PENDEKAR REMAJA : JILID-37


“Ji-wi (Tuan Berdua) yang berada di atas, silakan turun saja kalau hendak bicara!”

Tentu saja semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi heran dan terkejut. Rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi mereka tadi tidak mendengar sesuatu. Kini semua orang berdiam dan memasang telinga. Benar saja, terdengar suara kaki dua orang di atas genteng.

Sesudah teguran Pendekar Bodoh lenyap, terdengarlah jawaban dari atas genteng, “Sie Taihiap, yang datang hanyalah siauwte untuk mengantarkan Adik Kwee Cin!”

“Lie Taihiap...!” seru Lilani yang segera mengenal suara Lie Siong.

Ma Hoa, Kwee An, Lin Lin, dan Pendekar Bodoh segera berdiri.

“Siong-ji (Anak Siong), lekas bawa Cin-ji (Anak Cin) turun!” seru Ma Hoa. Akan tetapi biar pun berkata demikian, ia sudah melompat keluar diikuti oleh suaminya dan juga oleh Cin Hai dan Lin Lin. Juga Hong Beng dan Goat Lan segera menyusul. Enam bayangan orang yang amat gesit gerakannya melompat ke atas genteng.

Benar saja, di atas genteng itu mereka melihat Lie Siong bersama Kwee Cin. Anak kecil itu ketika melihat bundanya segera bergerak menubruk dan Ma Hoa memeluk Kwee Cin dengan mata membasahi pipinya.

“Terima kasih... terima kasih, Siong-ji...,” Ma Hoa berkata sambil memandang ke arah Lie Siong dengan mata bersyukur.

“Bukan aku yang telah menyelamatkan Adik Cin, Ie-ie (Bibi),” kata Lie Siong merendah.

“Ibu, yang menolongku adalah Engko Siong bersama suhu-nya, kakek pincang yang bisa terbang itu!” tiba-tiba saja Kwee Cin berkata sehingga semua orang terheran dan terkejut mendengarnya.

“Lie Siong, mengapa kau tidak mengajak suhu-mu ke sini?”

“Dia sudah berada di sini!” tiba-tiba Kwee Cin berkata pula. “Tadi pun dia yang mengantar kami ke sini, entah sekarang ke mana dia pergi!”

Kembali semua orang merasa terheran, lebih-lebih Cin Hai. Dia tadi hanya mendengar suara kaki dua orang, yang ternyata adalah injakan kaki pada genteng dari Lie Siong dan Kwee Cin. Kalau benar ada tiga orang, mengapa dia tidak mendengar suara kaki yang seorang lagi?

“Siong-ji, manakah gurumu itu? Biar kami bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasih serta belajar kenal,” Lin Lin berkata kepada pemuda yang tampan dan yang berdiri dengan muka tunduk itu.

“Dia... dia tidak suka bertemu dengan lain orang. Maafkan siauwte... maafkan karena aku juga tidak dapat lama-lama tinggal di sini.” Ia menengok ke belakang dan berkata, “Suhu, marilah kita pergi.”

Terdengar suara terkekeh dan tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat bagaikan setan ke arah Lie Siong dan tahu-tahu pemuda itu berkelebat dan lenyap di malam gelap!

Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, dan Ma Hoa sudah mempunyai ilmu kepandaian yang hampir sempurna, apa lagi Cin Hai, maka biar pun gerakan kakek aneh itu cepat sekali, mereka masih saja sempat melihat wajah dan bentuk tubuh kakek itu dan mereka berempat saling pandang.

Sedangkan Hong Beng dan Goat Lan, karena mereka dapat mengetahui bahwa ilmu ginkang dari kakek itu masih lebih hebat dari pada kepandaian kedua orang tua mereka, hal ini membikin sepasang anak muda ini penasaran sekali. Bagi mereka, orang-orang tua mereka memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara orang-orang kang-ouw!

“Siapakah dia...?” Pendekar Bodoh mengerutkan kening sambil mengingat-ingat. Kwee An dan Ma Hoa juga merasa yakin belum pernah melihat orang itu.

“Kepandaiannya mengingatkan kepada suhu Bu Pun Su,” kata Lin Lin.

Tiba-tiba Cin Hai menepuk jidatnya. Ucapan isterinya ini mengingatkan dia akan sesuatu. Pernah dahulu Bu Pun Su gurunya menyebut-nyebut tentang seorang yang bernama The Kun Beng yang dahulu pernah menjadi sahabat baik gurunya. Menurut gurunya, orang ini memiliki kepandaian yang tidak berada di sebelah bawah kepandaian Bu Pun Su sendiri, yaitu ketika keduanya masih muda.

“Hmm, siapa lagi yang dapat memiliki kepandaian setingkat dengan Empat Besar selain dia?” pikir Pendekar Bodoh.

Dia tidak berkata sesuatu kepada orang lain karena hanya menduga-duga, akan tetapi diam-diam dia merasa girang bahwa putera Ang I Niocu bertemu dengan seorang guru yang demikian lihainya.

Dengan wajah gembira semua orang lalu membawa Kwee Cin turun ke ruang pesta, di mana Kwee Cin disambut dengan ucapan selamat dari semua orang yang hadir di sana. Tiba-tiba terdengar suara girang “Kwee Cin...?”

Anak ini menengok dengan wajah berseri, kemudian berseru, “Kamangis!” Keduanya lalu berlari saling menghampiri dan saling berpegang lengan dengan wajah girang sekali.

“Kamangis, kau sudah berada di sini?” tanya Kwee Cin.

“Aku suka sekali ikut ayah bundamu, mereka orang-orang baik sekali!” jawab Kamangis.

“Ayahmu juga seorang baik, Kamangis,” kata Kwee Cin.

Ma Hoa dan Kwee An yang mendengar ini menjadi amat terharu dan juga girang.

Akan tetapi tiba-tiba saja Kam Wi berdiri dan berkata dengan suara lantang, “Kebetulan sekali, Kwee-kongcu sudah tertolong dan terampas kembali. Besok pagi-pagi kita boleh serbu benteng orang-orang Mongol dan kita akan pergunakan Putera dari Malangi Khan ini sebagai perisai! Ha-ha-ha! Malangi Khan kali ini tentu akan dapat dihancurkan segala-galanya.”

“Tidak boleh!” tiba-tiba Ma Hoa menarik Kamangis dalam pelukannya, kemudian sambil memandang ke depan dengan sepasang matanya yang tajam, nyonya ini berkata. “Siapa pun juga tidak boleh mengganggu Kamangis! Dia datang di sini karena dibawa Pendekar Bodoh dan kini berada dalam perlindunganku! Siapa pun juga tidak bisa mengganggunya dan aku akan mengembalikannya kepada ayah bundanya secara baik-baik, karena orang tuanya pun telah memperlakukan anakku dengan baik pula. Siapa pun boleh tidak setuju dengan omonganku, akan tetapi kalau ada yang hendak mengganggu Kamangis, boleh coba-coba mengalahkan sepasang senjataku!”

Sambil berkata demikian dengan sekali gerakan saja Ma Hoa sudah mencabut sepasang bambu runcingnya yang terkenal lihai. Sikapnya amat gagah dan membuat orang menjadi jeri juga melihatnya!

Kam Wi adalah seorang yang berdarah panas. Mendengar ucapan ini dia sudah melotot dan hendak maju mendebat. Akan tetapi Kam Liong yang tak menghendaki perpecahan, segera maju dan menjura kepada Ma Hoa, lalu berkata dengan suara lemah lembut dan sikap sopan santun.

“Mohon Toanio sudi memaafkan, pamanku tadi mengeluarkan kata-kata yang ditujukan hanya karena kebenciannya kepada Malangi Khan yang sudah menyerang negara kita. Siauwte dapat memaklumi pula perasaan Toanio terhadap anak ini setelah Kwee-kongcu terbebas dari benteng orang Mongol, dan kiranya di antara kita juga tidak ada yang ingin mencelakakan Pangeran Kamangis yang masih kecil dan tidak berdosa sesuatu. Akan tetapi, oleh karena putera Toanio sudah tertolong sedangkan Putera Mahkota Mongol ini masih tertahan di sini, tentu saja Malangi Khan takkan tinggal diam. Bala tentara Mongol sewaktu-waktu bisa menyerang pertahanan kita dan hal ini amat berbahaya. Oleh karena itu, sebelum mereka menyerang, kita harus mendahului menyerang benteng mereka dan sesungguhnya...” ia melirik ke arah Pangeran Kamangis, “sesungguhnya dengan adanya Pangeran Mongol ini di sini kita sudah mendapatkan kemenangan perasaan yang amat besar. Sangat boleh jadi bahwa Malangi Khan akan menyerah dan takluk tanpa perang karena puteranya berada di dalam kekuasaan kita. Maka demi kepentingan negara dan demi kemenangan kita, harap Toanio suka menahan dulu anak itu, jangan dikembalikan kepada Malangi Khan sebelum selesai perang ini.”

Ma Hoa menggeleng-geleng kepalanya. “Aku tidak setuju dengan cara-cara yang licik itu! Aku memang tidak tahu tentang siasat perang, akan tetapi ayahku dahulu juga seorang panglima perang dan karena semenjak kecil aku diajarkan kegagahan, maka aku sangat menghargai kegagahan dan keadilan. Di dalam pertempuran mau pun perang besar, aku lebih mengutamakan kegagahan dan keadilan dan tidak suka mempergunakan cara-cara yang curang dan licik. Apakah kita takut terhadap bala tentara Mongol maka kita harus mempergunakan kecurangan? Bagiku, lebih baik kalah dengan cara gagah perkasa dari pada menang dengan menggunakan akal curang!”

Muka Kam-ciangkun menjadi merah mendengar ucapan ini, akan tetapi karena Pendekar Bodoh melihat betapa kedua pihak telah bermerah muka, maka ia cepat maju dan sambil tersenyum, Cin Hai berkata,

“Sebetulnya tidak ada urusan sesuatu yang harus diributkan. Biarlah besok pagi-pagi aku pergi ke benteng Malangi Khan dan mengajak bicara dengan baik. Syukur kalau dia bisa mengakhiri perang ini dengan damai, karena betapa pun juga kalau terjadi perang tentu akan mengorbankan banyak manusia. Perlukah kematian dan kehancuran ini kita hadapi kalau di sana terdapat jalan lain ke arah perdamaian?”

Semua orang menyatakan setuju dengan usul ini, maka urusan Pangeran Kamangis itu selanjutnya tidak disinggung-singgung lagi. Pesta perjamuan berjalan kembali sedangkan Kamangis dan Kwee Cin bicara dengan amat gembiranya di dalam kamar mereka. Dua orang anak ini memang merasa amat cocok dan watak mereka sama pula, gembira dan suka akan kegagahan…..

********************

Pada keesokan harinya, baru saja Cin Hai keluar dari benteng untuk melakukan tugasnya, yaitu mencari Malangi Khan membicarakan tentang Putera Mahkota yang masih tertahan di benteng Alkata-san, tiba-tiba saja dari depan dia melihat debu mengebul tinggi. Cepat Pendekar Bodoh menyelinap di belakang sebatang pohon dan memandang ke depan.

Ternyata yang datang adalah sepasukan berkuda yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di depan sendiri, dengan menunggang seekor kuda berbulu putih yang besar dan kuat, adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut.

Melihat bahwa yang datang hanyalah satu pasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa Malangi Khan hendak mendatangi benteng bukan dengan maksud menyerang, maka dia lalu melompat keluar dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil mengangkat tangannya.

Ketika Malangi Khan melihat Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat melompat turun dari kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan wajah merah saking marahnya, Raja Mongol itu menudingkan jari telunjuknya kepada Pendekar Bodoh dan berkata,

“Tak kusangka bahwa Pendekar Bodoh ternyata adalah orang yang tidak bisa dipercaya mulutnya, seorang yang mudah melanggar janji!”

Cin Hai sudah mengerti kenapa Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan merasa gemas, maka dia kemudian menjura dan berkata dengan senyum simpul, “Malangi Khan, kebetulan sekali aku pun sedang menuju ke bentengmu untuk bicara tentang puteramu.”

“Kembalikan puteraku, jika tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh bangsaku untuk menerjang ke selatan sampai orang terakhir. Akan aku bumi hanguskan setiap jengkal tanah di selatan!”

“Sabar, sabar, Khan yang baik. Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai oleh nafsu marah. Dengarlah dulu, sebenarnya tentang keponakanku Kwee Cin, bukan akulah yang merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak memegang janji.”

“Biar pun bukan kau, tentu kawan-kawanmu atas perintahmu!”

Cin Hai menggelengkan kepala. “Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu menahu mengenai perampasan kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu sudah kembali kepada ayah bundanya, ada pun puteramu sedang bermain-main dengan anak itu di bawah perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!”

“Puteraku tidak diganggu? Kamangis tidak apa-apa?” tanya Khan ini dengan muka amat gelisah.

“Siapa yang akan berani mengganggu puteramu itu kalau ibu dari Kwee Cin menantang setiap orang yang akan mengganggunya? Ketahuilah bahwa ibu dari anak yang tertawan di bentengmu itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!” Cin Hai dengan sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhada Kamangis sehingga Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.

“Maafkan aku, Pendekar Bodoh. Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Di mana anakku?” kata Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan Cin Hai.

“Malangi Khan, apakah ini berarti bahwa untuk selanjutnya kau akan mengaku sahabat kepadaku?”

“Tentu, bahkan kau dan saudara-saudaramu kuakui sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih dari itu, aku menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!”

Melihat sikap sungguh-sungguh dari Malangi Khan, Cin Hai merasa gembira sekali dan kembali bertanya, “Tidak hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat Tiongkok seluruhnya, maukah kau menganggapnya sebagai saudara? Kau tak akan mengganggu mereka lagi, tidak akan menyerang ke selatan lagi?”

“Tidak, tidak! Dengan adanya orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus menyerang ke selatan. Biarlah, aku akan lupakan pembunuhan yang sudah-sudah, yang dilakukan oleh tentara-tentara selatan di perbatasan utara. Dan aku akan mengunjungi kaisarmu, akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda penghargaan.”

Kini Cin Hai yang memegang lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu meringis kesakitan. Cin Hai yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata, “Malangi Khan, kau berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?”

“Tentu saja! Bagiku berlaku ucapan dari bangsamu: It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali).”

Bukan main girangnya hati Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini dapat terpenuhi dengan demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari arah belakangnya dan tampak sepasukan besar tentara kerajaan yang dipimpin oleh Kam Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang berkumpul di benteng Alkata-san, datang menuju ke tempat itu! Ini terjadi adalah gara-gara para penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama pasukannya yang sangat kuat sudah datang menyerbu!

“Pendekar Bodoh, apakah artinya ini?” Kembali wajah Malangi Khan menjadi muram dan bercuriga akan tetapi Cin Hai segera menjawab,

“Jangan kuatir, Khan yang mulia. Akulah yang bertanggung jawab dan akan mencegah mereka bertindak!”

Kemudian, Cin Hai lalu menghadang di tengah jalan sambil mengangkat tangan. Ia lantas mengerahkan tenaganya berseru dengan amat nyaringnya,

“Kam-ciangkun, jangan menyerang! Malangi Khan datang dengan maksud damai!”

Kam Liong terheran melihat Pendekar Bodoh berada di sana dan sesudah mendengar seruan ini, dia segera memberi perintah pasukannya berhenti. Dia sendiri lalu turun dari kudanya dan bersama Tiong Kun Tojin, Kam Wi, dan juga Kwee An dan yang lain-lain, Kam Liong lalu menghampiri Cin Hai dan Malangi Khan.

Dengan sikap angkuh Malangi Khan berdiri menghadapi mereka dengan dada terangkat, sikapnya agung sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai seorang Khan yang besar. Kam Liong adalah seorang panglima yang tahu diri dan tidak sombong, maka dia lalu memberi hormat terlebih dahulu yang segera dibalas oleh Malangi Khan.

“Malangi Khan, benarkah kata-kata Sie Taihiap tadi bahwa kau bermaksud damai?”

“Memandang muka Pendekar Bodoh yang menjadi saudaraku dan juga menjadi guru dari puteraku, memang benar aku akan mengakhiri permusuhan, melupakan segala kejadian yang lalu dan dalam waktu dekat aku akan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kaisarmu. Sampaikan kata-kataku ini kepada Kaisar dan juga kepada semua prajuritmu yang menjaga tapal batas, agar supaya jangan sampai mengganggu orang-orangku yang hendak memasuki daerah Tiong-goan dalam perjalanannya berdagang.”

Bukan main girangnya hati Kam Liong mendengar ini. Hal ini memang amat diharapkan oleh Kaisar dan biar pun yang berjasa dalam hal ini adalah Pendekar Bodoh, akan tetapi karena dia adalah pemimpin besar barisan, tentu saja pahalanya terjatuh kepada dia!

Akan tetapi Kam Wi yang beradat kasar itu merasa curiga. Sambil melangkah maju dia berkata, “Dengan latar belakang dan alasan apakah maka tiba-tiba Malangi Khan hendak berdamai?”

Malangi Khan memandang dengan mata mendelik, juga Kam Wi melotot sehingga dua orang tinggi besar itu berlagak bagaikan dua ekor ayam jantan akan bertarung. Akan tetapi Cin Hai cepat berkata,

“Kam-enghiong, Malangi Khan yang mulia telah melihat bahwa orang-orang yang tadinya dianggap sebagai musuhnya ternyata sama sekali tidak mengganggu puteranya, dan hal ini melembutkan hatinya dan dia suka sekali berdamai dengan orang-orang yang tidak mengganggu anak kecil, biar pun anak itu anak musuhnya pula.”

Keterangan ini diterima oleh Kam Wi dengan muka menjadi merah karena dia merasa tersindir. Memang tadinya ia bermaksud untuk memenggal leher Putera Mahkota Mongol itu untuk melumpuhkan semangat barisan Mongol.

“Malangi Khan, untuk membuktikan kesungguhan maksud hatimu yang sangat baik, aku mewakili panglima kerajaan yang menjadi keponakanku sendiri untuk mengundangmu makan dan minum di dalam benteng Alkata-san, sesuai dengan sikap persaudaraan yang tadi kau kemukakan,” Kam Wi berkata kepada Malangi Khan.

Dia adalah seorang kang-ouw yang selalu jujur dan kasar, juga amat berhati-hati, maka ia sengaja melakukan siasat ini untuk mencari tahu sikap sesungguhnya dari Malangi Khan.

“Selain Kaisarmu sendiri, aku tidak mau menerima undangan dari segala orang!” Malangi Khan berkata dengan angkuh.

“Kalau begitu, bagaimana kami dapat percaya bahwa kau mempunyai maksud damai?” Kam Wi membentak marah dan suasana menjadi panas lagi. Melihat ini Kam Liong lalu berkata dengan halus,

“Malangi Khan, benar seperti yang diucapkan oleh pamanku tadi. Kami mengundangmu menghadiri perjamuan sederhana untuk merayakan perdamaian kita.”

Akan tetapi Malangi Khan tetap berkepala batu dan menggelengkan kepalanya. Akhirnya Pendekar Bodoh turun tangan. Ia menghampiri Malangi Khan dan berkata,

“Khan yang baik, mengapa kau menolak undangan persaudaraan? Marilah, sekalian kau dapat menyambut puteramu yang tentu telah lama menanti-nantikan kedatanganmu. Kau bawalah semua pengiringmu, sebab dalam suasana perdamaian ini perlu sekali diadakan malam gembira antara kita sama kita!”

Mendengar ucapan ini, lenyaplah kemuraman pada wajah Kaisar Mongol itu. “Kalau kau yang mengundang, itu lain lagi, Saudaraku!”

Dan dia lalu memberi tanda dengan tangannya kepada semua pengiringnya yang berada di belakangnya. Maka, majulah mereka bergerak menuju ke benteng Alkata-san dalam suasana damai!

Diam-diam Kam Wi membisikkan sesuatu kepada Kam Liong, “Suruh para penyelidikmu menyelidiki keadaan di luar, siapa tahu kalau Malangi Khan diam-diam memerintahkan penyerbuan besar.” Kam Liong mengangguk-angguk, karena tanpa nasehat ini, dia pun tentu tidak akan melupakan hal ini.

Pertemuan antara Malangi Khan dan Kamangis amat menggembirakan.

“Ada orang yang mengganggumu di sini?” ayah itu bertanya kaku.

Kamangis menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah Ma Hoa. “Aku mendapatkan perlindungan dari dia yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia amat manis budi dan baik sekali, Ayah.”

Malangi Khan memandang kepada Ma Hoa lalu menjura, “Bukankah Toanio ini Ibu dari Kwee Cin?”

Ma Hoa mengangguk, maka Malangi Khan dengan girang dan kagum lalu tertawa besar. “Ehh, Kamangis, kalau begitu mengapa kau tidak menyebut ibu saja kepadanya? Kau boleh menjadi anak angkatnya. Ha-ha-ha!”

Dan serta merta Kamangis yang sangat patuh kepada ayahnya itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ma Hoa sambil menyebut, “Ibu...”

Ma Hoa girang dan juga terharu. Dia memeluk Kamangis dan berkata, “Bagus, memang kau baik sekali. Patut menjadi saudara Cin-ji. Karena kau sudah menjadi anak angkatku, sepatutnya kau kuberi nama julukan, yaitu Kwee Hong”

Malangi Khan tertawa terbahak-bahak. “Bagus, bagus! Memang burung Hong merupakan lambang kebesaran dan kemuliaan. Terima kasih, Toanio!” Pendekar Bodoh lalu bertepuk tangan diikuti oleh orang-orang lain sehingga suasana di situ gembira sekali.

“Ehh, aku hampir lupa, Kamangis, hayo kau cepat memberi hormat kepada gurumu!” Ia menuding ke arah Cin Hai.

Kamangi terheran dan memandang kepada Cin Hai. “Apakah dia lebih lihai dari pada ibu, Ayah? Ibu memiliki ilmu silat yang luar biasa sekali, juga ayah angkatku, demikian kata Kwee Cin. Apakah dia lebih lihai dari mereka?”

“Ha-ha-ha-ha, anak bodoh. Dialah orang yang paling hebat di antara kita semua. Dialah Pendekar Bodoh, dan kau beruntung sekali bisa menjadi muridnya.”

Karena Kamangis memang cerdik, ia lalu berlutut di depan Cin Hai dan memberi hormat sambil menyebut, ‘Suhu’! Kemudian atas perintah ayahnya pula, anak ini pun kemudian memberi hormat kepada ‘ayah angkatnya’ dan juga kepada Lin Lin yang disebut ‘subo’ (isteri guru).

Perjamuan berjalan dengan lancar dan gembira sampai tengah malam. Karena merasa girang sekali puteranya selamat dan permusuhan dapat dihabiskan malam itu, Malangi Khan minum arak sebanyak-banyaknya dan karena arak dari selatan memang jauh lebih keras dari pada arak yang sering kali diminumnya, maka dia menjadi mabuk.

Hal ini memang disengaja oleh Kam Liong karena panglima muda ini ingin sekali dapat mendengar ocehan Malangi Khan dalam mabuknya. Seperti biasa, orang tak akan dapat menyimpan rahasianya apa bila sedang mabuk sehingga jika Malangi Khan mempunyai rencana tertentu dan ‘perdamaian’ yang diperlihatkannya itu hanya tipuan belaka, tentu di dalam mabuknya Kaisar ini akan membuka rahasia. Akan tetapi, ternyata Malangi Khan tidak membuka rahasia apa-apa, kecuali menyebutkan nama-nama beberapa orang selir yang disayanginya!

Dengan bantuan Pendekar Bodoh, Malangi Khan lalu diantar ke dalam sebuah kamar di mana dia lantas tidur mendengkur keras sekali. Kemudian Kaisar Mongol itu ditinggalkan tidur seorang diri di dalam kamar itu, karena yang lain-lain masih melanjutkan perjamuan yang amat gembira.

Siapakah orangnya yang tidak gembira menerima berita bahwa perang dihentikan dan perdamaian membuat mereka mendapat kesempatan untuk pulang dan bertemu kembali dengan keluarga masing-masing? Dalam perjamuan itu, ikut serta para perwira dan orang gagah yang menemani pemimpin-pemimpin pasukan pengawal Malangi Khan.

Kwee An dan Ma Hoa mengantar Kamangis dan Kwee Cin tidur dan Kwee An berpesan kepada Ma Hoa agar jangan meninggalkan dua orang anak itu, karena siapa tahu kalau ada orang jahat di antara para pengikut Malangi Khan. Kemudian dia kembali ke ruang perjamuan, akan tetapi dia mengambil jalan memutar ke belakang.

Tiba-tiba saja dia melihat bayangan orang berkelebat, dan gerakan orang ini luar biasa gesitnya. Tubuh orang itu pendek dan gemuk, mengingatkan dia akan tubuh Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, tapi orang ini tidak berjenggot.

Di antara kawan-kawannya dan orang-orang gagah yang berkumpul di Alkata-san, tidak ada orang yang tubuhnya berbentuk seperti ini, maka timbullah kecurigaannya. Secara diam-diam dia kemudian mengikuti bayangan ini, yang dengan hati-hati mempergunakan kesempatan selagi semua orang sedang makan minum untuk mendatangi jendela kamar di mana Malangi Khan tidur mendengkur dengan pulasnya!

Setibanya di luar jendela, ia lalu mencabut sepasang golok dari punggungnya dan sekali cokel saja, terbukalah jendela itu yang lalu diganjalnya dengan sebatang ranting kering. Kemudian, dengan gerakan gesit sekali orang ini lalu melompat ke dalam kamar.

Ternyata bahwa Malangi Khan tidurnya pulas sekali akibat pengaruh arak sehingga dia tidak mendengar sama sekali akan perbuatan orang yang mencurigakan ini. Orang ini adalah seorang Panglima Mongol yang bertubuh pendek gemuk, usianya kurang lebih tiga puluh tahun. Ia bernama Khalinga, seorang panglima Mongol keturunan Tartar yang amat benci kepada orang-orang Han.

Hal ini tidak mengherankan oleh karena ayahnya dahulu tewas oleh orang Han, maka ia telah bermaksud untuk menumpas setiap bangsa Han yang dijumpainya. Kemudian oleh Malangi Khan dia dipilih menjadi panglima sebab memang Khalinga memiliki kepandaian yang lumayan, apa lagi permainan siang-to (sepasang golok) darinya amat lihai.

Ketika Khalinga mendapat kenyataan bahwa Malangi Khan menyatakan damai dengan orang-orang Han, bahkan hendak mengunjungi Kaisar untuk menyatakan persahabatan, hatinya menjadi panas dan mendongkol sekali. Timbullah kebenciannya yang amat hebat terhadap Kaisarnya yang dianggapnya lemah, pengecut dan ingin mengkhianati cita-cita bangsa Mongol. Oleh karena itu, diam-diam dia mendatangi tempat tidur Malangi Khan dan hendak mempergunakan kesempatan selagi kaisar itu tidur dan para tamu sedang makan minum, untuk membunuh Kaisar Malangi Khan!

Niat ini bukan semata-mata terdorong oleh kebenciannya yang tiba-tiba terhadap Malangi Khan, melainkan merupakan siasat yang amat licin dari orang pendek peranakan Tartar Mongol ini.

Kalau ia dapat membunuh Malangi Khan tanpa diketahui oleh siapa pun juga, tentulah peristiwa hebat ini akan melenyapkan sama sekali maksud damai dari Malangi Khan dan tentu dengan mudah dia akan dapat menghasut para panglima dan bala tentara Mongol bahwa dengan sengaja Malangi Khan dijebak ke dalam perangkap kemudian diam-diam dibunuh oleh orang-oran Han! Dengan demikian seluruh bala tentara Mongol tentu akan serentak bangkit dan memusuhi orang-orang Han, dan siapa tahu kalau-kalau dia akan dapat memperoleh kedudukan tinggi!

Akan tetapi semua itu hanya mimpi atau lamunan kosong belaka karena tanpa ia ketahui, pada saat itu ia telah diikuti oleh seorang pendekar besar yang lihai, yaitu Kwee An!

Di dalam kamar Malangi Khan itu masih terang karena lilin yang bernyala di atas ciak-tai (tempat lilin) masih belum habis dan belum padam. Ketika Kwee An melihat betapa orang pendek itu mengangkat golok dan hendak membacok Malangi Khan, cepat-cepat tangan kanannya bergerak dan sebutir batu kerikil tajam melayang ke arah pergelangan tangan kiri orang yang telah mengangkat golok kiri untuk dibacokkan ke arah leher Malangi Khan itu!

Orang itu menjerit perlahan lantas goloknya terlepas dari pegangan. Dia merasa tangan kirinya menjadi lumpuh. Bukan main herannya ketika ia tidak mendengar suara goloknya yang terlepas itu berdentang di atas lantai, malah tiba-tiba api lilin bergoyang.

Alangkah kagetnya ketika ia menengok, ia melihat goloknya yang terlepas tadi sebelum jatuh ke atas lantai, sudah disambar oleh bayangan yang gagah dan kini berdiri dengan golok rampasan itu di depannya sambil tersenyum mengejek. Khalinga mengenal orang ini sebagai Kwee An, ayah dari anak yang dulu ditahan di dalam benteng, maka dengan nekat dia lalu menerjang dengan goloknya.

Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan Kwee An, pendekar besar yang berilmu tinggi itu. Setelah belasan jurus mereka bertempur, bukan Khalinga yang menyerang, bahkan dia menjadi pihak yang diserang kalang-kabut oleh Kwee An!

Kwee An hendak menawannya hidup-hidup, maka agak sukar ia mengalahkan lawannya. Kalau saja dia mau menurunkan tangan maut, dalam satu dua jurus saja tentu dia akan dapat membuat lawannya roboh tak bernyawa lagi atau terluka berat.

Suara golok yang beradu menimbulkan suara nyaring dan membangunkan Malangi Khan dari tidurnya.

“Hei! Kalian sedang berbuat apa di sini?” tegurnya heran ketika melihat salah seorang panglimanya sedang bertempur melawan Kwee An.

“Malangi Khan! Penjahat ini berusaha membunuhmu!” berkata Kwee An.

Malangi Khan bukanlah seorang Kaisar besar apa bila dia tidak tahu akan watak semua panglimanya. Begitu mendengar hal ini, segera dia maklum bahwa Khalinga tentu akan menimbulkan kekeruhan, hendak membunuhnya agar memancing permusuhan di antara orang-orang Han dan orang-orang Mongol, karena Malangi Khan sudah tahu betul akan kebencian Khalinga terhadap orang Han.

“Khalinga, kau berani hendak mengkhianati aku?” bentaknya marah.

Khalinga berdiri dengan muka merah dan dada berombak di depan kaisarnya yang telah duduk di atas pembaringan, sedangkan Kwee An juga menunda serangannya akan tetapi terus memandang dengan penuh kewaspadaan.

“Malangi, kau bilang aku mengkhianati engkau? Justru kau orangnya yang mengkhianati bangsa Mongol, kau Kaisar lemah dan pengecut! Kau sudah menyerah kepada bangsat-bangsat Han tanpa mengeluarkan setetes darah, alangkah rendah dan hinanya, alangkah pengecut. Orang macam kau harus mampus di ujung golokku!” Sambil berkata demikian, Khalinga lalu menubruk maju dan menusukkan goloknya ke arah dada Malangi Khan!

Akan tetapi Kwee An segera membentak marah dan sekali goloknya berkelebat, Khalinga lantas berseru kesakitan dan goloknya terlempar ke atas lantai, ada pun tangan kanannya berlumur darah terkena ujung golok Kwee An.

Malangi Khan melompat turun, mengambil golok yang terlepas dari tangan Khalinga, lalu mengangkat golok itu untuk dibacokkan ke arah kepala Khalinga.

“Ha-ha! Kaisar pengecut, kau hendak membunuhku? Bunuhlah, ini dadaku! Aku Khalinga tidak takut mati, tidak seperti engkau!”

Melihat sikap Khalinga ini, maka lemaslah tangan Malangi Khan. Kaisar ini paling suka dan kagum akan kegagahan dan sikap yang berani mati dari Khalinga ini menimbulkan sayangnya.

“Khalinga, lekas pergilah! Aku ampuni jiwamu. Akan tetapi jangan sekali-kali kau berani memperlihatkan mukamu di hadapanku lagi. Kembalilah kau kepada orang-orang Tartar, kau tidak berhak menyebut diri menjadi orang Mongol lagi!”

Bagaikan seekor anjing dipukul, Khalinga melompat keluar dari jendela dan melarikan diri. Setelah Kaisar menyatakan dia bukan orang Mongol lagi, dia tidak berani membuka mulut memaki Malangi Khan, karena sebagai orang Tartar tentu saja dia tidak berhak ikut mencampuri urusan Negara Mongol!

Sementara itu, ribut-ribut ini telah menarik perhatian orang-orang dan Cin Hai diikuti yang lain-lain telah memburu ke tempat itu. Mereka masih dapat melihat betapa Malangi Khan mengampuni calon pembunuh itu, maka makin kagumlah Cin Hai kepada Kaisar Mongol ini.

Juga Kim Wi dan Kam Liong, demikian pula Tiong Kun Tojin, diam-diam memuji Kaisar yang bijaksana ini. Lebih-lebih Kam Wi mengakui kebenaran sikap Pendekar Bodoh yang berhasil menarik hati Kaisar Mongol ini, karena menurut hasil penyelidikan para petugas, ternyata bahwa barisan Mongol yang luar biasa besar jumlahnya telah mengurung sekitar Pegunungan Alkata-san! Kalau saja Malangi Khan mereka ganggu dan kalau saja pecah pertempuran besar, biar pun orang-orang gagah ini tidak merasa jeri dan belum tentu mereka kalah, akan tetapi sudah pasti bahwa banyak korban akan roboh di antara kedua pihak.

Ada pun Malangi Khan tentu saja merasa amat berterima kasih kepada Kwee An, karena kalau tidak kebetulan pendekar ini melihat Khalinga, tentu dia sudah terbunuh oleh orang pendek itu. Dan lebih bersyukur lagi hati Kaisar ini bahwa penolongnya ternyata adalah ayah angkat dari Kamangis putera tunggalnya!

Pada keesokan harinya, Malangi Khan membawa seluruh pasukan serta bala tentaranya untuk kembali ke utara setelah menerima janji dari Pendekar Bodoh bahwa pendekar ini kelak akan menyusul ke utara mengunjungi istana Malangi Khan dan untuk menurunkan ilmu kepandaian kepada Pangeran Kamangis.

Sebaliknya, Kam Liong juga membawa kembali seluruh pasukannya ke kota raja setelah mengangkat seorang komandan untuk bertugas menjaga tapal batas utara dengan pesan agar supaya memperkuat disiplin agar anak buahnya tidak mencari perselisihan dengan orang-orang Mongol yang berlalu-lintas membawa barang dagangan mereka.

Semua orang merasa puas dengan kesudahan dari perang besar yang akan meletus itu, hanya Cin Hai dan sekeluarganya yang merasa amat gelisah karena sampai pada waktu itu, Lili masih juga belum pulang! Terutama sekali Lin Lin merasa gelisah sekali.

Oleh karena itu, ketika Goat Lan dan Hong Beng dengan disertai oleh Kwee An dan Ma Hoa kembali ke kota raja untuk membuat laporan kepada Kaisar mengenai hasil tugas hukuman mereka dan minta dibebaskan serta diampunkan, Cin Hai dan Lin Lin tidak ikut pulang, melainkan hendak pergi mencari Lili.

Dengan diperkuat oleh laporan Kam Liong, Kaisar yang mendengar tentang kesudahan perang itu menjadi sangat gembira dan memuji Hong Beng serta Goat Lan sebagai dua orang pendekar yang setia dan gagah.

“Aku telah mendengar bahwa kalian berdua sudah bertunangan,” Kaisar berkata dengan ramah, “biar pun kalian belum menikah, sudah sepatutnya aku memberi selamat dengan sedikit tanda mata.”

Kaisar lalu memberi hadiah kepada sepasang pendekar ini, yakni sepasang siang-kiam (pedang pasangan) yang bergagang emas serta sebuah giok-ma (kuda kumala), yaitu sebuah perhiasan berbentuk kuda yang terbuat dari batu kemala dan diukir indah sekali sehingga nampaknya seperti hidup saja.

Ada pun Pangeran Mahkota yang merasa amat berterima kasih kepada Goat Lan karena sudah menolong nyawanya dari maut berupa penyakit hebat itu, lalu meloloskan sebuah kancing bajunya yang terbuat dari pada intan. Kancing baju ini berbentuk bulat dan intan yang luar biasa besarnya ini terukir dengan huruf Hok (Rejeki) dan di belakangnya terukir pula dengan huruf-huruf yang berarti Putera Pangeran.

Dengan memegang kancing seperti itu berarti Goat Lan juga telah memegang kekuasaan yang besar, karena ke mana pun juga dia pergi, asalkan dia memperlihatkan kancing ini kepada para pembesar negeri, maka ia tentu akan diterima dengan penuh penghormatan seperti orang menerima kunjungan Pangeran sendiri!

Demikianlah, sesudah menghaturkan terima kasih dengan hati terharu, Hong Beng serta Goat Lan lalu meninggalkan istana dan bersama dengan Kwee An dan Ma Hoa, mereka lalu kembali ke Tiang-an. Di sepanjang jalan mereka bergembira, apa lagi Kwee Cin yang memang belum pernah menikmati perjalanan yang demikian jauh.

Ada pun Sin-kai Lo Sian, ketika oleh Cin Hai disuruh kembali terlebih dahulu ke Shaning karena suami isteri ini hendak mencari Lili, Pengemis Sakti ini menolak dengan halus dan menyatakan bahwa dia sudah bosan untuk berdiam menganggur di dalam rumah dan darah petualangnya memanggilnya untuk kembali mengadakan perantauan seperti pada waktu dahulu…..

********************

Ke manakah perginya Lili, gadis remaja yang cantik dan gagah berani itu? Mari kita ikuti perjalanannya yang penuh bahaya…

Sebagaimana sudah diketahui, ketika mendengar bahwa Goat Lan dan Hong Beng pergi ke benteng orang Mongol untuk menolong Kwee Cin, Lili yang berani dan bengal menjadi tergerak hatinya sehingga malam-malam dia lalu minggat dari benteng Alkata-san untuk menyusul kakaknya dan calon soso-nya (kakak ipar) itu.

Ia mempergunakan ilmu lari cepat di malam terang bulan dan ia merasa gembira sekali. Melalui gunung-gunung dan hutan-hutan liar di malam disinari bulan itu sama sekali tidak membuat hatinya menjadi takut, sebaliknya ia malah merasa demikian gembira sehingga ia berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi kecil seperti ketika ia masih kanak-kanak dahulu.

Akan tetapi oleh karena selama hidupnya Lili belum pernah menginjak daerah ini dan ia pun masih belum berpengalaman dalam hal mencari jalan dengan hanya mengandalkan petunjuk lisan dari seorang Haimi tua seperti Nurhacu itu, maka tanpa disadarinya kedua kakinya menyeleweng dan makin jauh ia meninggalkan arah tujuannya! Ia membelok ke barat menuju ke rimba raya di atas sebuah bukit yang gelap dan menghitam mengerikan.

Setelah malam hampir terganti fajar, kian jauhlah ia tersasar dan makin bingunglah hati Lili. Menurut Nurhacu, hutan yang dilaluinya ini tidak panjang dan sebelum fajar ia sudah dapat keluar dari hutan ini dan sampai di padang rumput dari mana benteng orang-orang Mongol akan tampak. Akan tetapi sekarang sudah menjelang fajar, hutan yang dilalui ini makin lama makin liar dan makin padat oleh pohon-pohon raksasa.

Ia menjadi mendongkol sekali kepada Nurhacu, disangkanya sengaja memberi petunjuk menyesatkan. Mulai lenyaplah kegembiraan di wajahnya, terganti oleh kemarahan yang terlihat pada bibirnya yang cemberut.

Akan tetapi dasar watak Lili amat gembira, setelah fajar terganti pagi dan matahari mulai bersinar, kegembiraannya timbul lagi bersama dengan datangnya suara burung-burung hutan berkicau dan munculnya binatang-binatang hutan yang sangat elok. Beberapa ekor binatang kecil seperti kelinci, rusa, dan lain-lain keluar dari semak-semak, berlari-lari kecil bermandi cahaya matahari sehingga Lili menjadi gembira sekali.

Ia pun lalu ikut berlari-lari, mengejar ke sana ke mari untuk melihat binatang-binatang itu bermain-main sambil kadang-kadang terdengar suara tawanya yang merdu dan nyaring. Kalau ada orang melihat keadaan di dalam hutan liar ini pada waktu itu, dia akan melihat binatang-binatang kecil berlari-larian dan bermain-main di dalam cahaya matahari pagi, mendengar suara burung-burung berkicau serta melihat kembang-kembang mekar indah dengan hiasan mutiara-mutiara embun pagi yang bergantungan di kelopaknya, sehingga pada saat melihat seorang dara juita berbaju kembang berlari ke sana-sini sambil tertawa merdu, tentu orang itu akan menyangka bahwa Lili adalah seorang bidadari atau seorang peri!

Ketika melihat ada sepasang rusa di bawah pohon sedang berkasih-kasihan, yang jantan membelai-belai yang betina dengan lehernya yang panjang indah, hati Lili berdebar dan tiba-tiba di depan matanya terbayang wajah seorang pemuda!

Ia mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa sangat aneh dan marah kepada diri sendiri. Mengapa wajah yang terbayang itu wajah... Lie Siong, orang kurang ajar itu? Kalau saja dia teringat pertama-tama kepada Kam Liong atau bahkan kepada Song Kam Seng sekali pun, dia tak akan merasa aneh. Akan tetapi… Lie Siong?!

Tanpa terasa lagi dia menjumput pasir dan menyambitkannya ke arah sepasang rusa itu yang menjadi terkejut dan melarikan diri. Lenyap pulalah bayangan wajah Lie Siong dari depan matanya dan Lili menjadi gembira kembali.

Tiba-tiba dia melihat seekor kelinci putih yang gemuk dan timbullah seleranya. Dia telah melakukan perjalanan selama setengah malam tanpa istirahat dan kini dia merasa amat lapar. Dikerjarnya kelinci itu, akan tetapi walau pun gemuk dan keempat kakinya pendek-pendek, namun ternyata kelinci putih itu dapat berlari cepat sekali dan sebentar saja dia menghilang di dalam semak-semak.

Lili memang beradat keras dan tidak mudah mengaku kalah. Dia lalu mencabut pedang Liong-coan-kiam dan membabat semak-semak itu hingga bersih! Sebelum semak-semak itu habis dibabat, kelinci itu telah melompat pergi lagi dan kembali menyusup ke dalam semak-semak yang lebih lebat lagi. Lili menggigit bibirnya.

“Kelinci manja! Ke mana kau hendak pergi? Biar pun kau pergi ke neraka, tetap saja aku akan dapat menangkap dan menikmati dagingmu yang empuk!”

Kembali Lili membabat semak-semak berduri itu. Akan tetapi seperti tadi pula, kelinci itu melompat dan berpindah-pindah dari sebuah semak ke semak yang lain. Sebentar saja, sudah lebih dari sepuluh rumpun semak-semak belukar yang dibabat habis oleh pedang Liang-coan-kiam di tangan Lili.

Dan akhirnya kelinci itu menjadi sangat ketakutan dan berlari terus, dikejar oleh Lili yang menjadi semakin gemas. Setelah kehabisan jalan, kelinci itu kembali menyusup ke dalam semak-semak yang penuh dengan tetumbuhan daun hitam yang gelap sekali. Lili tidak peduli dan mulai membabat lagi.

Pedang Liong-coan-kiam adalah pedang pusaka yang amat tajam, maka dengan mudah saja semak-semak itu dibabat hingga berhamburan ke kanan kiri sampai terlihat tanah di bawahnya. Sesudah semak-semak ini habis terbabat, tidak seperti tadi, kelinci itu tetap tidak kelihatan.

Lili menjadi penasaran sekali. Sudah terang bahwa kelinci itu tak melompat keluar, akan tetapi mengapa juga tidak berada di dalam semak-semak ini? Apakah kelinci itu pandai menghilang? Ia mencari terus, melempar-lemparkan semak-semak yang sudah terbabat itu ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja kelinci tidak nampak.

Akhirnya ia melihat ada sebuah lubang bundar yang lebarnya kurang lebih satu setengah kaki. Ia pun mengangguk-angguk dan tersenyum. “Kelinci licik, kau kira aku tidak tahu ke mana bersembunyi? Keluarlah!”

Dia lalu menepuk-nepuk pinggir lobang itu dan menjadi terheran-heran ketika mendengar suara berdengung dari bawah tanah. Lobang itu ternyata kosong di sebelah dalamnya, pikirnya. Tempat apakah ini? Goa tertutup?

Dia lalu mempergunakan pedangnya untuk menggali lubang itu dan baru saja satu kaki dalamnya, ternyata bahwa lobang di bawah luar biasa besarnya, merupakan sumur yang lebar sekali. Jadi lubang tadi merupakan ‘cerobong’ pada langit-langit ruangan di bawah tanah ini!

Lili menjadi tertarik sekali. Dia segera melebarkan cerobong itu sampai kira-kira tiga kaki segi empat, lalu mengambil batu dan melemparnya ke bawah. Tidak dalam, pikirnya, dan di bawah tanah lunak biasa saja. Hal ini diketahui karena dalam waktu singkat batu itu mengenai dasar ruang dan terdengar suara berdebuk.

Ia harus menangkap kelinci itu dan di samping itu, ia pun ingin tahu apakah yang berada di dalam ruang di bawah tanah ini. Memang ia memiliki nyali yang amat besar. Dengan pedang Liong-coan-kiam di tangan kanan, gadis ini kemudian melompat ke dalam lubang tadi.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)