PENDEKAR REMAJA : JILID-33


Sungguh menarik sekali melihat pertemuan antara tiga orang muda yang elok ini dan Lo Sian beruntung sekali dapat menyaksikan pertemuan yang menarik ini. Tiga orang muda itu saling pandang, Lili dengan bibirnya yang manis tersenyum mengejek, sedangkan Lie Siong dengan mata terbelalak dan muka agak pucat. Ada pun Lilani untuk sesaat seperti orang terkejut sekali dan mukanya menjadi kemerah-merahan, akan tetapi gadis ini lalu berlari maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Lili!

“Nona yang gagah perkasa besar sekali budimu terhadap bangsaku. Perkenankanlah aku menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu dan percayalah bahwa kami bangsa Haimi selamanya tak akan melupakan jasa dan pertolonganmu.”

Lili tersenyum semakin mengejek. “Aku mendengar bahwa kau adalah puteri dari bekas pemimpin besar suku bangsa Haimi. Bukankah engkau datang untuk menduduki pangkat pemimpin menggantikan orang tuamu? Sanggupkah engkau menggeser aku dari tempat dudukku? Ketahuilah, aku sudah dipilih dan diangkat menjadi kepala di sini dan karena aku memperoleh kedudukan ini mengandalkan pedangku, maka kalau kau menghendaki kedudukan ini, cobalah kau kalahkan aku lebih dulu.”

“Lihiap, bagaimana aku berani menantang penolong bangsaku? Memang terus terang saja tadinya aku memiliki cita-cita untuk memimpin bangsaku yang bodoh. Akan tetapi sekarang bintang terang telah jatuh dari atas langit menerangi kehidupan bangsaku yang tertindas dan selalu berada dalam kegelapan. Bintang itu adalah engkau sendiri, Lihiap. Setelah engkau dikirim oleh Tuhan untuk membimbing bangsaku, bagaimana aku masih tetap menghendaki kedudukan pemimpin? Tidak, aku cukup puas bila aku dapat menjadi pelayanmu, Lihiap.”

Tertegun dan terharu juga hati Lili mendengar ucapan ini, akan tetapi ketika ia melirik ke arah Lie Siong dan melihat betapa jidat pemuda itu berkerut seakan-akan tidak senang hati mendengar dan melihat sikapnya, Lili menjadi makin panas.

“Hemm, siapakah yang ingin menjadi ratu di sini? Aku tidak haus akan kedudukan dan tidak ingin menjadi kepala! Aku hanya kebetulan saja menjadi pemimpin karena mereka pilih dan sudah menjadi tugas seorang gagah untuk menolong mereka yang tertindas. Tentu saja aku akan menyerahkan kedudukan ini kepadamu tanpa kau minta sekali pun jika memang betul kau adalah puteri kepala yang berhak menjadi pemimpin. Akan tetapi bagaimana aku dapat menyerahkan kedudukan ini dengan begitu saja? Bagaimana aku dapat menyerahkan nasib ratusan orang ke dalam tangan orang yang belum kuketahui kecakapannya? Karena itu, coba kau perlihatkan kepandaianmu kepadaku untuk kulihat apakah kau sudah cukup kuat memimpin orang-orang sedemikian banyaknya!”

Merah wajah Lilani mendengar ucapan ini. Biar pun dianggap telah berkepandaian tinggi di antara bangsanya, mungkin yang tertinggi di antara semua orang Haimi, akan tetapi bagaimana dia dapat memperlihatkan kepandaiannya itu di hadapan seorang gadis luar biasa seperti Lili ini?

Dia pernah menyaksikan kepandaian Lili ketika bertempur melawan Lie Siong dahulu itu. Bahkan Lie Siong sendiri belum tentu sanggup mengalahkan Lili, apa lagi dia? Dengan gugup dan bingung, Lilani tak dapat menjawab, fia hanya menundukkan kepala dengan wajah merah.

Dia hendak minta tolong kepada Lie Siong, akan tetapi dia tidak berani. Pemuda ini tidak mempedulikan lagi kepadanya dan ia maklum bahwa pemuda ini telah jatuh cinta kepada Lili yang kini menantangnya! Dia tahu betul bahwa sepatu yang ditimang-timang oleh Lie Siong pada malam hari dahulu itu adalah sepatu Lili! Tanpa terasa pula, dua titik air mata mengalir turun dan merayap di sepanjang pipinya yang halus dan kemerahan.

Melihat keadaan Lilani, Lie Siong tidak tega sekali dan timbullah hati penasaran melihat sikap Lili yang dianggapnya amat keterlaluan. Dia harus mengakui bahwa begitu bertemu dengan Lili hatinya berdebar-debar tak karuan. Gadis itu duduk di atas kursinya demikian cantik, demikian agung, demikian jelita sehingga agaknya tiada orang yang lebih pantas menjadi seorang ratu!

Rambut yang hitam dan gemuk itu agak kacau di kepala yang berwajah indah. Matanya demikian tajam bersinar dan menyiratkan kekocakan, dengan bibirnya yang manis sekali tersenyum mengejek, menimbulkan lesung pipit di pipi kiri. Tubuhnya yang padat dengan potongannya yang langsing itu menambah kegagahan dan kemolekannya. Ahh, sungguh seorang gadis luar biasa yang kenyataannya melebihi mimpinya!

Ketika ia melirik ke arah kaki yang kecil mungil itu, teringatlah ia akan sepatu yang masih dikantonginya dan diam-diam hatinya makin berdebar jengah dan malu. Akan tetapi kini sikap Lili membuatnya penasaran sekali.

Seorang gadis seperti ini tidak selayaknya bersikap demikian kejam terhadap Lilani. Biar pun dia tidak mencinta Lilani, namun hatinya penuh rasa kasihan terhadap gadis ini dan siapa pun juga, tidak juga Lili yang diam-diam merampas hatinya, boleh mengganggu dan menyakiti hati gadis yang bernasib malang ini!

“Nona Sie, sebagai seorang gagah dan terutama sekali sebagai puteri Pendekar Bodoh yang terkenal budiman, tidak selayaknya kau memperlakukan Nona Lilani seperti ini! Dia adalah puteri dari kepala suku bangsa Haimi yang sangat dihormati oleh bangsanya dan sudah sewajarnya apa bila dia menjadi pemimpin bangsanya. Itu sudah menjadi haknya! Kenapa sekarang kau mengandalkan kepandaian bukan untuk membantu dan menolong dia, bahkan kau pergunakan untuk menghinanya? Tidak malukah engkau? Untuk apakah kedudukan ini bagi seorang gagah seperti Nona?”

Mendengar ucapan ini merahlah wajah Lili, tetapi menambahkan kecantikannya sehingga Lie Siong yang memandangnya merasa napasnya menjadi sesak! Gadis ini marah sekali, dan anehnya, dia tidak marah atas kata-kata yang keras ini, melainkan dia marah melihat pemuda ini membela Liliani! Boleh dibilang marah karena cemburu, benar-benar aneh.

“Ahhh…, jadi Nona Lilani mempunyai seorang pelindung yang gagah? Pantas saja Nona Haimi ini berani melakukan perjalanan ribuan li, tidak tahunya dia selalu berada di bawah lindungan seorang pemuda gagah! Ha, kalau begitu, biarlah aku mencoba kepandaian pelindungnya untuk menguji apakah sudah patut bila menjadi pelindung dan bayangkari seorang Ratu Haimi!” Sambil berkata demikian, Lili lalu melompat turun dari bangkunya dan mencabut pedang Liong-coan-kiam dan kipas mautnya!

Lie Song adalah seorang pemuda yang keras hati. Menghadapi tantangan Lili, biar pun ia menjadi bingung sekali, akan tetapi ia merasa malu kalau mundur. Ia pun lalu mencabut pedang Sin-liong-kiam dan berkata,

“Nona Sie, sesungguhnya tidak ada alasan bagiku untuk bertempur melawanmu, akan tetapi aku akan mencemarkan nama orang tuaku kalau aku menolak tantangan berkelahi dari siapa pun juga. Biarlah kini aku menebus kekalahanku dahulu di kuil Siauw-lim-si di Kiciu!”

Kini marahlah Lili. Tidak sepatutnya orang menyebut-nyebut peristiwa ini. Sekaligus dia teringat akan sepatunya yang dirampas, maka dia berkata keras.

“Bagus! Biarlah aku pun mendapat kesempatan untuk membalas penghinaanmu. Kau mengaku putera Ang I Niocu, akan .tetapi aku tetap tidak percaya, karena putera Ang I Niocu tidak akan sekurang ajar itu! Tidak saja kau telah merampas sepatu yang berarti menghinaku, akan tetapi kau juga berani menculik Lo-pek-pek!” Sambil berkata demikian, Lili lalu melompat keluar dari pondoknya.

Lie Siong juga cepat melompat keluar dan di pekarangan pondok yang luas itu mereka berhadapan bagaikan dua jago yang berlagak hendak bertempur mati-matian. Semua orang Haimi, tua muda lelaki perempuan yang memang berkumpul di depan pondok itu untuk menunggu Lilani, memandang dengan melongo dan terheran-heran. Lilani dengan diikuti oleh Lo Sian berlari keluar pula dan gadis ini sambil menangis menjatuhkan diri berlutut di depan Lili.

“Lihiap, janganlah... Lihiap, kau tidak tahu... Lie Siong Taihiap tidak menghinamu... dia tidak mencintaiku, pembelaannya keluar dari wataknya yang budiman dan gagah. Lihiap, jangan kau menyerangnya...”

Lili tertegun mendengar pengakuan ini, akan tetapi ia tidak pedulikan Lilani dan tetap saja melompat dan mulai menyerang Li Siong dengan pedangnya. Li Siong cepat menangkis hingga terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata!

Lilani melompat nekad dan berdiri menghalang di antara kedua orang jagoan itu, lalu dia berkata kepada Lie Siong dengan suara penuh permohonan, “Taihiap, harap simpanlah pedangmu. Lihiap ini adalah penolong bangsaku, jangan kau musuhi. Senjata tak punya mata, bagaimana kalau kalian saling melukai...?”

Gadis ini menangis dan melihat puteri pemimpin mereka menangis sedih, semua orang perempuan Haimi yang berada di situ tak dapat menahan pula keharuan hati mereka dan ramailah wanita-wanita itu menangis!

Akan tetapi Lie Siong yang keras hati sudah tersinggung keangkuhannya oleh Lili. Kalau ia dibela oleh wanita-wanita ini dengan tangis mereka, selamanya ia akan merasa rendah dan kurang berharga dalam pandangan Lili, maka ia berseru keras,

“Sie Hong Li, kau kira aku Lie Siong takut padamu? Biar pun kau puteri Pendekar Bodoh, akan tetapi aku tidak takut menghadapi pedangmu, ayo keluarkanlah kepandaianmu dan cobalah kau memenggal kepalaku kalau dapat!”

Lili memang seorang yang keras dan pemarah pula, sungguh pun ia mudah marah dan mudah pula ketawa. Mendengar tantangan ini, ia langsung mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat melampaui atas kepala Lilani lalu dengan gerakan yang dahsyat pedang dan kipasnya menyambar kepada Lie Siong.

Pemuda ini sudah merasakan kelihaian Lili, maka ia tidak berani berlaku lambat. Cepat ia memutar pedangnya dan ketika pedang gadis itu dapat ditangkisnya, ia rnerasa betapa angin pukulan hebat menyambar dari tangan kiri yang memegang kipas. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, kemudian dia membalas dengan serangan kilat. Tidak saja ujung pedangnya menuju ke arah dada Lili, akan tetapi lidah pedang naganya yang merah dan panjang itu pun terputar mencari sasaran pada leher lawannya!

Lili memperlihatkan kepandaiannya. Sekali menyampok dengan kipasnya, maka gagang kipas sudah menangkis pedang dan angin sampokan kipas telah membuat lidah pedang lawannya itu tertiup ke samping. Demikianiah, dua orang muda ini kembali saling serang dengan hebatnya, mengeluarkan seluruh kepandaian masing-masing dan saling tak mau mengalah.

Lo Sian tidak bisa berbuat sesuatu. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh kepandaian dua orang muda luar biasa ini. Diam-diam dia pun menghela napas dan berkata penuh kekaguman,

“Pendekar-pendekar remaja ini benar-benar mengagumkan. Ah, aku orang tua sudah tak berguna lagi!” Sedangkan Lilani hanya dapat menutupi mukanya sambil menangis.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring sekali dan sesosok bayangan yang luar biasa gesitnya menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran.

“Orang jahat dari mana berani sekali berlaku kurang ajar terhadap keponakanku?!” Yang menyerbu ini adalah seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersenjata sepasang bambu runcing yang kekuning-kuningan.

Lie Siong kaget sekali. Ia telah menangkis serangan bambu runcing dengan pedangnya, akan tetapi ujung bambu runcing kiri hampir saja mengenai pundaknya kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke kiri! Juga Lili segera melompat mundur. Melihat betapa wanita itu terus mendesak Lie Siong, Lili berseru,

“Pek-bo, jangan lukai dia!” Seruan ini diucapkan tanpa disadarinya lagi.

Wanita itu yang ternyata adalah Ma Hoa isteri Kwee An atau juga ibu Goat Lan, menahan sepasang bambu runcing dan kini ia berdiri dengan mata heran memandang kepada Lili.

“Hong Li, kau bertempur dengan orang ini, kenapa kau melarangku menyerangnya.”

Merahlah wajah Lili. Seruan tadi benar-benar tidak disadarinya, seruan yang keluar dari hatinya yang menaruh. kekuatiran kalau-kalau pemuda itu akan terluka hebat menghadapi bambu runcing yang lihai dari pek-bo-nya (uwaknya) itu!

“Pek-bo, dia ini... dia adalah putera dari Ie-ie Im Giok!”

Terbelalak mata Ma Hoa memandang kepada Lie Siong. “Apa...?! Dia ini putera Ang I Niocu? Pantas saja kulihat tadi Sianli Kiam-hoat terbayang dalam permainan pedangnya. Ehh, anak muda, siapa namamu dan bagaimana ibumu? Baik-baik sajakah dia? Sudah lama aku merasa rindu sekali pada ibumu!” Ma Hoa berkata sambil matanya memandang dengan penuh kekaguman dan juga dengan kasih sayang.

Menghadapi pandangan mata ini, luluhlah kekerasan hati Lie Siong. Ucapan yang mesra, pertanyaan-pertanyaan tentang ibunya yang penuh gairah dan perhatian ini, membuat ia mau tak mau tunduk terhadap Ma Hoa. Ia cepat menyimpan Sin-liong-kiam lalu menjura deigan hormat sekali.

“Sudah lama sekali aku mendengar ibuku bercerita mengenai kegagahan Kwee Taihiap dan Kwee Toanio, mohon maaf aku Lie Siong yang muda dan bodoh berlaku kurang hormat kepada KweeToanio.”

Ma Hoa tertawa riang, suara ketawa yang merdu dan nyaring, tak ubahnya seperti suara ketawanya pada waktu muda.

“Anak nakal, apa-apaan segala sebutan taihiap dan toanio ini? Ibumu adalah seperti enci-ku sendiri, dan kita boleh dibilang orang-orang sekeluarga. Aku tidak mau kau sebut toanio, lebih baik kau menyebut aku Ie-ie (Bibi) saja.”

“Baiklah... Ie-ie!” kata Lie Siong dengan muka merah.

“Nah, begitu lebih enak pada telinga. Dan sekarang, mengapa kalian anak-anak nakal ini sampai bertempur mati-matian? Apa yang kalian perebutkan?”

Lie Siong tidak dapat menjawab. Lili juga tidak dapat menjawab. Tanpa janji lebih dulu mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu, mendatangkan warna merah pada pipi dan telinga.

“Pek-bo, kami hanya berpibu menguji kepandaian masing-masing,” akhirnya Lili berkata. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua kepada Ma Hoa? Kalau ia menceritakan semua, tentu ia harus menceritakan pula bahwa pada hakekatnya mereka berebutan... sepatu!

“Benar, Ie-ie. Kami tadi hanya mengadu kepandaian saja dan aku... aku menyerah kalah terhadap... Adik Hong Li! Maafkan, Ie-ie, sekarang aku harus pergi lagi untuk mencari pembunuh ayahku!” Setelah berkata demikian, ia lalu berkata kepada Lilani,

“Lilani, sekarang kau telah kuantarkan kepada bangsamu sendiri. Dengan pertolongan puteri Pendekar Bodoh, aku yakin kau akan dapat menyelamatkan suku bangsamu. Juga Lo-pek, aku menghaturkan banyak terima kasih atas segala bantuanmu. Kini aku hendak mencari Ban Sai Cinjin dan membalas dendam. Sekarang tidak perlu bantuanmu lagi.”

Lie Siong hendak pergi, akan tetapi Ma Hoa yang terheran-heran mendengar ini, segera berkata “Nanti dulu, Siong-ji (Anak Siong)! Bagaimanakah soalnya? Sudah pastikah jika ayahmu terbunuh oleh Ban Sai Cinjin?”

“Memang sudah pasti, Ie-ie, dan sekarang juga aku akan mencarinya untuk membalas dendam.”

“Kalau begitu kita bisa mencarinya bersama-sama! Ban Sai Cinjin tidak berada jauh, dia kini telah menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan aku pun sedang mencarinya. Ketahuilah bahwa dia telah menculik puteraku, Kwee Cin!”

Semua orang terkejut mendengar ini, terutama sekali Lili. Gadis ini kemudian maju dan memeluk Ma Hoa. “Pek-bo, bagaimana Adik Cin sampai dapat terculik oleh bangsat itu? Mari kita cepat mengejarnya, dan aku sendiri akan menghancurkan kepalanya. Memang masih ada perhitungan lama antara bangsat itu dengan aku!”

“Ie-ie, kalau begitu, lebih banyak alasan lagi bagiku untuk segera mencarinya! Aku akan berusaha merampas kembali puteramu sekalian membinasakan kakek jahanam itu!” kata pula Lie Siong.

“Ehh, ehh, mengapa kau hendak pergi sendiri? Mengapa tidak bersama kami?” tanya Ma Hoa.

“Aku... aku lebih senang bekerja sendiri, Ie-ie!” sesudah berkata demikian, tanpa dapat dicegah lagi Lie Siong lalu melompat pergi.

“Pemuda aneh...,” Ma Hoa berkata perlahan.

“Jangan pedulikan dia, Pek-bo...,” kata Lili mendongkol.

“Bagaimana aku tidak boleh pedulikan dia, putera Ang I Niocu?”

Sementara itu, Lilani yang semenjak tadi mendengar percakapan itu sambil memandang kepada Ma Hoa, tiba-tiba menghampiri nyonya ini dan menjatuhkan diri berlutut.

“Kwee-hujin (Nyonya Kwee), hamba Lilani menghaturkan hormat.”

Ma Hoa memandang kepada Lilani dengan rasa heran, kemudian ia memandang kepada orang-orang Haimi yang semuanya berkumis panjang itu. Kemudian teringatlah dia akan pengalamannya dengan suaminya dahulu, ketika suaminya masih menjadi tunangannya, dan berkatalah dia, “Jika aku tak salah duga, orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang dulu dipimpin oleh Manako dah Meilani. Kau siapakah, Nona?”

“Hamba adalah puteri yang malang dari Manako dan Meilani, mendiang orang tuaku!”

Ma Hoa lalu membungkuk, memeluk Lilani dan ditariknya gadis itu berdiri. “Ah, jadi kau puteri Meilani? Pantas saja kau cantik jelita seperti ibumu. Jadi kedua orang tuamu telah meninggal semua? Kasihan, kasihan.”

Melihat nyonya gagah ini begini halus dan baik budi, Lilani tak dapat menahan keharuan hati dan menangislah dia. Lo Sian yang sejak tadi juga melihat semua ini, cepat maju dan memberi hormat kepada Ma Hoa.

“Siauwte yang bodoh sudah lama mendengar nama besar dari Kwee-toanio dan sekarang telah mendapat kehormatan untuk bertemu dan menyaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa nama besarmu itu bukan kosong belaka.”

Lili lalu memperkenalkan Lo Sian dan dengan singkat ia menceritakan riwayat Pengemis Sakti ini. Ma Hoa mengangguk-angguk maklum, karena ia telah mendengar hal itu dari Lin Lin dan Cin Hai.

Kini setelah Lie Siong pergi lenyaplah rasa cemburu yang amat tidak enak dalam hati Lili, maka sambil memegang tangan Lilani, dia pun berkata, "Lilani, tadi aku hanya bergurau saja. Memang, kau harus memimpin bangsamu dan jangan kuatir, aku akan mengantar kalian sampai benteng penjagaan pasukan kerajaan."

Lilani makin terharu, dia memeluk Lili dan berkata, "Nona, aku sudah menduga bahwa hatimu tentu mulia. Orang secantik kau dan puteri Pendekar Bodoh pula, tidak mungkin berhati kejam. Tadi kau bersikap galak, akan tetapi aku dapat menangkap sinar matamu yang penuh kebijaksanaan. Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Nona. Kau sudah menolong bangsaku, walau selamanya menjadi pelayanmu, aku akan rela dan merasa bahagia."

“Jangan kau bilang demikian, Lilani,” kata Lili.

Ma Hoa yang tidak tahu akan urusannya kemudian mendengarkan penuturan Lili tentang pengalaman menolong orang-orang Haimi yang dibantu pula oleh Ang I Niocu.

“Sayang dia keburu pergi sebelum mendengar penuturanku bahwa ibunya baru tiga hari yang lalu meninggalkan tempat ini,” kata gadis ini menutup ceritanya. Yang dimaksudkan dengan ‘dia’ tentu saja adalah Lie Siong, pemuda kurang ajar itu.

“Dia sudah pergi, biarlah,” kata Ma Hoa. “Sekarang mari kita melanjutkan perjalanan, mengantar orang-orang Haimi ini ke benteng di mana kita akan menjumpai Goat Lan dan kakakmu Hong Beng. Di sana pula kita tentu akan bertemu dengan ayah ibumu, dan juga pek-humu yang sudah berangkat lebih dulu.” Bicara tentang suaminya, kembali Ma Hoa teringat akan puteranya yang terculik, maka wajahnya menjadi muram.

“Pek-bo, bagaimana Adik Cin sampai dapat terjatuh dalam tangan orang jahat?”

“Bila diceritakan membuat hati menjadi gemas sekali,” kata Ma Hoa. “Mari kita berangkat, nanti di jalan kuceritakan kepadamu tentang hal itu.”

Setelah rombongan itu berangkat untuk menuju ke benteng pertahanan tentara kerajaan dengan Nurhacu orang Haimi tua itu sebagai penunjuk jalan, maka berceritalah Ma Hoa tentang penculikan Kwee Cing puteranya.

Seperti telah diketahui, Ma Hoa pergi bersama Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin, oleh karena Kwee Cin masih terlalu kecil dan tidak baik ditinggalkan seorang diri di rumah dalam saat mereka terancam oleh musuh-musuh yang jahat. Untuk membawa Kwee Cin dalam perjalanan ke utara juga kurang baik bagi anak itu.

Sejak menjadi isteri Kwee An, Ma Hoa belum pernah berpisah terlalu lama dari suaminya dan mereka hidup rukun serta saling mencinta. Tidak mengherankan apa bila kepergian Kwee An kali ini membuat Ma Hoa merasa tidak betah di rumah. Apa lagi dia maklum bahwa perjalanan suaminya itu penuh dengan bahaya, karena itu hatinya selalu merasa gelisah sekali.

Pada suatu hari menjelang senja, keadaan dirasakan sunyi sekali oleh Ma Hoa. Memang rumahnya amat besar dan dia hanya mempunyai dua orang pelayan. Biasanya apa bila ada Kwee An, di rumah itu nampak gembira dan ramai, apa lagi kalau Goat Lan berada di rumah. Akan tetapi sekarang, berdua saja dengan Kwee Cin, ia benar-benar merasa sunyi.

Tiba-tiba dari pintu pekarangan depan masuk seorang kakek yang berpakaian indah dan mengisap sebatang huncwe panjang. Dengan tindakan lebar, kakek ini langsung maju dan menghampiri Ma Hoa yang sedang duduk di ruang depan bersama Kwee Cin. Kakek ini datang-datang segera bertanya dengan suaranya yang parau dan keras,

“Apakah aku berhadapan dengan Nyonya Kwee An, ibu dari nona Kwee Goat Lan?”

Ma Hoa belum pernah bertemu dengan orang ini, akan tetapi matanya yang tajam dapat menduga bahwa kakek ini bukanlah orang biasa dan ketika ia teringat akan cerita Lin Lin dan Cin Hai, ia menjadi terkejut sekali karena kakek ini cocok sekali dengan gambaran Pendekar Bodoh tentang seorang yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut! Maka diam-diam Ma Hoa bersiap sedia dan berlaku waspada. Ia merasa girang bahwa selama ini ia berlaku hati-hati dan selalu mempersiapkan bambu runcingnya di tempat yang tak jauh dari situ.

“Benar, aku adalah Nyonya Kwee, tidak tahu siapakah Lo-enghiong dan ada keperluan apakah datang di rumahku yang buruk ini?”

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, lantas dengan tenang akan tetapi mulutnya tersenyum menyeringai ia membuang abu tembakau dari kepala pipanya, kemudian mengisinya lagi dengan tembakau warna hitam! Semua ini ia lakukan sambil matanya terus memandang kepada nyonya itu dengan kagum. Biar pun Ma Hoa telah berusia hampir empat puluh tahun, akan tetapi nyonya ini tiada bedanya dengan seorang gadis yang cantik jelita saja!

Diam-diam Ma Hoa merasa gelisah, maka dia pun berkata kepada Kwee Cin, “Cin-ji, kau masuklah ke dalam.”

Kwee Cin memang selamanya amat taat kepada ayah bundanya. Maka sebagai seorang anak kecil yang belum dapat menduga hal-hal hebat yang akan terjadi, dia menyatakan baik dan anak itu lalu masuk ke dalam kamarnya.

Kembali Ban Sai Cinjin tertawa dan sekarang suara ketawanya terdengar nyaring sekali hingga terdengar sampai jauh karena kakek ini memang telah mengerahkan khikang-nya untuk mengirim suara ketawanya kepada dua orang kawannya yang bersembunyi di luar!

“Kwee-hujin, ketahuilah bahwa aku bernama Ban Sai Cinjin dan kedatanganku ini hendak mencari puterimu, yaitu Nona Kwee Goat Lan. Puterimu itu telah berkali-kali melakukan penghinaan kepadaku dan sekarang aku sengaja datang hendak membuat perhitungan!”

Warna merah mulai menjalar pada kedua pipi Ma Hoa. Sekarang dia bangkit dari tempat duduknya dan Ban Sai Cinjin menjadi makin kagum karena sebenarnya setelah berdiri, nampak betapa langsing potongan tubuh nyonya yang telah mempunyai dua orang anak ini.

Ma Hoa berjalan tenang menghampiri tamunya setelah dia menyambar sepasang bambu runcing dan menancapkannya pada ikat pinggangnya. Dengan mata bercahaya dan bibir tersenyum mengejek dia berkata,

“Ban Sai Cinjin, biar pun baru sekali ini aku bertemu denganmu, akan tetapi telah sering kali aku mendengar namamu yang buruk dan terkenal. Maka aku tidak merasa heran apa bila Goat Lan bentrok denganmu, karena memang semenjak kecil dia telah kudidik untuk membasmi orang-orang jahat dan membela yang benar. Kau datang mencari Goat Lan untuk membuat perhitungan? Sayang, Goat Lan masih belum pulang. Akan tetapi kalau kau tetap merasa penasaran, untuk obat kecewamu, boleh kiranya aku sebagai ibunya mewakili Goat Lan untuk membayar hutang.”

“Bagus sekali, sama anak sama ibu! Kau dan anakmu terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tidak memandang mata kepada orang lain. Baiklah, Kwee-hujin, karena anakmu tidak ada dan aku jauh-jauh sudah memerlukan datang, biarlah aku menerima pelajaran darimu!” Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin cepat menggerakkan huncwe-nya dan tersebarlah uap hitam yang berbau amat memuakkan.

Akan tetapi Ma Hoa akan percuma saja disebut seorang pendekar wanita yang gagah perkasa kalau ia gentar menghadapi uap hitam beracun ini. Puterinya adalah murid Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, sedangkan dia sendiri adalah murid dan anak angkat dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng, maka setidaknya Ma Hoa juga sudah tahu akan jahatnya racun ini dan tahu pula obat penawarnya.

Goat Lan sendiri setelah tamat berlajar dari Sin Kong Lojin, banyak meninggalkan pil-pil obat penawar racun maka begitu melihat uap hitam ini, Ma Hoa cepat mengeluarkan tiga butir pil merah dan memasukkan itu ke dalam mulut. Kemudian kedua bambu runcingnya bergerak mengimbangi gerakan huncwe lawan.

“Bagus, jadi sebenarnya kaukah yang menjadi murid Hok Peng Taisu?” Ban Sai Cinjin membentak dan kini huncwe-nya menyambar ke arah kepala Ma Hoa.

“Ban Sai Cinjin, kau tidak usah banyak cakap, kalau kau mempunyai kepandaian lekas keluarkan semua hendak kulihat!”

Kembali Ban Sai Cinjin mengeluarkan suara ketawa yang bahkan lebih nyaring dari pada tadi sambil menyerang dengan hebatnya, dan sungguh pun Ma Hoa menangkis dengan bambu runcingnya, namun telinganya yang tajam masih dapat menangkap suara seruan seperti seekor burung dari luar rumah. Hatinya tergoncang dan pikirannya bekerja keras.

Ini tentu ada apa-apanya, dan hatinya mulai berdebar. Akan tetapi oleh karena tidak terjadi sesuatu dia lalu memutar bambu runcing hendak cepat-cepat mengalahkan lawan ini. Aku harus melindungi Cin-ji, pikirnya.

Akan tetapi tidak mudah untuk mengalahkan Ban Sai Cinjin dalam waktu singkat. Setelah mendapat hajaran dari Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin selain berlaku hati-hati sekali dan sama sekali tak berani memandang ringan kepada kawan-kawan Pendekar Bodoh yang ternyata mempunyai kepandaian yang hebat. Dahulu pun jika dia berlaku hati-hati, tidak mungkin dalam segebrakan saja dia kalah oleh Pendekar Bodoh.

Akan tetapi harus diakuinya bahwa ilmu silat bambu runcing yang dimainkan oleh nyonya ini benar-benar luar biasa sekali. Ia pernah menghadapi sepasang bambu runcing yang dimainkan oleh Goat Lan dan sudah merasa kagum sekali. Akan tetapi sekarang, ketika menghadapi permainan Ma Hoa, dia benar-benar terdesak hebat sekali. Kalau dulu Goat Lan memainkan sepasang bambu runcing sehingga senjata istimewa itu seakan-akan berubah menjadi lima, sekarang bambu runcing di tangan nyonya ini seakan-akan telah berganda menjadi delapan!

Selama ini, Ban Sai Cinjin tiada hentinya berlatih serta memajukan ilmunya sehingga kepandaiannya sudah naik banyak. Dalam menghadapi nyonya pendekar ini, dia masih dapat mempertahankan diri dengan mainkan huncwe-nya dan kadang ia menyemburkan asap hitam biar pun tidak mempengaruhi Ma Hoa yang sudah memasukkan tiga butir pil merah di dalam mulutnya, akan tetapi tetap saja Ma Hoa harus menghindarkan kedua matanya dari serangan asap hitam yang lihai itu.

Pertempuran telah berjalan tiga puluh jurus dan beberapa kali Ban Sai Cinjin hampir saja terkena totokan bambu runcing hingga keselamatan nyawanya berada di ujung rambut. Ia terdesak hebat sekali dan hati kakek mewah ini mulai menjadi gelisah sekali.

Tiba-tiba saja terdengar lagi suara burung hantu dan mendadak Ban Sai Cinjin tertawa menyeramkan sambil melompat jauh ke belakang.

“Kwee-hujin, tidak percuma kau menjadi isteri Kwee An yang terkenal namanya, karena memang ilmu silatmu hebat sekali. Aku Ban Sai Cinjin kali ini mengaku kalah. Biarlah kelak kita bertemu lagi untuk melanjutkan pertempuran ini.”

“Pengecut!” Ma Hoa memaki, akan tetapi ia tidak mengejar Ban Sai Cinjin karena kuatir apa bila kakek pesolek itu menjebaknya dengan tipu ‘memancing harimau meninggalkan sarangnya’. Ia bahkan cepat melompat ke dalam rumah dan menuju ke kamar Kwee Cin.

Akan tetapi mukanya tiba-tiba menjadi pucat sekali ketika melihat dua orang pelayannya telah rebah menggeletak dalam keadaan tertotok! Sambil menekan debaran jantungnya yang seakan-akan hendak memecahkan dada, Ma Hoa cepat berlari ke dalam kamar anaknya. Benar saja seperti yang telah dikuatirkannya, di dalam kamar itu tidak nampak lagi bayangan anaknya!

Ma Hoa sudah sering sekali menghadapi peristiwa hebat ketika mudanya, akan tetapi mala petaka kali ini benar-benar hebat sekali dan sangat menusuk perasaannya. Hanya saja ia memang telah memiliki pandangan yang luas. Ia tidak menjadi putus asa, karena puteranya itu hanya diculik orang dan bukan dibunuh. Siapa pun yang menculiknya, dia masih mempunyai harapan untuk merampasnya kembali.

Cepat ia berlari keluar kamar dan membebaskan totokan dua orang pelayan itu.

“Lekas ceritakan, apa yang telah terjadi?” tanyanya dengan tenang.

Dua orang pelayan itu menceritakan bahwa dari belakang datang dua orang pengemis tua yang tak berkata sesuatu lalu menotok mereka dan kemudian mereka melihat betapa kongcu (tuan muda) sudah dipanggul oleh salah seorang di antara dua pengemis itu dan dibawa lari melalui pintu belakang.

Selesai mendengar penuturan ini, Ma Hoa lalu cepat mengejar melalui pintu belakang. Ia mengejar terus sampai sejauh sepuluh li lebih, akan tetapi seperti yang telah diduganya, ia tidak melihat bayangan dua orang pengemis penculik itu.

“Hemm, tidak lain ini tentulah perbuatan Ban Sai Cinjin yang sengaja memancing dalam sebuah pertempuran dan sementara itu kawan-kawannya melakukan penculikan terhadap Kwee Cin,” pikirnya.

Dia cepat mengambil keputusan, menyerahkan penjagaan rumahnya kepada dua orang pelayan karena hari itu juga dia hendak menyusul suaminya ke utara sekalian mencari jejak Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ketika dia membuka peti di mana dia menyimpan kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit) yang dititipkan oleh Goat Lan kepadanya, ternyata kitab itu bersama anaknya telah lenyap pula! Ma Hoa menjadi gemas sekali, dia mengertakkan giginya dan membanting-bantingkan kaki kanan di atas lantai.

“Ban Sai Cinjin bangsat tua yang curang! Tunggulah saja kalau sampai aku dapat melihat mukamu lagi, kau pasti akan kujadikan sate dengan bambu runcingku!”

Demikianlah, Ma Hoa lalu cepat melakukan pengejaran ke utara dan karena daerah utara memang sukar sekali dilalui serta Pegunungan Alkata-san masih asing baginya, maka ia tersesat jalan dan kebetulan sekali dapat menghentikan pertempuran hebat yang terjadi antara Lili dan Lie Siong.

Setelah Lili mendengar penuturan Ma Hoa ini, gadis ini pun menjadi marah sekali dan berkata dengan gemas, “Ban Sai Cinjin memang jahat sekali. Muridnya yang bernama Bouw Hun Ti sudah membunuh Yousuf kakekku dan menculikku ketika aku masih kecil. Kemudian Ban Sai Cinjin menurut penuturan dan dugaanku juga sudah meracun Sin-kai Lo Sian guruku, telah meracuni suhu-ku itu hingga Sin-kai Lo Sian tak dapat mengingat apa pun, dan yang membunuh Supek Lie Kong Sian juga Ban Sai Cinjin! Dan sekarang, kembali Ban Sai Cinjin menculik Adik Cin! Benar-benar orang yang jahanam dan ingin mampus.”

Ma Hoa menarik napas panjang. “Memang di dunia ini selalu terdapat orang-orang jahat, Lili. Tidak ada bedanya semenjak dahulu sampai sekarang. Dulu pun ada seorang jahat bernama Hai Kong Hosiang yang selalu memusuhi orang tua kami dan kami. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan Ban Sai Cinjin, Hai Kong Hosiang masih tidak begitu curang dan jahat!”

Lili juga pernah mendengar nama Hai Kong Hosiang ini karena sering kali ayah ibunya menceritakannya tentang pengalaman mereka pada waktu muda.

Demikianlah, sambil bercakap-cakap Ma Hoa dan Lili, diikuti oleh Lilani dan Lo Sian serta semua orang Haimi, melanjutkan perjalanan menuju ke lereng Alkata-san di mana telah nampak tembok besar benteng tentara kerajaan itu.

********************

Marilah kita tinggalkan dulu mereka yang sedang menuju ke benteng itu dan menengok keadaan Goat Lan dan Hong Beng yang sudah lama kita tinggalkan.

Karena mendapat pertolongan dari Kam Liong yang memberi kuda kepada mereka dan semua pengawal, perjalanan Hong Beng dan Goat Lan menuju ke Bukit Alkata-san dapat berjalan cepat dan lancar. Dan sebagaimana yang dituturkan oleh Kam Liong, benteng itu meski pun sudah tua dan banyak yang rusak, akan tetapi masih baik dan kuat, juga merupakan tempat penjagaan yang sangat baiknya. Hong Beng bersama semua prajurit yang mengawalnya lalu menggulung lengan baju dan memperbaiki bangunan-bangunan yang berada di dalam benteng itu.

Beberapa hari kemudian, Hong Beng dan Goat Lan mulai mengatur siasat untuk dapat menjalankan tugas mereka. Dari para penyelidik yang mereka sebar di sekitar daerah itu, mereka mendapat keterangan bahwa tentara Mongol banyak yang bersembunyi di atas bukit yang berada di sebelah utara Bukit Alkata-san, dan amatlah sukar untuk menyerang ke sana.

Selain daerah itu tertutup salju dan dingin sekali, juga pertahanan tentara Mongol sangat kuatnya. Bagaimanakah mereka yang hanya memiliki sedikit pasukan itu dapat melawan tentara Mongol yang ribuan jumlahnya?

“Lebih baik kita menjaga dan mengatur penjagaan,” kata Hong Beng. “ Kalau kita melihat ada barisan musuh yang hendak menyeberang ke selatan dan melalui bukit ini, baru kita serang mereka.”

Penjagaan dilakukan siang malam dan benar saja, beberapa hari berturut-turut, mereka berhasil memukul mundur pasukan-pasukan kecil bangsa Mongol yang hendak menuju ke selatan, seperti biasanya untuk melakukan keganasan terhadap penduduk Tiongkok di balik tembok besar. Setiap kali terjadi pertempuran, selalu Hong Beng dan Goat Lan memperlihatkan kepandaiannya dan tak ada seorang pun perwira Mongol dapat bertahan menghadapi pendekar-pendekar remaja yang gagah dan sakti ini.

Pasukan-pasukan Mongol yang hendak melakukan penggarongan ke selatan terpaksa mengambil jalan memutar dan tidak berani lagi melewati Bukit Alkata-san di mana terjaga oleh pasukan yang dipimpin oleh dua orang muda ini.

Sementara itu, hubungan Hong Beng dan Goat Lan makin erat dan cinta mereka berakar makin mendalam. Namun, sebagai pemuda dan pemudi yang tidak saja gagah lahirnya akan tetapi juga mulia batinnya, kedua orang muda ini membatasi hubungan mereka dan sama sekali tidak pernah berani melanggar kesusilaan.

Baik Hong Beng mau pun Goat Lan bisa menekan cinta kasih mereka dan sudah merasa cukup bahagia dengan saling berpegang tangan atau saling pandang dengan sinar mata penuh arti, penuh cinta kasih dan kemesraan. Tentu saja Goat Lan semakin menghargai tunangannya ini.

Beberapa pekan mereka berada di sana dan merasa senang karena daerah Alkata-san boleh dibilang aman, terutama yang termasuk di dalam lingkungan benteng itu. Tidak ada anggota pasukan yang berani meninggalkan benteng, karena kuatir kalau-kalau pasukan musuh datang menyerbu.

Maka mereka sama sekali tidak tahu bahwa hanya seratus li dari tempat itu terdapat Lili dan Ma Hoa. Juga mereka tidak tahu bahwa dari selatan sudah datang serombongan orang terdiri dari Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An. Sementara dari jurusan lain datang pula pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kam-ciangkun atau Kam Liong.

Pada suatu senja kedua teruna remaja ini duduk di bawah pohon di mana mereka sering kali duduk, bercakap-cakap dengan asyik dan mesranya. Bulan hanya sedikit, bercahaya pudar sebab kalah oleh cahaya matahari yang masih ada sisanya menerangi permukaan bumi.

“Lan-moi...” terdengar Hong Beng berkata pelan sambil memegang tangan tunangannya.

“Ada apa, Koko?” jawab Goat Lan sambil memandang mesra. Bibirnya tersenyum manis sekali.

“Kalau keadaan sudah aman dan kelak kita kembali ke selatan, mendapat pengampunan dari Hong-siang...”

“Ya...?”

“Aku akan minta pada ayah bundaku agar... pernikahan kita dapat segera dilangsungkan”

Wajah yang manis itu memerah sampai ke telinganya dan jari-jari tangan yang runcing dan halus kulitnya itu mencubit. “Ahh, Koko, kau ini ada-ada saja. Tergesa-gesa ada apa sih?”

Hong Beng menengok ke kanan di mana Goat Lan duduk. Mereka duduk di atas rumput dan angin bertiup sepoi-sepoi menambah segar dan gembira perasaan. Pada senja hari itu, Goat Lan mengenakan baju berkembang-kembang warna emas, leher baju dan ikat pinggang kuning, begitu pula celananya terbuat dari sutera kuning yang bersih dan halus. Pinggiran bajunya sebelah bawah berwarna merah, sama merahnya dengan bunga yang terselip di atas telinga kanannya. Rambutnya disusun meniru model gadis-gadis Mongol atau Boan yang pernah dilihatnya di sekitar tempat itu, digelung ke atas dan selebihnya diurai memanjang di belakang punggungnya. Gadis ini benar-benar nampak cantik jelita, terutama sekali dalam pandang mata Hong Beng yang mencintanya.

“Lan-moi, aku bukan hendak tergesa-gesa, akan tetapi aku ingin selamanya, tak sedetik pun berpisah lagi darimu. Kalau kita sudah menikah, barulah harapan itu terkabul!”

Goat Lan tertawa geli sebab merasa lucu mendengar ucapan kekasihnya. Ia memandang dan diam-diam merasa kagum melihat betapa kekasihnya nampak tampan dan gagah sekali dalam pakaian yang berwarna biru itu.

“Jika begitu, kita harus menjadi sepasang kupu-kupu atau seperti sepasang burung yang selalu beterbangan di udara, siang malam tak pernah berpisah lagi.”

“Mengapa harus menjadi kupu-kupu atau burung? Kalau kita sudah menikah, meski pun kita masih menjadi manusia, kita dapat selalu berkumpul, takkan berpisah lagi sebentar pun.”

“Mana mungkin?” Goat Lan kembali tertawa. “Aku harus mengatur rumah tangga, harus masak, dan kau harus bekerja. Bagaimana kita bisa selalu berkumpul?”

Demikianlah, sepasang orang muda yang bahagia ini bersenda gurau, kadang-kadang bersungguh-sungguh membicarakan masa datang yang penuh harapan dan cita-cita. Tak terasa lagi cuaca menjadi makin gelap dan dua orang muda yang sedang tenggelam dalam alunan kasih asmara ini sama sekali tidak tahu betapa bayangan sesosok tubuh yang amat gesit laksana burung walet hitam, melompat dari wuwungan ke wuwungan lain di atas bangunan-bangunan dalam benteng itu!

Para prajurit yang sedang bertugas juga tidak melihat bayangan ini yang menandakan bahwa orang itu benar-benar berkepandaian tinggi sehingga dapat menyerobot masuk ke dalam benteng tanpa diketahui orang. Dari atas wuwungan yang terdekat dengan tempat Hong Beng dan tunangannya duduk, orang itu memandang ke arah mereka. Kemudian, dengan gerak lompat Naga Hitam Naik ke Langit, ia lalu melompat dari atas wuwungan itu ke atas pohon yang berada belakang Hong Beng.

Ginkang dari orang itu benar-benar mencapai tingkat tinggi karena ketika ia tiba di pohon itu, tak selembar pun daun pohon bergoyang! Akan tetapi ia salah hitung kalau mengira bahwa Hong Beng tidak mengetahui kehadirannya. Walau pun delapan puluh bagian dari semangat pemuda ini telah terbang oleh gelombang asmara, namun yang dua puluh bagian sudah lebih dari cukup untuk mengingatkannya bahwa ada gerakan sesuatu yang mencurigakan di atas kepalanya!

Di dalam keadaan bahaya, semangat pembelaan dan perlindungan terhadap kekasihnya timbul dan tanpa sengaja Hong Beng merangkulkan tangan kanannya pada pundak Goat Lan, sedangkan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga lweekang segera dipukulkan dengan dorongan ke atas pohon dibarengi bentakan, “Turunlah kau!"

Walau pun hanya dilakukan sambil duduk dan dengan tangan kiri, namun tenaga pukulan Hong Beng ini mengandung hawa pukulan yang cukup hebat sehingga cabang dan daun pohon itu bagaikan tertiup angin dari bawah!

“Sie-enghiong, jangan menyerangku!” terdengar seruan dari atas.

Bayangan yang amat gesitnya melompat turun dengan gerak tipu Garuda Menyambar Air dan sebentar saja di depan Hong Beng dan Goat Lan yang sudah bangun itu berdirilah seorang pemuda yang tampan. Goat Lan segera mengenal orang ini sebagai Song Kam Seng.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)