PENDEKAR REMAJA : JILID-20


“Suhu, mari kita pergi! Jangan melayani orang-orang ini!”

Lo Sian tertawa haha-hihi dan sebelum ikut berlari pergi bersama Lili, ia menengok pada Lie Siong dan berkata, “Orang gagah tidak akan mendatangkan air mata pada seorang gadis cantik! Ha-ha-ha!”

Ketika kedua orang itu sudah pergi merupakan dua titik bayangan yang jauh, Lie Siong masih berdiri termenung dengan pedang di tangan. Pertemuan ini berkesan dalam-dalam di hatinya. Tidak saja ia terpesona oleh kepandaian dan kecantikan Lili, akan tetapi juga kata-kata Lo Sian tadi bagaikan mengiris jantungnya.

Dia baru sadar dari lamunannya ketika Lilani memegang tangannya dan berkata dengan suara menggetar, “Taihiap, jangan kau tinggalkan Lilani!”

Lie Siong menghela napas berulang dan ketika dia memandang kepada Lilani, timbullah rasa iba yang besar.

“Lilani, aku telah melakukan dosa besar terhadapmu...”

“Bukan kau, Taihiap, akan tetapi kita berdua. Namun bagiku perbuatan kita itu bukanlah dosa…”

Memang sebetulnya hubungan antara pria dan wanita di luar perkawinan yang dirayakan, bagi Lilani bukan merupakan hal yang aneh atau melanggar. Suku bangsanya yang amat sederhana keadaan hidupnya itu tidak menitik beratkan pada upacara, akan tetapi lebih percaya kepada kesetiaan dan kasih di hati. Upacara dapat dilakukan kemudian, karena sekali dua orang telah menanam cinta kasih tak pernah ada atau jarang sekali ada yang memutuskannya atau mengingkari janjinya.”

Lie Siong dapat menduga akan hal ini, karena itu dengan hati perih dia berkata, “Lilani, ketahuilah bahwa sesungguhnya aku kasihan dan sayang kepadamu, akan tetapi... aku tidak mencintamu dan tidak mungkin menjadi suamimu!”

Ucapan ini bagaikan sebuah pedang runcing menikam ulu hati Lilani, akan tetapi gadis ini mempertahankan sakit hatinya dan sambil meramkan matanya menahan air mata, ia lalu berkata,

“Bagaimana seorang perempuan rendah dan bodoh seperti aku ini dapat mengharapkan cinta kasihmu, Taihiap? Aku sudah akan merasa bangga dan bahagia apa bila selama hidup aku dapat menjadi pelayanmu. Aku tak dapat hidup jauh darimu, dan aku tak mau ikut lain orang kecuali kalau dapat bertemu dan mengumpulkan suku bangsaku kembali!”

Berat sekali hati Lie Siong mendengar ini. “Lilani, akan kucoba untuk mengembalikan kau kepada suku bangsamu.”

“Taihiap,” mendadak saja gadis itu berkata sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu, “kau tidak mencintaiku, hal ini aku dapat mengerti. Akan tetapi... bukankah kau jatuh cinta kepada... gadis tadi?”

Lie Siong meloncat mundur bagai kakinya disengat ular. “Apa maksudmu...? Dari mana kau mempunyai pikiran seperti itu? Aku tidak kenal padanya, dan sekali bertemu kami telah bertempur. Mengapa kau menyangka demikian?”

Lilani tersenyum sedih. “Orang bertempur bukan seperti yang kau lakukan tadi, Taihiap. Tadi kau dengan gadis itu bukan bertempur, akan tetapi menari-nari gembira! Alangkah indahnya tarian itu dan terus terang saja, kau memang cocok sekali dengan dia. Tadi aku merasa seolah-olah melihat sepasang dewa-dewi sedang menari!”

Hampir saja Lie Siong tertawa bergelak-gelak saking geli hatinya, sungguh pun hatinya tergerak pula oleh ucapan ini dan wajah Lili terbayang di depan matanya.

“Lilani, kau sungguh lucu! Ketahuilah bahwa ilmu silat yang kami mainkan tadi memang merupakan ilmu silat tarian yang tidak sembarang orang dapat menarikannya. Ilmu silat itu disebut ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari Bidadari) dan aku pun masih heran memikirkan bagaimana gadis tadi sanggup memainkannya. Padahal ilmu silat itu adalah ciptaan dari ibuku sendiri!”

Dengan hati masih ingin sekali tahu siapa adanya gadis yang pandai memainkan Sian-li Utauw itu, Lie Siong melanjutkan perjalanannya bersama Lilani. Pemuda ini mengambil keputusan untuk mengikuti jejak Lili dan hendak bertanya siapa sebetulnya gadis aneh itu. Ada hubungan apakah antara gadis itu dengan ibunya? Kenapa pula gadis itu pandai memainkan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang lebih hebat dari pada kepandaiannya sendiri? Apakah gadis itu ada hubungannya dengan Pendekar Bodoh?

Berkali-kali Lilani berkata dengan penuh perasaan, “Taihiap, aku mempunyai perasaan bahwa kau mencinta gadis itu dan agaknya kau memang berjodoh dengan dia! Melihat kalian berdua bersilat seperti menari itu, ahhh, alangkah cocoknya!”

Diam-diam Lie Siong merasa heran sekali melihat sikap gadis ini. Baru saja menyatakan cinta kasihnya dan sekarang sudah membicarakan gadis lain tanpa ada sikap cemburu sedikit pun juga! Benar-benar gadis yang berhati putih bersih, bersikap sederhana dan harus dikasihani.

“Tidak, Lilani. Aku memang akan mencarinya untuk menantangnya bertempur lagi. Aku belum puas apa bila belum mengalahkan dia, sebagai tanda dan bukti kepadamu bahwa persangkaanmu itu tidak benar!”

“Jangan, Taihiap. Dia kelihatan galak dan lihai bukan main. Bagaimana kalau kau sampai terluka? Ahhh...”

“Aku harus menghadapinya!” kata Lie Siong berkeras. “Di samping aku hendak menguji kepandaiannya, juga ingin tahu dari mana ia mencuri Sian-li Utauw dan Pek-in Hoatsut.”

********************

Sementara itu, Lili dan Lo Sian sudah memasuki kota Kiciu dan dengan mudah mereka mencari kuil Siauw-lim-si yang besar. Lili sudah tidak memikirkan lagi keadaan pemuda dan gadis yang dijumpainya di jalan, sungguh pun di dalam perjalanan tadi ia tidak habis merasa heran bagaimana Ilmu Silat Sian-li Utauw pemuda itu sedemikian hebatnya dan betapa pemuda itu dapat juga mainkan Pek-in Hoat-sut.

Ia pun ingin sekali melanjutkan pertempuran dengan pemuda itu, sebab ia masih merasa penasaran apa bila belum dapat mengalahkan pemuda yang dianggapnya sombong itu. Walau pun wajah pemuda yang elok dan gagah itu mengganggunya, namun dia berhasil mengusir bayangan itu dengan anggapan bahwa pemuda itu tidak ada harganya untuk diingat lagi, karena tentu pemuda itu adalah seorang kurang ajar dan pengganggu anak gadis!

Memikirkan halnya gadis cantik yang mengejar pemuda itu sambil menangis, Lili menjadi gemas sekali. Gemas dan benci terhadap pemuda itu, karena dia dapat menduga bahwa gadis itu tentulah korban permainan pemuda mata keranjang itu!

Thian Kek Hwesio menyambut kedatangan Lili dengan ramah tamah. Sesudah menerima ‘surat’ dari Goat Lan, pendeta gemuk itu tertawa gembira dan berkata kepada Lili,

“Nona, tentu saja aku suka berusaha menolongmu. Apa lagi kalau ada surat dari Kwee Lihiap yang kukenal baik. Tidak tahu siapakah Nona dan siapa pula orang tuamu?”

“Teecu (murid) adalah puteri dari Sie Cin Hai,” jawab Lili.

Hwesio itu mengangkat alisnya dan kedua matanya terbelalak girang.

“Ah, puteri Pendekar Bodoh? Betul-betul merupakan kehormatan besar dan kebahagiaan bahwa aku masih berkesempatan melihat keturunan Pendekar Bodoh. Masuklah Nona, dan siapakah sahabat ini?” Dia menudingkan telunjuknya kepada Lo Sian yang berdiri bagaikan patung.

“Dia adalah Sin-kai Lo Sian yang kini berada dalam keadaan sakit, Losuhu. Kedatangan teecu adalah untuk mohon pertolongan Losuhu agar suka memeriksa dan memberi obat kepadanya. Dahulu ketika teecu masih kecil, teecu adalah murid dari Sin-kai Lo Sian dan entah mengapa, setelah sekarang bertemu lagi, teecu mendapatkan Suhu berada dalam keadaan seperti ini.”

Thian Kek Hwesio yang memiliki sepasang mata bersinar sabar, tenang, halus dan juga berpengaruh itu, lalu memandang kepada Lo Sian dengan tajam, kemudian dia maju dan menghampiri pengemis gila itu.

“Sahabat, kau kenapakah?”

Akan tetapi, begitu melihat hwesio gemuk itu menghampirinya, Lo Sian tiba-tiba langsung menyerangnya dengan pukulan keras mengarah dadanya. Lili terkejut sekali dan untung bahwa dia berlaku cepat. Ia melompat menangkis pukulan Lo Sian ini, lalu menangkap lengannya.

“Suhu, jangan begitu, Losuhu ini adalah Thian Kek Hwesio yang hendak menolongmu.”

Akan tetapi, Lo Sian tiba-tiba justru memandang kepada Thian Kek Hwesio dengan mata mengandung ketakutan dan dia berteriak-teriak, “Pemakan jantung...! Tolong, pemakan jantung...!”

Agaknya melihat hwesio gundul ini, ia teringat kepada Hok Ti Hwesio dan melihat tubuh gemuk dari Thian Kek Hwesio, agaknya teringat kepada tubuh Ban Sai Cinjin, maka dia berteriak-teriak ketakutan.

“Nona, tolong bikin dia tak berdaya lebih dulu, agar mudah pinceng (aku) memeriksanya,” kata Thian Kek Hwesio dengan muka masih tenang saja.

Lili lalu mengulur tangannya dan menotok pundak Lo Sian. Karena orang gila ini memang percaya penuh kepada Lili, maka ketika ditotok, dia diam saja tidak melawan sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia lalu dibaringkan di atas pembaringan.

Thian Kek Hwesio lalu memeriksa seluruh tubuhnya, terutama sekali ia mempergunakan jari-jari tangannya untuk memijit-mijit bagian kepala Lo Sian, lalu dia pun menggunakan cara Goat Lan memeriksa, yaitu mengeluarkan sedikit darah dari tubuh orang gila itu.

Lili mengikuti semua pemeriksaan ini dengan penuh perhatian dan kecemasan. Akhirnya, hwesio itu menggelengkan kepalanya dan berkata sungguh-sungguh,

“Hebat sekali! Dia telah terkena racun jahat selama sepuluh tahun lebih sehingga seluruh darahnya sudah menjadi kotor. Agaknya masih mungkin bagi pinceng menghilangkan kegilaannya, karena hanya urat di kepalanya yang terganggu, akan tetapi sulit membuat ia kembali teringat akan segala kejadian yang lalu.”

“Tolonglah, Losuhu. Tolonglah sembuhkan penyakit gilanya, biarlah ia tidak bisa teringat sesuatu asalkan dia tidak gila seperti sekarang ini. Mungkin lambat laun ia akan dapat mengingat-ingat lagi.”

“Tentu saja pinceng akan berusaha menolongnya, dan mudah-mudahan Thian (Tuhan) membantu pinceng.”

Hwesio gendut itu lalu mengeluarkan beberapa puluh batang jarum yang berwarna putih dan ada pula yang kuning. Itulah gin-ciam (jarum perak) dan kim-ciam (jarum emas), alat pengobatan yang sudah amat terkenal di seluruh permukaan bumi Tiongkok.

“Nona Sie,” kata hwesio itu, “coba tolong kau ikat kaki tangannya yang kuat, kemudian kau buka kembali jalan darahnya, karena dalam keadaan terpengaruh tiam-hoat (ilmu totokan), tak mungkin pinceng dapat menolongnya.”

Lili melakukan apa yang diminta oleh Thian Kek Hwesio. Ia segera membuka bungkusan pakaiannya, mengambil ikat pinggang dan mengikat kedua kaki dan tangan Lo Sian pada kaki pembaringan, lalu ia menepuk pundak Lo Sian untuk membebaskan totokannya tadi.

Begitu terbebas, Lo Sian segera meronta-ronta dan berteriak-teriak, “Pemakan jantung! Pemakan jantung! Tolong… tolong!”

Thian Kek Hwesio tersenyum dan mulailah dia bekerja dengan jarum-jarumnya. Dengan gerakan yang tenang dan tepat tanpa keraguan sedikit pun, ia mulai menusukkan jarum putih ke leher belakang Lo Sian sementara Lili memegangi kepala pengemis gila itu. Tiga jarum ditusukkan dan tiba-tiba lemahlah tubuh Lo Sian, suaranya makin mengecil dan akhirnya dia jatuh pingsan atau pulas!

Delapan belas jarum sudah ditusukkan oleh Thian Kek Hwesio. Tiga di belakang leher, tiga di pundak kanan, tiga di pundak kiri dan sembilan jarum lain ditusukkan pada sekitar kepalanya! Mau tidak mau Lili merasa ngeri juga melihat cara pengobatan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya ini. Bagaimanakah orang bisa tetap hidup setelah leher dan kepalanya ditusuk oleh sekian banyak jarum? Yang sangat luar biasa adalah bahwa tidak ada setitik pun darah mengalir keluar dari jarum-jarum yang ditusukkan itu.

“Biarlah dia mengaso dulu dan sementara menanti, ceritakanlah pengalamanmu, Nona. Terutama sekali pinceng ingin sekali mendengar tentang keadaan orang tuamu.”

Dengan jelas tapi singkat, Lili menuturkan keadaan orang tuanya dan betapa ia bertemu dengan Lo Sian ketika dia dulu diculik Bouw Hun Ti. Ketika dia telah selesai menuturkan pengalamannya dan ketika hwesio tua itu mendengar nama Ban Sai Cinjin sebagai guru Bouw Hun Ti, Thian Kek Hwesio mengerutkan keningnya.

“Hemm, disebutnya nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng merasa curiga, Nona Sie. Ketahuilah bahwa Sin-kai Lo Sian ini terkena racun yang amat berbahaya yang sungguh pun tidak sampai menewaskan nyawanya, tetapi membuat seluruh isi kepalanya menjadi kotor dan pikirannya tidak dapat bekerja baik. Pinceng sekarang hanya dapat menolong dia dari gangguan ketakutan sehingga ia tidak akan menjadi gila lagi. Agaknya, ketika ia minum racun atau dipaksa minum racun, ia berada dalam keadaan yang amat ketakutan atau ngeri. Entah apa yang terjadi dengan dia, akan tetapi nama Ban Sai Cinjin membuat pinceng hampir berani menuduh, kakek mewah itu yang menjadi biang keladi. Bagi Ban Sai Cinjin, segala macam kekejian di dunia ini mungkin dilakukan olehnya!”

Pada saat itu terdengar Lo Sian merintih perlahan. Lili cepat melompat untuk memegangi kepalanya, karena bila kepalanya bergerak-gerak ia kuatir kalau-kalau jarum yang masih menancap di lehernya itu akan melukainya. Thian Kek Hwesio juga menghampirinya dan melihat sebentar ke arah muka Lo Sian, membuka pelupuk matanya yang masih tertutup, lalu mengangguk puas.

“Syukurlah, baik hasilnya,” hwesio itu berkata perlahan, lalu ia mencabuti jarum-jarum itu.

Lili melihat dengan hati ngeri betapa jarum perak yang tadi menancap, sesudah dicabut ujungnya berwarna kehitam-hitaman, sedangkan jarum emasnya berwarna kehijauan!

Thian Kek Hwesio lalu memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulut Lo Sian dan memberi minum secawan arak sehingga obat itu dapat memasuki perut pengemis itu. Sampai lama terdengar Lo Sian mengeluh kesakitan, kemudian keluhannya berhenti dan jalan napasnya nampak tenang. Peluh memenuhi mukanya dan akhirnya dia membuka matanya.

“Di mana aku...?” tanyanya seperti orang baru bangun tidur.

“Buka ikatannya,” kata Thian Kek Hwesio kepada Lili yang segera membuka ikatan kaki tangan orang tua itu.

Lo Sian bangun dan duduk dengan pandang mata yang bingung dan Lili dengan girang sekali mendapat kenyataan bahwa pandang mata Lo Sian kini telah waras kembali, tidak liar seperti tadi.

“Ehh, siapakah kalian dan di manakah aku berada?” kembali Lo Sian bertanya sambil memandang kepada Thian Kek Hwesio dan Lili berganti-ganti.

Lili lalu maju dan memegang tangannya. “Suhu, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Sie Hong Li atau Lili, anak Pendekar Bodoh! Aku muridmu, Suhu!”

Terbelalak mata Lo Sian memandang kepada gadis jelita yang berdiri di depannya sambil tersenyum itu. “Lili...? Siapakah Lili? Dan siapa pula Pendekar Bodoh? Aku.. serasa aku pernah mendengar nama-nama itu, akan tetapi sudah lupa sama sekali!”

“Suhu, kau telah minum racun berbahaya dan berada dalam keadaan tidak sadar sampai sepuluh tahun. Inilah penolongmu, yaitu Thian Kek Losuhu.”

Kini Lo Sian memandang kepada hwesio itu yang masih tersenyum kepadanya. Biar pun Lo Sian masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Lili, namun mendengar bahwa hwesio gendut itu sudah menolongnya, maka dia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.

“Omitohud!” Thian Kek Hwesio menyebut nama Buddha sambil cepat-cepat mengangkat bangun Pengemis Sakti, itu. “Tak percuma pinceng mengeluarkan tenaga membantumu, Sicu, ternyata kau adalah seorang yang berpribudi tinggi. Akan tetapi, ketahuilah bahwa semua orang yang baik hati tentu akan mendapat pertolongan Yang Maha Kuasa, biar pun dia tidak akan terlepas dari hukum karma. Marilah kita bicara di ruang depan, terlalu sempit di kamar ini.”

Ketiga orang itu lalu berjalan keluar dan ternyata bahwa pengobatan itu sama sekali tidak mempengaruhi keadaan kesehatan Lo Sian. Dia kini tidak gila lagi, akan tetapi dia juga tidak ingat akan kejadian di masa lampau.

Setelah mereka berada di ruang depan, Thian Kek Hwesio lalu duduk di atas sebuah bangku dan Lo Sian berdiri di depannya. Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian dahulu untuk membantu bekas suhu-nya itu teringat kembali.

Akan tetapi betapa pun Lo Sian mengerahkan pikirannya, ia tidak dapat mengingat-ingat lagi! Tiba-tiba matanya terbelalak dan Lili merasa terkejut sekali, takut kalau-kalau bekas gurunya ini kumat lagi penyakit gilanya. Akan tetapi Thian Kek Hwesio memberi isyarat dengan tangannya agar supaya gadis itu tetap tenang.

Berkali-kali Lo Sian memijit-mijit kepalanya seakan-akan hendak membantu semua urat syarafnya agar bekerja kembali, dan tiba-tiba ia berkata keras, “Ah... yang teringat olehku hanya Lie Kong Sian...! Lie Taihiap itu telah... mati! Benar, Lie Kong Siang telah tewas... ahh, hanya itu yang teringat olehku. Lie Kong Sian telah tewas!” Dan Sin-kai Lo Sian lalu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya lalu ia menangis tersedu-sedu!

Lili hendak menghampirinya, akan tetapi dicegah oleh Thian Kek Hwesio, maka gadis itu hanya bertanya, “Suhu, kau maksudkan bahwa Lie-supek telah meninggal dunia?”

Suaranya terdengar gemetar, karena gadis ini sering kali mendengar dari ayah-bundanya bahwa Lie Kong Sian adalah suami dari Ang I Niocu dan bahwa pendekar besar she Lie itu adalah suheng dari ayahnya.

Lo Sian mengangguk-angguk sambil menahan tangis. “Benar, dia telah meninggal dunia. Lie Kong Sian yang gagah perkasa, yang berbudi mulia, telah mati...!”

Pada saat itu pula terdengar bentakan hebat dari atas dan nampak berkelebat bayangan orang yang maju menerkam tubuh Lo Sian dari atas!

“Pengemis gila! Jangan kau mengacau dengan omongan bohong! Ayahku tidak meninggal dunia!” Bayangan itu ternyata adalah Lie Siong.

Dengan hati tak karuan rasa karena kaget dan tidak percaya, pemuda ini yang semenjak tadi mengintai dari atas genteng, kemudian menubruk hendak menangkap Lo Sian. Dia melompat dengan gerakan yang disebut Harimau Menubruk Kambing dan langsung jari tangan kanannya meluncur hendak menotok pundak Lo Sian.

“Suhu, awas serangan!” Lili berseru kaget.

Baiknya Lo Sian masih belum kehilangan kegesitannya. Dia cepat memutar tubuh sambil miringkan pundak, menarik kaki kanan ke belakang dan dengan demikian ia terluput dari totokan itu. Sebelum Lie Siong menyerangnya lebih lanjut, bayangan Lili telah berkelebat dan berdiri menghadapi pemuda itu.

“Hem, kiranya kau!” seru gadis itu sambil mencibirkan bibirnya ketika ia mengenal bahwa pemuda ini adalah pemuda yang tadi bertempur dengan dia. “Kau datang mau apakah?”

“Suhu-mu yang gila ini sudah berbicara tidak karuan dan dia telah menghina ayah ketika menyatakan bahwa ayah telah mati! Ayah masih hidup di Pulau Pek-le-to dengan sehat, bagaimana dia berani mengatakan bahwa ayah telah mati?”

“Siapa bilang bahwa ayahmu mati, anak muda?” Lo Sian berkata dengan sabar. “Yang mati adalah Lie Kong Sian, bukan ayahmu...”

“Orang gila! Lie Kong Sian adalah ayahku!” sambil berkata demikian, Lie Siong kembali maju hendak menyerang Lo Sian.

Sementara itu, Lili memandang dengan bengong. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini adalah putera Lie Kong Sian, yang berarti putera Ang I Niocu pula! Timbul kegembiraannya tercampur kekecewaan. Ia gembira dapat bertemu dengan putera Ang I Niocu yang sudah sering kali disebut-sebut oleh ayah bundanya, akan tetapi dia kecewa karena tadi melihat pemuda itu mempermainkan seorang gadis cantik!

Juga di dalam hatinya tiba-tiba timbul niat ingin menguji kepandaian putera Ang I Niocu ini. Maka tanpa banyak cakap, ketika melihat betapa pemuda itu hendak menyerang Lo Sian, Lili segera bergerak maju menangkis pukulan itu. Sepasang lengan tangan beradu keras dan keduanya terhuyung mundur tiga langkah.

“Bagus, gadis liar!” Lie Siong membentak. “Agaknya kau masih belum mau mengaku kalah.”

“Aku mengaku kalah? Terhadap engkau? Hemm, bercerminlah dulu, manusia sombong. Kau mengaku putera pendekar besar Lie Kong Sian? Siapa sudi percaya? Putera Ang I Niocu tak mungkin sesombong engkau dan mata keranjang pula. Hah, tak tahu malu!”

Terbelalak mata Lie Siong memandang kepada Lili. Bagaimana gadis ini seakan-akan mengenal keadaan ayah-bundanya?

“Kau siapakah?” dia mengulang lagi pertanyaannya yang diajukan siang tadi, akan tetapi kembali Lill mengejek dengan bibirnya yang manis.

“Apa kau kira dengan mengaku sebagai putera Ang I Niocu, kau akan dapat menipuku untuk memperkenalkan nama? Hah, manusia rendah, biar kucoba dulu sampai di mana sih kepandaianmu!” Sesudah berkata demikian, Lili kemudian mencabut keluar pedang Liong-coan-kiam yang tajam.

“Bagus, gadis liar! Aku pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kepandaianmu maka kau berani membuka mulut besar!” Lie Siong juga mengeluarkan pedangnya yang aneh, yaitu Sin-liong-kiam. Maka tanpa dapat dicegah lagi kedua orang muda ini lantas melanjutkan pertempuran mereka yang siang tadi dilakukan dengan mati-matian!

Lili mempunyai Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-hoat yang luar biasa, yaitu ilmu pedang yang berdasarkan pada Ilmu Pedang Daun Bambu ciptaan ayahnya, sebab itu tentu saja ilmu pedangnya ini hebat bukan main. Begitu gadis ini menggerakkan pedangnya maka lantas berkelebatlah bayangan merah dari pakaiannya, sedangkan pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang putih menyilaukan mata!

Baik Lo Sian yang berdiri di sudut ruangan yang luas itu, mau pun Thian Kek Hwesio yang masih tetap duduk di bangku dengan sikap tenang, terpesona menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Bahkan Thian Kek Hwesio biar pun tidak pandai ilmu silat akan tetapi yang sudah banyak sekali menyaksikan kepandaian orang-orang berilmu tinggi, menjadi kagum sekali hingga berkali-kali menyebut nama Buddha, “Omitohud! Alangkah hebatnya ilmu pedang ini!”

Akan tetapi, ketika Lie Siong juga menggerakkan tubuh dan pedangnya, maka silaulah mata mereka berdua memandang. Tubuh Lie Siong berubah menjadi bayangan putih, sedangkan pedangnya menjadi segulung sinar keemasan yang cukup hebat menyilaukan pandangan mata.

Begitu kedua sinar itu bertemu, terdengarlah suara nyaring dari beradunya kedua pedang dan berpijarlah bunga api yang indah sekali. Makin lama makin cepat kedua orang muda itu menggerakkan senjata mereka sehingga gulungan pedang berwarna putih dan kuning emas itu menjadi satu, bergulung-gulung saling membelit seolah-olah ada dua ekor naga sakti yang sedang bertempur seru.

Api lilin di atas meja yang terdapat di ruangan itu bergerak-gerak hampir padam karena tiupan angin senjata mereka berdua. Saking gembiranya dapat menyaksikan permainan pedang ini, Thian Kek Hwesio segera bangkit berdiri, mengambil tiga batang lilin lagi dan memasangnya semua di atas meja. Di dalam penerangan tiga batang lilin tambahan ini, nampak makin indahlah sinar pedang kedua orang muda keturunan orang-orang pandai itu.

Diam-diam kedua orang muda itu terkejut sekali. Baik Lili mau pun Lie Song amat kagum menyaksikan kehebatan kepandaian lawan. Kini Lili diam-diam percaya bahwa pemuda ini tentulah putera Ang I Niocu, oleh karena dia mengenal Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hwat dari Ang I Niocu yang pernah diturunkan oleh ayahnya, bahkan ayahnya pun dulu pernah memberi penjelasan kepadanya tentang ilmu pedang itu. Apa bila diadakan perbandingan, memang ilmu pedang dari Lili masih menang lihai, akan tetapi dalam hal ginkang dan tenaga lweekang, dia agaknya masih kalah latihan.

Sebaliknya, Lie Siong menjadi makin kagum melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Benar-benar ilmu pedang yang belum pernah disaksikannya selama hidupnya. Dulu ibunya pernah memberitahukan kepadanya tentang ilmu pedang ciptaan Pendekar Bodoh yang amat lihai dan agaknya inilah ilmu pedang itu!

Apakah gadis ini puteri Pendekar Bodoh? Ia menduga-duga dengan hati berdebar-debar dan makin tertariklah hatinya kepada gadis yang cantik jelita, manis, dan juga galak ini. Ia diam-diam harus mengakui bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu amat luar biasa perubahannya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi korban.

Akan tetapi, yang membuat hatinya berdebar-debar aneh, adalah cara Lili mainkan ilmu pedangnya. Ia setengah dapat menduga bahwa bila lawannya mau, tentu ia sudah dapat dirobohkan! Akan tetapi tiap kali ujung pedang lawannya yang tajam itu telah mendekati tubuhnya, tiba-tiba gerakan pedang diubah sedemikian rupa sehingga tidak melukainya!

Ia menjadi marah, malu dan penasaran sekali. Sambil mengertak giginya, Lie Siong yang berwatak keras dan tak mau kalah ini lalu memutar pedangnya, mengirim totokan-totokan dengan lidah pedang naga dan menusuk dengan tanduk pedang naganya. Dia berusaha untuk membalas setiap serangan dengan pembalasan tak kalah lihainya.

Sudah tiga empat kali lawannya ‘mengampuni’ dirinya dengan merubah jalan pedangnya, maka dia pun ingin sekali mendesak lawannya dan kemudian memberi kesempatan pula pada lawannya untuk melepaskan diri dari ancaman pedangnya. Akan tetapi bagaimana ia dapat mendesak lawan yang mainkan ilmu pedang sehebat itu?

Ia tidak diberi kesempatan sama sekali bahkan pedang Lili makin gencar mengurungnya sehingga gulungan sinar kuning keemasan kini semakin mengecil, sebaliknya gulungan sinar pedang yang putih makin membesar dan menghebat gerakannya.

Lebih hebat lagi ketika Lili mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tahu-tahu tangan kiri gadis itu mengeluarkan sebuah kipas yang kecil dan indah. Lie Siong tadinya merasa heran dan menduga bahwa gadis itu hendak mempermainkannya dan menyombongkan diri dengan melayaninya sambil mengebut-ngebut kipas. Tidak tahunya begitu kipas itu mengebut, ia hampir berseru karena kaget dan heran.

Angin kipas itu menyambar sehingga membuat lidah pedang naganya terbentur kembali, disusul dengan pukulan kipas yang mempergunakan ujung gagangnya untuk menotok ke pundaknya. Lie Siong benar-benar merasa terkejut.

Tak pernah diduganya bahwa gadis lawannya itu demikian lihainya. Baru ilmu pedangnya saja sudah demikian hebat dan sukar baginya untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang setelah gadis itu menggunakan sebuah kipas pula yang juga luar biasa. Siapakah gadis ini?

Dengan pedang dan kipasnya, Lili makin mengurung dan kini gadis ini menjadi bangga karena dapat mendesak pemuda itu. Kelak ia akan menceritakan kepada ayah bundanya betapa ia telah dapat mengalahkan putera dari Ang I Niocu! Dan tentu saja ia tidak mau melukai pemuda itu karena kini ia merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah putera dari Ang I Niocu. Ia hanya ingin mendesak kemudian memaksa pemuda itu untuk mengakui keunggulannya.

Akan tetapi, Lili sama sekali tidak tahu bahwa Lie Siong adalah seorang pemuda yang keras hati seperti ibunya dan tidak nanti pemuda ini mau mengaku kalah begitu saja! Rasa penasaran dan malu membuat Lie Siong menjadi marah dan nekad.

Ia pikir bahwa bila ia terlalu mengarahkan perhatian dan kepandaiannya pada penjagaan diri terhadap desakan gadis yang lihai itu, tentu ia takkan mampu membalas. Maka ia lalu memilih jalan nekad. Biarlah aku dirobohkan dan tewas, pikirnya, asal saja aku mampu membalasnya!

Sesudah berpikir demikian, dia lalu mencari kesempatan baik. Pada saat itu, tiba-tiba Lili menyerang dengan kedua senjata secara berbareng. Pedang Liong-coan-kiam meluncur cepat ke arah tenggorokannya dan kipas itu kini tertutup, dipergunakan untuk menotok lambungnya! Serangan berganda yang amat berbahaya dan agaknya sangat sukar untuk ditangkis atau dielakkan lagi.

Akan tetapi, Lie Siong tidak mau mempedulikan dua senjata lawannya yang mengancam dirinya ini, sebaliknya dia lalu mempergunakan Sin-liong-kiam untuk menyapu kedua kaki Lili! Pikirnya, kalau senjata-senjata lawannya diteruskan, tentu sedikitnya dia akan dapat mematahkan sebuah kaki lawan!

Lili merasa terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa lawannya mengambil jalan nekad seperti itu! Dia lalu berseru keras dan kedua kakinya melompat ke atas. Dengan sendirinya kipasnya tidak mengenai sasaran dan pedangnya yang tak dapat ditariknya kembali itu tidak mengenai leher lawan, akan tetapi hanya menyerempet pundak kanan Lie Siong!

Lie Siong merasa betapa pundaknya menjadi perih dan sakit sekali, juga melihat darah mengalir dari pundaknya. Akan tetapi ia tidak mempedulikan hal ini dan saat pedangnya dapat dielakkan oleh kaki Lili yang melompat ke atas, dia lalu menggerakkan pedang itu sehingga lidah dari pedang naga itu dengan gerakan yang amat tak terduga telah melibat sepatu kiri di kaki Lili!

Gadis itu terkejut dan hendak menarik kakinya. Akan tetapi pada saat ia menggerakkan kaki kirinya, Lie Siong telah membetot sehingga sepatu kiri itu terlepas dari kaki Lili dan masih terlibat oleh lidah pedang naga itu!

“Bangsat! Kembalikan sepatuku!” Lili berseru keras.

Akan tetapi Lie Siong yang merasa sudah mampu membalas hinaan yang diterimanya dalam pertempuran itu, yaitu hinaan yang berupa ‘pengampunan’ berkali-kali dari desakan pedang, segera membawa sepatu itu dan melompat keluar dari situ.

Lili hendak mengejar, akan tetapi tanpa sepatu, kaki kirinya terasa sakit sekali menginjak lantai yang kasar. Pada saat itu, dari luar rumah kuil itu terdengar seruan Lie Siong,

“Kau harus membayar penghinaan dan kesombonganmu dengan sepatumu! Tak mudah mendapatkan sepatu yang masih dipakai dari puteri Pendekar Bodoh yang ternyata tolol dan bodoh melebihi ayahnya dan sombong pula!”

Lili hampir menangis saking jengkelnya dan melompat keluar.

“Kubunuh kau, bangsat rendah!” makinya, akan tetapi begitu kakinya menginjak batu-batu tajam, ia mengeluh, melompat kembali ke ruang itu, duduk di atas sebuah bangku dan... menangis!

Thian Kek Hwesio datang menghampiri Lili dan menghiburnya, “Nona Sie, mengapa kau menangis? Bukankah kau telah dapat mengusirnya?”

“Dia... manusia kurang ajar itu... dia sudah membawa pergi sebuah sepatuku!” jawab Lili masih menangis.

Sesungguhnya, kejadian perampasan sepatu tadi sangat cepatnya sehingga mata Thian Kek Hwesio yang tidak terlatih itu sama sekali tidak melihatnya. Kini dia memandang ke arah kaki kiri Lili dan dia berseru kaget,

“Omitohud...! Bagaimana ada laki-laki yang begitu kurang ajar? Nona Sie, apakah betul ucapanmu tadi bahwa dia adalah putera Ang I Niocu? Pinceng pernah mendengar nama Ang I Niocu yang terkenal sekali.”

Akan tetapi Lili tidak dapat menjawab, hanya melanjutkan tangisnya. Hatinya mangkel sekali dan ingin dia dapat menusuk dada pemuda itu dengan pedangnya!

“Aku tidak tahu siapa Ang I Niocu dan siapa pula pemuda itu, tetapi ilmu kepandaiannya memang hebat,” tiba-tiba Lo Sian berkata. “Aku masih ingat kepada Lie Kong Sian dan agaknya pemuda itu memang patut menjadi putera Lie Kong Sian. Ilmu sitatnya tinggi dan tadi dia merampas sepatumu hanya untuk membalas penghinaan yang berkali-kali kau lakukan kepadanya.”

Thian Kek Hwesio memandang heran kepada pembicara ini, “Eh, Sicu, apa maksudmu? Mengapa kau menyatakan bahwa Nona Sie telah menghinanya berkali-kali?”

Lo Sian yang telah waras pikirannya dan memiliki pandangan yang lebih awas dari Thian Kek Hwesio berkata tenang, “Lo-suhu, di dalam pertempuran tadi, Nona ini memang selalu menjadi pendesak dan lebih lihai kepandaiannya. Akan tetapi Nona ini sengaja tak mau melukai dan merobohkan lawan, malah selalu memberi ampun dan menarik kembali serangannya pada saat pedangnya akan mengenai sasaran. Di dalam sebuah pibu, tentu saja hal ini dianggap gerakan yang amat menghina dan merendahkan lawan. Bagi orang gagah, lebih baik dirobohkan dari pada diberi ampun dan diberi kesempatan melepaskan diri dari ancaman senjata!”

Merahlah wajah Lili sesudah mendengar ucapan Lo Sian ini. Tidak disangkanya bahwa suhu-nya masih bermata setajam itu dan dapat melihat semua gerakannya! Akan tetapi, hwesio gendut itu menggeleng-geleng kepala dan menghela napas berkati-kali.

“Kalian orang-orang dunia persilatan ini benar-benar aneh sekali! Untung pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat, karena kalau pinceng dulu mempelajarinya, entah sudah berapa kali pinceng harus berkelahi seperti binatang buas!”

Terpaksa Lili menerima pemberian Thian Kek Hwesio, yaitu sepasang sepatu hwesio yang besar. Dia memotong dan menjahit lagi sepatu itu, dikecilkan untuk dapat dipakai oleh sepasang kakinya yang kecil mungil. Kemudian ia membujuk kepada Lo Sian untuk ikut dengan dia ke rumah ayah-bundanya di Shaning.

“Aku tidak kenal siapa adanya ayahmu yang bernama Pendekar Bodoh itu, akan tetapi oleh karena aku yakin bahwa dahulu tentu aku pernah mengenalmu dan tahu bahwa kau adalah seorang yang mulia, maka biarlah aku ikut dengan kau, Nona.”

“Suhu, mengapa kau menyebutku nona saja? Sungguh tidak enak bagiku. Sebutlah saja namaku seperti dulu, yaitu Lili!” kata Lili cemberut.

Lo Sian tersenyum. Air mukanya mulai berseri dan bercahaya seakan-akan kehidupan baru memasuki tubuhnya. Ia merasa gembira dapat melihat kejenakaan, kemanjaan, dan kegagahan nona ini, maka ia lalu menjawab,

“Baiklah, Lili, walau pun aku sama sekali tidak mengerti mengapa kau menyebutku Suhu, padahal kalau melihat kepandaianmu, lebih patut akulah yang menjadi muridmu!”

Demikianlah, setelah menanti sampai tiga hari akan tetapi tidak melihat kedatangan Hong Beng dan Goat Lan, Lili menjadi hilang kesabaran dan ia mengajak Lo Sian menuju ke Shaning kembali ke rumah orang tuanya.

Di sepanjang jalan tiada hentinya Lili menuturkan hal-hal yang terjadi pada waktu dahulu kepada Lo Sian, namun, Sin-kai Lo Sian mendengar semua ini sebagai hal yang baru sama sekali dan ia tidak ingat apa-apa melainkan kematian Lie Kong Sian! Ini pun tak ia ketahui sebab-sebabnya. Lupalah dia akan nama-nama seperti Ban Sai Cinjin, Hok Ti Hwesio, Mo-kai Nyo Tiang Le dan yang lain-lain.

********************

Mengapa Hong Beng dan Goat Lan yang sedang dinanti-nanti oleh Lili tidak juga datang menyusul ke kota Ki-ciu seperti yang telah mereka janjikan? Mari kita ikuti pengalaman mereka. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, kedua orang muda ini menuju ke kota Ta-liong untuk memenuhi undangan pibu yang diterima oleh Hong Beng dari kelima ketua dari Hek-tung Kai-pang.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hong Beng bersama Goat Lan sudah menuju ke tempat terbuka di mana kemarin harinya Hong Beng sudah menolong Lo Sian dari keroyokan para anggota Hek-tung Kai-pang. Ternyata ketika mereka tiba di tempat itu, di sana sudah berkumpul puluhan orang pengemis anggota Hek-tung Kai-pang dan semua orang itu telah membuat lingkaran.

Di tengah-tengah lingkaran, nampak sebuah meja butut dan beberapa buah bangku butut pula. Di belakang meja, lima orang nampak menduduki lima buah bangku, duduk berjajar bagaikan arca batu. Kelima orang ini bukan lain adalah lima orang ketua dari Hek-tung Kai-pang yang sesungguhnya bukanlah saudara-saudara sekandung melainkan saudara-saudara angkat yang telah bersumpah sehidup semati. Selain dari pada ini, mereka juga merupakan saudara seperguruan, karena kelimanya adalah murid dari Hek-tung Kai-ong, pencipta dari Hek-tung Kai-pang dan ilmu tongkat hitam yang amat lihai.

Lima orang ketua ini kesemuanya berpakaian tambal-tambalan dan usia mereka antara empat puluh sampal lima puluh tahun. Setelah mengangkat saudara menjadi ketua dari Hek-tung Kai-pang, mereka sudah memakai nama baru dengan she (nama keturunan) Hek pula yaitu Hek Liong, Hek Houw, Hek Pa, Hek Kwi dan Hek Sai.

Semenjak lima saudara ini menemukan buku pelajaran silat dari guru mereka yang telah meninggal dunia, dan bersama-sama melatih lagi Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat dari kitab ini, kepandaian mereka meningkat tinggi sekali dan tiap kali ada pemilihan pengurus baru tiada seorang pun yang dapat mengalahkan mereka! Baru menghadapi seorang di antara mereka saja sudah amat berat, apa lagi kalau menghadapi mereka berlima sekaligus!

Bagaimana pun juga, Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam ini mendapat nama baik di kalangan kang-ouw. Juga Ngo-hek-pangcu (Lima Ketua Hek) ini tidak tercela namanya, karena selama memegang pimpinan, mereka selalu berlaku adil dan juga melakukan perbuatan-perbuatan gagah.

Akan tetapi, tentu saja sebagai ketua-ketua dari perkumpulan seperti Hek-tung Kai-pang yang amat terkenal, mereka juga mempunyai keangkuhan. Ketika mereka tiba di Ta-liong dari kota raja dan mendengar bahwa anak buah mereka yaitu para kepala ranting dan cabang yang sudah berkumpul di situ, telah dihajar oleh seorang pemuda yang membela seorang pengemis golongan lain yang datang mengacau, mereka menjadi penasaran sekali. Maka diutuslah anak buah mereka untuk menantang pibu kepada pemuda itu.

Kini, pagi-pagi sekali Ngo-hek-pangcu telah bersiap sedia menunggu kedatangan orang yang ditantangnya. Melihat kedatangan dua orang muda, seorang pemuda tampan dan gagah bersama seorang gadis cantik jelita, maka kelima orang pangcu ini merasa heran dan juga secara diam-diam mereka merasa kagum. Inikah orangnya yang sudah dapat mengocar-ngacirkan para pemimpin ranting? Hampir tak dapat dipercaya!

Namun, sebagai orang-orang kang-ouw yang ulung, mereka tidak berani memperlihatkan sikap memandang rendah dan segera mereka bangun berdiri ketika melihat Hong Beng dan Goat Lan menghampiri mereka.

“Maafkan kami, sahabat muda yang gagah. Kami sebagai pengemis-pengemis hina dina dan miskin tentu saja tidak dapat menyambut kedatanganmu sebagai mana layaknya seorang tamu agung dihormati,” kata Hek Liong, ketua yang paling tua di antara kelima orang itu.

Merahlah telinga Hong Beng mendengar ucapan dan melihat sikap ini. Ia merasa betapa ‘tuan rumah’ ini terlalu berlebih-lebihan merendahkan diri dan mengangkatnya sebagai tamu agung. Akan tetapi Hong Beng memang berwatak sabar dan tenang, maka dia menjawab sambil menjura pula.

“Akulah yang minta maaf, Pangcu (Ketua)! Aku sebagai orang luar yang masih hijau dan bodoh, berani datang mengganggu ketenanganmu. Memang serba sulitlah kedudukanku, Pangcu. Tidak datang memenuhi panggilanmu, tentu akan mengecewakan hati Ngo-wi yang gagah, sebaliknya memenuhi undangan, berarti mengganggu rapat ini!”

Mendengar ucapan yang panjang lebar ini, serta melihat sikap pemuda yang tenang sekali itu, kelima ketua itu diam-diam makin mengindahkan sikap Hong Beng. Pemuda dengan sikap seperti ini tak boleh dipandang ringan, pikir mereka.

“Dan bolehkah kiranya kami bertanya, dengan keperluan apakah Nona ini ikut datang ke sini?”

Goat Lan tersenyum dan dengan jenaka sekali dia tersenyum kemudian menjura sambil menjawab, “Ngo-wi Pangcu (Lima Tuan Ketua), aku hanyalah seorang perantau yang menjadi sahabat baik orang muda ini. Ketika mendengar sahabat baikku ini mendapat undangan dari perkumpulan Hek-tung Kai-pang, hatiku amat tertarik sekali. Aku bersama kedua suhu-ku, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, sudah sering kali mengunjungi orang-orang besar di dunia kang-ouw dan mengunjungi perkumpulan-perkumpulan orang gagah di dunia ini yang banyak macamnya. Akan tetapi, sungguh aku belum pernah bertemu dengan Perkumpulan Hek-tung Kai-pang yang sudah sangat tersohor di empat penjuru ini!”

Goat Lan sengaja memperkenalkan diri sebagai murid Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu, karena ia mengharapkan nama-nama kedua orang gurunya dapat melemahkan hati kelima orang pangcu itu sehingga permusuhan dapat dicegah. Memang gadis yang cantik ini tepat sekali perhitungannya, karena saat mendengar nama kedua orang tokoh persilatan yang tinggi dan tersohor namanya ini, kelima orang pangcu itu lalu berdiri dari tempat duduk mereka dan menjura ke arah Goat Lan.

“Ahh, sungguh mata kami seperti buta saja, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Silakan duduk, Lihiap (Pendekar Wanita), dan perkenalkan nama kami lima pangcu dari Hektung Kai-pang.” Kelima orang raja pengemis itu lalu memperkenalkan nama mereka seorang demi seorang.

Hong Beng juga memperkenalkan nama demikian pula Goat Lan. Berbeda dengan Goat Lan, Hong Beng tidak mau menceritakan siapa gurunya dan siapa pula orang tuanya. Ia ingin melihat bagaimana sikap raja-raja pengemis itu.

Akan tetapi setelah mempersilakan kedua orang tamunya itu mengambil tempat duduk, agaknya kelima orang ketua Hek-tung Kai-pang itu tidak mempedulikan mereka lagi dan melayani orang-orang yang mulai datang, dan di antara para pendatang baru itu, nampak pula tiga orang pengemis yang membawa tongkat berbentuk ular. Mereka ini adalah para ketua Coa-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Ular) dari timur yang besar juga besar pengaruhnya.

Selain tiga orang ketua Coa-tung Kaipang ini, nampak juga seorang tosu tinggi kurus, dan seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya dikuncir panjang ke belakang dan memakai topi bundar, sikapnya kasar dan berlagak. Tosu ini adalah seorang ahli silat yang bernama Beng Beng Tojin, seorang tokoh Bu-tong-san yang suka merantau. Ada pun orang bertopi bundar itu adalah seorang kasar yang terkenal sebagai ahli gwakang (tenaga kasar) dan ahli tiam-hoat (menotok jalan darah). Namanya Cong Tan dan dia memiliki julukan It-ci-sinkang (Si Jari Tangan Lihai).

Kelima saudara Hek yang menjadi ketua Hek-tung Kai-pang itu menyambut kedatangan lima orang ini dengan penuh penghormatan pula, akan tetapi mereka tidak dipersilakan duduk seperti Hong Beng dan Goat Lan.

Hong Beng dan Goat Lan saling pandang dan keduanya merasa heran mengapa tuan rumah tidak mempedulikan mereka lagi, dan bagaimanakah dengan pibu yang diajukan oleh kelima orang ketua itu? Bagi Hong Beng dan Goat Lan, memang mereka berharap supaya tidak terjadi salah paham atau permusuhan, akan tetapi mereka pun, terutama Hong Beng tidak akan merasa puas sebelum mencoba kepandaian kelima orang tokoh Hek-tung Kai-pang yang terkenal itu.

Setelah menyambut tamu-tamu yang baru datang, Hek Liong, saudara tertua dari kelima orang itu, lalu berkata dengan suara keras kepada para pemimpin Hek-tung Kai-pang yang hadir di situ.

“Kawan-kawan sekalian! Sebagaimana telah ditentukan kemarin, maka pemilihan ketua akan dilakukan hari ini. Oleh karena hari ini sudah tiba waktunya bagi kami yang sudah memenuhi tugas sebagai ketua, maka dengan ini kami menyatakan turun dari kedudukan ketua untuk menghadapi pemilihan baru. Nah, silakan kawan-kawan yang mempunyai calon untuk mengajukan calonnya!”

Setelah ketua mereka membuka rapat istimewa itu, maka ramailah suara para anggota perkumpulan pengemis itu. Ternyata bahwa kelima orang tamu yang datang itu, yaitu ketiga ketua Coa-tung Kai-pang, Beng Beng Tojin, dan Cong Tan, datang atas kehendak mereka sendiri dengan niat hendak mencoba merobohkan ketua lama untuk menduduki kedudukan ketua baru dari Hek-tung Kai-pang. Semua yang hadir dengan suara bulat memilih kelima saudara Hek sebagai ketua lagi.

“Kami memilih Ngo-hek-pangcu agar tetap menjadi ketua kami!” seru suara para hadirin dengan serentak.

Mendengar seruan para anggota Hektung Kai-pang ini, ketiga ketua Coa-tung Kai-pang itu segera berdiri dengan senyum mengejek. Mereka ini adalah ketua tingkat dua dari Coa-tung Kai-pang, dan usia mereka baru tiga puluh tahun lebih. Sikap mereka amat tinggi dan memandang rendah sedangkan mulut mereka selalu tersenyum seolah-olah menghadapi perkumpulan yang jauh lebih kecil dari pada perkumpulan mereka sendiri. Juga pakaian tambal-tambalan yang mereka pakai jauh berbeda dengan pakaian para pemimpin Hek-tung Kai-pang, karena biar pun pakaian mereka penuh tambalan, namun baik pakaian dasar mau pun tambalannya amat bersih!

“Cu-wi sekalian,” kata yang tertua di antara mereka, yaitu seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, “kami adalah anggota-anggota dewan pimpinan dari Coa-tung Kai-pang di timur yang mewakili perkumpulan kami. Kedatangan kami ini membawa maksud yang amat mulia. Menurut hasil perundingan dewan pengurus kami, maka sungguh tidak layak kalau di negeri ini terdapat terlalu banyak perkumpulan seperti yang kita sekalian dirikan. Mungkin Cu-wi sekalian juga pernah mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) dari Secuan bersama Lo-kai Hwe-koan (Rumah Perkumpulan Pengemis Tua) dari Shantung, keduanya sudah bergabung dan melebur perkumpulan mereka menjadi cabang dari perkumpulan kami Coa-tung Kai-pang yang terbesar dan jaya! Oleh karena itu, maka kedatangan kami ini merupakan wakil dari pada perkumpulan kami untuk minta Cu-wi sekalian menginsyafi hal ini dan melebur perkumpulan Hek-tung Kai-pang menjadi cabang pula dari Coa-tung Kai-pang kami!”

Ucapan ini menyatakan betapa sombongnya Si Muka Hitam itu. Kalau dia dengan suara membujuk minta agar supaya Perkumpulan Tongkat Hitam itu suka menggabungkan diri dengan Perkumpulan Tongkat Ular, ini masih bisa diterima. Akan tetapi ia menggunakan ucapan agar supaya Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam insyaf dan mau melebur diri menjadi cabang Coa-tung Kai-pang! Sungguh-sungguh tak melihat muka para pemimpin Hek-tung Kai-pang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)