-siluman yang ditakuti orang?” tanyanya perlahan.

“Mungkin! Mana ada orang semuda itu sudah sedemikian lihainya? Hanya siluman saja yang dapat merampas senjata kita secara demikian aneh,” kata orang ke dua.

“Dan bayangan merah tadi... apakah dia itu? Dia pandai bicara, akan tetapi gerakannya demikian hebat! Hebat dan mengerikan!” kata yang tertua sambil bergidik karena teringat akan serangan bayangan merah tadi. “Sungguh berbahaya sekali!”

“Betapa pun juga, aku masih penasaran, Suheng!” kata yang termuda. “Tidak mungkin pemuda tadi seorang siluman. Memang kepandaiannya hebat luar biasa, akan tetapi dia seorang manusia biasa saja, bukan setan. Apakah pekerjaan mereka berdua di tempat itu? Jangan-jangan mereka adalah orang-orang jahat yang menyembunyikan diri.”

“Habis kau mau apa, Sute? Terhadap orang-orang lihai seperti mereka itu, lebih baik kita menjauhkan diri,” kata yang tertua.

“Celaka, kapak dan golok kita tertinggal di depan goa!” mengeluh orang ke dua.

“Kita harus melaporkan hal ini kepada Suhu!”

Demikianlah, sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa aneh itu, ketiga penebang pohon ini lalu kembali ke dusun tempat tinggal mereka. Karena mereka menceritakan pengalaman mereka kepada kawan-kawan di dusun, maka sebentar saja gegerlah dusun itu dan semua orang membicarakan sepasang ‘siluman’ di hutan itu yang disebutnya ‘Pek-ang Siang-mo’ (Sepasang Iblis Putih Merah).

Pek I Hosiang mendengarkan penuturan ketiga orang muridnya dengan penuh perhatian dan hatinya merasa amat tertarik. Akan tetapi ia tidak menyatakan perhatiannya, bahkan ia lalu menegur ketiga orang muridnya itu.

“Kalian bertiga memang telah berlaku lancang. Mana ada siluman di dunia ini? Seperti yang kuduga, mereka adalah orang-orang pandai yang tengah bertapa. Mungkin pemuda itu murid si pertapa yang kalian lihat sebagai bayang-bayang merah. Lain kali janganlah kalian berlaku lancang. Hutan di sekitar pegunungan ini sangat banyak, mengapa justru mencari di tempat yang terlarang itu?”

Sungguh pun mulutnya menyatakan demikian, namun di dalam hatinya Pek I Hosiang merasa tertarik dan ingin sekali menyaksikan sepasang siluman itu dengan mata kepala sendiri. Sebagai seorang hwesio, ia tidak menghendaki permusuhan, akan tetapi sebagai seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi, tentu saja dia sangat tertarik mendengar tentang kelihaian ilmu silat orang lain. Ia ingin sekali melihat siapakah gerangan orang pandai yang menyembunyikan diri di tempat itu. Diam-diam ia lalu mengambil keputusan untuk pergi sendiri menemui dua orang aneh itu.

Di dalam hutan yang dianggap oleh penduduk sebagai tempat tinggal Pek-ang Siang-mo itu, terdapat sebuah lapangan terbuka dekat sebatang anak sungai yang bening airnya. Pemandangan di situ sungguh indah.

Pada suatu pagi, di kala burung-burung hutan berkicau dan bersuka cita menyambut datangnya sang matahari, di atas lapangan itu nampak sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti bayangan putih yang gerakannya cepat sekali. Ada kalanya gerakan sinar pedang itu mengendur dan tampaklah bayangan putih itu sebagai tubuh seorang pemuda berbaju putih yang sedang mainkan pedangnya dengan gerakan yang amat indahnya. Di waktu permainan ilmu pedangnya mengendur, ia seakan-akan sedang menari saja.

Tidak saja ilmu pedangnya yang aneh, bahkan pedang di tangan pemuda baju putih itu lebih aneh lagi. Disebut pedang seperti bukan pedang, akan tetapi cara memegang dan memainkannya sama dengan pedang! Senjata ini selain aneh juga indah akan tetapi juga mengerikan.

Ukurannya besar dan panjangnya tak berbeda dengan pedang biasa, akan tetapi senjata ini tidak tajam juga tidak runcing sehingga lebih tepat apa bila disebut bentuknya seperti tongkat pendek. Akan tetapi, senjata ini berbentuk ukiran sin-liong (naga sakti) membelit tiang. Ukirannya indah sekali dan agaknya terbuat dari pada logam yang sangat keras berkilauan dan berwarna putih sedangkan tubuh naga yang melibatnya berwarna kuning. Pemuda itu memegang naga itu pada ekornya sehingga kepala naga merupakan ujung senjata itu. Dari mulut naga kecil itu keluar lidah merah yang panjang dan mengerikan.

Setelah bermain silat dengan gerakan lambat dan indah, tiba-tiba ia memutar senjatanya makin lama semakin cepat dan kembali tubuhnya lenyap terbungkus oleh gulungan sinar senjatanya yang dahsyat.

“Cukup, Siong-ji (Anak Siong), kau mengasolah!” terdengar suara nyaring dari seorang wanita yang berdiri tak jauh dari situ sambil memandang permainan pemuda itu dengan penuh perhatian.

Wanita itu mengenakan pakaian serba merah. Walau pun potongan pakaiannya itu amat sederhana, namun terbuat dari kain sutera dan amat bersih. Kalau orang melihatnya dari belakang atau dari samping, orang akan mengira bahwa ia adalah seorang wanita muda, karena bentuk tubuhnya yang langsing itu masih tampak kuat dan penuh, kulit tangannya halus dan putih.

Akan tetapi kalau orang berhadapan muka dengannya, dia akan terkejut melihat bahwa wanita ini nampak sudah tua sekali. Rambutnya hampir putih semua, kulit mukanya juga berkeriput, sungguh pun matanya masih bening dan bersinar amat tajam, bahkan giginya masih bagus dan rata seperti gigi wanita muda yang cantik!

Masih jelas nampak bahwa dia dulu adalah seorang wanita yang amat cantiknya dengan bentuk muka yang bagus. Kerut-merut pada jidatnya membayangkan penderitaan batin yang hebat, dan mulutnya yang masih berbentuk manis sekali itu ditarik mengeras dan tak pernah nampak tersenyum.

Pembaca tentu telah dapat menduga siapa adanya wanita ini. Dia bukan lain adalah Ang I Niocu Kiang Im Giok, pendekar wanita yang di waktu mudanya telah menggemparkan dunia persilatan karena kegagahannya. Tak ada seorang pun ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mengenal atau tidak mendengar namanya yang besar. Ia amat terkenal, baik karena kepandaiannya mau pun karena kecantikannya yang luar biasa.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu adalah seorang wanita yang amat memperhatikan serta menyayangi kecantikannya sehingga untuk menjaga kecantikannya dari usia tua, ia tidak segan-segan untuk mencari obat kecantikan berupa telur Pek-tiauw (rajawali putih) dan sudah banyak makan telur yang dapat memelihara kecantikannya ini. Di waktu ia berusia tiga puluh tahun lebih ia masih nampak cantik jelita bagaikan seorang gadis berusia tujuh belas tahun.

Akan tetapi segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Bahkan keadaan yang ditimbulkan karena kekuasaan alam yang sewajarnya pun masih tidak kekal adanya, apa lagi keadaan yang ditimbulkan oleh kekuasaan yang tidak wajar.

Khasiat telur Pek-tiauw itu walau pun luar biasa sekali, namun ada pantangannya, yaitu wanita yang sudah makan obat ini, apa bila mempunyai putera, akan musnalah khasiat obat itu, bahkan akibatnya mengejutkan sekali. Ang I Niocu setelah melahirkan seorang putera, tidak saja kecantikan dan kemudaannya lenyap, bahkan ia nampak amat tua dua kali lipat seperti seorang wanita berusia delapan puluh tahun!

Pada bagian depan telah diceritakan bahwa karena batinnya menderita disebabkan oleh keriput di wajahnya dan uban di kepalanya yang membuatnya nampak tua sekali, secara diam-diam Ang I Niocu lalu meninggalkan suaminya, Lie Kong Sian, dan pergi merantau membawa putera tunggalnya. Pendekar wanita ini merantau sampai jauh, dan semenjak meninggalkan pulau tempat tinggalnya, dia selalu memilih jalan yang sunyi supaya tidak bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya.

Akhirnya dia memilih Pegunungan Ho-lan-san sebagai tempat tinggalnya di mana dia lalu mendidik puteranya, Lie Siong, dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan. Tempat tinggalnya hanya di dalam sebuah goa yang besar dan amat dalam. Akan tetapi di dalam hidup penuh kesederhanaan ini, ia selalu memperhatikan keperluan putranya yang amat dicintainya.

Segala keperluan Lie Siong, makanan lezat serta pakaian indah sampai barang-barang permainan apa saja, dia adakan dan tanpa segan-segan pada malam hari Ang I Niocu mendatangi kota-kota besar untuk mencari barang-barang itu.

Dengan amat rajin, Ang I Niocu menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Lie Siong. Ia mengajarkan ilmu silat pedangnya yang luar biasa, yakni Sianli Utauw (Tari Bidadari), Ngo-lian-hoan Kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Teratai), ilmu pukulan yang disebut Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), dan juga Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak)! Lie Siong ternyata mempunyai otak yang cerdik dan bakat yang baik sekali sehingga dia dapat mempelajari semua ilmu itu dengan cepat dan baik sekali.

Akan tetapi, oleh karena ia hanya hidup bersama dengan ibunya yang menderita dan tak pernah bergembira, maka dia pun menjadi seorang pemuda yang sangat pendiam, keras hati, dan angkuh. Ang I Niocu merasa demikian bangga kepada puteranya ini sehingga ketika puteranya baru berusia empat belas tahun, ia sengaja mencarikan sebuah senjata istimewa untuk Lie Song.

Ang I Niocu mendengar tentang seorang kepala rampok di Kun-lun-san yang mempunyai sebatang senjata yang disebut Sin-liong-kiam (Pedang Naga Sakti). Tanpa peduli akan jauhnya tempat itu dan kesukaran yang dihadapinya, Ang I Niocu mendatangi tiga kepala rampok itu dan setelah bertempur hebat, akhirnya ia pun berhasil mengalahkan si kepala rampok dan merampas senjatanya!

Demikianlah, dengan Sin-liong-kiam di tangannya Lie Siong semakin gagah seakan-akan seekor harimau muda yang tumbuh sayap. Beberapa kali anak muda ini bertanya kepada ibunya tentang ayahnya, dan Ang I Niocu juga tidak menyembunyikan sesuatu.

Ia menceritakan kepada Lie Siong tentang ayahnya, yaitu Lie Kong Sian, dan mengapa dahulu mereka meninggalkan Pulau Pek-le-to. Juga Ang I Niocu menceritakan mengenai pendekar-pendekar silat yang menjadi kawan-kawannya seperti Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya Kwee Lin, sepasang suami isteri murid Bu Pun Su yang amat pandai. Ia menceritakan pula tentang Kwee An dan Ma Hoa, sepasang suami isteri pendekar yang juga memiliki ilmu silat tinggi yang menjadi sahabat baiknya.

“Kelak kalau kau bertemu dengan mereka, kau akan dapat menarik banyak pelajaran dari empat orang pendekar ini, Siong-ji,” Ang I Niocu sering kali berkata.

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa hati puteranya itu lebih tinggi dan lebih angkuh dari pada hatinya sendiri ketika masih muda. Mendengar ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh dan yang lain-lain, hati Lie Siong tidak menjadi tunduk, bahkan dia merasa penasaran dan ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian mereka itu!

Telah beberapa kali Lie Siong minta pada ibunya untuk turun gunung, akan tetapi ibunya selalu mencegahnya. “Kepandaianmu masih belum cukup sempurna, Siongji. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang jahat, dan kalau kau tidak memiliki kepandaian yang tinggi, kau akan mudah terganggu oleh orang-orang yang jahat dan pandai.”

Demikianlah, pada pagi hari itu, seperti biasanya Lie Siong berlatih ilmu silat pedang di bawah pengawasan ibunya. Kali ini Ang I Niocu merasa sangat puas karena ternyata bahwa gerakan ilmu pedang puteranya sudah sempurna, tak ada kesalahan sedikit pun. Diam-diam dia maklum bahwa sekarang kepandaian puteranya sudah mencapai tingkat yang tidak lebih rendah dari pada kepandaiannya sendiri! Dia telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada putera tercinta ini.

“Siong-ji,” Ang I Niocu berkata sambil duduk di dekat puteranya dan memandang dengan mata penuh kasih sayang, “sekarang aku berani menyatakan bahwa kepandaianmu telah sampai di tingkat yang cukup tinggi. Aku dapat meninggalkan dunia ini dengan hati lega karena kepandaianmu ini sudah cukup untuk digunakan sebagai penjaga diri.”

Berseri wajah Lie Siong mendengar ini. Biasanya, sehabis berlatih, ibunya selalu masih mencelanya.

“Kalau begitu, sudah tiba waktunya bagiku untuk turun gunung, Ibu?”

Ang I Niocu menggelengkan kepala. “Berat bagiku untuk berpisah darimu, Anakku. Kalau kau pergi, bagaimanakah dengan aku?”

“Kenapa, Ibu? Mengapa Ibu tidak ikut turun gunung? Marilah kita turun dari tempat yang sunyi ini. Apakah selama hidup Ibu tidak mau bertemu dengan manusia?”

Tiba-tiba kerut di jidat Ang I Niocu makin mendalam. “Tengoklah aku, Siong-ji. Lihatlah mukaku ini baik-baik! Alangkah akan malu hatiku dan hatimu apa bila orang lain melihat mukaku yang buruk ini!” Ia lalu menarik napas panjang berulang-ulang.

Lie Siong juga mengerutkan keningnya dan memandang wajah ibunya. “Aneh sekali, Ibu. Aku merasa heran karena kau selalu menyebut hal ini. Menurut pandanganku, wajahmu sangat cantik dan aku bangga melihat wajahmu, Ibu. Mengapa kau selalu menganggap wajahmu buruk? Aku sudah sering kali melihat wanita-wanita di dusun bawah gunung dan tak ada seorang di antara mereka memiliki mata sebening mata Ibu, bentuk muka secantik muka Ibu! Ibu sama sekali tidak buruk, hanya nampak tua, itu betul. Akan tetapi, apakah hal ini perlu dibuat malu? Apakah yang tidak akan pernah menjadi tua di dunia ini? Benda-benda yang paling keras dan kuat, akhirnya akan menjadi tua pula!”

Ang I Niocu memegang tangan puteranya. “Ah, Siong-ji, kalau saja kau dapat melihat wajah ibumu pada waktu masih muda dulu! Ah, dibandingkan dengan sekarang, bedanya seperti bumi dengan langit!”

“Aku tak peduli, Ibu. Bagiku, bagaimana pun juga perubahan yang terjadi pada wajahmu, kau tetap ibuku. Tua atau muda, cantik atau buruk, seorang Ibu tetap menjadi wanita termulia di dunia ini! Marilah kita turun gunung, Ibu, dan aku bersumpah, siapa saja yang berani mencela wajah Ibu, yang berani menghina atau membikin malu kepadamu, akan kupecahkan kepalanya!”

Dengan terharu Ang I Niocu memeluk puteranya. “Aku girang mendengar ucapanmu ini, Siong-ji. Kau tidak perlu khawatir, kurasa tidak ada seorang pun di dunia ini yang begitu berani menghina Ang I Niocu! Seandainya ada, tak perlu kau mengeluarkan peluh, aku sendiri masih cukup kuat untuk meremukkan kepalanya!”

“Kalau begitu, kau mau turun gunung, Ibu?”

Kembali kening Ang I Niocu berkerut lagi. “Nanti dulu, Siong-ji... aku masih ragu-ragu... wajahku ini...”

Lie Siong bangun berdiri dan membanting-banting kaki. “Lagi-lagi Ibu berbicara tentang wajah...!”

“Ahhh, kau tidak tahu, Anakku. Dulu, Ang I Niocu adalah secantik-cantiknya orang, akan tetapi sekarang, seburuk-buruknya wanita! Bagaimana aku dapat menghadapi mereka?”

“Mereka siapa, Ibu?”

“Ayahmu, Pendekar Bodoh, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa...”

“Sudahlah, sudahlah! Aku bosan mendengar nama mereka kau sebut-sebut terus!” kata Lie Siong sambil mempergunakan kedua tangan untuk menutup telinganya!

Pada saat itu, Ang I Niocu yang tadinya masih duduk di atas tanah, melompat bangun dan memegang lengan anaknya. Ia mendengar sesuatu dan sebelum ia dan puteranya dapat bergerak, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dengan gesitnya dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang hwesio gundul yang berpakaian putih dan berusia kurang lebih enam puluh tahun.

Hwesio ini bermuka lebar, bermata tenang berpengaruh dan mulutnya selalu tersenyum sabar. Dia adalah Pek I Hosiang yang sengaja datang mencari ke dalam hutan ini karena hendak menyaksikan sendiri bagaimana macamnya ‘Sepasang Iblis’ yang ditakuti semua orang itu.

Dia telah dapat menemukan goa tempat tinggal sepasang iblis itu dan melihat golok dan kapak milik ketiga orang muridnya berserakan di depan goa. Melihat goa itu kosong dan sunyi, Pek I Hosiang lalu mencari ke tempat lain dan akhirnya dia mendengar suara dua orang bercakap-cakap maka cepat menghampiri mereka.

Pek I Hosiang cepat membungkuk dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

“Omitohud! Harap dimaafkan apa bila pinceng mengganggu Ji-wi, dan telah datang tanpa diundang. Jika pinceng tidak salah duga, Ji-wi tentulah sepasang pendekar yang sedang mengasingkan diri di dalam hutan ini, dan yang telah disohorkan oleh semua orang di sekitar pegunungan ini.”

Tiba-tiba Ang I Niocu melangkah maju menghadapi hwesio itu, kemudian membentak, “Pergilah...! Kau hwesio tak tahu adat, pergilah dari sini!”

Pek I Hosiang terkejut melihat wanita tua yang amat galak ini, akan tetapi dengan sabar ia tersenyum dan kembali memberi hormat.

“Maaf, maaf! Sudah pinceng akui tadi bahwa pinceng telah berlaku lancang, akan tetapi pinceng memang sengaja datang hendak berkenalan dengan Ji-wi yang lihai. Pinceng mendengar tentang keadaan Ji-wi dari tiga orang murid pinceng yang beberapa hari yang lalu telah berlaku kurang ajar dan menerima hukuman. Pinceng bernama Pek I Hoasiang dan menjadi ketua dari kelenteng di bawah gunung. Pinceng kini sengaja datang untuk memintakan maaf bagi tiga orang murid pinceng. Bolehkah kiranya pinceng mengetahui, Ji-wi siapakah?”

“Sudahlah, sudahlah!” Ang I Niocu lalu membanting-banting kakinya dengan gemas dan hilang sabar. “Kami tidak ingin mengetahui namamu dan tidak ingin pula mengenalkan nama kami. Kau pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku dan menjatuhkan tangan kepadamu!”

Akan tetapi Pek I Hosiang masih tetap tenang dan sabar.

“Toanio (Nyonya Besar), harap suka berlaku sabar, karena sesungguhnya pinceng tidak bermaksud buruk. Sudah bertahun-tahun pinceng mendengar tentang adanya sepasang siluman di hutan ini, namun pinceng tidak percaya dan menduga bahwa yang dianggap siluman tentulah dua orang sakti yang bertapa di sini.”

“Cukup...! Pergi...!” Ang I Niocu membentak lagi.

“Omitohud! Banyak sudah pinceng berjumpa orang-orang pandai, akan tetapi tidak ada yang seaneh Ji-wi ini...”

“Kau mencari penyakit!” Sambil membentak marah, Ang I Niocu segera maju menyerang dengan sebuah pukulan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Pukulan ini luar biasa hebatnya, karena dari kedua lengan tangannya mengebul uap putih!

“Omitohud!” Kembali Pek I Hosiang menyebut nama Buddha dan cepat bagaikan kilat dia mengelak sambil menangkis dengan tangan kanannya.

Ketika dua lengan tangan beradu, Pek I Hosiang berseru kaget dan terhuyung-huyung mundur tiga langkah, sedangkan Ang I Niocu juga merasa betapa tenaga pukulannya terbentur pada tenaga yang amat kuat. Ia merasa heran sekali karena jarang ada orang yang bisa menahan pukulan Pek-in Hoat-sut! Ia pun maklum bahwa hwesio ini bukanlah orang sembarangan.

Sebaliknya, melihat pukulan ini, Pek I Hosiang memandang dengan mata terbelalak.

“Bukankah... pukulan tadi adalah sebuah gerakan dari Pek-in Hoat-sut?” katanya sambil memandang dengan mata terbelalak.

Kembali Ang I Niocu tertegun. “Kau sudah mengetahui kelihaian pukulanku, tidak lekas minggat dari sini?!” Ia maju lagi, siap menyerang kembali.

“Ahh... kalau begitu..., Toanio ini tentulah Ang I Niocu!”

Bukan main terkejut dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar bahwa hwesio tua ini telah mengenalnya. Selama ini dia berusaha untuk menjauhi manusia supaya tidak ada orang melihat bahwa Ang I Niocu yang cantik jelita kini telah berubah menjadi seorang nenek tua buruk.

“Bangsat gundul! Dengan menyebut nama itu, berarti kau harus mampus!” teriaknya dan kembali dia memukul.

Akan tetapi Pek I Hosiang dapat mengelak dengan cepat sambil berkata, “Tentu Ang I Niocu! Siapa lagi wanita berbaju merah yang cantik jelita dan dapat mainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut selain Ang I Niocu?”

Ucapan ini semakin membakar hati Ang I Niocu. Sesungguhnya, dalam pandangan mata Pek I Hosiang, ia masih nampak cantik jelita, sungguh pun sudah amat tua, akan tetapi ia mengira bahwa hwesio itu sengaja menghina dan mengejeknya dengan menyebutkan cantik jelita tadi.

Ketika ia hendak menyerang kembali, tiba-tiba Lie Siong berkata, “Ibu, berikanlah hwesio ini kepadaku!”

Ang I Niocu tiba-tiba teringat akan puteranya dan dia lalu timbul pikiran untuk mencoba kepandaian puteranya itu. Hwesio ini cukup tangguh, dan tepatlah apa bila dipergunakan sebagai ujian bagi puteranya.

“Baik, kau majulah dan hancurkan kepala orang yang sudah berani menghina ibumu ini,” katanya sambil melompat mundur.

Di dalam hatinya, Lie Siong tidak setuju dengan pendapat ibunya. Dia sama sekali tidak menganggap hwesio tua ini menghina ibunya, akan tetapi ia tidak berkata satu kata pun. Memang dia sengaja hendak mencoba kepandaian hwesio ini, sekalian untuk mencegah ibunya turun tangan, karena pemuda ini dapat menduga bahwa kalau ibunya yang maju, hwesio ini pasti akan tewas!

Demikianlah, tanpa menanti hwesio itu mengeluarkan kata-kata, Lie Siong lalu melompat maju dan menyerangnya dengan pukulan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw. Hwesio itu kagum sekali melihat gerakan yang indah ini dan timbul kegembiraan hatinya untuk mencoba kepandaian ‘siluman’ ini.

Pek I Hosiang adalah seorang hwesio yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia adalah murid tunggal dari Biauw Leng Hosiang, tokoh kang-ouw yang sangat terkenal. Bagi pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Biauw Leng Hosiang adalah sute (adik seperguruan) dari Biauw Suthai, tokouw (pendeta wanita) yang lihai dan yang menjadi guru pertama dari Lin Lin atau Nyonya Cin Hai si Pendekar Bodoh! Oleh karena itu tentu saja ilmu silatnya amat tinggi. Tidak seperti gurunya yang tersesat, Pek I Hosiang ternyata menjadi seorang hwesio yang suci dan beribadat.

Pek I Hosiang sudah sering mendengar nama Ang I Niocu dan mendengar pula bahwa ilmu silat Pendekar Wanita Baju Merah itu amat tinggi. Ia tahu pula bahwa Ang I Niocu mendapat latihan dari Bu Pun Su dan mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi seperti Pek-in Hoat-sut, Kong-ciak Sin-na dan lain-lain. Karena itu ketika ia melihat pemuda itu bersilat demikian indahnya, dia dapat menduga bahwa tentu inilah ilmu silat yang disebut Sian-li Utauw!

Meski pun gerakan pemuda itu lemah lembut dan ilmu silatnya lebih patut disebut tarian yang indah, namun dia maklum akan kelihaian tarian ini dan tidak berani memandang ringan. Beberapa kali dia sengaja menangkis untuk mencoba tenaga pemuda ini, akan tetapi ia terkejut sekali ketika merasa betapa lengannya tergetar tiap kali bertemu dengan lengan pemuda itu! Ia menjadi kagum sekali.

“Pantas...!” serunya sambil mengelak dari sebuah pukulan. “Pantas sekali kau menjadi putera Ang I Niocu yang lihai!”

Selama hidup Pek I Hosiang belum pernah menghadapi tandingan semuda dan selihai ini, maka saking gembiranya, dia lalu mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang toya pendek yang tadi diselipkan pada ikat pinggangnya.

“Anak muda, mari kita coba-coba mengadu senjata!” katanya.

Lie Siong mewarisi watak ibunya yang keras dan tinggi hati, maka mendapat tantangan ini, dia tidak mempedulikan lawannya dan terus saja menyerang dengan tangan kosong! Dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, yaitu semacam ilmu silat yang banyak menggunakan cengkeraman dan memang tepat sekali dipergunakan untuk menghadapi lawan bersenjata dengan tangan kosong.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)