PENDEKAR SAKTI : JILID-21


Kwan Cu tidak mau segera turun tangan. Dia akan menanti sampai malam tiba, karena dengan begitu akan lebih mudah baginya membawa orang-orang yang dihukum di dalam goa itu melarikan diri. Ketika dia masih menunggu sambil mengintai di belakang rumpun alang-alang, tiba-tiba dari jauh datang serombongan orang ke tempat itu.

Alangkah kagetnya hati Kwan Cu ketika dia melihat bahwa yang datang dengan langkah cepat itu ternyata adalah seorang hwesio bertubuh gendut bulat berjubah hitam, bermisai panjang, berkulit hitam dan di tangan kiri memegang tasbih sedangkan tangan kanannya memegang tongkat Liong-thouw-tung. Kwan Cu masih mengenal hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, tokoh barat yang sangat lihai dan jahat, hwesio yang sudah merampas kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan bahkan yang dia duga telah mencuri pula kitab Gui-Siucai yang kemudian dia ketemukan berada di dalam sumur kering di atas Kun-lun-san!

Di sebelah hwesio ini berjalan pula dua orang panglima dan mereka ini bukan lain adalah An Lu Shan sendiri dan adiknya, An Lu Kui! Berdebar hati Kwan Cu melihat ketiga orang ini. Baiknya dia berlaku sabar, karena kalau tadi dia turun tangan dan harus berhadapan dengan mereka ini, tentu berbahaya sekali! Kepada An Lu Shan dan An Lu Kui, dia tidak usah merasa jeri, akan tetapi Hek-I Hui-mo merupakan seorang tokoh besar yang tingkat kepandaiannya sudah menandingi tingkat gurunya!

Dia melihat penjaga yang laksana raksasa itu memberi hormat melihat kedatangan tiga orang itu, kemudian An Lu Shan serta kedua orang kawannya memasuki goa dan lenyap ditelan kegelapan. Lalu terdengarlah suara An Lu Shan dari dalam goa, seakan-akan dia berkata-kata di depan banyak orang.

Kwan Cu mengerahkan tenaga pendengarannya. Lapat-lapat dia mendengar An Lu Shan membujuk orang-orang yang ditahan di dalam goa itu untuk menyerah dan menurut serta membantu perjuangannya!

Kwan Cu tidak mengerti akan maksud semua kata-kata itu. Dia hanya tahu bahwa semua orang yang ditahan itu tentulah orang-orang yang tidak mau tunduk dan kini An Lu Shan hendak membujuk mereka, disertai ancaman bahwa kalau mereka tidak mau menurut, pada besok pagi goa itu akan ditutup untuk selamanya!

Kwan Cu tidak berani bergerak dari tempat sembunyinya. Tak lama kemudian, tiga orang tokoh besar itu lalu keluar lagi dari goa dan pergi dengan cepat, setelah memberi pesan kepada penjaga supaya berhati-hati.

Malam tiba dan langit hanya diterangi oleh cahaya bulan bintang. Tidak lama kemudian datang pula serombongan penjaga terdiri dari lima orang yang mengawani raksasa itu. Kwan Cu bersiap untuk bergerak dan melakukan usahanya menolong para tawanan.

Ketika para penjaga itu sedang bercakap-cakap, mendadak terdengar suara suling yang merdu. Mereka terkejut sekali. Bagaimana di dalam hutan ini bisa terdengar suara suling begitu dekat?

Seorang di antara mereka bangkit berdiri dan menghampiri suara itu. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh tak berkutik lagi, terkena totokan jari tangan Kwan Cu yang lihai.

Penjaga-penjaga yang lain setelah lama menanti kawan mereka tidak juga kembali, mulai gelisah dan memanggil-manggil. Penjaga yang tinggi besar itu tertawa lalu berkata dalam bahasa Han yang kaku.

“Barang kali peniup suling itu adalah seorang wanita cantik dan si A-sam tentu sedang bersenang-senang dengan dia!”

Dua orang penjaga lalu pergi menyusul kawannya. Akan tetapi setelah sampai di sebuah tikungan mereka ini juga roboh tak berkutik ketika tangan Kwan Cu menyambar.

Tiga orang penjaga lain menjadi gelisah karena sekarang ada dua orang kawannya lagi yang sudah lama pergi tetapi tidak muncul kembali.

“Ahh, tentu ada apa-apa!” kata seorang di antara mereka. “Lebih baik kita memberi tanda rahasia agar kawan-kawan yang lain datang ke sini. Hatiku tidak enak…”

Akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan tanda, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun bayangan orang. Sinar hijau menyambar-nyambar dalam cahaya bulan, kemudian terdengar teriakan susul menyusul saat tiga orang penjaga termasuk si penjaga raksasa itu roboh tertotok oleh suling di tangan Kwan Cu.

Pemuda ini segera mengambil obor yang tadi terpasang di depan pintu goa dan berlari masuk. Ternyata bahwa goa itu dalamnya sangat luas dan panjang, merupakan sebuah terowongan yang amat gelap. Di sepanjang terowongan itu terpasang anak tangga dan ketika Kwan Cu berjalan kurang lebih sepuluh tombak jauhnya, anak tangga itu berhenti dan di depannya nampak sebuah lubang.

Hmm, agaknya lubang inilah yang disebut sumur maut oleh komandan yang mengancam dirinya siang tadi, pikir Kwan Cu. Dengan obornya dia mencoba untuk melihat ke bawah, akan tetapi sia-sia karena sinar obor tak dapat menerangi sinar obor di bawah.

Terdengar suara-suara orang di bawah dan Kwan Cu cepat bertanya,

“Saudara-saudara yang tertawan di bawah, aku datang untuk menolong!”

Sejenak suara orang-orang di bawah itu berhenti, kemudian terdengar jawaban.

“Bagaimana caranya kau dapat menolong kami?” Inilah suara laki-laki yang mengandung semangat kegagahan.

“Berapa banyak kawanmu?” tanya Kwan Cu.

“Kini yang masih hidup ada empat puluh satu orang, yang sudah menjadi mayat belasan orang dan yang sudah hampir mati dua puluh orang lebih!”

Kwan Cu bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Sejak dari tadi dia pun telah mencium bau yang tidak enak, tidak tahunya di dalam sumur itu telah banyak orang yang sudah mati.

“Berapa dalamnya sumur ini?” tanyanya pula.

“Kurang lebih lima tombak!”

Kwan Cu berpikir sebentar. Kalau hanya lima tombak, dia sanggup melompat dari dalam sumur itu ke atas sambil menggendong tubuh seorang.

“Dasarnya tanah keras atau lembek?”

“Tanah keras atau basah. Bagaimana kau hendak menolong kami?”

“Kalian minggirlah semua, biar ruang di bawah pada bagian tengah kosong, aku hendak melompat turun!” kata Kwan Cu.

Kemudian pemuda ini segera menancapkan obor di pinggir sumur dan setelah mengatur pernapasannya serta menyelipkan suling pada pinggangnya, Kwan Cu lalu melompat ke dalam sumur, tepat di tengah-tengah dan berseru,

“Awas, aku datang!”

Kedua kakinya menginjak tanah padas yang basah dan di dalam gelap, hanya diterangi sedikit sekali oleh cahaya obor yang ada di atas sumur, dia melihat bayangan-bayangan orang yang di dalam gelap nampak hitam menakutkan.

“Taihiap, kau sungguh gagah. Akan tetapi, setelah kau dapat melompat masuk ke tempat ini, bagaimana selanjutnya kau dapat menolong kami?” tanya suara yang tadi berbicara ketika Kwan Cu masih berada di atas.

Orang ini tubuhnya tinggi kurus, tetapi wajahnya tak dapat terlihat jelas. Hanya suaranya mengandung kegagahan dan Kwan Cu dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi korban dari An Lu Shan.

“Aku dapat menggendong kalian seorang demi seorang dan melompat keluar dari sumur ini,” jawabnya sederhana.

Terdengar seruan kagum dan tidak percaya.

“Taihiap, dapatkah kau melompat setinggi ini sambil menggendong seorang pula?” tanya orang yang tinggi itu.

“Akan kucoba!” kata Kwan Cu.

“Dan para penjaga, di manakah mereka?”

“Sudahlah, kalau kita hanya mengobrol saja, aku khawatirkan penjaga-penjaga lain akan datang dan rencana kita gagal,” kata Kwan Cu habis sabarnya.

“Taihiap, biarlah kau keluarkan aku terlebih dahulu. Dengan menggunakan ikat pinggang yang disambung-sambung, dapat aku membantu mereka keluar dari sini.”

Pikiran ini baik juga. Kwan Cu kemudian menyambar tubuh orang yang jangkung itu dan melompat dengan kuat dan cepat sekali. Ia mengerahkan ginkang-nya dan tanpa banyak susah dia dapat mencapai pinggiran sumur.

Ketika orang yang ternyata seorang laki-laki setengah tua itu melihat bahwa orang yang menolongnya hanya seorang pemuda berusia belasan tahun, dia menjadi bengong dan merasa kagum sekali. Akan tetapi dia maklum bahwa sekarang bukan waktunya untuk banyak melakukan peradatan. Dengan cepat dia menyambung-nyambung ikat pinggang yang memang sudah lama dia kumpulkan dengan maksud kalau dia berhasil keluar dari sumur, dia akan menolong kawan-kawannya.

Sekarang pertolongan mengeluarkan para korban dilakukan dengan dua jalan. Kwan Cu masih tetap naik turun untuk mengangkat seorang demi seorang, terutama yang sudah lemah dan tak kuat merayap melalui tambang buatan. Selain itu ada pula yang merayap melalui ikat pinggang yang disambung-sambung dan yang kini dilepaskan ke bawah oleh orang tinggi kurus itu.

Akhirnya, setelah bekerja mati-matian, lima puluh enam orang yang masih kuat dan yang sudah lemah dapat dikeluarkan semua dari sumur itu.

“Mari cepat keluar dari goa ini!” Kwan Cu mengajak tanpa mempedulikan ucapan terima kasih dari semua orang itu.

Mereka ini ternyata adalah orang-orang lelaki yang masih kuat dan muda-muda. Tidak salah lagi, sebagian besar di antara mereka tentulah orang-orang yang tak mau dipaksa menjadi tentara oleh An Lu Shan. Yang paling menarik, semua orang ini adalah semua orang Han asli. Mengapa mereka tidak mau menjadi tentara pemerintah sendiri? Hal ini benar-benar membingungkan hati Kwan Cu, namun dia tidak mengambil pusing.

Semua orang mengikuti Kwan Cu keluar dari goa itu. Yang lemah sekali digendong oleh yang kuat sehingga sebentar saja mereka sudah dapat melarikan diri jauh dari goa, lalu bersembunyi di dalam hutan.

“Nah, sekarang aku akan pergi dan selanjutnya harap kalian mencari jalan sendiri,” kata Kwan Cu.

Orang yang tinggi kurus tadi melangkah maju dan menjura.

“Taihiap benar-benar hebat sekali. Entah bagaimana kami dapat membalas budi Taihiap. Tentang kawan-kawanku ini, biarlah aku yang akan memimpin mereka meloloskan diri ke selatan. Aku tahu jalan yang aman. Akan tetapi, agar kami dapat selalu mengingat-ingat, siapakah Taihiap ini dan murid siapakah?”

“Aku bernama Kwan Cu dan selebihnya tak perlu kuceritakan. Hanya bila kalian hendak berterima kasih, ingatlah bahwa aku adalah murid Ang-bin Sin-kai!”

Sesudah berkata demikian, Kwan Cu segera melompat pergi dan lenyap dari pandangan mata orang-orang itu…..

********************

Jika sekiranya Kwan Cu mendengar bahwa An Lu Shan sedang mempersiapkan barisan besar untuk memberontak terhadap pemerintah di selatan, agaknya pemuda ini tentulah akan berusaha untuk menghalangi pengkhianatan ini. Akan tetapi, pemuda ini tidak mau terlalu lama tinggal di situ setelah dia melihat bahwa Hek-i Hui-mo berada di tempat itu. Dia ingin mempercepat usahanya mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tidak mau bentrok dengan lawan-lawan berat sehingga mengacaukan usahanya.

Pemuda ini melakukan perjalanan cepat sekali dan tiada hentinya. Dia hanya beristirahat untuk makan dan tidur sebentar saja. Dia berusaha sedapat mungkin agar tidak bertemu dengan orang lain, atau lebih tepat lagi supaya jangan sampai ada urusan yang akhirnya menghambat perjalanannya. Dua pekan kemudian, setelah bertanya-tanya kepada orang di mana letak sungai Yalu, tibalah dia di kota Ang-tung, kota yang berada di tepi Sungai Yalu, yakni di bagian sungai itu memuntahkan airnya di Laut Kuning.

Kota Ang-tung sangat besar dan ramai, karena kota ini merupakan pusat perdagangan yang menghubungkan pedalaman Tiongkok dengan para pedagang dari Korea. Banyak sekali perahu nelayan dan pedagang berada di pinggir sungai dan pemandangan di situ amat indahnya.

Akan tetapi ketika Kwan Cu mencari perahu nelayan untuk di sewanya, tak seorang pun sanggup menyewakan perahunya, biar pun dengan bayaran tinggi.

“Laut di selatan tidak aman, kongcu,” kata seorang nelayan tua. “selain sekarang muncul ikan-ikan buas yang besar dan sering kali mengganggu perahu nelayan, juga bajak-bajak laut sekarang banyak sekali. Kami semua adalah tukang-tukang perahu yang hanya bisa membawa barang-barang dagangan dengan berlayar di tepi pantai, atau kalau mencari ikan juga, tidak terlalu jauh dari pantai. Bila kongcu menghendaki menyewa perahu untuk digunakan memasuki laut bebas, kiranya akan bisa kongcu dapatkan di perkampungan nelayan Kim-le-pang.”

“Di mana letaknya perkampungan Kim-le-pang itu, lopek?” tanya Kwan Cu dengan hati girang.

“Tidak jauh, kurang lebih lima belas li di sebelah timur kota ini.”

Tanpa membuang banyak waktu lagi Kwan Cu cepat-cepat menuju ke timur dan mencari perkampungan Kim-le-pang yang diceritakan oleh nelayan tua itu. Benar saja, di pantai laut dekat dusun itu banyak sekali terdapat perahu-perahu kecil dan para nelayan sedang bekerja sibuk. Ada yang menjemur ikan-ikan kering, ada pula yang menjemur jala-jala yang rusak. Ada pula yang menjahit layar atau membetulkan perahu yang bocor. Mereka ini nampak miskin dan sederhana, akan tetapi sebagian besar bertubuh tegap dan kuat, dengan kulit yang kehitaman karena setiap hari terbakar oleh matahari.

Ketika Kwan Cu menghampiri para nelayan ini, mereka tidak mengacuhkan dirinya, sama sekali tidak kelihatan tertarik atau ingin menawarkan perahu mereka. Kwan Cu pun dapat menduga bahwa nelayan-nelayan ini tinggi hati dan angkuh.

Memang mereka ini adalah sekelompok peranakan suku bangsa Han. Mereka berdarah Hui dan Han, dan merupakan suku bangsa yang hidupnya mengandalkan penghasilan dari laut. Mereka adalah pelaut-pelaut tulen yang lebih leluasa hidup di atas perahu dari pada di darat.

Melihat sikap mereka yang acuh tak acuh, Kwan Cu merasa tak enak hati. Akan tetapi oleh karena dia memang amat membutuhkan perahu untuk disewa, dia lalu menghampiri mereka dan menjura sambil bertanya,

“Saudara-saudara, harap maafkan kalau aku mengganggu kalian.”

Seorang kakek bermata sipit yang mulutnya menggigit huncwe kecil panjang, berpaling kepadanya dan tanpa melepaskan huncwe-nya dia berkata,

“Kalau tidak mengganggu, tak perlu meminta maaf. Kalau memang hendak mengganggu, mengapa pakai minta maaf segala?”

Merah muka Kwan Cu mendengar ucapan yang jujur dan kasar ini. Dia dapat menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan orang-orang sederhana, jujur, dan keras hati.

“Lopek, sebetulnya aku bukan bermaksud hendak mengganggu. Akan tetapi siapa tahu kalau kedatanganku ini saja sudah merupakan gangguan bagimu.”

Sekarang kakek bermata sipit itu menghentikan pekerjaannya menambal layar. Sambil mencabut huncwe-nya dia menghadapi Kwan Cu dan memandangnya dari atas terus ke bawah, lalu bertanya,

“Kau mau apakah?”

“Aku mencari perahu yang disewakan.”

“Dengan orangnya?”

“Kalau mungkin, lebih baik lagi.”

“Ke mana?”

Kwan Cu merasa tidak enak dengan percakapan yang singkat-singkat ini, akan tetapi apa boleh buat, orang ini agaknya lebih suka bicara singkat.

“Hendak menyeberangi laut, mencari pulau-pulau di dekat pantai.”

“Tak mungkin! Tidak ada perahu yang disewakan!” jawab kakek itu sambil menancapkan huncwe pada mulutnya lagi.

“Lopek, aku pun tidak hendak menyewa perahumu jika kau tidak menyewakannya. Akan tetapi aku akan menyewa perahu siapa saja yang suka menyewakan kepadaku,” Kwan Cu berkata agak keras karena dia merasa mendongkol sekali.

Pemuda ini kemudian memandang ke sekelilingnya dan berteriak, “He, saudara-saudara. Siapa yang suka menyewakan perahunya kepadaku untuk menyeberangi laut mencari pulau? Aku berani membayar berapa saja yang dimintanya!”

Mendengar pemuda ini berteriak-teriak, para nelayan lalu berlari-lari mendatangi. Mereka sebentar saja mengurung Kwan Cu dan sambil melepaskan huncwe-nya, berkata kakek itu kepada orang banyak,

“Dengarkan orang gila ini! Dia hendak menyewa perahu untuk menyeberangi laut dan mencari pulau. Agaknya dia telah bosan hidup. Ha-ha-ha!” Ramailah suara para nelayan ketawa mengikuti kakek itu.

“Dengar!” Kwan Cu membentak! “Kalau kalian begitu pengecut dan takut, biarlah aku menyewa perahunya saja. Tidak usah aku diantar oleh penakut-penakut macam kalian. Biarlah aku menyewa perahu saja, berikan padaku perahu yang baik dan kuat dan aku akan membayar mahal!”

“Kau akan membayar dengan apa?”

“Dengan emas. Lihat, aku mempunyai sekantong emas!”

Kwan Cu lalu memperlihatkan sekantong emas yang dia dapat ‘ambil’ dari rumah gedung seorang bangsawan kaya raya ketika dia tiba di kota besar. Memang, pemuda ini yang tahu bahwa dia harus memiliki emas untuk menyewa perahu, sudah mencuri sekantong uang emas dari hartawan itu pada malam hari!

“Hah, apa artinya emas? Tidak bisa mengenyangkan perut!” kata kakek itu dan semua nelayan mengangguk menyatakan setuju. “Mengacaukan saja!”

Kwan Cu tertegun dan penasaran. “Habis, apa yang kau kehendaki sebagai pembayaran sewa perahu?”

“Anak muda, apa pun pembayaran yang kau janjikan, di dusun kami tak ada orang yang begitu gila untuk memberikan perahunya padamu, karena bila perahu diberikan padamu, berarti perahu itu akan lenyap tenggelam di laut bersamamu!”

Kwan Cu mendongkol sekali, “Tak kusangka orang-orang yang kelihatan kuat dan gagah seperti kalian ini, hatinya kecil dan penakut. Pula selain penakut, tidak ramah dan tidak mau menolong orang. Hemmm, kecewa sekali aku datang ke tempat ini.”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ, di dalam hatinya mengambil keputusan untuk mencuri saja sebuah perahu dan meninggalkan uang emasnya sebagai pembayaran!

Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar seorang pemuda nelayan berkata kepada kakek itu. “Lo-pek-pek, kenapa tidak kau suruh saja dia menyewa perahu nenek gila?” mendengar ucapan ini, semua orang ketawa.

“Cocok sekali! Memang pantas kalau pemuda yang nekat dan bosan hidup ini berlayar dengan nenek gila atau puteranya yang berotak miring!” Terdengar suara di antara gelak ketawa.

Kwan Cu terheran-heran. Orang-orang ini tadinya sangat pendiam dan berwajah keras, akan tetapi setelah disebutnya nama nenek gila ini semua orang tertawa geli! Ia tertarik sekali dan menahan tindakan kakinya.

“Di manakah adanya si nenek gila itu? Apakah dia benar-benar mempunyai perahu dan sekiranya dia mau menyewakan perahunya, biar pun gila akan kucoba mendatangi.”

Kakek nelayan itu menggelengkan kepalanya. “Anak muda, biar pun urusanmu tidak ada sangkut pautnya dengan kami dan kenekatanmu juga tidak merugikan kami, akan tetapi melihat sikapmu yang halus ini aku merasa kasihan juga. Memang di sini ada seorang nenek gila dan puteranya yang setengah gila pula. Akan tetapi, mereka ini berbahaya sekali dan terasing hidupnya. Apa bila kau coba-coba mendekati mereka, aku khawatir kalau-kalau kau akan mati sebelum menyeberangi laut.”

Hati Kwan Cu semakin tertarik.

“Biarlah, di mana mereka tinggal? Akan kucoba menghubungi mereka.”

Kakek itu mengangkat pundaknya. “Benar kata mendiang ayah dulu bahwa orang-orang selatan memang aneh sekali wataknya. Kau mau tahu? Pergilah ke pantai sebelah barat kampung ini dan di sana kau akan melihat sebuah pondok menyendiri di pantai yang ada hutannya. Di sanalah mereka tinggal.”

“Terima kasih, Lopek. Selamat tinggal!”

Sesudah mengucap demikian, Kwan Cu menggunakan kepandaiannya meloncat pergi. Bengonglah semua nelayan ketika melihat betapa dengan sekali berkelebat saja pemuda itu telah meloncat amat jauhnya dan sebentar pula lenyap dari pandangan mata!

Kwan Cu melanjutkan perjalanannya dengan amat cepat, menuju ke hutan pinggir pantai seperti yang ditunjukkan oleh kakek nelayan itu. Benar saja, dia melihat sebuah pondok kecil yang berbentuk segi empat di pinggir hutan, dekat pantai. Keadaan di situ sangat sunyi karena di sekitar tempat itu tidak ada rumah lain. Juga di pekarangan yang kotor dari rumah itu tidak kelihatan seorang pun manusia. Keadaan benar-benar sunyi sekali.

Kwan Cu menghampiri pondok itu dan keadaan di situ nampak menyeramkan. Tidak ada perabot rumah di situ, hanya ada dua buah batu karang yang besar di dalam rumah. Di antara batu karang ini, terdapat pula batu yang licin dan lebih besar, agaknya itulah kursi dan meja dari tuan rumah.

Kwan Cu dapat melihat semua ini karena rumah itu tidak ada daun pintunya. Demikian pula jendelanya di kanan kiri rumah tidak ada daun jendelanya, tinggal terbuka saja pintu dan jendelanya.

Sampai lama Kwan Cu menanti, akan tetapi sudah jelas bahwa di dalam rumah itu tidak ada orangnya. Ia mencari-cari di depan dan belakang rumah, akan tetapi tidak kelihatan bayangan orang. Bahkan di pantai juga tidak kelihatan ada perahu.

Namun jelas ada tanda-tanda bahwa tempat itu memang ditinggali orang, karena di sana sini terdapat bekas-bekas orang, seperti tapak-tapak kaki, mangkok-mangkok pecah, dan pecahan-pacahan jala, bahkan ada berserakan tulang-tulang ikan di sana-sini. Juga ada tempat api di sudut dalam rumah itu.

Kwan Cu sampai merasa kesal menanti di luar rumah. Kemudian karena melihat di dalam rumah itu ada hiasan-hiasan dinding berupa gambar-gambar dan tulisan-tulisan sajak, dia memberanikan diri memasuki ambang pintu. Alangkah tertariknya ketika dia melihat lukisan-lukisan yang cukup indah, dan sajak-sajak tulisan dari pujangga ternama.

Hanya orang yang mengerti kesusastraan dengan baik saja yang mau menggantungkan lukisan dan sajak-sajak seindah itu, pikirnya. Makin tertarik dia kepada penghuni rumah yang dikatakan gila oleh para nelayan itu. Siapakah mereka ini dan bagaimana mereka nanti menyambutnya?

Akan tetapi, menanti-nanti kedatangan penghuni rumah ini merupakan ujian berat bagi Kwan Cu karena setelah ditunggu-tunggu sampai menjelang senja, penghuninya belum juga kelihatan kembali! Apakah mereka sudah meninggalkan rumah ini dan tidak akan kembali lagi? Ataukah barang kali para nelayan itu mempermainkannya?

Akan tetapi tidak mungkin, karena tanda-tanda bahwa rumah ini masih ditinggali orang, ternyata dari adanya hiasan-hiasan dinding itu. Kalau mereka pergi takkan kembali lagi tentu lukisan-lukisan itu mereka bawa. Maka dia mengambil keputusan untuk menunggu terus, dan kalau perlu dia akan bermalam di situ sampai besok pagi.

Senja telah berganti malam dan bulan sepotong muncul di langit timur. Kwan Cu berdiri di depan jendela dan termenung, mengharapkan kedatangan tuan rumah. Mendadak dia melihat sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.

Di bagian depan jendela itu ada semacam tumbuh-tumbuhan yang tadinya tidak menarik perhatiannya. Tetumbuhan ini batangnya hitam dan daun-daunnya tidak berapa banyak, berbentuk lonjong bundar serta tulang-tulang daunnya kelihatan jelas sekali, kehitaman membayang pada daun yang putih itu. Tidak ada yang aneh pada tetumbuhan ini, juga tidak kelihatan bunga atau buahnya. Akan tetapi yang amat menarik perhatian Kwan Cu, adalah kejadian yang bukan main anehnya.

Tadinya daun-daun itu tidak bergerak sama sekali karena memang tidak ada angin yang dapat meniup daun-daun itu. Angin dari laut tertahan oleh bangunan rumah sehingga daun-daun itu terlindungi dari pada hembusan angin. Akan tetapi, ketika malam tiba dan beberapa ekor jangkerik datang, kemudian jangkerik-jangkerik itu menempel pada daun, mereka lalu jatuh ke bawah dan mati!

Kwan Cu terheran-heran dan membungkuk untuk melihat lebih jelas keadaan jangkerik-jangkerik itu, dan apa yang dilihatnya? Jangkerik-jangkerik itu telah hangus badannya!

Kwan Cu berdiri seperti patung, terkejut dan terheran-heran. Ia berlaku hati-hati dan tidak berani menjamah daun-daun itu, sungguh pun hatinya ingin sekali karena dia ingin tahu mengapa jangkerik-jangkerik itu bisa mati hangus begitu tersentuh pada daun-daun itu.

Oleh karena itu, ketika ada beberapa ekor jangkerik terbang, dia lalu menyambar dengan tangannya dan menangkap tiga ekor jangkerik. Setelah itu, dia melemparkan jangkerik-jangkerik itu satu persatu sehingga menempel pada pohon dan akibatnya... benar-benar hebat! Binatang-binatang kecil itu lalu jatuh dan mati hangus pula!

“Hebat,” pikir Kwan Cu, “daun mukjijat apakah ini?”

Akan tetapi pada saat itu, dari atas tanah merayap tiga ekor ulat berwarna hijau. Ulat-ulat itu besarnya sama dengan ibu jari tangan manusia dan dengan gerakan yang lucu dan menggelikan ulat-ulat itu merayap ke batang pohon kecil yang berdaun mukjijat itu. Kwan Cu menduga bahwa tiga ekor ulat yang berjalan beriring-iringan ini tentu akan mengalami nasib serupa dengan para jengkerik, akan tetapi aneh.

Kali ini ulat-ulat itu merayap dengan amat aman dan selamat, bahkan ketiga-tiganya lalu memilih daun yang segar dan digerogoti dengan rakusnya! Memang betul bahwa begitu ada ulat yang menempel pada sehelai daun, semua daun pohon itu serentak bergoyang-goyang dan bangkit seperti tadi. Tapi ulat-ulat itu tidak jatuh, bahkan seolah merasa enak diayun-ayun oleh daun yang dimakannya dan menambah kelezatan makannya. Sebentar saja masing-masing ulat telah menghabiskan sehelai daun!

“Luar biasa sekali!” pikir Kwan Cu, “ada daun yang aneh, kini muncul ulat-ulat yang hebat pula!”

Dia menjadi sangat gembira dan lupa akan segalanya, lupa bahwa telah amat lama dia menunggu di situ. Perhatiannya tertuju sepenuhnya pada ulat-ulat yang kini sudah mulai menggerogoti lain daun yang segar.

Tiba-tiba saja terdengar suara melengking yang tinggi sekali sehingga menyakitkan anak telinga. Kwan Cu melihat sinar-sinar kecil menyambar ke arah pohon tadi dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa ulat-ulat itu telah tertancap pada daun. Pada tubuh setiap ulat tertancap sebatang jarum putih yang halus sekali dan ada kepalanya merupakan titik bulat. Ulat-ulat itu tertancap dan tertusuk seperti disate, kini tidak dapat melepaskan diri dari daun itu, hanya menggeliat-geliat!

Bukan main heran dan kagetnya hati Kwan Cu. Orang yang dapat melepaskan jarum dari jarak jauh dan mengenai ulat-ulat itu dengan demikian tepatnya, tentulah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya dalam ilmu melepas am-gi (senjata-gelap)! Dan hanya orang yang lihai sekali ilmu silatnya saja yang dapat melakukan hal itu.

Kwan Cu tertarik bukan main dan mengulur tangannya hendak mencabut jarum itu untuk diperiksanya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bunyi melengking mengerikan dan tahu-tahu menyambarlah angin yang dahsyat dari luar jendela.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di depan jendela muncul bayangan seorang nenek berpakaian putih dan berwajah pucat seperti mayat dan yang mengulurkan tangan kanannya yang berbentuk bagaikan cakar burung! Nenek itu sambil mengeluarkan suara lengkingan tinggi mencakar ke arah dada Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut sekali dan cepat melompat mundur dengan muka pucat. Serangan tadi betul-betul berbahaya! Melihat cara nenek ini menyerang, agaknya nenek ini adalah seorang ahli ilmu silat Eng-jiauw-kang (Ilmu silat Cengkeraman Garuda). Cengkeraman itu tidak saja dapat merobek kulit daging bahkan akan dapat menghancurkan batu karang yang keras!

“Suthai, harap maafkan teecu,” kata Kwan Cu cepat-cepat, “teecu telah berlaku lancang berani memasuki rumah Suthai.” Melihat cara nenek itu berpakaian, dia mengira bahwa nenek itu tentulah seorang pertapa, maka dia menyebut suthai.

“Apakah kau mau mencuri daun-daun Liong-cu-hio (Daun mustika naga) ini?” nenek itu bertanya. Sepasang matanya berputar-putar dan mulutnya menyeringai. Suaranya tinggi dan kecil seperti suling ditiup.

“Tidak, tidak, Suthai. Teecu mana berani mencuri daun-daun mukjijat itu? Bahkan untuk menyentuh pun teecu tidak berani, setelah melihat betapa daun-daun itu dapat membuat hangus tubuh binatang-binatang jangkerik.”

Nenek itu tertawa dengan suara menyeramkan. “Hi-hi-hi! Kau telah melihatnya, bukan? Hi-hi-hi, kau mengetahui kelihaiannya? Kalau kau menyentuh daunnya, tanganmu akan menjadi hangus, hi-hi-hi!” Kemudian nenek itu memandang kepada ulat-ulat yang masih tertancap oleh jarum-jarumnya. “Ha, ulat-ulat yang menjemukan. Hanya binatang ini saja yang sanggup makan Liong-cu-hio dengan enaknya. Akan kubasmi semua ulat ini!”

Dia mencabuti jarum-jarumnya dan melepaskan ulat-ulat itu dari jarum-jarum, kemudian memasukkan tiga ekor ular itu ke dalam mulutnya yang ompong! Dengan enaknya dia mengunyah tubuh ulat-ulat yang kehijauan itu dan ada air yang kehijauan mengalir pada pinggir bibirnya terus ke dagu.

Kwan Cu bergidik menyaksikan kejadian yang amat mengerikan hati ini. Tak terasa pula dia menelan ludah melihat betapa nenek itu makan ulat hidup demikian enaknya, bukan sekali-kali karena dia ingin dan timbul seleranya. Dia ingin muntah dan terpaksa menelan ludah untuk menahan keinginannya itu.

“Kau ingin makan ulat ini?” tanya nenek itu kepada Kwan Cu.

Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak, tidak, terima kasih banyak, Suthai. Tadi teecu sudah makan di dusun Kim-le-pang.”

Nenek itu kembali memandangnya dengan mata yang aneh.

“Kau nelayan?”

“Bukan, Suthai. Teecu adalah seorang perantau yang sengaja datang ke tempat ini untuk berusaha menyewa sebuah perahu.”

“Mau menyewa perahu mengapa datang ke sini? Apakah kau belum mendengar bahwa siapa yang memasuki rumahku ini harus mati?”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang sangat gesit, nenek itu melompat dari jendela, memasuki rumah itu dan langsung menyerang Kwan Cu! Serangannya ini tak salah lagi adalah Eng-jiauw-kang seperti yang pernah Kwan Cu pelajari dari suhu-nya. Maka dengan cepat dia melompat mundur sambil mengelak.

“Suthai, maafkan teecu. Teecu datang tidak dengan maksud buruk. Harap suka maafkan kelancangan teecu.”

“Hi-hi-hi, kau dapat mengelak dari seranganku? Hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan!” Setelah berkata demikian, nenek itu terus mendesak dengan serangan-serangannya yang lihai.

Terpaksa Kwan Cu melayaninya dan pemuda ini pun lantas mengeluarkan ilmu silatnya untuk mengimbangi serangan nenek itu. Kalau dia hanya mempertahankan diri, banyak bahayanya dia akan terluka. Kedua tangan nenek itu sungguh berbahaya sekali, kukunya panjang dan tangannya amat kuatnya, tanda bahwa tenaga lweekang nenek itu sudah tinggi.

“Hi-hi-hi, kau mampu melawanku, benar-benar mengagumkan! Ehh, ilmu silatmu hampir sama dengan Pai-bun Tui-pek-to!”

Kwan Cu terkejut. Memang dalam menghadapi serangan nenek itu, dia tadi bermain ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to yang mempunyai daya tahan kuat sekali. Bagaimana nenek aneh ini dapat mengenal ilmu silatnya?

“Memang teecu mainkan Pai-bun Tui-pek-to, Suthai. Teecu belajar dari Ang-bin Sin-kai guruku!”

Ucapan ini sengaja dia keluarkan dengan harapan kalau-kalau nenek itu telah mengenal suhu-nya dan dapat menghentikan serangannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu malah menyerang makin hebat lagi.

“Bagus, hendak kulihat sampai di mana kepandaian murid Ang-bin Sin-kai si pengemis jembel!”

Menghadapi serangan Eng-jiauw-kang yang dilakukan dengan gerakan lincah dan cepat sekali, Kwan Cu menjadi kewalahan dan terpaksa dia mengeluarkan sulingnya. Kini dia mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat dengan sulingnya, juga dia membalas dengan serangan yang hebat sekali.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar dari pintu yang tidak berdaun itu. Pemuda ini membawa sebatang dayung yang panjang dan lebar.

“Ibu, siapakah sahabat yang gagah perkasa ini?” tanya pemuda itu sambil memukulkan dayungnya pada tanah sehingga tergetarlah rumah itu.

Kwan Cu terkejut sekali. Pemuda ini memiliki tenaga gwakang yang demikian besarnya, kalau dia ikut maju, dia akan menghadapi dua orang lawan yang sama sekali tak boleh dipandang ringan!

Akan tetapi, tiba-tiba nenek yang aneh itu tertawa berkikikan dan justru menghentikan serangannya.

“Kong Hoat, inilah pemuda yang ada harapan,” katanya kepada pemuda yang ternyata adalah puteranya dan bernama Kong Hoat itu. “Dia inilah murid Ang-bin Sin-kai, jago tua yang amat kukagumi.”

Kwan Cu cepat menoleh. Dia melihat seorang pemuda tinggi besar yang berwajah gagah sekali. Usianya hanya lebih dua tahun dari padanya, akan tetapi mempunyai potongan tubuh yang lebih besar darinya. Dia kagum sekali melihat pemuda ini yang tertawa-tawa seperti orang yang selalu gembira.

Dengan amat hormat, Kwan Cu menjura kepada pemuda itu dan kepada nenek yang tadi menyerangnya.

“Aku yang bodoh bernama Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai. Harap dimaafkan apa bila tanpa mendapat ijin, aku berani memasuki rumah ini. Kedatanganku sebetulnya atas petunjuk para nelayan di dusun Kim-le-pang, karena aku mencari sewaan sebuah perahu. Besar harapanku akan mendapat pertolongan dari Ji-wi yang mulia.”

“Kau mencari perahu, sahabat? Untuk dipakai ke manakah?” Kong Hoat bertanya sambil memandang tajam. Suara pemuda ini besar dan parau dan pandangan matanya sangat jujur.

Kwan Cu merasa tidak enak kalau berbohong, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat menceritakan rahasia dan cita-citanya.

“Sebenarnya aku bermaksud untuk menyeberangi laut dan akan melakukan perantauan ke pulau-pulau yang berada di tengah laut. Aku mendengar dari guruku bahwa beberapa pulau itu mengandung rahasia-rahasia yang menarik hati, dan sebagai seorang pemuda, aku amat tertarik dan ingin sekali menyaksikan dengan mata sendiri.”

Kong Hoat melemparkan dayungnya ke sudut kemudian pergi duduk di atas sebuah batu karang yang berada di dalam rumah.

“Aneh, aneh sekali! Apakah kau tahu bahwa pulau-pulau itu didiami oleh makluk-makhluk aneh yang amat berbahaya? Jangankan kau seorang diri yang masih muda, ibuku sendiri pun tidak berani pergi ke pulau-pulau itu.”

“Siapa yang pergi ke pulau-pulau itu, sama halnya dengan mencari kematiannya sendiri. Hi-hi-hi, murid Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lucu dan aneh, bahkan lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai sendiri. Kau mati sih tidak apa, akan tetapi sayang sekali karena kau masih muda dan juga tampan serta gagah. Batalkan saja kehendakmu itu.”

Mendengar ucapan ini, Kwan Cu maklum bahwa nenek itu sama sekali tidak gila, apa lagi puteranya, walau pun pakaian puteranya itu tidak karuan dan amat bersahaja, yakni celana pendek sebatas lutut dan baju yang hanya sebatas siku saja lengannya.

“Terima kasih atas nasehatmu, Suthai dan kau juga, saudara. Tapi, justru keanehan dan bahaya itulah yang menarik hatiku untuk mengunjunginya. Apa bila sekiranya Ji-wi tidak berani mengantarku, aku akan meminjam perahu Ji-wi saja atau menyewanya, dan aku akan mendayungnya seorang diri ke tempat itu.”

Kong Hoat bangkit berdiri dan membanting-banting kedua kakinya di atas tanah. Kembali terasa tanah bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga bantingan kaki pemuda tinggi besar ini.

“Itulah, itulah! Sudah berkali-kali aku rindu akan perantauan yang banyak bahayanya, akan tetapi ibu...”

“Kong Hoat! Siapa yang melarang kau pergi? Pergilah kalau kau memang sudah tega meninggalkan ibumu mati kesunyian.”

Kong Hoat tertawa dan aneh sekali! Biar pun mulutnya tertawa, namun kedua matanya mengeluarkan air mata bercucuran! Kwan Cu berdiri bengong melihat keanehan ini. Jika tidak gila, mengapa dia tertawa sambil mengucurkan air mata?

“Ibu, kau lucu sekali. Kau melepaskan anakmu, akan tetapi mengikat dua kakiku dengan omongan itu. Aku mana bisa meninggalkan ibu? Biar mati aku tidak mau meninggalkan ibu tercinta!”

Dan sekarang nenek itulah yang menangis terisak-isak, lalu menghampiri puteranya yang segera di peluknya.

“Kong Hoat, Kong Hoat, kau puteraku yang paling baik…”

Terharu hati Kwan Cu menyaksikan cinta kasih seorang ibu dan bakti seorang putera terhadap ibunya.

“Saudara Kwan Cu, apa bila kau nekat hendak melakukan perjalanan berbahaya itu, kau pakailah perahuku.”

“Aku akan meyewanya, di sini aku membawa sekantong uang emas untuk menyewa perahu itu…”

Tiba-tiba saja nenek itu melompat dan menyerangnya dengan cengkeraman tangannya. Kwan Cu cepat mengelak dan Kong Hoat berseru,

“Ibu jangan…!”

Ibunya menarik kembali seranganya dan pemuda tinggi besar itu berkata kepada Kwan Cu, “Saudara, kau menghina kami! Baiknya aku ingat bahwa kau bermaksud baik, kalau tidak tentu aku akan membantu ibuku membunuhmu karena kau sudah menghina kami orang-orang miskin.”

“Maaf, maaf, aku tidak bermaksud menghina...” kata Kwan Cu kaget sekali.

“Kami tahu, dan karena itu sudahlah, jangan kita bicara lagi tentang sewa perahu. Aku memberikan perahu kami padamu dan habis perkara! Besok pagi-pagi sekali, kau boleh berangkat dan malam ini biarlah kita bercakap-cakap sambil menunggu datangnya fajar. Berangkat pada waktu fajar menyingsing baik sekali, angin tenang dan tidak ada ombak. Aku pun baru saja kembali dari mencari ikan dan mari kita makan ikan yang kudapat dari laut.”

Kwan Cu tidak berani banyak omong lagi, khawatir kalau-kalau kesalahan bicara lagi. Kong Hoat lalu berlari keluar dan tak lama kemudian dia kembali membawa seekor ikan yang sebesar paha.

Ikan ini aneh sekali, badannya seperti ikan biasa yang bersisik besar-besar warna merah, akan tetapi kepalanya bulat dan kedua matanya berhimpitan di atas sedangkan mulutnya berada di bawah. Kepala ikan ini seperti kepala kucing, akan tetapi warnanya aneh dan mengingatkan orang akan muka atau kepala seekor binatang suci Kilin.

“Ha, Kong Hoat, anak baik. Jadi kau berhasil menangkapnya?”

“Sesudah berjuang mati-matian dari pagi sampai malam, ibu,” jawab Kong Hoat sambil tertawa bergelak dan kembali dari kedua matanya bercucuran air mata!

Kwan Cu menjadi bengong. ”Ehh, saudara Kong Hoat, maafkan aku. Apakah kau mau artikan bahwa sudah sehari semalam kau berlayar mencari ikan hanya untuk menangkap seekor ikan aneh ini?”

Kong Hoat dan ibunya saling pandang, kemudian tertawa bergelak-gelak dan kelihatan geli sekali.

“Saudara Kwan Cu, nasibmu memang baik maka datang-datang kau mendapat suguhan ikan ini. Ketahuilah, di seluruh laut kuning barangkali ikan seperti ini hanya ada beberapa puluh ekor saja. Dia disebutnya ikan Kilin dan selain sukar didapatkan, juga amat sukar ditangkap. Hampir aku mati kehabisan napas dalam air ketika aku berusaha menangkap ikan ini, padahal dia telah terkena tusukan tombakku.”

“Mengapa kau mati-matian menangkapnya? Apakah karena dagingnya enak sekali?”

Kembali ibu dan anak itu tertawa bergelak, “Ahh, orang kota hanya memikirkan tentang kelezatan makanan, sama sekali tidak memikirkan khasiatnya.”

Mendengar ini merahlah wajah Kwan Cu

“Maafkan aku yang bodoh ini,” kata Kwan Cu. “Sesungguhnya bukan karena aku terlalu temaha akan makanan enak, hanya karena aku sama sekali belum mengerti ikan. Harap Ji-wi (kalian berdua) sudi memberi penjelasan tentang ikan Kilin ini dan segala keanehan ikan ini.”

Setelah tertawa geli tanpa bermaksud menghina tamunya, pemuda tinggi besar itu lalu berkata,

“Saudara Kwan Cu, ketahuilah bahwa ikan Kilin ini terdapat di sekitar Laut Po-hai terus ke timur. Akan tetapi, jarang sekali ikan Kilin mau berenang hingga ke pinggir pantai dan merupakan hal yang sangat langka bagi seorang nelayan untuk mendapatkan ikan ini. Oleh karena itu ketika beberapa lama yang lalu aku melihat seekor ikan Kilin berenang di pinggir perahu, aku terkejut dan tidak pernah dapat tidur nyenyak sebelum aku berhasil menangkapnya.”

“Kalau begitu memang ikan yang aneh dan sukar sekali didapat,” kata Kwan Cu sambil tersenyum melihat sikap pemuda nelayan itu yang bercerita dengan gaya lucu. ”Akan tetapi, apakah khasiat dari daging ikan ini?”

Pemuda yang bernama Kong Hoat itu menengok kepada ibunya dan bertanya, ”Bolehkah aku menceritakannya ibu?”

Nenek yang berwajah mengerikan itu mengangguk. “Tentu saja boleh. Ia adalah seorang pemuda gagah yang berbakat baik dan sebagai murid Ang-bin sin-kai, dia bahkan berhak merasakan daging ikan Kilin. Kau berceritalah sementara aku mengurus ikan ini.”

Setelah berkata demikian, nenek itu lalu mengangkat ikan tadi, dibawanya ke dapur. Ada pun Kong Hoat tertawa-tawa, lalu berkata kepada Kwan Cu.

“Saudara yang baik, maafkan kalau tadi aku ragu-ragu karena aku harus minta ijin dari ibuku lebih dulu sebelum membuka rahasia tentang ikan itu.”

“Tidak apa, saudara Kong Hoat. Aku bahkan kagum sekali melihat sikapmu pada ibumu, sebagai sikap seorang hauw-ji(anak berbakti) tulen!”

“Mendiang susiok (paman guru),” kata Kong Hoat tanpa memperdulikan pujian Kwan Cu, “merupakan seorang ahli dalam ilmu berenang dan menyelam. Dan dari susiok inilah aku mendengar bahwa untuk bisa menjadi ahli dalam air, maka obat yang paling baik adalah ikan Kilin. Dagingnya dapat menguatkan tubuh dan kalau lemaknya dimakan, membuat kulit kita tahan akan tekanan air dingin dan gigitan air garam. Tulang-tulang siripnya jika dikeringkan kemudian dijadikan bubuk, dapat menjadi obat yang amat mujarab bagi kita sehingga tulang-tulang kaki dan tangan kita menjadi amat kuat untuk memukul air dalam berenang. Lemaknya dapat dijadikan minyak dan apa bila kita menggunakan minyak ini untuk membasahi kulit, maka tubuh kita akan menjadi licin sehingga memudahkan kita bergerak di dalam air. Yang hebat adalah paru-parunya, karena paru-paru ini merupakan obat sehingga kita akan kuat bertahan lama-lama di dalam air tanpa kehabisan napas.”

Akan tetapi Kwan Cu tidak tertarik oleh semua hal ini. Memang dia tidak tertarik akan kepandaian di dalam air. Sebagai seorang yang biasa merantau di darat, tentu saja dia tidak begitu tertarik seperti Kong Hoat yang memang semenjak kecil selalu bermain-main di dekat air.

Betapa pun juga, ketika daging ikan Kilin disuguhkan, Kwan Cu makan beberapa potong dan merasa betapa daging itu mendatangkan hawa hangat di dalam perut dan dadanya. Tahulah dia bahwa memang daging ikan ini mengandung khasiat yang sangat baik bagi peredaran darahnya, sehingga dia menjadi girang dan menghaturkan terima kasihnya.

Kini mereka bercakap-cakap bertiga. Dalam percakapan ini Kwan Cu tahu bahwa wanita tua itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang sangat terkenal dan yang namanya pernah disebut-sebut oleh suhu-nya, yakni yang disebut-sebut Liok-te Mo-li (Iblis Wanita Bumi). Ada pun Kong Hoat adalah putera tunggalnya yang dididik ilmu silat olehnya semenjak kecil sehingga pemuda itu pun memiliki kepandaian yang tinggi.

“Saudara Kwan Cu, sungguh amat mengherankan hati kami. Engkau yang masih begini muda mempunyai keinginan mengarungi samudra, berkelana dengan perahu di daerah yang terkenal amat berbahaya ini, sebenarnya kau mencari apakah?” tanya Kong Hoat.

Kwan Cu tersenyum.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)