PENDEKAR REMAJA : JILID-24


Pada saat Goat Lan dan Hong Beng keluar dari situ, mereka melihat tiga orang perwira menyusul mereka dan berjalan mengikuti mereka.

“Kalian mau apa?” Goat Lan membentak marah.

“Oleh karena Ji-wi hendak mengobati putera Kaisar, maka kami disuruh mengikuti Ji-wi dan mencari tahu di mana Jiwi bermalam, agar mudah memanggil apa bila ada perintah dari Kaisar untuk memanggil Ji-wi menghadap,” jawab seorang perwira itu.

Hong Beng dan Goat Lan tidak dapat membantah dan sesudah mereka mendapat kamar dalam sebuah hotel, ketiga orang perwira itu pergi meninggalkan mereka.

“Malam ini kita harus berhati-hati sekali,” kata Hong Beng kepada Goat Lan. “Siapa tahu kalau-kalau ada penjahat datang hendak mengganggu. Ayah sering kali bercerita tentang penjahat-penjahat yang pandai di kota raja.”

Goat Lan mengangguk dan dia masuk ke dalam kamarnya setelah makan malam. Hong Beng juga duduk di dalam kamarnya, duduk bersila di atas ranjang, tidak mau tidur, dan hanya beristirahat sambil bersemedhi.

Menjelang tengah malam, baik Hong Beng mau pun Goat Lan yang duduk bersemedhi pula, dapat mendengar gerakan kaki beberapa orang yang amat ringan dan halus di atas genteng hotel. Kedua orang muda itu tersenyum dan dengan penuh perhatian keduanya memasang telinga untuk mengikuti gerak-gerik orang di atas genteng itu. Mereka berdua sudah memiliki pendengaran yang amat tajam, maka dengan mudahnya dapat menduga bahwa yang datang adalah tiga orang yang ilmu ginkang-nya cukup tinggi.

Kedua orang muda itu tidak bergerak, menanti sampai ketiga orang penjahat malam itu turun dari atas genteng. Akan tetapi sungguh mengherankan karena mereka bertiga itu tidak turun, hanya berjalan hilir mudik beberapa kali seperti orang-orang yang merasa ragu-ragu.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi genteng digeser, baik di atas kamar Hong Beng mau pun di atas kamar Goat Lan. Kedua orang muda itu dengan urat saraf tegang lalu menanti datangnya senjata rahasia, namun mereka tidak takut sama sekali. Hendak mereka lihat bagaimana penjahat-penjahat itu akan bertindak terhadap mereka di dalam kamar yang gelap itu.

Hong Beng sudah bersiap-siap dengan hati-hati sekali. Ia mempunyai dua dugaan, yaitu penjahat itu akan menyerang dengan senjata rahasia secara ngawur, atau mereka akan melompat turun ke dalam kamarnya dari atas genteng. Dan tiba-tiba dari atas melayang turun benda kecil, akan tetapi jauh dari tempat dia berdiri di sudut kamar.

Dia hampir tertawa melihat ketololan penjahat itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika benda itu jatuh di lantai, karena segera nampak asap mengebul. Dia hendak melompat keluar melalui jendela, akan tetapi tiba-tiba ia mencium bau yang amat wangi dan Hong Beng pun roboh terguling dalam keadaan pingsan! Ternyata bahwa asap itu adalah asap yang mengandung obat memabukkan yang luar biasa kerasnya.

Goat Lan mengalami peristiwa yang sama. Sebuah benda juga jatuh di dalam kamarnya dan mengeluarkan asap. Akan tetapi, sebagai murid Sin Kong Tianglo yang berjuluk Raja Obat atau Raja Tabib, gadis ini selalu mengantongi penolak racun. Begitu dia melihat benda itu mengeluarkan asap, dia telah menjadi curiga dan cepat dia memasukkan tiga butir pil merah ke dalam mulutnya, sehingga ketika dia mencium bau wangi itu, dia tidak jatuh pingsan, sungguh pun dia merasa agak pening juga.

“Bangsat curang!” dia memaki dan cepat tubuhnya melayang ke atas melalui jendela kamarnya.

Ia melihat bayangan dua orang hwesio di atas genteng, maka langsung ia menyerang dengan bambu runcingnya. Kedua orang hwesio itu bukan lain adalah Cu Tong Hwesio dan Cu Siang Hwesio. Mereka ini datang bersama Ang Lok Cu setelah mendapat kabar dari Bu Kwan Ji bahwa murid Sin Kong Tianglo telah datang membawa obat untuk putera Kaisar. Mereka hendak mendahului kedua orang muda itu dengan cara mencuri obat yang dibawanya.

Ang Lok Cu yang mempunyai julukan Ngo-tok Lo-kai (Setan Tua Lima Racun) kemudian mengeluarkan asap beracunnya yang sangat lihai untuk membuat kedua orang muda itu pingsan agar memudahkan pekerjaan mereka. Sesudah mendengar Hong Beng roboh di dalam kamarnya, Ang Lok Cu lalu melayang turun ke dalam kamar pemuda itu, ada pun kedua hwesio kawannya itu masih menanti untuk mendengarkan suara robohnya gadis di dalam kamar lain.

Akan tetapi alangkah terkejutnya kedua orang hwesio jahat itu ketika mendengar suara angin dan makian Goat Lan. Mereka lebih terkejut lagi pada saat melihat betapa dengan gerakan yang luar biasa cepatnya gadis cantik itu sudah menyerang mereka dengan dua batang bambu runcing yang menotok ke arah dada mereka.

Cu Tong Hwesio dan Cu Siang Hwesio cepat-cepat mengelak sambil mencabut pedang mereka, akan tetapi gerakan Cu Siang Hwesio kurang cepat sehingga satu tendangan susulan dari Goat Lan membuat dia menjerit kesakitan dan tubuhnya lantas terguling di atas genteng.

“Lihai sekali!” seru Cu Tong Hwesio dan tanpa membuang waktu lagi, melihat gadis itu benar-benar hebat sepak-terjangnya, segera hwesio ini menyambar tangan adiknya dan membawanya melompat turun dari atas genteng dengan gerakan cepat sekali.

Goat Lan tidak mau mengejar karena dia merasa kuatir akan keadaan tunangannya. Dia cepat melompat turun dan sekali tendang saja jendela kamar Hong Beng terbuka. Asap yang wangi keluar dari jendela itu.

Goat Lan masih dapat melihat berkelebatnya sesosok tubuh manusia keluar dari kamar tunangannya melalui lubang di atas genteng. Akan tetapi dia tidak mau mengejar, terus menghampiri ke dalam kamar dan cepat mencari tunangannya.

Ternyata bahwa tosu yang memasuki kamar Hong Beng itu sudah menyalakan lilin dan bahkan sudah sempat memeriksa buntalan pakaian Hong Beng. Goat Lan yang melihat tubuh tunangannya menggeletak di atas lantai, menjadi pucat.

Cepat dia mengangkat tubuh tunangannya itu ke atas pembaringan dan tanpa sungkan-sungkan lagi dia memeriksa. Dia menarik napas lega ketika mendapat kenyataan bahwa tunangannya itu tidak menderita sesuatu, hanya pingsan akibat asap yang memabukkan tadi. Dengan pertolongan air teh yang tersedia di atas meja, dia dapat membikin Hong Beng segera siuman dari pingsannya.

Hong Beng merasa malu sekali karena telah menjadi korban penjahat, akan tetapi Goat Lan lalu mengeluarkan beberapa butir pil dan memberikan itu kepada tunangannya.

“Aku yang kurang hati-hati,” katanya menghibur, “harusnya aku memberi beberapa butir obat penolak ini kepadamu untuk penjagaan. Yang datang tadi adalah orang-orang yang cukup pandai, meski pun bukan merupakan lawan yang harus ditakuti.” Kemudian Goat Lan menceritakan bahwa yang datang adalah dua orang hwesio dan seorang tosu.

“Aku tidak dapat melihat jelas wajah mereka,” kata gadis gagah ini, “apa lagi yang sudah memasuki kamarmu. Hanya kulihat ia adalah seorang yang berpakaian seperti tosu. Aku hanya berhasil menendang roboh seorang hwesio, sayang bahwa mereka sudah dapat melarikan diri. Gerakan mereka cukup cepat dan ringan sekali.”

“Sudah terang bahwa maksud kedatangan mereka itu untuk mencuri dan mencari obat yang kau bawa,” kata Hong Beng. “Agaknya mereka itu bukan kaki tangan perwira yang galak tadi.”

“Kukira juga bukan,” jawab Goat Lan, mungkin sekali mereka adalah ahli-ahli obat yang iri hati pada mendiang Suhu, dan hendak merampas obat agar supaya nama Suhu tetap tercemar.”

“Dugaanmu betul. Melihat asap beracun tadi, tentulah mereka itu mempunyai kepandaian tentang obat-obatan. Mungkin juga mereka hendak mencuri obat supaya mereka dapat mengobati putera Kaisar dan merekalah yang akan berjasa.”

Demikianlah, kedua orang muda itu bercakap-cakap dengan asyik. Tiba-tiba Goat Lan teringat bahwa sudah terlalu lama dia berada di kamar Hong Beng, maka dengan wajah merah dia lalu berdiri dan berkata,

“Koko, aku harus kembali ke kamarku sendiri!”

Sebelum Hong Beng menjawab, gadis itu melompat keluar dari jendela kamar itu, pergi meninggalkan Hong Beng yang masih berdiri bengong saking kagumnya melihat wajah tunangannya yang demikian manisnya tersinar oleh penerangan lilin! Ia menghela napas lalu menutup kembali jendelanya, kemudian ia melompat naik ke atas pembaringan dan rebah membayangkan wajah Goat Lan yang cantik manis!

Pada keesokan harinya, Goat Lan dan Hong Beng sudah menghadap Bu Kwan Ji yang menerima mereka dengan muka ramah sehingga kedua orang muda itu berlaku semakin hati-hati sekali. Sikap ini bukan menyenangkan hati mereka, bahkan lantas menimbulkan kecurigaan di dalam hati.

“Ji-wi telah diterima oleh Hong-siang dan sekarang juga dipersilakan untuk menghadap,” katanya dengan senyum manis dibuat-buat.

Dengan dikawal oleh Bu Kwan Ji bersama dua belas orang perwira bayangkari yang gagah dan berpakaian indah, sepasang orang muda itu memasuki istana yang luar biasa indahnya. Bagaikan dua orang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar, Hong Beng, dan Goat Lan memandang ke kanan kiri dan tiada habisnya memuji dan mengagumi perabot yang memang luar biasa indahnya dan jarang dapat terlihat oleh umum.

Mereka diterima oleh Kaisar dan Permaisuri sendiri! Bukan dalam persidangan umum, di mana sekalian hamba sahaya dan bayangkari menghadap Kaisar, melainkan pertemuan tersendiri.

Mata Hong Beng dan Goat Lan merasa silau oleh pakaian yang dipakai oleh Kaisar dan Permaisuri, karena itu dari jauh mereka sudah menjatuhkan diri berlutut bersama semua perwira yang mengawal mereka.

“Betulkah kalian datang membawa obat untuk putera kami?” terdengar Kaisar bertanya.

Goat Lan tidak berani menjawab. Dia merasa seakan-akan lehernya tersumbat, sehingga Hong Beng yang mewakili.

“Benar, Paduka yang mulia. Hamba berdua mewakili Yok-ong Sin Kong Tianglo, datang membawa obat dan hendak mencoba mengobati putera Paduka, mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa akan memberi berkah-Nya.”

“Hemm, kami telah mendengar akan kesombongan Raja Obat itu! Kami juga telah bosan mendengar kesanggupan ahli-ahli obat. Tahukah kalian bahwa sudah ada empat orang ahli obat kami jatuhi hukuman mati karena mereka tidak dapat memenuhi kesanggupan mereka? Kami memberitahukan hal ini karena sayang melihat kalian yang masih muda dan rupawan. Sekarang tinggalkan sebuah obatmu untuk kami cobakan kepada putera kami, mudah-mudahan ada hasilnya.”

“Mohon maaf sebanyaknya apa bila hamba berani membantah,” tiba-tiba Goat Lan nekad berkata. “Menurut pesan terakhir dari Suhu, haruslah hamba sendiri yang meminumkan obat itu kepada putera Paduka.”

Berkerutlah kening Kaisar itu. “Apa? Apakah kau tidak percaya kepadaku? Tidak percaya kepada ahli-ahli pengobatan yang berada di dalam istana?”

“Bukan demikian, akan tetapi…”

“Cukup! Kau ini anak gadis masih muda, sampai berapa tinggi kepandaian dan berapa banyak pengalamanmu. Tabib-tabibku adalah orang-orang pandai yang berpengalaman. Tinggalkan obat itu dan kalian harus tunggu di dalam kota raja, jangan sekali-kali keluar dari kota raja sebelum ada hasil pengobatan itu!”

Bukan main gelisahnya hati Goat Lan, akan tetapi dia tidak berani membantah. Suara Kaisar itu dan keadaannya sungguh amat berpengaruh. Kemudian dengan kedua tangan menggigil dia mengeluarkan sebutir buah Giok-ko.

“Hamba mentaati perintah,” katanya kemudian. “Harap saja buah ini diberikan kepada putera Paduka yang sakit untuk dimakan mentah-mentah.”

Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan Bu Kwan Ji maju untuk mewakili Kaisar menerima buah itu. Bukan main mangkelnya hati Goat Lan. Mengapa Kaisar percaya kepada orang macam ini? Akhirnya dia dan Hong Beng dipersilakan keluar dari istana.

Sesudah keluar dari istana yang mewah dan megah itu, Goat Lan membanting-banting kakinya. “Kaisar bod...”

“Sssttt,” kata Hong Beng mencegah.

“Kita lihat saja bagaimana perkembangannya, Moi-moi. Marah saja tak akan ada artinya. Harus kau ingat bahwa pengobatan dan segala jerih payahmu ini bukan khusus untuk menolong Pangeran yang sedang sakit, melainkan untuk menjaga nama suhu-mu.”

Keduanya lalu berjalan perlahan kembali ke hotel mereka. Mendadak terdengar seruan girang,

“Lihiap...!”

Mereka menengok dan melihat seorang pemuda tanggung berusia kurang lebih empat belas tahun yang berwajah tampan dan berpakaian indah sedang duduk di atas seekor kuda putih, diiringi oleh empat orang pengawal berpakaian sebagai guru-guru silat.

“Kau...?” Goat Lan merasa kenal dengan pemuda bangsawan ini.

Ketika pemuda tanggung itu melompat turun, teringatlah ia bahwa dia adalah Ong Tek, putera Pangeran Ong yang dulu menjadi murid Ban Sai Cinjin dan yang telah ditolongnya dari bahaya maut ketika diserang oleh gurunya sendiri!

“Lihiap, kau hendak ke manakah? Sungguh sangat menggirangkan hati dapat bertemu dengan penolongku yang tidak pernah kulupakan di tempat ini!”

Dengan sikap masih kekanak-kanakan Ong Tek lalu menghampiri Goat Lan dan menjura dengan hormatnya. Cepat Goat Lan membalasnya, karena banyak orang yang melihat mereka dengan mata heran. Siapakah yang tidak merasa heran melihat putera pangeran beramah-tamah dengan seorang gadis biasa?

“Lihiap, marilah kau singgah di rumah orang tuaku, mereka telah merasa rindu dan ingin sekali bertemu dengan penolongku.”

Menghadapi keramahan anak ini, Goat Lan tidak dapat menolak dan dia menganggukkan kepalanya. Ong Tek menjadi girang sekali dan ketika dia melihat Hong Beng dia segera bertanya, “Lihiap, siapakah Twako yang gagah ini?”

“Dia adalah... kawan baikku, dan kedatanganku juga bersama dia.”

Ong Tek yang terpelajar itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Hong Beng yang membalasnya dengan tersenyum. Dia suka juga melihat anak yang sopan dan peramah ini.

“Silakan naik kuda pengawalku!” kata Ong Tek, yang menyuruh dua orang pengawalnya turun dari kuda.

Akan tetapi Goat Lan dan Hong Beng tentu saja menolaknya dan menyatakan lebih baik berjalan kaki. Ong Tek tak dapat memaksa dan dia pun lalu menyuruh para pengawalnya berangkat lebih dulu sambil membawa kudanya, mengabarkan bahwa penolongnya akan datang ke rumahnya. Dia sendiri lalu berjalan kaki bersama dua orang muda itu!

Rumah gedung Pangeran Ong Tiang Houw, ayah Ong Tek, sangat besar dan megah. Pangeran ini cukup berpengaruh, oleh karena dia masih terhitung keluarga dekat dengan Kaisar. Maka ia amat disegani. Akan tetapi oleh karena dia amat setia kepada Kaisar dan tak mau berbaik dengan para pembesar durna, maka diam-diam banyak pembesar yang membencinya.

Ketika Goat Lan dan Hong Beng tiba di gedung itu, mereka merasa amat malu-malu dan sungkan sebab ternyata bahwa Pangeran Ong Tiang Houw beserta isterinya menyambut mereka sendiri sampai di depan pintu, diiringi oleh banyak sekali pelayan dan pengawal!

Begitu berhadapan, ibu Ong Tek lalu maju dan merangkul Goat Lan. Ia menatap wajah pendekar wanita itu dengan kagum, lalu berkata, “Ahhh, melihat kau begini cantik dan lemah-lembut, sukarlah bagiku untuk percaya cerita Tek-ji (Anak Tek) bahwa kau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa yang telah menolong nyawa anakku.”

Dengan muka kemerah-merahan Goat Lan lalu mengucapkan kata-kata merendah. Juga Pangeran Ong menyatakan kegembiraan dan kekagumannya.

“Nona, siapakah sebenarnya namamu? Putera kami sendiri masih tidak tahu siapa nama penolongnya.”

Dengan sikap hormat dan manis Goat Lan segera memperkenalkan namanya dan juga nama Hong Beng. Ketika mendengar bahwa Goat Lan adalah puteri Kwee An dan Hong Beng putera Pendekar Bodoh, Pangeran Ong makin menghormat sikapnya. Kedua orang muda itu lalu diajak masuk ke dalam di mana mereka diterima dengan jamuan makan yang mewah serta percakapan yang amat ramah tamah dan meriah.

Pada saat mereka sedang makan minum sambil bercakap-cakap, ditemani oleh beberapa orang pengawal kepala yang duduk di meja lain, tiba-tiba seorang penjaga pintu datang menghadap Pangeran Ong dengan wajah pucat.

“Taijin, di luar ada utusan dari Hong-siang (Kaisar) yang minta agar Paduka dan tamu Paduka keluar.”

Pangeran Ong mengerutkan kening mendengar ini. Tidak biasa Kaisar mengutus orang pada saat seperti ini, dan sepanjang ingatannya, tidak ada urusan penting di istana. Tapi betapa pun juga, dia lalu berdiri dari tempat duduknya dan Hong Beng yang mendengar ucapan penjaga itu pun segera bangun berdiri mengikuti tuan rumah keluar dari ruangan dalam.

Ada pun Goat Lan yang duduk bercakap-cakap dengan Nyonya Ong, hanya memandang ke arah Hong Beng, seakan-akan ia menyatakan sudah cukup diwakili oleh tunangannya itu untuk melihat apakah yang terjadi di luar gedung.

Ketika Pangeran Ong dan Hong Beng tiba di luar, ternyata yang datang adalah Perwira Bu Kwan Ji sendiri, diikuti oleh lima orang perwira lain. Melihat Pangeran Ong, Bu Kwan Ji memberi hormat karena kedudukan Pangeran ini jauh lebih tinggi dari pada kedudukan dia sendiri yang hanya sebagai kepala pengawal raja.

“Mohon dimaafkan bila hamba mengganggu Taijin. Hamba mendapat keterangan bahwa kedua orang muda yang lancang berani memberi obat palsu kepada Pangeran yang sakit sedang berada di gedung Taijin, maka hamba datang hendak menangkap mereka.” Dia memandang ke arah Hong Beng yang berdiri dengan tenangnya.

Pangeran Ong memandang heran. Memang sesungguhnya Hong Beng dan Goat Lan tidak menceritakan kepadanya tentang hal pengobatan itu.

“Bu-ciangkun, apakah kau mengimpi? Memang ada kedua orang tamuku di sini, akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa. Inilah seorang di antaranya, ia adalah putera dari Pendekar Bodoh, apakah ini yang kau maksudkan?”

Bu Kwan Ji tertegun mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Pendekar Bodoh, akan tetapi dia dapat menetapkan hatinya dan berkata, “Betul, Taijin. Dia inilah dan seorang gadis telah berani memberi obat palsu kepada Hong-siang dan setelah diberikan kepada Pangeran yang sakit, ternyata obat itu membuat sakitnya lebih berat!”

Hong Beng melangkah maju, “Ciangkun, apakah bicaramu itu boleh dipercaya?”

“Kenapa tidak? Hayo kau menyerah untuk kami tangkap! Kau dan kawanmu telah berani mati mencoba meracuni Pangeran!” Sambil berkata demikian, Bu Kwan Ji bergerak maju diikuti lima orang kawannya. Akan tetapi Hong Beng sudah marah sekali.

“Maaf, Ong-taijin,” katanya kepada Pangeran Ong, “terpaksa hamba akan melayani para perwira kasar ini.” Dia lalu menantang kepada Bu Kwan Ji dengan suara keras. “Perwira she Bu, aku tidak percaya akan semua ucapanmu itu! Jika memang benar kata-katamu, antarkanlah aku dan kawanku ke tempat Pangeran yang sedang sakit berada, agar kami dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri!”

“Hemm, penjahat muda. Apakah kau hendak datang dan membunuh Pangeran dengan kedua tanganmu sendiri, setelah obat racunmu tidak berhasil membunuhnya?”

Keadaan menjadi tegang dan Pangeran Ong segera berlari masuk sambil berkata, “Baik kupanggil Nona Kwee!” Sementara itu, dua orang pengawalnya berdiri menjaga di pintu, sedangkan Hong Beng berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang.

Tiba-tiba terdengar suara bergelak dari sebelah belakang para perwira itu dan tahu-tahu seorang kakek tua yang berpakaian mewah dan membawa sebatang huncwe panjang melangkah maju.

“Bu-ciangkun, pemuda ini mengaku sebagai putera Pendekar Bodoh! Ha-ha-ha! Agaknya semua penjahat muda suka menggunakan nama Pendekar Bodoh untuk menakut-nakuti orang. Akan tetapi aku tidak takut! Biarlah aku menolong kalian menangkapnya!”

Orang tua itu bukan lain adalah Ban Sai Cinjin! Walau pun Hong Beng belum pernah melihat sendiri kakek ini, akan tetapi ia telah mendengar dari Goat Lan tentang kakek ini. Pada saat Ban Sai Cinjin mengirim huncwe-nya ke arah Hong Beng, pemuda ini merasa betapa ada angin yang keras menyambar ke arahnya.

Cepat ia mengelak dan kini ia tidak merasa ragu-ragu lagi. Melihat kelihaian sambaran huncwe tadi, ia maklum bahwa tentulah ini orangnya yang pernah bertempur dengan Lili dan Goat Lan.

“Apakah ini yang disebut Huncwe Maut?” katanya mengejek. “Biar kulihat sampai dimana sih kepandaianmu maka kau bisa sejahat itu!”

Ban Sai Cinjin merasa penasaran sekali ketika sambaran huncwe-nya dapat dielakkan dengan secara mudah sekali oleh pemuda itu. Tadinya ia masih memandang rendah dan sama sekali tidak percaya bahwa pemuda ini pun putera Pendekar Bodoh, maka ia lalu maju menyerang dengan cepatnya.

Akan tetapi, akhirnya ia merasa ragu-ragu dan terkejut sekali karena gerakan pemuda itu benar-benar luar biasa sekali. Dengan ilmu ginkang yang ringannya bagai seekor burung walet, pemuda itu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan huncwe-nya, malah kini membalas dengan serangan pukulan tangan kosong yang luar biasa sekali. Semakin besar rasa terkejutnya pada saat dia mengenal ilmu silat pemuda ini sebagai Ilmu Silat Pat-kwa Ciang-hoat, yaitu satu-satunya ilmu silat di dunia barat yang menjadi kepandaian seorang tokoh besar.

“Eh, dari mana kau mencuri ilmu silat dari Pok Pok Sianjin?” bentaknya sambil mengayun huncwe-nya.

“Tua bangka rendah! Pok Pok Sianjin adalah Suhu-ku, kau mau apa?” maki Hong Beng sambil mempercepat gerakannya.

Pertempuran berjalan ramai sekali dan sungguh pun Hong Beng menghadapinya dengan tangan kosong, akan tetapi dalam beberapa belas jurus ini belum kelihatan pemuda itu terdesak, bahkan ia menggunakan kegesitan dan keringanan tubuhnya untuk menyambar-nyambar dari atas dan mengirim pukulan dan tendangan ke arah kepala lawannya!

Bukan main terkejut dan marahnya Ban Sai Cinjin. Tadi ia telah menyombong di depan Bu Kwin Ji dan ketiga orang tabib istana untuk menangkap dua orang muda yang hendak mencoba mengobati Pangeran, akan tetapi sekarang baru menghadapi seorang di antara kedua orang muda itu saja, ia tidak dapat menangkapnya, biar pun pemuda itu bertangan kosong!

Ia berseru keras dan dengan cepat ia menjemput tembakau hitam dari kantong tembakau yang tergantung pada huncwe-nya, memasukkan tembakau itu pada kepala huncwe-nya yang masih berapi. Tak lama kemudian mengepullah asap hitam dari huncwe-nya!

Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan putih kemerahan dan tahu-tahu Goat Lan sudah melompat dari dalam dan berdiri di depan kedua orang pengawal Pangeran Ong yang berdiri menjaga di depan pintu masuk. Di belakangnya nampak Ong Tek berlari-lari mengikutinya. Kini keduanya berdiri bengong memandang ke arah mereka yang sedang bertempur.

Ong Tek memandang dengan hati berdebar ngeri ketika mengenal bekas gurunya yang sedang menyerang Hong Beng, ada pun Goat Lan juga merasa heran mengapa kakek ini tiba-tiba saja bisa muncul di tempat itu. Akan tetapi ketika dia melihat huncwe yang telah mengepulkan asap hitam, tak terasa pula ia mendekatkan telunjuknya ke mulut. Hatinya gelisah dan ia memandang dengan hati kuatir sekali akan keselamatan tunangannya.

“Hati-hati, Koko, asap tembakaunya beracun! Biar aku menghadapi pesolek tua bangka ini!” Setelah berkata demikian, dia mencabut sepasang bambu runcingnya dan melompat ke kalangan pertempuran.

Bukan main kagetnya hati Ban Sai Cinjin ketika ia melihat gadis yang pernah mengacau kuilnya dulu. Dia cepat memutar huncwe-nya untuk menangkis bambu runcing yang telah dikenal kelihaiannya itu.

Sungguh sial, pikirnya. Keadaan pemuda itu saja sudah merupakan kesialan baginya, karena tadinya ia tidak percaya bahwa pemuda ini benar-benar putera Pendekar Bodoh dan memiliki ilmu silat sedemikian lihainya, bahkan ternyata masih murid Pok Pok Sianjin pula! Dan sama sekali tidak pernah ia bermimpi bahwa gadis yang membawa obat untuk Pangeran itu adalah Kwee Goat Lan yang lihai!

Menghadapi kedua orang muda ini, dia tidak akan menang, pikirnya. Karena itu, setelah menyemburkan asap hitam tembakaunya, dia lalu melompat mundur dan lari keluar dari tempat itu! Goat Lan memutar sepasang bambu runcingnya untuk memukul buyar asap hitam yang bergumpal-gumpal, sedangkan Hong Beng juga melompat mundur sambil menggerakkan kedua tangannya supaya mendatangkan angin mengusir asap berbahaya tadi.

Pada saat keduanya memandang ke depan, ternyata rombongan perwira tadi pun sudah lenyap dari sana! Pangeran Ong Tiang Houw sudah keluar pula dan Pangeran ini marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan berkata dengan gemas,

“Terlalu sekali si Bu Kwan Ji! Aku harus memprotes hal ini di hadapan Kaisar! Perwira itu sudah sepatutnya diganti dengan orang lain! Sungguh kurang ajar, di rumahku dia berani berlagak seperti itu!”

Ada pun Goat Lan merasa marah sekali dan juga mendongkol. “Telah susah payah Suhu mencarikan obat sampai mengorbankan nyawa dan aku melanjutkan usahanya mencari obat itu, tidak tahu hanya begini saja terima kasih orang! Koko, apa gunanya mengobati orang yang tidak tahu terima kasih? Aku mau pulang saja ke Tiang-an!”

Walau pun telah dibujuk oleh Pangeran Ong, Goat Lan tetap tidak mau tinggal lebih lama di gedung Pangeran itu dan bersama Hong Beng lalu keluar dari situ. Akan tetapi Hong Beng berhasil membujuk Goat Lan agar jangan meninggalkan kota raja dulu.

“Moi-moi, hatiku masih merasa amat curiga terhadap Bu Kwan Ji itu! Siapa tahu kalau dia yang main gila dan bukan Kaisar yang menyuruh menangkap kita? Dan siapa tahu pula kalau dia bermain gila dan mengganti obat buah mutiara itu dengan lain buah?”

Terkejut Goat Lan memandang kepada Hong Beng. “Mungkinkah ada orang berpangkat pengawal istana yang menghendaki kematian Pangeran?”

“Siapa tahu?” Hong Beng menggerakkan kedua pundaknya. “Menurut Ayah, di dunia ini banyak sekali terjadi kejahatan-kejahatan yang amat mengerikan. Iblis telah berkuasa di banyak hati manusia. Oleh karena itu, biarlah untuk sementara kita tinggal di hotel dan menanti perkembangan selanjutnya. Kita tidak usah kuatir, meski pun ada Ban Sai Cinjin yang membantu Bu Kwan Ji, kita tak perlu takut!”

Disebutnya nama ini membuat Goat Lan mengerutkan keningnya. “Aku tidak takut pada Huncwe Maut itu, hanya aku merasa heran sekali bagaimana kakek jahat itu bisa sampai ikut campur tangan? Benar-benar aneh!”

Memang ucapan Goat Lan beralasan. Mungkin para pembaca juga merasa heran seperti gadis cantik itu. Bagaimanakah tahu-tahu Ban Sai Cinjin bisa muncul di kota raja dan ikut membantu Bu Kwan Ji melakukan penangkapan?

Setelah rumahnya menderita amukan Lie Siong yang membakar dan membunuh banyak anak buahnya, diam-diam Ban Sai Cinjin menjadi terkejut dan mulai merasa khawatir. Ternyata bahwa keturunan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya memiliki kepandaian yang amat tinggi ilmu dan juga amat ganasnya.

Memang betul bahwa dia telah berhasil mengundang pembantu-pembantu yang tangguh seperti suheng-nya sendiri Wi Kong Siansu yang ilmu kepandaiannya belum tentu kalah oleh Pendekar Bodoh, juga dia sudah berhasil mengundang Thai-lek Sam-kui, Tiga Iblis Geledek dari Hailun yang juga memiliki ilmu kepandaian yang bisa diandalkan dan hanya sedikit di bawah tingkat Wi Kong Siansu.

Dia lalu mengadakan perundingan dengan suheng-nya dan tiga orang Iblis Geledek itu, bagaimana cara untuk menghadapi musuh-musuh besarnya, yaitu Pendekar Bodoh dan keturunannya serta kawan-kawannya.

“Mereka itu terlalu sombong dan mengandalkan kepandaian mereka,” berkata Ban Sai Cinjin, “kalau kita tidak mengambil tindakan, akan hancurlah nama kita! Seorang pemuda keturunan Pendekar Bodoh berani sekali membunuhi orang-orangku, tamu-tamuku dan juga membakar rumahku, benar-benar hebat sekali! Ilmu kepandaian Bu Pun Su ternyata telah diwarisi oleh orang-orang muda yang ganas dan kejam!”

Memang mudahlah bagi mulut untuk mengatakan kejam kepada lain orang, sama sekali tidak ingat akan kekekejaman sendiri yang dianggapnya selalu benar!

“Bagaimana pikiranmu kalau aku pergi mengunjungi Pendekar Bodoh untuk menegurnya dan sekalian menyampaikan undangan untuk pibu di puncak Thian-san tahun depan? Wi Kong Siansu tiba-tiba bertanya.

Tentu saja semua orang menyatakan persetujuan. “Akan lebih baik lagi kalau begitu. Kita bisa mempersiapkan diri, dan kalau Suheng bertemu dengan kawan-kawan sehaluan di tengah perjalanan, boleh sekalian minta bantuan mereka.”

Hailun Thai-lek Sam-kui tertawa bergelak-gelak dan saling pandang. “Masih tahun depan? Alangkah lamanya, kami kira sekarang akan diadakan pibu! Ah, kalau begitu biarlah kami bertiga melancong dulu menghibur hati, nanti musim semi tahun depan kami akan datang di Thian-san!” kata Thian-he Te-it Siansu, kakek yang kate gemuk dan selalu membawa payung itu.

Tiga orang ini termasuk orang-orang aneh yang tak dapat dihalangi kehendaknya, maka Ban Sai Cinjin juga tidak bisa mencegah keberangkatan mereka. Ia amat mengharapkan bantuan orang-orang ini dan kalau mereka sudah berjanji akan datang membantu pada nanti tahun depan di puncak Thian-san, tentu mereka tidak akan melanggar janji. Ia lalu memberi bekal banyak uang emas dan barang-barang berharga, yang tentu saja diterima oleh Hailun Thai-lek Sam-kui dengan gembira.

Demikianlah, Wi Kong Siansu dan muridnya, Song Kam Seng, lalu berangkat menuju ke Shaning untuk mencari Pendekar Bodoh dan di tengah perjalanan, yaitu di Lianing, dia bertemu dengan Lili dan Lo Sian seperti sudah dituturkan di depan dan menyampaikan tantangan pibunya melalui gadis puteri Pendekar Bodoh itu.

Setelah Thai-lek Sam-kui pergi, Ban Sai Cinjin yang ditinggal seorang diri merasa tidak enak sekali. Diam-diam dia lantas memikirkan nasibnya yang seakan-akan dikelilingi oleh lawan-lawan muda yang amat tangguhnya.

Dia tidak merasa gentar, akan tetapi sesunguhnya ada perkara yang lebih penting dan besar dari pada perkara permusuhannya dengan golongan Pendekar Bodoh. Dari para sahabatnya di kota raja, dia mendengar tentang keadaan yang sangat genting di dalam istana. Biar pun dari luar tidak terdengar sesuatu dan rakyat hanya mengetahui bahwa Pangeran Mahkota telah sakit keras sekali, akan tetapi sebetulnya di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan yang hebat!

Ban Sai Cinjin adalah seorang yang mempunyai cita-cita besar. Dia sangat haus akan kedudukan tinggi dan kemewahan hidup, dan keadaannya yang telah kaya raya itu masih belum memuaskan nafsunya. Alangkah baiknya kalau dia bisa menjadi pembesar tinggi, menjadi bangsawan yang dihormati oleh laksaan orang!

Telah lama ia menjadi sahabat Ang Lok Cu, tosu yang berjuluk Ngo-tok Lo-koai dan yang kini tiba-tiba kejatuhan bintang dan menjadi tabib istana berkat pertolongan Bu Kwan Ji. Ia lalu menghubungi sahabatnya ini dan diperkenalkan kepada Bu Kwan Ji.

Perwira yang cerdik ini sangat gembira dapat berkenalan dengan Ban Sai Cinjin, karena orang macam inilah yang amat dibutuhkan untuk membantunya mencapai cita-cita. Biar pun ketiga orang ahli obat itu merupakan tenaga-tenaga yang cakap, akan tetapi ilmu silat mereka kurang tinggi.

Semenjak perkenalan itu, Ban Sai Cinjin selalu mengadakan hubungan dengan Bu Kwan Ji dan semua kaki tangannya, atau lebih tepat lagi, dengan kaki tangan selir Kaisar yang memiliki cita-cita untuk mengangkat puteranya sendiri menjadi pengganti kaisar!

Persekutuan gelap dibentuk, dan Ban Sai Cinjin sudah menyanggupi untuk menyiapkan pasukan yang kuat dari Mongol apa bila sewaktu-waktu terjadi perang. Muridnya, Bouw Hun Ti yang masih tinggal di rumah lalu melawat ke Mongol dan mengadakan hubungan dengan kepala suku Mongol yang dikenalnya baik, yaitu Malangi Khan.

Kemudian Ban Sai Cinjin teringat kepada bekas muridnya, yaitu Ong Tek. Dia merasa menyesal sekali mengapa ia telah kehilangan Ong Tek, oleh karena ia tahu bahwa ayah Ong Tek, yaitu Pangeran Ong Tiang Houw, adalah seorang pembesar yang amat besar pengaruhnya di dalam istana. Dan sekarang ia justru telah menanam kebencian di dalam hati Ong Tek yang tentu saja sudah menuturkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayahnya!

“Ong Tek merupakan bahaya besar, Suhu,” kata Hok Ti Hwesio, murid satu-satunya yang amat dipercaya oleh Ban Sai Cinjin. “Akan baik sekali kalau Suhu bisa mencari dan membunuhnya agar ia tidak banyak membuka mulutnya memburukkan nama Suhu.”

Demikianlah, dengan hati kesal setelah semua orang pergi, dia kemudian memesan Hok Ti Hwesio agar supaya menjaga kuilnya, kemudian ia lalu berangkat ke kota raja, dengan tujuan utama untuk mengadakan perundingan dengan Bu Kwan Ji tentang perkembangan cita-cita mereka. Ada pun tujuan kedua ialah untuk mencari dan bila mungkin membunuh bekas muridnya, yaitu Ong Tek!

Dan pada saat dia tiba di gedung tempat kediaman Bu Kwan Ji itulah maka kebetulan sekali Bu Kwan Ji sedang menghadapi urusan besar, yaitu datangnya dua orang muda yang mewakili Sin Kong Tianglo membawa obat untuk Pangeran Mahkota yang sedang sakit! Dengan lincahnya, Bu Kwan Ji berunding dengan selir Kaisar yang menyampaikan kepada Kaisar tentang adanya dua orang muda yang mencurigakan dan yang katanya datang membawa obat untuk Pangeran.

“Mereka itu masih muda, mana mungkin memiliki kepandaian tinggi?” Kaisar dibujuk oleh selirnya. “Boleh mencoba obat mereka, akan tetapi lebih baik mereka jangan dibolehkan mendekati Pangeran, siapa tahu kalau mereka itu utusan para pemberontak yang secara diam-diam hendak membunuh Pangeran?”

Bujukan itu termakan oleh Kaisar dan sebagaimana dituturkan di bagian depan, Goat Lan dan Hong Beng tidak diperbolehkan mendekati Pangeran, hanya buah Giok-ko saja yang diterima oleh Kaisar. Mudah sekali diduga bahwa setelah obat itu diberikan kepada tiga orang tabib istana untuk dicobakan kepada Pangeran yang sakit, obat itu sudah dibuang dan diganti dengan obat lain yang tidak ada khasiatnya bahkan yang merusak kesehatan Pangeran yang malang itu.

Kaisar menjadi marah dan menyuruh Bu Kwan Ji pergi mencari serta memanggil kedua orang muda yang telah membawa obat palsu!! Perwira she Bu ini karena merasa kuatir kalau-kalau kedua orang muda itu melawan, kemudian mengajak Ban Sai Cinjin pergi mengunjungi rumah gedung Pangeran Ong.

Sungguh hal yang kebetulan sekali, pikir mereka, karena kedua orang muda itu ternyata kenal baik dengan Pangeran Ong. Kesempatan bagus sekali untuk memfitnah keluarga Pangeran Ong!

Siasat licin dan akal busuk dijalin oleh para pengkhianat itu, dan Hong Beng bersama Goat Lan merasa kuatir, tidak tahu apakah yang akan terjadi selanjutnya. Mereka tidak tahu bahwa musuh-musuh tersembunyi sedang mengatur siasat yang jahat bagi mereka dan keluarga Pangeran Ong!

Bu Kwan Ji membawa Ban Sai Cinjin menghadap Kaisar. Dengan pandai sekali dia lalu menuturkan bahwa dua orang muda itu telah dilindungi oleh Pangeran Ong Tiang Houw, dan bahkan kedua orang yang berkepandaian tinggi itu melawan ketika akan ditangkap.

“Baiknya ada Losuhu ini yang menolong hamba, kalau tidak, hamba tentu akan binasa oleh mereka,” kata Bu Kwan Ji menutup laporannya.

“Hamba sudah tahu bahwa mereka itu adalah keturunan Pendekar Bodoh, seorang yang terkenal sebagai pemberontak di masa pemerintahan ayah Paduka,” kata Ban Sai Cinjin kepada Kaisar. “Agaknya Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya masih saja mempunyai keinginan untuk memberontak dan bersekutu dengan para bangsawan yang memiliki hati khianat!”

Bukan main marahnya Kaisar mendengar ucapan-ucapan yang menghasut ini.

“Bagaimana mungkin?” katanya ragu-ragu. “Ong Tiang Houw adalah seorang pembesar yang setia, bahkan masih terhitung keluarga istana! Agaknya tak mungkin ia memiliki hati khianat dan mengadakan perhubungan dengan segala pemberontak dan penjahat.

“Hamba tidak berani menuduh,” kata Bu Kwan Ji, “hanya akan lebih aman dan baik sekali apa bila Pangeran Ong dipanggil untuk memberikan keterangan.”

“Baik, kau pergi dan panggil dia datang, juga seluruh keluarganya!” bentak Kaisar. “Dan Losuhu ini, siapakah namanya?”

“Hamba disebut orang Ban Sai Cinjin, seorang hamba sahaya biasa saja yang bersedia mengorbankan tenaga dan nyawa untuk negara.”

“Bagus, kau bantulah Bu Kwan Ji, nanti akan kupikirkan kedudukan yang sesuai dengan jasamu!”

Bukan main girangnya hati Ban Sai Cinjin mendengar ucapan Kaisar ini. Dia kemudian mengundurkan diri untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar. Untuk kali ini, Bu Kwan Ji menerima surat kuasa yang berupa bendera lengki (bendera tanda pesuruh kaisar).

Dengan lengki di tangan, maka mudah saja bagi Bu Kwan Ji membawa Pangeran Ong sekeluarganya, menggiring mereka semua ke tahanan, sambil menanti perintah Kaisar untuk memeriksa mereka. Suara tangis riuh-rendah memenuhi tempat tahanan, namun Pangeran Ong Tiang Houw dengan tenang berkata,

“Tak usah menangis! Kita telah difitnah orang, akan tetapi mengapa gelisah? Tunggulah sampai aku dapat bertemu dengan Kaisar, tentu aku akan sanggup menyadarkan Kaisar yang agaknya dihasut oleh mulut jahat!”

********************

Alangkah terkejutnya hati Hong Beng dan Goat Lan pada saat mereka mendengar dari pelayan hotel bahwa keluarga Pangeran Ong sudah ditangkap oleh perwira-perwira dari istana! Hal ini adalah sebuah hal yang aneh dan mengejutkan orang, maka tentu saja berita ini tersiar dengan cepatnya hingga pelayan itu pun mendengar lalu menyampaikan kepada semua tamu hotel.

“Sungguh aneh, agaknya dunia akan kiamat!” pelayan yang doyan cerita itu menutup penuturannya. “Pangeran Ong adalah seorang yang sangat berpengaruh dan ditakuti, ia selalu dekat dengan Hong-siang karena kabarnya ia merupakan saudara dari Hong-houw (Permaisuri). Akan tetapi siapa yang tahu akan nasib orang? Ah, kasihan, Pangeran Ong sekeluarga terkenal sangat dermawan dan budiman. Apa lagi puteranya, Ong Kongcu yang suka sekali datang ke sini dan bercakap-cakap dengan semua orang. Dia sangat peramah dan tidak sombong, naik kuda mengelilingi kota, bergaul dengan semua orang, tidak seperti putera-putera bangsawan lain yang besar kepala dan...”

Baru sampai di situ kata-katanya, tiba-tiba saja dia menutup mulut dan wajahnya menjadi pucat. Serombongan perwira berbaris menuju ke hotel itu dengan sikap amat galak dan mengancam! Ributlah semua orang dan semua tamu langsung bersembunyi di kamar masing-masing. Dengan kaki gemetar pelayan itu pun terpaksa menuju ke pintu bersama pelayan-pelayan lain mengiringi pengurus hotel menyambut barisan itu.

“Pelayan itu terlampau lancang mulut, tentu dia akan ditangkap!” terdengar seorang tamu berkata perlahan.

Akan tetapi Hong Beng dan Goat Lan berpikir lain. Mereka saling pandang dan cepat masuk ke kamar masing-masing. Sekejap kemudian mereka telah keluar pula dan sudah menggendong semua barang-barang mereka, siap untuk meninggalkan tempat itu!

Benar saja dugaan mereka, begitu mereka keluar dari kamar, pengurus hotel dan para pelayan yang agaknya bercakap-cakap dengan para perwira, kemudian menudingkan jari mereka ke arah Hong Beng dan Goat Lan. Tiba-tiba Bu Kwan Ji dan perwira-perwira kelas satu dari istana maju menyerbu dan mengurung kedua orang muda itu!

Goat Lan memandang kepada kedua orang hwesio yang seperti sudah dikenalnya itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dia pernah bertemu dengan mereka. Dia tidak diberi kesempatan untuk mengingat-ingat hal itu, karena mereka telah mengeroyok.

Kepandaian mereka ternyata tidak boleh dipandang ringan. Ban Sai Cinjin sendiri sudah amat tangguh, juga dua orang hwesio dan tosu itu merupakan tandingan-tandingan yang tidak boleh dibuat main-main. Bu Kwan Ji dan tujuh orang perwira kelas satu dari istana yang sudah menjadi kaki tangannya juga memiliki kepandaian yang cukup hebat, maka Goat Lan dan Hong Beng cepat mencabut senjata mereka. Hong Beng mengeluarkan tongkat hitamnya, yaitu tongkat tanda pangkat sebagai ketua Hek-tung Kai-pang, ada pun Goat Lan lalu mencabut sepasang bambu runcingnya.

Tempat di mana mereka bertempur itu sangat sempit, maka Hong Beng lalu berseru, “Hayo kita keluar!”

Goat Lan mengerti maksud tunangannya, maka dia lalu menerjang pengeroyoknya dan merobohkan seorang perwira. Demikian pula Hong Beng berhasil mengemplang kepala seorang perwira dan bersama Goat Lan cepat melompat ke halaman hotel. Di sini tempatnya lebih luas sehingga mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik.

Akan tetapi baru saja kaki mereka menginjak halaman hotel, mendadak puluhan batang anak panah menyambar dari luar. Cepat mereka menggerakkan senjata dan memutarnya melindungi tubuh. Ketika mereka memandang, ternyata bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang banyak sekali jumlahnya!

Jalan keluar tidak ada lagi dan terpaksa Hong Beng dan Goat Lan lalu menghadapi lagi serbuan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang sudah mengejar pula sampai di situ. Hal ini menguntungkan bagi kedua orang muda itu karena dengan adanya keroyokan para perwira, maka pasukan pemanah itu tak berani menggunakan anak panah mereka lagi.

Pertempuran berjalan seru sekali. Yang sangat mendesak adalah Ban Sai Cinjin. Kali ini karena banyak kawannya, Ban Sai Cinjin bertempur dengan semangat besar sehingga huncwe-nya benar-benar merupakan senjata maut bagi Hong Beng dan Goat Lan. Sekali saja mereka terkena pukulan huncwe yang selalu ditujukan ke arah kepala mereka, akan celakalah mereka.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)