PENDEKAR REMAJA : JILID-27


Sejak Sin-kai Lo Sian Si Pengemis Sakti tinggal di rumah keluarga Sie, baik Lili mau pun suami isteri Sie merasa terhibur dari kedukaan mereka karena kematian Yousuf. Walau pun kematian Yousuf sudah terjadi belasan tahun yang lalu, namun tiap kali teringat oleh mereka bahwa pembunuhnya, yakni Bouw Hun Ti, belum terbalas, mereka merasa sedih sekali. Akan tetapi, kini dengan adanya Lo Sian, seakan-akan Yousuf masih belum mati.

Keadaan dan sikap Lo Sian ini hampir sama dengan kakek Turki itu. Juga seperti Yousuf, Lo Sian sangat suka minum arak wangi, suka pula bernyanyi-nyanyi dan mendongeng. Berbeda dengan Yousuf yang suka mendongeng cerita-cerita dari Turki, adalah Lo Sian pandai sekali mendongeng cerita-cerita Tiongkok kuno.

Dia boleh lupa akan keadaan pengalamannya pada masa lampau, yakni segala hal yang menyangkut dengan dirinya, akan tetapi ternyata dia tidak melupakan dongeng-dongeng yang terjejal di dalam ingatannya ketika ia masih kecil!

Lili tak sabar menanti kedatangan Hong Beng, karena dia telah mernperhitungkan bahwa Hong Beng dan Goat Lan seharusnya telah datang. Ke manakah gerangan perginya dua orang itu? Lili menyesal sekali mengapa dulu dia tidak ikut saja. Alangkah senangnya bila mereka itu mengalami hal-hal yang hebat dan berbahaya!

Baiknya di rumah itu ada Lo Sian yang disebutnya pek-pek atau twa-pek. Kedua orang tuanya, yakni Sie Cin Hai dan Lin Lin, sudah mendengar penuturannya yang tentu saja banyak dilebih-lebihkan mengenai pertemuan antara Goat Lan dan Hong Beng sehingga suami isteri itu merasa girang sekali. Memang Lili amat nakal, jenaka dan lucu. Katanya ketika dia menceritakan hal kakaknya dan Goat Lan,

“Engko Hong Beng agaknya tak dapat berpisah lagi dari Enci Lan! Ahh, kalau Ayah dan Ibu melihat betapa tadinya sebelum saling mengenal ternyata mereka sudah saling jatuh cinta!” Gadis itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan lengan baju.

“Apa maksudmu?” tanya ayahnya mengerutkan kening.

Lili menceritakan betapa dia telah menggoda Hong Beng dan Goat Lan sehingga kedua orang muda yang tidak saling mengenal itu sampai bertempur!

“Ahh, kau nakal sekali, Lili!” ayahnya menegur. “Kenakalan seperti itu berbahaya sekali. Kenapa kau seperti anak kecil saja?”

Lili tidak merasa aneh mendengar teguran ayahnya, karena memang sejak kecil, hanya ayahnya saja yang selalu menegurnya. Akan tetapi dia juga maklum betul-betul bahwa ayahnya ini hanya galak di luarnya saja, padahal di dalam hati sangat menyayang dan memanjakannya.

“Mengapa, Ayah? Bukankah dengan demikian mereka jadi dapat saling mengenal tingkat kepandaian masing-masing?” Kemudian dia lalu melanjutkan penuturannya, betapa Goat Lan merasa berkuatir ketika mendengar Hong Beng ditantang pibu oleh para pemimpin Hek-tung Kai-pang.

Setelah selesai dengan penuturannya dan gadis ini pergi ke belakang mengunjungi Lo Sian di kebun di mana Lo Sian mengerjakan taman bunga, membuangi daun kering dan rumput, Pendekar Bodoh berkata kepada isterinya,

“Ahh, kurang pantas sekali kalau Hong Beng melakukan perjalanan berdua saja dengan Goat Lan. Mereka itu belum menikah dan sudah terlalu lama mereka pergi berdua. Hal ini tidak baik... tidak baik...” Ia menggeleng-geleng kepalanya.

“Apanya yang tidak baik?” Lin Lin membantah. “Mereka sudah bertunangan.”

“Tapi masih belum pantas melakukan perjalanan bersama dalam masa pertunangan, itu melanggar adat kesopanan kita,” kata suaminya.

“Ahhh, kau terlalu kukuh! Tidak ingatkah kau betapa dahulu kita sebelum menikah juga melakukan perantauan, bahkan lebih jauh dan lebih lama lagi? Asal kita dapat menjaga kesopanan, apa salahnya? Lagi pula, aku percaya penuh Beng-ji akan mampu menjaga kesopanan, demikian pula Goat Lan.”

“Kita lain lagi, isteriku,” kata Cin Hai. “Ketika kita melakukan perjalanan bersama, kita sudah yatim piatu. Akan tetapi anak-anak itu masih ada orang tuanya. Boleh saja secara kebetulan mereka bertemu di jalan dan menyelesaikan urusan bersama, akan tetapi tidak untuk selanjutnya merantau dan tidak pulang sampai sekarang!”

“Sudahlah, suamiku, kenapa ribut-ribut? Siapa tahu kalau mereka juga menemui urusan yang penting? Untuk menenteramkan hatimu, lebih baik kita pergi mengunjungi Enci Hoa dan suaminya di Tiang-an untuk menetapkan hari pernikahan kedua anak itu. Sekalian kita melihat-lihat kalau-kalau mereka sudah pulang ke sana.”

Sie Cin Hai menyetujui pikiran isterinya ini. Demikianlah, pada keesokan harinya kedua suami-isteri pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke Tiang-an.

Lili yang ditinggalkan berdua dengan Lo Sian, melewatkan waktunya bersama Pengemis Sakti ini. Lili mencoba terus menerus untuk mengembalikan ingatan bekas suhu-nya ini, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.

Kini Lo Sian selalu nampak senang dan gembira. Di dalam rumah keluarga Sie, ia seperti seekor burung yang akhirnya menemukan sarang yang baik. Badannya menjadi segar dan gemuk dan tiap hari dia minum arak yang selalu disediakan oleh keluarga Sie.

Untuk menyenangkan hati Lo Sian yang telah menolong jiwanya dan telah melepas budi besar, Lili lalu menyuruh pelayan membeli arak terbaik dari Hang-ciu sehingga Lo Sian merasa girang bukan main. Dengan ditemani oleh Lili, sering kali ia minum arak di loteng belakang sambil menikmati keindahan taman bunga yang dirawatnya dan yang berada di bawah loteng itu.

Pada malam hari itu, Lo Sian nampak masih duduk di atas loteng pada bagian belakang rumah, minum arak seorang diri. Baru saja datang seguci besar arak wangi yang dibeli oleh Lili dan gadis itu bahkan membuat kue yang diberikan kepada suhu-nya. Pengemis Sakti ini makan minum seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi.

Ketika Lili yang berada di bagian bawah mendengar suara nyanyian suhu-nya, ia merasa heran. Suara pengemis Sakti itu tidak seperti biasanya, kini terdengar bernada sedih. Dia segera naik ke atas loteng dan melihat betapa bekas suhu-nya itu minum arak langsung dari guci dan kaki kirinya ditumpangkan di atas meja!

“Pek-pek, kau kenapakah?” tanya Lili sambil menghampiri kakek itu.

Lo Sian menunda minumnya dan pada saat dia menengok kepada Lili, gadis ini terkejut melihat pipi Lo Sian telah basah dengan air mata!

“Pek-pek, mengapa kau bersedih?”

Lo Sian terpaksa tersenyum ketika ia memandang wajah Lili. Alangkah sukanya ia pada gadis ini, seperti kepada puterinya sendiri.

“Tidak, Lili, aku tidak merasa bersedih. Dengan kau dan orang tuamu yang mulia berada di dekatku, bagaimana aku dapaf bersedih? Hanya aku menyesal sekali, Lili, menyesal bahwa sekarang aku sudah menjadi seorang yang begini tiada guna! Aku hanya menjadi pengganggu orang tuamu, aku telah banyak mengecewakan kau dan orang tuamu sebab tidak mampu mengingat-ingat hal yang telah terjadi. Terutama sekali aku tak dapat ingat lagi di mana dan bagaimana Lie Kong Sian Taihiap meninggal dunia! Ahh, aku menjadi sebuah boneka hidup!”

“Pek-pek, kenapa hal begitu saja dibuat menyesal? Kau tak berdaya dan bukan salahmu kalau kau kehilangan ingatanmu. Lebih baik menghibur hati, agar tubuhmu menjadi sehat dan siapa tahu kalau kesehatanmu akan dapat memulihkan ingatanmu. Dengan banyak berpikir serta banyak pusing, kurasa tidak akan mendatangkan manfaat bagi ingatanmu, Pek-pek.”

“Kau betul, Lili. Kau selalu benar, sungguh aneh seorang gadis muda seperti kau dapat mengeluarkan ucapan yang begini bijaksana. Pantas benar kau menjadi puteri Pendekar Bodoh...”

Lili tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menghampiri meja dan menyalakan lilin di atas meja yang belum dipasang oleh Lo Sian. Melihat kue-kue di atas piring belum ada yang termakan oleh Lo Sian, Lili bertanya,

“Ehh, kenapa kue-kue ini belum kau makan, Pek-pek?”

“Nanti dulu, aku lebih senang minum arak yang wangi dan enak ini! Kau sungguh pandai memilih arak yang baik!” Setelah berkata demikian, Lo Sian lalu mengangkat guci besar itu dengan kedua tangannya, menuangkan isinya yang masih setengah itu langsung ke mulutnya dengan sikap seperti tadi, yaitu kaki kiri di atas meja!

Lili hanya berdiri di belakang Pengemis Sakti itu sambil tersenyum geli, karena dia dapat menduga bahwa Lo Sian tentu sudah setengah mabuk. Akan tetapi pada saat itu pula, Lili terkejut sekali melihat berkelebatnya sesosok bayangan hitam yang melayang turun laksana seekor burung besar dari atas wuwungan! Bayangan itu gerakannya gesit sekali dan melihat betapa ia melayang dengan dua lengan dikembangkan, dapat diduga bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi!

Lo Sian yang sedang enak minum arak, tidak melihat berkelebatnya bayangan itu, akan tetapi Lili yang bermata tajam tentu saja dapat melihatnya. Dengan amat kuatir, gadis ini lalu meninggalkan Lo Sian, berlari turun ke bawah melalui anak tangga untuk mencegat bayangan tadi di bawah. Lo Sian masih saja minum arak, kakek ini tidak heran melihat Lili berlari-larian karena hal ini sudah menjadi kebiasaan gadis jenaka ini

Ketika tiba di bawah, Lili tidak melihat bayangan orang. Cepat-cepat dia melompat keluar dan mengelilingi rumahnya. Bayangan tadi dilihatnya melompat ke bawah ke arah depan rumah, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak lagi? Apakah dia salah lihat? Tidak mungkin, pikirnya, dan dengan penasaran sekali ia kemudian menyelidiki seluruh pinggir rumahnya.

Ketika tidak menemukan sesuatu, dia cepat masuk lagi ke dalam rumah dan tiba-tiba dia teringat bahwa ayah bundanya mempunyai banyak musuh. Cepat dia menuju ke kamar ayah dan ibunya yang berada di sebelah dalam. Kagetlah ia ketika melihat bahwa kamar ayah bundanya ternyata telah dimasuki orang, karena pintu kamar yang tadinya terkunci kini sudah dibuka dengan paksa!

Cepat dia ke dalam dan di situ kosong saja. Hanya sebuah lemari kayu, tempat pakaian ayah bundanya telah dibongkar orang secara paksa dan sekarang terbuka dengan isinya berantakan ke bawah. Ia merasa heran, karena pakaian itu masih utuh, tidak ada yang hilang, demikian pula tempat uang tidak diganggu.

Siapakah bayangan tadi dan apa maksudnya membongkar lemari dan memasuki kamar ayah bundanya? Dia cepat mengejar lagi keluar dari kamar. Lili marah sekali dan ingin ia menangkap maling itu. Kini dia berlari menuju ke belakang.

Makin marah dan gemas hatinya melihat tiga orang pelayan rumahnya, seorang pelayan laki-laki dan dua orang pelayan wanita sudah berada dalam keadaan tertotok di ruangan belakang. Ketika dia menghampiri mereka untuk membebaskan mereka dari totokan, dia mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya pada waktu melihat bahwa ketiga orang pelayan ini terkena totokan yang sama dengan ilmu totok yang dipelajarinya sendiri yakni ilmu totok dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na!

Tiba-tiba teringatlah dia akan sesuatu dan mukanya menjadi merah padam. Siapa lagi kalau bukan pemuda kurang ajar yang telah merampas sepatunya dulu? Pemuda yang mengaku putera Ang I Niocu? Hanya pemuda itu saja yang pandai Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na!

Kalau memang betul bayangan orang yang menjadi maling ini ternyata adalah pemuda putera Ang I Niocu yang belum diketahui namanya itu, kenapa ia datang seperti seorang maling? Tak mungkin putera Ang I Niocu melakukan hal ini!

Tiba-tiba ia teringat kepada Lo Sian yang berada di atas loteng dan wajahnya menjadi pucat ketika dia teringat betapa dahulu di rumah Thian Kek Hwesio, pemuda itu pernah menyerang Lo Sian karena marah mendengar Pengemis Sakti itu menyatakan bahwa Lie Kong Sian telah mati!

Dia cepat berlari-lari melalui anak tangga menuju ke loteng dan alangkah kagetnya ketika ia melihat guci arak yang tadi diminum oleh Lo Sian, kini telah menggeletak di atas lantai dan isinya mengalir keluar. Lo Sian sendiri tidak kelihatan pergi ke mana!

Lili menjadi bingung. Dia mencari ke sana ke mari, akan tetapi biar pun dia memanggil-manggil, tetap saja ia tidak dapat menemukan Lo Sian. Hati gadis ini marah bukan main. Segera diambilnya Pedang Liong-coan-kiam dan kipasnya, kemudian dengan amat cepat dia lalu melompat keluar rumah dan mencari di sekitar rumah itu.

Tiba-tiba dia melihat bayangan dua orang sedang bertempur dengan hebatnya. Karena malam itu sangat gelap, Lili hanya dapat melihat bahwa yang bertempur itu adalah dua orang laki-laki yang masih muda.

“Bangsat rendah, berani sekali kalian mengganggu rumahku!” berseru Lili dengan marah sekali.

Dia tidak tahu yang mana di antara kedua orang ini yang tadi datang ke rumahnya, akan tetapi dia lalu menyerbu mereka! Akan tetapi, kedua orang muda itu ketika mendengar suaranya, tiba-tiba mereka lalu menghentikan pertempuran, bahkan keduanya lalu berlari pergi meninggalkan tempat itu.

Kebetulan sekali, sinar lampu dari dalam rumahnya masih menerangi sedikit tempat itu sehingga ketika dia melihat orang yang berlari menerjang sinar penerangan ini, ia melihat bahwa orang itu adalah Song Kam Seng! Bukan main marahnya hati Lili. Ia pun maklum bahwa pemuda ini tentu datang untuk mencari ayahnya, karena bukankah Kam Seng sudah berjanji hendak membalaskan dendam hatinya karena ayahnya dulu dibunuh oleh Pendekar Bodoh?

“Kam Seng, manusia pengecut! Jangan berlaku sebagai maling hina dina! Apa bila kau berani, mari kita mengadu nyawa!” teriak Lili sambil mengejar cepat.

Akan tetapi Kam Seng tidak menjawab bahkan berlari makin cepat, dikejar terus oleh Lili. Pemuda ini memang maklum akan kepandaian Lili dan kalau dia melawan juga, ia takkan menang. Apa lagi, betapa pun juga, tak dapat dia bertempur melawan Lili, gadis musuh besarnya, gadis yang sesungguhnya amat dicintainya itu. Maka ia lalu melarikan diri lebih cepat lagi. Bukan saja karena ginkang dari Kam Seng sudah sangat maju, akan tetapi terutama sekali karena malam itu gelap, sebentar saja pemuda itu sudah meninggalkan Lili dan menghilang di dalam gelap!

Lili menjadi jengkel sekali. Ia memaki-maki, memanggil-manggil nama Kam Seng sambil menantang-nantang, akan tetapi karena tidak memperoleh jawaban, akhirnya dia kembali ke rumahnya. Dan ternyata Lo Sian masih belum kelihatan sehingga gadis ini menjadi makin bingung.

Sebetulnya, ke manakah perginya Lo Sian? Ketika dia sedang minum arak dan Lili telah berlari ke bawah, tiba-tiba dari atas wuwungan menyambar turun bayangan yang cepat masuk loteng itu. Lo Sian terkejut sekali ketika melihat seorang pemuda sudah berdiri di hadapannya. Dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang pernah menyerangnya di rumah Thian Kek Hwesio, yaitu pemuda yang mengaku sebagai putera Lie Kong Sian.

Sebelum ia sempat bertanya, Lie Siong, pemuda itu, telah mengulurkan tangan menotok jalan darah thian-hu-hiat di pundaknya. Totokan ini berdasarkan gerakan serangan dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, ilmu silat warisan Bu Pun Su yang dulu dia pelajari dari Ang I Niocu, maka bukan main cepat dan hebatnya.

Lo Sian sedang memegang guci arak dan dia berada dalam keadaan setengah mabuk, bagaimana dia mampu menghindarkan diri dari serangan ini? Tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas terkena totokan itu dan guci arak itu tertepas dari pegangannya.

Lie Siong cepat menyambar guci arak itu dan meletakkannya di atas lantai. Akan tetapi oleh karena dia tidak memperhatikan guci itu, dia meletakkan guci dalam keadaan miring sehingga isinya mengalir keluar. Kemudian, secepat kilat pemuda ini segera mengempit tubuh Lo Sian dan membawanya melompat turun!

Supaya tidak membingungkan, baiknya diceritakan secara singkat bahwa sejak berpisah dari Lo Sian dan Lili, pikiran Lie Siong sangat terganggu akibat ucapan Lo Sian yang menerangkan tentang kematian ayahnya. Oleh karena itu, ia menunda niatnya mengajak Lilani ke utara mencari rombongan suku bangsa Haimi untuk mengembalikan gadis itu kepada bangsanya, sebaliknya lalu mengajak gadis itu menuju ke Pulau Pek-le-to untuk mencari ayahnya! Akan tetapi, ia mendapatkan pulau itu berada dalam keadaan kosong!

Hatinya menjadi gelisah sekali, keadaan pemuda ini makin menderita batinnya. Pertama dia merasa menyesal akibat telah mengikat diri dengan Lilani, gadis yang amat mencinta dirinya. Kedua, dia merasa menyesal dan bingung karena mendengar bahwa ayahnya telah meninggal dunia seperti yang dikatakan oleh Lo Sian Si Pengemis Sakti.

Dia harus dapat mencari orang tua itu untuk mencari keterangan tentang ayahnya. Akan tetapi kalau teringat betapa dia telah bertempur dan bentrok dengan Lili, puteri Pendekar Bodoh, dia menjadi bingung. Semenjak dia dapat mencabut sepatu Lili, sepatu yang kecil mungil itu selalu tersimpan dalam saku bajunya sebelah dalam, disembunyikan sebagai sebuah jimat!

Ada pun Lilani, gadis yang bernasib malang itu, semakin lama semakin merasa hancur hatinya. Dia amat mencinta Lie Siong, bersedia menyerahkan jiwa raganya, akan tetapi melihat pemuda itu sama sekali tidak mengacuhkannya, dia menjadi sedih sekali.

Bila teringat betapa dia telah kehilangan ayah bundanya, kehilangan kakeknya, dan kini dia menderita karena mencinta seorang pemuda yang tak mengacuhkannya, ahhh, gadis ini sering kali mengucurkan air mata di waktu malam. Tetapi betapa pun juga, dia selalu menyembunyikan perasaan dukanya dari mata Lie Siong.

Sesudah mendapatkan Pulau Pek-le-to kosong dan tidak mengetahui ke mana perginya ayahnya, Lie Siong lalu berkata kepada Lilani,

“Lilani, terpaksa aku harus menyusul ke Shaning...”

“Ahh, ke rumah nona cantik jelita yang galak itu? Kau dahulu bilang bahwa dia adalah puteri Pendekar Bodoh, sungguh cocok sekali...”

Lie Siong memandang tajam. “Apa maksudmu, Lilani? Kau cemburu?”

“Tidak, Taihiap, mengapa aku cemburu? Ada hak apakah maka aku dapat cemburu? Aku seorang tak berharga, tidak seperti nona puteri Pendekar Bodoh itu, yang cantik, pandai, lihai... dan...”

“Sudahlah, jangan kau berbicara tidak karuan! Hatiku sedang bingung memikirkan ayah. Siapa yang peduli gadis liar itu?” kata Lie Siong sambil mengajak gadis itu melanjutkan perjalanan. “Sekarang aku terpaksa harus pergi menyusul ke Shaning untuk menangkap pengemis gila itu. Agaknya dari dia saja aku akan mengetahui di mana adanya ayahku. Terpaksa urusan mencari suku bangsamu di utara ditunda dulu.”

Lilani tidak membantah, hanya merasa dadanya sesak oleh cemburu. Cinta orang muda manakah yang tidak terhias oleh rasa cemburu? Bukan cinta tulen kalau tidak ada rasa cemburu di dalamnya, kata orang tua.

Pada malam harinya, Lie Siong dan Lilani bermalam di sebuah hotel. Dan tidak seperti biasanya, Lie Siong berkeras tidak mau tidur sekamar dan minta kepada pelayan untuk menyediakan dua kamar yang berdampingan.

Lilani makin merasa tidak enak, gelisah dan berduka. Sampai tengah malam gadis ini tidak dapat tidur dan karena hatinya selalu teringat kepada Lie Siong, tak tertahan lagi ia lalu keluar dari kamarnya dengan perlahan. Ia sengaja membuka kedua sepatunya agar tindakan kakinya tak sampai mengagetkan Lie Siong yang ia tahu pendengarannya amat tajam itu. Ia ingin melihat apakah pemuda pujaan hatinya itu telah tidur.

Dengan kaki telanjang ia berjalan menghampiri jendela kamar Lie Siong, lalu mengintai ke dalam setelah dia mendapatkan sebuah lubang di antara celah-celah jendela itu. Dia melihat kamar itu masih terang dan ternyata pemuda pujaannya itu masih belum tidur.

Lie Siong nampak tengah duduk melamun di atas kursi dan kedua tangannya memegang sebuah benda kecil. Jari-jari tangannya mempermainkan benda itu dan ketika Lilani memandang dengan tegas, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah sepatu yang bagus dan kecil mungil bentuknya! Bukan main panas dan perihnya hati Lilani.

Itu adalah sepatu wanita, pikirnya, dan terang bukan sepatunya. Sepatunya tidak sekecil itu! Ah, sepatu siapa lagi kalau bukan sepatu gadis puteri Pendekar Bodoh itu? Biar pun Lie Siong tidak menceritakan mengenai hasil pertempurannya melawan Lili namun Lilani dapat menduga dengan tepat.

Hal ini mudah saja bagi seorang wanita yang berada dalam keadaan cemburu, karena wanita yang sedang cemburu mempunyai kecerdikan luar biasa dalam hal menyelidiki segala sesuatu mengenai hubungan laki-laki yang dicintainya dengan wanita lain!

Bagaikan terpukul, Lilani terhuyung ke belakang dan ia menahan isak tangisnya. Karena tangisnya tak dapat tertahan lagi, maka ia tidak berani kembali ke kamarnya, takut kalau nanti Lie Siong akan mendengar suara tangisnya. Sebaliknya dia malah lari ke belakang dan keluar dari pintu belakang hotel itu menuju ke kebun belakang yang sunyi dan gelap!

Di situ dia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil kehilangan ibunya. Ia merasa sedih, gemas, dan marah. Sedih karena merasa kehilangan seorang kekasih yang dicinta sepenuh hatinya. Juga gemas melihat Lie Siong yang tak mengacuhkannya, sebaliknya tergila-gila kepada sebuah sepatu wanita lain dan marah kepada diri sendiri mengapa ia sampai demikian dalam jatuh dalam jurang asmara terhadap pemuda itu.

Di dalam kesedihannya itu, Lilani sampai tidak tahu bahwa ia tidak berada seorang diri di dalam taman itu. Dia tidak tahu bahwa di situ duduk dua orang laki-laki pemabukan yang sudah lama duduk minum arak berdua saja di situ dan keadaan mereka sudah setengah mabuk ketika Lilani datang ke situ dan menangis.

Lilani yang sedang menangis itu tiba-tiba merasa lehernya dipeluk orang dan terdengar suara parau,

“Nona manis, kenapa kau menangis? Marilah kuhibur kau…”

Lilani melompat berdiri dengan mata terbelalak. Dengan penuh kebencian dan kengerian dia melihat dua orang laki-laki menyeringai dan memandangnya seperti orang kelaparan, kemudian tangan kedua orang itu terulur maju hendak menangkapnya!

Lilani sedang merasa sedih, marah, kecewa dan perasaan yang sudah amat menggencet batinnya ini ditambah lagi oleh kebencian dan kengerian yang amat besar melihat lagak dua orang laki-laki ini. Hampir saja Lilani menjerit sekerasnya kalau ia tidak ingat bahwa jeritannya akan terdengar oleh Lie Siong dan dia tidak mau keadaannya diketahui oleh pemuda itu.

Maka sambil menahan berdebarnya hati yang membuat dadanya terasa sakit itu, ia lalu mengelak ke kiri dan tak disangkanya sama sekali, seorang di antara mereka itu memiliki gerakan yang cepat juga. Lilani sedang menderita dan keadaan malam itu agak gelap, maka gadis ini kurang cepat elakannya dan tahu-tahu lengannya sudah tertangkap oleh seorang di antara dua pemabukan itu.

“Ha-ha-ha-ha, lenganmu lemas dan halus seperti sutera, Nona... ha-ha-ha!” Orang ini lalu merangkulnya dan hendak menciumnya.

“Bukk!”

Terdengar suara orang terpukul dan disusul oleh pekik mengerikan dari laki-laki itu yang segera roboh tersungkur dalam keadaan tak bernyawa lagi! Pukulan Lilani amat hebat karena selain gadis ini memiliki kepandaian silat yang lumayan, dan kini lebih lihai karena sering kali mendapat latihan dari Lie Siong, juga pukulan dari jarak dekat ini tepat sekali mengenai ulu hati lawan sehingga jantung di dalam dada orang itu menjadi terluka!

Orang ke dua yang masih mabuk tidak tahu bahwa kawannya sudah mati, bahkan terus tertawa-tawa dan berkata kepada kawannya itu, “A-siok, terlalu sekali kau... nona manis ditinggal tidur...” Dan ia maju pula hendak merangkul Lilani.

Gadis ini sekarang sudah seperti seorang gila dan gelap mata. Sebelum tangan orang ke dua ini dapat menyentuh bajunya dia kembali mengirim serangan dengan pukulan keras ke arah dada disusul dengan tendangan ke arah lambung pemabukan ini. Terdengar jerit keras dan pemabukan ke dua ini pun roboh dalam keadaan mati!

“Eh, eh, eh, apakah yang terjadi di sini?” Seorang pelayan hotel datang berlari-lari sambil membawa sebuah lampu minyak. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanyalah sebuah pukulan tiba-tiba yang tepat mengenai lehernya. Pelayan ini terputar di atas kakinya lalu roboh. Celaka baginya, lampu yang dibawanya itu jatuh menimpanya hingga terbakarlah pakaiannya!

Melihat betapa pelayan itu berkelojotan di dalam cahaya api, Lilani memandang dengan muka sepucat mayat dan kedua mata terbuka lebar, ada pun kedua tangannya menutup mulutnya menahan jeritannya. Alangkah ngerinya!

Dan kemudian, seperti baru sadar, dia melihat pula dua orang pemabukan yang sudah dibunuhnya di tempat itu juga. Dengan perasaan sangat tergoncang gadis yang masih bertelanjang kaki ini lalu lari secepatnya, kembali ke dalam kamarnya!

Dia berdiri di tengah kamarnya sambil terengah-engah dan meramkan kedua matanya. Kepalanya terasa pening sekali, dadanya berdetak-detak seakan-akan ada orang sedang memukul-mukulkan palu di dalamnya. Tubuhnya lemas kedua kaki menggigil dan kedua tangan gemetar. Telinganya mendengar suara gaduh yang tak karuan terdengarnya, ada pun pemandangan yang mengerikan dari ketiga mayat itu, terutama sekali pelayan yang terbakar, selalu terbayang di depan matanya.

“Aku harus tenang... harus tenang…” pikirnya dan dia lantas menjatuhkan diri di tengah kamar itu juga, duduk bersila lalu untuk menenangkan pikiran dengan bersemedhi. Untuk memperdalam lweekang-nya, memang gadis ini telah mempelajari siulian (semedhi) dari Lie Siong.

Suara ribut-ribut di luar kamarnya itu mengagetkan Lie Siong. Pemuda ini cepat-cepat menyalakan lilin di dalam kamarnya, lalu berjalan keluar hendak melihat apa gerangan yang ribut-ribut di tengah malam seperti itu. Ketika ia mendengar bahwa ada tiga orang terbunuh oleh seorang gadis, ia terkejut sekali.

Cepat dia menuju ke kamar Lilani dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa pintu kamar gadis itu setengah terbuka! Dia cepat melangkah masuk dan biar pun kamar itu gelap, dia masih dapat melihat bayangan gadis itu duduk bersila di atas lantai.

Sungguh cara siulian yang aneh, pikirnya. Kenapa tidak di atas pembaringan saja? Akan tetapi, ia tidak berani mengganggu seorang yang sedang semedhi dan secara diam-diam hendak meninggalkan kamar itu lagi kalau saja tidak mendengar isak tertahan dari gadis itu.

“Lilani, kau kenapakah?” tanyanya heran dan kuatir.

Gadis itu tidak menjawab sama sekali. Lie Siong menjadi heran dan segera menyalakan sebatang lilin di dalam kamar itu. Pada saat sinar lilin di atas meja itu sudah menerangi seluruh kamar dan ia memutar tubuh memandang, Lie Siong pun menjadi terkejut sekali. Dilihatnya Lilani dengan sepasang kaki telanjang duduk bersila di atas lantai, pakaiannya kusut, pipinya yang amat pucat itu basah dengan air matanya.

“Lilani...!” Lie Siong melangkah maju, berlutut dekat gadis itu dan tangannya memegang pundak kanan Lilani. “Kau kenapakah...?” Akan tetapi Lie Siong terpaksa memutuskan kata-katanya karena tiba-tiba kedua tangan Lilani mendorong dadanya dengan gerakan cepat dan amat kuat.

Lie Siong yang sama sekali tak pernah menyangka bahwa gadis ini akan menyerangnya, tidak mengelak atau menangkis sama sekali. Dadanya terdorong ke belakang dan ia pun langsung terlempar ke belakang dengan cepatnya sampai membentur bangku! Lie Siong membelalakkan matanya.

Tenaga dorongan dan tarikan muka Lilani lebih mengherankannya dari pada sikap gadis itu sendiri. Dorongan tenaga Lilani tak seperti biasanya, akan tetapi mengandung tenaga yang amat kuat dan aneh, sedangkan ketika gadis itu mendorongnya, gadis memandang dengan penuh kebencian, akan tetapi bibirnya tersenyum!

“Ha, kau takkan dapat mendekatiku... kau akan mampus....” bisik gadis ini dengan suara aneh. Ternyata bahwa pukulan batin yang datang secara bertubi-tubi dan hebat itu sudah membuat pikiran gadis ini terganggu dan berubah!

“Lilani...” Lie Siong melompat bangun, “apa maksudmu? Kau kenapakah...?”

Melihat Lie Siong melompat bangun, gadis itu turut melompat bangun pula, menunduk dan memandangi kedua kakinya yang telanjang, kemudian berkata sambil menyeringai, “Ha-ha-ha, sepatu itu... sepatuku! Lihat, Taihiap, bukankah kedua kakiku telanjang? Aku perlu sepatu... akan tetapi sepatu itu terlalu kecil... terlalu kecil...” dan ia lalu menangis! Tiba-tiba dia menghentikan tangisnya dan berkata lagi dengan mata bersinar dan mulut tersenyum, “Aku bunuh dia! Aku bunuh mereka! Berani sekali main gila terhadap Lilani, puteri kepala suku bangsa Haimi!”

Sejak tadi, Lie Siong memandang keadaan gadis ini dengan bengong. Melihat senyum di bibir Lilani, pemuda ini merasa bulu tengkuknya meremang. Ini tak sewajarnya, pikirnya. Lebih-lebih terkejutnya ketika dia mendengar ucapan terakhir tentang pembunuhan yang keluar dari mulut Lilani.

“Lilani, jadi yang membunuh tiga orang di belakang hotel itu... kaukah orangnya?”

Lilani tertawa terkekeh. “Ya, memang aku!” teriaknya keras. “Aku Lilani sekali mencinta orang, akan berlaku setia selama hidup! Aku takkan sudi main gila dengan laki-laki lain, lebih baik aku mati! Kubunuh mereka itu, kubakar dia hidup-hidup!” Dan tiba-tiba gadis ini lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil tersedu-sedu.

Lie Siong berdiri tertegun, hatinya terharu bukan main ketika ia mendengar Lilani berkata seperti keluhan menyedihkan, “Taihiap... Taihiap... aku cinta padamu...”

Teriakan Lilani telah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar kamar sehingga kini mereka menyerbu ke arah kamar Lilani sambil berteriak-teriak,

“Tangkap pembunuh! Tangkap siluman perempuan...!”

Memang tadi ketika Lilani berlari kembali ke kamarnya, kebetulan sekali ada seorang tamu yang menjenguk dari jendelanya karena ia tertarik oleh teriakan-teriakan dua orang pemabukan yang terpukul oleh Lilani. Maka sesudah terjadi geger, dia lalu menceritakan pengalamannya dan kini mendengar teriakan-teriakan Lilani yang mengaku bahwa dia yang membunuh tiga orang itu, semua orang lalu menyerbu ke arah kamar Lilani!

Pada saat belasan orang itu sudah berada di depan pintu kamar Lilani, mereka tiba-tiba berhenti karena siapa orangnya yang tidak merasa gentar menghadapi seorang siluman wanita yang dalam waktu sebentar saja sudah membunuh tiga orang laki-laki dengan keadaan mengerikan?

“Siluman perempuan, menyerahlah untuk kami bawa ke depan pengadilan! Apa bila kau melawan kami akan mengeroyok dan membakarmu!” seorang di antara para penyerbu itu berteriak.

Lilani yang mendengar ini segera bangkit berdiri, wajahnya nampak amat menyeramkan. “Akan kubunuh kalian semua!” katanya.

Lie Siong merasa gelisah sekali. “Lilani, jangan...” katanya.

Akan tetapi Lilani tidak peduli dan hendak melompat menerjang keluar. Lie Siong segera mendahuluinya, cepat mengirim serangan kilat dan robohlah gadis itu dalam pelukannya dengan tubuh lemas tak berdaya sedikit pun juga.

“Serahkan dia kepada kami!” terdengar teriakan berulang-ulang dari para penyerbu itu.

Lie Siong maklum bahwa mereka itu sedang marah sekali, jadi tidak perlu bicara dengan mereka. Maka ia lalu menyambar pakaian gadis itu, dan sekali ia berkelebat keluar pintu, ia telah melompat keluar sambil menggendong Lilani.

Beberapa orang yang berdiri menghalangi pintu terlempar ke kanan kiri ketika terdorong oleh sebelah tangannya! Lie Siong tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka, dan ia langsung memasuki kamarnya, menyambar pedang serta buntalannya, sambil dikejar beramai-ramai oleh orang-orang itu.

Akan tetapi ketika mereka sampai di depan kamar pemuda ini, Lie Siong telah berkelebat keluar dan orang-orang itu hanya berdiri sambil melongo ketika melihat betapa pemuda yang menggendong gadis itu sekali mengenjotkan tubuh, telah dapat melompat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap!

Pada waktu Lie Siong melihat betapa keadaan gadis itu makin lama semakin tidak beres pikirannya, dia menjadi bingung sekali. Dia tidak tega dan merasa amat kasihan kepada Lilani, sungguh pun harus dia akui bahwa dia tidak mencinta gadis ini seperti cinta Lilani kepadanya. Dia hanya merasa kasihan dan bertanggung jawab.

Kini melihat keadaan Lilani yang demikian, dia merasa makin kasihan. Hatinya tidak tega untuk meninggalkan gadis ini, sungguh pun dia tahu kalau dia terus menerus berada di dekat gadis ini, dia takkan dapat bergerak bebas. Sekarang dia hendak mencari Lo Sian untuk bertanya tentang keadaan ayahnya, akan tetapi dengan Lilani yang sudah menjadi gila ini di dekatnya, bagaimana ia dapat mencapai maksudnya? Untuk membiarkan gadis ini terlepas seorang diri saja, dia juga tak sampai hati.

Akhirnya ia teringat kepada Thian Kek Hwesio di kuil Siauw-lim-si di kota Kiciu. Bukankah dulu pendeta gundul yang gemuk itu pernah mengobati Lo Sian? Pikiran ini membuat dia merubah niatnya untuk ke Shaning, dan ia langsung membawa Lilani ke Ki-ciu.

Ketika ia memasuki kuil itu, mau tak mau ia berdebar dan mukanya berubah merah. Dia teringat betapa di sini ia bertempur melawah Lili, puteri Pendekar Bodoh itu dan betapa ia terluka pundaknya akan tetapi berhasil merampas sebuah sepatu gadis itu yang sampai kini masih disimpannya baik-baik di dalam kantong bajunya!

Thian Kek Hwesio menerimanya dengan muka dan sikap ramah tamah. Hwesio ini segera mengenalnya sebagai pemuda yang mengaku menjadi putera Lie Kong Sian, maka dia segera menyambut dengan ucapan halus,

“Anak muda, keperluan apakah yang membawamu datang ke tempatku yang buruk ini? Jangan kau menghunus pedangmu, pinceng sama sekali tidak pandai melayanimu dan pinceng paling takut melihat berkelebatnya pedang!”

Makin merah wajah Lie Siong mendengar sindiran ini. Betapa pun kerasnya hatinya, dia masih mempunyai perasaan juga dan kalau perlu, dia dapat menjadi seorang pemuda yang ramah tamah, sopan santun, dan halus. Memang pemuda ini merupakan bayangan ke dua dari sifat ibunya, Ang I Niocu, Pendekar Baju Merah yang aneh itu. Ia pun cepat menjura dengan hormat sekali dan berkata,

“Lo-suhu, mohon kau orang tua sudi memberi maaf sebesarnya kepada aku yang muda, kasar dan bodoh. Kedatanganku ini tidak lain hendak mohon pertolonganmu. Sahabatku, Nona ini, entah mengapa tiba-tiba menjadi aneh sekali dan pikirannya berubah, mohon kau orang tua sudi mengobatinya.”

Thian Kek Hwesio memandang kepada Lilani dengan mata tajam, sedangkan gadis itu berdiri bengong dan sama sekali tidak melihatnya, melainkan menatap ke arah patung-patung batu sambil melamun.

“Nona, kau kenapakah?” tanya hwesio itu dengan suara halus, akan tetapi Lie Siong merasa kagum sekali karena di dalam suara yang halus ini timbul pengaruh yang kuat sekali, yang dapat membuat orang menjadi tunduk.

Mungkin dikarenakan suara ini, atau memang jalan pikiran Lilani sedang teringat kepada kakeknya ketika melihat betapa hwesio itu memandangnya dengan mata mengasihani, karena tiba-tiba saja gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu. Kemudian Lilani berkata-kata dalam bahasa Haimi yang sama sekali tak dimengerti oleh Lie Siong, akan tetapi ia menjadi kagum sekali karena Thian Kek Hwesio ternyata dapat mengerti ucapan gadis ini, bahkan lalu menjawab dalam bahasa Haimi pula!

“Sicu, sahabatmu ini menderita tekanan batin yang sangat hebat sehingga mengganggu urat syarafnya. Pinceng tidak tahu mengapa dia mengalami kedukaan dan kekecewaan sedemikian rupa, akan tetapi mudah sekali untuk menyembuhkannya asal saja dia mau beristirahat di sini.”

Dengan girang sekali Lie Siong lalu menjura dan menghaturkan terima kasih. “Lo-suhu, sesungguhnya aku mempunyai urusan yang amat penting, maka kalau kiranya Lo-suhu sudi menolong, aku hendak meninggalkannya untuk sementara waktu di sini.”

“Boleh saja, Sicu. Pinceng percaya bahwa kau tentu kelak akan datang mengambilnya kembali setelah dia menjadi sembuh. Pinceng merasa bahwa gadis ini tak dapat ditinggal begitu saja olehmu.”

“Tentu, Lo-suhu. Aku takkan pergi lama dan pasti akan kembali mengambil Lilani, karena memang tujuan kami hendak ke utara.”

“Pinceng percaya penuh kepada omongan putera Lie Kong Sian Taihiap.”

Lie Siong memandang dengan penuh terima kasih, kemudian ia pun menghampiri Lilani. “Lilani, harap kau beristirahat di sini dulu dan aku akan kembali mengambilmu lagi apa bila urusanku sudah selesai.”

Akan tetapi gadis itu tidak menjawabnya, hanya berkata-kata dalam bahasa Haimi yang tidak dimengerti oleh Lie Siong. Akan tetapi Thian Kek Hwesio terharu ketika mendengar gadis itu berkata, “Taihiap, hanya engkau seorang yang kucinta, dan aku akan menurut segala kata-katamu.”

Ucapan yang tak dimengerti oleh Lie Siong akan tetapi dapat dimengerti baik oleh hwesio ini membuat Thian Kek Hwesio dapat menduga bahwa gadis ini tentulah sudah menderita asmara tak terbalas! Lie Siong lalu meninggalkan kuil dan segera menuju ke Shaning.

Demikianlah, pada malam hari itu, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Lie Siong melompat ke atas wuwungan rumah keluarga Pendekar Bodoh. Siangnya dia telah mendapat keterangan bahwa Lo Sian masih tinggal di rumah Sie Cin Hai dan bahwa Pendekar Bodoh beserta isterinya tidak berada di rumah. Yang ada hanya Lo Sian dan Lili, puteri Pendekar Bodoh.

Hal ini menggirangkan hatinya, karena betapa pun juga, Lie Siong merasa gentar juga menghadapi Pendekar Bodoh suami isteri. Kepandaian puterinya saja sudah sedemikian hebat, apa lagi mereka!

Ia sama sekali tidak mengira bahwa kedatangannya pada malam hari itu kebetulan sekali bertepatan dengan kedatangan seorang pemuda lain, yakni Song Kam Seng! Berbeda dengan Lie Siong, maksud kedatangan ini adalah hendak membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!

Akan tetapi dengan kecewa Kam Seng mendengar keterangan bahwa Pendekar Bodoh dan isterinya sedang keluar kota, maka dia lalu datang dengan maksud mencuri pedang Liong-cu-kiam, pedang yang dulu telah mengalahkan mendiang ayahnya, Song Kun!

Kedatangan Kam Seng di malam hari itu lebih dulu dari Lie Siong. Kam Seng langsung masuk ke dalam dan berhasil mencari kamar Pendekar Bodoh yang digeledahnya, akan tetapi dia tidak dapat menemukan pedang itu karena pedang itu dibawa oleh Pendekar Bodoh.

Ada pun Lie Siong yang masuk dari kebun belakang, melihat tiga orang pelayan yang cepat ditotoknya sehingga mereka itu tidak berdaya lagi. Kemudian pemuda ini melayang naik ke atas loteng ketika dia melihat berkelebatnya bayangan Lili yang mencari-cari di luar rumah! Saat yang baik itu merupakan kesempatan baginya. Ia merobohkan Lo Sian dengan totokan dan membawa orang tua itu melompat turun.

Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar seruan perlahan,

“Bangsat, jangan kau berani menculik Suhu!” Tiba-tiba sesosok bayangan yang cukup gesit telah menyerangnya dari samping.

Lie Siong menjadi kaget dan juga heran. Siapakah adanya pemuda yang menjadi murid Lo Sian ini? Dia cepat mengelak dan meloncat jauh, kemudian melarikan diri dengan ilmu lari cepatnya, akan tetapi ternyata bahwa ilmu lari larinya hanya menang sedikit saja dari pemuda yang mengejarnya itu. Mudah saja kita menduga bahwa pemuda ini bukan lain adalah Song Kam Seng yang juga sudah keluar dari gedung itu dengan tangan hampa.

Melihat pengejarnya juga mampu berlari cepat, Lie Siong lalu menyembunyikan Lo Sian yang tidak dapat bergerak itu di dalam serumpun tetumbuhan, kemudian dia keluar dan menghampiri Song Kam Seng. Tanpa banyak cakap lagi keduanya lantas bertempur dan ternyata kepandaian mereka berimbang.

Harus diketahui bahwa Song Kam Seng sekarang bukan seperti dulu ketika ia dikalahkan oleh Lili. Kam Seng telah melatih diri dengan hebat dan tekunnya, telah banyak mewarisi kepandaian Wi Kong Siansu, maka tidak mudah bagi Lie Siong untuk mengalahkannya.

Dan ketika mereka bertempur dengan serunya, datanglah Lili yang mengejar. Keduanya takut kepada gadis ini, bukan takut kalah bertempur, akan tetapi Lie Siong tidak mau usahanya membawa Lo Sian akan terganggu, ada pun Song Kam Seng betapa pun juga tidak mau bertempur dengan gadis yang lihai dan yang dicintainya ini. Maka keduanya lalu berlari dan kebetulan sekali Lili mengejar Kam Seng, mendiamkan Lie Siong yang dengan enaknya lalu dapat membawa lari Lo Sian!

Demikianlah, seperti sudah kita ketahui, Lili menjadi bingung dan sedih sekali. Ketika ia mendengar keterangan para pelayannya yang dibuat tak berdaya oleh totokan Lie Siong, barulah gadis ini dapat menduga bahwa yang datang di rumahnya malam itu adalah dua orang, yaitu Kam Seng dan Lie Siong!

Tak salah lagi, pikirnya, yang mencuri Lo-pek-hu tentulah manusia kurang ajar yang dulu mengaku putera Ang I Niocu itu! Ia setengah dapat menduga bahwa penculikan ini tentu ada hubungannya dengan ucapan Lo Sian mengenai kematian Lie Kong Sian. Rupanya ucapan itu ada betulnya dan kini pemuda yang mengaku putera Lie Kong Sian itu tentu menculik Lo Sian untuk mendapat keterangan tentang ayahnya.

Hanya perbuatan Kam Seng yang membongkar kamar dan membuka lemari ayahnya itu masih membingungkannya. Munculnya Kam Seng di malam hari di rumahnya tidak aneh, karena memang pemuda itu pernah mengancam hendak membalas dendam terhadap ayahnya, akan tetapi mengapa pemuda itu membongkar-bongkar lemari seperti seorang maling biasa? Benar-benar ia tidak mengerti.

Pada keesokan harinya, Lili lalu menyerahkan perawatan rumah kepada para pelayan, sedangkan ia sendiri lalu pergi menyusul orang tuanya di Tiang-an. Tak enak ia berdiam di rumah saja, maka sambil mencoba untuk mengejar ‘pemuda kurang ajar’ yang sudah menculik Lo Sian, dia menuju ke Tiang-an untuk menyusul ayah-bundanya dan memberi laporan tentang terjadinya peristiwa itu…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)