PENDEKAR SAKTI : JILID-18
Dengan sikap hormat dan tidak memperlihatkan ketidak senangan hatinya, Lu Seng Hok berkata kepada Jeng-kin-jiu yang tengah makan minum dengan gembira.
“Twa-suhu, kami harap sukalah kiranya Twa-suhu melatih ilmu silat kepada Thong-ji di sini saja dan tidak membawanya ke luar kota, karena kami selalu merasa gelisah dan khawatir. Segala keperluan untuk latihan itu, tinggal Twa-suhu katakan saja maka kami akan sediakan semua.”
Mendengar ini, Kak Thong Taisu tertawa bergelak, lalu minum araknya dari cawan besar sebelum dia menjawab. “Lu-taijin tidak tahu bahwa ilmu silat baru dapat sempurna kalau latihan-latihan itu disertai pula dengan pengalaman pertempuran. Apa gunanya memiliki ilmu silat bila tanpa ada pengalaman-pengalaman pertempuran menghadapi orang-orang pandai? Ilmu silat itu akan mentah, tidak berisi.”
“Betapa pun juga, Twa-suhu, kami berdua lebih-lebih ibu anak itu merasa amat gelisah dan rindu kalau terlalu lama Twa-suhu dan Thong-ji tidak pulang.”
Lu Thong yang hadir pula di situ, lalu berdiri dari bangkunya dan mengerutkan keningnya sambil berkata manja, “Ayah... kenapa ayah melarangku pergi dengan Suhu? Bila mana Suhu pergi merantau, aku harus ikut serta! Ayah tidak tahu betapa senangnya merantau di luar, di dunia bebas, tidak seperti di sini, terkurung dan sempit sekali!”
“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu tertawa bergelak, “Memang lebih enak menjadi seperti burung di udara dari pada terkurung dalam sangkar emas!”
“Thong-ji!” Lu Seng Hok membentak anaknya. “Apakah kau sudah tidak mau menuruti omongan ayahmu lagi? Untuk mencapai kedudukan tinggi tidak hanya belajar silat, akan tetapi kau pun harus belajar ilmu surat dengan baik!” Dengan uring-uringan ayah ini lalu meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang hanya tertawa saja.
Setelah Lu Seng Hok pergi, Jeng-kin-jiu berkata dengan suara bersunguh-sungguh pada muridnya, “Lu Thong, kata-kata ayahmu tadi ada benarnya. Lihatlah aku ini, selamanya menjadi seorang perantau yang tidak memiliki rumah tangga yang baik. Bahkan menjadi hwesio pun tidak mempunyai kelenteng untuk tempat tinggal. Kau keturunan orang besar dan apa bila kelak tidak menduduki pangkat tinggi, tentu akan mengecewakan hati para leluhurmu.”
“Akan tetapi teecu lebih senang belajar ilmu silat dari pada ilmu surat, Suhu. Teecu ingin mempunyai kepandaian silat yang paling tinggi!” bantah Lu Thong.
Jeng-kin-jiu tertawa. “Enak saja kau bicara. Apa kau kira belajar ilmu silat itu ada batas tingginya sampai mencapai tingkat tertinggi? Tak mungkin. Gunung Thai-san yang begitu tinggi pun masih ada langit di atasnya, apa lagi kepandaian orang. Kecuali kalau kau bisa mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng...”
Lu Thong tertarik sekali. Akan tetapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, tiba-tiba saja terdengar bentakan halus.
“Tua bangka gundul, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai padaku!”
Bentakan ini lantas disusul melayangnya tubuh Kiu-bwe Coa-li bersama Sui Ceng yang memasuki ruangan itu. Sikap Kiu-bwe Coa-li mengancam sekali, di tangannya telah siap cambuknya yang lihai sehingga Jeng-kin-jiu menjadi amat terkejut dan tak berani berlaku sembrono. Dia melompat bangun sambil menyambar toyanya yang tadi disandarkan di tembok dekat tempat duduknya.
“Kiu-bwe Coa-li, kau setan betina dari selatan! Kau datang-datang bicara mengacau tidak karuan, apakah aku terlihat seperti seekor cacing buku maka kau bilang aku menyimpan kitab sejarah? Lebih baik simpan cambukmu yang menjijikkan itu dan mari kita minum arak wangi!”
“Gundul busuk! Siapa sudi minum arakmu yang masam? Tak usah berpura-pura suci dan pinni tidak mempunyai banyak waktu untuk mengobrol. Kau sudah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin di dalam goanya di lereng Liang-san. Sekarang lebih baik lekas kau serahkan kitab itu kepada pinni kalau kau tak ingin kepalamu yang gundul itu retak-retak oleh cambukku!”
Mendengar ucapan ini, darah Jeng-kin-jiu langsung naik ke ubun-ubun saking marahnya. Sepasang matanya yang bundar itu melotot hampir keluar dari ruangnya. Hidung serta bibirnya bergerak-gerak seperti bibir kuda mencium asap.
“Kau... kau... benar-benar kurang ajar sekali, Kiu-bwe Coa-li! Kau tidak ingat bahwa kita sama-sama dari selatan? Apa kau mau merendahkan jago-jago selatan?”
“Tutup mulutmu dan serahkan kitab itu!” kata Kiu-bwe Coa-li yang memang wataknya keras luar biasa.
“Ayaaa...!” Jeng-kin-jiu menggelengkan kepalanya yang bundar, “kau benar-benar sudah kemasukan iblis-iblis dari laut selatan! Pinceng tidak membawa kitab itu, juga andai kata ada, tak mungkin kuserahkan kepadamu!”
Pada saat itu, Lu Thong yang semenjak tadi memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dengan mata terbelalak dan perasaan mendongkol berkata, “Suhu, inikah Kiu-bwe Coa-li yang sering kali Suhu sohorkan? Apa bila hanya seperti ini, mengapa banyak tanya-tanya lagi, Suhu? Orang sombong biasanya rendah kepandaiannya!”
Sui Ceng marah sekali dan melompat ke depan Lu Thong, lalu menampar pipi Lu Thong. Oleh karena pakaian Lu Thong seperti anak bangsawan dan terpelajar, maka Sui Ceng mengira bahwa anak ini tidak pandai ilmu silat. Akan tetapi siapa sangka bahwa sekali menggerakkan kepalanya saja, Lu Thong telah dapat mengelak dari serangannya!
“Bangsat mewah, kau memang patut diberi hajaran!” Setelah berkata demikian, Sui Ceng melompat dan menerjang Lu Thong yang segera menyambutnya gembira.
Memang Lu Thong amat suka menghadapi lawan tangguh. Kini bertempur melawan anak murid Kiu-bwe Coa-li, sungguh merupakan ujian yang bagus sekali baginya. Jeng-kin-jiu memandang kepada dua orang anak yang sudah bertanding itu, lalu tertawa bergelak-gelak.
“Kiu-bwe Coa-li, kau tunggu apa lagi? Lekaslah turun tangan atau lekas minggat saja dari sini!” sambil berkata demikian, toyanya digerakkan sehingga meja bangku yang membuat ruangan itu menjadi sempit, beterbangan ke kanan kiri. Baru sambaran angin toyanya saja sudah dapat membuat meja bangku terlempar jauh, dapat diduga betapa besarnya tenaga gwakang hwesio gendut ini.
“Jeng-kin-jiu, mampuslah kau hari ini!”
Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu memenuhi ruangan karena menyambar ke arah Jeng-kin-jiu dari segala jurusan! Kakek gundul ini melompat menjauhi lawannya karena dia anggap tidak baik bertempur di dekat tempat dua orang anak itu bertanding.
Maka pertempuran terpecah pada dua tempat dan begitu Jeng-kin-jiu memutar toyanya, angin dingin menyambar-nyambar dan selalu mampu menahan datangnya ujung cambuk yang ekornya ada sembilan itu. Namun sebaliknya, toyanya juga tidak diberi kesempatan menyerang, oleh karena gerakan sembilan ekor cambuk itu benar-benar cepat sekali dan datang secara bertubi-tubi.
Ada pun Lu Thong yang bertanding dengan Sui Ceng, merasa kagum bukan main. Dari pembawaannya, Sui Ceng memang anak yang mempunyai kelincahan serta kecepatan gerakan tubuh. Kemudian, sesudah dilatih oleh Kiu-bwe Coa-li, maka ginkang dari anak perempuan ini menjadi luar biasa sekali. Tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar laksana seekor tawon yang licah sekali.
Akan tetapi, Lu Thong juga mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Biar pun matanya agak kabur karena kecepatan gerakan Sui Ceng, namun dia selalu dapat mengelak atau menangkis serangan gadis cilik itu.
Tadi begitu melihat Sui Ceng serta mendengar gadis cilik ini berbicara, diam-diam Lu Thong merasa kagum dan sayang. Hatinya yang sudah mulai dewasa itu tertarik oleh Sui Ceng bagaikan sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani. Dia menganggap Sui Ceng demikian lincah, lucu dan sangat manis, apa lagi sesudah kini dia menyaksikan kelihaian Sui Ceng, benar-benar Lu Thong suka sekali pada gadis ini.
Oleh karena itu, dia tidak mau membalas serangan Sui Ceng dengan hebat dan hanya menangkis atau membalas sekedarnya untuk menjaga jangan sampai dia terdesak hebat saja. Karena sesungguhnya, biar pun kepandaian mereka seimbang atau bahkan boleh dibilang Sui Ceng menang cepat, namun tenaga Lu Thong besar dan kini pemuda cilik ini sudah pandai sekali memainkan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), yaitu ilmu silat yang diwarisinya dari Ang-bin Sin-kai melalui gurunya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini.
Oleh karena itu, pertempuran antara Sui Ceng dengan Lu Thong juga ramai sekali dan seimbang. Seperti juga pertempuran antara Kiu-bwe Coa-li dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sukar dikatakan siapa yang akan menang di antara dua orang murid ini.
Orang-orang di gedung itu mulai geger setelah mereka mengetahui bahwa di ruangan ini terjadi pertempuran hebat sekali. Para penjaga datang, akan tetapi Lu Thong membentak mereka supaya jangan ikut campur. Pula, bagaimana para penjaga itu berani campur tangan kalau dari gerakan toya dan cambuk itu anginnya saja cukup kuat untuk membuat mereka terdorong mundur? Juga Lu Seng Hok berdiri menonton dengan hati gelisah.
Sambil menggerakkan toyanya yang hebat, Kak Thong Taisu berkali-kali memaki dan mentertawakan Kiu-bwe Coa-li yang dianggapnya sebagai orang yang lagi kemasukan iblis, yang menuduh orang sesuka hatinya dan lain-lain.
Kalau semua orang yang menyaksikan pertempuran ini merasa gelisah, ada dua orang lain yang berada di atas genteng dan menyaksikan pertempuran itu dengan hati merasa geli. Mereka ini adalah Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!
“Tua bangka-tua bangka di bawah itu sudah gila semua. Ha-ha-ha, kini mereka sedang memperebutkan sumur tak berair! Tak salah dugaanku, tentu yang mencuri kitab sejarah itu adalah Hek-i Hui-mo. Pantas saja larinya dahulu itu cepat bukan main,” kata Ang-bin Sin-kai.
“Akan tetapi, Suhu. Bukankah Hek-i Hui-mo tidak pernah membawa-bawa muridnya dan sepanjang pengetahuan kita, dia tidak mempunyai murid?”
“Siapa tahu? Aku pun tadinya tak pernah berpikir punya murid sebelum bertemu dengan kau. Sudahlah, hayo kita pergi menyusul Hek-i Hui-mo!”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat pergi dari situ, diikuti oleh Kwan Cu. Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang anak yang memiliki pribudi tinggi. Melihat betapa Kiu-bwe Coa-li bertempur mati-matian dengan Jeng-kin-jiu hanya untuk memperebutkan sesuatu yang kosong, dia merasa tidak tega.
Terutama sekali terhadap Jeng-kin-jiu, hwesio gendut yang dahulu sudah memberi nama kepadanya itu. Lebih-lebih lagi karena dia pun melihat betapa Sui Ceng ikut bertempur hebat melawan Lu Thong. Maka sebelum dia melompat untuk menyusul suhu-nya, dia bernyanyi dengan suara keras karena dia mengerahkan khikang-nya.
Anjing-anjing bodoh berebut tulang
tanpa ingat bahaya kehilangan nyawa.
Tak tahunya serigala belang
membawa lari tulang sambil tertawa.
Tadi ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu berada di atas genteng, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Kiu-bwe Coa-li tentu saja dapat mendengar, terutama sekali suara tindakan kaki Kwan Cu yang belum begitu tinggi ginkang-nya seperti Ang-bin Sin-kai.
Akan tetapi oleh karena kedua orang yang bertempur ini menghadapi lawan yang amat berat, mereka tak dapat dan tidak berani memecah perhatian yang berarti memperlemah pertahanan sendiri. Mereka hanya tahu bahwa di atas genteng ada orang-orang pandai yang mengintai dan menonton pertempuran mereka.
Akan tetapi ketika mendengar suara nyanyian Kwan Cu yang keras itu, mereka menjadi terkejut dan otomatis mereka menarik senjata masing-masing.
“Sui Ceng, berhenti!” seru Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.
Ada pun Jeng-kin-jiu yang juga mendengar nyanyian itu, tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Si gundul Kwan Cu benar-benar tepat sekali memaki kita! Memang kita anjing-anjing bodoh berebut tulang. Ehh, Kiu-bwe Coa-li, apakah kau masih belum insyaf bahwa kau sudah memperebutkan sesuatu yang kosong dan yang sudah dibawa lari oleh serigala belang seperti dinyanyikan Kwan Cu tadi?”
“Jadi Kwan Cu yang bernyanyi tadi?” Sui Ceng berkata dan wajahnya tiba-tiba berubah girang bukan main. Cepat anak ini melompat keluar dan melayang ke atas genteng untuk melihat.
“Bodoh, mereka telah pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li.
Hal ini memang benar, karena ketika Sui Ceng tiba di atas genteng, di atas sunyi tidak nampak bayangan seorang manusia pun. Gadis cilik itu pun turun kembali.
Melihat wajah Sui Ceng nampak girang, Lu Thong menjadi iri hati dan cemburu. Ia tidak tahu bahwa Sui Ceng merasa girang bukan main mendengar suara Kwan Cu, karena itu hanya berarti bahwa Kwan Cu sudah berhasil menyelamatkan diri dari bahaya maut di tangan Toat-beng Hui-houw yang menyeramkan!
Lu Thong mengira bahwa Sui Ceng suka kepada Kwan Cu, maka dia pun berkata, “Ahh, pengemis kecil gundul itukah? Sayang, jika dia tidak pergi, tentu akan kuberi kesempatan untuk dia menebus kekalahannya dariku dahulu.”
“Sombong! Orang macam kau akan dapat mengalahkan dia?” bentak Sui Ceng. Biar pun dia mengerti bahwa Lu Thong memang lebih pandai dari pada Kwan Cu, namun dia tidak senang mendengar Kwan Cu dihina.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li, sesudah mendengar nyanyian Kwan Cu tadi, timbul keraguan di dalam hatinya. Siapa tahu kalau dia telah ditipu oleh bocah gundul itu dan sengaja diadu dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu? Maka ia lalu bertanya dengan suara bersungguh-sungguh.
“Jeng-kin-jiu, benar-benarkah pinni telah salah sangka dan telah berlaku sembrono?”
Hwesio itu melebarkan matanya dan tertawa. “Bukan hanya sembrono saja, malahan tadi kukira kau telah kemasukan iblis laut selatan! Pinceng bukan kutu buku, mana pinceng menyimpan kitab-kitab? Kalau kitab suci pelajaran Nabi Buddha, tentu saja ada dan jika kau masih ingin memperdalam pengetahuanmu dalam pelajaran itu, bolehlah kau pinjam dari pinceng dengan cuma-cuma tanpa bayar!”
Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah mukanya. “Kalau begitu, maafkan pinni, Jeng-kin-jiu. Memang benar pinni sudah tertipu oleh anak setan itu. Sui Ceng, hayo kita pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.
Lu Thong buru-buru berkata Sui Ceng. “Nona yang baik, meski pun gurumu minta maaf kepada guruku, namun aku hendak minta maaf kepadamu bahwa tadi aku sudah berani bertempur melawanmu. Harap kau tak berkecil hati dan kita dapat menjadi sahabat baik.”
“Cih, manusia tak tahu malu!” jawab Sui Ceng yang segera melompat menyusul gurunya yang sudah pergi lebih dulu.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Lu Thong, apa kau suka kepada anak itu?” tanyanya.
Tentu saja Lu Thong tak berani menjawab dan mukanya menjadi merah karena malunya. Sementara itu, ayahnya datang menghampiri mereka dan bertanya dengan muka kurang senang.
“Siapakah mereka tadi dan kenapa kalian bertempur di sini?” matanya tajam memandang anaknya seperti hendak menyatakan betapa tidak baiknya hidup sebagai ahli silat yang bisanya hanya bertempur dan membunuh orang.
“Ayah, mereka itu adalah orang-orang gagah. Nenek tadi adalah Kiu-bwe Coa-li yang sudah tersohor sebagai ahli silat dari selatan yang berilmu tinggi. Kalau bukan Suhu yang menghadapinya, dalam beberapa jurus saja orang lain tentu akan tewas kalau diserang olehnya.”
Lu Thong mengucapkan kata-kata ini dengan muka girang dan penuh kegembiraan, tadi seolah-olah dia bukan berkelahi mati-matian, melainkan menari dalam sebuah pesta dan berjumpa dengan seorang anak perempuan yang manis. Lu Seng Hok ayahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja dan menarik napas.
Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak lalu tubuhnya ‘menggelinding’ ke kamarnya di sebelah belakang, di mana dia terus melempar tubuhnya yang bundar ke atas pembaringan dan sebentar saja terdengar dia mendengkur seperti kerbau.
Ketika melihat kesempatan baik ini, Lu Seng Hok dan isterinya membujuk-bujuk kepada Lu Thong agar supaya anak ini, biar pun menjadi murid Jeng-kin-jiu dan belajar ilmu silat kepadanya, namun jangan mencampuri urusan pertempuran hwesio gundul itu.
“Akan tetapi, ingat. Kau adalah seorang anak dari keluarga berpangkat dan bangsawan, bagaimana kau dapat bercampur gaul dengan segala orang-orang kang-ouw yang kotor dan jahat? Apakah kelak kau akan mencemarkan nama nenek moyangmu?”
“Ayah, bukankah Ang-bin Sin-kai itu juga keluarga kita?”
“Bodoh, kau mau meniru hal yang buruk? Coba kau lihat, alangkah jauhnya perbedaan antara Ang-bin Sin-kai dan Kongkong-mu Lu Pin!”
“Ang-bin Sin-kai lebih terkenal!” bantah Lu Thong.
“Tetapi bukan terkenal kebaikan dan kebesarannya, melainkan tersohor karena jahatnya dan kurang ajarnya. Ahh, Lu Thong, jangan kau mengecewakan hati orang tuamu...”
Melihat ayahnya sudah mulai marah dan ibunya meruntuhkan air mata, Lu Thong cepat menutup mulutnya kemudian menundukkan kepala. Akan tetapi di dalam hatinya, anak ini mentertawakan orang tuanya.
Dan pada malam harinya, pada saat Lu Thong telah tidur, tiba-tiba dia merasa tubuhnya digoyangkan orang dan ketika dia membuka matanya, ternyata suhu-nya telah berdiri di luar jendelanya yang terbuka sambil melambaikan tangan, memberi isyarat kepadanya supaya ikut keluar! Lu Thong tidak sangsi lagi, lalu melompat keluar dari kamarnya.
“Kita pergi sekarang juga!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Tak usah membawa bekal atau pakaian.”
Melihat kesungguhan muka gurunya yang biasanya selalu tersenyum-senyum dan lucu, Lu Thong agak tertegun. “Baiklah, Suhu. Akan tetapi, kenapa berangkat malam-malam? Ada keperluan amat pentingkah?”
“Kiu-bwe Coa-li telah datang dan menyerangku mati-matian, tentu kitab yang dicarinya itu amat penting. Juga Ang-bin Sin-kai berkeliaran, itu berarti di dunia luar ini terjadi sesuatu yang patut diperhatikan. Apakah kau kira aku suka terbenam di dalam gedung ini saja?”
Maka berangkatlah guru dan murid ini malam-malam, meninggalkan gedung keluarga Lu, tanpa memberi tahu atau berpamit kepada Lu seng Hok dan isterinya yang tentu saja menjadi gelisah setengah mati pada keesokan harinya…..
********************
Ang-bin Sin-kai memang benar-benar merasa sayang kepada Kwan Cu. Hal ini terbukti dari usahanya menyusul Hek-i Hui-mo ke barat, yakni ke Tibet! Baginya sendiri, dia tidak nanti sudi melanggar sumpahnya dan dia tidak akan mau mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng untuk diri sendiri, melainkan karena dia ingin agar supaya muridnya itu dapat mempelajari ilmu kepandaian dari kitab itu.
Padahal, perjalanan ke Tibet bukanlah semudah orang melihat gambar peta bumi saja! Apa lagi pada jaman dahulu, di mana tidak ada jalan sama sekali. Jangankan jalan besar dan rata, bahkan jalan atau lorong kecil pun belum ada.
Perjalanan ke Tibet merupakan perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya, melalui gurun, padang pasir bergaram, tanah tandus yang beratus atau beribu li luasnya. Juga melalui gunung-gunung yang luar biasa tingginya, hutan-hutan yang liar dan belum pernah dilalui manusia. Bila sedang melalui gurun pasir, panas membakar kulit, akan tetapi sebaliknya kalau melalui puncak bukit yang tinggi, hawa dingin menggerogoti tulang iga!
Guru dan murid ini melakukan perjalanan selama berbulan-bulan. Dengan amat sulit dan banyak susah payah, akhirnya mereka tiba di Pegunungan Kun-lun-san. Memang kalau orang hendak pergi ke Tibet melalu jurusan utara, maka dia harus melewati Pegunungan Kun-lun-san yang termasuk daerah Tibet Utara.
Namun semua kesukaran perjalanan itu sama sekali tidak terasa oleh Kwan Cu. Bahkan anak ini merasa sangat gembira. Perjalanan yang luar biasa jauhnya ini mendatangkan pengalaman-pengalaman baru yang hebat-hebat dan di sepanjang perjalanan, Ang-bin Sin-kai tidak pernah lalai untuk melatih ilmu silat kepada muridnya.
Kni Kwan Cu sudah mulai menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi sehingga kepandaiannya maju dengan pesat sekali. Di samping itu, juga Ang-bin Sin-kai mengajak muridnya mampir di tempat tinggal para tokoh besar dunia kang-ouw dan selalu mencari kesempatan untuk memperlebar dan memperluas pengetahuan muridnya itu tentang ilmu silat.
“Lihatlah baik-baik, muridku,” katanya jika berhasil minta kepada seorang ahli silat untuk menunjukkan kepandaiannya. “Betapa pun jauh perbedaan gaya dalam permainan silat, tetapi semuanya berdasarkan kekuatan mereka atas kedudukan tubuh dan pemasangan kaki. Memang ini sangat penting, Kwan Cu. Betapa pun bagus dan lihai gerakan serta gayanya, tapi tanpa keteguhan dan kedudukan kaki, dia bukanlah seorang ahli silat yang kuat.”
Pegunungan Kun-lun-san penuh dengan puncak-puncak yang tertutup salju dan di setiap tempat terdapat sungai-sungai es. Melalui daerah seperti ini orang harus berlaku hati-hati sekali. Hampir saja Kwan Cu menemui bencana ketika mereka melewati sebuah sungai es yang lebar.
Permukaan es itu tampak mengkilap kebiru-biruan, yaitu bayangan-bayangan langit yang tercermin ke dalam permukaan es. Pada mulanya Kwan Cu merasa gembira sekali dan berlari-larian di atas es yang licin itu. Ia telah memiliki ginkang tinggi dan juga tubuhnya sudah kuat sehingga dia tidak khawatir terpeleset jatuh.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa es itu belum lama membeku sehingga permukaannya masih tipis. Ketika dia berlari dan tiba di bagian yang amat tipis, tiba-tiba pecahlah permukaan kaca es itu dan tubuhnya terjeblos ke bawah.
Air yang luar biasa dinginnya menerima tubuh Kwan Cu dan seketika anak ini menjadi kaku seluruh tubuhnya! Dia cepat menahan napas dan mengerahkan tenaga serta hawa tubuh untuk membuat tubuhnya hangat dan untuk membuat aliran darah pada tubuhnya menjadi lebih cepat. Akan tetapi, hawa dingin dari air yang setengah membeku itu luar biasa sekali dan kalau gurunya tidak cepat turun tangan, pasti nyawa anak ini tidak akan tertolong lagi.
Ang-bin Sin-kai yang sudah banyak pengalamannya tidak mau mengejar ke tempat itu karena kalau dia sendiri sampai terjeblos, walau pun kepandaiannya tinggi, namun belum tentu dia akan dapat melawan serangan hawa dingin yang luar biasa itu. Dia lalu cepat mempergunakan lweekang-nya untuk mencabut sebatang akar yang sangat panjang dari pohon besar yang sudah habis daunnya dimakan salju dan dengan akar ini dia kemudian menolong Kwan Cu.
Anak gundul ini meski pun tubuhnya sudah hampir beku, namun pikirannya masih sadar. Begitu melihat akar, dia cepat menangkapnya dan memegangnya erat-erat, sungguh pun jari-jari tangannya sudah kaku dan sukar digerakkan lagi dan kulit tangannya sudah mati rasa!
Memang, sesungguhnya kakek ini sudah amat tua. Pada waktu Ang-bin Sin-kai masih kanak-kanak, kakek ini telah menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, juga dia terkenal sebagai seorang pendeta yang berpribudi tinggi sehingga namanya terkenal di seluruh dunia.
Sudah menjadi lajim pada jaman itu, ahli-ahli silat datang dari atas gunung atau tempat-tempat sunyi, atau lebih tepat lagi, puncak-puncak gunung yang sunyi paling disuka oleh ahli-ahli silat untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Hal ini sudah sewajarnya, karena pada masa itu, ilmu-ilmu silat yang tinggi dimiliki oleh ahli tapa dan pendeta suci.
Ilmu silat yang tinggi memang tidak boleh dipisahkan dengan ilmu batin, maka tentu saja para pendeta yang mempelajari ilmu batin dan memiliki tenaga batin yang kuat dan suci dapat menciptakan ilmu silat yang tinggi. Dan pendeta-pendeta ini memang paling suka bertempat tinggal di puncak gunung-gunung yang sunyi untuk bertapa. Di samping ini, mereka tidak mempunyai pekerjaan sehingga dalam mempelajari ilmu silat, mereka amat tekun dan rajin sehingga memperoleh kemajuan luar biasa.
Seperti juga gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Kun-lun-san menjadi perhatian para pertapa. Di puncak-puncak yang tinggi itu banyak sekali bersembunyi orang-orang yang mempunyai kepandaian lihai. Di antaranya, puncak yang tertinggi dijadikan tempat tinggal oleh Seng Thian Siansu. Beberapa tahun kemudian, menyusul tiga orang saudara seperguruannya, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu serta Seng Giok Siansu atau yang disebut Kun-lun Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kun-lun-san).
Seng Thian Siansu sudah sangat tua dan memang kalau dibandingkan, usianya berbeda jauh sekali dengan sute-sute-nya, ada sekitar lima puluh tahun selisihnya! Bersama para sute-nya ini, Seng Thian Siansu lalu membentuk partai yang disebut Kun-lun-pai. Mereka telah banyak menerima murid-murid yang berbakat baik sehingga beberapa belas tahun kemudian, nama Kun-lun-pai meningkat dan menjadi harum akibat perbuatan-perbuatan para anak murid mereka yang gagah perkasa dan budiman.
Setelah Seng Thian Siansu merasa dirinya terlalu tua, usianya sudah seratus dua puluh tahun, dia mencuci tangan dan Kun-lun-pai lalu dipegang oleh tiga orang sute-nya yang kemudian terkenal dengan sebutan Kun-lun Sam-lojin itu. Semenjak saat itu, Seng Thian Siansu hanya bertapa saja di dalam goa, sama sekali tak mau mencampuri urusan dunia lagi.
Mengapa sekarang kakek yang sudah tua dan lemah sekali ini memaksa diri keluar dari goa dan bertemu dengan Ang-bin Sin-kai? Mari kita dengarkan percakapannya dengan Ang-bin Sin-kai.
“Benar kata-katamu, Locianpwe. Teecu adalah Lu Sin dan sesungguhnya teecu lewat di Kun-lun-san karena hendak menuju ke Tibet. Akan tetapi, sungguh teecu merasa heran sekali melihat Locianpwe berada di sini dalam keadaan hawa yang sedingin ini. Hendak ke manakah Locianpwe, kalau kiranya teecu boleh bertanya?”
Seng Thian Siansu tersenyum dan kembali Kwan Cu terheran. Bukan hanya matanya yang masih nampak ‘muda’, bahkan gigi kakek ini masih lengkap dan putih rapi!
“Ang-bin Sin-kai, kau ternyata masih belum melupakan sifat-sifatmu yang baik! Memang agaknya sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, maka hari ini pinto terpaksa harus meninggalkan tempat pertapaan dan nasibkulah yang buruk, sehingga tua-tua terpaksa membereskan urusan penasaran.”
“Ah, Locianpwe, urusan apakah gerangan yang memaksa Locianpwe harus turun tangan sendiri? Kalau sekiranya teecu boleh membantu, harap Locianpwe beri tahukan kepada teecu, tentu teecu bersedia membantu sekuat tenaga.”
Kakek itu tersenyum lagi. “Kau masih tetap gagah! Terima kasih, Ang-bin Sin-kai. Marilah kita duduk di sana, nanti kuceritakan apa yang telah mengeruhkan suasana Kun-lun-san yang sunyi bersih ini.”
Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu mengikuti kakek itu yang duduk di atas sebuah batu hitam yang bertumpuk pada sebelah kiri lereng itu. Sesudah duduk dan menaruh tongkatnya di sebelahnya, mulailah Seng Thian Siansu bercerita.
Kurang lebih setahun yang lalu, di Pegunungan Kun-lun-san datanglah lima orang aneh yang memiliki kepandaian amat tinggi. Mereka menyebut diri sebagai Ngo-eng Kiam-hiap (Pendekar-pendekar Pedang Lima Garuda) dan sesudah memilih puncak yang berada di sebelah kanan puncak di mana Seng Thian Siansu mendirikan Kun-lun-pai, mereka lalu menambah sebutan menjadi Kun-lun Ngo-eng (Lima Garuda dari Kun-lun-san)!
Hal ini masih tidak dapat menggoncangkan hati dan pikiran fihak Kun-lun-pai yang selalu mengutamakan kebenaran dan perdamaian. Akan tetapi, pihak Kun-lun Ngo-eng ternyata bukanlah orang-orang yang suka hidup tenteram dan mereka ini tidak puas bahwa di situ ada puncak yang menjadi pusat dari partai Kun-lun-pai yang terkenal.
Beberapa kali mereka sengaja melanggar wilayah atau daerah puncak Kun-lun-san yang didiami oleh Kun-lun-pai, bahkan mereka pernah menghina dan memukul seorang anak murid Kun-lun-pai yang sedang turun gunung. Akan tetapi, tetap saja Kun-lun Sam-lojin berlaku sabar dan menekan marah, karena mereka tidak mau cekcok dengan ‘tetangga’!
Agaknya dari fihak Kun-lun Ngo-eng juga tak berani gegabah terhadap Kun-lun-pai. Oleh karena itu, setelah didiamkan saja, akhirnya mereka juga tinggal diam, tidak melanjutkan kekurang ajaran mereka terhadap Kun-lun-pai.
Akan tetapi, diam-diam Kun-lun Sam-lojin merasa mendongkol dan marah sekali ketika mendengar laporan dari para murid Kun-lun-pai bahwa sebenarnya ‘tetangga’ mereka itu bukanlah orang baik-baik. Bahkan ada beberapa orang anak murid yang melihat dengan mata sendiri betapa kelima orang aneh yang usianya telah tua-tua itu pernah menculik orang-orang muda, laki-laki dan perempuan, dan dibawa ke atas puncak!
Kun-lun Sam-lojin, yaitu Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu, hampir tak dapat menahan kemarahan hati mereka dan siap untuk menyerbu. Akan tetapi, ketika Seng Thian Siansu mendengar akan maksud tiga orang sute-nya ini, ia cepat mencegah mereka. Tiga orang tua dari Kun-lun-san ini memang sangat patuh kepada Seng Thian Siansu yang bukan saja menjadi suheng mereka, bahkan boleh di bilang menjadi wakil guru mereka, maka mereka menahan sabar dan mencoba untuk melupakan hal Kun-lun Ngo-eng itu.
Akan tetapi, beberapa hari yang lalu terjadi sesuatu yang menggoncangkan Pegunungan Kun-lun-san. Hal ini terjadi setelah Hek-eng Sianjin, yakni orang termuda dari Kun-lun Ngo-eng, menculik seorang gadis dari dusun yang menjadi tempat tinggal suku bangsa Hui, seorang gadis cantik jelita yang menjadi kembang dusun itu, bahkan ia adalah puteri dari kepala suku bangsa itu.
Tentu saja suku bangsa Hui yang jumlahnya lebih tiga puluh keluarga itu menjadi marah sekali. Mereka mengumpulkan orang-orang lelaki dan empat puluh orang lebih laki-laki tua muda membawa senjata menyerbu ke puncak gunung yang ditinggali oleh Kun-lun Ngo-eng. Akan tetapi, mana bisa mereka menang? Hek-eng Sianjin seorang diri keluar dan begitu pendeta berjubah hitam ini memainkan pedangnya yang lihai, belasan orang langsung roboh dan tewas, sedangkan yang lain-lain lalu melarikan diri.
Tangis riuh-rendah di dalam dusun orang-orang Hui ini menarik perhatian seorang kakek pendek kecil yang kebetulan lewat di dusun itu bersama dua orang anak laki-laki. Kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai bersama Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng murid-muridnya!
“Ehh, ada apakah ribut-ribut ini?” tanyanya pada orang Hui itu.
Kepala suku bangsa Hui segera maju dan berlutut kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia dapat melihat bahwa yang datang ini adalah seorang kakek yang luar biasa dan tentunya memiliki kepandaian tinggi.
“Lo-enghiong, kami keluarga Hui tertimpa mala petaka hebat...! Anakku perempuan telah diculik oleh saikong siluman dari puncak Kun-lun-san, dan pada saat aku serta saudara-saudaraku menyerbu ke sana untuk menolong, belasan orang saudaraku bahkan tewas oleh saikong siluman...”
Siangkoan Hai mengerutkan keningnya dan memandang tak percaya.
“Aneh, siapa orangnya yang berani berbuat jahat di sini? Bukankah puncak sebelah barat itu pusat dari Kun-lun-pai yang tersohor? Mengapa kau tidak minta tolong ke sana?”
“Sudah, Lo-enghiong. Kami sudah menghadap Kun-lun Sam-lojin, akan tetapi mereka tak mau turun gunung menolong...”
Siangkoan Hai membelalakkan matanya. “Aneh, aneh! Mengapa begitu?”
“Suhu, lebih baik kita menolong dulu nona yang diculik itu!” kata The Kun Beng tak sabar.
“Memang kita harus lekas menolong, dan hendak kulihat siapakah orangnya yang berani berlaku jahat seperti itu. Baru kemudian aku hendak menegur Kun-lun Sam-lojin kenapa tidak mau menolong mereka ini.” Siangkoan Hai lalu berkata pada orang-orang itu.
“Hayo bawa kami ke tempat saikong siluman itu!”
Demikianlah, beramai-ramai orang-orang Hui itu lalu mengantar Siangkoan Hai dan dua orang muridnya menuju ke puncak tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Di atas puncak itu terdapat sebuah bangunan besar yang terkurung pagar tembok. Orang-orang Hui yang pernah dihajar oleh Hek-eng Sianjin, tidak berani datang lebih dekat dan hanya menanti dari jauh. Mereka melihat betapa kakek yang pendek kecil ini berjalan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh dua orang muridnya yang berjalan dengan gagahnya.
Ketika mereka sudah tiba di dekat pintu, Siangkoan Hai dan dua orang muridnya merasa heran karena ternyata bahwa pintu gerbang itu terjaga oleh tiga orang pemuda dan dua orang gadis yang semuanya berwajah elok. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun, pakaian mereka mewah sekali.
“Orang-orang muda, beritahukan kepada Kun-lun Ngo-eng bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah datang minta bertemu!” kata kakek tokoh besar utara itu kepada para penjaga remaja tadi.
Lima orang muda itu lalu berlari masuk setelah menutup pintu gerbang rapat-rapat!
Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa tergelak. “Kun-lun Ngo-heng! Apakah pintumu terbuka untuk angin dan setan yang tak nampak, akan tetapi tertutup bagi tamu manusia? Kalau kalian melarang aku masuk, keluarlah menemuiku di luar. Aku Pak-lo-sian Siangkoan Hai perlu sekali bicara dengan kalian!”
Tiba-tiba di atas tembok yang mengurung bangunan itu, tersembullah lima buah bendera yang berwarna putih, kuning, hijau, merah dan hitam! Bendera-bendera ini berkibar-kibar tertiup angin gunung, merupakan pemandangan yang indah beraneka warna. Kemudian, terdengar suara dari balik tembok itu.
“Kami tak mengenal Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan tidak mempunyai urusan dengan dia! Orang tua pendek kecil harap jangan mencari penyakit dan lekas pergi dari sini!”
Mendadak kelima buah bendera yang berkibar di atas tembok itu berubah arah kibarnya, yaitu kalau tadi berkibar ke kanan, sekarang berkibar ke kiri, padahal angin masih jelas terasa berkibar ke kanan!
Siangkoan Hai maklum bahwa orang-orang di bawah tembok sana telah memperlihatkan kepandaiannya. Dia juga tahu bahwa bendera itu berkibar karena ditiup oleh orang yang mempunyai tenaga khikang yang luar biasa tingginya. Agaknya Kun-lun Ngo-eng hendak menggertaknya dan mendemonstrasikan kepandaian supaya dia menjadi ketakutan dan segera pergi.
Kembali Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak dan sesudah melihat ke kanan kiri, kakek pendek ini lalu menghampiri sebatang pohon yang tinggi. Sekali dia mengerahkan tenaga, akar pohon itu telah tercabut dari tanah! Dia lalu menghampiri tembok bangunan itu dan melemparkan pohon tadi ke atas. Pohon itu melayang dan tepat berdiri di atas tembok di dekat bendera-bendera itu dan tentu saja pohon itu jauh lebih tinggi dari pada bendera-bendera tadi.
“Ha-ha-ha! Kun-lun Ngo-eng. Jangan dikira bahwa bendera-benderamu itu paling tinggi di dunia ini!”
Perbuatan Siangkoan Hai ini menimbulkan kegemparan pada sebelah dalam bangunan, karena terdengar seruan-seruan memuji dengan kagum. Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya mendengar bahwa yang memuji itu adalah suara-suara banyak orang-orang muda, bahkan ada yang suaranya menyatakan masih suara anak-anak.
Lalu terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring.
“Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Tak perlu kau memamerkan kepandaian seperti anak kecil! Kalau kau mampu, masuklah saja, tembok kami tidak terlalu tinggi kiranya!” inilah suara Jeng-eng Mo-li, orang ketiga dari Kun-lun Ngo-eng.
Siangkoan Hai tertawa bergelak mendengar ini, kemudian berbisik kepada Kun Beng dan Swi Kiat kedua orang muridnya.
“Kalau sampai murid-murid mereka menyerang, kalian layani mereka akan tetapi jangan sampai membunuh orang.”
Kun Beng dan Swi Kiat mengangguk. Mereka sudah mengerti akan kehendak suhu-nya ini. Kemudian, dua orang anak muda ini lalu ikut suhu mereka melompat ke atas tembok. Dari atas tembok ini mereka memandang ke bawah dan terlihatlah lima orang aneh serta belasan orang anak-anak muda yang elok-elok.
Lima orang ini terdiri dari tiga orang kakek dan dua orang wanita. Usia mereka antara empat puluh sampai lima puluh tahun, akan tetapi mereka masih nampak muda. Apa lagi dua orang wanita, meski dari muka mereka mudah dilihat bahwa mereka telah setengah tua, namun muka itu masih dibedaki tebal dan di beri pemerah bibir dan pipi.
Pakaian mereka juga aneh sekali, karena seorang berpakaian warna putih, orang kedua berpakaian kuning, lalu hijau, merah dan hitam! Untuk lebih mengenal mereka, marilah kita memperhatikan seorang demi seorang.
Orang pertama yang berpakaian putih adalah kakek Pek-eng Sianjin atau orang tertua dari Kun-lun Ngo-eng. Pek-eng Sianjin memang usianya paling tua dan rambutnya telah bercampur uban, pakaiannya dan juga gelung rambutnya menandakan bahwa dia adalah seorang tosu. Pedangnya menempel pada punggung dan tubuhnya yang jangkung kurus membuat dia nampak amat gesit. Orang tertua inilah yang di sebut Pek-eng atau Garuda Putih!
Orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Ui-eng Suthai atau Garuda Kuning, pakaiannya juga berwarna kuning seluruhnya. Akan tetapi bentuk pakaiannya sama dengan Pek-eng Sianjin, yakni potongan pakaian yang biasa di pakai oleh pendeta atau tokouw. Walau pun pakaiannya seperti pertapa wanita, namun bedak dan pemerah pipi dan bibirnya menonjolkan sifat-sifat aslinya.
Tak dapat disangkal bahwa sewaktu mudanya, Ui-eng Suthai ini tentulah seorang wanita yang amat cantik. Mudah dilihat dari bentuk mata, hidung dan mulutnya. Meski sekarang telah ada gurat-gurat usia tua pada pinggir mata dan mulut, akan tetapi dia masih tetap mempunyai penarik sebagai seorang wanita.
Seperti juga suheng-nya, dia memakai pedang di punggungnya. Hanya bedanya, gagang pedangnya memakai ronce-ronce benang emas warna kuning, ada pun gagang pedang Pek-eng Sianjin memakai ronce-ronce benang sutera putih.
Orang ketiga juga seorang wanita, berpakaian hijau seluruhnya. Usianya beberapa tahun lebih muda dari Ui-eng Suthai, akan tetapi orang ketiga ini nampaknya jauh lebih muda. Namanya Jeng-eng Mo-li (Iblis Wanita Garuda Hijau) dan melihat potongan tubuhnya yang langsing, air mukanya yang ramah berseri, mulutnya yang selalu tersenyum, mudah diduga bahwa dia adalah seorang perempuan yang berwatak gembira. Akan tetapi, kalau orang melihat sepasang matanya yang liar mengerling penuh nafsu, akan dapatlah dilihat iblis yang tersembunyi di dalam tubuh lincah ini.
Dandanannya jauh lebih ‘aksi’ dari pada suci-nya yang oleh karena potongan pakaiannya bukan potongan pakaian pendeta wanita, maka kelihatan lebih menarik dan sangat ketat mencetak tubuhnya yang memang bentuknya bagus sekali. Rambutnya disanggul bagai dara-dara muda dan pedangnya yang beronce hijau tergantung di pinggang kirinya.
Biar pun bentuk air muka Jeng-eng Mo-li tidak sebaik muka Ui-eng Suthai, namun karena Jeng-eng Mo-li lincah, genit dan gembira, maka boleh dibilang dia jauh lebih menarik dari pada suci-nya. Iblis Wanita Garuda Hijau inilah yang tadi mengeluarkan suaranya ketika menantang Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk memasuki tempat tinggal mereka.
Orang keempat bernama Ang-eng Sianjin yang berpakaian bagai pendeta tosu, berwarna merah seluruhnya, usianya sebaya dengan Jeng-eng Mo-li. Demikian pun orang ke lima yang bernama Hek-eng Sianjin bertubuh gemuk dengan perut besar seperti perut arca penjaga dapur, adalah Hek-eng Sianjin bertubuh tinggi besar, tubuh seorang gagah yang bertenaga kuat. Keduanya juga memakai pedang pada punggungnya.
Maka ketahuanlah sekarang bahwa Kun-lun Ngo-eng terdiri dari tiga orang tosu, seorang tokouw serta seorang perempuan genit. Mereka ini kelima-limanya adalah ahli-ahli ilmu pedang dari satu cabang perguruan dan kelimanya merupakan ahli Ilmu Pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti).
“He-he-he, seperti anak wayang saja!” seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai melihat lima orang yang pakaiannya aneh itu. “Apakah kalian hendak main sandiwara Ngo-koai-jio-kaw-kut (Lima Setan Memperebutkan Tulang Anjing)?”
Sudah tentu saja tidak ada cerita yang berjudul seperti itu dan ucapan ini dikeluarkan oleh Singkoan Hai hanya untuk mengejek mereka saja, sebagai pembalasan atas sikap mereka yang sombong. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkenal seorang kakek gagah yang berwatak sombong dan tidak mau kalah, maka ketika dia melihat sikap mereka ini, sejak tadi darahnya telah naik ke kepalanya!
Sedangkan orang yang paling galak di antara Kun-lun Ngo-eng, adalah Ui-eng Suthai, pertapa wanita berpakaian kuning itu. Mendengar ejekan Pak-lo-sian Siangkoan Hai itu, mukanya langsung menjadi merah dan sekali tangan kirinya bergerak, lantas tersebarlah jarum-jarum rahasia tujuh belas batang banyaknya, menyambar ke arah Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya!
Jarum rahasia yang dilepaskan oleh Ui-eng Suthai bukanlah senjata rahasia biasa saja. Jarum-jarum ini disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa) dan amat halus serta kecilnya sehingga apa bila jarum-jarum ini mengenai sasaran, dapat menyusup ke dalam kulit daging dan kemudian masuk ke dalam jalan darah dan terbawa oleh darah!
Dalam penggunaan jarum-jarum ini, orang yang melontarkannya harus memiliki tenaga lweekang yang tinggi dan melihat betapa sekali lempar dapat menyerang lawan dengan tujuh belas batang jarum, dapatlah dinilai betapa hebatnya tenaga lweekang dari Ui-eng Suthai!
Orang biasa saja bila diserang oleh jarum-jarum ini, akan celakalah dia karena nyawanya takkan tertolong lagi. Bahkan ahli-ahli silat yang kurang pandai sukar membebaskan diri dari sambaran jarum-jarum itu, terlebih lagi dalam keadaan sedang berdiri di atas pagar tembok yang lebarnya hanya pas saja dengan kaki!
Namun, yang diserang adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Si Dewa Tua dari Utara, mana dia jeri menghadapi jarum-jarum halus ini? Entah kapan diambilnya, tahu-tahu di kedua tangannya sudah terpegang sepasang kipas hitam putihnya dan kini sambil tersenyum mengejek, Pak-lo-siang Siangkoan Hai mengebutkan kipas putih pada tangan kirinya ke arah jarum-jarum yang menyambarnya ke atas itu. Aneh sekali, ketika terkena sambaran angin kebutan kipas putih, jarum-jarum kecil itu tiba-tiba membalik dan runtuh semua ke bawah.
“Ha-ha-ha, siluman rase! Hendak aku mengukur dengan jarum-jarummu sampai berapa dim tebalnya bedak di mukamu!” Siangkoan Hai tertawa sambil cepat mengebutkan kipas hitam di tangan kanannya.
Hebat sekali akibatnya! Jarum-jarum yang belasan batang banyaknya itu kini terbawa hawa kebutan kipas hitam dan meluncur, seluruhnya menuju ke muka Ui-eng Suthai.....
Komentar
Posting Komentar