PENDEKAR SAKTI : JILID-27
“Mengapa kalian lakukan ini? Alangkah kejamnya!” seru Kwan Cu tak senang.
Malika menghadapinya dengan sikap menantang. Gadis ini memang berwatak keras dan pemberani. Ia menentang pandang mata Kwan Cu tanpa merasa takut sedikit pun juga, lalu berkata,
“Kau bilang kami kejam? Kalau mengingat betapa enam orang iblis ini hendak membuat kami kaum perempuan menjadi barang permainan yang hina dina, hukuman penggal kepala masih terlampau murah untuk mereka!”
Kwan Cu menghela napas, lalu berkata,
“Sudahlah, Malika, dan kau juga Malita. Yang sudah lalu biarlah lenyap. Memang mereka ini jahat sekali dan patut dihukum mati, akan tetapi apakah perbuatan ini merupakan tanda bahwa kalian kaum wanita kini hendak berkuasa lagi dan melupakan kerja sama yang baik?”
“Tidak, sama sekali kami takkan mengulangi kesalahan besar yang dilakukan oleh nenek moyang kami. Kami sudah berjanji kepadamu dan janji kami selalu kami pegang teguh. Kami akan melakukan pemilihan raja baru secara adil, kaum laki-laki pun berhak memilih. Dan kami tak akan memandang-mandang lagi apakah ia laki-laki atau wanita, akan tetapi siapa saja yang bersalah akan dihukum dan yang tertindas akan dibela, baik dia laki-laki mau pun wanita! Dan semua ini, kebahagiaan yang akan kami hadapi ini, semua berkat pertolonganmu yang amat berharga, saudara Kwan Cu yang budiman!”
“Semua berkat pertolonganmu,” semua wanita berkata pula dan tiba-tiba, dipimpin oleh Malita dan Malika, semua orang wanita yang berada di sana menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu sambil menangis riuh-rendah!
Kwan Cu tertegun, kebingungan, kemudian dia menghela napas dan berkata di dalam hatinya, “Perempuan, perempuan... perempuan namamu dan di mana pun sama saja, paling mudah menangis!” berpikir sampai di sini, timbul pikiran lain yang membantahnya.
“Ahh, Kong Hoat putera Liok-te Mo-li itu terang seorang laki-laki, akan tetapi dia pun suka menangis.”
Pikiran kedua mengejek, “Ahh, Kong Hoat memang dasar cengeng!”
Demikianlah, menghadapi tangis karena berterima kasih dan gembira dari banyak wanita kecil-kecil ini, Kwan Cu malahan melamun, teringat yang bukan-bukan. Akan tetapi, dia sadar kembali dan berkata.
“Sudahlah, untuk apa menangis? Kalian membikin aku merasa sedih dan jangan-jangan aku akan ikut menangis pula. Malita dan Malika, saat ini boleh dibilang kalian merupakan pemimpin bangsamu, jangan melakukan upacara yang berlebih-lebihan ini. Aku bertindak sebagai seorang manusia yang memang seharusnya sebisa mungkin menolong manusia lain. Aku hanya ada satu permintaan, yakni kalau sekiranya kalian tidak keberatan.”
Malita menyusut air matanya dan bangkit berdiri sambil tersenyum manis sekali.
“Apakah permintaanmu itu, saudaraku yang baik? Apa saja yang menjadi permintaanmu, pasti akan kami turuti. Kau ingin menjadi pemimpin kami? Kami setuju sepenuhnya! Kau ingin memilih seorang jodoh di antara kami? Kiranya takkan ada seorang pun dara akan menolakmu, siapa pun dia adanya!” sesudah mengucapkan kata-kata ini, sadarlah Malita bahwa dia sudah berbicara terlalu banyak, maka merahlah mukanya.
“Jangan main-main, Malita. Aku bukan Kahano! Tiada lain hanya ini. Perbolehkanlah aku tinggal di pulau ini seorang diri, entah berapa tahun sampai aku merasa bosan dan pergi meninggalkan pulau ini. Selama aku berada di sini, harap kalian jangan menggangguku, karena aku bermaksud hendak bersemedhi dan menjauhkan diri dari keramaian dunia di tempat ini. Tempat ini amat menarik hatiku.”
Malita dan kawan-kawannya saling pandang dengan heran.
“Kau memang orang aneh, seorang sakti yang berbudi tinggi. Hal itu bukan merupakan permintaan karena tentu tak seorang pun merasa keberatan kalau kau tinggal di pulau ini.”
“Nah, jika begitu selamat berpisah. Kalian pulanglah, kemudian aturlah pemerintahanmu sebaik-baiknya dan tinggalkan aku di sini. Jangan ingat lagi kepadaku, karena aku pun tak akan mengganggu kalian di sana.”
Mendengar keputusan ini, terkejutlah Malita.
“Mengapa begitu keras, saudara Kwan Cu? Setidaknya, perkenankanlah kami kadang kala mengunjungimu di sini untuk melihat apakah kau tidak kekurangan sesuatu di sini,” kata Malita.
“Dan sudah tentu kami yang akan menjaga makananmu setiap harinya,” kata Malika.
Akan tetapi Kwan Cu menggeleng kepala dan menggoyang-goyang tangannya.
“Jangan! Kulihat pulau ini mengandung pohon-pohon yang berbuah dan tadi kulihat ada beberapa ekor binatang hutan yang kiranya akan dapat menjadi bahan makanan bagiku. Aku ingin seorang diri saja di sini, tanpa mendapatkan gangguan dari siapa pun juga. Kecuali...” sambungnya ketika meliha sinar mata pada wajah mereka, “kecuali kalau ada sesuatu yang hebat menimpa kalian, tentu saja aku selalu bersiap sedia untuk menolong kalian. Nah, sekarang pergilah, mayat-mayat ini tinggalkan saja, biar aku nanti yang akan menguburnya di tempat ini.”
Terpaksa Malita memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk pergi dari sana dengan wajah kecewa sekali. Akan tetapi, belum berapa lama dia berjalan, dia segera membawa kawan-kawannya datang lagi dan berlutut.
“Ada apa lagi?” tanya Kwan Cu tak senang.
“Saudara Kwan Cu, sungguh pun kami tak berani melanggar laranganmu dan tidak akan mengganggumu di tempat ini, setidaknya berjanjilah bahwa sewaktu-waktu engkau akan datang mengunjungi kami supaya kami dapat melihat bahwa kau masih berada di dekat kami.”
Kwan Cu tersenyum. Ia tidak boleh terlalu keras agar mereka ini jangan menduga yang bukan-bukan sehingga malah akan pecah rahasia sebenarnya dari keinginannya berada seorang diri di tempat itu.
“Baiklah, kelak bila mana kau dan adikmu menikah, beritahulah aku dan aku akan datang menyaksikan pernikahan itu!”
Bertitik air mata di pipi Malita, bahkan Malika juga menangis sesenggukan akibat terharu. Mereka kemudian pergi dari tempat itu menuju ke perahu-perahu kecil milik Kahano dan kawan-kawannya, sambil menoleh beberapa kali ke arah raksasa muda yang masih terus berdiri bertolak pinggang melihat sampai mereka pergi jauh dan tidak kelihatan lagi.
********************
Setelah menggali lubang dan mengubur jenazah Kahano beserta lima orang kawannya, Kwan Cu segera menghampiri goa yang dijadikan tempat sembunyi para pemberontak tadi. Ia memeriksa dinding goa dengan sepasang obor yang dibuatnya dari pada rumput kering dan alangkah gembiranya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dinding-dinding itu, sebagaimana telah diduganya semula, terhias oleh gambar-gambar manusia sedang bersilat! Gambar-gambar ini ukirannya bagus dan jelas sekali sehingga melihat gambar-gambar ini saja orang sudah dapat mempelajari ilmu silat yang terlukis di situ!
“Hemm, kiranya dari sini mereka itu mempelajari ilmu silat mereka yang aneh!” pikirnya.
Gambar-gambar itu benar-benar hebat luar biasa karena amat banyak dan mengandung gerakan dari hampir semua ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari dan yang pernah dia dengar dari suhu-nya, Ang-bin Sin-kai. Manusia gaib siapakah yang dulu telah membuat lukisan-lukisan pelajaran ilmu silat seperti ini?
Sampai seharian penuh Kwan Cu memeriksa gambar-gambar itu dan masih juga belum habis. Ternyata bahwa seluruh terowongan yang menembus ke goa-goa lain juga terhias gambar-gambar seperti itu, namun anehnya, semua lukisan itu menggambarkan orang bersilat tangan kosong! Tidak ada sebuah pun gambar orang bersilat dengan senjata di tangan.
Ada yang bersilat seorang diri, ada yang bertempur, ada pula yang dikeroyok dua, tiga, sampai dikeroyok puluhan orang! Agaknya lukisan itu dititik beratkan kepada tokoh yang dikeroyok, karena kedudukan tokoh ini jelas sekali, setiap gerak kaki atau tangan teratur baik.
Pada saat menghadapi sebaris lukisan yang menggambarkan bagaimana cara seorang lelaki dikeroyok oleh puluhan orang, Kwan Cu lantas menjadi terkejut sekali. Bukan main hebatnya kedudukan orang yang dikeroyok itu, malah jauh lebih kuat dari pada ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to yang dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai.
Saking girangnya, Kwan Cu sampai lupa makan lupa tidur, setiap hari dia melihat dan mempelajari gambar-gambar yang terlukis di dinding goa dan terowongan itu. Kemudian teringatlah dia akan niat sesungguhnya dari kedatangannya ke pulau ini, yakni mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Hatinya berdebar keras. Betapa pun jelas ukiran-ukiran ini yang dengan sendirinya telah merupakan pelajaran yang hebat sekali, namun tanpa buku petunjuk atau guru yang membimbing, ilmu-ilmu silat tinggi itu bisa dipelajari dengan cara yang keliru!
“Bukan tidak mungkin bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang merupakan kouw-koat (teori ilmu silat) dari semua lukisan ini,” pikirnya.
Sesudah berpikir demikian, Kwan Cu merangkak keluar dari goa kecil itu dan baru dia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua karena dia mempelajari dan melihat semua lukisan di dinding itu sambil merangkak! Ternyata bahwa sudah dua hari dua malam dia berada di goa itu tanpa berhenti untuk makan atau tidur. Kini dia merasa perutnya lapar sekali. Maka pergilah dia ke dalam hutan yang penuh dengan pohon-pohon itu.
Keadaan di situ memang aneh. Semua pohon mempunyai daun yang keputih-putihan, sungguh pun daun-daun itu berbeda corak dan ukurannya. Dan di antara pohon-pohon itu, ada pula yang mengandung buah-buahan yang biar pun ada yang berwarna merah, namun merahnya juga pucat seperti dikapur.
Kwan Cu berlaku hati-hati sekali. Biar pun perutnya amat lapar dan mulutnya amat haus, tetapi dia tidak berlaku sembrono. Buah-buahan itu sangat asing baginya dan siapa tahu kalau-kalau di tempat aneh ini terdapat buah-buah yang mengandung bisa.
Sebelum makan buah itu dia menciumnya terlebih dulu, kemudian menancapkan suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong ke dalam buah itu. Gurunya pernah memberi tahu bahwa suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata, juga dapat digunakan untuk menguji apakah dalam sesuatu benda terdapat bisa yang berbahaya. Kalau suling yang kehijauan itu berubah hitam seperti hangus, itulah tanda bahwa buah itu mengandung racun.
Sesudah dilihatnya bahwa suling itu tidak hangus, barulah dia berani mencoba makan. Ternyata buah itu wangi dan manis, sehingga hatinya girang sekali. Juga di situ terdapat banyak binatang hutan yang rupanya seperti kijang, maka dia tidak khawatir lagi akan makanan untuk perutnya.
Betapa pun tertarik hatinya untuk mempelajari semua lukisan orang bersilat di dalam goa yang kecil gelap itu, namun Kwan Cu tidak mau melihatnya lagi. Hatinya tetap bahwa dia harus terlebih dahulu mencari kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebab itulah tujuan utamanya datang mencari pulau ini.
Berhari-hari dia lalu mencari. Semua goa, dari yang besar sampai yang paling kecil dia masuki, tapi dia tidak mendapatkan tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bahkan sebulan telah berlalu dia belum juga bisa menemukan kitab itu.
Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang keras hati dan tidak mudah patah semangat. Dia yakin bahwa kitab itu tentu belum ditemukan oleh Kahano, karena kalau Kahano sudah berhasil mempelajari ilmu silat dari kitab itu, tak mungkin dia akan dapat mengalahkannya.
Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiu-bwe Coa-li dan masih banyak tokoh-tokoh sakti dari dunia kang-ouw, semua ingin memiliki kitab itu. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kitab itu tentulah mengandung pelajaran ilmu silat yang bukan main tingginya. Kemajuan ilmu silat Kahano dan kawan-kawannya yang diherankan oleh Malita, tentulah karena Kahano serta kawan-kawannya mempelajari sebagian dari gambar-gambar lukisan pada dinding itu.
Beberapa pekan telah berlalu pula dan tahu-tahu sudah tiga bulan Kwan Cu tinggal di pulau kosong itu. Dan belum juga dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicari-carinya, biar pun sudah beberapa kali dia memasuki goa-goa yang banyak itu dan memeriksa di balik batu-batu karang yang besar.
Selama seratus hari ini Kwan Cu belum lagi mempelajari ilmu silat yang dilukis di dinding, karena kemauannya amat keras hendak menemukan kitab rahasia itu terlebih dahulu. Ia percaya penuh akan kebenaran kitab sejarah peninggalan Gui Tin dan meski pun sudah seratus hari mencari dengan sia-sia, kepercayaannya ini sama sekali tidak berkurang, bahkan dia menjadi semakin penasaran dan memaki-maki diri sendiri sebagai seorang yang bodoh dan sial.
Pada suatu hari, ketika dia mencari seekor kijang untuk dipanggang dagingnya, tiba-tiba dia melihat bayangan putih berkelebat cepat di atas tanah. Hampir saja dia tidak dapat melihat apakah yang berkelebat itu, karena gerakan bayangan ini cepat luar biasa. Akan tetapi, ketika dia mengejar ke arah itu, dia melihat seekor binatang yang rupanya seperti kelinci berbulu putih, berlari cepat sekali.
Ia menjadi tertarik. Belum pernah dia melihat binatang seindah itu bulunya. Putih bersih bagaikan kapas dan keempat kakinya yang pendek-pendek itu sangat cepat larinya. Dia mengejar sambil mengerahkan ginkang-nya, dan meski pun dia tidak atau belum dapat menangkap binatang putih itu akan tetapi binatang itu pun tidak mampu memperbesar jaraknya.
Binatang itu nampak kebingungan sekali dan segera berlari ke arah bukit batu karang yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih yang tidak berbuah. Kwan Cu mengejar terus. Ketika binatang itu tiba di bawah sebatang pohon di puncak bukit, pohon yang terbesar, tiba-tiba saja binatang itu lenyap!
“Ehh, ibliskah dia? Bagaimana dapat menghilang begitu saja sedangkan di sini, kecuali pohon-pohon besar ini, tidak ada tetumbuhan lainnya?” pikir Kwan Cu penasaran.
Pemuda ini mencari-cari dengan pandangan matanya, dan akhirnya dia melihat sebuah lubang di dekat pohon itu, lubang yang berada di tengah antara dua batang akar yang menonjol keluar dari permukaan tanah.
“Hemm, jadi dia bersembunyi di sini,” pikir Kwan Cu sambil tersenyum gembira.
Ia mempergunakan pedang kecil yang dahulu menjadi senjata Kahano dan disimpannya karena dia memang membutuhkan senjata itu untuk memotong sesuatu yang diperlukan. Dengan pedang yang kecil seperti pisau ini, dia menggali lubang itu dan merenggut putus dua akar yang menjepit lubang. Semakin dalam dia menggali, lubang itu semakin besar. Kegembiraan Kwan Cu membesar pula. Ini merupakan pengalaman baru baginya. Bagai mana seekor binatang yang begitu kecil bisa membuat sarang begini besar?
Kurang lebih tiga kaki dalamnya dia menggali dan tiba-tiba, ketika dia mengayun pedang itu dan ditancapkan pada tanah untuk memperdalam galian, terdengar suara keras dan pedang itu patah! Kwan Cu terkejut dan heran sekali. Dengan jari-jari tangannya dia lalu menggali tanah dan ternyata bahwa pedangnya tadi sudah memukul dinding besi yang mengeluarkan cahaya kehitaman dan kelihatannya kuat sekali!
“Apakah ini...?” katanya makin heran.
Ia menjadi makin bersemangat, menggunakan patahan pedang untuk menggali tanah di sekitar pedang besi itu dan ternyata bahwa dinding ini merupakan sebuah peti besi segi empat yang lebarnya ada satu kaki lebih. Di samping peti besi ini terdapat lubang lain yang kecil, agaknya binatang itu mempergunakan peti besi yang kuat ini untuk perisai dan tentu dia bersembunyi di dalam sebuah lubang yang digalinya tepat di bawah peti itu.
Namun Kwan Cu sudah tidak ingat lagi akan kelinci atau binatang berbulu putih yang tadi dikejar-kejarnya. Sekarang seluruh perhatiannya tercurah pada peti besi ini. Hatinya jadi berdebar-debar dan diam-diam dia berdoa kepada Thian semoga peti inilah yang akan memberi jalan kepadanya mendapatkan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng!
Ia membawa peti besi itu ke goanya. Memang selama tiga bulan berada di situ, Kwan Cu telah memilih sebuah goa yang paling besar, goa yang tidak merupakan terowongan dan sinar matahari dapat masuk ke dalamnya, sebagai tempat tinggalnya, di mana dia dapat mengaso dan tidur.
Sesudah makan buah-buahan yang disimpan di dalam goa itu, Kwan Cu mulai mendekati peti besi dan setelah diperiksanya keadaan di luarnya sambil membersihkan tanah yang melengket di situ, dia tidak mendapatkan sesuatu tulisan. Lalu dia membuka tutup peti besi itu dengan amat hati-hati.
Hampir saja dia bersorak girang ketika melihat betapa isi peti itu memang sebuah kitab yang sudah kuning. Jelas kelihatan bahwa kitab itu terbuat dari pada sutera putih yang sudah menguning saking tuanya dan seakan-akan kitab itu akan hancur menjadi debu apa bila dipegang!
Dengan kedua tangan gemetar, Kwan Cu mengulurkan tangan hendak mengambil kitab itu, namun tiba-tiba mukanya menjadi pucat dan dia segera menarik kembali tangannya. Keringat dingin membasahi jidatnya, karena dia teringat akan kehebatan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu.
Baru kitab palsu itu saja oleh Panglima An Lu Shan sudah dipasangi racun yang sangat berbahaya hingga menewaskan seorang tokoh yang berilmu tinggi seperti Hek-mo-ong! Apa lagi kitab ini kalau benar-benar kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentulah yang aslinya! Siapa tahu kalau-kalau penyimpannya, yakni Liu Pang, juga menggunakan akal seperti yang telah di lakukan oleh An Lu Shan?
Kwan Cu mengeluarkan sulingnya dan beberapa kali dia menggosok-gosokkan sulingnya itu di atas kitab tua itu. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada suling itu dan legalah hati Kwan Cu. Ia sudah yakin bahwa kitab itu tidak dipasangi racun jahat, namun ketika dia menjamah dan mengeluarkan kitab itu dari peti, tetap saja kedua tangannya gemetar dan wajahnya tegang sekali. Siapa orangnya yang tidak akan merasa seperti itu bila mana mendapatkan kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh besar di daratan Tiongkok?
Kwan Cu harus berlaku hati-hati. Kitab itu sudah tua sekali dan lembaran-lembarannya yang terbuat dari pada sutera itu sudah lapuk. Maka dia meletakkan kitab itu di dalam peti lagi dan hanya berusaha membuka halaman pertama, karena pada kulit muka tidak terdapat tulisan apa-apa.
Setelah halaman pertama dibuka, dia melihat deretan huruf-huruf kuno yang sudah amat dikenalnya, yakni huruf-huruf yang dipergunakan pula untuk menuliskan Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu dan yang Gui-siucai telah mengerjakannya sampai hafal betul. Dan huruf-huruf ini juga berbunyi: IM-YANG BU-TEK CIN-KENG!
Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dan membasahi pipi Kwan Cu. Inilah kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli!!
Dapat kita bayangkan betapa girang dan terharunya hati Kwan Cu setelah dia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno yang dia dapatkan di atas pulau ini betul-betul adalah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli. Kitab itu sudah diperebutkan oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan dicari-cari oleh pembesar. Dia sendiri semenjak dahulu telah merindukan kitab ini, telah ditempuhnya jalan yang amat jauh dan berbahaya. Sekarang, secara kebetulan sekali kitab itu telah berada di tangannya!
Sampai lama sekali Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut dan bibirnya bergerak-gerak. Ia menghaturkan terima kasihnya pada Thian Yang Maha Kasih, kepada arwah Gui-siucai yang sudah membuka rahasia kitab itu kepadanya. Kemudian dengan amat hati-hati dia mulai mempelajari isi kitab.
Ia harus berlaku hati-hati sekali karena sutera yang tertulis dengan huruf kuno itu sudah sangat tua. Baru di buka lembar pertama saja, bagian pinggir yang tersentuh tangannya menjadi hancur! Bukan itu saja, bahkan bagian tengah lembaran itu yang bergerak ketika dia buka telah menjadi robek-robek.
Maka dia mengambil keputusan untuk mempelajari selembar demi selembar, sama sekali tidak berani membuka lembar berikutnya kalau lembar yang dibuka itu belum dihafalnya benar-benar. Juga ia berlaku amat sopan dan menghormat isi kitab itu yang dianggapnya sebagai kitab suci, untuk menghormat manusia sakti yang menciptanya.
Tiap kali hendak membaca kitab itu, terlebih dahulu dia berlutut sebagai penghormatan. Dan menjelang malam hari, dia kembali berlutut menghaturkan terima kasih atas segala pelajaran yang telah diterimanya pada hari itu. Hal ini dia lakukan setiap hari!
Pelajaran yang dia dapat dari lembaran-lembaran pertama adalah uraian tentang tenaga yang menggerakkan seluruh dunia, yakni tenaga Im dan Yang (Positive dan Negative). Tentang dua tenaga yang bertentangan tapi yang apa bila bersatu akan mendatangkan kekuatan dan daya penggerak di seluruh permukaan bumi ini. Dia mendapat uraian yang amat jelas dan terperinci, disertai dengan contoh-contoh. Kemudian, pada lembar-lembar berikutnya, diterangkan dengan seluasnya mengenai unsur tenaga alam yang terdiri dari ngo-heng (lima zat).
Kitab itu bukanlah kitab biasa dan untuk mempelajari isinya dibutuhkan kecerdikan yang luar biasa dan bakat yang amat besar. Kwan Cu mengerahkan seluruh tenaga otaknya dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Tidak satu pun dilewatkannya, tidak sebaris pun kalimat dialpakannya. Semua dia telan bulat-bulat, lantas diolah di dalam otaknya yang memang cerdik.
Baiknya dia berlaku hati-hati, karena ternyata kemudian olehnya betapa setiap kali dia membalikkan lembar berikutnya, lembar yang terdahulu tergencet dan menjadi hancur! Jelasnya, setiap lembar yang sudah dipelajarinya tidak akan mungkin dibacanya kembali karena sudah rusak. Orang lain takkan dapat membaca kitab itu sesudah dia membaca habis, karena kitab itu akan merupakan kitab rusak yang hampir menjadi debu.
Pelajaran-pelajaran berikutnya merupakan uraian lengkap tentang cara mempergunakan tenaga-tenaga Im dan Yang di dalam tubuh sehingga hawa di dalam tubuh yang berupa tenaga tersembunyi itu dapat dikuasai dengan baik. Ada pula pelajaran tentang semedhi dan mengatur pernapasan, tentang cara menggugah panca indera dalam batin sehingga panca indera di tubuh menjadi kuat dan tajam.
Semua pelajaran ini disertai penjelasan-penjelasan terperinci tentang sebab-sebab dan akibatnya, sehingga amat jelas bagi Kwan Cu. Pernah dia menerima latihan semedhi dan pengerahan tenaga lweekang dari Ang-bin Sin-kai, tetapi pelajaran itu hanya merupakan pelajaran yang sudah mati, yang dilakukannya sebagai tiruan atau jiplakan belaka. Kini dia baru mengerti mengapa segala macam tenaga yang tersembunyi di dalam tubuh itu dapat timbul.
Sampai setahun lebih Kwan Cu jarang sekali keluar dari dalam goanya kalau perutnya tidak sangat lapar. Jarang pula dia tidur kalau tidak sudah amat mengantuk dan matanya tidak dapat bertahan lagi. Tubuhnya menjadi kurus kering dan matanya cekung. Setelah makan waktu satu tahun lebih, barulah selesai bagian melatih semedhi dan pernapasan yang selain dipelajari teorinya, juga dipraktekkan setiap saat.
Kemudian mulailah kitab itu mengurai tentang ilmu silat! Bukan main hebatnya. Di situ dibentangkan tentang ilmu-silat-ilmu silat yang sudah ada dan dimiliki manusia, ilmu silat ilmu silat tinggi yang dibuat partai-partai persilatan menjadi termasyhur, seperti ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain.
Akan tetapi, yang diajarkan di situ hanya rahasia pokok dan dasar dari semua ilmu silat itu. Ternyata pula bahwa lukisan-lukisan di dinding goa-goa dan terowongan itu adalah ilmu-ilmu silat dari berbagai cabang persilatan ini, memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang ternyata hanya pada variasi dan kembangannya belaka. Ada pun pada dasarnya semua gerakan ilmu silat adalah serupa dan berasal dari satu sumber!
Untuk memperdalam pengertiannya, Kwan Cu meneliti semua lukisan di dinding goa-goa dan terowongan-terowongan itu, mempelajarinya dengan penuh perhatian. Sesudah dia mulai dapat menangkap apa yang disebut pokok dasar gerakan ilmu silat tinggi, matanya menjadi terbuka dan amat mudahlah baginya untuk mempelajari ilmu-ilmu silat itu.
Ia mempraktekkannya dengan melatih diri, meniru semua gerakan ilmu silat dari berbagai cabang itu. Alangkah girangnya ketika dia dapat mainkan ilmu silat-ilmu silat itu dengan amat mudahnya! Tanpa disadarinya, dia telah maju sekali dalam gerakan yang terdorong oleh tingginya tenaga lweekang dan khikang, serta tanpa terasa latihan napas selama ini telah membuat ginkang-nya istimewa sekali.
Pada suatu hari, selagi dia berlatih seorang diri di dekat pantai laut pulau kosong yang berpohon putih itu, tiba-tiba dia mendengar suara gaduh seperti dulu pernah didengarnya ketika dia mula-mula naik perahu melintasi lautan ganjil itu. Ia tidak mempedulikan suara ini dan terus saja berlatih silat berganti-ganti gerakan dan dia mainkan pelbagai ilmu silat tinggi dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai.
Tiba-tiba datang angin bertiup keras sekali, dibarengi suara mendesis hebat dan air laut di tepi pantai bergelombang seakan-akan Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) sendiri hendak keluar dari dasar laut! Akan tetapi, Kwan Cu seperti tidak mendengar semua ini dan tidak merasakan sambaran angin pohon yang begitu hebatnya, yang membuat pohon-pohon besar di pulau itu menjadi doyong.
Orang biasa saja apa bila kebetulan berada di situ, pasti akan melayang terbawa angin badai yang kuatnya bukan main itu. Akan tetapi, Kwan Cu tetap bersilat dengan penuh semangat, sama sekali tidak merasakan betapa pakaiannya sedikit demi sedikit mulai meninggalkan tubuhnya karena terbawa oleh angin. Saking kerasnya angin, pakaiannya itu mulai robek-robek dan melayang entah ke mana perginya.
Tanpa diketahui oleh Kwan Cu, air laut mulai naik menjadi gelombang besar, membuat air makin mendekati tempat dia bermain silat! Akhirnya setelah air menyentuh kakinya, barulah pemuda ini terkejut, seakan-akan air itu menyerangnya. Otomatis dia melompat untuk mengelak dan otomatis pula dia menendang ke arah air.
Air itu muncrat dan terpental saking kerasnya tenaga tendangannya. Pemuda itu kini melihat ombak besar mendarat di pantai. Makin gembiralah hati Kwan Cu.
Seperti Ang-bin Sin-kai gurunya yang suka bercanda dengan laut, dia kini menghadapi ombak, bahkan dia menerjang maju melawan ombak! Hebat sekali pemuda ini. Setiap kali ombak besar menyerangnya, bukan dia terdorong roboh, bahkan air yang terdampar kepadanya dan yang dipukul atau ditendangnya, menjadi buyar!
Akan tetapi, makin lama semakin hebatlah air menaik sehingga terpaksa Kwan Cu main mundur, terdesak oleh air yang makin lama makin dalam, siap untuk menelan tubuhnya. Lagi pula, baru sekarang dia merasa betapa tubuhnya sudah setengah telanjang, karena pakaiannya telah robek di sana sini dan ujungnya sudah hilang semua entah terbang ke mana!
Angin bertiup makin keras dan ketika memandang ke arah laut, Kwan Cu membelalakkan matanya. Laut menjadi demikian buas, dan airnya berombak-ombak tinggi disertai uap yang hitam menggelapkan langit di atas laut.
Mulai takutlah hati Kwan Cu menghadapi kekuasaan alam yang luar biasa ini. Air kini naik semakin tinggi seakan-akan hendak menelan pulau itu. Kwan Cu melompat-lompat mundur dan tiba-tiba dia terkejut setengah mati ketika tanah yang diinjaknya bergoyang-goyang, miring ke sana ke mari seakan-akan pulau itu berubah menjadi sebuah perahu yang mengambang!
“Aduh, akan kiamatkah dunia?” serunya kaget dan dia lalu berlari-lari ke goanya.
Dalam berlari ini, beberapa kali dia terhuyung-huyung dan tentu dia sudah jatuh kalau saja ginkang-nya tidak luar biasa baiknya. Sambil melompat ke kanan kiri mengimbangi goyangan tanah yang makin menghebat, akhirnya bisa juga dia sampai di dalam goanya.
Ia melihat betapa semua pohon bergoyang-goyang dan daun-daun putih rontok, namun tidak sebatang pun tumbang. Dia tahu bahwa akar-akar pohon berdaun putih itu sangat banyak dan dalam sekali, maka tidak mengherankan apa bila pohon-pohon itu demikian kuat menghadapi serangan angin yang demikian dahsyatnya.
Sampai sehari semalam Kwan Cu berdiam dalam goanya, serasa mabuk dan beberapa kali dia mau muntah-muntah. Baiknya dia cepat mengerahkan hawa di dalam tubuhnya untuk menekan perut sehingga isi perutnya tidak terlalu tergoyang oleh ‘gempa bumi’ yang tiada habisnya itu seakan-akan pulau akan meletus setiap saat!
Goa itu sendiri dindingnya sampai retak-retak, sehingga pemuda itu khawatir kalau-kalau gambar-gambar di dinding itu akan rusak dan pelajarannya terhalang karenanya. Begitu besar perhatian Kwan Cu terhadap pelajarannya sehingga dalam keadaan sehebat itu, dia sama sekali tak mengkhawatirkan keselamatan dirinya, sebaliknya mengkhawatirkan kalau-kalau pelajarannya akan terhalang atau tertunda.
Akhirnya gempa bumi itu reda dan suara ombak yang bergemuruh juga melenyap. Air tadinya telah sampai di kaki goa di mana Kwan Cu berlindung, hal ini amat mengejutkan hati Kwan Cu karena kejadian ini berarti bahwa air laut telah naik tinggi sekali.
Matahari bersinar kembali, tanah di mana dia berada tidak goyang lagi. Kwan Cu segera keluar sesudah menaruh peti kitab dan buntalan pakaiannya yang semenjak kemarin dia peluk saja, terutama peti kitab itu.
Ia melihat bekas-bekas air laut, di mana-mana basah belaka. Akan tetapi, tidak sebatang pun pohon tumbang, hal ini amat membanggakan hati pemuda ini. Betapa kuatnya pohon berdaun putih. Aku harus bisa menjadi seorang manusia sekuat dia! Tidak tumbang oleh gelombang hidup yang betapa berat sekali pun.
Akan tetapi, ketika dia tiba di pantai, dia melihat perahunya telah lenyap. Bukan itu saja, bahkan pulau-pulau kecil yang tadinya dia lihat banyak sekali ada di kanan kiri pulaunya, kini telah berubah arahnya. Ia menengok ke sana ke mari dan betapa terkejutnya bahwa goanya sekarang juga berubah letaknya.
Biasanya, matahari terbit menghadapi goanya, berarti bahwa goanya itu menghadap ke timur, akan tetapi sekarang, matahari terbit dari belakang goa. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa goanya itu telah berubah letaknya, kini menghadap ke barat!
Ataukah matahari yang sekarang muncul dari barat dan tenggelam di timur? Tidak boleh jadi, pikirnya. Dia kemudian teringat akan goncangan-goncangan pada pulaunya, maka berdebarlah hatinya. Apakah tidak bisa jadi kalau pulaunya itu yang ‘pindah’? Pulaunya hanyut terbawa ombak yang mengamuk?
Dugaan Kwan Cu yang tidak dipercayanya sendiri itu sebenarnya sangat tepat. Memang pulaunya itu telah hanyut! Pulau ini sudah terlepas dari dasar laut, dan hanya karena pohon-pohon berdaun putih itu akarnya tertanam sampai dalam sekali, berpuluh meter panjangnya, yang menolong pulau itu dari kebinasaannya.
Dengan pohon-pohon yang masih tegak di atas pulau, maka tanah pulau itu pun tidak bisa pecah-pecah dan masih merupakan pulau atau ‘perahu besar’ dari tanah dan pohon dan dengan kuatnya dapat melawan badai, sungguh pun terpaksa harus pindah tempat karena dorongan ombak yang kuat sekali.
Bukan baru satu kali itu saja pulau itu berpindah tempat, tapi sudah berkali-kali apa bila datang taufan hebat mengamuk seperti tadi. Sesungguhnya karena keistimewaan pulau ini belaka yang membuat Liu Pang menyembunyikan Im-yang Bu-tek Cin-keng di pulau itu. Calon kaisar ini maklum bahwa hanya di atas pulau itu saja maka kitab rahasia ini dapat disimpan dengan sentosa.
Ketika Kwan Cu memperhatikan pulau-pulau di sekitarnya, dia menjadi berdebar tegang. Pulau-pulau itu sekarang kelihatan gundul dan bersih, dan jumlahnya jauh berkurang dari semula, seolah-olah banyak di antaranya telah lenyap ditelan ombak. Segera ingatannya melayang kepada para raksasa, Lakayong dan puterinya Liyani, teringat pula pada Malita dan Malika dan bangsa katai itu. Bagaimana dengan nasib mereka?
Karena perahunya telah lenyap, Kwan Cu segera merobohkan sebatang pohon berdaun putih yang ia tahu batangnya amat kuat, membuangi cabang-cabang dan ranting-ranting serta daun-daunnya, kemudian mempergunakan batang pohon itu sebagai perahu! Ilmu kepandaiannya telah meningkat amat tinggi dan dengan berdiri di atas batang pohon itu yang mengambang di permukaan air, dia dapat mempergunakan cabang pohon sebagai dayung dan mendayung cepat sekali sambil berdiri!
Mula-mula dia mencari pulau tempat tinggal bangsa katai, dan sesudah dia berkeliling dengan bingung karena kedudukan pulaunya telah berubah, akhirnya dia mendapatkan pulau bangsa katai itu. Ia lalu mendarat dengan dada berdebar tegang dan tenggorokan seakan-akan tersumbat sesuatu dan kedua mata pedas menahan jatuhnya air mata.
Kwan Cu melihat betapa pulau itu telah musnah sama sekali. Bangunan-bangunan kecil semuanya hancur dan hanya tinggal bekas-bekasnya saja, semua tersapu bersih oleh air yang mengamuk. Kwan Cu memeriksa semua pulau dan hatinya semakin terharu karena tak seorang pun manusia katai selamat. Agaknya semua telah hanyut oleh air dan sudah jelas nasib mereka, pasti semua terendam di dasar laut atau masuk ke dalam perut-perut ikan-ikan besar.
Akan tetapi, saat dia melongok ke dalam sebuah goa, tiba-tiba dia melihat pemandangan yang membuat air matanya keluar bercucuran. Di dalam goa itu dia melihat Malita dan Malika, dua orang puteri katai kakak beradik itu saling peluk, dengan tubuh mereka yang terikat pada batu karang yang kuat, dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi!
Agaknya dalam serangan ombak yang menenggelamkan pulau, mereka sudah berdaya upaya untuk menolong diri dengan mengikatkan diri sendiri pada batu karang dan saling berpelukan. Akan tetapi mereka tewas karena tenggelam di dalam air yang menaik tinggi sampai menutupi semua pulau itu!
“Malita... Malika... kasihan kalian ...” kata Kwan Cu yang cepat melepaskan tubuh mereka dari ikatan. Tubuh kedua orang gadis katai itu tidak kaku, akan tetapi sudah dingin sekali.
Tiba-tiba saja dia mendengar suara burung mayat yang beterbangan di pantai sebelah selatan.
“Tentu di sana terdapat korban lain,” pikirnya.
Ia lalu berlari menuju ke pantai itu dengan maksud mengumpulkan korban-korban untuk dikubur bersama. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dari jauh dia melihat tubuh seorang raksasa terbujur di pantai! Ketika dia berlari cepat dan sampai di tempat itu, dia terbelalak memandang kepada jenazah seorang wanita raksasa yang bukan lain adalah Liyani!
“Liyani...!” Kwan Cu cepat melompat dan berlutut untuk memeriksa.
Tubuh yang sudah hampir telanjang itu ternyata sudah tidak bernapas lagi, mati seperti Malita dan Malika. Dengan hati tidak karuan rasa, teringatlah Kwan Cu akan pengalaman dirinya ketika dia berada di pulau raksasa. Gadis raksasa ini suka kepadanya, dan kini, gadis yang baik hati ini telah tewas dalam keadaan yang amat memilukan hati.
“Liyani... agaknya kau dan bangsamu juga musnah oleh amukan laut mengganas...!”
Tanpa kesulitan Kwan Cu segera memondong tubuh Liyani yang tinggi besar itu, karena sejak mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tenaga pemuda ini sudah meningkat luar biasa sekali. Lalu dia membawa pulang tiga jenazah itu dengan perahu ke pulaunya.
Ia menggali lubang yang dalam dan lebar, kemudian menurunkan tiga jenazah yang jauh lebih besar ukuran tubuhnya itu ke dalam lubang. Sampai lama dia memandang kepada tiga mayat itu.
Dia melihat betapa keadaan Malita dan Malika masih cantik, pakaian mereka masih rapi dan rambut mereka masih tergelung indah. Akan tetapi keadaan Liyani amat memilukan hati. Tubuhnya hampir telanjang dan gelung rambutnya terlepas, agaknya cukup lama ombak mempermainkannya sehingga dari pulau raksasa yang begitu jauh dia terdampar ke pulau bangsa katai.
Kwan Cu teringat akan tusuk konde yang dahulu dia terima dari Liyani, maka cepat dia berlari ke dalam goanya, mengambil tusuk konde itu dari buntalan pakaiannya kemudian kembali ke dalam lubang kuburan. Dengan hati penuh belas kasihan, dia lalu merapikan rambut Liyani yang digelungnya baik-baik dan sedapat-dapatnya lalu dipasangnya tusuk konde itu di rambut gadis raksasa ini. Tiga orang gadis yang sudah menjadi mayat itu diletakkan telentang berjajar, Liyani di sebelah kiri. Malita di tengah dan Malika di sebelah kanan.
Ketika dia hendak menutupi lubang itu dengan tanah, hatinya tidak tega, maka dia cepat mengumpulkan daun-daun putih yang rontok dan banyak sekali terdapat di pulau itu, dan dengan daun-daun ini dia menutupi tiga jenazah itu sampai tidak kelihatan lagi. Setelah timbunan daun itu cukup tebal, barulah dia menutupnya dengan tanah sampai bergunduk tinggi dan di tanamnya sebatang pohon berdaun putih yang masih kecil di atas gundukan tanah kuburan ini.
Baiknya pulau berpohon putih itu tidak terbinasa oleh taufan dan ombak laut. Kalau saja terjadi demikian, biar pun andai kata Kwan Cu dapat menyelamatkan diri, dia tentu akan kelaparan pula. Namun ternyata bahwa semua binatang di pulau itu hanya mengalami kekagetan saja, dan mereka masih sempat menyembunyikan diri ke dalam goa-goa yang banyak terdapat di pulau itu.
Semenjak saat itu, Kwan Cu, lebih prihatin. Kedukaan dan keharuan hatinya melihat dua bangsa manusia yang aneh sekali itu yakni bangsa raksasa dan bangsa katai, termusnah oleh kekuasaan alam, membuat dia semakin yakin akan kekuasaan alam yang dalam sekejap mata dapat memusnahkan dua bangsa manusia.
Apa daya manusia terhadap kekuasaan alam? Kurang apakah kehebatan dan kekuatan bangsa raksasa itu? Namun mereka tidak berdaya menghadapi bencana yang dilakukan olah alam maha kuasa. Kurang bagaimana sederhana dan suci kehidupan bangsa katai itu? Mereka jauh lebih mulia dan suci hidupnya apa bila dibandingkan dengan manusia biasa, dan kalau pun mereka pernah membuat dosa, agaknya dosa itu tak sebesar dosa yang biasa di lakukan oleh manusia seperti bangsa Kwan Cu, akan tetapi kalau alam menghendaki, bangsa yang suci ini pun dapat dimusnahkan!
Kenyataan ini membuat Kwan Cu semakin tunduk kepada kekuasaan alam yang berada dalam tangan Thian Yang Maha Kuasa dan Sakti. Apa lagi sesudah dia semakin tekun mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, terbukalah matanya.
Kitab ini tidak saja mengajarkan ilmu silat-ilmu silat yang tinggi-tinggi, bahkan memberi pelajaran mengenai pokok-pokok dasar semua ilmu silat dan pergerakan tubuh manusia dalam pertempuran, akan tetapi juga berisi filsafat-filsafat kebatinan yang sangat tinggi.
Filsafat kebatinan ini condong kepada aliran Lo Cu yang menyatakan bahwa makin tinggi kepandaian seseorang, maka semakin terbukalah matanya bahwa semua yang di sebut ‘kepandaian’ itu sebenarnya hanyalah kosong belaka! Makin terbuka mata orang akan kekuasaan alam, makin terasalah olehnya betapa kecil tak berarti adanya dirinya, betapa menggelikan dan tiada harganya segala macam kepandaian yang dimiliki manusia!
Oleh karena itu, makin dalam pengetahuan Kwan Cu, dan makin lama dia mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, makin sederhana jiwanya dan makin pendiam wataknya. Ia merasa seakan-akan dia bukan sedang mempelajari ilmu kepandaian, akan tetapi mempelajari ilmu pengertian untuk menemukan diri sendiri dan untuk mengenal sifat-sifat manusia yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia telah mendapatkan ilmu yang sangat tinggi, mendapatkan semua dasar-dasar dari segala pergerakan ilmu silat yang semuanya harus berdasarkan kepada tenaga Im dan Yang. Akan tetapi dengan sadar dia sekarang bisa melihat betapa semua pengetahuannya adalah kosong belaka dan membuat dia tidak berani menyombongkan kepandaian, karena segala kepandaian manusia dipelajari dari otak, sedangkan siapakah penggerak otak manusia?
Kalau Yang Maha Kuasa mencabut tenaga dan kegunaan otak, habislah semua yang dianggap oleh manusia sebagai ‘kepintaran’ itu! Bahkan lebih hebat lagi jika Yang Maha Kuasa menghentikan napas yang keluar masuk tanpa disengaja oleh manusia, karena akan lenyaplah wujud yang disebut manusia! Apakah makhluk yang begini lemah, yang mengandalkan hidup dan keadaannya dari pengaruh alam, patut menyombongkan diri dan menganggap diri sendiri pandai? Menggelikan sekali!
Sang waktu berlalu cepat sekali tanpa dirasakan oleh manusia. Setiap lembar dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dipelajari Kwan Cu sedikitnya seminggu berikut prakteknya dan dua tahun kemudian, tamatlah buku ini di pelajarinya.
Itu pun baru merupakan setengah dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, yakni bagian latihan tenaga lweekang dan bagian ilmu silat saja. Ketika dia menamatkan bagian ilmu silat dan hendak mulai membuka lembaran atau bagian ilmu perang, ternyata bahwa bagian ini sudah lengket menjadi satu dan kalau dipaksa dibuka, lembaran-lembaran itu akan hancur! Di bagian paling bawah terdapat lembaran tentang ilmu pengobatan, juga halaman-halaman ini tidak dapat dibuka.
Namun, setelah menamatkan bagian ilmu silat, Kwan Cu sudah tiada nafsu lagi untuk mempelajari bagian lain. Untuk apakah bagian segala pengetahuan tentang ilmu perang? Dia benci akan perang yang hanya merupakan penyembelihan antara sesama manusia, lepas dari pada persoalan yang menimbulkan perang itu sendiri.
Ada pun tentang ilmu pengobatan, memang tadinya dia ada hasrat untuk mempelajarinya dan menjadi agak kecewa ketika melihat bagian ini tidak mungkin dibaca lagi. Akan tetapi pengetahuannya yang mulai mendalam mengenai garis-garis hidup membuat dia berpikir bahwa betapa pun pandai seseorang mengobati orang sakit, bila Thian tak menghendaki, si sakit itu takkan tertolong juga!
Sembuh tidaknya seorang penderita penyakit memang tergantung dari pengobatan, hal ini dia percaya sepenuhnya. Namun baginya, mati hidupnya seorang sama sekali bukan tergantung dari pengobatan. Apa bila Thian menghendaki nyawa seseorang, walau pun seribu orang dewa datang menolong, orang itu pasti akan mati juga!
Karena kini kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yakni bagian depan setelah dia baca telah menjadi hancur dan robek-robek sedangkan bagian belakang telah lengket-lengket tak dapat dibuka, maka Kwan Cu lalu mengubur kitab itu berikut petinya, di dekat makam tiga orang gadis, yakni Liyani, Malita dan Malika.
Juga di atas ‘kuburan’ kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng ini dia letakkan tanda batu karang besar. Kemudian dengan telunjuknya dia mencoret-coret batu karang itu dan... bukan main hebatnya, ternyata bahwa di atas batu karang yang keras itu telah terdapat tulisan tangan yang amat jelas. Tulisan itu berbunyi seperti berikut:
‘Teecu Lu Kwan Cu telah menerima petunjuk dan selamanya teecu akan mentaati semua pelajaran yang teecu terima serta bersumpah untuk mempergunakan segala pelajaran demi kebaikan dan perikemanusiaan.’
Kurang lebih sebulan kemudian, nampak pemuda itu membawa buntalannya, menyeret perahu buatannya sendiri, menuju ke air laut yang tenang. Ia meluncurkan perahu ke air, melompat ke dalam perahu sambil memegang dayung, lalu mendayung perahu itu ke tengah samudera.
Tidak lama kemudian, dia menghentikan gerakan tangannya yang mendayung perahu, menengok ke arah pulau itu. Semua kelihatan jelas, bahkan pohon yang tumbuh di atas makam Liyani, Malita dan Malika kini sudah tinggi. Juga batu karang yang ditulisinya itu kelihatan dari perahunya.
Segala pengalaman selama tiga tahun di atas pulau itu terbayanglah. Basah kedua mata Kwan Cu dan dia cepat menyusutkan dengan ujung lengan bajunya yang sudah kumal. Kemudian dia menarik napas panjang dan mendayung perahunya lagi.
Tak lama kemudian dia sudah memasangkan layar yang dibuatnya dari pakaiannya yang disambung-sambung, dan meluncurlah perahu itu cepat sekali menuju ke utara, ke arah daratan tanah Tiongkok. Tak seorang pun di daratan Tiongkok tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda yang telah mewarisi kepandaian luar biasa dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, seorang pendekar yang sakti, sedang menuju ke daratan Tiongkok, dan akan terjadilah sejarah baru dalam dunia kang-ouw.....
********************
Komentar
Posting Komentar