PENDEKAR SAKTI : JILID-28


Sebagaimana sudah diceritakan di bagian depan, pada masa itu, Kaisar Kerajaan Tang ialah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang amat doyan pelesir, mencari kesenangan dan hiburan bagi diri sendiri belaka, sama sekali tidak mau mempedulikan pemerintahannya, apa lagi keadaan rakyatnya. Oleh karena itu, secara sembrono sekali kaisar ini mengangkat An Lu Shan sebagai panglima besar di utara, dan sama sekali dia tidak menaruh dugaan atau kecurigaan terhadap An Lu Shan. Bahkan sampai pada saat An Lu Shan sudah membentuk pasukan yang besar dan mempunyai niat memberontak, kaisar ini masih enak-enak saja berpelesiran di istananya yang indah, tentu saja dengan dikelilingi oleh selir-selirnya yang banyak jumlahnya dan yang rata-rata amat cantik jelita dan muda-muda!

Bukan sampai di situ saja kelalaian Kaisar Hian Tiong. Bahkan ketika An Lu Shan mulai menggerakkan tentaranya ke selatan, kaisar ini masih tinggal enak-enakan saja di dalam istananya.

“Bentuk pasukan, hancurkan pemberontakan bodoh itu, apa sih sukarnya?” katanya acuh tak acuh, seakan-akan yang dihadapinya hanya persoalan kecil belaka.

Para menteri yang berwatak jujur dan setia lalu tergopoh-gopoh menghadap kaisar untuk memperingatkan junjungan ini dari pada mabuk dan mimpinya. Akan tetapi kaisar tetap tinggal enak-enak, bahkan mencaci para menteri itu sebagai pengecut-pengecut besar!

Menteri Lu Pin yang dianggap menteri tertua yang paling setia dan disegani oleh kaisar, segera didatangi oleh para menteri dengan desakan agar Menteri Lu Pin suka memberi peringatan kepada kaisar.

Menteri Lu Pin lalu menghadap kaisar, namun diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan ucapan menyindir.

“Apakah kau yang terkenal sebagai menteri jujur, setia dan keturunan panglima gagah perkasa, juga berhati pengecut seperti mereka itu dan hendak menakut-nakuti aku?”

Merahlah wajah Lu Pin mendengar sabda kaisar ini. Ia memberi hormat dengan berlutut sambil berkata,

“Harap Sri Baginda segera sadar dari keadaan Sri Baginda yang tidak sewajarnya ini. Sebenarnya para perdana menteri dan panglima itu memberi nasehat amat baik kepada Paduka. Demikian pula kedatangan hamba menghadap ini bukan karena hamba berhati pengecut, melainkan karena hamba melihat datangnya bahaya besar yang mengancam keselamatan negara kita. Sadarlah Paduka dari mimpi, keadaan kita benar-benar sudah terancam bahaya besar sebab tentara An Lu Shan si pemberontak jahat itu telah makin jauh menyerang ke selatan.”

Marah sekali Kaisar Hian Tiong mendengar ini. Ia menggebrak meja dan menudingkan jari tangannya ke arah pintu.

“Pergi! Pergilah! Hendak kulihat sampai di mana kebisaan An Lu Shan! Mustahil kalau para barisan penjaga kita dapat dia bobolkan!”

Dengan hati terpukul, Menteri Lu Pin lalu keluar dari ruangan itu dan menuturkan kepada para menteri lain atas kegagalannya itu dengan suara penuh kekecewaan dan kedukaan. Hati para menteri itu tidak senang ketika mendengar bahwa kaisar tetap saja tenggelam dalam mimpi buruk. Keadaan sudah amat berbahaya dan apa bila para pemberontak itu sampai berhasil memasuki kota raja, tentu mereka sekeluarga sekarang takkan selamat pula. Hal ini yang melemahkan semangat mereka.

Ketika para mata-mata An Lu Shan datang menghubungi mereka, sebagian besar para menteri ini lalu menerima uluran tangan para pemberontak. Demi keselamatan seluruh keluarga dan harta benda serta kedudukan mereka, para menteri ini tidak segan-segan untuk berkhianat dan memihak pemberontak. Diam-diam mereka memberi kesanggupan kepada An Lu Shan bahwa apa bila tentara pemberontak itu memasuki kota raja, mereka diam-diam akan mengadakan bantuan dari dalam supaya pembobolan benteng kota raja dipermudah!

Menteri Lu Pin dapat membuka rahasia mereka ini. Dengan hati sangat berang, menteri yang setia ini segera menghadap kaisar dan membeberkan semua rahasia para menteri yang berkhianat. Kaisar sangat marah dan baru sadar akan keadaan yang memang amat berbahaya.

Segera dia memeritahkan pasukan pengawal untuk menangkap-nangkapi para menteri dorna itu dan menghukum penggal kepala sekeluarga mereka! Sesudah melakukan hal ini, kaisar lalu menggerakkan barisan untuk mempertahankan kerajaan.

Akan tetapi, hal ini benar-benar merupakan pengobatan yang sudah amat terlambat bagi penyakit yang berat. Dengan dihukumnya para menteri, keadaan menjadi semakin kalut dan lemah. Kalau saja Kaisar Hian Tiong dari dahulu sadar pada waktu para menteri itu belum memiliki hati khianat, agaknya keadaan masih dapat diharapkan akan tertolong.

Terlambatlah semua usaha kaisar ini. Barisan pemberontak An Lu Shan telah menerobos dan memasuki kota raja! Pertahanan kaisar hancur luluh!

Dalam kekacuan yang menghebat ini, Menteri Lu Pin menjadi tujuan pertama dari An Lu Shan. Tentu saja An Lu Shan telah mendengar bahwa Menteri Lu Pin inilah yang sudah menggagalkan rencananya menghubungi para menteri, dan bahwa Menteri Lu Pin yang membuka rahasia para menteri pengikutnya sehingga para menteri dorna itu sekeluarga dijatuhi hukuman mati oleh kaisar. Karena itu, begitu memasuki kota raja, An Lu Shan memerintahkan semua anak buahnya untuk pertama-tama mencari Menteri Lu Pin dan membunuh serta membasmi seluruh keluarganya!

Akan tetapi, atas desakan keluarganya, Manteri Lu Pin siang-siang sudah melarikan diri, mengungsi dengan dikawal oleh pasukan panglima yang setia. Diam-diam Menteri Lu Pin mengumpulkan harta benda dari istana dalam satu peti besar, bukan dengan niat hendak mempergunakan harta benda itu untuk dirinya sendiri, akan tetapi dia bercita-cita besar hendak melarikan harta benda itu supaya jangan terjatuh ke dalam tangan pemberontak dan kelak dapat dia pergunakan untuk membiayai pasukan yang akan dipimpinnya untuk memukul mundur para pemberontak itu!

Kota raja diduduki, dan sungguh malang nasib keluarga Menteri Lu pin. Semua keluarga, dari yang tua sampai anak bayi, dikumpulkan dan dibakar hidup-hidup oleh An Lu Shan! Bahkan Lu Seng Hok, puteri Lu Pin atau ayah dari Lu Thong sekeluarganya juga dibasmi dalam pembersihan ini, tidak terkecuali para bujang pelayan! Hanya Lu Thong seorang yang sedang dibawa pergi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yakni gurunya, yang tidak ikut menjadi korban.

Lu Pin mendengar tentang berita ini dan di sepanjang jalan, kakek ini menangis keras, bukan semata-mata karena menyedihi kebinasaan seluruh keluarganya. Memang kakek ini memang berjiwa patriot dan sangat setia kepada pemerintah, maka sambil menangis ia bersembahyang dan bersumpah bahwa ia akan menuntut balas kepada pemberontak An Lu Shan! Melihat kesetiaan ini, tiga orang panglima besar yang turut mengawalnya bersama pasukan kecil, ikut pula menangis.

Akan tetapi An Lu Shan ternyata bukan orang bodoh dan sebentar saja dia sudah dapat mendengar ke mana larinya Menteri Lu Pin yang dibencinya itu. Segera dia mengirim pasukan besar untuk melakukan pengejaran terhadap Lu Pin serta rombongannya! Tiga hari kemudian, benar saja pasukan gerak cepat ini berhasil menyusul rombongan Menteri Lu Pin.

Terjadilah pertempuran hebat. Pasukan pengawal Menteri Lu Pin melakukan perlawanan mati-matian, namun jumlah pasukan pengejar jauh lebih besar sehingga banyak di antara mereka roboh. Akhirnya hanya tiga orang panglima besar itu saja yang masih sempat menggendong Menteri Lu Pin dan membawa peti harta dan melarikan diri.

Namun tentu saja para pengejar yang telah mendengar bahwa menteri tua itu membawa sepeti harta benda yang tak ternilai harganya, melakukan pengejaran cepat sekali. Tiga orang panglima ini mempunyai kepandaian tinggi, maka mereka berhasil membawa pergi Menteri Lu Pin. Namun, kalau mereka sampai tersusul, menghadapi pengeroyokan yang demikian banyaknya, mana mereka mampu mempertahankan diri?

Sudah sehari semalam mereka melarikan diri, terus dikejar oleh barisan pemberontak. Akhirnya, pada esok paginya, ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang amat liar, kuda-kuda yang ditunggangi oleh tiga orang panglima yang membawa lari Menteri Lu Pin, roboh dan tewas saking lelahnya. Padahal para pengejar sudah begitu dekat hingga suara teriakan mereka telah terdengar riuh rendah.

“Kita terpaksa melawan mati-matian!” berkata tiga orang panglima yang gagah berani itu.

Menteri Lu Pin mengalirkan air mata. “Sudah terlalu banyak orang menjadi korban karena aku seorang, padahal bukan maksudku untuk menyelamatkan badan yang sudah tua dan tak berharga ini. Sam-wi Ciangkun (Tiga Panglima), harap Sam-wi membawa pergi harta ini dan usahakan agar supaya dapat dibentuk pasukan baru guna menumpas penjahat An Lu Shan dan membalaskan sakit hati kerajaan kita. Biarkan aku mereka tangkap, aku tidak takut mati.”

Namun tiga orang panglima itu menolak. “Harta benda ini tiada artinya bagi kami bertiga. Tanpa adanya Taijin yang bijaksana untuk mengatur, bagaimana dapat dibentuk pasukan besar? Tidak, Taijin, kalau sudah semestinya kita mati, biarlah kita bersama-sama mati di tempat ini! Namun kami berjanji bahwa penjahat-penjahat itu takkan mudah begitu saja untuk merenggut nyawa kita!” Sambil berkata demikian, tiga orang panglima itu segera mencabut golok besar mereka dan menanti dengan penuh semangat.

Maka datanglah para pengejar itu dan mereka menyerbu bagai taufan mengamuk! Tiga orang panglima perang itu menjaga Menteri Lu Pin yang berdiri di tengah-tengah. Mereka merupakan benteng segitiga yang amat kuat sehingga para pemberontak yang terdekat segera terjungkal mandi darah akibat terlanggar golok mereka yang tajam dan kuat.

Hebat sekali perang tanding yang tidak seimbang ini. Datangnya pemberontak bagaikan semut dan tak lama kemudian, tiga orang panglima itu sudah lelah sekali. Mereka mulai menerima bacokan yang mendatangkan luka, namun mereka tetap mengamuk bagaikan banteng-banteng terluka!

Pada saat yang amat berbahaya bagi Menteri Lu Pin bersama tiga orang pengawalnya, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kepungan para pemberontak menjadi kacau balau. Dan tak lama kemudian, nampaklah tubuh para pemberontak terpental dan terlempar ke sana ke mari, seakan-akan ada seorang raksasa perkasa yang menangkap-nangkapi dan melempar-lemparkan tubuh mereka.

Menteri Lu Pin memandang. Dia menjadi amat terharu pada waktu melihat bahwa yang sedang mengamuk sambil memaki-maki para pemberontak itu bukan lain adalah Lu Sin atau Ang-bin Sin-kai kakaknya sendiri!

“Anjing-anjing pemberontak yang busuk! Kalian berani menganggu adikku yang tercinta?” berkali-kali Ang-bin Sin-kai memaki.

Setiap kali tangannya diulur, tentu ada dua tiga orang pemberontak yang ditangkapnya dan dilemparkannya sampai jauh. Ada pula yang ditendang seperti seorang menendang bal karet saja. Tubuh para pemberontak melayang dan jatuh dengan kepala pecah atau tulang patah.

Keadaan amat kacau balau, ada pun para pemberontak menjadi gentar dan ngeri melihat sepak terjang Ang-bin Sin-kai yang pada saat itu kelihatan sangat menyeramkan. Kakek pengemis itu yang biasanya bermuka merah, kini menjadi makin merah mukanya. Kedua matanya bersinar-sinar, rambutnya terurai serta jenggotnya melambai-lambai mengikuti gerakannya yang kuat dan cepat, pakaiannya pun robek di sana-sini.

Ketika melihat kakek pengemis ini, ada dua orang perwira pemberontak menjadi sangat penasaran. Kakek pengemis itu kurus dan tua, bertangan kosong pula, masa tidak dapat merobohkannya? Mereka melompat turun dari atas kuda dan dengan pedang di tangan, kedua orang perwira itu menyerang Ang-bin Sin-kai yang masih saja mengamuk dan melempar-lemparkan para pemberontak yang berada di hadapannya.

Ketika dua pedang dari kanan kiri itu menyambar dekat, tiba-tiba dia membuat gerakan seperti seekor burung garuda hendak terbang. Kedua lengannya dipentang ke kanan kiri dan hebat bukan main, tahu-tahu dia sudah dapat mencekik batang leher kedua perwira pemberontak itu, dan pedang mereka terpental saat beradu dengan jari-jari tangan kakek ini.

Ang-bin Sin-kai maklum bahwa untuk dapat mengundurkan para pemberontak, dia harus menjatuhkan pimpinan mereka. Karena itu ketika dia melihat bahwa yang terpegang oleh kedua tangannya adalah perwira-perwira pemberontak, tanpa ragu-ragu lagi dia lantas membenturkan kepala mereka satu kepada yang lain!

Terdengar suara keras, suara batok kepala yang pecah karena saling bentur dan Ang-bin Sin-kai melemparkan kedua tubuh perwira pemberontak yang kepalanya sudah pecah itu ke atas sampai tinggi.

“Lihat pemimpin-pemimpinmu ini, hai anjing-anjing pemberontak! Siapa yang berani mati hendak mengukur tenaga dengan Ang-bin Sin-kai, boleh lekas maju!”

Suara ini dikeluarkan dengan nyaring dan menyeramkan. Tentu saja para pemberontak menjadi makin ketakutan ketika melihat bahwa dua orang pimpinan mereka sudah tewas. Apa lagi pada waktu mereka mendengar nama Ang-bin Sin-kai yang telah amat terkenal, tanpa pikir panjang lagi mereka lalu melarikan diri. Suara derap kaki kuda menjauh dan tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap, kecuali suara keluhan para anggota pemberontak yang tergeletak di sana-sini.

Tiga orang panglima pengawal Menteri Lu Pin menjadi kagum sekali, mereka kemudian memandang kepada Ang-bin Sin-kai sambil menjura sebagai tanda terima kasih. Namun Ang-bin Sin-kai tidak memperhatikan mereka, melainkan datang menghampiri Menteri Lu Pin dan berkata sambil tersenyum pahit,

“Inilah jadinya kalau kau membantu kaisar lalim!”

Menteri Lu Pin sejak tadi telah basah matanya. Mendengar ucapan ini, dia mengedikkan kepala dan berkata keras,

“Twako, aku bukan berjuang untuk kaisar, melainkan untuk tanah air dan bangsa! An Lu Shan telah berkhianat dan merusak negara, semua bukan semata kesalahan kaisar, tapi para petugas juga mempunyai bagian dalam kesalahan itu. Aku telah bersumpah hendak membalas dendam kepada An Lu Shan, dan aku sengaja pergi membawa harta benda di dalam peti ini untuk membentuk pasukan baru agar dapat mengusir penjajah khianat itu dari kota raja!”

“Adik Pin, suaramu seperti harimau ompong tak berkuku yang meraung-raung! Kau yang begini lemah bagaimana dapat mengusir An Lu Shan dengan pasukannya yang dibantu oleh orang-orang pandai?” kata Ang-bin Sin-kai.

“Kita sama lihat saja nanti!” jawab Menteri Lu Pin gagah. “Meski pun aku seorang lemah, hanya seorang seniman bodoh, tapi semangatku masih tinggi, Sin-ko. Soal orang-orang pandai, ada kau di sini, takut apakah?”

Melihat sikap adiknya, Ang-bin Sin-kai menjadi terharu sekali.

“Orang bodoh, kau kira aku tak tahu akan semua yang terjadi? Aku amat kagum padamu, Adikku. Kau memang patut menjadi teladan semua pembesar dan pemimpin rakyat. Kau tidak tahu bahwa sejak kau keluar dari kota raja, secara diam-diam aku selalu mengikuti kau. Aku sudah mendengar pula tentang nasib keluargamu. Ahh, adikku yang gagah, kau menderita demikian hebat akan tetapi masih bersemangat membela negara, benar-benar aku pengemis hina-dina merasa bangga dan juga malu kepada diri sendiri.”

“Sin-ko, jangan kau berkata begitu...”

Menteri Lu Pin mencucurkan air mata saking terharunya. Dia cepat menghampiri kakek pengemis itu dan kedua orang kakak beradik ini berpelukan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Dari kedua mata Ang-bin Sin-kai berlinang dua butir air mata. Inilah adik kandungnya, menteri setia yang berjiwa patriot asli! Dan adiknya ini padahal seorang lemah yang tidak mengerti ilmu silat! Sedangkan dia, orang yang semenjak kecil mempelajari kepandaian silat, tidak mengacuhkan sama sekali tentang keselamatan tanah air!

Ketika berpelukan dengan Menteri Lu Pin, terbangunlah semangat dalam dada Ang-bin Sin-kai. Tidak patut dia disebut seorang gagah apa bila dia tidak dapat berbuat seperti adiknya ini, tidak dapat mengorbankan diri untuk rakyat dan negara. Ia tahu bahwa An Lu Shan mendapat bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Hek-i Hui-mo sendiri juga menjadi sekutu An Lu Shan. Siapakah akan dapat menghadapi mereka jika tokoh-tokoh seperti dia tidak mau turun tangan?

“Adik Pin, kau betul. Harta ini harus kau simpan baik-baik sehingga dengan diam-diam kau dapat mengerahkan kesatuan yang kuat, atau setidaknya dengan harta ini kau dapat membantu pengerahan para pasukan rakyat untuk bergerilya. Aku tahu sebuah tempat persembunyian yang sangat baik, Adikku. Pergilah ke timur, di sebelah bukit ini terdapat pegunungan dan sesudah kau menyeberangi sungai kecil, kau akan melihat hutan pohon pek. Di sebelah selatan hutan itu terdapat sebuah goa besar yang penuh tulang belulang binatang purbakala yang besar-besar. Goa itu lebar sekali, aku pernah menggunakannya sebagai tempat bertapa. Kau bawalah harta ini dan kau bersembunyilah di goa itu. Goa itu tertutup oleh serumpun pohon bunga cilan yang lebat sekali, takkan terlihat dari luar. Aku sendiri akan segera ke kota raja dan akan kuhajar An Lu Shan dan kaki tangannya. Selamat berpisah adikku!”

Bukan main girangnya hati Menteri Lu Pin mendengar ini. Memang dia sangat kecewa melihat kakaknya yang sakti ini di kala terjadi perang, tidak muncul sama sekali. Memang mereka sekeluarga adalah keturunan patriot ternama, sudah selayaknya kalau kakaknya pun bersikap sebagai seorang pahlawan bangsa.

“Terima kasih, Sin-ko. Semoga perjuanganmu berhasil,” jawabnya.

Dua orang kakak beradik ini kembali berpelukan, disaksikan oleh ketiga orang panglima yang memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Mereka menjadi saksi dari pertemuan dua orang kakak beradik yang berjiwa gagah, namun yang keadaannya amat berlainan, seorang kakek pengemis dan seorang menteri setia, namun keduanya gagah perkasa dalam bidang masing-masing. Mereka kemudian berpisah dan tiga orang panglima itu melanjutkan kawalan mereka terhadap Menteri Lu Pin, menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Ang-bin Sin-kai.

Benar saja seperti petunjuk dari Ang-bin Sin-kai, mereka mendapatkan goa besar yang amat lebar itu dan di situ penuh dengan tulang-tulang besar yang putih dan kuat. Selain ini juga di sebelah ruangan kecil di dalam goa itu mereka mendaparkan sebuah hiolouw (tempat hio atau tempat abu hio) yang amat besar dan kuno.

Hiolouw ini biasanya dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk membakar akar-akar dan dupa untuk mengusir hawa busuk dari dalam goa. Melihat tulang-tulang berserakan itu, Menteri Lu Pin tertarik sekali hatinya. Dia adalah seorang ahli ukir yang kenamaan dan pandai, melihat tulang-tulang ini dia merasa amat tertarik dan gembira. Tulang-tulang itu merupakan bahan yang baik sekali untuk diukir.

Setelah membereskan dan membersihkan tempat itu, Menteri Lu Pin lalu menyuruh tiga orang panglima pengawalnya untuk mulai menghubungi para pejuang rakyat. Mereka lalu ditugaskan untuk memperkuat pasukan-pasukan rakyat yang ikut melakukan perlawanan terhadap pemberontak An Lu Shan. Mereka disuruh membawa sebagian dari pada harta istana itu untuk membiayai dan membantu pergerakan rakyat dan sewaktu-waktu datang ke goa itu memberi laporan.

Ada pun Menteri Lu Pin yang hidup seorang diri di dalam goa, mendapatkan makanan dari buah-buahan yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dalam waktu senggang, dia mulai membuat ukir-ukiran pada tulang-tulang besar tadi.

Menteri Lu Pin tinggal sampai bertahun-tahun di situ dan sudah menciptakan ukir-ukiran berupa tengkorak-tengkorak manusia yang luar biasa besarnya, semua dibuatnya dari tulang-tulang itu sehingga tengkorak-tengkorak atau rangka-rangka manusia raksasa itu seperti tulen, terbuat dari pada tulang-tulang! Ia mengatur dan menyambung-nyambung tulang-tulang ini, didirikan di sepanjang terowongan goa, berjajar seperti barisan raksasa yang menjaga goa, namun raksasa yang telah menjadi rangka yang amat menyeramkan!

Memang, Menteri Lu Pin membuat ini tidak saja untuk menimbulkan daya khayalnya agar menjadi kenyataan, namun juga dengan maksud supaya para penjahat yang iseng-iseng dan kebetulan masuk ke goa itu, akan menjadi ketakutan lalu mundur kembali setelah melihat rangka-rangka raksasa yang benar-benar menyeramkan sekali itu.

Ada pun Ang-bin Sin-kai setelah berpisah dari Menteri Lu Pin, segera menuju ke kota raja dengan hati panas sekali. Dari orang-orang kang-ouw dia sudah mendengar bahwa tidak saja An Lu Shan mempunyai barisan yang berjumlah besar dan terlatih baik sekali serta mempunyai ilmu perang yang luar biasa, juga pemberontak ini dibantu oleh orang-orang pandai.

Ia sudah mendengar siapa-siapa yang membantu para pemberontak itu, yaitu yang sudah dia kenal adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, pendekar gundul yang berjubah dan berkulit hitam dari Tibet yang lihai itu. Ke dua, Pek-eng Sianjin ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang pernah dia hajar di puncak Kun-lun-san. Ketiga, Toat-beng Hui-houw siluman tua berkuku panjang yang lihai, yang pernah pula dia hajar ketika dia berada di dapur istana kaisar.

Dan yang membuat hati Ang-bin Sin-kai merasa sakit dan penasaran adalah ketika dia mendengar bahwa di samping tokoh-tokoh itu dan lain-lain ahli silat ternama, juga Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu terpikat oleh bujukan An Lu Shan dan membantu pemberontak itu menggulingkan kedudukan Kaisar Hian Tiong!

Tadinya sebelum dia bertemu dengan Menteri Lu Pin, dia hanya tersenyum mendengar semua berita ini. “Rupanya tua bangka-tua bangka itu sudah gila sehingga sudi mengikat diri dengan urusan perang, urusan yang paling busuk di antara semua urusan keduniaan,” pikirnya.

Akan tetapi sesudah dia bertemu dengan adiknya itu, sekarang pandangannya berubah. Ia menjadi marah sekali ketika matanya terbuka betapa orang-orang itu, terutama sekali Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, seakan-akan membantu pemberontak untuk menindas rakyat jelata. Apa lagi ketika dia mendengar di sepanjang jalan, betapa kejam perlakuan para anggota pemberontak terhadap rakyat, hatinya menjadi makin panas.

Kemarahan hati kakek sakti ini memuncak ketika tiba di kota raja, dia mendengar berita bahwa sebelumnya, semenjak kota raja diduduki oleh An Lu Shan, berturut-turut datang beberapa tokoh kang-ouw untuk menyerang An Lu Shan.

Ia mendengar bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah datang menyerbu istana, akan tetapi kakek sakti dari utara ini terpaksa melarikan diri karena tidak kuat menghadapi keroyokan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang dibantu oleh Hek-i Hui-mo dan tokoh-tokoh lain! Juga Kiu-bwe Coa-li wanita sakti yang ganas itu sudah datang dengan maksud memberi hajaran kepada mereka, namun wanita sakti ini bahkan terluka dan terpaksa mundur pula.

Kalau dua orang sakti ini hanya terluka dan dapat melarikan diri, adalah beberapa orang tokoh kang-ouw lainnya tewas dalam usaha mereka membalaskan sakit hati rakyat ini. Yang tewas adalah Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai bersama beberapa orang muridnya, tiga tokoh Kun-lun-pai yakni Seng Te Taisu, Seng Jin Taisu dan Seng Giok Siansu, dan masih banyak pula tokoh-tokoh besar yang telah mengorbankan nyawa dalam perjuangan itu.

“Terkutuk!” Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya. “Biadab benar An Lu Shan dan kaki tangannya!”

Dengan amarah meluap-luap, begitu tiba di kota raja, Ang-bin Sin-kai langsung menyerbu ke istana dan di dalam istana, setelah merobohkan para penjaga yang hendak mencegah masuk, dia berseru keras sekali,

“Anjing pemberontak An Lu Shan, keluarlah untuk terima binasa!”

Tentu saja keadaan menjadi gempar sekali di halaman istana itu. Para penjaga dan pengawal menyerbu dari luar dan dalam istana, dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai dikeroyok sedikitnya seratus orang penjaga!

Namun pada saat itu Ang-bin Sin-kai sedang marah luar biasa, maka para penjaga ini seakan-akan nyamuk-nyamuk yang melawan api pelita. Siapa saja yang menyerbu dekat, tentu roboh tak bernyawa pula oleh pukulan, tamparan atau tendangan kaki Ang-bin Sin-kai. Dalam kemarahannya, setiap gerakan kaki tangan kakek ini merupakan tangan maut yang menjangkau nyawa lawan.

Suara hiruk-pikuk, suara senjata terlempar dan orang memekik, memenuhi halaman istana itu, gaduh bukan main. Mayat-mayat para penjaga sudah malang melintang dan bertumpuk-tumpuk memenuhi tempat itu, karena dalam waktu cepat sekali Ang-bin Sin-kai sudah menewaskan sedikitnya tiga puluh orang penjaga! Sambil mengamuk, Ang-bin Sin-kai tetap berseru-seru keras,

“Pengecut An Lu Shan, anjing pemberontak tak kenal budi, keluarlah untuk terima hukuman!”

Tiba-tiba terdengar bentakan keras sekali kepada para penjaga.

“Mundur semua!”

Mendengar bentakan ini, para penjaga lalu mengundurkan diri dan menarik mayat-mayat kawan yang bergeletakan di situ. Ang-bin Sin-kai memandang dengan mata merah dan dia melihat Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu muncul dari pintu samping istana, diikuti oleh Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin dan banyak orang kang-ouw ternama lagi.

Jeng-kin-jiu yang bertubuh bundar gendut tertawa bergelak lalu berkata,

“Ha-ha-ha, kukira siapa, tidak tahunya sahabat baikku setan tua dari timur yang datang main-main di sini dengan para penjaga! Ahh, Ang-bin Sin-kai, sahabat baik, apakah kau terlalu banyak minum arak sehingga jadi mabuk dan membunuh orang banyak seperti membunuh semut saja?”

Hubungan antara dua orang tokoh besar ini biasanya erat dan mereka sudah biasa bicara mian-main tanpa banyak peraturan. Biasanya Ang-bin Sin-kai menghadapi kelakar si gendut itu dengan gembira. Akan tetapi kali ini dengan mata terbelalak penuh kebencian dia membentak,

“Jeng-kin-jiu, kau tahu bahwa aku Ang-bin Sin-kai tidak sudi mempunyai sahabat anjing-anjing penjilat! Aku tidak mempunyai sahabat anjing penjilat pemberontak An Lu Shan seperti engkau!”

Kembali Jeng-kin-jiu tertawa bergelak. Sudah biasa dia menerima makian-makian dari Ang-bin Sin-kai, maka kata-kata yang pedas itu tidak membuat dia marah. Akan tetapi Hek-i Hui-mo yang memang mempunyai rasa benci terhadap Ang-bin Sin-kai, menjadi marah sekali.

“Pengemis busuk, kau mempunyai kepandaian apakah berani bersikap sombong di hadapanku?” Setelah berkata demikian dia melangkah maju dan mengayun lengan kanan memukul ke arah kepala Ang-bin Sin-kai.

Pukulan ini kelihatannya seperti pukulan orang biasa saja, akan tetapi sebetulnya pukulan ini mengandung tenaga lweekang yang akan dapat menghancurkan batu karang, apa lagi kepala manusia! Melihat ini, Ang-bin Sin-kai mengerahkan tenaga dan menggunakan lengannya menyampok pukulan itu sambil berseru,

“Aku tidak ada urusan dengan kau!”

Dua batang lengan tangan yang sama kuatnya bertemu, mengeluarkan suara “duk!” dan keduanya terhuyung mundur empat langkah! Ternyata bahwa keduanya mempunyai tenaga berimbang.

“Nanti dulu, Hek-i-bengyu,” kata Jeng-kin-jiu mencegah Hek-i Hui-mo menyerang terus.

“Biar kita dengar dulu maksud kedatangan Ang-bin Sin-kai.” Kemudian setelah hwesio hitam yang bertubuh bulat seperti dia sendiri itu mundur dengan marah Jeng-kin-jiu lalu menghadapi Ang-bin Sin-kai dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,

“Sahabatku yang baik, agaknya kau telah mabuk arak murah sehingga dalam mabukmu kau marah-marah. Jangan kau membolak-balikkan kenyataan, sahabat. An Lu Shan bukanlah pengkhianat, demikian pula kami bukan penjilat-penjilat. Kau sudah tahu bahwa Kaisar Hian Tiong adalah seorang kaisar lalim yang tidak mempedulikan kesengsaraan rakyat yang hidup untuk kesenangan diri sendiri. Perjuangannya suci dan kami tentu saja membantunya. Apakah kau hendak membela kaisar lalim itu demi mengingat adik kandungmu yang menjadi menteri?”

“Jangan mengeluarkan omongan berbau busuk!” Ang-bin Sin-kai membanting-banting kaki. “Matamu sudah buta atau telingamu sudah tuli? Siapa orangnya tidak mendengar tentang kebusukan An Lu Shan dan anak buahnya?”

Jeng-kin-jiu menjadi habis sabar dan mulai kurang senyumnya. “Ang-bin Sin-kai, habis apa yang kau kehendaki?” tantangnya.

“Pertama-tama, keluarkan cucuku Lu Thong agar dia jangan terseret ke dalam jurang kehinaan dan mencemarkan nama keluargaku. Ke dua, suruh An Lu Shan keluar untuk menerima hukuman di tanganku!”

Terdengar seruan-seruan marah di antara kawan-kawan Jeng-kin-jiu, akan tetapi si gendut ini memberi isyarat dengan tangan menyabarkan kawan-kawannya. Kemudian dia tertawa bergelak menghadapi Ang-bin Sin-kai yang sudah marah sekali.

“Ang-bin Sin-kai, kalau kita bicara tentang buta dan tuli, kaulah orangnya. An Lu Shan adalah seorang pahlawan gagah perkasa yang dapat menghargai orang-orang gagah. Kau lihat saja betapa adikmu Lu Pin itu telah mengkhianati rencana baik, telah mengkhianati banyak menteri sehingga mereka dihukum sekeluarga mereka olah Kaisar Hian Tiong yang lalim! Sudah sepatutnya kalau Lu Pin sekeluarganya dihukum mampus. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh An-ciangkun terhadap muridku Lu Thong? Biar pun dia adalah cucu dalam dari Lu Pin, namun melihat kegagahannya, terutama memandang mukaku, muridku itu tidak saja diampuni, bahkan dianugerahi pangkat dan kedudukan! Berkat kebijaksanaan An-ciangkun, cucumu Lu Thong itu telah menjadi seorang yang dimuliakan dan sekarang kau datang untuk menghina An-ciangkun? Sungguh buta dan tuli, di mana keadilan dan kebijaksanaanmu?”

Mendengar berita ini, bukan luluh kemarahan Ang-bin Sin-kai, bahkan bagaikan api yang disiram minyak, berkobar makin hebat. Dua kali dia membanting kakinya dan tanah di sekitarnya sejauh lima kaki tergetar oleh tenaga bantingan kaki ini!

“Bangsat kau, Kak Thong Taisu! Kau telah menyeretnya menjadi anjing penjilat pemberontak An Lu Shan pula? Kalau begitu, sebelum menghancurkan An Lu Shan, kepalamu harus kupecahkan lebih dulu!” Setelah berkata demikian, dia menubruk maju dan melakukan serangan hebat.

“Sombong dan gila!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil menangkis.

Segera dua orang kakek yang sudah pernah bertempur mati-matian dengan keadaan seimbang itu kini mulai bertempur lagi mati-matian. Bukan main hebatnya pertempuran ini yang biar pun dilakukan dengan tangan kosong, namun sekali saja pukulan mengenai tubuh lawan, berarti merenggut nyawanya.

Hek-i Hui-mo tidak mau tinggal diam. Ia menggerakkan sepasang senjatanya, yakni tasbih di tangan kiri dan Liong-touw-tung di tangan kanan, menyerang Ang-bin Sin-kai dengan gemas. Kepandaian Hek-i Hui-mo semenjak dia berhasil mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng palsu, telah meningkat hebat sekali. Maka serangan-serangannya juga membuat Ang-bin Sin-kai terkejut karena serangan ini benar-benar jauh lebih berbahaya dari pada gerakan-gerakan hwesio ini pada waktu dahulu, bahkan masih lebih lihai dari pada serangan yang dilancarkan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!

Akan tetapi dia bukanlah tokoh besar dari timur kalau gentar menghadapi keroyokan dua orang ahli silat yang kepandaiannya berimbang dengan tingkat kepandaiannya sendiri itu. Dengan gerakan cepat amat lincah, mengandalkan ginkang-nya yang tinggi, dia menghindarkan diri dari serangan-serangan itu dan masih sempat membalas tak kalah hebatnya.

Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng, sebagaimana diketahui telah mendendam sakit hati kepada Ang-bin Sin-kai, karena empat orang saudara seperguruannya tewas dalam pertempuran ketika Ang-bin Sin-kai menyerang ke sarangnya. Kini melihat Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok oleh dua orang tokoh besar itu, dia merasa mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Sambil berseru keras dia lalu melompat maju menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan hebat.

Namun Pek-eng Sianjin ternyata tidak bijaksana dengan perbuatannya ini. Ia tidak mengukur kepandaian sendiri yang masih kalah jauh. Baru saja dia maju, tiba-tiba dia berteriak keras dan tubuhnya terlempar dua tombak lebih, pedangnya terlepas dan jatuh tak jauh dari tubuhnya. Ternyata bahwa hawa pukulan Ang-bin Sin-kai saja sudah cukup untuk membuat dia terpental, seakan-akan seekor nyamuk mendekati kitiran angin. Baiknya dia tidak terkena tangan Ang-bin Sin-kai, hanya keserempet hawa pukulan saja, karena kalau sampai terjadi demikian, kiranya nyawanya akan menyusul nyawa empat orang adik seperguruannya yang tewas terlebih dulu!

Berbeda dengan Pek-eng Sianjin, Toat-beng Hui-houw yang kepandaiannya juga sudah amat tinggi, berani menyerbu dan dengan masuknya kakek seperti iblis yang berkuku panjang ini, tentu saja keadaan Ang-bin Sin-kai menjadi amat terdesak. Di antara tiga orang pengeroyoknya, hanya Toat-beng Hui-houw saja yang kepandaiannya masih agak rendah apa bila dibandingkan dengan kepandaian sendiri. Akan tetapi Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo benar-benar hebat. Apa lagi Hek-i Hui-mo, serangan-serangannya benar-benar amat luar biasa. Menghadapi seorang di antara dua tokoh ini saja, belum dapat dipastikan bahwa Ang-bin Sin-kai akan menang. Apa lagi sekarang dikeroyok tiga!

Namun Ang-bin Sin-kai dalam pertempuran ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga. Segala pengalamannya yang berpuluh tahun itu dia keluarkan dan pergunakan dalam pertempuran ini, maka dia masih dapat mempertahankan diri sampai seratus jurus! Hal ini benar-benar membuat ketiga orang pengeroyoknya terheran-heran dan kagum bukan main, namun mereka mendesak makin hebat dan akhirnya robohlah Ang-bin Sin-kai! Kepalanya terpukul oleh tasbih dari tangan kiri Hek-i Hui-mo, dadanya terkena hawa pukulan Jeng-kin-jiu, sedangkan kuku panjang Toat-beng Hui-houw yang beracun melukai lambungnya. Ang-bin Sin-kai terhuyung-huyung lalu jatuh terkulai.

Kalau orang lain yang terkena pukulan-pukulan itu, biar pun hanya terkena satu di antaranya, tentu sudah roboh tak bernyawa lagi. Pukulan tasbih di kepala itu dapat memecahkan batok kepala, pukulan Jeng-kin-jiu ke dada itu, biar pun hanya hawanya saja, dapat melukai isi dada, apa lagi kuku panjang dari Toat-beng Hui-houw itu mengandung racun ular yang berbahaya sekali.

Ang-bin Sin-kai biar pun tidak tewas di saat itu juga, dia maklum bahwa luka-lukanya tak dapat diobati lagi. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan tertawa geli sambil berkata, “Syukurlah aku mati di tangan kalian, bukan di tangan para anjing pemberontak! Namun aku mati sebagai putera bangsa, Ang-bin Sin-kai biar pun mungkin takkan diingat orang lagi, namanya tidak busuk dan rusak. Akan tetapi kalian….. ha-ha-ha, kalian akan mati sebagai anjing-anjing perusak dan nama kalian akan membusuk sampai ratusan tahun! Jeng-kin-jiu, kau menjadi pucat….. dan ngeri? Ha-ha-ha, tunggu saja kalau Kwan Cu pulang, kau…. kalian ini….. akan merasakan pembalasannya….” Bicara sampai di sini, putuslah napas Ang-bin Sin-kai dan lenyaplah sifat-sifat kegagahannya, karena setelah mati, dia tidak berbeda dengan orang lain, yakni sebuah mayat yang dingin dan tidak berdaya.

Setelah melihat pengemis tua ini mati, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu teringat akan hubungan mereka yang dahulu, maka dia menjadi tidak tega hati. Ia menyuruh orang-orangnya untuk merawat dan mengubur jenazah kakek sakti itu baik-baik.

Demikianlah, jatuhnya pemerintahan Kaisar Hian Tiong membawa korban banyak sekali, tidak hanya para pembesar dan rakyat jelata, bahkan banyak pula tokoh-tokoh kang-ouw binasa.

Penuturan Jeng-kin-jiu kepada Ang-bin Sin-kai tentang diri Lu Thong memang betul. An Lu Shan adalah seorang cerdik sekali. Ia tahu bahwa Jeng-kin-jiu amat lihai, demikian pula muridnya, yakni pemuda Lu Thong yang sebetulnya adalah cucu dari Menteri Lu Pin sendiri.

Setelah bertemu dengan pemuda ini, An Lu Shan dapat melihat sifat-sifat Lu Thong yang suka akan kemewahan dan sombong sekali, maka dia lalu mengampuni pemuda ini dan bahkan mengangkatnya sebagai seorang pangeran dan diberi kedudukan tinggi sebagai kepala daerah di kota Ciang-bun.

Ada pun Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain tokoh besar, diberi kedudukan sebagai guru-guru dan penasihat-penasihat di istana. Hal ini pun merupakan kecerdikan dari An Lu Shan yang ingin tinggal dekat dengan orang-orang sakti ini sehingga dia selalu terlindung oleh mereka. Tokoh-tokoh ini tidak sadar bahwa sebenarnya mereka telah diperalat dan dijadikan pengawal-pengawal pribadi tanpa mereka ketahui.....!

********************

Walau pun An Lu Shan telah berhasil merebut kedudukan Kaisar Hian Tiong, akan tetapi ternyata bahwa di mana-mana rakyat tak mau terima begitu saja. Pemberontakan terjadi di mana-mana di kalangan rakyat jelata. Di sana-sini rakyat lalu melakukan perlawanan terhadap barisan An Lu Shan sehingga boleh di bilang bahwa An Lu Shan tak dapat tidur nyenyak! Dia sudah melakukan banyak usaha untuk menumpas perlawanan rakyat ini, akan tetapi bagaimana dia dapat memadamkan gelora dalam hati rakyat yang tidak sudi melihat dia menduduki singgasana kaisar?

Tadinya Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan beberapa tokoh besar lain membantu usaha ini, menumpas perlawanan rakyat di beberapa tempat. Akan tetapi sesudah beberapa tahun perlawanan rakyat bukannya mereda bahkan makin menghebat, diam-diam Jeng-kin-jiu dan yang lain-lain sadar serta terkejut.

Barulah mereka tahu bahwa sebenarnya rakyat tidak suka kepada pemberontakan An Lu Shan! Apa lagi ketika kaum persilatan juga membantu perlawanan dan perjuangan rakyat ini, diam-diam Jeng-kin-jiu menjadi gentar. Dia lalu berunding dengan Hek-i Hui-mo dan yang lain-lain.

“Kalau begini, kita sudah menempatkan diri dalam kedudukan amat berbahaya. Sebelum menghebat keadaan ini, lebih baik kalau kita mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pada kekeruhan ini,” kata Jeng-kin-jiu.

Memang mereka merasa ngeri kalau teringat akan ucapan Ang-bin Sin-kai bahwa kelak mereka akan mati sebagai pengkhianat-pengkhianat bangsa dengan nama busuk selama ratusan tahun! Setelah mengadakan permufakatan, mereka lalu menghadap An Lu Shan dan menyatakan bahwa kini sesudah kerajaan digulingkan, mereka hendak kembali ke tempat pertapaan masing-masing.

Tentu saja An Lu Shan menjadi amat kecewa, akan tetapi dia pun tidak berani menahan tokoh-tokoh besar ini, bahkan untuk memikat hati mereka, dia lalu memberi bekal berupa harta benda yang sangat besar jumlahnya dan dengan demikian dia dapat menarik janji mereka bahwa sewaktu-waktu bila mana ada kesulitan menimpa kerajaan, orang-orang pandai ini bersedia untuk membantunya.

Sepeninggal orang-orang sakti ini, An Lu Shan lalu memberi perintah kepada para anak buahnya untuk melakukan kekerasan berlipat ganda kepada pemberontak. Mereka yang tertangkap, lalu disiksa di tempat umum agar rakyat dapat melihatnya. Keganasan dan kekejaman terjadi di mana-mana dan biar pun rakyat menjadi takut sekali, namun hal ini menumbuhkan kebencian yang amat mendalam terhadap An Lu Shan…..

********************

Pada suatu hari, di kota Thian-cin, pagi-pagi sekali keadaan di tanah lapang telah ramai sekali. Tanah lapang ini menjadi markas pasukan An Lu Shan yang melakukan ‘operasi’ secara berpindah-pindah. Di kota mana saja mereka tiba, mereka mendirikan tenda dan mulai menangkap-nangkapi orang-orang yang mereka cap sebagai pemberontak untuk menerima hukuman yang mengerikan di tempat terbuka.

Dalam hal ini tentu terjadi hal-hal dan cara yang amat kotor. Para petugas ini mendatangi orang-orang biasa, mengancam akan menangkapnya sebagai pemberontak. Kalau yang diancam ini mempunyai harta, tentu dia tak segan-segan untuk mengeluarkan emas dan perak untuk menyogok agar dirinya selamat.

Ada pula yang sengaja menangkap keluarga di mana terdapat gadisnya yang cantik sehingga dengan jalan mengancam, keluarga itu terpaksa menyerahkan gadis itu kepada pembesar setempat supaya keluarga itu bebas dari pada siksa dan kebinasaan! Masih banyak lagi hal-hal kotor yang terjadi dan dilakukan oleh orang yang bermoral rendah, baik oleh anak buah An Lu Shan mau pun oleh pembesar-pembesar setempat yang telah mempunyai hubungan baik dengan kepala-kepala pasukan yang beroperasi itu.

Penduduk Thian-cin dipaksa meninggalkan rumah untuk menonton hukuman yang akan dijalankan di tempat terbuka, di suatu lapangan rumput dekat markas pasukan itu. Hal itu di sebut sebagai hari istimewa karena menurut pengumuman kepala pasukan, yang akan menjalani hukuman adalah para pemimpin gerombolan yang tertawan, yang jumlahnya ada sepuluh orang.

Penduduk berbondong datang ke tempat itu, bukan karena memang suka melihat orang tersiksa, akan tetapi akibat dipaksa oleh para anggota pasukan untuk datang menonton, dan juga karena ingin tahu siapakah gerangan sepuluh orang yang dianggap sebagai pemimpin-pemimpin pejuang rakyat itu.

Di tengah-tengah lapangan itu, sepuluh orang laki-laki diikat pada tiang-tiang dan mereka ini benar-benar tidak patut di sebut pemimpin-pemimpin pejuang karena pakaian mereka seperti orang-orang sastrawan dan mereka kelihatan lemah. Wajah mereka pucat-pucat dan mereka tergantung kepada tiang dengan kepala menunduk.

Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam dengan sikap garang, sedangkan para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu. Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata mempunyai tubuh tinggi besar dan nampak kuat luar biasa. Sambil memutar-mutar cambuknya, mereka menyeringai dan masing-masing menghampiri para korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.

Seorang perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton kemudian berkata dengan suara keras.

“Lihat, beginilah nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!” teriaknya dan mulailah dia menghitung, “Satu...!”

Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.

“Tarrr...!”

Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh pada tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan terdengar dan baju pun mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet.

Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini patut disebut sebagai pemimpin-pemimpin gerombolan? Mereka begitu lemah!

Sebenarnya, mereka ini adalah sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.

“Dua...!” Komandan itu memberi aba-aba.

Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!

Mereka cepat memandang dan dapat melihat seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,

“Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini.”

Sambil berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu sudah terlepas dari ikatan tangan mereka! Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!

Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.

“Kau siapakah berani mati mengacau disini? Apa kehendakmu?” Biar pun bersikap galak, akan tetapi para perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.

“Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu tidak akan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Apa bila memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang akan mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas dapat merasa puas.”

Para perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa pemuda ini tentulah salah seorang dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.

“Kau benar-benar hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk? Mereka ada sepuluh orang dan masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali cambukan?” tanya seorang perwira.

Pemuda itu menoleh ke arah penonton. Pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan tapi sinar matanya mengandung pengaruh yang luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan wajah pemuda yang tadinya sangat keruh dan muram segera berubah girang.

“Boleh, boleh, sesukamulah!” katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, “Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas semua dosa-dosaku!”

“Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!” bentak komandan itu.

“Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima puluh kali!” jawab pemuda itu yang segera menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.

Komandan itu menjadi gemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang yang gila, pikirnya. Lebih baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang ‘bijaksana’ dan yang berlaku adil.

“Rakyat semua!” serunya memandang pada penonton. “Orang muda ini dengan sesuka sendiri mau mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian diharuskan membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!”

Sepuluh orang itu saling pandang seperti tak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.

“Saudara yang baik, apakah kau benar-benar sudah yakin akan menolong kami sepuluh orang? Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu,” berkata seorang di antara bekas tawanan itu.

Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,

“Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?”

Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton, akan tetapi tentu saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.

“Hayo, pukul aku!” teriak pemuda ini.

Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda agar segera mulai menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Kali ini dia menghadapi sebuah pengalaman yang aneh.

Ia telah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan hanya dengan tiga kali cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang tadi dengan secara sangat aneh dapat merampas cambuknya, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa.

Dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, pemuda ini sudah dapat merampas cambuk sepuluh orang algojo, dan cambuk-cambuk itu lantas dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh. Ketika para algojo mengambil cambuk mereka masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat dari pada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!

Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan juga gentar. Akan tetapi sesudah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan.

Dengan lagak gagah, algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman lalu mengangkat cambuk tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali, lantas dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.

“Tarrr...!”

Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan putus atau setidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang tingkah lakunya seperti orang gila ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)