PENDEKAR REMAJA : JILID-28


Mereka melakukan perjalanan berkuda dan seperti biasa, Lin Lin amat gembira di dalam perjalanan itu sehingga suaminya sering kali memandang dengan kagum karena merasa seakan-akan isterinya ini masih seperti dulu saja! Baginya, Lin Lin sampai sekarang tidak berubah, masih seperti Lin Lin pada waktu remaja puteri, lincah dan jenaka.

Pada suatu hari, ketika sepasang suami isteri pendekar ini berada di sebelah selatan kota Tiang-an, kurang lebih tiga puluh lie lagi dari Tiang-an, dan mereka sedang menjalankan kuda dengan cepatnya, tiba-tiba pada sebuah tikungan jalan, hampir saja kuda mereka beradu dengan seekor kuda yang dilarikan cepat dari depan!

Penunggang kuda itu seorang pemuda yang tampan dan gagah, cepat menarik kendali kudanya dan sambil mengeluarkan suara keras, kudanya yang besar itu berhenti dengan tiba-tiba, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik!

Pemuda ini adalah Kam Liong, panglima muda yang sedang menuju ke selatan untuk mengadakan pemeriksaan pada penjagaan di selatan, serta sekaligus hendak singgah di Shaning untuk mewartakan kepada Pendekar Bodoh tentang mala petaka yang menimpa diri puteranya.

Kam Liong membelalakkan matanya dan tadinya dia hendak marah terhadap dua orang penunggang kuda itu, akan tetapi akhirnya dia menjadi heran dan terkejut sekali betapa dua orang penunggang kuda itu pun dapat menghentikan kuda mereka dengan tiba-tiba dan tenang saja, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

Ia sendiri yang terkenal sebagai seorang ahli penunggang kuda hanya bisa menghentikan larinya kuda dengan kekerasan sampai kudanya merasa sakit pada hidungnya sehingga berjingkrak-jingkrak, akan tetapi bagaimanakah dua orang itu demikian tenang dan kuda mereka berhenti seakan-akan empat kaki kuda mereka tiba-tiba berakar pada tanah?

Dia dapat menduga bahwa dua orang yang nampaknya gagah ini tentulah orang-orang berkepandaian tinggi, maka cepat Kam Liong melompat turun dari kudanya dan menjura dengan hormatnya.

“Harap Ji-wi sudi memberi maaf kepada siauwte kalau siauwte mendatangkan kekagetan kepada Ji-wi.”

“Siapa yang kaget?” Lin Lin menjawab sambil tersenyum manis karena dia merasa suka kepada pemuda yang nampak sopan ini. “Kalau ada yang kaget, agaknya kudamu itulah yang kaget.”

Merah muka Kam Liong mendengar ucapan nyonya setengah tua yang cantik itu. Walau pun nyonya itu mengatakan bahwa yang kaget adalah kudanya, akan tetapi tentu mereka itu telah melihat bahwa yang kaget sebenarnya adalah dia sendiri!

“Siauwte she Kam bernama Liong,” ia memperkenalkan diri, “karena siauwte mempunyai urusan penting, maka buru-buru membalapkan kuda. Sungguh sangat hebat kepandaian Ji-wi menunggang kuda, benar-benar membuat siauwte tunduk sekali.”

Cin Hai dan Lin Lin memandang tajam. Jadi inikah pemuda putera Panglima Hong Sin seperti yang telah diceritakan oleh Lili itu? Tentu saja mereka tidak menduga sama sekali oleh karena Kam Liong memang selalu berpakaian biasa saja apa bila sedang melakukan pemeriksaan.

“Kaukah putera dari Panglima Kam Hong Sin?” tanya Cin Hai tiba-tiba dengan langsung, sesuai dengan wataknya yang jujur.

Kam Liong tertegun. “Benar, Lo-enghiong, tidak tahu siauwte sedang berhadapan dengan siapakah?”

“Ayahmu adalah seorang yang jujur dan baik,” kata Cin Hai tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu, “kami kenal baik dengan ayahmu itu. Sayang kami belum dapat bertemu lagi sebelum dia gugur dalam peperangan.”

Kam Liong memandang semakin tajam dan tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Cepat dia mengerling ke arah nyonya itu, dan sekilas melihat saja maka lenyaplah keraguannya. Wajah nyonya itu sama benar dengan wajah Lili, gadis yang dirindukannya!

Dengan hati berdebar gembira dia menjura lagi sambil berkata, “Salahkah kalau siauwte mengatakan bahwa Sie-taihiap, Pendekar Bodoh yang terhormat bersama dengan isteri yang siauwte hadapi ini?”

“Pandangan matamu tajam juga, orang muda. Kau tidak menduga salah,” jawab Lin Lin.

Mendadak Kam Liong menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan senyum di bibir, kemudian terpaksa mereka pun melompat turun dari kuda. Cin Hai cepat memegang pundak Kam Liong untuk mengangkatnya bangun.

Pemuda ini amat cerdik. Dia tertarik oleh Lili dan ingin sekali meminang gadis itu menjadi isterinya, maka kini bertemu dengan orang tua gadis itu, cepat ia memberi hormat. Ketika merasa betapa kedua tangan Cin Hai menyentuh pundaknya, Kam Liong secara sengaja mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga Seribu Kati) supaya dapat memperlihatkan kemampuannya.

Akan tetapi, alangkah kagetnya saat pundaknya yang tadinya dikeraskan dengan tenaga Jeng-king-kang itu begitu tersentuh dan tertekan oleh jari-jari tangan Cin Hai, mendadak tenaganya lenyap sama sekali dan tubuhnya berubah menjadi lemas hingga dia terpaksa menurut saja ketika dia diangkat bangun.

“Mohon ampun sebanyaknya bahwa siauwte yang bodoh bermata buta, tidak melihat dan mengenal pendekar-pendekat besar! Sebenarnya pertemuan ini sangat membahagiakan hatiku, karena sesungguhnya siauwte memang hendak pergi ke Shaning ingin bertemu dengan Ji-wi.”

“Ada keperluan apakah Ciangkun hendak bertemu dengan kami?” tanya Cin Hai sambil memandang dengan penuh perhatian, karena sesungguhnya ia tidak begitu suka untuk berhubungan dengan segala perwira atau panglima kerajaan. Hatinya masih terluka oleh sepak terjang para perwira kerajaan yang banyak menyusahkan hidupnya pada waktu ia muda dulu.

Akan tetapi, hati Lin Lin sudah tertarik oleh kesopanan pemuda ini. Biar pun dia memiliki kedudukan tinggi, akan tetapi pandai sekali membawa diri, tidak sombong dan bersikap sopan santun. Bagi para pembaca yang sudah pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Lin Lin sendiri adalah puteri dari seorang perwira, maka tentu saja dia tidak merasakan ketidak sukaan terhadap kaum perwira seperti yang dirasakan oleh suaminya.

“Tentu ada keperluan yang amat penting sehingga Ciangkun sampai meninggalkan kota raja untuk mencari kami,” kata Lin Lin dengan suara lebih halus.

“Sesungguhnya, siauwte membawa berita yang amat penting mengenai keadaan putera Ji-wi, yaitu Sie Hong Beng.”

“Dia di mana? Apa yang terjadi?” Lin Lin mendesak dengan muka berubah mengandung kekuatiran.

Sudah lajimnya para lbu selalu menguatirkan keadaan puteranya. Cin Hai tetap tenang saja dan hanya sinar matanya yang mendesak kepada Kam Liong supaya cepat-cepat menceritakan apa yang telah terjadi atas diri Hong Beng.

Kam Liong lalu menuturkan dengan sejelasnya betapa Goat Lan dan Hong Beng dengan cara kekerasan telah berhasil menolong Putera Mahkota, dan betapa kemudian Goat Lan diberi karunia, diangkat menjadi selir pertama untuk Putera Mahkota yang ditolak dengan tegas oleh Giok Lan sehingga gadis itu dihukum buang ke utara dan dikawani oleh Hong Beng! Tentu saja ia tidak lupa untuk menuturkan betapa ia telah menyusul kedua orang muda itu dan memberi kuda serta memberi petunjuk.

“Siauwte sudah memberi tahu kepada Saudara Hong Beng dan Nona Kwee agar supaya mereka dan para pengawal mereka mengambil kedudukan di lereng Gunung Alkata-san, di mana siauwte dahulu mempunyai sebuah benteng yang cukup baik kedudukannya dan kuat. Bila sudah selesai tugas siauwte ke selatan, siauwte juga akan memimpin pasukan ke utara. Hal ini penting sekali karena bukan hanya bangsa Tartar saja yang mengacau, akan tetapi ada desas-desus yang mengabarkan bahwa kini bangsa Mongol di utara di bawah pimpinan raja mereka, Malangi Khan, juga hendak menyerbu ke selatan!”

Mendengar penuturan pemuda ini, Cin Hai hanya menggigit bibirnya, akan tetapi Lin Lin membanting-banting kedua kakinya dengan gemas.

“Kaisar bu-to (tiada pribudi)! Sudah ditolong nyawa anaknya, masih tidak berterima kasih, bahkan hendak menjadikan calon mantuku sebagai selir Putera Mahkota! Dia kira orang macam apakah Goat Lan itu? Sungguh tak tahu membedakan orang!”

Kam Liong adalah seorang panglima muda yang mempunyai kesetiaan terhadap Kaisar, seperti ayahnya dahulu. Oleh karena itu, mendengar betapa Lin Lin memaki Kaisar, dia menjadi tidak senang juga. Ia pun terkejut mendengar bahwa Goat Lan adalah tunangan Hong Beng sebagaimana baru saja disebut oleh Lin Lin bahwa Goat Lan adalah calon mantunya. Untuk membela nama Kaisar, Kam Liong berkata,

“Sayang sekali bahwa Nona Kwee Goat Lan atau Saudara Sie Hong Beng tidak berterus terang saja kepada Hong-siang bahwa mereka berdua sudah bertunangan. Kalau Kaisar mengetahui akan hal ini, siauwte merasa pasti Nona Kwee tak akan dipaksa menjadi selir Putera Mahkota. Sebenarnya, menjadi selir pertama dari Putera Mahkota adalah suatu kehormatan yang tinggi sekali, karena siapa tahu kalau Putera Mahkota kelak menjadi kaisar dan selir pertama sangat dicintanya, wanita itu mempunyai harapan untuk menjadi permaisuri? Dengan penolakan Nona Kwee, penolakan secara langsung di hadapan para menteri serta pembesar tinggi, sudah tentu saja Kaisar merasa terhina sekali sehingga menjatuhkan hukum buang. Siauwte menjelaskan hal ini supaya Ji-wi tidak menjadi salah mengerti.”

Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk, bahkan Cin Hai lalu menarik napas panjang dan berkata,

“Semenjak dahulu sampai sekarang, selalu kaum bangsawan dan pembesar mempunyai kekuasaan dan kebenaran tersendiri, tanah yang mereka injak pun berada di atas kepala rakyat kecil!”

“Kita harus menyusul Beng-ji ke utara!” kata Lin Lin. “Baiknya kita memberi tahu kepada Engko An dan Enci Ma Hoa tentang hal ini. Mereka juga berhak mendengar berita perihal puteri mereka.”

“Ke utara bukan tempat dekat dan tidak dapat dilakukan dalam waktu pendek. Kalau kita langsung ke sana, bagaimana dengan Lili? Apakah dia takkan gelisah dan menanti-nanti kita?” kata Cin Hai. Kedua suami-isteri ini dalam ketegangannya sampai lupa bahwa di situ masih ada Kam Liong yang diam-diam mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Maaf, Ji-wi harap jangan mengira siauwte hendak kurang ajar. Akan tetapi sesungguhnya perjalanan siauwte ke selatan akan melalui Shaning. Jika kiranya Ji-wi tak berkeberatan, siauwte dapat menyampaikan berita ini ke rumah ji-wi, karena siauwte pernah mendapat kehormatan bertemu dengan puteri Ji-wi.”

Cin Hai mengerutkan keningnya, akan tetapi Lin Lin menjawab dengan girang,

“Bagus, kau baik sekali, Ciangkun. Lili juga telah menceritakan pertemuannya denganmu. Baiklah, apa bila kau melalui Shaning, tolong kau beritahukan kepada puteri kami bahwa kami mungkin akan terus ke utara untuk menyusul Hong Beng.”

Kam Liong merasa girang sekali, akan tetapi dia tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya, hanya menyatakan kesanggupannya dengan sikap sopan. Mereka lalu berpisah, kedua suami-isteri pendekar itu cepat mengaburkan kudanya ke Tiang-an, ada pun Kam Liong dengan hati girang lalu menuju ke Shaning.

Ketika tiba di halaman depan rumah gedung yang ditinggali oleh Kwee An di Tiang-an, seorang pelayan tua yang segera mengenal mereka cepat menyambut dan memegang kendali kuda mereka untuk dibawa ke kandang kuda.

“Selamat datang, Sie-taihiap berdua, selamat datang!” katanya girang.

Terdengar suara teriakan girang dan nampak seorang anak laki-laki yang bermuka putih dan bundar berusia kurang lebih sembilan tahun berlari keluar dari pintu depan.

“Kouw-kouw dan Kouw-thio datang...!” serunya.

“Cin-ji (Anak Cin), engkau sudah besar sekarang!” seru Lin Lin yang segera menyambut anak itu dengan kedua tangan terbuka. Dipeluknya Kwee Cin, anak ke dua dari Kwee An dan Ma Hoa dengan girang.

Pada waktu Cin Hai memeluknya pula, anak itu berbisik kepadanya, “Kouw-thio (Paman, suami Bibi), kapan kau mau mengajarku Liong-cu Kiam-sut?”

Cin Hai tertawa. Ketika anak ini baru berusia lima tahun, anak ini telah pula mengajukan permintaan untuk belajar ilmu pedang darinya. Dan sekarang anak ini menanyakan hal itu pula, sungguh seorang anak yang teguh kehendaknya.

“Bukankah ilmu pedang ayahmu juga bagus sekali? Dan ilmu bambu runcing ibumu tiada keduanya di dunia ini!” kata Cin Hai.

Kwee Cin berkata bangga, “Memang ilmu bambu runcing Ibu tidak ada bandingannya di atas dunia ini, akan tetapi kata Ayah, dalam hal ilmu pedang, tak ada yang melebihi Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut dari Kouw-thio!”

“Baiklah, Cin-ji, kelak kalau ada waktu, kau boleh mempelajari ilmu pedang dariku.”

Kwee Cin menjadi girang sekali dan ia lalu menarik tangan bibi dan pamannya itu, diajak masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, sebelum mereka melangkah ke ambang pintu, dari dalam keluarlah Kwee An dan Ma Hoa dengan wajah girang sekali. Kedua suami isteri ini telah mendengar dari pelayan akan kedatangan kedua orang tamu dari Shaning ini.

Mereka segera bercakap-cakap dengan gembira sekali, akan tetapi kegembiraan mereka itu tidak berlangsung lama, terutama bagi pihak tuan rumah. Ketika Lin Lin menceritakan lagi penuturan Kam Liong mengenai peristiwa yang terjadi di istana kaisar dan hukuman yang dijatuhkan Kaisar kepada Goat Lan, wajah Ma Hoa menjadi pucat.

Seperti juga suaminya, Ma Hoa juga puteri seorang perwira, maka ia tahu betul akan arti semua peristiwa ini.

“Keputusan Kaisar tidak dapat diubah. Tidak ada jalan lain, kita harus menyusul ke utara untuk membantu tugas yang diberikan kepada anak kita!” kata Ma Hoa sesudah dapat menenteramkan hatinya dari berita mengejutkan ini.

“Memang kami berdua pun telah mengambil keputusan hendak menyusul ke sana,” kata Lin Lin yang kemudian menceritakan bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah mendapat pertolongan Kam Liong bahkan telah diberi nasehat untuk menempati bekas benteng di lereng Bukit Alkata-san.

“Biar aku saja yang pergi bersama Lin Lin dan Cin Hai,” kata Kwee An kepada isterinya. “Kita tidak dapat pergi berdua meninggalkan Cin-ji seorang diri di rumah. Begitu banyak orang-orang jahat sedang memusuhi kita, maka tidak baik kalau rumah ditinggalkan, apa lagi jika meninggalkan Cin-ji seorang diri tanpa ada yang menjaganya.”

“Ayah, aku juga mau pergi! Aku mau ikut pergi menyusul Enci Lan dan membantu dia menghancurkan para pengacau yang mengganggu orang-orang di daerah perbatasan!” tiba-tiba Kwee Cin berkata dengan penuh semangat. Anak ini nampak lucu sekali, kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bersinar-sinar!

“Tidak boleh, sama sekali tidak boleh!” ayahnya berkata. “Perjalanan ke utara bukanlah perjalanan mudah. Kau tinggal di rumah dengan ibumu!”

Kwee Cin tampak murung, akan tetapi Ma Hoa yang dapat merasakan kebenaran ucapan suaminya ini, lalu menghibur puteranya dan berkata, “Ayahmu berkata benar, Cin-ji. Kau tak boleh ikut dan kita berdua tinggal di rumah menjaga kalau-kalau ada musuh datang.”

“Kalau ada musuh datang, jangan sembunyikan aku di dalam kamar, Ibu. Biarkan aku ikut menghadapi mereka!”

Sesudah ibunya menyanggupi, barulah Kwee Cin tidak murung lagi. Cin Hai dan Lin Lin hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An, dan pada keesokan harinya, Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin berangkat naik kuda menuju ke utara…..

********************

Kam Liong yang merasa senang sekali, membalapkan kudanya menuju ke kota Shaning. Ia merasa amat bahagia, karena dapat bertemu dengan Pendekar Bodoh dan isterinya dan bisa membantu mereka. Tak dapat tidak, dia tentu telah mendatangkan kesan baik di dalam hati mereka. Akan lebih licinlah jalan menuju kepada cita-citanya, yaitu melakukan pinangan terhadap Lili. Dan sekarang ia bahkan telah mendapat perkenan mereka untuk menyampaikan berita tentang Hong Beng dan tentang kedua suami isteri itu kepada Lili, gadis yang membuatnya tidak nyenyak tidur setiap malam.

Akan tetapi, ketika ia teringat akan sesuatu, tak terasa pula ia menahan lari kudanya. Ia duduk di atas kuda yang kini tak lari lagi itu dengan bengong dan wajahnya menjadi amat muram. Bagaimana kalau ternyata bahwa Lili juga telah ditunangkan dengan lain orang? Seperti halnya Hong Beng dan Goat Lan, tanpa ia duga mereka ini sudah bertunangan! Siapa tahu kalau-kalau Lili juga sudah ditunangkan! Tidak, tidak, tidak mungkin! Ia cepat membantah jalan pikirannya sendiri dan kembali ia mengaburkan kudanya.

Ketika ia memasuki kota Shaning, tiba-tiba ia melihat seorang gadis berjalan seorang diri dari depan. Ia menjadi terkejut dan juga girang karena ia mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Lili yang berjalan sambil menggendong buntalan, ada pun gagang pedangnya nampak pada balik punggungnya. Meski pun gadis itu berada di tempat yang jauh, sekali melihat bayangannya saja, Kam Liong akan mengenalnya!

Ia cepat melompat turun dari kudanya dan kini ia berjalan kaki sambil menuntun kuda, menyongsong kedatangan Lili. Gadis ini pun ternyata sudah mengenalinya, maka segera menghampirinya. Lili bukan seorang gadis pemalu dan dia ramah tamah pula. Panglima muda ini telah berlaku ramah kepadanya, bahkan telah memberi surat tentang kakaknya, maka tidak dapat dia membiarkan pemuda itu berlalu begitu saja. Sesudah berhadapan keduanya saling memberi hormat sambil menjura.

“Sie-siocia (Nona Sie), sungguh kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini! Aku sedang menuju ke rumahmu untuk menyampaikan pesan orang tuamu!”

Lili tertegun. Bagaimana ayah bundanya dapat menyampaikan pesan kepadanya melalui Panglima Muda ini? Akan tetapi, setelah membalas penghormatan pemuda itu ia berkata,

“Di manakah kau berjumpa dengan ayah ibuku, Kam-ciangkun?”

“Di luar kota Tiang-an. Akan tetapi, marilah kita duduk di sana karena ceritaku panjang, Nona.” Kam Liong menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang berada di pinggir jalan, maka Lili lalu mengikuti pemuda ini ke tempat itu.

Setelah mengikat kudanya pada akar pohon dan membiarkan binatang itu makan rumput di bawah pohon, Kam Liong lalu mengajak gadis itu duduk di atas batu besar dan dia pun mulai menceritakan semua hal yang telah terjadi. Ia menuturkan tentang Goat Lan dan Hong Beng, kemudian menuturkan pula tentang pertemuannya dengan Pendekar Bodoh dan isterinya.

“Kalau begitu, ayah dan ibuku telah berangkat dan menyusul ke utara, Kam-ciangkun?”

Kam Liong mengangguk. “Mungkin ayah bundamu telah pergi dengan Kwee Lo-enghiong, karena menurut mereka, sebelum berangkat hendak pergi ke Tiang-an mengajak orang tua gagah she Kwee itu.”

Lili nampak kecewa. “Ahh, kalau begitu mereka tentu telah berangkat. Aku harus segera menyusul mereka ke utara! Ahh, kasihan sekali Engko Hong Beng dan Enci Goat Lan!” Kemudian ia bangkit berdiri, menjura kepada Kam Liong dan berkata,

“Kam-ciangkun, banyak terima kasih untuk semua jerih payahmu menyampaikan berita penting ini kepadaku. Aku harus berangkat sekarang juga untuk menyusul mereka di utara!”

“Nanti dulu, Nona Sie. Ketahuilah bahwa aku sendiri pun hendak memimpin pasukan menuju ke utara. Aku telah berjanji kepada kakakmu untuk membantu mereka menghalau para pengacau dan membuat penjagaan kuat di perbatasan utara untuk menolak bahaya yang datang dari pihak Mongol. Perjalanan ke utara bukanlah perjalanan mudah, selain di daerah itu amat tidak aman dan banyak sekali penjahat, juga bagi yang belum pernah melakukan perantauan ke daerah itu, akan sukar mencari jalan ke Alkata-san. Tentu saja aku percaya penuh bahwa kau tak akan gentar menghadapi para penjahat, akan tetapi, kalau kau sudi, lebih baik kau melakukan perjalanan bersama aku dan pasukanku. Selain tidak membuang banyak waktu untuk mencari-cari, juga di tempat berbahaya itu lebih baik berkawan dari pada seorang diri saja. Daerah itu amat dingin dan kalau sampai kau terserang hawa dingin kemudian jatuh sakit, siapakah yang akan menolongmu? Dengan bergabung, kita lebih kuat menghadapi bahaya. Tentu saja aku tidak memaksamu, yakni kalau kau sudi melakukan perjalanan dengan orang bodoh seperti aku ini.”

Lili berpikir sejenak. Panglima Muda ini cukup sopan dan pemurah, juga seorang kawan seperjuangan yang tidak menjemukan. Dan dia sudah banyak menolongnya, maka apa salahnya melakukan perjalanan bersama? Kalau dipikir-pikir memang betul juga ucapan Panglima Muda ini, karena bukankah Sin Kong Tianglo, guru dari Goat Lan yang sangat sakti pun terkena bencana di daerah dingin itu? Selain dari pada semua itu, dia masih ingin banyak bertanya kepada panglima ini, baik mengenai pengalaman Goat Lan dan Hong Beng, mau pun penjelasan tentang isi suratnya dahulu, yaitu surat dari Kam Liong yang memberitahukan bahwa kakaknya telah menjadi orang buruan!

“Baiklah, Kam-ciangkun, dan untuk kedua kalinya, terima kasih atas kebaikan hatimu.”

Kam Liong merasa girang sekali, seakan-akan kejatuhan bulan. Akan tetapi tentu saja ia tak mengutarakan kegirangannya ini, hanya nampak senyumnya melebar dan wajahnya berseri.

“Marilah kita ke kota Shaning dulu, Nona. Aku perlu memberi pesan kepada pembesar di Shaning agar pekerjaanku memeriksa penjagaan di selatan dapat diwakili oleh seorang perwira lain.”

Demikianlah, kedua orang muda ini masuk kota Shaning dan Kam Liong cepat memberi perintah pada pembesar setempat untuk menyampaikan surat-surat perintahnya kepada komandan barisan yang menjaga di daerah selatan. Ketika melihat tanda pangkat yang dikeluarkan oleh Kam Liong, pembesar itu segera menghormatinya sebagai seorang panglima kerajaan yang berkedudukan tinggi. Pemuda ini lalu meminta seekor kuda yang baik untuk Lili, dan pada hari itu juga, berangkatlah keduanya keluar dari kota Shaning, langsung menuju ke utara!

Sungguh sangat sedap dipandang melihat sepasang orang muda ini membalapkan kuda mereka. Yang laki-laki muda, tampan, dan gagah sekali. Yang wanita cantik jelita dan juga amat gagah. Mereka seakan-akan merupakan dua orang pembalap yang melarikan kuda untuk berlomba.

Diam-diam Kam Liong makin merasa kagum kepada Lili yang ternyata selain memiliki kepandaian tinggi, juga pandai sekali naik kuda. Ingin sekali dia menyaksikan sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian puteri dari Pendekar Bodoh ini. Dia telah menyaksikan kepandaian Hong Beng dan merasa kagum sekali. Apakah Lili juga sepandai kakaknya?

Di sepanjang jalan, Kam Liong selalu disambut dengan penuh penghormatan oleh para perwira dan pembesar setempat sehingga diam-diam Lili juga mengagumi pemuda yang masih muda sudah menduduki tempat tinggi ini. Juga Kam Liong selalu memperlihatkan sikap sopan santun, jauh sekali bedanya dengan pemuda kurang ajar yang dulu mencuri sepatunya itu! Lebih-lebih kalau ia teringat betapa pemuda kurang ajar itu telah menculik Lo Sian, makin gemaslah hatinya!

Pada saat Kam Liong ditanya oleh Lili mengenai pengalaman Goat Lan dan Hong Beng, Panglima Muda ini lalu menceritakannya dengan sejelasnya, diiringi dengan pujian-pujian kepada Goat Lan dan Hong Beng sehingga Lili makin suka kepada pemuda ini.

“Dan ketika aku melihatmu, kau nampak murung. Sebenarnya, kalau boleh kiranya aku mengetahui, kau sedang menuju ke manakah, Nona?”

Apa bila pertanyaan ini diajukan oleh Kam Liong pada saat mereka bertemu, belum tentu Lili mau menceritakannya. Akan tetapi oleh karena gadis ini melihat betapa Kam Liong sungguh-sungguh seorang pemuda yang baik, gagah, dan boleh dijadikan kawan, ia lalu berkata sambil menarik napas panjang.

“Ahh, di rumah telah terjadi peristiwa yang cukup menggemparkan dan membingungkan hatiku.”

Kam Liong segera memandang dengan penuh perhatian. “Apakah yang terjadi, Nona? Siapa kiranya orang gila yang berani main-main di rumah orang tuamu?”

“Ada orang jahat yang telah menculik Sin-kai Lo Sian bekas suhu-ku.”

“Apa...? Kau maksudkan Sin-kai Lo Sian, orang tua gagah yang kujumpai bersamamu dulu, orang tua yang menuliskan kata-kata bersemangat di dinding makam panglima itu?”

Lili mengangguk. “Benar, dia yang diculik orang.”

Ia lalu menuturkan peristiwa yang terjadi di rumahnya, betapa seorang pemuda bernama Song Kam Seng masuk ke dalam rumah seperti maling dan betapa tahu-tahu Lo Sian telah lenyap. Ia tidak menceritakan kepada Kam Liong bahwa ia tahu siapa penculik itu. Hatinya segan menuturkan siapa adanya orang yang menculik Lo Sian, karena kalau memang betul pemuda kurang ajar itu adalah putera Ang I Niocu, bukankah itu berarti ia memburukkan nama Ang I Niocu yang amat dikasihi oleh ayah bundanya?

Kam Liong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aneh sekali. Orang yang bernama Song Kam Seng itu, mengapa dia masuk rumah seperti pencuri? Apakah yang dicurinya?”

“Entahlah, hanya kutahu bahwa dia menaruh hati dendam terhadap ayah, dan rupanya karena ayah tidak berada di rumah dia hendak mencuri sesuatu.”

“Yang lebih aneh lagi adalah lenyapnya Sin-kai Lo Sian. Siapa orangnya yang berani dan dapat menculiknya? Dia adalah seorang tua yang memiliki kepandaian tinggi, bagaimana bisa diculik begitu saja? Aku masih meragukan apakah betul-betul diculik orang. Siapa tahu kalau memang dia sengaja pergi? Orang-orang kang-ouw memang banyak yang mempunyai watak aneh,” kata- pemuda itu.

Setelah diam sejenak, Lili teringat akan surat dulu itu, maka tanyanya, “Dan sekarang, Kam-ciangkun, maukah kau menjelaskan isi suratmu kepadaku dahulu itu? Kesalahan apakah yang telah diperbuat oleh kakakku Hong Beng sehingga kau menyatakan bahwa dia menjadi orang buruan?”

Merahlah wajah Kam Liong mendengar pertanyaan ini. “Aku telah salah sangka, Nona. Ketika itu, aku memang mengira bahwa pemuda itu putera Pendekar Bodoh, karena dia pandai sekali dan dia dapat mainkan ilmu-ilmu silat yang menjadi kepandaian ayahmu. Akan tetapi ketika aku bertemu dengan Saudara Hong Beng barulah aku tahu bahwa sesungguhnya pemuda itu bukanlah putera ayahmu.” Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong ketika Lie Siong menolong Lilani dari tangan Gui Kongcu.

Mendengar penuturan ini, diam-diam Lili merasa dadanya tidak enak sekali. Hemm, tidak tahunya ‘pemuda kurang ajar’ yang telah merampas sepatunya itu telah menolong gadis cantik yang dulu dilihatnya mengejar-ngejar pemuda itu dan agaknya hubungan mereka menjadi demikian eratnya sehingga mereka tidak dapat berpisah lagi!

Mendengar penuturan Kam Liong bahwa pemuda yang disangka saudaranya itu memiliki pedang yang berbentuk naga dan lidah merah dari pedang naga itu lihai sekali, dia tidak sangsi pula bahwa pemuda yang menolong Lilani itu tentulah pemuda kurang ajar yang mengaku-putera Ang I Niocu.

“Tahukah kau, Kam-ciangkun, siapa nama pemuda yang kau sangka saudaraku itu?”

“Dia berwatak aneh, keras dan tinggi hati sekali, Nona. Dia tidak mau memperkenalkan namanya. Akan tetapi ilmu pedangnya sungguh-sungguh hebat sekali. Kalau melihat ilmu silatnya, kurasa kepandaiannya tak berada di sebelah bawah dari kepandaian kakakmu, Saudara Hong Beng.”

Lili mencibirkan bibirnya sehingga dalam pandangan Kam Liong nampak manis sekali. “Huh, kepandaian macam itu saja mengapa dikagumi? Kalau aku bertemu dia, pedang naganya pasti tak akan berkepala lagi!”

Kam Liong merasa heran sekali mengapa gadis ini agaknya amat marah dan membenci pemuda berpedang naga itu, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Makin besar keinginan hatinya untuk menyaksikan kepandaian gadis yang agaknya jumawa sekali ini. Dia tidak percaya apa bila kepandaian gadis ini akan lebih tinggi dari pada kepandaian pemuda yang menolong Lilani itu.

Pada waktu mereka tiba di kota raja, Kam Liong segera mengajak Lili singgah di rumah gedungnya dan ia memperkenalkan gadis ini kepada ibunya yang sudah janda. Nyonya Kam ternyata adalah seorang wanita terpelajar yang halus dan ramah-tamah, dan terus mengajak Lili bercakap-cakap.

Sementara itu Kam Liong lalu membuat laporan kepada Kaisar, dan kemudian menerima perintah untuk memimpin sepasukan besar tentara pilihan untuk menuju ke utara dan menggempur para pengacau serta memperkuat penjagaan tapal batas karena terdengar berita akan adanya serangan dari Malangi Khan, raja bangsa Mongol.

Kam Liong membutuhkan waktu selama tiga hari di kota raja untuk membuat persiapan, kemudian berangkatlah pasukan di bawah pimpinannya. Kini pemuda itu mengenakan pakaian panglima dan makin gagah saja. Lili minta diri dari Nyonya Kam yang baik hati, kemudian gadis ini pun ikut dengan pasukan itu, naik kuda di depan bersama Kam Liong.

Ketika mendengar bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh, semua perwira dalam barisan itu menjadi kagum dan diam-diam mereka tersenyum karena menaruh harapan bahwa komandan mereka, Kam-ciangkun, akan berjodoh dengan pendekar wanita yang lincah dan jelita ini.

Lima hari setelah pasukan ini berangkat ke utara, mereka mulai melewati daerah yang amat sukar dan dingin. Diam-diam Lili merasa bersyukur bahwa ia ikut dalam rombongan ini, karena memang harus diakuinya bahwa kalau dia melakukan perjalanan seorang diri tentu dia akan menempuh kesukaran besar sekali.

Pada suatu hari, ketika pasukan itu dengan susah payah mendaki sebuah lereng gunung yang tertutup salju, tiba-tiba saja Kam Liong dan Lili yang berkuda di depan, melihat dua orang tua berlari cepat dari arah kanan.

“Hei...! Bukankah itu Kam-ciangkun yang memimpin pasukan?” tiba-tiba salah seorang di antara kedua kakek itu berseru girang sambil berlari menghampiri.

Ketika kedua orang ini sudah dekat, hampir saja Lili tidak dapat menahan ketawanya. Dia melihat dua orang pendeta, seorang tosu dan seorang hwesio yang keadaannya sangat lucu.

Mereka sudah tua dan tosu itu bertubuh tinggi kurus, mukanya yang keriputan saking tuanya itu nampak makin menyedihkan karena selalu dia bermuka seperti orang hendak menangis! Ada pun hwesio yang menjadi kawannya itu pun lucu sekali. Tubuhnya gemuk seperti tong besar, bajunya terbuka sehingga biar pun berada di tempat dingin, perutnya yang gendut selalu nampak. Mukanya bundar seperti bal dan selalu menyeringai seperti orang yang merasa gembira sekali.

“Kam-ciangkun, apakah kau hendak memimpin pasukanmu ke Alkata-san?” bertanya Si Tosu yang mau menangis itu.

Sebelum Kam Liong menjawab dan berkata dengan dua orang pendeta itu, Lili tak dapat menahan hatinya lagi dan bertanya girang,

“Apakah dua orang pendeta ini bukan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio?”

Kedua orang pendeta itu terkejut dan memandang kepada Lili dengan penuh perhatian.

“Kam-ciangkun, siapakah Nona yang cantik dan gagah ini?” Si Hwesio bertanya sambil tersenyum-seyum.

“Kawan lama, Ji-wi Losuhu (Dua Orang Pendeta). Kawan lama!” Kam Liong menjawab gembira. “Tentu Ji-wi takkan dapat menduga siapa dia, karena dia ini adalah Nona Sie Hong Lie, puteri dari Sie Cin Hai Taihiap Pendekar Bodoh!”

“Apa...?!” Ceng To Tosu dengan mewek-mewek mau menangis lalu menghampiri Lili dan memegang tangan kirinya, sedangkan Ceng Tek Hwesio yang semakin lebar ketawanya juga menghampirinya dan memegang tangan kanannya.

Lili menjadi gembira sekali. Sering kali ayah dan ibunya terkekeh-kekeh kalau bercerita tentang kedua orang ini yang muncul pada masa ayah ibunya masih muda. Kini melihat mereka, walau pun sudah nampak tua sekali namun keadaan mereka masih tetap tidak berubah, persis seperti yang digambarkan oleh ayah dan ibunya, mau tidak mau Lili lalu tertawa terpingkal-pingkal sehingga dia menggunakan tangan yang dipegang lengannya itu untuk menutupi mulutnya.

“Ji-wi Losuhu,” akhirnya dia berkata sesudah dapat menahan geli hatinya. “Jiwi hendak pergi kemanakah? Apakah Jiwi telah bertemu dengan ayah bundaku?”

“Di mana ayahmu? Di manakah Sie Taihiap? Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan dia,” jawab Ceng To Tosu.

“Ayah dan Ibu juga berada di daerah utara ini,” kata Lili.

“Apa...? Betulkah?” tanya Ceng Tek Hwesio.

Kemudian Kam Liong lalu menuturkan kepada kedua orang pendeta ini tentang semua peristiwa yang terjadi sehingga kedua orang pendeta itu menjadi girang sekali.

“Ahh, usiaku yang tinggal sedikit ini ternyata penuh dengan kebahagiaan,” kata Ceng To Tosu. “Berjumpa dengan Nona Sie Hong Li puteri Sie Taihiap sudah merupakan hal yang membahagiakan, apa lagi sekarang ada kemungkinan bertemu lagi dengan Sie Taihiap sendiri dan puteranya!”

“Akan tetapi Ji-wi Losuhu mengapa sampai berada di tempat ini? Ada keperluan penting apakah?” tanya Kam Liong.

Kini Ceng Tek Hwesio yang menceritakan dengan muka berseri-seri seakan-akan cerita itu merupakan sebuah cerita yang menggirangkan hati. Padahal cerita itu amat hebat dan seharusnya patut dibuat gelisah.

Ternyata bahwa Malangi Khan, raja bangsa Mongol, sudah membuat persiapan perang besar-besaran dan bala tentaranya dipecah menjadi dua, satu barisan menyerang dari utara dan barisan ke dua menyerang dari barat. Pertempuran-pertempuran kecil sudah pecah antara barisan Mongol yang di bagian barat sebagian besar sudah menggabung dengan tentara Tartar, melawan pasukan-pasukan penjaga kerajaan yang tidak berapa kuat.

“Sudah demikian hebat keadaannya?” kata Kam Liong dengan kaget.

“Itu masih belum hebat, Kam-ciangkun. Yang paling menggemaskan adalah terdapatnya banyak sekali orang-orang kang-ouw yang menggabungkan diri dan membantu Malangi Khan!”

“Hebat, siapakah pengkhianat-pengkhianat bangsa itu?”

“Belum diketahui, Ciangkun. Akan tetapi menurut laporan-laporan para prajurit yang dulu menjaga di perbatasan dan telah dipukul mundur, di antara pemimpin-pemimpin pasukan Tartar dan Mongol, banyak sekali terdapat orang-orang bangsa kita sendiri yang memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu kami sengaja mencarimu atas perintah suhu-mu dan siok-humu (pamanmu) yang telah mengumpulkan beberapa orang gagah untuk menjadi sukarelawan menghadapi serbuan musuh.”

Berseri wajah Kam Liong mendengar berita ini. “Suhu dan Siok-hu? Di mana mereka?”

“Tidak jauh dari sini, di hutan sebelah barat itu, Ciangkun. Marilah kau ikut bersama kami menjumpainya dan kau juga, Nona Sie. Kau akan bertemu dengan orang-orang gagah di sana.”

Tentu saja Lili tidak menolak. Sesudah berpesan kepada para perwira untuk memberi kesempatan kepada pasukan beristirahat di situ, Kam Liong beserta Lili lalu berjalan kaki mengikuti dua orang pendeta itu. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat, maka tak lama kemudian sampailah mereka di hutan yang nampak dari tempat pemberhentian tadi.

Suhu dari Kam Liong adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi besar berwajah galak. Sungguh pun usianya telah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi rambut kepalanya masih subur dan hitam sehingga ia nampak lebih muda dari usia sebenarnya! Tiong Kun Tojin masih terhitung suheng (kakak seperguruan) yang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada mendiang Kam Hong Sin.

Ada pun yang disebut paman atau siok-hu dari Kam Liong, adalah adik misan dari ayah Kam Liong dan bernama Kam Wi. Kam Wi juga bukan orang sembarangan, karena dia memiliki kepandaian yang tinggi pula. Ia menjadi sute (adik seperguruan) dari Tiong Kun Tojin. Selain sudah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai, juga Kam Wi telah mempelajari Ilmu Houw-jiauw-kang yang lihai, semacam ilmu silat tangan kosong yang amat berbahaya.

Oleh karena itu, Kam Wi jarang sekali mempergunakan senjata, sungguh pun dia pandai pula memainkan pedang. Dia selalu menghadapi lawannya hanya dengan tangan kosong, mengandalkan Ilmu Silat Houw-jiauw-kang yang sempurna. Dan oleh karena Ilmu Silat Houw-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Harimau) inilah maka dia sudah mendapat julukan Sin-houw-enghiong (Pendekar Harimau Sakti)!

Tiong Kun Tojin dan Kam Wi mempunyai watak yang cocok. Keduanya beradat keras, berangasan, akan tetapi jujur serta gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan. Kalau Tiong Kun Tojin sudah berusia empat puluh tahun, adalah Kam Wi baru berusia tiga puluh tahun lebih. Juga ia mempunyai tubuh tinggi besar seperti suheng-nya.

Pada waktu mendengar tentang penyerbuan dan pengacauan bangsa Mongol dan Tartar di daerah perbatasan negaranya, maka kedua orang gagah ini timbul semangat dan jiwa patriotnya. Mereka segera meninggalkan Gunung Kun-lun-san dan menuju ke utara.

Di sepanjang perjalanan mereka mengajak para tokoh kang-ouw. Kemudian mereka lalu berkumpul di hutan itu, hutan yang hanya dilindungi oleh pohon-pohon gundul karena daunnya telah rontok semua. Dahan-dahannya kini penuh oleh salju yang menggantikan kedudukan daun-daun yang sudah lenyap.

Di tengah-tengah hutan yang berada di lereng gunung itu terdapat sebuah goa besar dan karena adanya goa besar inilah maka tokoh-tokoh Kun-lun-pai itu memilih tempat ini.

Ketika Kam Liong dan Lili yang mengikuti dua orang pendeta itu tiba di luar goa, mereka melihat sinar api dari dalam goa. Ternyata bahwa di dalam goa itu duduk lima orang yang mengelilingi api unggun yang bernyala besar. Hawa panas keluar dari goa itu dan karena hawa di luar goa demikian dinginnya, maka panas ini mendatangkan udara yang nyaman sekali.

“Aduh, enak... enak...!” kata Ceng Tek Hwesio sambil tersenyum-senyum dan mendekati mulut goa.

“Kam-ciangkun, kalau kau dan Nona Sie kuat menghadapi panas yang hebat itu, maka masuklah, berjumpa dengan suhu-mu. Kami berdua tidak kuat bertahan terlalu lama di dalam neraka itu!” kata Ceng To Tosu.

Dari luar Kam Liong sudah melihat suhu-nya dan pamannya duduk bersama tiga orang lain yang tidak dikenalnya. Nampak mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya. Kam Liong maklum bahwa tanpa mempunyai tenaga lweekang yang tinggi, tak mungkin orang akan dapat bertahan duduk di goa yang panas itu sampai lama.

Ia telah maklum akan kepandaian Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, namun kedua orang pendeta itu masih tidak kuat tinggal lama-lama di dalam goa dan kini hanya duduk di luar goa! Akan tetapi, tidak percuma ia menjadi murid Tiong Kun Tojin, tokoh luar biasa dari Kun-lun-pai. Ia maklum bahwa untuk kuat bertahan di dalam goa yang panas itu, dia harus mengerahkan lweekang-nya guna memperkuat daya Im-kang di dalam tubuh untuk melawan daya Yang-kang. Ia lalu melirik kepada Lili yang memandang ke dalam dengan sikap acuh tak acuh.

“Nona, kalau terlalu panas untukmu, biarlah aku masuk menjumpai Suhu dan siok-hu.”

“Siapa bilang terlalu panas? Aku pun ingin sekali berjumpa dengan orang-orang yang suka mendekati api itu,” jawab Lili, karena diam-diam gadis ini pun amat tertarik hatinya melihat lima orang yang seakan-akan mendemonstrasikan kepandaian mereka itu.

Mendengar jawaban ini, selain tertegun Kam Liong juga kagum dan gembira, karena kali ini ia akan dapat menyaksikan dan membuktikan hingga di mana keunggulan kepandaian gadis ini. Ia lalu melangkah masuk diikuti oleh Lili.

Bukan main panasnya hawa di dalam goa itu. Baiknya di langit-langit goa terdapat lobang di antara batu karang sehingga asap api unggun itu dapat keluar dan tidak menyesakkan napas di dalam goa. Akan tetapi api yang besar itu benar-benar membuat kulit serasa hampir terbakar.

Ketika melihat kedatangan Kam Liong dan Lili, lima orang yang sedang bercakap-cakap itu segera menunda percakapan mereka dan kini semua mata tertuju kepada dua orang muda ini.

“Suhu, sungguh menggembirakan dapat bertemu dengan Suhu di sini!” kata Kam Liong setelah berlutut, kemudian ia berpaling kepada pamannya dan berkata, “Siok-hu, apakah Siok-hu baik-baik saja?”

Kedua orang tua itu girang melihat Kam Liong.

“Ah, kebetulan sekali. Kau baru datang?” tanya suhu-nya. “Memang kami sedang bicara tentang penyerbuan musuh. Kebetulan kau datang, karena sesungguhnya secara resmi, kaulah yang bertanggung jawab menghadapi mereka.”

Sebaliknya, pada saat Kam Wi melihat Lili yang masih muda dan cantik itu dapat pula bertahan memasuki goa dan sama sekali tidak nampak kepanasan, diam-diam ia merasa kagum sekali.

“Eh… Liong-ji (Anak Liong), siapakah Nona yang gagah ini?”

“Dia adalah Nona Sie Hong Li, puteri dari Sie Taihiap!”

“Kau maksudkan Sie Taihiap Pendekar Bodoh?” tanya Kam Wi setengah tidak percaya.

Ketika Kam Liong mengangguk membenarkan pertanyaan ini, tidak saja Kam Wi yang memandang dengan penuh perhatian bahkan Tiong Kun Tojin dan ketiga orang lain itu memandang dengan penuh perhatian. Terdengar seorang di antara ketiga kakek yang duduk di situ mengeluarkan seruan heran dan berkata,

“Ah, kebetulan sekali! Telah lama sekali kami merindukan untuk menyaksikan kepandaian Pendekar Bodoh yang telah amat terkenal namanya. Hari ini bertemu dengan puterinya, setidaknya kami akan dapat menilai sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar Bodoh yang terkenal itu!”

Mendengar nama ayahnya disebut-sebut oleh suara orang yang agaknya sombong ini, Lili segera mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian. Suhu dari Kam Liong dan juga pamannya, memang patut menjadi orang gagah.

Wajah mereka kereng dan tubuh mereka pun tinggi besar, terutama sekali pandang mata dua orang tokoh Kun-lun-pai ini amat tajam dan memandang dengan jujur dan langsung. Akan tetapi, tiga orang kakek lainnya yang duduk di situ betul-betul membuat Lili hampir tertawa geli. Orang-orang macam ini pantas sekali kalau menjadi sahabat Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, karena mereka ini pun mempunyai bentuk tubuh yang aneh.

Yang bicara tadi adalah seorang yang tubuhnya seperti anak-anak, kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih semua. Dia mengempit sebuah payung butut. Orang yang ke dua bertubuh gemuk pendek dengan muka lebar dan mulut serta mata besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’. Orang ini selalu tersenyum lebar dan di pinggangnya terlilit rantai yang panjang dan besar. Orang ke tiga bertubuh tinggi kecil dan kepalanya yang kecil tertutup kopyah. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri, ada pun jenggotnya yang hitam berbentuk jenggot kambing. Ia memegang sebatang tongkat sederhana.

Lili sama sekali tak pernah menduga bahwa tiga orang ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun) yang amat tersohor namanya. Seperti pernah dituturkan di bagian depan, pada waktu mencarikan obat untuk putera pangeran, Goat Lan pernah bertemu dengan tiga orang kakek itu. Juga pernah dituturkan bahwa ketiga orang kakek ini setelah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa pertandingan pibu melawan rombongan Pendekar Bodoh akan diadakan setahun lagi, yaitu pada permulaan musim semi, lalu meninggalkan Ban Sai Cinjin untuk melanjutkan perantauan mereka.

Sungguh pun ketiga orang kakek ini memiliki kegemaran yang buruk, yaitu suka sekali berkelahi dan mencoba ilmu kepandaian serta tidak mau kalah, namun mereka masih tetap merupakan orang-orang gagah yang tak mau melakukan kejahatan. Bahkan orang pertama, Thian-he Te-it Siansu yang bertubuh kate, dan Lak Mau Couwsu yang pendek gemuk, mempunyai jiwa pahlawan.

Mereka berdua ini merasa tak senang mendengar betapa bangsanya banyak yang diculik dan dirampok oleh orang-orang Mongol dan Tartar. Orang ke tiga, yang bernama Bouw Ki, sebetulnya adalah seorang keturunan Mongol, akan tetapi ketika mendengar betapa kedua orang suheng-nya hendak membantu tentara kerajaan mengusir para pengacau bangsa Tartar dan Mongol, dia segera menyatakan kesediaannya untuk membantu pula!

Dahulu Bouw Ki menjadi tokoh di negara Mongol. Akan tetapi semenjak Malangi Khan merebut tahta kerajaan, dia melarikan diri dan mendendam kepada Malangi Khan yang sudah banyak membunuh keluarganya.

Demikianlah, ketika Hailun Thai-lek Sam-kui bertemu dengan Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, kedua orang tokoh Kun-lun-pai ini, mereka segera mengadakan pertemuan di dalam goa itu untuk merundingkan maksud mereka membantu gerakan tentara pemerintah yang hendak mengusir bangsa Tartar dan Mongol. Inilah sebab mengapa Lili menjumpai mereka di dalam goa.

Ketika kelima orang tua itu mengadakan pertemuan di dalam goa, dengan jujur Kam Wi menyatakan bahwa hawa sangat dingin. Mendengar ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan ia mengusulkan membuat api unggun di dalam goa. Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu disuruh mengumpulkan kayu kering dan tidak lama kemudian bernyala api unggun besar di dalam goa itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)