PENDEKAR REMAJA : JILID-32


Lili yang roboh pingsan saking lelahnya tak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata dia telah berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang sudah dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya memang menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang sehingga merupakan tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar.

Lili didudukkan menyandar batu karang dan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat. Ketika dia membuka matanya, dia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api, duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi.

Dulu secara iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan memberi pelajaran kepadanya mengenai bahasa Haimi, maka biar pun hanya sedikit, Lili dapat menangkap percakapan mereka.

“Jangan, Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Taihiap yang telah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!” terdengar seorang Haimi yang sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis.

Ucapan ini agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ, karena mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu menjadi marah.

“Siapa takut pada Pendekar Bodoh? Tak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orang-orang Mongol? Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula. Apa bila kita membawanya kepada Malangi Khan kemudian mempersembahkannya, tentu dia akan berterima kasih dan girang sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik ini.”

Kembali terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju. Semua ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Dia mendapat kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini bagaimana pun juga masih menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka semua agaknya takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.

Diam-diam Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong, mendengar lamaran yang kasar hingga membuat mukanya selalu menjadi merah kembali kalau mengingatnya. Setelah meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh pula dalam tangan serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan Mongol! Bila ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia!

Akan tetapi Lili tak pernah berputus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini tidak akan mati putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada. Betapa pun hebat mala petaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri.

Dengan pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia segera meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.

Memang cerdik sekali pikiran Lili ini. Apa bila ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia tidak akan dapat tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan kegelisahan dan tidak dapat tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Meski pun kaki tangannya terasa kaku dan kesemutan, namun dia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tak bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut.

Melihat keadaan orang-orang ini, maka timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup seperti orang-orang ini. Agaknya tak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya sebagai budak belian, di bawah perintah orang Haimi tak berkumis yang kini telah diperbudak pula oleh orang-orang Mongol itu. Kemanakah perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah bundanya?

Pada saat Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga sudah bangun dan sedang menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita.

Cuaca pagi hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Di dalam pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari dari kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biar pun di sana-sini sudah ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing.

Tangan wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan cahaya mencorong bagaikan bintang pagi, mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan wanita baju merah itu lebih pendek dari pada Liong-cu-kiam ayahnya.

Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya. Tanpa terasa lagi gadis ini meramkan matanya.

Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya sudah terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung!

Cepat-cepat dia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap putih. Lili melakukan gerakan ini di samping untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.

Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya,

“Siapa kau? Dari mana kau mempelajari Pek-in Hoat-sut?”

Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Sesudah terlihat jelas wajah ini ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan seluruh kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu. Pada saat itu juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.

“Ang... Ang... I Niocu....,” katanya dengan suara gemetar.

Dua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.

“Kau siapakah? Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu adanya.

“Ahh... Ie-ie (Bibi) Im Giok...!” Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu.

Semenjak kecilnya, ibunya sering kali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri. Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukan karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu merupakan seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguh pun ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa mala petaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas pipinya.

Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. “Kau puteri Lin Lin, anak Cin Hai...?” bisiknya.

“Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie Hong Beng.”

Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!

Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.

“Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!” teriaknya.

Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili sambil berkata, “Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-ha-ha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-ie-mu, meski pun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!” Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya!

Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam dan asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan pedang ini di dalam goa, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai ada pun yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!

Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia pun dapat menduga bahwa kalau wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.

“Ie-ie Im Giok, tahan dulu...!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”

Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili sudah kuatir kalau nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan, “Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka.”

“Terima kasih, Ie-ie, tidak usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!” Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam juga.

Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menunggu datangnya serbuan puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.

“Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang sejak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang sangat jahat! Kalian hidup dalam bahaya akan kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan pemimpinmu yang jahat itu dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!”

Tak seorang pun di antara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan dengan pedang di tangan.

“Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong itu? Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu itu jahat sekali!”

“Ha-ha-ha, kau bernama Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku? Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan cara pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!”

Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya. Akan tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras, “Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!”

Akan tetapi tiada seorang pun di antara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata. Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, kemudian menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti. Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban.

Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu. Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban. Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.

Ang I Niocu mau tidak mau tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah dan tabah seperti ibunya, akan tetapi tenang dan penuh perhitungan seperti ayahnya.

Ahh, ia merasa menyesal mengapa dia telah menjauhkan diri dari mereka ini. Kalau saja ia tahu bahwa Cin Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah ini, dari dahulu tentu sudah dipinangnya gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!

Kalau dibuat perbandingan, ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu bagaikan seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah Lili membalas serangan lawan. Dia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu tangan kirinya bergerak…

“Plokk!” terdengarlah suara yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.

Saliban merasa seakan-akan kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang dipijaknya serasa beralun. Akan tetapi dia masih mampu mempertahankan dirinya. Walau pun ia merasa betapa separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar, ia tetap saja maju menyerang dengan mati-matian!

Saliban memekik kesakitan pada waktu pukulan Pek-in Hoat-sut itu mengenai dadanya. Pedangnya terampas dengan amat mudahnya dan akibat pukulan yang lihai itu, tubuhnya terpental sampai beberapa tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah kumpulan kawan-kawannya yang memandang dengan mata terbelalak kagum.

Lili memang betul berhati pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya dia tidak punya niat membunuh Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras, merampas pedangnya dan menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya.

Karena itu dia terkejut sekali melihat betapa tiba-tiba rombongan orang-orang Haimi yang berkumis panjang itu kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak itu dengan golok dan pedang mereka. Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban menjadi hancur lebur tercacah oleh puluhan batang golok dan pedang.

Lili melompat ke tempat itu hendak mencegah, akan tetapi telah terlambat. Tubuh Saliban sudah hancur tidak karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat Lili melompat dekat, mereka lalu melepaskan senjata dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan gadis gagah itu.

“Lihiap, jahanam ini sudah terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami,” kata seorang Haimi tua yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak Saliban. “Semenjak bangsa kami diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol sehingga kepala kami yang bernama Manako melarikan diri dan Meilani telah tewas, kami hidup seperti budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran dan hati sendiri. Bangsat rendah Saliban ini menambah mala petaka, karena dia pandai bermuka-muka sehingga diangkat oleh Malangi Khan sebagai pemimpin kami. Hari ini, Lihiap sudah datang dan membebaskan kami dari tindasan Saliban, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari tindasan orang-orang Mongol. Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan mala petaka yang lebih besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri kami dibunuh oleh orang Mongol!” Sesudah orang tua ini berkata demikian, kemudian terdengar isak tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi itu telah menangis sedih.

Ang I Niocu yang datang berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu dengan suara mengejek, “Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja yang panjang, akan tetapi pikiranmu pendek sekali. Hanya tampangnya saja yang gagah akan tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi wanita yang selemah-lemahnya! Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata. Persoalan tak mungkin bisa dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Apa bila kalian mempunyai kesulitan, lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena sekali Nona ini telah mengeluarkan kesanggupan pasti akan dipenuhi.”

Orang-orang Haimi yang mendengar kata-kata ini, menjadi merah mukanya karena malu dan jengah. Mendengar nasehat mengenai kegagahan dari seorang wanita tua, sungguh amat memalukan sekali.

“Siapakah kau, Toanio, yang mengeluarkan kata-kata segagah ini?” tanya orang Haimi tua tadi.

Dengan suara bangga, Lili segera memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka. “Kalian tentu sudah pernah mendengar nama Ang I Niocu, bukan? Nah, inilah dia Ang I Niocu, pendekar wanita terbesar di segala jaman! Dia adalah Twa-ie-ku yang tercinta. Dengan adanya dia di sini, apakah kalian masih ragu-ragu lagi bahwa aku takkan dapat menolong kalian? Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang hanya seorang manusia biasa itu, biar pun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang dewata, dengan Ie-ie-ku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!”

Nama besar Ang I Niocu memang sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat sampai ke timur, maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali yang tua-tua, juga telah mendengar dan mengenal nama ini. Maka serentak mereka memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala.

“Kalau begitu, mulai hari ini juga kami mengangkat Lihiap serta Niocu sebagai pemimpin-pemimpin kami. Hanya kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib bangsa kami. Ketahuilah, Lihiap dan Niocu, sesudah kami dikalahkan oleh bangsa Mongol, keluarga kami yaitu isteri, orang-orang tua dan anak-anak kami semua dikumpulkan dalam sebuah kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa hari sekali kami dibolehkan menjumpai mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang jahat untuk merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak mau kami tidak berani membantah perintah mereka yang dikeluarkan melalui mulut Saliban yang khianat!”

Mendengar penuturan ini, baik Lili mau pun Ang I Niocu menjadi marah sekali.

“Di mana tempat keluarga kalian itu terkurung?” tanya Ang I Niocu.

“Tidak jauh dari sini, di sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san,” jawab orang Haimi tua tadi.

“Nah, kita tunggu apa lagi? Mari berangkat ke sana untuk menolong mereka,” kata pula Ang I Niocu.

Orang-orang Haimi itu terkejut sekali. “Akan tetapi... tempat itu sudah dijaga oleh seratus orang-orang yang jahat.”

Lili menjadi hilang sabar. “Pengecut! Kalian tadi sudah mengakui kami berdua sebagai pemimpin, kenapa sekarang masih banyak membantah lagi? Apakah kalian tak percaya kepada Ie-ie-ku? Kalau tidak percaya, sudah saja, kami pergi meninggalkan kalian!”

Mendengar ini buru-buru orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian dengan wajah girang orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang jumlahnya masih ada empat puluh dua orang, lalu beramai-ramai mereka pergi menuju ke dusun di mana keluarga mereka yang jumlahnya hampir seratus orang wanita, orang-orang tua, dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.

Tempat di mana keluarga Haimi itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Di sana hanya terdapat gubuk-gubuk yang sangat sederhana dan miskin, dan penghidupan keluarga Haimi itu tak lebih baik dari pada penghidupan sekelompok ternak. Benar saja, di sekeliling kampung itu dijaga oleh orang-orang Mongol yang bersenjata lengkap, dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu mendapat gangguan yang kurang ajar dari para penjaganya.

Ang I Niocu dari Lili yang mengepalai empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke kampung itu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini selalu bercakap-cakap seperti dua orang keluarga yang telah lama berpisah.

“Ie-ie, aku pernah bertemu dengan puteramu,” kata Lili.

Ang I Niocu cepat menengok dan memandang dengan wajah berseri-seri. “Betulkah? Kau sudah bertemu dengan Siong-ji? Di mana? Bagaimana dia?”

Lili adalah seorang gadis yang jujur seperti ayahnya. Biar pun ia gemar sekali berjenaka, akan tetapi pada saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.

“Menyesal sekali harus kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga... kurang ajar sekali, Ie-ie!”

Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini, sehingga dia lalu menoleh ke belakang dan membentak semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat! Kemudian dia menarik tangan Lili ke bawah batang pohon dan berkata, suaranya sungguh sangat menyeramkan, “Nah, katakanlah terus terang, mengapa kau menganggap dia demikian? Apakah yang telah dia perbuat?”

“Perjumpaanku yang pertama adalah ketika ia… ia mengganggu seorang gadis cantik!” Kembali Ang I Niocu terkejut sekali.

“Tak mungkin! Siong-ji tidak akan melakukan perbuatan seperti itu!”

Akan tetapi Lili lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong pada waktu pemuda ini hendak meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya sehingga kemudian dia bertempur dengan Lie Siong.

“Agaknya puteramu itu... mencinta gadis itu atau sebaliknya.”

“Siapa gadis itu, Lili? Dan mengapa puteraku bisa bersama dengan dia dan melakukan perjalanan bersama?”

“Bagaimana aku dapat menjawab pertanyaan ini, Ie-ie? Aku hanya bertemu sebentar dan pertemuan itu pun bukan pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur karena tidak saling mengenal.”

“Hemm, sudahlah, dan kemudian di mana lagi kau berjumpa dengan dia?”

“Yang kedua kalinya, kami berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat itu... puteramu dan aku telah bertempur karena puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dalam pertempuran ini... ia...” Lili berhenti sebentar karena wajahnya menjadi merah sekali dan untuk sejenak ia menundukkan mukanya, “dia telah... berlaku amat kurang ajar terhadap aku, Ie-ie...”

“Ia berbuat apakah? Lekas, lekas ceritakan, aku tak sabar lagi.”

“Dia telah merampas sebelah sepatuku!”

“Apa...??” Kini Ang I Niocu memandang dengan mata terbelatak. “Merampas sepatumu? Untuk apakah?”

Makin merah wajah Lili. “Entahlah, siapa tahu?”

Lili cemberut sehingga hampir Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin Lin, ibunya.

“Aku tidak dapat mengejar karena kakiku telanjang. Dia pergi sambil membawa sepatuku dan luka di punggungnya.”

“Hmm, aneh... aneh, mengapa Siong-ji menjadi begitu aneh?”

“Masih belum hebat, Ie-ie. Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah bundaku pergi ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!”

“Gila! Apa artinya semua ini, Lili? Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo Sian? Kalau misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuh Sin-kai Lo Sian. Akan tetapi menculik pengemis, untuk apa?”

Sebetulnya Lili merasa enggan untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang mata Ang I Niocu demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus dadanya, maka ia tidak berani menyembunyikannya lagi.

“Harap Ie-ie mendengar dengan tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui satu hal yang amat penting dan mengejutkan hati. Dia pernah menyatakan dan terdengar oleh puteramu bahwa... bahwa... suamimu telah meninggal dunia.”

Lili melihat betapa wajah Ang I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan tetapi tidak sebuah pun seruan kaget keluar dari mulutnya.

“Di mana matinya? Bagaimana dan oleh siapa?” hanya demikian tanyanya.

“Inilah soalnya, Ie-ie. Ini pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan terhadap diri Sin-kai Lo Sian, untuk memaksanya memberi penjelasan. Ah, kasihan orang tua itu, dia sesungguhnya tidak dapat memberi keterangan itu karena ingatannya sudah hilang.”

“Apakah maksudmu?”

Dengan jelas Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu bangkit berdiri. Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata keluar dari mulutnya lagi.

Lili memandang dengan terharu dan amat kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah. Menderita pukulan batin yang hebat, mendengar kematian suaminya, tapi tidak mencak-mencak atau menangis seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi berdiri mengatur napas dan termenung menenteramkan batin untuk mengatasi pukulan itu.

Tanpa bergerak atau menoleh, tiba-tiba Ang I Niocu berkata, “Lili, bencikah kau kepada anakku?”

Lili terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapat pertanyaan seperti ini. Ia seorang gadis yang jujur, apa lagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak ingin membohong. Bencikah ia terhadap Lie Siong pernuda kurang ajar itu? Wajah pemuda itu sering kali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan kekurang ajarannya.

“Tidak, Ie-ie. Penuturanku tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku. Mengapa aku harus membencinya? Biar pun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan membawa lari sepatuku...”

“Itu tanda dia suka kepadamu, anak bodoh!”

Lili tertegun. “Aku... aku tidak benci kepadanya Ie-ie,” katanya dengan hati tetap karena ia tidak membenci ketika mengatakan hal ini.

“Dan kau suka kepadanya?” Ang I Niocu bertanya pula, masih belum bergerak dan tidak menoleh.

Berdebar jantung Lili. Sungguh hebat sekali Ang I Niocu ini, langsung menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan yang demikian jitu dan terus terang, betul-betul menyulitkannya. Agaknya demikian pula jika pendekar wanita ini menyerang lawan dengan pedang. Jitu, hebat, dan langsung!

“Ie-ie, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu ini? Sungguh sukar bagiku untuk menjawab. Apakah maksudmu dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?”

“Masudku, Lili,” kata Ang I Niocu yang kini tiba-tiba menoleh lantas memandang tajam kepada gadis itu, “karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh, engkaulah yang akan menjadi jodohnya! Dulu ketika aku bertemu dengan puteri Kwee An dan Ma Hoa yang bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa dialah yang patut menjadi mantuku.”

“Enci Goat Lan adalah tunangan Engko Hong Beng,” Lili memprotes.

“Lebih-lebih begitu. Setelah aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan mengijinkan Siong-ji menikah selain dengan engkau!”

Bukan main jengahnya perasaan Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke telinganya dan dadanya berdebar. Ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu tanda girang atau marah.

“Tidak mungkin, Ie-ie. Puteramu itu sudah mencintai seorang gadis lain yang melakukan perjalanan bersama dia!”

“Apakah kau yakin bahwa Siong-ji mencintainya?”

“Aku tidak mau tahu urusan orang lain,” jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya kalau marah. “Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya.”

“Tidak mungkin Siong-ji menjatuhkan hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti engkau. Ah, sudahlah, hal itu akan mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau menjadi mantuku?”

“Ie-ie, dalam hal ini, aku hanya dapat menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku dapat memutuskannya sendiri?”

Ang I Niocu memberi tanda ke belakang agar rombongan itu bergerak lagi, tanda bahwa percakapan dengan Lili telah dihabisinya. Kali ini, di sepanjang perjalanan Lili tak banyak bercakap lagi. Dia merasa kikuk dan malu-malu terhadap Ang I Niocu sesudah pendekar wanita itu menyatakan hendak mengambil mantu padanya.

Terbayang berganti-ganti wajah Kam Liong, Song Kam Seng, dan Lie Siong. Kam Liong dan Song Kam Seng tidak dapat disangkal lagi tentu mencintainya, jelas nampak dalam sikap mereka. Akan tetapi Lie Siong? Benarkah ucapan Ang I Niocu bahwa perampasan sepatu itu menjadi tanda bahwa pemuda itu suka kepadanya? Apakah bukan sekedar hendak menghinanya belaka?

Ketika rombongan itu sudah tiba di depan pintu gerbang dusun di mana keluarga Haimi itu ditahan, para penjaga menghardik orang-orang Haimi itu.

“Siapa menyuruh kalian datang pada waktu ini? Belum tiba waktunya kalian dibolehkan masuk ke sini! Mana Saliban? Panggil ia maju, agar dia yang bicara dengan kami,” kata kepala penjaga, seorang Mongol yang tinggi besar dan berwajah menyeramkan.

“Bangsat Mongol, tidak usah banyak buka mulut! Lebih baik buka pintu gerbang lantas minggatlah kau dan orang-orangmu dari sini!” Lili melompat maju sambil menudingkan kipasnya.

Sejak tadi gadis ini sudah mencabut kipasnya dan mengipasi tubuhnya yang berkeringat karena perjalanan itu. Di sepanjang jalan keadaan gadis ini dan Ang I Niocu memang menimbulkan keheranan para orang Haimi.

Hawa udara amat dinginnya akan tetapi kedua orang wanita itu berpeluh dan nampaknya kepanasan! Mereka tidak tahu bahwa memang Lili dan Ang I Niocu mengerahkan hawa dalam tubuh untuk membikin panas tubuhnya, melawan hawa dingin sambil melancarkan peredaran darah, maka mereka merasa kepanasan sampai berkeringat. Ada pun kipas Lili ini dahulu tidak dirampas oleh Saliban karena tak seorang pun menduga bahwa kipas itu adalah sebuah senjata yang ampuh dari Lili.

Orang Mongol tinggi besar yang mendengar bentakan ini, tertawa bergelak gelak-gelak. “Ha-ha-ha! Mana Saliban? Bagus benar, dia sudah membawa seorang tawanan wanita yang sedemikian cantiknya! Sayang otaknya agak miring! Akan tetapi aku suka memberi dia sepuluh potong uang emas untuk ditukar denganmu! Ha-ha-ha!”

Akan tetapi suara ketawanya segera disusul dengan pekik mengerikan pada waktu Lili menggerakkan kipasnya yang gagangnya dengan telak menotok leher orang Mongol itu. Pekik mengerikan ini hanya keluar untuk mengantar nyawanya meninggalkan raganya.

Gegerlah seketika karena orang-orang Haimi juga sudah menyerbu dan menyerang para penjaga Mongol itu. Juga Ang I Niocu segera bergerak, pedangnya merupakan halilintar menyambar-nyambar dan di mana sinar pedangnya berkelebat, pasti ada sebuah kepala orang Mongol terpisah dari lehernya! Amukan Lili dan Ang I Niocu sedemikian hebatnya sehingga sebentar saja sisa-sisa para penjaga Mongol itu melarikan diri sambil berteriak-teriak ketakutan, pergi meninggalkan kawan-kawan mereka yang telah tewas bertumpuk-tumpuk di luar pintu gerbang.

Pertemuan antara keluarga Haimi dengan para prajurit Haimi itu sungguh mengharukan sekali. Akan tetapi Ang I Niocu segera memberi perintah agar semua orang segera pergi meninggalkan kampung itu dan beramai-ramai menuju ke timur. Di sebelah timur terdapat sebuah hutan lebat di lereng Bukit Alkata-san dan di sinilah mereka berhenti.

Ang I Niocu tidak takut akan pembalasan orang-orang Mongol, akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk melindungi sekian banyaknya orang apa bila terjadi pertempuran dengan orang-orang Mongol. Setelah berada di tengah hutan, orang-orang Haimi lalu membuat pagar dan pondok-pondok darurat, kemudian diadakan penjagaan yang kuat.

Sesudah itu, orang Haimi yang tua itu lalu memimpin kawan-kawannya untuk berlutut menghaturkan terima kasih kepada Lili dan Ang I Niocu.

“Lili, kau pimpinlah orang-orang ini. Kasihan mereka. Aku mendengar bahwa bala tentara kerajaan dan orang-orang gagah sedang melakukan penjagaan untuk memukul mundur orang-orang Mongol. Kalau keadaan sudah aman, barulah kau tinggalkan orang-orang ini, atau boleh kau serahkan kepada penjagaan tentara kerajaan.”

“Aku akan memimpin mereka mencari benteng tentara kerajaan di mana terdapat pula Engko Hong Beng, Enci Goat Lan dan mungkin kedua orang tuaku, Ie-ie.”

“Hemm, jadi Cin Hai dan Lin Lin juga sudah turun tangan untuk mengusir orang-orang Mongol? Bagus! Sayang sekali aku tidak ada nafsu untuk mencampuri pertempuran ini. Aku hendak mencari puteraku, dan ingin mencari pembunuh suamiku pula. Kau bawalah mereka ke mana kau suka, Lili, akan tetapi berhati-hatilah. Melihat ilmu silatmu aku bisa percaya sepenuhnya bahwa kau akan dapat melakukan tugas ini.”

Setelah berkata demikian dan memeluk Lili, Ang I Niocu lalu berkelebat pergi. Dalam pandangan mata orang-orang Haimi yang berada di situ, nyonya merah ini sama saja dengan menghilang karena lompatannya demikian cepat sehingga tidak kelihatan lagi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali.

“Untuk sementara, dalam beberapa hari ini, biar kita beristirahat dulu di sini,” kata Lili kepada orang-orang Haimi itu, “kita mengumpulkan tenaga dan menjaga kalau-kalau ada pasukan Mongol yang menyerang. Kemudian, kita harus pergi ke lereng Alkata-san untuk mencari benteng pertahanan tentara kerajaan.”

“Lihiap, aku tahu di mana adanya benteng itu, hanya kurang lebih seratus li dari sini!” kata orang Haimi tua yang ternyata kemudian bernama Nurhacu itu.

“Bagus sekali, Paman Nurhacu. Baiklah, kelak kau yang menjadi penunjuk jalan. Tetapi sekarang perkuatlah penjagaan, aku pun perlu sekali beristirahat. Kita tunggu sampai lima hari, kalau keadaan sudah nampak aman, baru kita membawa keluarga ini menuju ke benteng itu.”

Lili diperlakukan sebagai kepala atau ratu mereka. Semua orang menghormati gadis ini yang dianggap sebagai dewi penolong mereka. Segala macam keperluan gadis ini telah disediakan pula dan para wanita juga melayaninya dengan penuh kebaktian sehingga diam-diam Lili merasa terharu. Kalau saja tidak ada orang tuanya dan kawan-kawan lain, agaknya ia akan suka sekali hidup sebagai kepala suku Haimi yang ternyata selain jujur, juga amat manis budi ini.

Tiga hari kemudian, pada siang hari, seorang penjaga dengan wajah khawatir datang melapor kepada Lili.

“Lihiap, dari arah selatan datang tiga orang. Mereka itu adalah seorang wanita dan dua orang laki-laki. Dan yang wanita kami kenal sebagai puteri dari kepala suku bangsa kami yang dulu, yaitu Lilani, puteri Manako dan Meilani! Menanti keputusan Lihiap apakah yang harus kami lakukan karena mereka itu sedang menuju ke sini!”

Berdebar hati Lili mendengar laporan ini, Lilani, puteri Manako dan Meilani? Gadis Haimi dan dua orang laki-laki?

“Bagaimana macamnya dua orang laki-laki itu?” tanyanya.

“Yang seorang adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, agaknya seorang ahli silat karena pedangnya tergantung pada pinggang. Yang ke dua adalah seorang laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan.”

Makin berdebar dada Lili mendengar ini. Tidak salah lagi, mereka tentulah Lie Siong dan Lo Sian! Jadi wanita yang melakukan perjalanan bersama Lie Siong itu adalah puteri dari Manako dan Mellani? Ahh, bagaimana ada hal yang demikian kebetulan?

“Jangan menggunakan kekerasan,” katanya dengan suara tetap setelah berpikir sejenak, “akan tetapi tawan mereka dan bawa menghadap kepadaku!”

“Ditawan...??” penjaga itu ragu-ragu. “Akan tetapi wanita itu adalah Lilani, puteri dari...”

“Cukup! Jangan membantah. Bawa mereka menghadap ke sini! Dan apa bila mereka melakukan perlawanan, datang lapor lagi, aku sendiri yang akan menawan mereka!”

Sementara itu, Nurhacu yang mendengar bahwa Lilani sudah datang, dengan girang dia bersama kawan-kawannya lalu berlari-lari menyambut kedatangan puteri kepala mereka itu.

Yang datang memang benar Lilani, Lie Siong dan Lo Sian. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka ini sengaja melanjutkan perjalanan ke utara untuk mencari suku bangsa Haimi. Pada hari kemarinnya, tiga orang ini bertemu dengan sepasukan orang Mongol yang terdiri dari belasan orang.

Lie Siong segera menyerbu dan menangkap seorang di antara mereka, lalu memaksanya memberi keterangan di mana adanya suku bangsa, Haimi. Orang Mongol yang sudah tak berdaya lagi itu memberi tahu bahwa bangsa Haimi yang dipimpin oleh Saliban berada di sekitar kaki Bukit Alkata-san di sebelah barat, maka Lie Siong segera mengajak kawan-kawannya untuk mencari di daerah itu.

Ketika Lilani mendengar suara bersorak dan melihat serombongan orang Haimi datang berlari-lari menyambutnya, ia lalu berlari maju dengan air mata berlinang.

“Paman Nurhacu...!” serunya penuh keharuan dan kegirangan.

Kakek Haimi itu juga berseru, “Lilani... ahh, Lilani...”

Mereka lalu berpelukan sambil bertangis-tangisan. Ramai mereka bicara dalam bahasa Haimi dan Lie Siong melihat betapa Lilani seolah-olah hidup kembali, seolah-olah sudah menempuh hidup baru. Wajah gadis ini berseri gembira, matanya bergerak-gerak hidup, tidak sayu dan muram seperti tadinya. Dia pun menarik napas lega.

Pada saat Lilani bercakap-cakap menuturkan riwayatnya dengan Nurhacu beserta kawan-kawannya, datanglah penjaga yang tadi melapor kepada Lili.

“Menurut keputusan Lihiap, mereka bertiga ini harus ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya,” kata penjaga ini dalam bahasa Han yang kaku, karena maksudnya supaya dimengerti oleh dua orang yang mengantar Lilani itu.

Mendengar ucapan ini, Lie Siong menjadi marah. Dia cepat mencabut pedangnya, lantas melompat ke hadapan Lilani, melindunginya sambil membentak,

“Apa? Kalian mau menangkap Lilani, mau menangkap kami? Lilani adalah puteri dari bekas pemimpinmu, sekarang hendak kalian tangkap sendiri? Baik, majulah! Ingin kulihat bagaimana kepalamu yang berkumis itu menggelinding meninggalkan tubuhmu!”

“Jangan, Taihiap, jangan! Mereka ini adalah keluargaku sendiri. Apa bila mereka sudah mempunyai seorang kepala baru yang menghendaki kita datang menghadap, marilah kita lakukan itu dan kita lihat siapa adanya kepala mereka yang ternyata seorang wanita itu. Menurut penuturan Paman Nurhacu, Paman Saliban yang jahat sudah tewas oleh kepala baru ini. Marilah, Taihiap, harap kau jangan mengganggu mereka.”

Juga Lo Sian menyabarkan hati Lie Siong sehingga dengan apa boleh buat pemuda ini lalu menyimpan kembali pedangnya. Mereka bertiga lalu diajak oleh orang-orang Haimi itu, pergi menghadap Lili!

Ketika tiga orang ‘tawanan’ ini telah tiba, Nurhacu sendiri memberi laporan kepada Lili.

“Suruh mereka tunggu.” kata Lili dengan angkuh sekali. “Sediakan dulu makanan karena perutku lapar. Setelah makan, barulah aku akan menerima mereka!”

Nurhacu menjadi heran sekali. Belum pernah ia melihat Lili bersikap demikian dingin dan nampaknya marah. Akan tetapi diam-diam dia melakukan perintah ini dan ketika tiba di luar pondok tempat tinggal Lili, dia memberitahukan kepada Lilani bahwa kepala mereka sedang makan serta minta mereka menanti sebentar. Ketika Lilani menyampaikan warta ini kepada Lie Siong, bukan main mendongkol hati pemuda ini.

“Siapa sih dia yang begitu sombong?” katanya.

Akan tetapi kembali Lilani menyabarkannya dan sebentar kemudian gadis ini didatangi oleh orang-orang perempuan Haimi. Riuh rendah di sana, terdengar gelak ketawa dan tangis. Pertemuan yang sangat mengharukan antara Lilani dan para keluarga Haimi. Dari orang-orang perempuan ini Lilani mendengar bahwa kepala yang baru ini adalah seorang wanita cantik yang gagah yang sudah membebaskan mereka dari tahanan orang-orang Mongol. Diam-diam Lilani merasa heran dan juga kagum sekali.

Tak lama kemudian, seorang penjaga datang dan minta Lo Sian mengikuti. “Tamu yang tertua dipanggil menghadap lebih dulu,” katanya.

Lo Sian bangkit dan mengikuti penjaga itu masuk ke dalam. Dia diantar sampai di luar pintu dan dipersilakan masuk sendiri. Ketika Lo Sian menolak daun pintu dan melangkah masuk, hampir saja dia berseru saking kagetnya.

Akan tetapi Lili cepat-cepat memberi tanda dengan jari telunjuk di depan mulutnya dan melambaikan tangan meminta kepada Lo Sian agar supaya maju dan duduk di bangku depan mejanya.

“Lili, bagaimana kau bisa berada di sini dan… apakah artinya tindakanmu yang aneh ini? Mengapa kau menyuruh kami ditangkap”

Lili tersenyum, “Lo-pek-pek, apakah kau baik-baik saja? Tadinya aku kuatir kau sudah menjadi korban dan binasa di tangan pemuda kurang ajar itu.”

“Lili, dia adalah seorang pemuda yang baik dan dia benar-benar putera Ang I Niocu. Aku memang diculiknya, akan tetap itu dilakukannya karena dia ingin tahu tentang ayahnya.”

“Aku tahu, Pek-pek. Karena itulah maka lebih-lebih harus disesalkan kekurang ajarannya! Aku telah menolong suku bangsa Haimi dan sudah diangkat menjadi pemimpin mereka, sekarang dia dan gadis itu datang mau apakah?”

“Lili, gadis itu adalah puteri kepala suku bangsa Haimi. Lie Siong bersama aku sengaja mengantarkannya untuk mengembalikannya kepada suku bangsanya. Sudah kusaksikan sendiri alangkah gembiranya orang-orang Haimi ketika bertemu dengan Nona Lilani itu. Mengapa kau suruh dia ditangkap?”

“Biar pun dia puteri Manako dan Meilani, akan tetapi pada saat ini akulah yang menjadi kepala di sini, Pek-pek. Tidak boleh dia berlaku sesuka hatinya. Kalau dia ingin menjadi pemimpin dia harus sanggup merebutnya dari tanganku! Aku diangkat menjadi pemimpin bukan atas kehendakku, dan aku juga diberi tugas untuk memimpin mereka sampai ke benteng pasukan kerajaan di mana mereka bisa berlindung. Apakah sekarang aku harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang gadis bernama Lilani? Sudahlah, Pek-pek, kau duduklah saja dan dengarkan apa yang hendak dikatakan oleh mereka berdua!”

Lo Sian terbelalak heran memandang wajah Lili yang nampaknya marah dan cemburu itu. Tadinya dia mengira bahwa gadis ini sedang main-main, karena seperti biasanya, Lili suka sekali bermain-main dan berjenaka atau melucu. Akan tetapi sekarang pemudi ini nampaknya bersungguh-sungguh hingga Sin-kai Lo Sian hanya diam sambil memandang dan menduga-duga.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)