PENDEKAR SAKTI : JILID-01
Ketika itu, Kerajaan Tang yang semenjak abad ke tujuh hidup subur dan makmur, dalam permulaan abad ke delapan mulai mengalami perubahan besar. Korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh para pembesar dan pegawai negeri dari yang terendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, membuat negara menjadi lemah, rakyat menjadi sengsara, dan kekacauan timbul di mana-mana.
Juga bangsa-bangsa lain, seperti bangsa Tibet yang tadinya sudah menjadi sahabat baik sejak Sron-can Gam-po, kepala suku bangsa Tibet, menikah dengan Puteri Wan Ceng, kini mulai kelihatan mengambil sikap kurang baik. Suku bangsa Tibet yang menjadi kuat sekali itu, sering kali menunjukkan sikap bermusuhan dan menghina kepada bala tentara Tang yang menjaga di tapal batas utara. Juga suku bangsa Nam-cow memperlihatkan sikap tidak bersahabat.
Semua ini bisa timbul karena Kerajaan Tang nampak kacau di sebelah dalam. Kekuatan pasukan menjadi rusak, penuh oleh kutu busuk yang berupa panglima-panglima tukang korup besar-besaran. Dalam keadaan seperti itulah cerita ini terjadi...
********************
Sunyi sekali di pinggir Laut Po-hai di mana air Sungai Kuning itu tumpah, karena di situ memang merupakan tempat yang liar dan tidak didiami orang. Siapakah berani mendiami lembah Sungai Kuning di dekat laut? Sama halnya dengan hidup di dekat mulut seekor naga yang liar, yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan mencaplok orang yang berada di dekatnya. Tiap kali datang musim hujan, lembah yang nampak kehijau-hijauan dan amat subur itu berubah menjadi lautan ganas!
Akan tetapi, pada waktu itu musim hujan sudah lama lewat. Lembah Sungai Kuning itu merupakan tanah yang subur serta penuh dengan rumput-rumput hijau. Pemandangan indah sekali, dan suara air laut bergelombang memukuli batu-batu karang di pinggir laut, merupakan dendang yang tak kunjung habis.
Walau pun di tempat itu belum pernah ada manusia yang datang, akan tetapi pada saat itu tampak sesosok bayangan orang berdiri tegak di atas puncak bukit batu karang yang menghitam. Orang ini sudah tua, pakaiannya penuh tambalan seperti pakaian pengemis, rambutnya panjang tidak terpelihara, tubuhnya tinggi kurus akan tetapi melihat wajahnya, nampak agung dan berpengaruh laksana wajah seorang kaisar saja! Usianya sebetulnya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi dia sudah tampak tua karena tidak merawat dirinya.
Kakek ini berdiri tegak sambil kadang-kadang memandang ke arah gelombang laut yang membuas, kadang-kadang melihat air Sungai Kuning yang menggabungkan diri dengan saudara tuanya, yaitu air laut. Ia mengembangkan kedua lengan tangannya yang kurus, lalu terdengar dia bicara seorang diri.
“Air Huang-ho berasal dari hujan, dan hujan berasal dari laut. Lihat, mendung bergulung-gulung dari atas laut, bukankah ini namanya kembali ke asal? Alam begini besar, kuasa, dan adil, mana dapat dibandingkan dengan kekuasaan kaisar? Alam bersifat memberi, selalu memberi, tidak seperti kaisar yang selalu minta! Ah, alangkah bodohnya adik Pin, mana aku mau mengikuti jejaknya? Hari ini dia diangkat menjadi menteri, lalu bercanda dengan kedudukan dan kemewahan, mana dia bisa tahu kebahagiaan sejati? Biarlah aku bercanda dengan kekayaan alam!”
Setelah berkata demikian, kakek ini lalu berlenggang-lenggang turun dari gunung karang itu. Bukit batu karang besar itu licin sekali karena selalu tersiram air laut, juga ujungnya runcing-runcing dan tajam, ditambah lagi dengan bentuknya yang amat terjal. Akan tetapi betul-betul mengherankan sekali, kakek itu dapat berjalan turun dari batu itu seolah-olah batu itu datar saja. Ia tidak kelihatan menggunakan keseimbangan tubuh, hanya berjalan biasa saja tanpa melihat batu karang yang diinjaknya.
Yang lebih hebat lagi, sambil berjalan turun, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi! Suaranya keras sekali, mengimbangi suara gelombang air laut yang membentur karang, sehingga kalau didengar-dengar, suara air laut itu seolah-olah menimbulkan irama musik mengiringi nyanyian kakek itu. Dengan suara makin lama makin keras seakan-akan dia tidak mau kalah oleh suara ombak yang makin menderu, dia bernyanyi berulang-ulang.
Kalau kau menarik gendewa,
sampai sepenuh-penuh lengkungnya,
kau akan menyesal mengapa tak kau hentikan pada waktunya.
Kalau kau mengasah pedangmu
seruncing-runcingnya,
ujung pedang itu takkan dapat bertahan lama.
Kalau emas permata memenuhi rumahmu,
kau akan repot dan bingung untuk menjaga semua itu.
Menyombongkan harta dan mengagulkan kedudukan,
berarti menyebar benih keruntuhan.
Mengasolah setelah tugas selesai,
sesuai dengan jalan Thian-to (Hukum Alam)!
Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu sesungguhnya bukan nyanyian sembarangan saja, melainkan kata-kata bersajak dari pujangga atau ada kalanya disebut Nabi Besar Lo-cu! Kakek itu kini sudah tiba di atas tanah berpasir, kemudian dia berjalan menuju ke laut!
Apa yang hendak diperbuatnya? Sungguh aneh! Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang menghadapi laut. Ia berdiri di sebelah batu karang itu, menantikan datangnya gelombang ombak yang sebesar bukit!
Pada waktu itu angin bertiup keras dan ombak yang datang benar-benar dahsyat serta mengerikan. Ombak ini makin dekat dengan pantai menjadi makin bergelombang, sikap ombak ini benar-benar merupakan ancaman maut. Akan tetapi, di antara suara ombak menderu, terdengar suara kakek itu tertawa bergelak-gelak.
Ombak datang dengan luar biasa hebatnya, membawa tenaga yang ribuan kati beratnya, menghantam batu karang dan juga kakek yang berdiri itu, menimbulkan suara hiruk-pikuk menggelegar yang terdengar sampai belasan li jauhnya.
Akan tetapi, di antara suara menggelegar ini, masih terdengar suara ketawa dari kakek aneh tadi. Ketika ombak datang, dia mementang kedua lengannya lalu mendorong ke depan, tubuhnya tidak tegak lagi, melainkan agak membungkuk ke depan.
Ombak memecah pada batu karang dan lenyap menjadi air yang mengalir kembali ke tengah laut. Batu karang tadi bergoyang-goyang terpukul ombak, dan setelah ombak lenyap, batu itu masih berdiri tegak, memperlambangkan kekuatan yang luar biasa. Dan kakek tadi? Masih nampak berdiri, agak terengah-engah, akan tetapi masih ketawa-tawa senang!
“Ha-ha-ha, kakek batu karang, bukankah sang ombak tadi mempergunakan ilmu pukulan Tin-san-ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung)? Ha-ha-ha, pukulan itu terhadap kau dan aku sama saja dengan pukulan seorang bocah saja!” Sesudah berkata-kata kepada batu dia berseru, “Kakek ombak, hayo kau datanglah, pergunakan segala tenagamu, hendak kulihat apakah kau mampu menggulingkan kakek batu karang!”
Ombak datang memukul dan pergi lagi, namun batu karang dan kakek itu tetap berdiri teguh. Benar-benar seperti kata-katanya tadi, kakek ini sedang bercanda dengan ombak dan batu karang, sedang bercanda dengan alam!
Setelah menahan pukulan ombak sampai lima kali, angin mulai mereda dan ombak yang datang hanya ombak-ombak kecil saja. Kakek itu menjadi bosan dan ketika dia hendak mendarat, mendadak dari atas batu karang itu melompat turun sesosok bayangan orang dengan gesitnya. Tahu-tahu di hadapannya berdiri sambil tertawa seorang hwesio gundul yang tubuhnya seperti bola karet, bulat segala-galanya,. Kemudian dia membungkuk, lalu mendorong batu karang itu.
Benar-benar hebat sekali. Batu karang yang tadi tertimpa gelombang berkali-kali bahkan yang entah sudah berapa ribu kali terdorong ombak tanpa bergeming, hanya bergoyang-goyang sedikit saja, kini terkena dorongan hwesio bulat ini, menjadi miring dan akhirnya roboh!
Hwesio itu terengah-engah sedikit, lalu menghadapi kakek tadi sambil tertawa-tawa.
“He-heh-heh, Ang-bin Sin-kai (Pengemis Sakti Muka Merah), biar pun kakek ombak amat kuat, namun dia tidak mempunyai akal budi seperti kita. Mana bisa dia mendorong roboh batu karang ini?”
Kakek pengemis itu pun tertawa sambil memandang ke langit. “Di tempat ini berjumpa dengan Jeng-kin-jiu (Tangan Seribu Kati), sungguh amat menggembirakan. Ada sahabat datang dari tempat jauh, bukankah itu amat menggirangkan hati?” Kalimat terakhir ini pun adalah ujar-ujar kuno yang diucapkan Nabi Khong Cu. “Ehh, Kak Thong Taisu, jauh-jauh kau datang dari selatan ke sini, apakah hanya untuk merobohkan batu karang ini?”
“Pengemis bangkotan! Merobohkan batu karang benda mati ini, apanya sih yang aneh? Apa bila kakek ombak yang mampu mendorong roboh kakek batu karang, barulah boleh dibuat kagum. Sebaliknya kalau pinceng mampu mendorong roboh pengemis bangkotan, batu karang hidup, itu baru namanya cukup berharga!”
Kakek yang dipanggil Ang-bin Sin-kai atau Pengemis Sakti Muka Merah itu tertawa lebar. “Kepala gundul, jadi kau ingin mencoba kepandaianku! Itukah maksud kunjunganmu?”
“Ayam jago dari selatan bertemu ayam jago dari timur, mengapa banyak berkeruyuk lagi? Masih tanya-tanya maksud kedatangan?” setelah berkata demikian, hwesio gundul yang bertubuh bundar itu lalu menubruk maju dengan kedua tangan dipentang seperti hendak menubruk dan menangkap seekor katak.
Ang-bin Sin-kai maklum bahwa meski pun kelihatannya serangan ini seperti main-main, akan tetapi hebatnya bukan main. Ketika dia mengelak sambil melompat ke kiri, pasir di belakangnya yang terkena angin terkaman ini berhamburan ke atas dan batu karang di belakangnya bergoyang-goyang!
“Lihai sekali kau punya ilmu pukulan Yu-coan Swe-jiu (Pukulan Menembus Air)!” berkata Ang-bin Sin-kai sambil membalas serangan lawannya dengan tak kalah hebatnya.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang tokoh yang terbesar namanya di wilayah selatan. Di kalangan ahli-ahli silat dan perantau yang gagah perkasa, Si Tangan Seribu Kati ini dianggap sebagai jago tua yang paling lihai dan disegani. Orang-orang takut dan segan kepadanya karena selain ilmu silatnya lihai sekali, juga tabiatnya aneh dan sukar dilayani.
Oleh sebab itu, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ini hidupnya seolah-olah terasing. Ia tinggal di sebuah pulau kosong yang kecil di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tidak ada seorang pun manusia yang berani mendatangi pulau ini. Orang-orang hanya bisa melihat hwesio gemuk ini bila ia menyeberang dan mengadakan perantauan di daratan Tiongkok.
Ilmu kepandaiannya amat tinggi, dan dia terkenal sebagai seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang sudah memiliki kepandaian sempurna sekali sehingga tenaganya sukar untuk diukur bagaimana besarnya. Oleh karena tenaga gwakang-nya inilah maka dia disebut Jeng-kin-jiu.
Dan sebaliknya, kakek pengemis yang tinggi kurus itu pun bukanlah orang sembarangan. Namanya tidak ada orang mengetahui, bahkan Kak Thong Taisu sendiri tidak tahu siapa nama asli dari pengemis tua bangka ini. Dan hanya tokoh-tokoh besar seperti Kak Thong Taisu saja yang tahu bahwa kakek pengemis ini berdarah bangsawan!
Dia jarang memperlihatkan kepandaiannya dan bila berada di tempat ramai, orang hanya menganggapnya sebagai seorang pengemis biasa saja. Tentu saja tidak ada orang yang mengetahui bahwa walau pun dia disebut pengemis dan keadaannya seperti pengemis, akan tetapi selama hidupnya belum pernah mengemis!
Nama julukan Ang-bin Sin-kai atau Pengemis Sakti Muka Merah didapatnya karena kulit mukanya memang selalu kemerah-merahan seperti kulit seorang bayi yang sangat sehat. Berbeda dengan Jeng-kin-jiu yang tadi sudah mendemonstrasikan tenaga gwakang-nya yang hebat ketika mendorong roboh batu karang, Ang-bin Sin-kai ini adalah seorang ahli lweekang yang juga telah mendemonstrasikan tenaganya saat dia menyambut serangan gelombang ombak tadi.
Dengan demikian, pertempuran yang terjadi di dekat laut ini adalah pertempuran antara seorang ahli gwakang dengan seorang ahli lweekang! Bagi orang-orang yang tingkat ilmu silatnya masih rendah, memang dengan mudah akan mengatakan bahwa pertempuran antara ahli gwakang dengan ahli lweekang tentu akan dimenangkan oleh ahli lweekang itu. Namun, hal ini tidak demikian kalau si ahli gwakang sudah memiliki kepandaian yang sempurna. Pada hakekatnya, sumber atau dasar kepandaian mereka adalah sama, tapi Jeng-kin-jiu lebih mengandalkan tenaga kasar, ada pun Ang-bin Sin-kai mengandalkan tenaga lemas.
Bukan main hebatnya pertempuran itu. Keduanya berlompat-lompatan, saling serang dan saling mengelak. Kadang-kadang saling tangkis sehingga keduanya terhuyung-huyung. Beberapa kali mereka melompat dengan menggunakan ginkang yang sudah sempurna sehingga seakan-akan mereka merupakan dua ekor burung raksasa yang saling terkam.
Bahkan pernah Ang-bin Sin-kai terlempar masuk ke laut dan terpaksa berenang minggir lagi. Pada lain saat si teromok gundul itu terlempar menabrak batu karang, akan tetapi kiranya bukan kepalanya yang pecah, melainkan batu karang itu yang hancur pinggirnya!
Ketika mereka bertempur tadi, matahari masih berada di atas kepala mereka, akan tetapi kini matahari telah lenyap dibalik gunung sehingga cuaca telah menjadi remang-remang. Namun pertempuran masih dilanjutkan dengan ramainya dan ternyata keadaan mereka benar-benar berimbang.
Dari pertempuran yang semula mengandalkan kecepatan gerak kaki tangan, keduanya sampai bertempur dengan lambat sekali, seperti sedang berlatih silat, namun sebenarnya serangan-serangan yang lambat ini mengandung tenaga yang sanggup mengirim nyawa salah seorang ke hadapan Giam-lo-ong (Malaikat Maut) kalau sampai terkena pukulan!
Berhubung dengan datangnya sang malam, angin mulai menyerang lagi. Suara gemuruh dibarengi getaran-getaran pada tanah pesisir itu menandakan bahwa gelombang ombak membesar menghantami batu-batu karang di pantai.
Kedua orang kakek yang aneh itu masih saja melanjutkan pertandingan mereka. Makin lama mereka merasa makin gembira karena setelah berpisah bertahun-tahun, sekarang ternyata kepandaian masing-masing menjadi makin maju dan hebat. Oleh karena air laut telah pasang, mereka kini terpaksa pindah dan melanjutkan pertempuran di tempat yang agak tinggi.
Angin mengamuk, langit tertutup mendung tebal sekali sehingga keadaan menjadi gelap gulita. Hanya orang berkepandaian tinggi sekali mampu melanjutkan pertempuran dalam keadaan seperti itu. Mereka sudah tak dapat melihat lawan masing-masing, karena tidak mungkin lagi dapat melihat semua yang di depan. Tangan sendiri pun tidak tampak, apa lagi orang lain. Akan tetapi dengan alat pendengaran mereka yang terlatih baik, mereka dapat mendengarkan sambaran angin pukulan lawan!
Menjelang tengah malam, keduanya sudah amat lelah. Beberapa kali mereka telah dapat saling pukul, akan tetapi pukulan-pukulan itu tidak terlalu keras bagi tubuh mereka yang sudah kebal sehingga keduanya masih mampu terus bertahan. Akhirnya usia lanjut yang menang, tubuh mereka menjadi makin lemas dan lelah.
Pada saat mereka sedang mengadu tenaga dan kedua tangan saling tempel dan saling mendorong lawan supaya jatuh ke dalam laut dari batu karang yang tinggi, tiba-tiba batu karang itu terpukul ombak yang maha kuat sehingga miring! Keduanya cepat melompat turun karena khawatir terbawa jatuh dan tergencet batu karang. Sesudah tiba di bawah, kembali mereka berhadapan!
Tiba-tiba saja di dalam gelap itu nampak cahaya hijau menjulang tinggi dari tengah laut. Kembali nampak cahaya kehijauan melayang ke atas dan sesudah sampai di atas lalu padam.
“Ahh, itulah tanda kapal dalam bahaya!” seru Ang-bin Sin-kai.
“Benar! Kau perhatikan, bukankah di tengah laut itu nampak lampu merah sebentar ada sebentar hilang?” ujar Jeng-kin-jiu.
Keduanya memperhatikan dan benar saja. Sebentar-sebentar, bila ombak yang setinggi gunung sudah turun, nampak lampu merah berkelip-kelip jauh sekali dan berkali-kali api hijau itu melayang ke atas.
“Nasib mereka sudah pasti!” kata Ang-bin Sin-kai perlahan.
“Ikan-ikan hiu akan berpesta pora setelah badai mereda. Dalam badai seperti ini, bagai mana mereka dapat meloloskan diri?” kata hwesio itu.
“Kita pun tidak berdaya menolong mereka,” kata kakek pengemis.
“Benar, sungguh sayang. Melihat sesama manusia dipermainkan oleh maut namun tidak dapat turun tangan menolong, alangkah menyedihkan!” si hwesio berkata dan suaranya benar-benar terdengar sedih.
Mendengar suara ini, si kakek pengemis juga menjadi sedih. Keduanya kini duduk di atas batu karang yang tinggi dan sambil duduk berdampingan. Dua orang yag tadi bertempur mati-matian itu memandang ke tengah laut. Kadang-kadang mereka berseru girang kalau melihat api merah itu, akan tetapi berdebar-debar gelisah apa bila api itu tidak kelihatan lagi.
“Mereka masih ada!” seru hwesio itu kegirangan bila mana melihat sinar hijau melayang ke atas.
"Moga-moga mereka selamat!" si pengemis berdoa.
Sampai setengah malam badai mengamuk dan dua orang kakek aneh itu masih saja duduk di situ, melepas lelah akan tetapi dengan hati tidak karuan rasanya melihat betapa ada sebuah perahu besar diombang-ambingkan oleh gelombang dan menjadi permainan badai.
Menjelang fajar, badai mereda dan ombak menghilang. Aneh sekali kalau dilihat, akan tetapi air laut yg tadinya mengganas bagaikan semua penghuni laut melakukan perang besar itu, kini menjadi tenang dan diam, bening bagaikan kaca hijau yang besar sekali.
Bahkan matahari yang timbul dari permukaan laut dan yang bayangannya tercermin di dalam air, nampak diam tak bergerak sedikit pun juga, tanda bahwa air itu benar-benar diam tak bergerak! Seakan-akan raksasa besar itu kini tertidur melepaskan lelah setelah setengah malam lamanya memperlihatkan kehebatan tenaga mereka yang dahsyat.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Ang-bin Sin-kai masih duduk bersanding sambil mata mereka tidak pernah berkejap memandang ke tengah laut. Keduanya nampak lesu dan muram seperti orang menyedihkan sesuatu. Hal ini tidak aneh, karena semenjak badai mereda lampu merah itu tidak kelihatan lagi!
“Kita seperti pengkhianat-pengkhianat yang melihat bangsanya terbunuh tanpa sanggup menolong,” kakek pengemis itu berkata lambat.
“Apa daya kita bila menghadapi kekuasaan alam?” Jeng-kin-jiu menghiburnya. “Giam-lo sudah merenggut nyawa orang-orang itu, siapa yang dapat menghalangi pekerjaannya? Dari pada kita menyedihkan sesuatu yang sudah lalu, kenapa kita tidak melanjutkan pibu kita?”
Pengemis itu tersadar, lalu menoleh kepada hwesio itu sambil tersenyum. “Kau benar, di antara kita belum ada yang kalah atau menang. Mari!”
Ia lalu meloncat turun dari batu karang, diikuti pula oleh hwesio gemuk itu dengan wajah gembira dan sebentar kemudian kedua musuh gerotan ini sudah berhadapan lagi sambil memasang kuda-kuda!
Tiba-tiba saja dua orang itu mendengar sesuatu dan mereka saling pandang, kemudian keduanya tetawa bergelak-gelak. Bunyi yang mereka dengar tadi adalah suara isi perut masing-masing yang tak dapat ditahan lagi telah berkeruyuk saking laparnya. Isi perut pengemis itu mengeluarkan suara yang nyaring dan tinggi, sedangkan isi perut hwesio itu berkeruyuk dengan suara rendah. Perkelahian malam tadi benar-benar sudah membuat mereka menjadi lapar sekali.
“Gundul busuk, apakah tidak baik kalau kita menyuruh mereka ini tutup mulut lebih dulu dan menyumbat mulut mereka dengan makanan-makanan?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Akur! Memang menjemukan sekali kalau mereka terus berkeruyuk dan merengek seperti perempuan-perempuan cengeng,” jawab hwesio itu.
“Ehh, hwesio murtad! Bagaimana kau si kepala gundul ini dapat bicara tentang urusan perempuan? Apakah di luarnya kau bersujud kepada Buddha dan menyucikan diri akan tetapi hatimu selalu mengenang perempuan cantik?” tanya pengemis itu sambil matanya mencorong memandang penuh kecurigaan.
Jeng-kin-jiu hanya tertawa. “Di tempat seperti ini, dari manakah kita bisa mendapatkan makanan?”
Si pengemis tua tersenyum dan menunjuk ke arah laut. “Ada samudera luas di depan mata kita, takut apakah? Perutmu yang gendut itu kukira takkan dapat menghabiskan isi laut.”
Setelah berkata demikian, kakek pengemis itu lalu terjun ke dalam laut dan berenang ke tengah untuk menangkap ikan.
“He, kantong nasi gundul, apakah kali ini kau masih tetap hendak ciakjai (pantang makan daging) dan membiarkan perut gendutmu kosong dipenuhi angin busuk?” pengemis itu masih sempat berteriak.
Hwesio itu tertawa bergelak, “Siapa sudi mulutnya pantang makan daging dan selalu dijejali sayuran akan tetapi hati dan pikirannya mengenangkan ekor ikan lee yang lezat?” sesudah berkata demikian, hwesio ini pun kemudian terjun ke air dan berlomba dengan pengemis itu untuk mencari ikan yang sebesar-besarnya.
Setelah hwesio gundul itu yang mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak di atas daratan dasar laut, akhirnya dia dapat menangkap seekor ikan yang gemuk seperti dia. Ikan itu meronta-ronta. Biar pun kalau di darat Jeng-kin-jiu adalah seorang ahli gwakang yang tenaganya tak kalah oleh seekor gajah, namun di dalam air ia tidak dapat melawan ikan ini. Hampir saja ikan itu terlepas lagi apa bila dia tidak dapat cepat menusuk kepala ikan itu dengan kedua jari tangannya sehingga pecahlah kepala ikan itu!
Setelah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mumbul ke permukaan air, dia bisa melihat Ang-bin Sin-kai juga sedang berenang dari tengah. Juga pengemis itu memondong sesuatu yang dari jauh kelihatannya seperti ikan. Akan tetapi, sesudah mereka keduanya mendarat di pantai, hwesio itu dengan mata terbelalak memandang ke arah ‘ikan’ yang di pondong oleh pengemis itu.
“Omitohud!” hwesio itu menyebut nama Buddha. “Benar-benarkah kau sudah berhasil menangkap seekor ikan duyung?”
“Tutup mulutmu, Gundul! Lebih baik lekas kau tolong anak ini. Jika aku tidak tahu bahwa kau mengerti ilmu pengobatan, buat apa aku membawanya ke pantai?” Pengemis itu lalu meletakkan tubuh anak kecil yang dipondongnya tadi di atas pasir.
Anak itu pingsan dan mukanya biru, perutnya gembung penuh dengan air asin. Kepala anak itu gundul dan melihat pakaiannya, dia tentunya anak dari keluarga cukup. Hanya pakaian ini sekarang compang-camping dan sepatunya tinggal sebelah kiri saja! Usianya kurang lebih lima tahun.
“Omitohud! Akhirnya bisa juga kita menolong seorang di antara para penumpang perahu yang tenggelam itu,” kata hwesio gemuk sambil berjongkok memeriksa anak tadi.
Ia suka sekali melihat anak ini karena anak ini memiliki wajah yang tampan dan ketika dia memeriksa tubuh anak itu, dengan girang sekali dia mendapat kenyataan bahwa anak itu mempunyai tulang-tulang yang baik sekali, tulang seorang calon ahli silat yang pandai! Yang terutama sekali membuat hwesio ini merasa senang adalah kepala anak ini yang gundul pelontos dan licin seperti kepalanya sendiri!
“Anak baik... anak baik...” Berkali-kali hwesio itu berkata sambil mengelus-elus kepala yang gundul licin itu.
Si pengemis menjadi dongkol sekali melihat ini.
“Kau hendak mengobatinya atau hendak mengelus-elus kepalanya?” tanyanya marah.
Mendadak hwesio itu berdoa dan dia mengucapkan sebuah syair dari pelajaran Buddha Gautama,
Tidak ada perbedaan antara
Nirwana dan Sengsara
Tidak ada perbedaan antara
Sengsara dan Nirwana
“Banyak mulut tidak bekerja merupakan watak seorang siauw-jin (orang rendah). Banyak kerja tutup mulut barulah seorang kuncu (orang budiman)!” Pengemis itu berteriak marah.
Akhirnya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mulai mengobati anak itu. Ia memegang dua kaki anak itu dalam tangan kiri, menjungkir-balikkan anak itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, lalu tangan kanannya menepuk-nepuk perut anak itu yang gembung penuh air.
“Buang air itu, untuk apa memenuhi perut?” katanya.
Seketika itu juga air laut mengalir keluar dari mulut anak itu sehingga perutnya menjadi kempis kembali. Lalu ia meletakkan anak itu di atas tanah, telentang dan menggerak-gerakkan kedua tangan anak itu sehingga dada itu terangkat beberapa kali. Akan tetapi tetap saja anak itu tidak dapat bernapas lagi. Si hwesio menjadi gemas.
“Anak bandel, bandel dan tolol!” makinya.
Akan tetapi biar pun dia memaki demikian, namun dia lalu mendekatkan mulutnya pada bibir anak itu, lalu menempelkan mulutnya yang besar memenuhi bibir kecil anak tadi dan meniup serta menyedot beberapa kali!
Si pengemis tua hanya memandang saja. Diam-diam dia merasa sangat iri hati terhadap kepandaian hwesio gemuk ini, oleh karena dia sendiri sama sekali tidak mengerti tentang cara-cara penyembuhan.
Tak lama kemudian, terdengar anak itu mengeluh dan pernapasannya berjalan kembali. Hanya sebentar dia mengeluh sambil menggeliat-geliat, lalu setelah membuka matanya, anak itu melompat berdiri.
Dua orang kakek itu diam-diam memandang kagum. Anak ini benar-benar memiliki tulang yang baik dan juga daya tahan luar biasa sehingga baru saja terhindar dari bahaya maut, sekarang telah bergerak dengan tangkas pula.
“Anak baik, siapa kau?” pengemis tua itu bertanya.
“Bagaimana dengan nasib penumpang-penumpang lain?” hwesio itu pun bertanya.
Untuk sejenak anak itu memandang bingung. Biar pun dia telah mengingat-ingat, namun dia benar-benar telah kehilangan ingatannya.
“Siapa aku? Di mana aku? Ahh... aku tidak tahu. Siapakah lopek dan losuhu ini?”
Anak ini mempunyai suara yg nyaring dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam sekali. Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Ka Thong Taisu saling pandang, lantas mereka berdua tertawa besar.
“Aku dipanggil Ang-Bin Sin-kai,” pengemis itu memperkenalkan diri.
“Dan pinceng adalah Kak Thong Taisu,” menyambung hwesio gemuk.
“Mengapa aku berada di sini?” anak itu bertanya.
“Kalau tidak ada Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) ngamuk, mana bisa kau ditelan ombak? Dan kalau tidak ada kami dua orang tua bangkotan, mana bisa kau berada di sini?” kata kakek pengemis itu yang memang sudah biasa mempergunakan kata-kata yang sukar dimengerti.
Akan tetapi ternyata anak itu cerdik sekali. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu sambil berkata, “Aku sungguh tidak mengerti mengapa aku tenggelam di laut, akan tetapi atas pertolongan Ji-wi losuhu, aku benar-benar merasa berterima kasih sekali. Semoga Kwan Im Pouwsat memberkahi Ji-wi yang mulia.” Dia lalu berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali.
Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbuka lebar-lebar. Mereka merasa girang sekali melihat sikap anak ini.
“Eh, anak baik, agaknya orang tuamu pemuja Kwan Im Pouwsat. Bagus sekali!” Kata Kak Thong Taisu. “Siapakah orang tuamu dan siapa pula namamu? Dari mana kau datang?”
Anak itu menggeleng-gelengkan kepala dengan muka sedih. “Aku tidak tahu siapa orang tuaku, siapa pula namaku aku sudah lupa lagi. Dari mana aku datang? Entahlah, yang terang dari laut, karena bukankah Ji-wi mengeluarkan aku dari laut?” dia menudingkan jarinya yang kecil itu ke arah laut.
Kembali dua orang kakek itu saling pandang.
“Hemmm, dia sudah kehilangan ingatannya karena mengalami hal yang amat dahsyat di tengah laut. Kasihan!” kata Kak Thong Taisu.
“Anak, kalau begitu, aku hendak memberi nama kepadamu, maukah kau?”
Anak itu mengangguk. Ang-bin sin-kai menjadi girang sekali.
“Kalau begitu, mulai sekarang kau she (bernama keturunan) Lu!”
Terdengar Kak Thong Taisu tertawa bergelak-gelak. Suara ketawanya ini nyaring sekali sehingga anak itu terkejut. Ia merasa telinganya sakit sekali mendengar suara ketawa ini, maka cepat-cepat dia menutup telinganya dengan kedua tangannya.
“Mengapa kau tertawa, setan gundul?” Ang-bin Sin-kai membentak marah.
“Ha-ha-ha, kau jembel tua bangka ini biar pun di luarnya seperti jembel, ternyata masih belum sanggup melupakan asal keturunan bangsawanmu! Biarlah anak ini kau beri she. Bagiku, apakah artinya nama keturunan? Merepotkan saja! Anak baik, kau sekarang she Lu seperti she pengemis tua bangka ini. Akan tetapi namamu adalah aku yang akan memilihkan. Kau sekarang memakai nama Kwan Cu.”
“Lu Kwan Cu…” anak itu berkata perlahan seperti kepada diri sendiri. Tadi saat melihat hwesio itu berhenti tertawa, dia sudah menurunkan tangan yang dipakai untuk menutupi telinganya.
“Ya, Lu Kwan Cu, nama baik, bukan?” si pengemis berkata girang. “Dan mulai sekarang kau menjadi muridku!”
“Eh, eh, ehh, Ang-bin Sin-kai, kau melantur apa lagi? Siapa bilang dia menjadi muridmu? Dia adalah muridku, tahu?”
“Tidak, hwesio gundul terlalu banyak makan! Dia adalah muridku. Lu Kwan Cu adalah murid Ang-bin Sin-kai!”
“Gila! Dia muridku!”
“Aku yang datang menolongnya dari gelombang laut!”
“Dan aku yang mengalirkan kembali nyawa ke dalam tubuhnya!”
Kedua orang kakek ini kembali saling berhadapan dengan mata mencereng, siap untuk memperebutkan anak itu. Keduanya bersitegang dan akhirnya tanpa dapat dicegah lagi keduanya lalu bertanding pula! Mereka mengeluarkan ilmu pukulan yang paling dahsyat sehingga pasir berhamburan terkena angin pukulan mereka.
Bahkan ketika anak yang kini bernama Lu Kwan Cu itu terdorong oleh angin pukulan, anak itu lantas terguling-guling bagaikan sehelai daun tertiup angin keras. Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan anak ini lalu mencari tempat perlindungan di belakang sebuah batu karang besar. Ia mengintai dan menonton pertempuran itu dengan kedua matanya yang lebar dan tajam itu terbuka lebar-lebar.
Kini pertempuran yang terjadi jauh lebih hebat dari pada malam tadi, karena kalau malam tadi mereka bertempur hanya mengandalkan pendengarannya, sekarang mereka dapat mengerahkan seluruh kepandaian dan ketajaman mata mereka. Rasa lapar terlupa dan adanya hanya nafsu untuk menang!
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari anak itu,
“Aneh, aneh! Aku kesunyian mencari kawan. Dua orang ini di tempat yang begini sunyi saling bertemu dan mendapat kawan, mengapa bahkan saling pukul seperti kerbau gila? Ahh, celaka, tentu mereka berdua ini miring otaknya!”
Mendengar omongan ini, biar pun sedang berkelahi, dua orang kakek itu
saling pandang sambil membelalakkan mata. Akan tetapi mereka kembali
melanjutkan perkelahian itu.
Ketika anak kecil tadi melihat betapa dua orang kakek itu masih saja
berkelahi, agaknya dia menjadi bosan. Diam-diam dia lalu pergi
meninggalkan tempat itu.
Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai tentu saja tahu akan hal ini. Akan tetapi mereka sedang mengerahkan seluruh kepandaian untuk merobohkan lawan yang amat tangguh, hingga mereka kurang memperhatikan anak yang pergi itu.
Setelah matahari naik tingi, kelelahan dan rasa lapar membuat keduanya menjadi lemas dan dengan sendirinya perkelahian itu berhenti pula! Mereka duduk di atas pasir dengan napas terengah-engah sambil saling pandang.
“Kau tua bangka gundul sungguh hebat kepandaianmu!” Ang-bin Sin-kai berkata memuji.
“Dan kau pengemis kurus kering ternyata lebih hebat dari pada dulu. Kalau saja pinceng berhasil mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tentu kau takkan dapat bertahan begitu lama,” kata Keng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil menarik napas panjang.
“Im-yang Bu-tek Cin-keng tidak akan terjatuh ke tanganmu, gundul. Kitab itu pasti akan menjadi milikku. Kau lihat saja!”
“Hemm, belum tentu. Semua tergantung atas keputusan Thian. Siapa yang terpilih untuk menjadi ahli silat nomor satu di dunia, barulah akan berhasil mendapatkan kitab rahasia itu.”
“Baik-baik, mari kita berlomba mendapatkan kitab itu. Sekarang lebih baik kita menunda pertempuran kita sampai salah seorang berhasil mendapatkan kitab, baru bertempur lagi. Bagaimana pikiranmu?”
“Baik, Ang-bin Sin-kai. Memang perutku sudah lapar sekali. Ehh, di mana Lu Kwan Cu?” Hwesio itu bertanya sambil memandang ke kanan kiri.
“Biar saja, dia sudah pergi. Karena kita tidak dapat disebut mana yang kalah, mana yang menang, siapa yang akan menjadi gurunya? Biarlah, biar dia sendiri yang menentukan siapa yang hendak dijadikan guru. Antara guru dan murid harus ada jodoh, bukan?”
Hwesio itu mengangguk, kemudian keduanya memanggang ikan yang mereka tangkap dari laut, lalu makan bersama. Kalau dilihat memang aneh dan menggelikan sekali. Dua orang kakek tua bangka ini, karena sedikit urusan saja telah saling gempur mati-matian. Mereka sudah bertempur sampai berjam-jam sampai kehabisan tenaga dan sungguh pun mereka tak menderita luka-luka parah, akan tetapi setidaknya tentu ada kulit-kulit pecah dan biru-biru. Sekarang mereka duduk makan-makan berdua seperti dua orang kawan baik yang sedang berpelesir di pinggir laut!
Sehabis makan, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu berkata, “Ang-bin Sin-kai, pinceng hendak pergi sekarang. Dua orang sahabat sudah saling bertemu dan sudah mengalami banyak kesenangan. Setiap pertemuan tentu berakhir, maka kenapa menyusahkan perpisahan? Hanya satu hal pinceng hendak berpesan. Dalam hal diri Lu Kwan Cu, di antara kita siapa yang berhak mendapatkannya lebih dulu, berhak mengajar lebih dulu selama lima tahun. Sesudah itu harus mengoperkannya kepada orang lain, jangan mau dimonopoli sendiri saja.”
Pengemis itu mengangguk, “Kecuali kalau orang lain itu mampu merebutnya bukan?”
“Tentu saja! Anak itu bertulang baik, dia pantas diperebutkan.” Setelah berkata demikian Kak Thong Taisu lalu melompat dan amat mengagumkan ginkang dari hwesio gendut ini. Walau pun tubuhnya bagaikan bola gendutnya, sehingga kalau berjalan nampak seperti menggelundung, akan tetapi dalam sekali berkelebat saja, tubuhnya sudah lenyap dari hadapan Ang-bin Sin-kai!
Kakek pengemis ini seperti kawan atau juga boleh disebut lawannya, kemudian berdiri di pinggir pantai dan memandang ke laut seperti orang melamun. Bibirnya bergerak-gerak perlahan dan terdengar dia berbisik,
“Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab rahasia yang dirindukan oleh semua tokoh kang-ouw, dan Lu Kwan Cu, anak kecil aneh itu pula....ah, aku seakan-akan melihat pertalian antara keduanya ini!” Sampai berjam-jam kakek ini terus berdiri di pinggir laut bagaikan patung, pikirannya terbawa ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya.
Kakek pengemis yang aneh, hwesio gendut yang ganjil, anak kecil yang penuh rahasia, kemudian kitab yang disebut-sebut itu pun kitab yang aneh pula. Semuanya ini terjadi di pantai laut Po-hai yang penuh rahasia alam.
Memang di dunia ini banyak sekali terjadi hal-hal yang aneh, aneh bagi pandangan mata manusia. Siapakah berani bilang bahwa alam tak berkuasa? Siapa pula dapat mengikuti sifat dari pada To? Kekuasaan Thian nampak di mana-mana…..
********************
“Lu Kwan Cu, nama yang baik! Aku suka nama ini. Aku Lu Kwan Cu, ya, aku bernama Lu Kwan Cu, siapa lagi kalau bukan ini namaku?” berkali-kali kata-kata ini keluar dari mulut anak kecil yang berjalan seorang diri di jalan raya yang sunyi dan lebar.
Ia sudah kehilangan ingatannya, tidak ingat sama sekali tentang apa yang sudah terjadi padanya. Ia tidak ingat lagi akan orang tuanya yang lenyap bersama dengan kapal di mana tadinya dia berada. Semua telah lenyap ditelan ombak samudera, dan kalau anak ini merupakan orang satu-satunya yang selamat, lalu dia kehilangan ingatannya, siapa lagi orangnya di dunia ini yang dapat menceritakan siapa adanya anak ini dan siapa pula orang tuanya?
Oleh karena tidak mungkin menyelidiki siapa adanya keluarga anak ini, maka biarlah kita mulai sekarang menganggap saja bahwa dia bernama Lu Kwan Cu, anak kecil berusia lima tahun yang seolah-olah sudah dilemparkan oleh ombak laut Po-hai ke dalam dunia, seorang diri tak berteman, hanya berkawan perutnya yang memiliki nafsu makan besar sekali dan baju compang-camping yang kantongnya kosong sama sekali!
Oleh karena desakan perutnya, maka tak lama kemudian anak ini kelihatan mengemis di sana-sini untuk dapat mencari makan bagi perutnya yang bernafsu besar! Kwan Cu memang tidak seperti anak-anak lain. Sikapnya, wataknya, dan cara dia mengemis pun menjadi bukti bahwa dia adalah seorang yang aneh.
Pengemis-pengemis kecil lainnya apa bila mengemis tentu akan merengek-rengek, dan menceritakan kesusahan mereka untuk menarik belas kasihan dari pada pendengarnya. Biasanya anak-anak seperti ini amat rendah diri, meski dimaki, dipukul, hanya menerima dengan tangis saja. Berbeda jauh dengan Kwan Cu. Dia tidak pernah merengek, tidak pernah mengeluh, agaknya anak ini memang tidak mengenal keluh-kesah.
Pada suatu hari, dalam perantauannya yang tanpa tujuan itu, tibalah dia di kota Lung-to di tepi Sungai Kuning. Memang Kwan Cu setelah meninggalkan laut, lalu mengikuti jalan sepanjang sungai besar dan tak pernah jauh meninggalkan Suangai Huang-ho.
Ia memasuki kota Lung-to dalam keadaan letih dan lapar. Ia telah melakukan perjalanan sehari semalam lamanya. Daerah ini memang kurang penduduknya dan dari satu kota ke kota yang lain amat jauh jaraknya.
Semenjak kemarin, Kwan Cu belum makan apa-apa, dan selama sehari semalam itu dia terus-menerus berjalan kaki. Tidak ada sesuatu yang bisa dimakannya dalam perjalanan melalui hutan-hutan itu, kecuali air yang memenuhi perutnya. Akan tetapi Kwan Cu tidak berani minum banyak-banyak karena hal ini mengingatkan dia akan air laut. Anak ini mempunyai perasaan takut terhadap air laut yang bergelombang besar.
Dengan langkah tersaruk-saruk Kwan Cu memasuki pintu gerabang kota Lung-to. Kota ini besar dan ramai, banyak terdapat toko-toko dan restoran besar. Maka sebentar saja Kwan Cu dapat menerima sisa makanan dari sebuah restoran.
Biar pun perutnya sudah lapar sekali, namun Kwan Cu tidak nampak tergesa-gesa ketika dia membawa makanan itu ke bawah sebatang pohon besar di pinggir jalan. Kemudian dia makan sisa makanan yang dia dapatkan dari pelayan restoran. Cara makannya juga tidak tergesa-gesa, bahkan dengan teliti dia memilih makanan itu.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa semenjak dia memasuki kota, dia telah diawasi oleh seorang gemuk yang berwajah menakutkan sekali dan yang gerakan-gerakannya seperti seekor kucing ringannya.
“Daging baik, tulang murni...,” beberapa kali orang tinggi besar itu berbisik dan nampak puas sekali.
Tingkah laku orang tinggi besar ini benar-benar amat megherankan dan mencurigakan. Biar pun tubuhnya besar, namun dia bergerak cepat dan gesit sekali. Anehnya, tiap kali bertemu dengan orang, dia lalu menyelinap dan bersembunyi, dan karena dia memang memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, tak ada orang yang melihat dia mengikuti Kwan Cu.
Orang ini tubuhnya besar dan nampak kuat, mukanya bundar dengan mulut lebar seperti mulut barongsai. Jenggotnya pendek dan kaku bagaikan jarum, sudah putih sebagian. Yang menyolok adalah pakaiannya, karena bajunya berwarna merah darah sedangkan celananya berwarna biru! Melihat sesuatu mengganjal di dalam punggung bajunya, dapat diduga bahwa orang ini membawa sebuah senjata tajam.
Pada masa itu banyak timbul kekacauan, karna itu soal membawa-bawa senjata tajam bukanlah pemandangan baru. Bukan hanya ahli-ahli silat yang membawa-bawa senjata pedang atau golok, bahkan orang-orang yang tak mengerti ilmu silat pun sebagian besar membawa senjata pelindung diri.
Ketika Kwan Cu tengah makan, orang tinggi besar itu datang mendekati dengan muka menyeringai. Kwan Cu mengangkat mukanya memandang. Wajah orang itu sama sekali tidak membuat dia takut, bahkan anak kecil ini lalu mengerutkan kening.
Ia telah memilih tempat di bawah pohon di mana tidak ada orang dan sunyi. Dari situ terlihat orang-orang mondar-mandir di jalan raya, akan tetapi tak seorang pun menaruh perhatian pada anak kecil jembel yang sedang makan di bawah pohon. Mengapa orang ini datang dan memandangnya dengan muka menyeringai?
“Orang tua, apakah kau lapar?” tanya Kwan Cu menunda makannya
Orang itu melengak, lalu tertawa. “Aku memang lapar sekali!” Nampak sikap orang itu benar-benar seperti kelaparan dan mengilar.
Kwan Cu melihat makanan yang masih ada sisanya dan terpegang di tangan kirinya dalam sebuah mangkok butut. Sebetulnya dia belum kenyang betul, akan tetapi perutnya sudah tidak perih lagi seperti tadi. Tiba-tiba dia angsurkan mangkoknya kepada kakek itu dan berkata,
“Nah kau ambil dan makanlah ini!”
Kembali orang itu tertegun. Diam-diam dia merasa geli melihat sikap anak kecil ini.
“Kau tidak tahu siapa aku,” pikirnya, “maka kau berani menghina.”
Sebetulnya siapakah kakek yang berwajah menyeramkan ini? Kalau orang-orang yang berjalan di jalan raya itu tahu siapa dia, tentu akan terjadi geger. Telah beberapa hari ini timbul kegemparan di kota Lung-to karena beberapa orang anak kecil lenyap terculik orang.
Telah payah orang-orang pergi menyelidik, akan tetapi percuma saja karena penculik itu dalam melakukan pekerjaannya tak meninggalkan jejak sama sekali. Orang-orang hanya menyangka bahwa penculik itu tentu menculik anak-anak dengan maksud untuk menjual anak-anak itu sebagai budak belian sebab yang dipilih selalu merupakan anak-anak yang manis dan sehat.
Bila saja orang-orang tahu bahwa penculik anak-anak itu ialah Tauw-cai-houw, seorang setengah gila yang banyak melakukan perbuatan ganas dan sangat menyeramkan, tentu orang-orang akan menjadi gempar!
Tauw-cai-houw (Harimau Menagih Hutang) adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi yang mempunyai kebiasaan aneh dan mengerikan sekali. Ia menangkap anak-anak kecil bukan sekali-kali untuk dijual belikan, melainkan untuk di... makan!
Dan kini Tauw-cai-houw berada di kota Lung-to dan telah menculik beberapa orang anak kecil. Lebih dari itu, pada hari itu Touw-cai-houw bahkan sedang mendekati Kwan Cu dan ditawari sisa makanan oleh anak ini!
“Anak manis, kau makanlah biar kenyang,” kata Tauw-cai-houw dengan kedua matanya berputar-putar. Memang muka yang bundar dari orang ini mirip dengan muka harimau. “Kalau kau masih kurang, bilang saja, aku akan menyediakan untukmu.”
Kemudian, kakek ini melihat mangkok di tangan Kwan Cu yang butut serta isinya yang terdiri dari makanan sisa. Tangannya cepat menyambar dan tahu-tahu mangkok itu telah dirampasnya dan dibanting hancur. Kwan Cu memandang heran dan juga marah, akan tetapi Tauw-cai-houw berkata,
“Tunggulah sebentar. Makanan seperti itu tak seharusnya kau makan. Tunggu sebentar, aku akan mencarikan makanan yang baik untukmu.”
Ia lalu melangkah lebar ke arah restoran dan tak lama kemudian, betul saja dia kembali dengan langkah-langkah lebar menghampiri Kwan Cu sambil membawa dua mangkok penuh terisi makanan-makanan yang hangat mengebul!
Ketika dua mangkok masakan itu diletakkan di hadapannya, Kwan Cu menjadi mengilar sekali. Bau makanan yang amat sedap itu telah membuat perutnya yang belum kenyang tiba-tiba menjadi lapar lagi. Kalau menurutkan nafsunya, ingin dia segera menyikat dua mangkok masakan itu.
Akan tetapi anak ini memang aneh.....
Komentar
Posting Komentar