PENDEKAR SAKTI : JILID-12


"Hmm, sebuah kitab kuno yang menarik hati sekali," katanya perlahan, didengarkan oleh Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. "Usianya sudah ribuan tahun dan ditulis dengan bahasa dalam jaman Kerajaan Couw Timur!"

Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa kitab ini ditulis pada jaman Shia!"

Tu Fu menggelengkan kepalanya. "Tak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam bahasa Couw Timur, Losuhu, siauwte tahu betul akan hal ini."

"Kalau begitu, apakah kitab ini palsu?"

"Bagaimana orang dapat menyatakan palsu bila tidak melihat aslinya? Orang baru dapat mengenal kejahatan jika sudah mengenal kebaikan, maka orang pun baru bisa mengenal barang palsu apa bila sudah melihat barang tulennya. Siauwte tidak dapat mengatakan bahwa kitab ini palsu atau asli, namun kitab ini benar-benar amat menarik hati. Siauwte mengenal seorang yang benar-benar ahli dalam bahasa yang ditulis dalam kitab ini, yaitu Gui-siucai."

Kembali Hek-i Hui-mo tertegun. "Pinceng mendengar bahwa Giu-suicai sudah meninggal dunia, akan tetapi, pinceng lebih suka mohon pertolongan kepadamu, Tu-siucai. Harap kau suka menterjemahkan kitab ini untuk pinceng."

Tu Fu tidak menjawab, melainkan membuka lembaran kitab itu dan membacanya. Baru membaca dan membalik-balikkan beberapa lembaran kitab itu, berkerutlah keningnya.

"Aneh sekali! Kitab ini bernama Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebuah kitab pelajaran yang luar biasa anehnya. Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kau, Losuhu. Kitab ini adalah pelajaran tentang ilmu silat dan ilmu perang, bagaimana seorang hwesio yang menuntut penghidupan suci seperti Losuhu ingin mempelajari isi kitab ini? Apakah gunanya untuk Losuhu?"

Hek-i Hui-mo merasa muaknya panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan terlihat betapa mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali. Hemm, pikirnya, kalau saja aku tidak membutuhkan pertolongan cacing buku ini, kuketok kepalanya sampai pecah! Ia menarik muka sungguh-sungguh ketika menjawab.

"Tu-siucai, harap jangan salah mengerti. Kitab ini seperti kau katakan tadi adalah kitab ilmu silat dan ilmu perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya, sungguh pun harus pinceng akui bahwa semenjak kecil pinceng paling suka mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya keadaan negara? Jika pinceng bisa mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga belum tentu hebat, bukankah kelak pinceng dapat menurunkan ilmu kepandaian itu kepada para orang gagah sehingga bisa dipergunakan untuk membela negara?"

Pada saat Tu Fu hendak menjawab, mendadak terdengar suara ketawa nyaring dari luar kelenteng, disusul dengan suara seorang wanita berkata, "Bangsat gundul menjemukan! Kau kira dapat melarikan diri dariku? Kembalikan kitab itu!"

Hek-i Hui-mo terkejut sekali dan sekali dia melompat, dia sudah berada di luar kelenteng menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Hati Tu Fu kaget bukan main pada waktu melihat betapa hwesio gendut itu seakan-akan menghilang dari depannya.

"Aduh..., setankah dia?" katanya perlahan.

Kemudian dia mendengar suara gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di halaman kelenteng seperti iblis sedang menari-nari!

Memang Hek-i Hui-mo tak membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah Kiu-bwe Coa-li, tanpa banyak cakap lagi dia kemudian mengeluarkan tasbih dan Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) dan cepat menyerang dengan amat hebatnya. Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek dan wanita sakti ini pun lalu menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-bwe Sin-pian (Ruyung Lemas Berekor Sembilan).

Pertempuran kali ini bukan main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain yang mengganggu mereka. Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran antara gurunya dan Hek-i Hui-mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis serta elok itu sama sekali tidak nampak gelisah, karena anak ini selain mempunyai hati yang tabah, juga percaya penuh bahwa gurunya pasti akan menang.

"Kiu-bwe Coa-li, kau manusia usilan mengganggu saja!" seru Hek-i Hui-mo dan Tongkat Kepala Naga di tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala wanita itu.

"Pendeta busuk, kau pencuri tidak tahu malu!" balas memaki Kiu-bwe Coa-li.

Sedikit miringkan kepala saja, serangan lawan dapat digagalkan. Pecut berekor sembilan di tangannya tidak tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan, merupakan sembilan ekor ular yang bergerak dari segala jurusan, menyerang sembilan jalan darah di tubuh lawannya!

Hek-i Hui-mo terkejut sekali melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan telah mendengar pula tentang keganasan Kiu-bwe Coa-li, yang terkenal sekali turun tangan tentu akan menewaskan lawan. Maka tanpa ayal lagi dia segera menggerakkan tasbihnya diputar sedemikian rupa dibantu oleh Tongkat kepala Naga untuk melindungi tubuhnya.

“Tar! Tar! Tar! Tar!” beberapa kali terdengar suara dari pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li, sungguh membikin hati menjadi ngeri.

Makin lama pertempuran berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat. Tiga macam senjata berubah menjadi gulungan sinar dan yang paling menarik dan indah dipandang adalah gerakan cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li. Cambuk yang berujung sembilan itu merupakan segundukan sinar yang bertangan sembilan, seperti seekor ikan gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan perenggut nyawa yang lihai sekali.

Namun ilmu silat Hek-i Hui-mo juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh barat yang pernah menggemparkan Tibet, yang sudah menjatuhkan jago-jago dan tokoh-tokoh dari barat dan boleh dibilang, selama dia melakukan perantauannya di dunia kang-ouw, Hek-i Hui-mo tidak pernah terkalahkan. Entah sudah berapa ratus orang lawan terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa puluh lawan binasa di tangannya!

Tasbihnya berputar menjadi segundukan sinar bundar bagaikan mustika naga sakti. Ada pun tongkatnya yang merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu bergerak-gerak bagaikan seekor naga mengejar mustikanya!

Sukarlah untuk dikatakan siapakah yang lebih lihai di antara dua orang tokoh besar ini. Masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa selamanya baru kali ini mereka menghadapi tandingan yang benar-benar seimbang dan amat berat. Agaknya pertempuran ini akan menjadi sebuah pertandingan mati hidup yang berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak bernyawa lagi di depan kaki lawannya.

Pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan. Oleh karena sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan dengan kecepatan yang tidak sama, maka suara angin itu terdengar aneh sekali, bagai sembilan buah suling ditiup berbareng.

Hek-i Hui-mo menangkis dengan tongkat yang disapukan dan sehelai dari pada ujung pecut Kiu-bwe Coa-li menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri miring. Tenaga wanita sakti ini hebat luar biasa, karena meja itu melayang ke atas dan bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana Sui Ceng berdiri.

Melihat hal itu, Tu Fu menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan sepasang matanya saking kagum dan heran melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan kirinya yang kecil.

"Brakkk!" meja itu pecah berkeping-keping!

Sekarang tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan Hek-i Hui-mo menyambar pinggang Kiu-bwe Coa-li. Serangan ini dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu tak berani menangkis. Tubuhnya melompat ke atas dan mundur.

Akan tetapi Hek-i Hui-mo tak mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi dengan tongkatnya, dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya! Kiu-bwe Coa-li segera mengelak dan tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di bagian depan.

"Kraaaakk... bruuuk...!" Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk!

"Aduh, tahan...! Tahan…! Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak malu? Orang-orang tua bertingkah bagaikan anak-anak kecil berebut kembang gula. Ada urusan dapat diurus, mohon mendengar kata-kata siauwte," Tu Fu berseru berkali-kali sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.

Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang bisa dimintai tolong menterjemahkan kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang tokoh lihai ini mau mendengarkan ucapan seorang sastrawan lemah seperti Tu Fu? Keduanya melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan dua ekor harimau sedang marah.

"Tu-siucai, kau menahan kami mau apakah?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan suara dingin.

Tiba-tiba saja Tu Fu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini, pikirnya, sudah bukan merupakan manusia lagi!

"Harap Suthai suka bersabar, dan demikian pula Losuhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi bertempur mati-matian seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik dari pada saling gempur dan saling mencoba untuk membunuh?"

Hek-i Hui-mo menarik napas panjang. "Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!"

Tu Fu masih membawa kitab itu. Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata, "Memperebutkan kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan mengerti isinya saja, Ji-wi tidak bisa dan sengaja datang untuk minta siauwte menterjemahkan isi buku ini?"

Kiu-bwe Coa-li mengangguk dan berkata tegas, "Orang she Tu, tak usah direntang lebih panjang lagi. Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena di sini kami dua orang, terpaksa kami harus melenyapkan salah seorang lebih dulu, barulah nanti kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo, Hek-i Hui-mo, kita lanjutkan pertempuran kita!"

"Baik, Kiu-bwe Coa-li. Awaslah kau!"

Dua orang jago tua ini sudah bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian. Akan tetapi Tu Fu segera mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po atau pun sastrawan dan seniman-seniman lainnya, tidak suka akan kekerasan dan amat mencinta kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak mau melihat dua orang aneh itu saling gempur mati-matian seperti tadi.

"Tahan!" katanya keras. "Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu tak akan mau menterjemahkan kitab ini. Walau Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku takkan mau menterjemahkannya."

Mendengar ini, kedua orang tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka amat maklum bahwa sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan orang-orang kang-ouw, bahkan mereka itu lebih hebat pula. Biar pun mereka itu memiliki jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras dan tidak takut mati.

Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo percaya dan tahu bahwa ucapan yang keluar dari mulut sastrawan ini menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa sekali pun, tetap dia tidak akan mau menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa artinya kitab itu tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan kertas-kertas pembungkus belaka!

"Habis, kalau di sini ada kami berdua, bagaimana Tu-siucai hendak mengaturnya?" tanya Hek-i Hui-mo dengan suara minta pertimbangan.

Tu Fu mempersilakan mereka duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia melambaikan tangan kepada Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri.

"Anak baik, kau benar-benar hidup dalam alam yang aneh," kata sastrawan itu sambil mengelus-elus rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian sastrawan ini berkata kepada kedua orang tokoh dunia kang-ouw itu. "Harap Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tidak mungkin dapat diubah lagi. Siauwte sanggup membantu serta menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya dengan syarat. Pertama, siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara membacanya saja dan Ji-wi harap mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi kitab, kitab ini harus dibakar di depan siauwte, supaya kelak tidak menjadi perebutan mati-matian kembali. Hanya dengan dua macam syarat ini siauwte mau menolong, kalau tidak, meski Ji-wi akan membunuh siauwte, tak nanti siauwte mau menterjemahkannya. Bagaimana?"

Kedua orang tokoh kang-ouw itu saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat menghafal isi kitab dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka tidak mau menerima, selain sastrawan aneh ini tidak mungkin dipaksa, juga mereka masih saling berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu harus bertempur mati-matian dulu.

Andai kata menang, bagaimana pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apa lagi jika sampai terdengar oleh tiga orang tokoh besar yang lainnya dan mereka datang pula, tentu akan makin berabe saja!

"Aku setuju!" kata Kiu-bwe Coa-li. "Hanya aku minta supaya pembacaan dilakukan dua kali!"

Kiu-bwe Coa-li memang amat cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan kecerdikan otak Sui Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat bunyi isi kitab itu.

Hek-i Hui-mo tidak dapat mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-bwe Coa-li lebih untung dengan adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata, "Tidak adil sekali. Kau dibantu oleh muridmu sedangkan aku hanya seorang diri!"

"Kau boleh mencari seorang pembantu pula," jawab Kiu-bwe Coa-li.

Tu Fu mengerti akan maksud pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat memecahkan persoalan ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan kaki dan muncullah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun.

"Tu-sianseng, hakseng (murid) datang membawa makanan," kata anak lelaki itu sambil memandang kepada tamu-tamu gurunya dengan mata terheran.

"Ehh, Tu-siucai, siapakah anak ini?" tanya Hek-i Hui-mo yang memandang tajam kepada anak laki-laki yang berwajah tampan dan jujur ini. Biar pun anak ini bertubuh kurus dan tinggi, namun dia memiliki bakat yang baik juga untuk belajar silat.

"Dia adalah Li Siang Pok, seorang anak dari kota Kai-feng. Ayahnya seorang sastrawan pula dan dia datang ke sini untuk belajar kesusastraan dari siauwte."

"Hemm, jadi dia boleh dibilang muridmu?"

Tu Fu mengangguk membenarkan.

"Bagus! Pinceng hendak mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu pinceng, mengingat-ingat isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka keadaan pinceng dan Kiu-bwe Coa-li menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!"

Tu Fu ragu-ragu, kemudian bertanya kepada Siang Pok, "Siang Pok, Losuhu ini minta bantuanmu untuk mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan. Maukah kau?"

Siang Pok adalah seorang anak yang suka sekali akan kesusastraan. Mendengar akan dibacanya kitab kuno, tentu saja tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya lebih jelas, dia menganggukkan kepalanya.

"Hakseng bersedia, Sianseng!"

Demikianlah, mereka semua duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar. Keadaan di situ sunyi dan ketika Tu Fu mulai membacakan isi kitab, suaranya terdengar lantang dan jelas. Empat orang yang duduk mengelilinginya, yakni Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, Sui Ceng, dan Siang Pok, mendengarkan dengan penuh perhatian.

Kitab itu tidak terlalu tebal sehingga isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti juga kitab-kitab kuno lainnya, yang ditulis hanya garis besarnya saja. Sebagaimana diketahui, kitab itu isinya dibagi menjadi dua soal, yakni tentang ilmu silat dan tentang ilmu perang. Dalam hal bahasa kuno, kepandaian Tu Fu ini tidak kalah oleh mendiang Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat lancar.

Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng, tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan sama sekali akan bunyi ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada bunyi ilmu silat saja. Sebaliknya, karena tidak diberi tahu terlebih dahulu, anak laki-laki yang bernama Lai Siang Pok itu mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu silat dan bagian ilmu perangnya. Demikian pula, Hek-i Hui-mo, karena dia mempunyai cita-cita pemberontakan, dia juga memperhatikan kedua bagian ini.

Hampir satu hari lamanya Tu Fu membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak merasa puas. Karena mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah mereka dengarkan tadi, kini Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo melihat saja dan tidak mempedulikan lagi ketika Tu Fu menggunakan api membakar kitab itu di depan mereka!

Setelah melihat kitab itu habis terbakar, Hek-i Hui-mo tertawa bergelak dan dengan cepat sekali dia melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari!

"He, Losuhu! Lepaskan muridku!" Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara ketawa dari jauh sana menjawabnya.

Ada pun Kiu-bwe Coa-li yang tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu lalu menggandeng tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ.

Tu Fu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata seorang diri. "Benar-benar aneh sekali orang-orang itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang kasar itu? Aneh... aneh...!" Sastrawan ini pun beberapa hari kemudian tidak kelihatan lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya…..

********************

Ketika sudah berada di tempat sunyi, Kiu-bwe Coa-li segera bertanya kepada muridnya. “Sui Ceng, coba kau ulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-siucai tadi.”

Sui Ceng kemudian mengulangi kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-bwe Coa-li tidak mempedulikan tentang peraturan latihan lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya gerakan-gerakan ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu.

Semua ada tiga puluh enam pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri tergantung dari bakat dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena gerakan-gerakan itu hanya ditulis dan tidak digambar, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya.

Setelah dia mendengarkan apa yang yang masih diingat oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan ingatannya sendiri, Kiu-bwe Coa-li ternyata hanya mampu mengumpulkan empat belas gerakan saja! Akan tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-yang Bu-tek Cin-keng ini baginya sudah cukup berharga. Memang dia seorang yang ahli dalam ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi gerakan-gerakan ini.

Segera ia lalu mempelajari gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya sendiri. Selama tiga bulan Kiu-bwe Coa-li seakan-akan lupa makan dan lupa tidur, setiap hari hanya berlatih ilmu silat baru yang sesungguhnya dia ciptakan sendiri berdasarkan apa yang ia dengar dari kitab itu. Dan terciptalah ilmu silat baru yang benar-benar luar biasa sekali. Kiu-bwe Coa-li menjadi girang dan berbareng ia pun lalu melatih muridnya dengan sungguh-sungguh.

“Sui Ceng, ilmu silat yang kita dapatkan ini entah Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli atau bukan, namun kau harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh dan hebat sekali. Setelah kuperbaiki semua yang kita berdua ingat, kurasa ilmu silat yang kuciptakan berdasarkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng ini, takkan mudah dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka, hendak kucoba sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!”

Maka berangkatlah Kiu-bwe Coa-li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara empat besar, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-bin Sin-kai atau juga Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk mengadu ilmu silatnya yang baru! Perjalanan ini dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-bwe Coa-li terus melatih diri dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberikan latihan-latihan ilmu silat tinggi kepada muridnya.

Pada suatu hari mereka pun tiba di kota Cin-leng yang cukup besar dan ramai. Berbeda dengan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya, Kiu-bwe Coa-li paling teliti dalam memilih makan dan tempat menginap. Ia selalu memilih rumah penginapan yang terbersih dan memilih makanan dari restoran yang besar. Oleh karena itu, pakaian yang dipakai oleh Sui Ceng pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini dibelikan pakaian beberapa stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu buntalan itu digendong di atas punggungnya.

Di kota Cin-leng, begitu telah memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-bwe Coa-li terus saja berdiam dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan bersemedhi. Sebaliknya, Sui Ceng yang ketika memasuki kota tadi melihat bangunan-bangunan indah dan keadaan kota yang ramai, lalu keluar dari hotel itu dan pergi berjalan-jalan.

Ketika tiba di depan sebuah restoran, perhatian Sui Ceng tertarik pada tujuh orang yang sedang makan di ruangan depan restoran itu. Mereka ini nampaknya seperti orang-orang gagah dan dari pakaian mereka, tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal kiriman barang berharga). Dari wajah mereka yang kelihatan muram dan percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.

Oleh gurunya, Sui Ceng selalu dibekali uang, karena Kiu-bwe Coa-li berwatak terlalu angkuh untuk membiarkan muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng lalu bertindak memasuki restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari para piauwsu yang sedang bercakap-cakap itu.

Tentu saja ada beberapa orang yang memandang padanya dengan heran, karena jarang terjadi seorang anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran seorang diri. Akan tetapi selanjutnya tidak ada lagi yang menaruh perhatian, karena dia disangka puteri seorang kaya raya yang suka jajan!

Sui Ceng tertarik sekali ketika mendengar seorang di antara para piauwsu itu berkata, “Jalan satu-satunya bagi kita untuk menolong mereka, tidak lain kita harus minta bantuan dari Bin Kong Siansu ketua Kim-pan-sai. Selain orang tua itu, agaknya siluman itu takkan dapat di lawan.”

Pada saat itu terdengar suara banyak orang mendatangi di luar restoran. Ketika Sui Ceng melirik, yang datang itu adalah belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah dan yang pada saat itu nampak marah sekali.

“Hee, pengecut-pengecut dari Hui-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang)! Keluarlah untuk terima binasa!” teriak seorang di antara para pendatang itu.

“Hemm, menyebalkan sekali orang-orang Sin-to-pang itu!” kata seorang piauwsu sambil mencabut goloknya, lalu berjalan keluar diikuti oleh kawan-kawannya.

Sementara itu, ketika mendengar bahwa orang-orang yang datang adalah para anggota Sin-to-pang (Perkumpilan Golok Sakti), Sui Ceng terkejut sekali dan cepat berdiri lalu melihat dengan penuh perhatian.

“Kalian ini orang-orang Sin-to-pang mau apakah? Ketua kami dan isterinya mengalami bencana, namun kalian ini sebagai orang-orang yang menganggap diri gagah bukannya membantu bahkan mencari masalah!” kata piauwsu tadi sambil bersiap dengan golok di tanganya.

Seorang di antara anggota-anggota Sin-to-pang, yang semuanya juga memegang golok, menudingkan goloknya sambil memaki, “Orang-orang rendah! Kalau tidak ketua kalian si pemikat she Ong itu membujuk Thio-toanio, tidak nanti akan terjadi Thio-toanio sampai tertangkap oleh Toat-beng Hui-houw (Macan Terbang Pencabut Nyawa)! Sekarang mau atau tidak mau kalian harus menebus kesalahan ketuamu itu, baru kami akan menolong Thio-toanio.”

“Manusia-manusia sombong dan bodoh!” para piauwsu itu berseru.

Terjadilah perang tanding antara belasan anggota Sin-to-pang dan tujuh orang paiuwsu itu. Semua menggunakan golok dan pertempuran terjadi ramai sekali. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu menjadi ketakutan dan cepat-cepat melarikan diri.

Akan tetapi, pada saat itu, sesosok bayangan yang kecil melompat ke tengah medan pertandingan dan terdengar seruan nyaring, “Tahan semua senjata!”

Bayangan ini adalah Sui Ceng yang tadi bergerak dengan tubuh ringan dan cepat, juga suaranya dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga khikang sehingga terdengar nyaring dan berpengaruh. Beberapa orang segera menahan senjata mereka dan mundur, akan tetapi ada tiga orang anggota Sin-to-pang dan dua orang piauwsu yang berangasan dan masih saja bertanding dengan hebatnya.

“Tahan kataku!” teriak Sui Ceng. Sekali saja dia menggerakkan tangannya dan tubuhnya menyambar, terdengar suara berkerontangan dan empat batang golok telah terlepas dari pegangan dan terlempar ke atas tanah mengenai batu-batu.

Orang-orang itu kaget bukan main karena ternyata bahwa yang membuat tangan mereka lumpuh untuk sesaat tadi hanyalah seorang anak perempuan! Sui Ceng memang telah menggunakan gerakan jari-jari tangan untuk menotok urat-urat nadi mereka, kemudian mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, dia dapat melakukan serangan-serangan ini dengan amat mudah!

“Siauw-pangcu (ketua cilik)!!” para anggota-anggota Sin-to-pang berseru ketika mereka melihat Sui Ceng. Serta-merta orang-orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Sui Ceng!

Para piauwsu yang melihat hal ini menjadi tertegun dan kini dua orang di antara mereka mengenal pula Sui Ceng yang dulu pernah ikut ibunya, ketika ibunya menikah dengan Ong Kiat pemimpin mereka.

“Ah, tidak tahunya Siocia yang datang!” kata mereka sambil memberi hormat.

Menghadapi semua penghormatan ini, Sui Ceng sama sekali tidak merasa kikuk atau sungkan. Ia berdiri tegak, lalu berkata, “Mengapa di antara orang-orang sendiri sampai menimbulkan keributan yang tidak perlu? Ada urusan dapat diurus, ada persoalan dapat diselesaikan. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?”

Karena kini orang-orang datang lagi berduyun-duyun untuk mendengarkan pembicaraan mereka, para piauwsu itu mempersilakan Sui Ceng dan anggota-anggota Sin-to-pang untuk memasuki restoran. Mereka mengambil tempat di ruang atas dan di situ Sui Ceng duduk dikelilingi oleh orang-orang Sin-to-pang dan para piauwsu dari Hui-to Piauwkiok.

Maka berceritalah mereka tentang bencana yang menimpa Ong Kiat dan isterinya, yakni Thio Loan Eng. Bencana itu baru terjadi dua hari yang lalu. Pada saat itu, Ong Kiat yang menjadi ketua dari Hui-to Piauwkiok mengawal sendiri barang kiriman dari Hak-keng ke kota raja. Terpaksa dia turun tangan sendiri karena barang yang dikirim itu adalah barang berharga, yaitu sumbangan hartawan-hartawan di Hak-keng untuk para pembesar di kota raja.

Memang pada masa itu, di Tiongkok lajim terjadi pengiriman barang-barang ‘upeti’ yang amat mahal dari para hartawan kepada pembesar-pembesar tertentu sampai ke kaisar, akan tetapi tak seorang pun berani menyatakan bahwa kiriman itu merupakan ‘sogokan’.

Perjalanan dari Hak-keng ke kota raja harus melalui kota Cin-leng, dan sampai di kota ini rombongan yang terdiri dari dua gerobak kuda berisi barang kiriman dan dikawal oleh Ong Kiat beserta tujuh orang anak buahnya, tidak mengalami gangguan sesuatu. Para petualang di dunia liok-lim tidak ada yang berani mengganggu rombongan ini pada saat mereka melihat dua macam bendera yang tertancap di atas gerobak.

Yang pertama bendera berlukiskan sebuah golok terbang sebagai lambang dari Hui-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang), dan bendera kedua adalah bendera kuning bertuliskan merah ONG, tanda bahwa Ong Kiat sendiri mengawal barang-barang berharga itu. Rombongan itu kemudian bermalam di kota Cin-leng.

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke kota raja. Akan tetapi perjalanan kali ini amat sukar, karena dari Cin-leng ke kota raja harus melalui hutan-hutan belukar yang amat liar dan di sana tidak terdapat jalan besar yang dapat dilalui gerobak dengan mudah. Terpaksa memperlebar jalan kecil di dalam hutan dengan membabat rumput dan pepohonan.

Baru saja mereka memasuki hutan kedua, kira-kira tiga puluh li dari kota Cin-leng di sebelah utara, senja telah tiba. Selagi Ong Kiat dan tujuh orang anak buahnya membabat alang-alang, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang keras dan menyeramkan sekali dan dari atas sebatang pohon besar menyambar turun bayangan orang yang tak dapat dilihat dengan jelas oleh karena cepatnya gerakan orang ini. Orang itu hanya melompat ke atas gerobak di depan dan menghilang lagi, meninggalkan gema ketawa yang menyeramkan.

“Ibliskah dia...?” tanya seorang anak buah, kawan Ong Kiat.

“Ssttt, jangan sembarangan bicara,” Ong Kiat mencela. “Apa kalian tak tahu bahwa orang itu sengaja mempermainkan kita? Lihat!” Ong Kiat menunjuk ke atas gerobak pertama dan ketika tujuh orang anak buahnya menengok, mereka menjadi pucat sekali.

Ternyata bahwa dua buah bendera yang tadinya tertancap di atas gerobak dan berkibar kibar tertiup angin, sekarang sudah lenyap tak meninggalkan bekas! Alangkah hebatnya kepandaian bayangan tadi, sekali melompat saja sudah dapat merampas dua bendera tanpa dapat mereka lihat sedikit pun juga.

Ong Kiat sendiri tidak dapat melihat gerakan orang tadi dengan jelas, akan tetapi karena ilmu silatnya lebih tinggi dari pada kawan-kawannya, dia masih dapat mengikuti ke mana bayangan tadi melayang sehingga dia juga sempat melihat lenyapnya dua benderanya. Ong Kiat lalu menghadap ke arah bayangan tadi menghilang, kemudian menjura sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan berkata,

“Siauwte Ong Kiat mengharap supaya sahabat yang di depan jangan mempermainkan kami dan sukalah memberi maaf apa bila kami tidak menyambut kedatanganmu karena tidak tahu. Apa bila sahabat berlaku murah, kami Hui-to Piauwkiok bukanlah orang-orang yang tak kenal budi dan tentu akan memenuhi permintaan yang pantas dari padamu.”

Setelah Ong Kiat mengakhiri kata-katanya, keadaan sunyi sekali. Semua orang menahan napas dan yang terdengar hanya berkereseknya daun-daun pohon dipermainkan oleh angin lalu. Tiba-tiba terdengar lagi suara ketawa yang menyeramkan seperti tadi dan dari jurusan depan, menyambar dua benda merupakan sinar kuning dan putih yang meluncur mengarah dada dan leher Ong Kiat!

Piauwsu ini bukan seorang lemah. Ia tahu bahwa dia diserang dengan senjata rahasia yang aneh, maka cepat dia miringkan tubuhnya ke kiri. Ketika dua tangannya bergerak dari samping, dia telah menangkap dua benda kuning dan putih itu.

Alangkah mendongkolnya ketika dia melihat bahwa benda-benda itu bukan lain adalah dua buah benderanya yang tadi dicabut orang! Akan tetapi, diam-diam dia terkejut sekali karena ketika dia menyambut bendera-bendera tadi, kedua tangannya tergetar. Bukan main hebatnya tenaga yang menyambitkan dua bendera bergagang kayu itu.

“Ong Kiat, manusia lancang!” terdengar suara yang parau dan kasar. “Kau sudah berani sekali mengambil Pek-cilan sebagai isterimu, padahal dia telah dipastikan akan mampus di dalam tanganku. Akan tetapi aku masih mau mengampuni jiwamu dan hanya akan menghukummu dengan merampas dua gerobak barang ini. Kau dan anak buahmu lekas pergi dari sini dan tinggalkan dua gerobak barang ini di sini!”

Wajah Ong Kiat sebentar berubah pucat sebentar merah saking marah dan dongkolnya mendengar kata-kata yang sangat menghina ini. Dia adalah seorang gagah, walau pun pekerjaannya sebagai piauwsu mengharuskannya untuk bersikap baik terhadap para perampok agar jangan banyak dimusuhi orang, akan tetapi kalau orang terlalu menghina, dia pasti akan melawan!

“Sahabat manakah yang begitu sombong? Harap keluar memperkenalkan diri. Aku Ong Kiat bukanlah orang yang lantas menjadi ketakutan oleh gertak kosong belaka!” Sambil berkata demikian, dia mencabut goloknya yang tajam mengkilap.

Tujuh orang kawannya juga sudah mencabut goloknya masing-masing. Ong Kiat terkenal sebagai seorang ahli golok yang lihai, seorang murid Thian-san-pai yang tak boleh dibuat permainan. Juga tujuh orang kawannya telah mempelajari ilmu golok sehingga rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh.

Kembali terdengar suara ketawa dan kali ini disertai ejekan. “Kalian sudah bosan hidup, jangan bilang aku berlaku kejam!”

Sehabis ucapan ini, dari belakang rumpun menyambar keluar tubuh seorang kakek yang betul-betul menyeramkan. Bajunya yang berlengan lebar berwarna biru muda, celananya biru tua dan kakinya telanjang. Hidungnya bengkok dan besar, ada pun mulutnya tertutup oleh cambang dan jenggot putih.

Kepalanya botak kelimis, hanya pada kanan kirinya terdapat rambut hitam yang kaku dan berdiri. Yang hebat adalah jari-jari tangannya, karena sepuluh jari tangannya itu berkuku panjang dan runcing bagaikan kuku harimau! Ketika dia melompat keluar, kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, seperti kaki harimau saja.

“Kau tidak mengenal aku? Ha-ha-ha!” Kakek yang menyeramkan ini mengeluarkan suara ketawa seperti auman harimau.

Ong Kiat memandang takjub. Melihat keadaan kakek ini, dia teringat akan seorang tokoh hek-to (jalan hitam, dunia orang jahat) yang di juluki orang Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang Pencabut Nyawa). Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw kabarnya sudah lenyap dari dunia dan sudah puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri lagi.

Ong Kiat segera memberi hormat. “Siauwte bermata buta, tidak mengenal siapa adanya Locianpwe yang terhormat.”

Toat-beng Hui-houw sejak mudanya berwatak keras dan sombong sekali, maka begitu mendengar orang tidak mengenal namanya, dia menjadi makin marah. “Buka telingamu dan matamu lebar-lebar, Ong-piauwsu! Aku adalah Toat-beng Hui-houw, dan kau tentu sudah tahu bahwa siapa pun juga yang tidak mau mentaati perintah Toat-beng Hui-houw, berarti harus mati!” Sesudah berkata demikian, secepat kilat tangannya yang berkuku panjang itu menyambar ke arah kepala Ong Kiat!

Piauwsu muda ini terkejut sekali, tidak hanya karena nama itu, akan tetapi juga karena serangan yang datangnya tiba-tiba dan hebat bukan main ini. Cepat dia menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga, bermaksud membabat putus kuku-kuku panjang dari lawannya itu.

“Traaang...!”

Ong Kiat berseru kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang karena merasa betapa goloknya beradu dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya sehingga kalau dia tidak buru-buru menarik kembali goloknya dan melompat mundur, tentu golok itu akan terlepas dari pegangannya! Baiknya golok yang dipegangnya adalah golok pusaka yang ampuh dan kuat, kalau tidak demikian, agaknya golok itu sudah menjadi rusak pada saat bertemu dengan kuku-kuku yang demikian kerasnya!

“Ha-ha-ha! Kau harus mampus! Kau juga!” kata-kata ini diulangi terus.

Tubuhnya bergerak maju sambil menyerang dengan sepasang tangannya yang berkuku runcing dan panjang.

“Tranggg! Tranggg!”

Terdengar suara beberapa kali dan golok di tangan ketujuh orang kawan Ong Kiat itu terbang terlepas dari tangan, ada yang retak dan ada pula yang terpotong menjadi dua! Kemudian disusul jeritan-jeritan ngeri ketika kuku-kuku yang panjang itu mengenai tubuh mereka. Ada yang lehernya hampir putus, kulit perutnya robek dan sebentar saja tujuh orang piauwsu itu tergeletak tumpang tindih dalam keadaan yang amat mengerikan!

Keadaan mereka ini tiada bedanya dengan orang-orang yang telah diserang oleh seekor harimau yang ganas. Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw sengaja hanya melukai pundak salah seorang di antara ketujuh kawan Ong Kiat itu yang kini duduk merintih-rintih dan memegangi pundak kanannya yang berlumur darah.

Ong Kiat menjadi marah sekali. Dengan nekat dia lalu menyerang dengan goloknya. Serangannya tidak boleh dibuat permainan, oleh karena dia mempergunakan ilmu golok Thian-san-pai yang lihai.

Toat-beng Hui-houw maklum akan hal ini. Karena itu dia pun tidak berani sembarangan menangkis, melainkan mempergunakan ginkang-nya yang istimewa untuk mengelak ke sana kemari. Orang sudah tahu akan kegesitan seekor harimau, akan tetapi Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang) karena gerakannya itu seakan-akan seekor harimau yang bersayap!

Tidak saja dia pandai dan cepat sekali mengelak ke sana ke mari, bahkan kadang kala dia melompat tinggi seperti terbang saja. Selain mengelak atau menangkis serangan Ong Kiat yang mengamuk seperti gila karena sudah nekat sekali, juga Toat-beng Hui-houw membalas dengan serangan-serangan kukunya yang berbahaya.

Betapa pun pandainya Ong Kiat mainkan goloknya, namun menghadapi kakek yang luar biasa sekali ini dia hanya dapat betahan sampai tiga puluh jurus saja. Agaknya kalau Toat-beng Hui-houw menghendaki kematiannya, dalam sepuluh jurus juga Ong Kiat akan roboh binasa.

Tetapi kakek ini hendak menawannya hidup-hidup, maka dia hanya berusaha merampas golok. Akhirnya, ketika golok itu diputar dan menyerang lehernya, kakek itu berseru keras sekali dan kedua tangannya bergerak. Tangan kanan mendahului golok mencengkeram ke arah lambung lawan dan tangan kiri menyusul untuk merampas golok!

Ong Kiat tak berdaya. Kalau dia membiarkan lambungnya dicengkeram, tentu dia akan binasa dan goloknya yang datangnya kalah cepat belum tentu akan mengenai lawan. Terpaksa dia melompat ke belakang dan menarik pulang goloknya, namun terlambat. Golok itu telah kena dicengkeram dan sekali renggut saja sudah pindah tangan!

Toat-beng Hui-houw mendesak terus dan akhirnya jalan darah di pundak Ong Kiat telah kena dicengkeram oleh jari-jari itu. Kulit pundaknya pecah, lantas Ong Kiat roboh dalam keadaan lumpuh tak berdaya lagi!

“Ha-ha-ha! Baru kalian tahu betapa lihainya Toat-beng Hui-houw!”

Dia lalu mempergunakan kakinya yang telanjang itu untuk menendang bangun anggota piauwsu yang terluka pundaknya tadi. “Hei, kau!” Aku sengaja tidak membikin mampus padamu agar kau dapat memanggil Pek-cilan, datang ke sini! Katakan bahwa selambat-lambatnya besok pagi ia harus datang di sini, bila tidak, suaminya akan kucekik mampus dan dia pun akan kucari ke rumahnya. Pakai kuda itu!”

Piauwsu itu tidak berdaya. Terpaksa dia menangkap kembali kudanya dan mengaburkan kuda itu kembali ke Hak-keng. Dia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa berhenti, sedangkan luka dipundaknya tidak dirawat, maka ketika dia tiba di depan Thio Loan Eng, dia roboh pingsan!

Dapat diduga betapa hebat kemarahan dan kekagetan hati Loan Eng mendengar tentang keadaan suaminya. Tanpa banyak cakap lagi, dia lalu cepat melarikan kuda menuju ke tempat itu, diikuti oleh semua anggota piauwkok, yakni piauwsu-piauwsu yang kebetulan berada di kota yang jumlahnya ada sepuluh orang. Begitu sampai di tempat yang dituju, Loan Eng mencabut pedangnya dan berseru dengan suara keras,

“Toat-beng Hui-houw siluman buas, kau keluarlah untuk terima binasa!”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Toat-beng Hui-houw, lalu tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia telah berdiri di hadapan Loan Eng. Pendekar wanita ini pun belum pernah bertemu dengan kakek ini, maka seperti juga Ong Kiat, dia terkejut sekali menyaksikan keseraman kakek ini. Akan tetapi ia tidak pernah mengenal takut, dan karena itu sambil menudingkan pedangnya ke muka orang, ia pun berkata,

“Toat-beng Hui-houw, antara kita tidak pernah terjadi permusuhan, mengapa kau berlaku begitu kejam, membunuh kawan-kawan kami dan bahkan menawan suamiku?”

Kakek yang menyeramkan itu tertawa bergelak dengan suara mengejek lalu dia berkata, “Pek-cilan, kau terlalu mengandalkan kegagahan sendiri dan sama sekali tidak melihat orang! Kau telah membunuh sute-ku Tauw-cai-houw, maka sekarang aku datang untuk menagih hutang!”

Terkejut hati Loan Eng mendengar ini. Ahhh, tidak tahunya kakek mengerikan ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Tauw-cai-houw, manusia gila yang dulu menculik dan hendak memanggang Kwan Cu hidup-hidup dan yang telah terbunuh olehnya dalam satu pertempuran. Tauw-cai-houw saja sudah amat lihai, apa lagi suheng-nya ini!

Akan tetapi Loan Eng tidak menjadi jeri. Ia tersenyum mengejek dan berkata, “Toat-beng Hui-houw, kau mau menang sendiri saja. Sute-mu (adik seperguruanmu) Tauw-cai-houw itu adalah orang gila. Aku melihat jelas dia menangkap seorang anak kecil yang hendak dipanggang dan dimakan dagingnya. Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan tidak mencegahnya? Kau tentu maklum bahwa kejahatan seperti itu tidak dapat diampunkan lagi. Sute-mu bertempur dengan aku dan dia binasa, mengapa hal ini kau jadikan alasan untuk membunuh orang-orangku dan menawan suamiku?”

“Tolol! Sute-ku sedang meyakinkan Ilmu Hoat-lek Kim-ciong-ko (Ilmu Kebal Berdasarkan Ilmu Gaib) dan untuk itu dia membutuhkan daging serta darah seorang anak sin-tong (anak ajaib)! Kau datang mengganggu dan bahkan membunuhnya. Sekarang aku yang akan mengambil darahmu untuk dijadikan obat panjang usia, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, Toat-beng Hui-houw lalu menubruk dengan kuku-kuku tangannya yang sangat panjang dan runcing.

Loan Eng maklum bahwa dia menghadapi seorang kakek yang selain lihai sekali, juga agaknya pun miring otaknya, maka ia lantas berlaku hati-hati sekali. Pedangnya diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.

Kalau dibandingkan dengan ilmu golok Ong Kiat, ilmu pedang Loan Eng ini ternyata lebih ganas dan berbahaya. Akan tetapi kini Toat-beng Hui-houw bergerak cepat sekali dan kakek ini mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Pandangan mata Loan Eng menjadi kabur dan gelap saking cepatnya gerakan kakek itu, apa lagi kini dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa dingin yang berbau sangat amis. Diam-diam Loan Eng bergidik.

Dia pernah mendengar akan kehebatan kakek ini, dan mendengar pula bahwa kuku-kuku yang panjang itu sewaktu-waktu apa bila menghadapi lawan tangguh, direndam dalam air obat terisi racun yang sangat jahat. Ia tahu bahwa sekali saja ia terkena kuku yang runcing seperti pisau itu, tentu ia akan terkena bisa dan celaka.

Akan tetapi Loan Eng memang terkenal seorang keras hati yang tak mau menyerah dan pantang mundur. Ia menyerang terus, mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaiannya, menggerakkan pedangnya dalam tipu-tipu yang paling diandalkan.

Pertandingan terjadi luar biasa hebatnya, jauh lebih hebat dibandingkan ketika Toat-beng Hui-houw menghadapi Ong Kiat. Sepuluh orang piauwsu yang ikut datang bersama Loan Eng menjadi bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Ingin membantu, akan tetapi maklum akan kekurangan sendiri dan baru melihat pertandingan itu saja mereka telah menjadi pening dan tak dapat membedakan mana kawan dan lawan karena gerakan dua orang yang bertempur luar biasa cepatnya.

Baru kali ini Loan Eng merasa mendapat lawan yang amat tangguh. Toat-beng Hui-houw benar-benar jauh lebih tangguh dari pada Tauw-cai-houw dan setelah melawan sampai empat puluh jurus lebih, akhirnya ia pun harus menyerah kalah. Sepuluh buah kuku yang runcing itu berhasil mencengkeram pedangnya dan tanpa dapat ditahan lagi, pedangnya terlepas dari tangannya.

Kemudian Toat-beng Hui-houw menubruk maju, disambut oleh tendangan kaki Loan Eng yang menggunakan ilmu tendang Soan-hong-twi.

Namun, alangkah kagetnya ketika kaki kirinya dapat tertangkap pula! Sebelum ia sempat memukul, pundaknya dapat dicengkeram dan matanya menjadi gelap. Loan Eng roboh pingsan…..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)