PENDEKAR SAKTI : JILID-06


Dulu ketika dia belajar siulian dari Loan Eng, dia diharuskan duduk dengan sikap tegak, kedua kaki bersila dengan mata diarahkan kepada ujung hidung sendiri sambil mengatur pernapasan dan mengosongkan pikiran. Sekarang apa yang dibacanya?

Beraneka macam aturan tentang semedhi terdapat dalam kitab ini. Ada semedhi dengan berdiri jungkir balik, yaitu kepala di atas lantai dan kedua kaki diangkat ke atas, ada pula yang menggantung di atas pohon, dan berbagai macam cara yang aneh-aneh lagi! Dan latihannya bernapas juga luar biasa anehnya!

Menurut pelajaran yang diterima dari Loan Eng dulu, menyedot dan mengeluarkan napas harus selambat-lambatnya dan sepanjang-panjangnya, pada waktu meyedot hawa harus dikumpulkan di dada sehingga dada mengembung dan perut menipis, kemudian di waktu mengeluarkan napas, dada harus dikosongkan dan seluruh hawa murni dari dada harus ditarik ke dalam perut untuk memperkuat tian-tan sehingga dada mengempis dan perut mengembung. Akan tetapi di dalam Im-yang Bu-tek Cin-keng ini bahkan sebaliknya!

Kwan Cu benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi dasar dia berbakat baik sekali dalam ilmu silat, maka ketika dia membaca ini, malam harinya ketika Gui Tin telah mendengkur, anak ini lalu bersemedhi dengan cara yang tadi dibacanya di dalam kitab itu, juga melatih pernapasan seperti yang dibacanya siang tadi!

Hasilnya bukan main! Kwan Cu hampir gila karenanya! Jika saja dia tidak memiliki tulang yang baik dan bahan bersih dalam dirinya, mungkin otaknya sudah menjadi miring. Pada saat dia bersemedhi menurut kedudukan yang dipelajari dari dalam kitab, yakni dengan kepalanya yang gundul di atas lantai dan kedua kakinya di atas bersandar tembok, dia merasa kepalanya berdenyut-denyut karena semua darah mengalir ke bawah dengan cepat.

Kemudian, pada waktu dia hendak mengosongkan pikiran serta mengheningkan panca inderanya, beraneka macam bayangan setan terbayang di depan matanya, dan berbagai macam hal yang ngeri-ngeri teringat olehnya. Juga latihan pernapasan dengan cara itu membuat perutnya merasa muak dan dadanya sakit.

Akan tetapi karena dia memang keras hati, dia melanjutkan latihannya sampai beberapa hari. Terjadilah hal yang aneh dalam dirinya. Ia merasa ada tenaga saling tarik-menarik di dalam dadanya dan perjalanan darahnya mengalir sebentar cepat sebentar lambat.

Ketika dia telah melatih selama sebulan, dia sudah dapat membiasakan diri dengan cara baru ini dan pada suatu tengah malam, dia mendengar buku-buku tulang pada seluruh tubuhnya berbunyi keletak-keletuk! Dia tidak tahu bahwa karena latihannya ini, dia sudah melenyapkan hasil latihannya yang dahulu.

Perasaan tidak enak dan tarik menarik tenaga di dalam dadanya adalah pertempuran antara tenaga latihan yang berlawanan. Dan ternyata bahwa cara latihan menurut kitab rahasia itu lebih kuat sehingga dalam waktu beberapa hari saja tenaga latihan cara baru ini dapat mengalahkan tenaga latihan yang dahulu!

Karena tiada waktu untuk melatih diri dengan ilmu silat seperti yang diuraikan di dalam kitab itu, maka Kwan Cu lalu membaca saja kitab itu seperti orang membaca buku cerita! Akan tetapi dia membaca tidak sembarang membaca, melainkan menghafal isi kitab itu sedikit demi sedikit.

Enam bulan telah lewat. Kini Gui Tin telah menyelesaikan pekerjaannya menterjemahkan ilmu perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Terjemahan itu diambil oleh An Lu Shan untuk dipraktekkan, ada pun kitab aslinya masih berada di dalam kamar, karena Gui Tin harus menterjemahkan ilmu-ilmu yang lain!

Dan pada petang hari itu terjadilah hal yang hebat! Baru saja Gui Tin menutup kitab itu setelah mulai menterjemahkan bagian pertama dari ilmu silat, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar kamar dan tak lama kemudian pintu kamar itu terbuka lebar.

Seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan baju terbuka di bagian dada sehingga nampak dadanya itu brewok, juga mukanya penuh brewok, meloncat masuk! Gui Tin dan Kwan Cu melihat betapa beberapa orang penjaga yang tadinya menjaga di luar pintu kamar itu kini menggeletak malang melintang dalam keadaan tidak bernyawa pula!

Laki-laki brewok ini melihat kitab yang sudah dimasukkan ke dalam peti hitam dan ditaruh di atas meja. Tanpa banyak cakap, dia melompat ke dekat meja, memegang peti hitam itu dan berpaling kepada Gui Tin.

"Gui-siucai, inikah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang lagi kau terjemahkan?" tanyanya kepada Gui Tin dengan suaranya yang parau dan kasar sekali.

Gui Tin mengangguk dengan wajah pucat. Orang itu menyambar peti dan juga tangan kanannya menyambar Gui Tin yang terus dikempitnya dan hendak pergi dari situ.

"Jangan kau culik guruku!"

Mendadak orang itu merasa ada sambaran keras dari belakang menuju ke arah pundak kanannya! Sambaran ini merupakan angin pukulan yang hebat, maka dia terkejut sekali. Terpaksa dia melepaskan tubuh Gui Tin dan mengangkat tangan menangkis.

Ternyata yang menyerang adalah Kwan Cu! Melihat gurunya hendak dibawa orang, anak ini menjadi nekad dan memukul ke arah pundak orang itu dengan maksud merampas gurunya. Tidak tahunya bahwa pukulan itu mengandung tenaga lweekang yang didapat dari melakukan latihan siulian itu, maka juga hebat sekali datangnya.

Akan tetapi, orang itu lihai sekali. Dengan keras lengannya menangkis dan tubuh Kwan Cu terpental membentur tembok!

Orang itu tertawa dan hendak menyambar tubuh Gui Tin. Akan tetapi pada saat itu dari luar terdengar suara teriakan berkali-kali.

“Tangkap penjahat!”

Orang yang mencuri kitab itu melompat keluar dan disambut oleh An Lu Shan, An Lu Kui dan Li Kong Hoat-ong sendiri dan di belakang mereka ini masih terdapat puluhan orang perwira!

Ketika melihat orang brewokan ini, Li Kong Hoat-ong, An Lu Shan dan An Lu Kui menjadi terkejut sekali. Sebaliknya si brewok ini hanya tertawa saja menghina, sama sekali tidak merasa gentar dan bahkan suara ketawanya menyatakan bahwa dia memandang rendah semua orang itu.

“Ahhh, tidak tahunya Hek-mo-ong Lo-taihiap yang datang berkunjung,” kata An Lu Shan sambil menjura.

“An-ciangkun, kau seorang perwira, untuk apakah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Apa lagi Gui-siucai telah menterjemahkan bagian ilmu perangnya, yang lain-lain kau tak perlu lagi. Oleh karena itu aku datang untuk mengambilnya, dan sekalian membawa Gui-siucai pergi bersamaku.”

An Lu Shan tidak berani membantah dan terlalu banyak berbicara. Dia sudah kenal akan kelihaian Hek-mo-ong (Raja Iblis Hitam) ini yang di daerah utara namanya hanya sebelah bawah Pak-lo-sian Siangkoan Hai saja. Akan tetapi, Li Kong Hoat-ong tentu saja menjadi marah melihat lagak orang.

“Hek-mo-ong, sudah lama aku mendengar namamu tetapi baru sekarang aku mendapat kehormatan untuk bertemu muka. Tidak tahunya Hek-mo-ong yang memiliki nama besar itu hanya seorang sombong yang tidak memandang muka orang lain dan hendak berlaku sewenang-wenang tanpa kesopanan sedikit pun juga.”

Wajah Hek-mo-ong tak berubah, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat ketika dia berpaling kepada Li Kong Hoat-ong.

“Hemm…” Dia mengeluarkan suara dari hidung, sikapnya menghina sekali, “Kalau tidak salah kau adalah Li Kong Hoat-ong, raja yang sudah kehilangan mahkotanya itu? Perlu apa kau mencampuri urusanku? Kalau memang betul aku kurang sopan dan sombong, habis kau mau apakah?”

“Hek-mo-ong, kau benar-benar tidak melihat orang! Kalau tidak ada aku di sini, kau boleh berbuat sesuka hatimu, akan tetapi setelah aku berada di sini, apakah kau masih mau banyak lagak?”

“Li Kong Hoat-ong, apa kehendakmu?!” suara Hek-mo-ong dahsyat sekali, mengandung ancaman maut.

“Tinggalkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau tidak jangan harap dapat keluar dari sini!” berkata Li Kong Hoat-ong dan bekas raja yang memiliki kepandaian tinggi ini telah meloloskan senjatanya, yakni sebatang pedang kerajaan Yu-yan pada tangan kanan dan sebatang tongkat tanda pangkat di tangan kiri!

An Lu Shan hendak mencegah akan tetapi dia sudah terlambat, karena telah terdengar suara ketawa ngakak seperti suara burung goak dari mulut Hek-mo-ong dan terdengar suara keras, disusul oleh melayangnya daun pintu yang sudah dicabut oleh Hek-mo-ong dan kini menyambar ke arah Li Kong Hoat-ong!

Li Kong Hoat-ong cepat menghantam dengan tongkat di tangan kirinya dan terdengarlah suara keras lain. Daun pintu itu sudah pecah menjadi beberapa potong dan pecahannya menyambar ke kanan kiri!

An Lu Shan dan An Lu Kui cepat-cepat mengelak, akan tetapi beberapa orang perwira lain yang kurang cepat sudah terkena sambaran potongan serta pecahan daun pintu ini sehingga terdengar jerit mengerikan. Pecahan-pecahan daun pintu itu menembus baju perang bagaikan pelor-pelor baja dan beberapa orang perwira tewas pada saat itu juga!

Pertempuran segera terjadi dengan hebatnya. An Lu Shan tak berdaya dan hanya bisa menyuruh para perwira menjauhkan diri, karena setelah dua orang sakti ini bertanding, siapa yang dapat dan berani memisahkan mereka? Sekejap saja yang nampak hanyalah berkelebatnya pedang serta tongkat pada kedua tangan Li Kong Hoat-ong, serta tubuh Hek-mo-ong yang berubah menjadi sesosok bayangan yang gesit sekali.

Sebentar saja kelihatan betapa hebatnya kepandaian Hek-mo-ong, karena meski pun dia bertangan kosong, akan tetapi tongkat dan pedang ini sama sekali tidak dapat mengenai tubuhnya. Tiap kali kedua tangannya bergerak, menyambar angin pukulan yang dahsyat, yang tidak saja membuat kedua senjata itu terpental mundur, juga membuat bangunan di situ seakan-akan tergetar-getar!

Berkat tubuhnya yang kuat, Kwan Cu yang tadi terlempar akibat tangkisan Hek-mo-ong dan membentur tembok, tidak mengalami luka hebat dan kini dia telah menolong gurunya bangun. Gui Tin cepat menyingkir ke tepi karena gentar melihat pertempuran yang amat dahsyat itu, sebaliknya Kwan Cu malahan menonton dekat-dekat.

Anak ini telah menghafal isi pelajaran ilmu silat dari kitab yang diperebutkan itu, dan biar pun pengetahuannya terbatas pada teori saja, namun pengertian ini telah mendatangkan dorongan sehingga dia mulai memperhatikan gerakan-gerakan kedua tokoh besar ini! Ia diam-diam merasa gembira sekali bisa menyaksikan pertandingan yang begitu hebatnya, dan biar pun dia merasa ngeri juga, akan tetapi dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari kedua orang itu.

Setelah bertempur puluhan jurus, perlahan-lahan Hek-mo-ong mendesak lawannya. Raja Iblis Hitam ini mempergunakan pukulan berdasarkan lweekang yang cukup tinggi dan baginya untuk merobohkan lawan tidak usah mempergunakan tenaga tangan, cukup oleh hawa pukulannya saja.

Li Kong Hoat-ong maklum akan kehebatan lawan, maka dia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Akan tetapi sia-sia saja. Pada saat dia membacok dengan pedangnya dan berbarengan mengemplang dengan tongkatnya, tiba-tiba Hek-mo-ong berseru keras sekali.

Kwan Cu yang tadinya berdiri sampai roboh dan terlempar ke lantai saking hebatnya getaran seruan ini yang menyerang serta melumpuhkan dirinya melalui pendengarannya! Demikian pula orang-orang yang berada di sekitar tempat itu, semua merasa seolah-olah lumpuh!

Berbareng dengan pekik yang dahsyat ini, Hek-mo-ong tidak mengelak dari serangan lawan, bahkan menubruk maju. Tangan kanannya mencengkeram ke arah pedang dan dia membiarkan kepalanya dipukul tongkat!

Terdengar suara keras pada saat tongkat memukul kepalanya. Tongkat itu terpental dan Hek-mo-ong merasa kepalanya sedikit pening, akan tetapi dia berhasil mencengkeram pedang yang patah menjadi dua potong! Sebelum rasa terkejut Li Kong Hoat-ong hilang, Hek-mo-ong sudah menyeruduk maju dan menubruk dengan kepalanya ke dada Li Kong Hoat-ong.

Terdengar pekik mengerikan dan tubuh bekas raja itu terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Tulang-tulang dadanya sudah remuk akibat terkena benturan kepala lawannya dan dia tewas pada saat itu juga setelah tubuhnya roboh terlentang!

Keadaan menjadi sunyi, kemudian dipecahkan oleh suara ketawa Hek-mo-ong. Tak ada seorang pun berani bergerak.

“Ha-ha-ha! An-ciangkun, lebih baik kau mengurus bala tentaramu baik-baik dan jangan meributkan urusan kitab ini,” kata Hek-mo-ong.

An Lu Shan maklum bahwa tiada gunanya menyerang orang luar biasa ini. Akan tetapi dia tahu bahwa apa bila Gui Tin sampai dibawa pergi, amat berbahayalah bagi dirinya. Hanya Gui Tin dan muridnya saja yang tahu bahwa ia telah mempelajari ilmu perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kalau sampai orang luar mengetahuinya…, mungkin rencananya yang sudah terkandung di dalam hati selama bertahun-tahun akan gagal!

Oleh karena itu dia lalu menjura dan berkata,

“Lo-enghiong, kami tak akan meributkan urusan ini, akan tetapi kami harap Lo-enghiong juga suka berlaku adil. Kitab itu sudah kau ambil, biarlah. Akan tetapi harap kau jangan membawa pergi Gui-siucai, karena sebenarnya masih banyak sekali penjelasan tentang terjemahan yang kami perlukan darinya. Apa bila kami sudah selesai dengan dia, boleh Lo-enghiong membawanya. Hal ini penting sekali, dan kami harap saja Lo-enghiong tidak akan menggunakan kekerasan terhadap puluhan ribu anak buah barisan kami yang telah teratur dan menjaga berlapis-lapis di benteng ini.”

Hek-mo-ong terdiam sejenak. Ia juga tahu bahwa An Lu Shan adalah seorang komandan yang pandai sekali mengatur barisan. Kalau dia berkeras, dia akan menghadapi puluhan ribu tentara dan hal ini tidak boleh dibuat sembarangan.

Biar pun kepandaiannya tinggi dan dia tidak takut akan keroyokan, akan tetapi jika harus membobolkan pertahanan puluhan ribu orang, sebelum bebas tentu dia akan kehabisan tenaga dan akhirnya usahanya akan sia-sia belaka. Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya, mengapa dia harus bertindak tergesa-gesa? Masih banyak waktu untuk mempelajari kitab itu, pikirnya.

Setelah berpikir begitu, dia mengangguk. “Baiklah, An-ciangkun. Aku minta maaf karena sudah kesalahan tangan membunuh gurumu, namun seperti kalian menyaksikan sendiri, gurumulah yang mulai lebih dulu.”

“Tidak mengapa, Lo-enghiong. Mati hidup bukan di tangan kita dan sudah lajim di dalam pertempuran kalau tidak menang, tentu kalah dan mati,” jawab An Lu Shan.

Kembali Hek-mo-ong tertawa. Kemudian dia melihat Kwan Cu masih berdiri di pinggir. kedua matanya mendelik dan dia kelihatannya akan menyerang anak ini. Akan tetapi dia membatalkan niatnya, lalu tertawa dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah melompat keluar dari rumah itu.

Pada saat dia berlari keluar dari benteng, benar saja dia melihat betapa tempat itu sudah terkurung rapat oleh lapisan-lapisan tentara yang kuat sekali. Dia merasa girang bahwa tadi dia tidak mempergunakan kekerasan. Mudah kelak menculik Gui-siucai, pikirnya.

Mengapa An Lu Shan berlaku demikian lemahnya? Mengapa dia tidak mengeroyok dan mengerahkan pasukannya untuk membunuh Hek-mo-ong? An Lu Shan tidak sedemikian bodoh untuk mengorbankan anak buahnya. Ia adalah seorang yang amat cerdik.

Pada waktu dia tadi melihat peti kitab itu tercuri oleh Hek-mo-ong, dia telah yakin bahwa Hek-mo-ong tidak akan dapat hidup lama di dunia ini. Selain peti itu mengandung rahasia sehingga kalau dibuka akan ada tujuh batang anak panah beracun yang menyambar ke luar, juga peti itu telah dilabur dengan racun yang amat jahat.

Jika tangan Hek-mo-ong telah terkena racun itu, sedikit racun masuk ke dalam mulutnya, pasti Raja Iblis Hitam itu akan mampus! Perlu apa mengeroyoknya? Dia tahu ke mana harus mencari Hek-mo-ong, maka nanti saja dia akan menyuruh para penyelidik supaya mendatangi tempat tinggal Hek-mo-ong di dusun Thian-bun di Gunung Hek-mo-san. Bila iblis itu sudah mati, mudah saja mengambil kembali peti itu.

Dan dia sengaja menahan Gui Tin, sebab selain dia sendiri, hanya sastrawan tua itu saja yang pernah membaca Im-yang Bu-tek Cin-keng. Biar pun kitab itu sekarang berada di tangan Hek-mo-ong, takkan ada gunanya kalau tidak diterjemahkan!

Karena itu, setelah Hek-mo-ong pergi, An Lu Shan lalu mengumpulkan orang-orangnya yang paling cakap untuk pergi menyusul ke Hek-mo-san dan menyelidiki keadaan iblis itu, sekalian kalau iblis itu sudah mampus terkena racun, supaya mengambil kembali peti kitab tadi.

Akan tetapi, setelah serbuan Hek-mo-ong yang mencuri kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, berturut-turut terjadilah hal-hal yang luar biasa dan mengerikan hati An Lu Shan.

Pada keesokan harinya, baru saja dia beserta yang lain-lain selesai mengubur jenazah Li Kong Hoat-ong dan sedang duduk berunding di dalam ruangan tengah, tiba-tiba datang penjaga-penjaga di pintu depan yang melaporkan dengan napas tersengal-sengal bahwa ada seorang tokouw (pertapa wanita) yang sangat galak dan memaksa masuk ke dalam benteng. Siapa saja yang menghalanginya lantas dirobohkan dengan amat mudah!

An Lu Shan dan An Lu Kui bergegas keluar, diikuti oleh beberapa orang perwira. Betapa kaget hati mereka ketika melihat pemandangan yang amat aneh dan luar biasa. Seorang tokouw yang tua akan tetapi tubuhnya masih nampak sehat seperti tubuh seorang gadis berusia delapan belas tahun, jalan mendatangi.

Tangan kirinya menggandeng seorang anak perempuan berusia enam tahun yang cantik mungil, tangan kanannya memegang sebatang ranting pohon yang panjang. Dia berjalan maju terus dan setiap kali ada prajurit yang hendak menghalanginya, dia menudingkan ranting itu kepada prajurit yang menghadang dan prajurit itu roboh sambil memekik keras dan ternyata bahwa prajurit itu telah tewas!

Berdiri bulu tengkuk An Lu Shan saat menyaksikan keganasan dan kekejaman yang luar biasa ini! Siapakah iblis wanita ini, pikirnya. Cepat dia lalu mengeluarkan aba-aba untuk melarang orang-orangnya menghalangi majunya wanita pertapa itu dan dia sendiri lalu cepat mundur dan menanti di ruang tengah, akan tetapi diam-diam dia menyuruh barisan panah mengurung tempat itu untuk bergerak apa bila tokouw itu datang dengan maksud kurang baik.

Sambil tersenyum-senyum mengejek, tokouw itu bersama anak perempuan tadi lantas memasuki benteng dan menuju ke ruangan besar di mana An Lu Shan duduk menanti. Dengan melihat bendera yang berkibar di atas ruangan itu, mudah saja bagi tokouw ini untuk mencari di mana adanya komandan benteng. Dia melangkah masuk dengan sikap tenang seperti memasuki rumahnya sendiri saja.

Setelah masuk ke dalam ruangan itu tokouw ini berdiri tegak dan memandang kepada An Lu Shan. Perwira ini segera berdiri dan menyambut dengan penghormatan. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, terdengar seruan nyaring.

“Ehh, adik Ceng...! Kau di sini...?”

“Hee...! Bukankah kau adalah Kwan Cu?” jawab anak perempuan yang masih digandeng tangannya oleh tokouw itu.

Kwan Cu yang kebetulan keluar bersama gurunya, melihat bahwa anak perempuan itu adalah Bun Sui Ceng, puteri dari Thio Loan Eng, segera menegur. Juga Gui Tin yang telah banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya, ketika melihat tokouw itu, dia tersaruk-saruk maju menghampiri dan menjura.

“Dunia ini ternyata sempit sekali,” katanya kepada tokouw itu, “sehingga di ujung utara ini akan dapat bertemu muka dengan Kiu-bwe Coa-li Suthai dari ujung selatan!”

Tokouw itu nampak tertegun, kemudian ia mengerutkan keningnya. Setelah memandang beberapa lama, dia lalu tersenyum dan berkata dingin, “Hemm, tubuhmu sudah reyot dan lelah, akan tetapi matamu masih tajam sekali, Gui-siucai. Kita bertemu baru satu kali ketika masih muda, namun kau betul-betul tidak melupakan muka orang.”

“Siapa dapat melupakan wajah dan bentuk badan Kii-bwe Coa-li Suthai dari selatan?” jawab Gui Tin sambil tersenyum pula.

Sementara itu, pada saat mendengar bahwa tokouw yang berada di depannya itu adalah Kiu-bwe Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan) yang namanya amat terkenal dan ditakuti oleh semua orang kang-ouw, An Lu Shan menjadi terkejut sekali sehingga dia merasa betapa belakang lehernya menjadi dingin. Ia cepat maju dan menjura dan berkata,

“Ah, tak tahunya Locianpwe yang datang mengunjungi tempatku yang bobrok ini. Mohon banyak maaf karena siauwte tidak tahu maka tidak keluar menyambut.”

Tokouw itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya.

“Anak buahmu sudah menyambut baik-baik, mengapa kau bersungkan? Lagi pula, siapa sih yang mengharapkan sambutan? Aku bukan kaisar!”

Muka An Lu Shan menjadi merah. Akan tetapi biar pun dia disindir, toh hatinya senang juga mendengar bahwa tokouw ini tidak suka kepada kaisar.

“Maaf, maafkan!” katanya merendah. “Bolehkah kiranya siauwte mengetahui kedatangan Locianpwe ini membawa maksud mulia yang manakah?”

“Tidak bermaksud apa-apa, hanya minta kau menyerahkan padaku kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Hemm, ini hebat, pikir An Lu Shan. Jadi kitab itu sudah demikian digilai oleh orang-orang pandai di dunia. Baiknya dia telah mendahului mempelajari bagian ilmu perangnya.

“Bagaimana?” tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li mendesak sambil menggerak-gerakkan ranting di tangannya.

Ternyata bahwa itu bukan ranting biasa, melainkan gagang sebatang pecut yang panjang dan halus sekali. Pecut itu terdiri dari sembilan helai tali yang halus akan tetapi kuat dan merupakan senjatanya yang luar biasa. Oleh karena tali-tali yang sembilan helai ini bisa bergerak-gerak hidup bagaikan ular-ular kecil, maka dia lalu dijuluki Ular Betina Berekor Sembilan!

Satu saja dari sembilan helai tali ini ia gerakkan untuk menotok jalan darah seperti yang diperlihatkan tadi terhadap para prajurit yang menghadangnya cukup untuk membunuh seorang manusia. Dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya kepandaian tokouw ini!

“Locianpwe, sungguh kebetulan sekali. Kalau saja siauwte tidak kehilangan guru siauwte dalam urusan ini, tentu siauwte sudah tertawa geli mendengar Locianpwe datang hendak minta kitab itu.”

“Apa yang telah terjadi?” Sepasang alis tokouw itu bergerak-gerak dan kedua matanya demikian tajam sehingga An Lu Shan tidak kuat untuk menentang lama-lama.

“Baru terjadi kemarin, Locianpwe. Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang kau minta itu telah dirampas orang dan suhu-ku Li Kong Hoat-ong bahkan sampai tewas melawan orang itu.”

“Lekas bilang, siapa yang merampasnya?” seru tokouw itu yang sama sekali tidak peduli tentang kematian Li Kong Hoat-ong.

“Dia adalah Hek-mo-ong yang tinggal di Hek-mo-san...”

Secepat kilat Kiu-bwe Coa-li memutar tubuhnya menghadapi Gui Tin.

“Betulkah demikian?”

Gui Tin hanya mengangguk dan diam-diam sastrawan ini tidak suka melihat sikap tokouw ini. Apa lagi setelah dia melihat bahwa tokouw ini sudah membunuh banyak penjaga di luar benteng!

Kiu-bwe Coa-li hendak pergi, akan tetapi ternyata Sui Ceng yang tadi masih digandeng, telah melepaskan gandengan tangannya dan anak itu sekarang nampak bercakap-cakap dengan seorang anak laki-laki gundul.

“Sui Ceng, mari!” seru tokouw ini dan sekali ia mengulur tangannya, ia mendorong Kwan Cu sehingga anak ini menggelundung seperti bola.

Akan tetapi Kwan Cu cepat melompat lagi dan menuding kepada Kiu-bwe Coa-li sambil berkata, “Mengapa kau begitu galak? Aku tidak suka melihat adik Ceng menjadi murid seorang galak! Ketahuilah, adik Ceng sudah diserahkan kepadaku untuk kujaga dan bila kau memperlakukan buruk padanya...”

Melihat betapa anak laki-laki gundul yang didorongnya itu tidak apa-apa, bahkan barusan mengeluarkan ucapan yang mengancam kepadanya untuk membela Sui Ceng, Kiu-bwe Coa-li menengok dan memandang terheran-heran. Hebat sekali anak gundul ini, pikirnya. Dia lalu ia berbisik kepada Sui Ceng dan anak perempuan ini berkata,

“Engko Kwan Cu, guruku ini baik sekali kepadaku! Ehh, aku ingin tanya, betul-betulkah penuturan mereka tentang Hek-mo-ong?”

Kwan Cu maklum bahwa tokouw ini masih tidak percaya penuh kepada An-ciangkun dan Gui-siucai, maka menggunakan Sui Ceng untuk bertanya kepadanya. Dengan demikian, itu berarti bahwa tokouw itu lebih percaya kepadanya! Hanya dalam sekejap mata saja anak yang berkepala gundul dan berotak cerdik ini bisa menghubung-hubungkan sesuatu dan menarik kesimpulannya pada saat itu juga!

“Adik Ceng, biasanya, orang yang tidak mudah percaya kepada orang lain itu mempunyai watak yang tak dapat dipercayai pula. Karena hendak mengukur watak orang lain seperti wataknya sendiri, maka dia selalu merasa khawatir kalau dibohongi orang!”

Sui Ceng tentu saja tidak mengerti akan maksud jawaban yang menyimpang dari pada pertanyaannya tadi, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li merasa sekali akan sindiran yang amat tepat ini. Anak gundul itu seakan-akan dapat membaca pikirannya!

“Keparat gundul!” bisiknya.

Sekali dia menarik tangan muridnya, kemudian menggerakkan tubuhnya, berkelebatlah bayangannya dan lenyaplah tokouw ini dari hadapan mereka! Kali ini, ketika berlari cepat keluar dari benteng, bayangannya hampir tidak dapat terlihat oleh para penjaga!

“Hebat...!” An Lu Shan berkata. “Celakalah Hek-mo-ong kalau bertemu dengan dia!”

Baru saja keadaan mereda setelah tokouw itu pergi, tiba-tiba terdengar suara di atas genteng, suara yang kecil tinggi. “Omitohud! Pinceng hanya datang mengganggu saja!”

Dan tiba-tiba genteng di atas ruangan itu pecah beterbangan, lalu tubuh seorang hwesio yang gemuk seperti gajah menerobos turun dari lubang di atas genteng itu! Walau pun tubuhnya besar dan gemuk, hampir sama dengan tubuh Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, akan tetapi ketika kaki hwesio ini menyentuh lantai sama sekali tidak terdengar suara apa pun, sungguh pun An Lu Shan yang masih duduk dapat merasakan betapa bangkunya tergetar dan dia terpental sedikit ke atas!

Pada saat semua mata memandang, ternyata bahwa hwesio ini berkulit agak kehitaman, bermata lebar dan misainya tergantung menutupi dagunya. Jubahnya hitam seluruhnya, hitam arang sehingga membuat mukanya yang berkulit kehitaman itu kelihatannya agak bersih. Tangan kiri hwesio gemuk ini memegang serangkaian tasbih, tangan kanannya memegang sebatang tongkat berkepala naga terbuat dari logam kuning seperti emas.

“Hek-i Hui-mo...,” terdengar Gui Tin berkata.

Hwesio ini segera menjura kepada sastrawan ini.

“Gui-siucai, kau masih tetap muda. Ha-ha-ha-ha, agaknya nasib akan menjodohkan kita sehingga tak lama lagi pinceng akan berkumpul dengan Gui-siucai, bersama mempelajari isi kitab!”

Setelah suaranya yang halus mengeluarkan kata-kata ini, mendadak dia menggerakkan tongkatnya ke depan An Lu Shan dan…

“Brakk!” meja di depan An Lu Shan menjadi hancur sama sekali tertimpa tongkat itu, biar pun dia hanya memukulkan perlahan saja.

An Lu Shan terkejut luar biasa dan mencelat ke belakang, bersiap sedia karena maklum bahwa dia kini berhadapan dengan tokoh besar dari barat, yaitu hwesio Tibet yang telah menyeleweng dan sekarang mengadakan permusuhan besar dengan hwesio Tibet aliran jubah kuning. Oleh karena penyelewengan inilah maka nama Hek-i Hui-mo (Iblis Terbang Berjubah Hitam) amat terkenal.

“An-ciangkun, pinceng tidak mau membuang banyak waktu. Lekas kau serahkan Im-yang Bu-tek Cin-keng kepada pinceng!” kini suaranya berbeda sekali karena terdengar amat ketus dan galak, mengandung ancaman hebat.

Akan tetapi An Lu Shan sudah menjadi mendongkol sekali. Kalau sekiranya yang datang bukanlah tokoh besar yang amat berbahaya ini, tentu dia akan menyerang mati-matian dan menyuruh seluruh barisannya untuk maju mengeroyok.

“Hemm, celaka sekali,” katanya, “kenapa hari ini aku betul-betul sial? Losuhu, ketahuilah bahwa kemarin kitab itu sudah dicuri oleh Hek-mo-ong, bahkan baru tadi Kiu-bwe Coa-li juga datang menanyakan. Sekarang Kiu-bwe Coa-li telah menyusul ke Hek-mo-san.”

Seperti juga Kiu-bwe Coa-li tadi, kini hwesio itu berpaling kepada Gui Tin dan bertanya. “Betulkah itu, Gui-siucai?”

“Memang betul demikian,” kata Gui Tin.

“Baiklah, kau beristirahat dulu baik-baik di sini, Gui-siucai. Kalau sudah terdapat kitab itu, pinceng akan menjemputmu di tempat ini!”

Sesudah berkata demikian, sekali dia menggerakkan kakinya, tubuhnya yang gemuk itu telah melayang naik dan menerobos melalui lubang yang tadi! Betul-betul hebat ginkang dari hwesio gemuk ini, karena itu tidak mengherankan apa bila julukannya adalah Iblis Terbang!

Celaka, pikir An Lu Shan. Sekarang benar-benar hebat! Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah dikejar oleh demikian banyak orang lihai. Tidak ada harapan sama sekali baginya untuk mendapatkan kitab itu kembali!

Sesungguhnya, yang pertama kali mendapatkan kitab itu adalah suhu-nya, yaitu Li Kong Hoat-ong. Maka setelah suhu-nya itu meninggal, An Lu Shan menganggap kitab itu telah menjadi haknya. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan besar untuk mengambil kembali kitab itu dari tangan Hek-mo-ong yang lihai, tidak tahunya kini muncul banyak tokoh yang masih jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada Hek-mo-ong sendiri! Habislah harapannya dan diam-diam dia mengerling ke arah Gui Tin. Untuk apa sastrawan tua ini dibiarkan hidup?

“Ia harus mati!” demikian An Lu Shan mengambil keputusan.

Kalau dia mati, biar pun seorang di antara tokoh-tokoh besar itu berhasil mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, namun apa gunanya? Tak seorang pun selain Gui-siucai mengerti akan bahasa tulisan kitab itu. Kalau sastrawan ini dibiarkan hidup sehingga ada orang lain yang mampu membaca kitab rahasia itu, bukankah hal itu berbahaya sekali?

Sekarang dia sudah mempunyai barisan yang kuat dan siasat-siasat perang yang lihai. Apa bila sampai ada yang mengerti rahasianya kemudian siasat-siasatnya itu dipecahkan orang, bukankah itu akan celaka sekali?

Sementara itu, terdengar Kwan Cu mengomel, “Benar-benar orang-orang tua itu sudah miring otaknya semua! Kitab palsu diperebutkan!” Baru saja dia bicara demikian, Gui Tin membentaknya dan baru Kwan Cu sadar bahwa dia telah berbicara terlalu banyak. Ia menyesal sekali dan mendekap mulutnya sendiri.

Akan tetapi An Lu Shan sudah bangkit dari tempat duduknya, lalu menghampiri mereka.

“Coba katakan, apa artinya ucapan tadi, Kwan Cu? Kitab palsu, apakah maksudmu?”

Kwan Cu tak dapat menjawab, hanya berdiri memandang kepada komandan itu dengan mata terbuka lebar-lebar.

Akan tetapi An Lu Shan sudah menaruh kecurigaan dan tidak percaya akan keterangan ini. Memang dia hendak mencari-cari alasan untuk melenyapkan guru serta murid ini. Dia memegang tangan Kwan Cu dan menekannya keras-keras.

“Hayo kau mengaku terus terang, benarkah kitab itu palsu?”

Kwan Cu merasa tangannya sakit sekali, akan tetapi pada saat dia mengerahkan tenaga lweekang-nya yang selama ini dilatih menurut petunjuk kitab itu, mendadak An Lu Shan melepaskan pegangannya sambil berteriak kesakitan. Dari lengan anak itu seakan-akan menolak hawa yang panas sekali.

“Keparat! Kau bahkan sudah mempelajari isi kitab itu, ya? Hayo lekas katakan terus terang!”

Kwan Cu hanya tertawa, dan suara ketawanya ini mengobarkan kemarahan komandan itu. Sekali dia mengayun tangannya, dada Kwan Cu telah dipukulnya.

Bila menurut keadaan biasa, tentu dada anak ini akan pecah dan binasa di saat itu juga. Akan tetapi, tubuh anak ini hanya terlempar jauh dan kembali seperti ketika dia tertangkis oleh Hek-mo-ong, tubuhnya lalu membentur dinding. Anehnya, dia tidak apa-apa, karena ketika dipukul dia kerahkan hawa murni yang dikumpulkan di bagian dada yang terpukul sambil menahan napas sehingga tubuhnya seakan-akan terisi hawa yang kuat dan tidak terluka!

Melihat keanehan ini, semakin yakinlah An Lu Shan. Ia lalu menubruk maju dan kini dia memegang lengan Gui-siucai.

“Kau berbicaralah terus terang!”

Akan tetapi Gui Tin menggeleng-gelengkan kepala dan tidak mau menjawab pertanyaan ini. An Lu Shan menggunakan tenaganya menekan dan…

“Krakk!” terdengar suara dan ternyata tulang lengan Gui Tin telah remuk! Sastrawan tua ini berjengkit kesakitan. Namun dia tetap menutup mulut.

“Jangan kau sakiti guruku!” tiba-tiba Kwan Cu berseru keras.

Sekali melompat, dia telah berada di depan An Lu Shan dan merenggutkan lengan An Lu Shan yang menekan lengan Gui Tin. An Lu Shan merasakan sambaran angin datang dari serangan Kwan Cu, maka cepat dia mengelak dan kakinya menyambar. Sekali lagi Kwan Cu terlempar jauh.

An Lu Shan sudah marah sekali. Dia berteriak memanggil penjaga-penjaga dan berkata keras, “Tangkap mereka, rangket sampai mereka mengaku tentang kitab itu!”

Lima orang tentara yang biasa menjalankan perintah menyiksa tawanan atau lebih tepat disebut algojo-algojo, segera menyerbu dan sebentar saja Gui Tin dan Kwan Cu sudah ditangkap, lalu diseret keluar! Seorang di antara mereka mengeluarkan sebatang cambuk hitam dan mulailah guru dan murid ini dihajar, dicambuki seperti dua ekor binatang yang mogok kerja.

Darah mengalir dari kulit tubuh mereka yang tertimpa oleh cambuk. Tidak hanya pakaian mereka yang butut itu yang terobek, bahkan kulit dan muka mereka juga pecah-pecah mengeluarkan darah.

“Kwan Cu...” Giu-siucai mengeluh dengan tubuh lemah terkulai, menggantung di tangan seorang algojo yang memegangnya. “Carilah kitab aslinya, kau pelajari baik-baik, jangan seperti aku... lemah... kepandaian bu penting sekali agar dapat menghadapi orang-orang macam ini.”

Akan tetapi dia tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya karena sebuah tendangan tepat sekali mengenai ulu hatinya sehingga orang tua ini tiba-tiba merasa napasnya terhenti dan dia megap-megap seperti ikan dilempar di darat.

“Kejam! Kalian ini bukan manusia. Kejam!”

Kwan Cu meronta dan berhasil melepaskan diri, lalu menubruk gurunya. Akan tetapi satu ketokan dengan belakang golok membuat ia roboh terguling dan tangannya telah dicekal lagi, lalu dicambuki sampai pakaiannya hancur dan anak ini menjadi setengah telanjang!

Gui Tin sudah payah sekali. Dan betapa pun kuat tubuh Kwan Cu, tanpa memiliki ilmu silat, dia tidak berdaya dan agaknya guru dan murid ini tentu akan menemui kematian di tangan para algojo ini yang sudah mendapat perintah dari An Lu Shan untuk membunuh mereka.

Akan tetapi, pada waktu itu terdengar bunyi gembreng dan tambur dari luar benteng dan masuklah satu rombongan orang yang disambut dengan penghormatan besar oleh para penjaga.

Penyiksaan terhadap Gui Tin dan Kwan Cu otomatis dihentikan. An Lu Shan bersama An Lui Kui nampak tergesa-gesa menyambut kedatangan tamu agung itu. Ternyata bahwa yang datang adalah Menteri Lu Pin yang mendapat tugas dari kaisar untuk menaikkan pangkat An Lu Shan!

Dari jauh Lu Pin melihat kakek dan bocah pengemis itu dicambuki, maka begitu bertemu dengan An Lu Shan yang menjalankan penghormatan, dia lalu bertanya,

“Siapakah mereka itu dan mengapa dicambuki?”

“Ahh, Taijin. Mereka itu adalah dua orang penipu besar. Mereka adalah guru dan murid yang mengaku sebagai sastrawan dan yang kami perintahkan untuk menterjemahkan sebuah kitab kuno. Tiada tahunya mereka menipu kami dan menyatakan bahwa kitab itu palsu adanya.”

“Kitab kuno? Apakah An-ciangkun maksudkan bahwa kitab itu adalah Im-yang Bu-tek Cin-keng?”

Pucatlah muka An Lu Shan mendengar ini. “Ahh, Taijin sudah mendengar pula tentang kitab itu? Agaknya semua orang tahu akan kitab itu.”

“Tentu saja. Siapa yang tak mendengar akan kitab yang diperebutkan oleh semua orang di negeri ini? An-ciangkun, apakah kau benar-benar sudah menemukan kitab itu? Kalau benar begitu, kenapa tidak kau antarkan ke kota raja?” Menteri tua ini memandang penuh curiga dan selidik.

“Itulah Lu-taijin. Kami memang telah mendapatkan kitab, akan tetapi kami masih merasa ragu-ragu apakah kitab itu kitab yang asli, karena banyak kitab-kitab yang dipalsukan orang. Dan karena itu pula kami segera memerintahkan kepada sastrawan tua itu untuk menterjemahkannya. Tidak tahunya, dia menipu kami dan kitab itu dinyatakan palsu.”

“Mana kitab itu?”

An Lu Shan menarik napas panjang. Kini dia merasa puas dan lega bahwa kitab itu telah dirampas orang! Jauh lebih baik kitab itu jatuh ke dalam tangan para tokoh kang-ouw dari pada jatuh ke dalam tangan pemerintah! Ia kemudian menuturkan bahwa kitab itu telah dirampas orang. Menteri Lu Pin menghela napas dan menyatakan sayangnya. Lalu dia menyuruh orang membawa datang dua orang pengemis yang disiksanya tadi.

Setelah Gui Tin dan Kwan Cu diseret di hadapan Menteri Lu Pin, kebetulan sekali Gui Tin siuman dari pingsannya. Keadaannya sudah payah sekali, akan tetapi begitu dia melirik dan bertemu muka dengan Menteri Lu Pin, dia segera membuang muka dan meludah ke atas tanah.

Lu Pin memandang dengan penuh perhatian. “Ahh, bukankah kau ini Gui-twako?”

Gui Tin tetap saja membuang muka dan pandangan matanya penuh hinaan terhadap menteri itu.

“Benarkah kau Gui Tin...? Benarkah aku berhadapan dengan Gui-twako?” Menteri Lu Pin kembali bertanya, bahkan kini dia turun dari tempat duduknya yang tadi disediakan oleh seorang pengawalnya, lalu dihampirinya Gui Tin.

“Aku tidak sudi berkenalan dengan manusia she Lu!” mendadak Gui Tin berkata dengan suara keras dan marah sekali sehingga kembali dadanya terasa sakit dan dia pun roboh pingsan!

“Lekas tolong dia!” kata Lu Pin. “Dia adalah kenalan lama dariku. Hayo cepat tolong dan rawat dia baik-baik?”

An Lu Shan menjadi kaget sekali melihat bahwa menteri ini kenal baik dengan Gui Tin, karena itu dia cepat menyuruh orang-orangnya untuk menolong Gui Tin dan Kwan Cu. Kemudian Menteri Lu Pin lalu dibawa ke rumah gedung An Lu Shan yang berada di luar benteng. Memang komandan An ini telah membawa keluarganya dari kota raja ke tempat itu, akan tetapi karena merasa tak enak untuk tinggal bersama keluarga dalam benteng, dia lalu membuah sebuah rumah gedung di luar benteng.

Lu Pin lalu menyuruh An Lu Shan untuk membawa Gui Tin dan muridnya ke rumah itu pula untuk dirawat. Akan tetapi keadaan Gui Tin demikian parah sehingga dia tak pernah siuman lagi, kecuali satu kali di tengah malam ketika dia meninggalkan pesan kepada Kwan Cu bahwa anak ini harus mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

“Kwan Cu.” bisiknya di atas pembaringan. “Untuk mendapatkan kitab itu, satu-satunya jalan hanya membaca dan mempelajari kitab sejarah yang masih kusimpan di dalam goa di hutan siong di lereng Bukit Liang-san. Di dalam dusun di lereng bukit sebelah barat, asal kau tanyakan di mana tempat tinggal Gui-lokai (pengemis tua she Gui), tentu semua orang akan dapat memberi tahu. Goa itu kosong dan aku menyimpan peti besi di bawah tanah. Bukalah dan carilah kitab sejarah yang tulisannya sama dengan isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pelajari sejarah itu dan kemudian kau carilah kitab itu. Dunia kacau balau, kekerasan dan kekuatan selalu memegang peranan penting, kalau tidak dilawan oleh kekerasan dan tenaga pula, kita tidak berdaya. Taatilah pesanku ini, Kwan Cu.”

Kwan Cu mengangguk-angguk sambil mencegah keluarnya air matanya. Ia tidak mudah terharu, tetapi melihat keadaan gurunya yang sangat dikasihinya ini, dia merasa kasihan juga.

Gui Tin meninggal dunia dan berkat pengaruh Lu Pin, dia dimakamkan dengan pantas di dusun itu. Ada pun Kwan Cu yang bersembahyang di depan makam bekas gurunya ini, merasa sunyi sekali. Tiba-tiba dia disuruh datang menghadap Menteri Lu Pin.

Setelah dia berhadapan dengan menteri ini, Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa wajah menteri ini benar-benar sangat agung dan mendatangkan rasa sayang. Gerak-geriknya halus seperti Gui-siucai, dan amat peramah pula.

“Anak, apakah kau murid dari Gui-twako?”

“Benar, Taijin.”

“Apa saja yang kau pelajari dari gurumu itu?”

“Membaca, menulis, dan mempelajari syair-syair dan ujar-ujar kuno,” Kwan Cu menjawab terus terang.

Mendengar jawaban yang lancar serta melihat sikap Kwan Cu yang sopan-santun, jujur, dan tidak merendah ini, Lu Pin merasa suka juga.

“Anak baik, siapakah namamu?”

“Nama hamba Kwan Cu.”

“Nama keluargamu?”

“Hamba she Lu”

Menteri Lu Pin tercengang.

“Siapa orang tuamu?”

“Hamba tidak tahu. Nama dan she hamba juga hamba terima sebagai pemberian orang lain kepada hamba,” kata Kwan Cu terus terang.

Mau tidak mau Lu Pin tertawa juga. “Ahh, aneh sekali. Siapakah orangnya yang memberi she Lu kepadamu?”

“Hamba menerima she Lu itu dari pemberian seorang tua yang gagah perkasa, Ang-bin Sin-kai.”

“Ang-bin Sin-kai?!” Lu Pin benar-benar terkejut. “Ehhh, anak baik, masih ada hubungan apakah antara kau dan dia?”

“Tidak ada hubungan apa-apa, Taijin. Hanya Ang-bin Sin-kai hendak mengambil murid kepada hamba, akan tetapi hamba tidak mau.”

Lu Pin tertawa gembira. “Dia orang aneh, akan tetapi kau seorang bocah yang lebih aneh lagi. Dan namamu itu, Kwan Cu, pemberian siapa pula?”

“Nama hamba diberi oleh seorang hwesio gemuk bernama Kak Thong Taisu.”

Kembali menteri tua itu tertegun. “Ahh, benar-benar kau bocah aneh sekali. Masih sekecil ini sudah mengalami hal yang tidak sembarangan anak dapat mengalaminya. Diberi she oleh Ang-bin Sin-kai, diberi nama oleh Kak Thong Taisu, menjadi murid dari Gui-siucai, kini kau bercakap-cakap dengan aku! Ah, Lu Kwan Cu, apakah kau tidak ingat lagi siapa adanya ayah bundamu?”

Kwan Cu menggelengkan kepalanya. “Ayah hamba adalah langit dan ibu hamba adalah bumi. Saudara-saudara hamba adalah semua manusia di dunia ini,” Kwan Cu menjawab sambil meniru ujar-ujar yang pernah dibacanya.

Bukan main terharunya hati Lu Pin mendengar ini. Ia melambaikan tangannya dan ketika Kwan Cu mendekat, menteri tua ini lalu memeluknya dan mengelus-elus kepalanya yang gundul.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)