PENDEKAR REMAJA : JILID-12


Semua orang yang merasa lebih heran dari pada lucu itu, tidak dapat tertawa dan masih memandang dengan bengong. Bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan tak mendengar panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke arah Lok Ceng.

“He, aku mau membayar! Mana pelayan?” teriak Lili.

Barulah pelayan itu berlari menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.

“Nah, ini untuk membayar masakan yang telah kumakan. Dan lebihnya untuk mengganti kerugian rumah makan ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning ini!” Ia melemparkan sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar dari restoran itu, sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri seperti patung batu.

Pelayan yang mengurus kudanya mendapat hadiah yang lumayan pula.

“Ehh, Siocia...,” kata pelayan ini, ”bagaimana dengan Oei-bin-liong? Tubuhnya kaku dan dia tidak dapat menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami.”

Lili tertawa geli. “Biarlah, bukankah dia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk menarik perhatian langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?”

“Akan tetapi... tentu dia akan marah dan... bagaimana kalau dia mati?”

Lili berkata dengan sungguh-sungguh, “Janganlah kuatir. Aku sengaja memberi hukuman kepadanya. Dalam waktu pendek dia akan dalam keadaan demikian, nanti kesehatannya akan pulih kembali.” Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan kota Lok-yang…..

********************

Sesudah melakukan perjalanan dengan cepat selama dua pekan, akhirnya sampailah Lili ke tempat yang menjadi tujuan utamanya, yaitu dusun Tong-sin-bun. Dia segera memilih rumah penginapan dan menyewa sebuah kamar. Kudanya dia serahkan kepada pelayan untuk dirawat baik-baik.

Tanpa bertanya pada orang lain, Lili dapat mencari rumah Ban Sai Cinjin dengan mudah, oleh karena di dalam dusun yang tak berapa besar itu, hanya satu-satunya gedung yang besar dan mewah yang menjadi tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Bahkan ketika ia bertanya kepada pelayan, ternyata hotel di mana dia bermalam juga milik dari Ban Sai Cinjin yang kaya raya dan berpengaruh besar.

“Nona datang dari mana dan apakah hendak bertemu dengan Ban Sai Cinjin Loya?”

Lili tersenyum dan maklum bahwa semua pekerja di dalam hotel ini adalah anak buah Ban Sai Cinjin, maka ia hanya menjawab, “Ah, tidak. Aku hanya seorang pelancong yang tertarik melihat keadaan di dusun ini yang amat ramai.”

Pada senja hari itu juga, diam-diam tanpa diketahui oleh seorang pun, Lili mengenakan pakaian yang ringkas, menggantungkan pedangnya di pinggang, lalu keluar dari rumah penginapan itu untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti. Ia menduga bahwa musuh besarnya itu tentu berada di kelenteng yang dahulu pernah dilihatnya dengan Sin-kai Lo Sian, yaitu dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun Tong-sin-bun itu.

Akan tetapi sebelum menuju ke hutan itu, dia sengaja menyelidiki dahulu gedung besar tempat tinggal Ban Sai Cinjin yang nampak sunyi dari luar. Ketika ia hendak melompat ke atas pagar tembok yang tinggi dan yang mengelilingi gedung itu, tiba-tiba saja dia melihat seorang pemuda yang tampan bersama seorang setengah tua sedang berjalan keluar dari gedung itu dengan tindakan cepat.

Lili cepat bersembunyi di tempat gelap dan memandang tajam. Bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat pemuda itu. Tidak salah lagi, pemuda itu tentulah Thio Kam Seng, anak laki-laki yang dulu pernah ditolong oleh suhu-nya, Sin-kai Lo Sian, atau yang boleh juga disebut suheng-nya, karena mereka keduanya pernah menjadi murid Sin-kai Lo Sian.

Lili menjadi girang sekali dan hampir saja ia memanggil pemuda itu. Akan tetapi ia dapat menahan keinginannya ini sebab teringat bahwa pemuda ini baru saja keluar dari gedung Ban Sai Cinjin. Hal ini benar-benar aneh sekali.

Dulu Kam Seng pernah hampir dibunuh oleh seorang murid Ban Sai Cinjin, bagaimana sekarang dia dapat keluar masuk demikian leluasa di gedung Ban Sai Cinjin itu? Hal ini menimbulkan kecurigaannya dan ia tidak memanggil pemuda itu, bahkan lalu diam-diam mengikuti perjalanan Kam Seng dan orang tua itu yang berjalan cepat menuju ke hutan di mana terdapat kelenteng besar kepunyaan Ban Sai Cinjin.

Bagaimanakah Kam Seng dapat berada di tempat itu dan keluar dari gedung Ban Sai Cinjin dengan enaknya? Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Pendekar Bodoh dan isterinya naik ke Gunung Beng-san dan bertemu kembali dengan Lili, pemuda ini dibawa pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le.

Sesungguhnya, Thio Kam Seng tidak mempunyai riwayat hidup yang baik. Dahulu ketika ditolong oleh Sin-kai Lo Sian, dia memang menceritakan riwayatnya bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena kemiskinan dan kelaparan, akan tetapi sebenarnya tidak demikian halnya.

Thio Kam Seng adalah anak tunggal dari seorang tokoh persilatan tinggi yang bernama Song Kun. Para pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Song Kun merupakan sute (adik seperguruan) dari Lie Kong Sian, dan bahwa karena kejahatannya hendak mengganggu Lin Lin akhirnya Song Kun tewas dalam tangan Si Pendekar Bodoh Cin Hai.

Pada waktu hal ini terjadi, Cin Hai belum menikah dengan Lin Lin, akan tetapi Song Kun telah meninggalkan seorang gadis yang selama itu dipeliharanya sebagai isteri tidak sah, dan isterinya ini sudah mengandung tiga bulan. Karena Song Kun juga terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang jahat sekali, maka dia mempunyai banyak bini peliharaan di mana-mana, baik yang dia dapatkan karena ketampanannya mau pun yang dia ambil secara paksa, bahkan yang diculiknya dari rumah orang tua gadis itu!

Setelah Song Kun tewas di dalam tangan Pendekar Bodoh, Thio Kui Lin ibu Kam Seng lalu hidup terlunta-lunta. Untuk kembali ke rumah orang tuanya ia pun merasa malu, dan hanya untuk kepentingan anak dalam kandungannya belaka dia masih mempertahankan hidupnya.

Beberapa bulan kemudian, dalam keadaan yang amat sengsara, terlahirlah seorang bayi laki-laki yang dia beri nama Kam Seng. Karena Thio Kui Lin sesungguhnya amat benci kepada suaminya yang mengambilnya secara paksa, maka ia memberi nama keturunan Thio kepada puteranya ini.

Betapa pun juga, setelah Kam Seng berusia lima tahun dan sudah pandai berpikir, ketika Kam Seng bertanyakan ayahnya, Kui Lin lalu menceritakan bahwa ayahnya telah tewas dalam tangan seorang pendekar besar bernama Pendekar Bodoh!

Kui Lin lalu hidup berdua dengan puteranya dalam keadaan yang sangat miskin. Mereka terlunta-lunta dan hidup serba kekurangan, sehingga akhirnya Kui Lin jatuh sakit yang membawanya kembali ke alam baka. Semenjak itu Kam Seng menjadi yatim piatu, hidup merantau terlunta-lunta sebagai seorang pengemis cilik.

Ternyata Kam Seng memiliki otak yang sangat cerdik, dan agaknya kecerdikan ayahnya menurun kepadanya. Dia bisa berpura-pura bodoh dan jarang berbicara, padahal segala sesuatu dia perhatikan betul-betul. Cerita ibunya mengenai ayahnya yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh, berkesan di dalam lubuk hatinya, dan dia tidak dapat melupakan nama Pendekar Bodoh ini dari ingatannya.

Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dia tertolong oleh Sin-kai Lo Sian, diangkat menjadi muridnya dan akhirnya dia diajak pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le Si Pengemis Iblis yang lihai.

“Kita harus mencari suhu-mu,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le. “Sebelum kita bertemu dengan gurumu, kau harus melatih diri baik-baik. Akan kuajarkan ilmu-ilmu silat tinggi kepadamu agar kelak kau tidak usah kalah oleh murid Pok Pok Sianjin atau puteri Pendekar Bodoh sekali pun!”

Diam-diam Kam Seng merasa girang sekali. Telah lama dia menahan-nahan dendamnya ketika ia mengetahui bahwa musuh besarnya, yaitu pembunuh ayahnya, adalah ayah Lili yang menjadi sumoi-nya. Dapat dibayangkan betapa menggeloranya hatinya ketika dulu ia melihat Pendekar Bodoh di puncak Gunung Beng-san.

Saking terharu dan sedihnya karena tak berdaya untuk membalas dendam, dulu dia telah menangis sedih. Tak seorang pun mengetahui apa yang menyebabkan ia menangis. Kini mendengar ucapan Mo-kai Nyo Tiang Le supek-nya, dia menjadi girang sekali dan mulai hari itu dia belajar dengan tekun dan rajinnya, membuat girang hati Mo-kai Nyo Tiang Le.

Bertahun-tahun Kam Seng pergi merantau ikut dengan Mo-kai Nyo Tiang Le, menjelajah seluruh propinsi di daerah Tiongkok, akan tetapi mereka tidak bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, bahkan mendengar beritanya pun tidak. Orang-orang kang-ouw yang mereka telah tanyai, tak seorang pun pernah bertemu dengan Sinkai Lo Sian yang sudah menghilang untuk bertahun-tahun lamanya.

Terpaksa Mo-kai Nyo Tiang Le mewakili sute-nya mendidik Kam Seng yang sebetulnya menguntungkan pemuda itu, sebab kepandaian Pengemis Iblis ini masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Si Pengemis Sakti. Sembilan tahun lamanya Mo-kai Nyo Tiang Le mengajak Kam Seng merantau, selalu berpindah-pindah dari barat ke timur, dari utara ke selatan dan sementara itu, kepandaian Kam Seng telah maju dengan cepat sekali.

Ia telah mewarisi kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le, terutama sekali permainan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat (Ilmu Silat Kitiran Angin) serta ilmu melepas senjata rahasia yang disebut Thio-tho-ci (biji buah Tho besi). Ilmu permainan tongkat dari Pengemis Iblis ini pun telah dia warisi dengan baik sekali.

“Supek,” kata Kam Seng pada suatu hari setelah supek-nya itu menyatakan kekesalan hatinya karena belum juga dapat bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, “apakah tidak bisa jadi Suhu terkena celaka di tangan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin? Bagaimana kalau kita pergi mencari Suhu di sana?”

Supek-nya mengangguk-angguk. “Mungkin dugaanmu ini bisa benar juga. Aku pun telah mempunyai dugaan demikian.” Dia menghela napas. “Memang Ban Sai Cinjin jahat dan kejam, akan tetapi ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Jangankan Sute, aku sendiri belum tentu dapat melawannya. Akan tetapi, kita harus dapat mengetahui bagaimana dengan nasib Sute. Mari kita berangkat ke dusun Tong-sin-bun.”

Mereka lalu menuju kembali ke barat dan tiba di dusun itu pada waktu malam.

“Supek, biarlah teecu menyelidiki ke kuil itu.”

“Kau berhati-hatilah, Kam Seng. Di sana terdapat banyak orang pandai,” kata Mo-kai Nyo Tiang Le yang duduk di bawah pohon sambil minum arak yang dibelinya di warung arak.

“Jangan kuatir, Supek. Tidak percuma selama ini teecu mempelajari ilmu kepandaian dari Supek.”

Pemuda ini lalu mempergunakan ilmunya berlari cepat menuju ke hutan itu. Dia melihat kelenteng itu terang sekali, penuh dengan lampu-lampu penerangan yang sangat mewah dan besar. Melihat keadaan kelenteng itu dan melihat betapa kain-kain sutera yang halus tergantung dijadikan tirai penutup pintu, Kam Seng menghela napas dan melirik ke arah pakaiannya sendiri.

Semenjak ia pergi ikut dengan supek-nya belum pernah dia berpakaian baik. Pakaiannya tambal-tambalan dan kotor sekali. Sesungguhnya tidak sukar baginya kalau saja dia mau mengambil pakaian dari para hartawan, akan tetapi supek-nya tentu melarangnya, dan ia pun merasa malu untuk berpakaian bagus sedangkan supek-nya berpakaian kotor penuh tambalan. Keadaannya sama seperti seorang pengemis muda!

Kam Seng menunggu sampai beberapa lama, akan tetapi oleh karena dia tidak melihat seorang pun keluar dari kelenteng itu, dia kemudian memberanikan diri dan menghampiri kelenteng itu. Dengan ginkang-nya yang sudah terlatih baik, dia lalu melompat ke atas genteng dengan mudahnya. Dari atas genteng ia melihat bahwa penerangan yang paling besar keluar dari ruangan belakang, maka dengan amat hati-hati ia lalu menuju ke ruang itu, mengerahkan ginkang-nya supaya genteng yang diinjaknya tidak menerbitkan suara berisik.

Ketika dia mengintai ke bawah, dia melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Yang seorang lagi adalah seorang tosu tua yang rambutnya masih nampak hitam, demikian pula jenggotnya.

Kam Seng merasa heran mendengar bahwa Ban Sai Cinjin yang berambut putih dan tua itu menyebut suheng (kakak seperguruan) pada tosu ini. Sungguh mengherankan sekali bahwa seorang yang usianya lebih tua dari pada Ban Sai Cinjin masih nampak segar dan rambutnya masih hitam. Akan tetapi pada saat itu, percakapan mereka lebih menarik hati Kam Seng, karena ia mendengar nama Pendekar Bodoh disebut-sebut.

“Memang Pendekar Bodoh lihai sekali,” dia kemudian mendengar tosu itu berkata sambil menganggukkan kepalanya. “Ia telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Akan tetapi pinto (aku) tahu bagaimana harus menghadapi dan melawannya. Ia mengandalkan pengertian tentang pokok dan dasar gerakan ilmu silat sehingga kalau dia dilawan dengan ilmu silat biasa, ia akan menang di atas angin. Akan tetapi pinto telah mempelajari ilmu silat dunia barat yang mempunyai gerakan amat berlainan dan dasarnya pun berbeda sehingga apa bila menghadapi Pendekar Bodoh, belum tentu pinto tak akan dapat merobohkannya!”

“Supek berkata benar,” Bouw Hun Ti tiba-tiba berkata, “bagaimana pun juga, Pendekar Bodoh bukan tak dapat dilawan! Pernah juga teecu mendengar bahwa Pendekar Bodoh masih belum selihai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam dan Iblis Putih, tokoh kang-ouw yang muncul dalam cerita Pendekar Bodoh). Pernah dia terluka oleh kedua saudara itu. Kalau kepandaian Suhu saja telah setingkat dengan kepandaian Hek Pek Mo-ko sebab berasal dari satu cabang persilatan, mustahil kalau Supek tidak mampu menundukkan Pendekar Bodoh!”

Ketika Ban Sai Cinjin menyedot huncwe-nya dan hendak menjawab, tiba-tiba saja tosu itu menengok ke arah genteng di mana Kam Seng mengadakan pengintaian dan berkata halus, “Sahabat muda yang mengintai di atas genteng, kau turunlah saja!”

Bukan main kagetnya Kam Seng mendengar ucapan ini. Semenjak tadi ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Kalau orang-orang di bawah ini yang begitu lihai ternyata memusuhi Pendekar Bodoh, maka ia tak sekali-kali boleh memusuhi mereka. Alangkah baiknya bila mana dia bisa berkawan dengan mereka untuk membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!

Telah berkali-kali supek-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le menyatakan bahwa ilmu kepandaian Pendekar Bodoh amat tinggi, masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pengemis Iblis itu, maka sudah menipislah harapan di dalam hati Kam Seng mendengar pernyataan ini. Kini mendengar betapa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin dan tosu yang menjadi suheng kakek ber-huncwe itu demikian tingginya, dia mendapat sebuah pikiran yang baik sekali.

Mendengar ucapan tosu itu, semakin yakinlah dia bahwa tosu itu benar-benar lihai sekali, maka ia lalu menjawab, “Maafkan teecu yang muda telah berlaku lancang!”

Sesudah berkata demikian, dia lalu meloncat ke bawah, melayang sambil menggunakan gerakan In-liong San-hian (Naga Awan Perlihatkan Diri). Gerakan ini cukup indah dan ilmu lompatnya cukup hebat sehingga tiga orang yang berada di ruangan itu memandang dengan kagum.

Melihat seorang pemuda cakap berbaju tambal-tambalan dan kotor sekali, Ban Sai Cinjin lalu melangkah maju, dan bertanya,

“Orang muda, siapakah kau dan mengapa kau melakukan pengintaian di kelentengku?”

Kam Seng menjura memberi hormat dan otaknya yang cerdik diputar-putar, kemudian ia berkata dengan sikap gagah dan suara tenang,

“Tadi teecu mendengar tentang totiang ini yang hendak melawan Pendekar Bodoh. Oleh karena ada permusuhan pribadi antara teecu dengan Pendekar Bodoh, maka hati teecu tertarik sekali dan ingin teecu mencoba kepandaian Totiang yang lihai. Teecu maklum bahwa teecu bukanlah lawan Totiang ini, akan tetapi kalau Totiang mampu mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, maka teecu akan menghambakan diri menjadi murid dan akan menceritakan sesuatu bahaya yang mengancam ketenteraman di sini. Jika Totiang tidak dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, jangah harapkan akan dapat menangkan Pendekar Bodoh!”

Kata-kata ini membuat Bouw Hun Ti menjadi marah sekali dan dia melompat ke depan, cepat mengirim pukulan keras ke arah kepala Kam Seng sambil berseru,

“Macammu hendak menantang Supek?”

Pukulan tangan kanan Bouw Hun Ti ini keras sekali dan tenaga yang terkandung dalam pukulan itu cukup untuk dapat menghancurkan batu karang. Sudah diketahui bahwa ilmu kepandaian Bouw Hun Ti sudah mencapai tingkat tinggi, lebih tinggi dari Sin-kai Lo Sian, maka dapat diduga betapa lihai dan berbahayanya pukulan ini.

Akan tetapi, Kam Seng bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia telah mewarisi seluruh kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le sehingga kepandaiannya sekarang mungkin telah lebih tinggi dari pada Sin-kai Lo Sian! Dia maklum bahwa dalam hal tenaga lweekang tidak mungkin ia dapat melawan orang kuat ini, maka ia lalu mempergunakan kecerdikannya.

Dengan lengan kanan, dia mengerahkan tenaga halus untuk menangkis pukulan lawan, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi digerakkan memukul ke depan dengan ilmu silat Soan-hong-jiu (Kepalan Kitiran Angin).

Bouw Hun Ti merasa terkejut sekali sebab sebelum pukulannya mengenai sasaran, lebih dulu pukulan lawan itu mendatangkan angin yang sangat hebat dan berbahaya sehingga terpaksa dia miringkan tubuhnya dan pukulannya tidak keras lagi. Pada saat pukulannya tertangkis oleh lengan kiri Kam Seng, keduanya terpental ke belakang!

“Bagus...!” kata tosu itu yang sesungguhnya merupakan suheng dari Ban Sai Cinjin yang bernama Wi Kong Siansu.

Wi Kong Siansu ini sebagaimana pernah dituturkan pada bagian depan adalah seorang pertapa di Hek-kwi-san dan dijuluki Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa). Oleh karena merasa khawatir menghadapi musuh-musuh yang sangat tangguh, Ban Sai Cinjin menyuruh Bouw Hun Ti untuk mengundang dan membujuk suheng-nya itu yang ternyata kemudian berhasil dengan baik.

Melihat pukulan Soan-hon-jiu yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi tertarik dan dia lalu berdiri dari bangkunya.

“Bouw Hun Ti, biarkan anak muda ini memenuhi keinginannya.” Ia lalu melangkah maju untuk menghadapi Kam Seng. “Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang kurang ajar tadi, lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau sampai bermusuhan dengan Pendekar Bodoh?”

Semenjak dulu, Kam Seng tidak pernah menyebut-nyebut nama ayahnya di depan siapa pun juga. Sekarang karena maklum sepenuhnya bahwa ia berada di antara orang-orang yang menjadi musuh Pendekar Bodoh pula, ia tak merasa ragu-ragu lagi untuk memberi tahukan nama ayahnya, bahkan dia pun merubah pula she-nya yang biasanya Thio itu menjadi Song.

“Teecu bernama Kam Seng, she Song, dulu Ayah teecu telah tewas di tangan Pendekar Bodoh, dan ayah teecu itu bernama Song Kun.”

Mendengar disebutnya nama ini, Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin lalu saling pandang dengan terkejut sekali. “Apa?! Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang berjuluk Ang-ho Sian-kiam?” tanya Wi Kong Siansu dengan heran.

“Entahlah, karena ayah telah tewas sebelum teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari ibuku yang sekarang sudah meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang teecu ketahui, yaitu bahwa ayah teecu yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh Pendekar Bodoh!”

“Benar, benar!” Wi Kong Siansu mengangguk-angguk. “Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh. Marilah, kau maju dan hendak kulihat sampai di manakah kepandaianmu, anak muda!”

Kam Seng memang sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia mempunyai maksud tertentu. Dia telah maklum sampai di mana tingkat kepandaiannya, apa bila diukur dengan kepandaian supek-nya Nyo Tiang Le. Walau pun ia belum dapat menyamai ilmu kepandaian supek-nya itu, namun dari latihan-latihan dengan supek-nya dia dapat menaksir bahwa supek-nya itu tidak mungkin akan sanggup merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus! Maka ia sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh tosu itu, karena kalau hal ini memang dapat terjadi, dia tidak ragu-ragu lagi dengan kepandaian tosu ini dan tidak ragu-ragu pula untuk mengkhianati supek-nya!

Setelah tosu itu melangkah maju menghadapinya, tanpa sheji (sungkan) lagi Kam Seng segera menyerang dengan Ilmu Silat Soan-hong Kun-hoat yang paling lihai. Dia hendak mendahului menyerang agar supaya kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk dapat menyerangnya. Kalau saja dia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh jurus, biar pun tidak dapat merobohkan tosu itu, berarti ia telah menang karena dalam sepuluh jurus kakek itu tak dapat mengalahkannya!

Wi Kong Siansu agaknya maklum akan isi pikirannya ini, maka sambil tersenyum kakek yang amat lihai ini tidak mau memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang dengan susulan lainnya. Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan sudah dekat dengan dadanya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu, ia lalu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu meluncur keluar membarengi pukulan itu menotok ke arah pundak Kam Seng.

Pemuda ini terkejut bukan main karena tangkisan ujung lengan baju itu ketika menimpa lengannya, tulang lengannya langsung terasa sakit sekali bagaikan beradu dengan baja keras sedangkan totokan itu pun cepat sekali datangnya sehingga hampir saja ia menjadi korban dalam segebrakan saja!

Dia cepat menjatuhkan diri ke belakang, berjumpalitan ke belakang dua kali, kemudian setelah berdiri ia lalu menyerang lagi. Serangan dalam jurus ke dua ini dilakukan dengan gerak tipu yang amat lihai.

Ia melakukan serangan dari tiga jurusan, tangan kanan diputar merupakan kepalan yang mengarah kepala, tangan kiri dengan jari tangan terbuka menyabet lambung, sedangkan kaki kanan menyusul dengan tendangan maut ke arah pusar! Inilah gerak tipu yang disebut Sam-in Koan-goat (Tiga Awan Menutup Bulan).

Gerakan tiga macam pukulan ini dilakukan susul menyusul, maka boleh dibilang hampir berbareng datangnya. Dan karena yang diarah oleh tiga pukulan ini merupakan anggota-anggota tubuh yang berbahaya, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya serangan Sam-in Koan goat ini. Satu saja di antara ketiga pukulan itu mengenai sasaran, sudah cukup untuk mengantar nyawa orang ke tempat asal!

“Bagus...!” seru Wi Kong Siansu melihat kehebatan serangan ini.

Dengan sangat tenang kakek ini melangkahkan kakinya dalam bentuk segitiga. Pertama- tama ia melangkah ke kanan sambil menundukkan kepala untuk menghindarkan diri dari pukulan ke arah kepalanya, lalu melangkah lagi menyerong ke muka sambil menangkis pukulan ke arah lambungnya, sedangkan tendangan yang mengarah pusarnya itu tidak dielakkan, bahkan dia kemudian mengangkat kakinya menyambut tendangan itu dengan tendangan pula.

Sungguh mengherankan sekali. Kalau dilihat tendangan Kim Seng amat keras dan cepat datangnya, ada pun kakek itu hanya mengangkat kakinya sedikit saja untuk menyambut tendangan pemuda itu. Akan tetapi begitu sepatu mereka bertemu, Kam Seng berseru kaget dan tubuhnya segera terlempar ke belakang tiga tombak lebih! Masih baik bahwa ia mempunyai ginkang yang sempurna sehingga ia dapat berjungkir balik dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun dengan kaki terlebih dulu!

Bukan main kagumnya hati Kam Seng. Ia maklum bahwa tosu ini benar-benar jauh lebih lihai dari pada supek-nya, maka tanpa banyak ragu-ragu lagi, dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan tosu itu. “Kalau Totiang sudi menerima teecu sebagai murid, teecu akan merasa bahagia sekali.”

Wi Kong Siansu tertawa bergelak. “Sayang kau ditinggal mati ayahmu dan tidak bertemu dengan guru yang baik. Kalau ada ayahmu, tentu kepandaianmu sudah sepuluh kali lipat lebih pandai dari pada sekarang.”

Ban Sai Cinjin lalu maju dan mengebulkan huncwe-nya.

“Song Kam Seng, kau tadi bilang bahwa kau memiliki rahasia yang hendak kau tuturkan. Apakah rahasia itu? Hayo kau berkata terus terang, karena kalau memang benar kau putera Song Kun, kita adalah orang-orang sendiri. Ketahuilah bahwa antara kami dengan ayahmu dahulu terdapat hubungan yang baik sekali.”

“Sesungguhnya amat malu untuk menuturkan keadaan teecu,” kata Kam Seng sambil menundukkan kepalanya dan masih berlutut di depan Wi Kong Siansu. “Semenjak kecil teecu telah ditinggal mati ibu, dan ayah bahkan telah meninggalkan teecu sebelum teecu terlahir. Teecu berkelana dan bersengsara seorang diri dengan hati yang mengandung dendam pada Pendekar Bodoh, akan tetapi apa daya teecu? Kemudian, teecu bertemu dengan Mo-kai Nyo Tiang Le yang memberi pelajaran ilmu silat kepada teecu. Sungguh pun kemudian teecu ketahui bahwa Mo-kai Nyo Tiang Le dan juga Sin-kai Lo Sian adalah kawan-kawan segolongan dengan Pendekar Bodoh sehingga hati teecu merasa segan sekali untuk belajar ilmu silat darinya, namun terpaksa teecu pertahankan juga. Karena, lebih baik menerima pelajaran ilmu silat dari siapa pun juga dari pada tidak mempunyai kepandaian sama sekali. Nah, kebetulan sekali pada hari ini teecu dibawa oleh Mo-kai Nyo Tiang Le yang sedang berusaha mencari Sin-kai Lo Sian. Dia menyangka bahwa sute-nya itu tentu telah mendapat celaka dari Ban Sai Cinjin, karena itu ia lalu menyuruh teecu mengadakan penyelidikan ke sini!”

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Mo-kai Nyo Tiang Le pengemis kelaparan! Apa yang kutakuti terhadap orang seperti dia itu?”

“Teecu juga maklum akan hal ini, dan mulai saat ini juga, kalau kiranya Cu-wi Locianpwe sudi menerima, teecu ingin tinggal di sini mempelajari ilmu silat dan kemudian bersama Cu-wi ikut menyerbu dan membalas hukuman kepada Pendekar Bodoh.”

Ban Sai Cinjin agaknya masih ragu-ragu dan menaruh hati curiga. Akan tetapi Wi Kong Siansu sambil berkedip pada sute-nya itu, berkata kepada Kam Seng, “Anak muda, kami percaya bahwa kau memang putera Song Kun. Akan tetapi, siapa mengetahui keadaan seseorang? Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurumu itu ternyata hendak memusuhi sute dan menyuruh kau mengadakan penyelidikan ke sini. Bagaimanakah kalau sikapmu ini hanya sandiwara belaka supaya kau dapat menyelamatkan diri dari kami? Kalau kau sekarang bisa memancing agar Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke sini, tanpa mengatakan bahwa pinto dan Ban Sai Cinjin berada di tempat ini, dan kemudian di depan kami kau memperlihatkan sikapmu bermusuh dengan dia, barulah kami akan percaya. Menerima murid bukanlah hal yang amat mudah, dan sebelum mengetahui betul kesetiaanmu, pinto tidak dapat menerimamu sebagai murid.”

“Baiklah, harap Cu-wi suka menanti sebentar. Malam ini juga teecu pasti akan membawa Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke tempat ini!” Sesudah berkata demikian, Kam Seng lalu memberi hormat dan melompat keluar dari ruangan itu.

Ban Sai Cinjin hendak menggerakkan tangan mencegah, akan tetapi suheng-nya sudah berkata, “Anak itu memang betul keturunan Song Kun. Tidak lihatkah kau akan gerakan matanya dan bentuk bibirnya? Sama benar dengan Song Kun. Dan andai kata sikapnya tadi hanya untuk menyelamatkan diri, apa yang perlu kita takuti untuk seorang pemuda macam dia?”

Sementara itu, Kam Seng cepat kembali ke tempat supek-nya yang masih menantinya. Hatinya girang sekali. Tadinya ia telah merasa putus harapan untuk dapat membalaskan dendamnya kepada Pendekar Bodoh, karena kalau Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurunya masih mengatakan kalah jauh oleh Pendekar Bodoh, apa lagi dia?

Menurut supek-nya ini, Pendekar Bodoh mempunyai banyak orang-orang pandai. Isteri Pendekar Bodoh sendiri adalah murid Bu Pun Su dan mempunyai kepandaian yang amat tinggi. Masih ada lagi Ang I Niocu serta suaminya Lie Kong Sian yang terhitung kakak seperguruan dari Pendekar Bodoh, ada lagi Kwee An yang menjadi iparnya dan isteri Kwee An yang bernama Ma Hoa dan yang mempunyai kepandaian tinggi karena nyonya muda ini adalah murid terkasih dari Hok Peng Taisu yang lihai!

Bagaimana ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh seorang diri saja? Bahkan supek-nya amat menghormat Pendekar Bodoh maka tak mungkin supek atau suhu-nya mengijinkan dia berlaku kurang ajar terhadap Pendekar Bodoh.

Kini, pertemuan dengan Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu yang kepandaiannya amat tinggi, menimbulkan pengharapan baru di dalam hatinya. Dia tadi belum melihat Hok Ti Hwesio, hwesio kecil jahat murid Ban Sai Cinjin yang dahulu hendak membelek perutnya, akan tetapi dia pun tidak takut. Andai kata Hok Ti Hwesio mengenalnya, dia rasa masih dapat melayani hwesio itu, dan apa lagi kalau dia sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, tentu Hek Ti Hwesio tidak berani mengganggunya.

“Bagaimana, Kam Seng? Apakah kau melihat suhu-mu berada di sana? Dan apakah Ban Sai Cinjin berada di sana pula?”

“Teecu rasa Suhu berada di sana, Supek. Mungkin dikurung dalam sebuah kamar. Akan tetapi teecu tidak berani turun dan berlaku sembrono, karena di sana teecu melihat ada murid-murid Ban Sai Cinjin. Teecu rasa sekarang lebih baik kalau kita berdua menyerbu ke sana, karena tidak terlihat Ban Sai Cinjin, yang ada hanya Bouw Hun Ti!”

Girang sekali hati Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar kesempatan yang amat baik ini, maka dia cepat berdiri dan mengajak pemuda itu cepat berlari kembali ke hutan itu.

Kam Seng mengajak supek-nya melompat ke atas genteng dan mengintai di atas ruang tadi. Akan tetapi baru saja Nyo-kai Tiang Le menginjak genteng, dia mendengar suara Bouw Hun Ti tertawa di bawah genteng.

“Pengemis kelaparan Nyo Tiang Le! Perlu apa mengintai seperti seorang maling? Kalau kau kelaparan tidak perlu kau mencuri makanan di sini. Turunlah! Ada makanan anjing tersedia untukmu!”

Bukan main marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan yang sangat menghina ini. Dia memang seorang pemarah yang keras hati, maka tanpa mempedulikan sesuatu lagi, ia lalu melayang turun, diikuti oleh Kam Seng. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak lantai ruangan itu, Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali sebab melihat Ban Sai Cinjin dan seorang tosu tua muncul dari balik pintu. Ban Sai Cinjin mengebulkan asap huncwe-nya dan melihat asap itu berwarna hitam, tahulah Mo-kai Nyo Tiang Le bahwa dia kini harus melawan mati-matian.

Terdengar tosu yang tidak dikenalnya itu tertawa girang dan berkata kepada Kam Seng, “Bagus, bagus, Kam Seng! Kau memang boleh dipercaya dan pinto tentu suka menjadi suhu-mu.”

Tentu saja Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi melongo melihat dan mendengar ucapan ini.

“Kam Seng! Apakah artinya ini?”

Akan tetapi sebelum pemuda itu menjawab, Ban Sai Cinjin telah menegur Pengemis Iblis itu, “Orang she Nyo! Kau datang sebagai tamu tak diundang, mengapa lagakmu begini kasar? Sebetulnya, apakah keperluanmu datang ke tempatku ini?”

“Ban Sai Cinjin, semenjak dahulu kita belum pernah bermusuhan, maka harap kau suka memberi keterangan tentang sute-ku Lo Sian. Di manakah dia?”

Ban Sai Cinjin mengeluarkan suara menghina. “Apa kau kira aku adalah bujang pengasuh dari Lo Sian? Kau carilah sendiri, di sini tidak ada sute-mu yang gila itu!”

“Gila...? Sute-ku tidak gila...!” kata Mo-kai Nyo Tiang Le sambil memandang tajam.

Merahlah wajah Ban Sai Cinjin sebab tanpa sengaja ia hampir saja membuka rahasianya. Memang Lo Sian telah menjadi gila karena ia paksa minum obat beracun.

“Kau dan Sute-mu memang orang-orang tidak waras, kalau sehat kenapa malam-malam datang ke tempat tinggal orang lain mencari Sute-mu?”

Mo-kai Nyo Tiang Le merasa segan untuk bermusuh melawan Ban Sai Cinjin yang lihai dan di situ masih ada tosu tua yang nampaknya berkepandaian tinggi itu. Juga ia masih merasa heran mendengar percakapan antara tosu itu dengan Kam Seng, maka ia pikir lebih baik mengajak pemuda itu pergi dari tempat berbahaya ini.

“Sudahlah, aku tak mau mengganggu terlebih jauh. Hayo, Kam Seng, kita pergi dari sini!” katanya mengajak pemuda itu.

Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya sama sekali jawaban yang dia dengar dari mulut pemuda itu, “Tidak, aku tidak pergi dari sini. Di sinilah tempatku bersama suhu-ku yang baru Wi Kong Siansu!”

Barulah kini Mo-kai Nyo Tiang Le tahu bahwa tosu itu adalah Toat-beng Lomo yang amat terkenal. Ia terkejut sekali, akan tetapi keheranannya lebih besar lagi.

“Apa katamu?! Kam Seng, apa artinya ini? Apakah kau sudah gila?!”

Pemuda itu memandangnya tajam. “Tidak, Mo-kai Nyo Tiang Le, kaulah yang gila kalau kau mengira akan bisa memaksaku untuk menjadi pengemis, hidup berkeliaran, pakaian tidak karuan, makan tak tentu. Aku tidak mau mengikuti kau terus. Kau pergilah dari sini!”

Marahlah Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan ini. Tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang biasanya pendiam dan penurut itu kini berubah menjadi sedemikian kurang ajar.

“Kam Seng...! Kau murid durhaka! Kalau kau tidak mau pergi, maka terpaksa aku harus binasakan kau lebih dulu agar kelak tidak mencemarkan namaku!”

Tiba-tiba Kam Seng tersenyum. “Hm, Mo-kai Nyo Tiang Le! Ketahuilah siapa sebenarnya aku. Aku adalah putera dari Ang-ho Sian-kiam Song Kun, dan semenjak dulu aku sudah bersumpah untuk membalas kematian ayahku pada Pendekar Bodoh! Nah, apakah kau tetap tak mau lekas pergi dari sini? Aku masih mengingat akan sedikit kebaikanmu yang telah menurunkan sedikit ilmu silat tak berarti kepadaku. Kalau kau tidak mau lekas pergi, janganlah menganggap aku keterlaluan apa bila aku terpaksa turun tangan melawan dan mengusirmu!”

Serasa meledak dada Mo-kai Nyo Tiang Le. Sepasang matanya menjadi merah bagaikan terbakar dan rambutnya yang tidak karuan itu menjadi kaku berdiri.

“Murid durhaka! Manusia berhati rendah!”

Akan tetapi, dengan amat marah Kam Seng telah mengeluarkan beberapa butir Thi-tho-ci dan mengayun senjata-senjata rahasia itu ke arah Mo-kai Nyo Tiang Le sambil berseru, “Kau pergilah!”

Dengan amarah yang meluap-luap Mo-kai Nyo Tiang Le menyambut datangnya senjata-senjata rahasia itu dengan gerakan tangan kirinya yang menangkis dan memukul runtuh beberapa senjata-senjata rahasia itu, kemudian sambil berseru keras ia lalu melancarkan serangannya yang hebat yaitu pukulan Soan-hong-jiu yang dilakukannya dengan tenaga penuh ke arah bekas muridnya itu!

Kam Seng maklum akan kelihaian pukulan ini, akan tetapi karena dia tahu pula bahwa mengelak dari pukulan ini selain sia-sia juga amat berbahaya, terpaksa dia pun segera mengerahkan tenaganya dan melakukan gerakan pukulan yang sama.

Walau pun jarak di antara mereka ada dua tombak lebih jauhnya, namun angin pukulan Soan-hong-jiu dari Mo-kai Nyo Tiang Le ini menyambar hebat sekali ke arah Kam Seng. Pemuda ini juga melakukan pukulan Soan-hong-jiu dengan tenaga khikang sepenuhnya untuk menangkis.

Dua angin pukulan bertemu dan akibatnya, Kam Seng terlempar ke belakang sampai tubuhnya menimpa dinding di belakangnya! Akan tetapi tangkisannya itu menyelamatkan jiwanya, karena sedikitnya sudah membentur tenaga pukulan bekas supek-nya sehingga dia hanya terlempar saja tanpa menderita luka.

“Kau harus mampus!” Mo-kai Nyo Tiang Le berseru sambil melompat ke arah bekas muridnya untuk memberi pukulan maut. Akan tetapi, tiba-tiba dari sebelah kiri berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Wi Kong Siansu telah berada di depannya dan tersenyum mengejek.

“Wi Kong Siansu! Jangan kau ikut-ikut! Tidak ada orang kang-ouw yang begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan antara guru dengan muridnya sendiri!” teriak Mo-kai Nyo Tiang Le marah sekali.

Wi Kong Siansu tertawa bergelak. “Mo-kai, kau lupa bahwa pemuda ini bukan muridmu lagi! Ia telah menyatakan tidak sudi menjadi muridmu dan kau harus ingat lagi bahwa dia kini telah menjadi murid pinto! Apakah kau kira pinto dapat berpeluk tangan saja melihat murid pinto hendak dibinasakan olehmu?”

Saking marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi nekat.

“Bagus!” teriaknya “Hendak kulihat sampai di mana kehebatan Toat-beng Lo-mo!”

“Ha-ha-ha! Majulah, mari kita main-main sebentar!” jawab tosu itu.

Nyo Tiang Le menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Akan tetapi, tosu yang berilmu tinggi itu dengan tenangnya dapat mengelak dan membalas dengan serangannya.

Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu melayani Pengemis Iblis dengan kedua ujung lengan bajunya yang panjang, yang menyambar-nyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah. Setiap sambaran ujung lengan baju membawa angin keras dan berat sekali.

Mo-kai Nyo Tiang Le amat kaget saat menyaksikan betapa angin pukulan Soan-hong-jiu yang dipergunakannya selalu terpental kembali tiap kali terbentur oleh ujung lengan baju itu. Segera maklumlah ia bahwa dalam hal tenaga lweekang dan khikang, ia masih kalah setingkat!

Oleh karena merasa percuma saja melawan tosu lihai ini, Mo-kai Nyo Tiang Le membuat gerakan mengalah, yakni melompat mundur beberapa tindak sambil berkata, “Toat-beng Lo-mo, kepandaianmu sungguh mengagumkan sekali! Perkenankan aku pergi membawa muridku yang murtad!” Sambil berkata demikian, ia melompat hendak menyambar tubuh Kam Seng yang berdiri di sudut, akan tetapi Wi Kong Siansu sudah mendahuluinya dan kembali menghadang di depannya.

“Mo-kai! Jangan kau lanjutkan kehendakmu yang salah ini. Kau pergilah dengan aman, dan pinto takkan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau berkeras hendak mencelakakan muridku, terpaksa pinto harus turun tangan!”

Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi makin marah. Ia maklum bahwa ia akan sukar sekali dapat memenangkan tosu ini, akan tetapi kalau ia mundur, berarti bahwa ia telah menurunkan kehormatannya dengan rendah sekali. Bagi orang gagah, soal kehormatan lebih penting dan lebih mahal dari pada nyawa. Muridnya berlaku khianat dan durhaka, sudah menjadi haknya untuk menghukum murid itu. Jika ada orang lain yang menghalanginya, itu berarti penghinaan yang amat besar.

Sambil berseru keras, Mo-kai Nyo Tiang Le kemudian mencabut tongkatnya yang tadi dia selipkan di ikat pinggang depan. Kemudian ia lalu menotok ke arah leher tosu itu dengan gerak tipu Sian-jin Tit-lou (Dewa Menunjukkan Jalan).

“Bagus!” seru Wi Kong Siansu.

Tosu ini segera mengebut dengan ujung lengan bajunya sebelah kiri, kemudian ia lantas mengibaskan lengan baju kanannya ke arah kepala lawannya dengan gerak tipu Burung Elang Menyambar Ayam. Nyo Tiang Le cepat mengelak dan dia lalu memutar tongkatnya dengan hebat sekali. Tongkat pendek itu terputar-putar bagaikan kitiran, berubah menjadi gulungan sinar yang amat kuat dan berkelebatan, ujungnya dapat menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan. Inilah ilmu tongkat dari Hoa-san-pai yang lihai sekali, karena setiap serangan dapat mendatangkan maut!

Akan, tetapi Wi Kong Siansu adalah tokoh persilatan yang telah banyak pengalaman dan kepandaiannya tinggi sekali. Dia telah tahu akan ilmu tongkat Hoa-san-pai ini, maka biar pun dia tak menggunakan senjata, tetapi kedua ujung lengan bajunya sudah cukup untuk memunahkan semua serangan Nyo Tiang Le.

Nampaknya dia hanya menggerakkan kedua ujung lengan baju itu perlahan dan lambat saja, akan tetapi angin gerakannya demikian kuat sehingga tiap kali ujung tongkat Mo-kai menyerang, selalu kena ditolak oleh ujung lengan baju itu.

Setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak lawannya yang tangguh itu, bahkan gulungan sinar tongkatnya makin lemah, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan tubuhnya lantas bergulingan ke atas lantai sambil melakukan serangan hebat dan bertubi-tubi dari bawah! Inilah ilmu tongkat Hoa-san-pai yang paling lihai dan disebut gerak tipu Naga Sakti Mempermainkan Mustika!

Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu terkejut juga melihat cara penyerangan yang hebat serta berbahaya ini. Ujung tongkat lawannya menyambar-nyambar dari bawah dibarengi dengan tubuh lawannya yang bergulung-gulung dan selalu mengejarnya ke mana juga ia melompat. Dia sudah mengenal ilmu silat ini, akan tetapi oleh karena ilmu meringankan tubuh dari Mo-kai Nyo Tiang Le memang hebat, maka kelihaian penyerangan ini sungguh mengatasi dugaannya!

Pada saat dia melompat untuk mengelak dari tusukan yang diarahkan kepada pusarnya, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan melompat pula, dengan cara yang amat tak terduga mengubah serangannya dengan gerak tipu Monyet Tua Menyambar Bunga, langsung menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati tosu itu! Serangan ini amat cepat dan tak terduga sehingga sukar untuk dielakkan lagi.

Akan tetapi Wi Kong Siansu benar-benar mengagumkan. Dia sangat tenang dan tidak menjadi gugup. Dengan ujung lengan baju sebelah kiri ia menyabet ujung tongkat itu dan lengan baju sebelah kanan untuk menyabet pula hingga kain ini kini melibat tongkat milik lawannya. Sekarang kedua ujung lengan baju itu sudah membelit tongkat dan tak dapat dilepaskan lagi.

Melihat kesempatan baik ini, dengan girang Nyo Tiang Le segera menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka ia langsung memukul kepala tosu itu dengan pukulan Soan-hong-jiu yang hebat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)