PENDEKAR SAKTI : JILID-29
Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya yang mulai robek di sana-sini.
Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil memejamkan kedua matanya.
“Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati. Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman terhadap teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat...”
Tak seorang pun di antara para penonton mau pun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian menghela napas dan dia berkata perlahan,
“Dia benar-benar menerima hukuman ini dengan suka rela. Ahhh... orang inilah harapan rakyat...! Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu! Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu? Orang ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu!
Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu Fu dapat ikut menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu.
Sebagaimana sudah diceritakan pada bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Dia teringat akan pesan suhu-nya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhu-nya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini.
Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat ditempuhnya dengan sangat mudah, karena kini dia bukanlah Kwan Cu seperti pada empat tahun yang lalu. Tanpa dia sadari, kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali dan betul-betul dia kini telah menjadi seorang yang sakti.
Sesudah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil. Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.
Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu, karena memang sesudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pemuda ini pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah pula dikuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri.
Mata hatinya telah terbuka mengenai kekuasaan Thian. Dia percaya sepenuhnya bahwa semua peristiwa di dunia ini sebenarnya dilakukan oleh manusia, akan tetapi keputusan terakhir tetap di tangan Thian. Oleh karena ini, betapa pun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!
Hanya satu hal yang terpikir olehnya pada saat dia mendengar itu, bahwa suhu-nya tentu pergi ke kota raja. Suhu-nya merupakan kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula. Peristiwa perpindahan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat pada Menteri Lu Pin. Mustahil bila Ang-bin Sin-kai diam saja dan tidak menengok keadaan kota raja.
“Pasti Suhu berada di kota raja dan tidak aneh apa bila aku mendapatkan dia di dapur istana, siapa pun juga kaisarnya yang menempati istana itu,” pikir Kwan Cu dengan geli mengenangkan kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.
Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan ini, dia mendengar pula mengenai usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan meski dia melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah, namun tidak mempengaruhi ketenangan batinnya.
Dia melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian amat buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, harta lain satu-satunya adalah suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong.
Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengungsi yang sedang pergi menuju ke selatan, menjauhi pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal sangat buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang segera mengungsi ke selatan, pergi sejauh mungkin.
Ketika dia sudah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.
Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba saja di antara para pengungsi terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang.
Seekor babi gemuk memimpin negara
mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia?
Akan tetapi serigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran...! Penasaran...!
Sayang sekali dua saudara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga,
pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran...! Penasaran...!
Berulang kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai salah seorang di antara para pengungsi menegurnya,
“Tu-siucai, harap kau diam dan jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua ditangkap dan dihukum mati?”
Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,
“Di dalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan bangsa bisa dapat dipertahankan? Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku.”
Orang yang menegurnya tadi hendak kembali menegur dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba saja dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa sang penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa dilihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi terkejut, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat setan di tengah hari.
“Di mana dia? Ke mana perginya Tu-siucai?” terdengar suara susul menyusul.
“Dia menghilang begitu saja!”
Ramailah rombongan itu. Akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan, mereka akhirnya segera melanjutkan perjalanan itu sambil tak ada hentinya membicarakan peristiwa yang aneh itu.
Apakah betul penyanyi tadi bisa menghilang? Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang sastrawan yang berbatin kuat, berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja.
Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tidak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang di dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin bertiup keras ke arah mukanya.
Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata,
“Siauwte mohon maaf sebesarnya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku lancang membawa Siucai ke sini.”
Tu Fu biar pun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Sekarang dia menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.
“Orang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapa namamu dan murid siapakah engkau?”
“Siauwte seorang tak berarti, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi amat menarik hati siauwte. Apakah siauwte boleh mengetahui siapakah adanya mereka itu? Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?”
Tu Fu tertawa. “Orang muda yang aneh, kau lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Baiklah, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin.”
“Apakah yang terjadi dengan mereka?” Kwan Cu bertanya.
Biar pun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai seorang, oleh karena itu sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja langsung menggerakkan hatinya.
Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh. Demikian pula sastrawan Tu Fu. Meski pun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mana pun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan.
Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia lantas mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,
“Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai? Ada hubungan apa pula antara kau dengan keluaraga Lu?”
“Sudah siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tidak perlu dibicarakan tentang diri siauwte.”
“Hemm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kau ceritakan apa hubunganmu dengan Ang-bin Sin-kai, bila tidak jangan harap dapat mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!”
Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berwatak keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata,
“Ang-bin Sin-kai adalah guruku.”
Mendengar ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kakinya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.
“Bu-pun-su, murid macam apa engkau ini? Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran dan sekarang tiba-tiba saja kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia? Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tidak bernapas lagi? Guru dalam bahaya dan mati-matian berjuang mempertahankan nama baik negara dan bangsa, tetapi kau bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau berpura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu? Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!”
Kwan Cu menjura lagi. “Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta.”
“Ang-bin Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat banyak tokoh kang-ouw membela pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu ke kota raja. Akan tetapi dia sendirian mana kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhu-mu benar-benar seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah perkasa.”
Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhu-nya itu. Tak terasa pula dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Dia terharu sekali akan nasib gurunya yang sangat dia cinta, sudah setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara.
Hatinya mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhu-nya, tapi kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa semuanya itu merupakan kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,
“Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati? Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?”
Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.
“Wahai semua makhluk yang kebetulan sedang berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang kuhormati?”
Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang memiliki pengaruh luar biasa.
“Siucai yang baik, siauwte mana berani mencela guru? Siauwte tadi hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa memang semuanya merupakan kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian? Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu tidak melihat kenyataan ini?”
Tu Fu makin marah-marah. “Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya jika orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang bagai mangkok yang berkembang tanpa isi. Apa gunanya? Hanya untuk pameran belaka! Bu-pun-su, engkau bermimpi dalam sadar. Jalan Tuhan memang luar biasa dan tidak dapat dimengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa pula bahwa manusia juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, semua itu bukankah kehendak Thian pula? Kalau kau tidak dapat membela bangsa dan tanah air, membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, apa kau patut disebut seorang anak bangsa? Hemm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!” Tu Fu marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.
Kwan Cu menjadi tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.
“Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhu-ku dan yang dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?”
“Bu-pun-su murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?”
Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan hanya satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dulu gurunya yang pertama, yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kagum.
Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya terhadap Tu Fu.
Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan gurunya, malah melebihi gurunya dalam hal ilmu kebatinan dan filsafat. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,
“Locianpwe, teecu sudah berlaku kurang hormat, mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat alangkah besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu harus bertindak, karena sebenarnya teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana.”
“Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan,” kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar telah sadar bahwa tindakan suhu-mu itu baik dan sempurna? Di kota Thian-cin ini, tidak jauh dari sini, orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan akan dihukum cambuk. Apa bila kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka, kau akan dapat melanjutkan usaha suhu-mu membasmi para pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan bangsa.”
Mendengar ini, bangkitlah semangat Kwan Cu. “Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai tak akan sia-sia belaka.”
Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-cin di mana segera akan berlangsung pelaksanaan hukuman cambuk atas diri sepuluh orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin-pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat.
Kwan Cu menurunkan Tu Fu di antara para penonton, ada pun dia sendiri sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, kemudian turun tangan merampas cambuk, mencegah dilanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman pada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.
Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan.
Walau pun para penonton merasa sangat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, akan tetapi diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan matanya dan sama sekali tidak pernah mengaduh, sungguh pun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk.
Suara cambuk algojo memecah di udara, kemudian disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu sehingga menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,
“Cukup, Bu-pun-su! Sudah lima puluh kali engkau menerima hukuman!” Inilah suara dari sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali.
Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang begitu jujur dan setia terhadap sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa terhadap Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal apa bila dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.
Baru saja ucapan ini selesai dikeluarkan oleh Tu Fu, mendadak algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa hingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri.
Demikian lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu hingga membalik melukai pemegang pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan si algojo terobek kulitnya sehingga dia segera melepaskan cambuk, lalu mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah!
Komandan pasukan mengira bahwa saking lelahnya algojo itu merasa sakit tangannya. Dia sudah amat mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lainnya untuk turun tangan pula.
Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu. Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, berbareng sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula!
Geger keadaan di situ. Para anggota pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apa lagi ketika dengan sekali renggut saja Kwan Cu mematahkan ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau.
Para perwira bala tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau balaunya.
Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa teman-teman sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagai daun-daun kering tertiup angin. Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tidak lama kemudian, anggota-anggota pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan begitu pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya.
Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka melihat sepuluh orang perwira telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para tawanan! Ada pun pemuda luar biasa itu, entah pergi ke mana karena tidak kelihatan bayangannya lagi.
Semenjak peristiwa itu, nama Bu-pun-su menjadi terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan. Nama ini mendatangkan rasa gentar di dalam hati mereka, karena selama menghadapi para pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah memperlihatkan kepandaiannya pada saat dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapa pun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-cin. Dia lalu menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk pujangga itu. Dia benar-benar tunduk kepada sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu.
Apa bila pujangga itu lahir batin membenci terhadap seluruh pasukan An Lu Shan yang sudah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci terhadap para anggota pasukan. Oleh karena ini, ketika dia dikepung dia tidak mau menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!
Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut namanya, ia menjadi amat terharu dan segera timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia sudah mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang.
Yang membuat dia merasa sangat heran dan juga mendongkol adalah pada waktu dia mendengar bahwa Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhu-nya. Dia tahu bahwa antara suhu-nya dan Jeng-kin-jiu, terdapat hubungan yang sangat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan?
Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini, maka orang pertama yang hendak adalah Jeng-kin-jiu.
Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada pasukan itu, mengancam perwiranya.
Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas pasukan dengan cara mengukir tulisan di dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:
APA BILA MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL NYAWA!
BU PUN SU
Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggota-anggota pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggota pasukan pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata.
Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, yaitu dengan cara memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas pasukan pemberontak…..
********************
Karena melakukan perjalanan cepat, biar pun banyak gangguan di jalan untuk menolong rakyat dari gangguan pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian tibalah Kwan Cu di kota raja. Dia teringat ketika dulu bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali.
Dia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.
Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar. Agaknya rumah makan ini pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besar itu.
Kwan Cu disambut oleh seorang pelayan yang menatapnya dengan mata penuh curiga. Maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan perasaan curiga karena rumah makan yang besar ini biasanya hanya dimasuki oleh para hartawan dan bangsawan-bangsawan belaka.
Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan serta biaya-biaya lainnya, maka dia sudah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya pada waktu dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.
Rumah makan itu sangat banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan sehingga suara ketawa mereka memecah di ruang makan itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya ada seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik.
Laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Kwan Cu diam-diam merasa geli karena dia tahu bahwa pada waktu bicara laki-laki botak itu mengerahkan tenaga khikang-nya yang lumayan juga hingga suaranya terdengar nyaring sekali.
Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di meja depan yang terletak di sebuah pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Akan tetapi Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa makanan.
Selagi menanti makanan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus sedang makan tulang yang hitam.
Pengemis-pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, salah seorang di antaranya bahkan terpincang-pincang. Melihat hal ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang. Bukan saja para pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai yang juga selalu berpakaian pengemis, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu. Pengemis-pengemis itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi.
Dia kemudian melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya. Pelayan itu datang dengan muka angkuh.
“Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu. Aku yang akan bayar.”
Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
“Pesanan Tuan akan kamu layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan sendiri.”
“Mengapa begitu?” tanya Kwan Cu dengan suara sabar.
“Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!”
Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya. “Baiklah, biar nanti aku yang memberikan sendiri.”
“Hei, A-kiu...!” tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Kwan Cu.
Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlarian menghampiri meja si botak.
“Ada apakah memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?” katanya membungkuk-bungkuk.
“Bagaimana sih kerjaanmu? Banyak lalat busuk tidak kau usir dari sini?” Sambil berkata demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu. “Membikin bau saja!”
Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik. Pendengaran Kwan Cu amat tajam sehingga dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang sedang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dirinya sendiri!
Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali. Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah, bahkan merasa amat kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja.
“Hm, agaknya dia orang jauh yang memiliki uang juga. Tidak apa kalau begitu. Asal saja bukan bangsa jembel yang pura-pura memesan masakan kemudian tidak dibayarnya,” si botak berkata agak keras, dan sikapnya ini terang sekali menghina dan tak memandang mata kepada orang lain.
Kemudian mereka melanjutkan percakapan mereka tadi. Tadinya Kwan Cu tidak sudi ikut mendengarkan kelakar mereka, akan tetapi karena tadi dia sudah terlanjur memasang telinga mendengarkan percakapan mereka ketika mereka bicara mengenai dia, sekarang perhatiannya masih ke sana dan tanpa disengaja dia mendengarkan kata-kata si botak yang diucapkan dengan suara perlahan.
“Bunga liar cantik dan harum selalu banyak durinya. Makin sukar dipetik makin menarik,” kata si botak tertawa-tawa.
“Siauw-ongya mengapa bingung-bingung? Bunga sudah berada di tempat bunga dalam rumah sendiri. Apa sukarnya?” kata seorang pemuda dengan sikap menjilat.
Si botak tertawa bergelak, lalu dia mengangkat cawan araknya. “Hayo minum arak untuk merayakan malam gemilang hari ini. Malam terang bulan dan kini dia pasti akan menurut. Ha-ha-ha!”
Semua orang di meja itu minum arak dengan bunyi bibir dikecap-kecapkan keras. Kwan Cu mendongkol sekali karena dia dapat menduga bahwa pemuda-pemuda itu tentu kaum berandalan yang suka menggoda wanita baik-baik, atau sekelompok pemuda pemogoran yang tak kenal malu.
Akan tetapi diam-diam dia menjadi benci kepada si botak dan berpikir siapa gerangan bunga liar yang hendak diganggu itu. Aku harus menolongnya, pikir Kwan Cu.
Pada saat itu pula, tiga mangkok bihun untuk para pengemis telah dikeluarkan. Kwan Cu merasa heran sekali kenapa pesanannya yang terdahulu belum dikeluarkan, akan tetapi pesanan untuk para pengemis ini demikian cepat matangnya.
Ketika dia melihat masakan itu, dia menjadi gemas sekali karena masakan bihun ini tidak karuan macamnya. Sayur-sayurnya terang bukan sayuran segar, agaknya sayur yang seharusnya sudah dibuang. Juga kuahnya kehitam-hitaman. Akan tetapi dia masih sabar dan segera membawa tiga mangkok itu keluar, ke arah para pengemis yang masih duduk jauh dari rumah makan itu.
Para pengemis itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat seorang pemuda memberi mangkok berisi bihun kepada mereka. Segera mereka menerima dan makan bihun itu, lupa untuk menghaturkan terima kasih saking lahapnya. Kwan Cu memandang dengan terharu sekali. Ia mengeluarkan tiga potong uang emas dan memberikan uang itu kepada mereka.
“Bawalah mangkok-mangkok itu, akan kubayar,” katanya.
Melihat semua pemberian ini, tiga orang pengemis yang sudah menghabiskan makanan kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Cu. Akan tetapi tanpa mempedulikan mereka Kwan Cu berjalan kembali ke dalam rumah makan.
Tanpa mempedulikan pandang mata orang muda botak dan kawan-kawannya yang amat memperhatikan dirinya, Kwan Cu duduk kembali ke depan mejanya yang tadi. Ternyata bahwa masakan pesanannya sudah tersedia di atas meja, masih mengebul hangat. Akan tetapi, ketika Kwan Cu mengangkat mangkok dan mengerjakan sumpitnya, dia mencium bau tidak enak dari mangkok itu.
Ia meletakkan kembali mangkok serta sumpitnya di atas meja, mukanya menjadi merah dan segera dia menengok ke belakang. Pelayan yang tadi melayaninya memandangnya dan cepat-cepat membuang muka ketika melihat dia menengok.
Kwan Cu memanggilnya. “Sahabat pelayan, harap datang ke sini sebentar.”
Pelayan itu menengok dan menghampirinya.
“Ada apakah?” tanyanya singkat dan kurang hormat.
Kwan Cu lalu menuding ke arah mangkok-mangkok masakan itu. Suaranya masih tetap sabar ketika dia bertanya.
“Masakan ini sudah masam dan bau, harap kau ganti dengan yang masih segar. Apakah restoran ini hanya menjual barang-barang busuk belaka?”
Wajah pelayan itu memerah. Memang, melihat keadaan Kwan Cu yang pakaiannya tidak sesuai dengan tamu-tamu lain yang biasa mengunjungi restoran ini, para pelayan berlaku curang dan memberi hidangan-hidangan sisa yang seharusnya sudah dibuang!
“Kau sombong amat!” pelayan itu berteriak marah. “Agaknya kau belum pernah makan masakan mahal maka kini mengira masakan ini busuk.”
Kesabaran Kwan Cu ada batasnya. Apa bila orang sengaja berlaku keterlaluan, sudah sepatutnya kalau orang itu diberi hajaran agar lain kali tidak berani menghina orang.
“Begitukah anggapanmu, Sahabat? Bagus, kalau begitu kau makanlah sendiri masakan ini, biar aku yang membayarnya!”
Sebelum pelayan itu sempat menjawab, tangan Kwan Cu bergerak ke depan, menotok pelayan itu hingga tubuhnya menjadi kaku dan mulutnya terbuka lebar-lebar tanpa dapat ditutup kembali. Dengan tenang Kwan Cu lalu mengangkat mangkok dan menggunakan sumpit untuk menjejalkan masakan itu ke dalam mulut si pelayan, terus di dorong dengan sumpit memasukkan masakan ke dalam kerongkongan!
Pelayan yang tak berdaya itu mau tidak mau menelan semua masakan yang di jejalkan dengan paksa melalui kerongkongannya!
Orang muda botak yang tadi disebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.
“Nah, aku terima kalah,” Kwan Cu berkata. “Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini.” Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.
“Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?” Pangeran Muda An yang botak itu membentak sambil mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh.
Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang dapat memainkan senjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat dari pada logam hitam diuntai, ada pun tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh pendeta).
Kwan Cu telah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu serta kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang lelaki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini merupakan seorang yang berpangkat pula.
Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini, ada pun kemarahannya telah membuat mukanya menjadi amat merah. Dengan gerakan istimewa, kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya.
Ujung kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding!
Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kepandaian serta lweekang yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,
“Sekarang terlalu banyak orang pandai sehingga di mana-mana gampang melihat orang memamerkan tenaga!” Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat kakinya. Dengan gerakan perlahan saja dia memegang meja itu, dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding.
Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun sebab ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini malah kepandaiannya lebih tinggi dari pada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding.
Ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, air muka pemuda botak menjadi berubah. Dia cepat-cepat menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.
“Ehhh, kiranya Suheng tidak menginginkan ada keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang ajar ini kepada Suheng.” Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti pula oleh kawan-kawannya yang kelihatan sangat takut terhadap pemuda baju mewah yang baru datang.
Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di mana dan bila mana.
Tiga orang pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan Cu.
Agaknya keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang tadi disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.
Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang pada Kwan Cu dengan penuh perhatian. Sepasang matanya memandang dengan mulutnya tersenyum setengah mengejek.
Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, bahkan jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
“Kiranya benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja sedang kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ahh, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?” pemuda itu berkata sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.
Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.
“Lu Thong...!” serunya.
Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di tempat terbuka itu.
“Kita masih bersaudara, bukan? Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara dengan enak dan leluasa.”
Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan benci.
“Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,” jawabnya.
Lu Thong mainkan alisnya. “Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu? Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar keterangan yang sejelasnya mengenai semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun? Nah, keterangan itu hanya bisa kau dapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah… kau takut?”
Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, karena itu dengan gagah dia menjawab, “Siapa takut? Kau sanggup berbuat apakah terhadap aku? Baiklah, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kau lakukan.”
Lu Thong tertawa gembira dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!
Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota. Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat. Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula.
Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini sudah mampu mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong secara diam-diam.
Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong serta Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!
“Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok,” katanya tertawa, “karena itu, mereka inilah yang sementara ini menghiburku dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup sebatang kara ini.”
Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan padanya dengan sikap genit. Juga dia melihat tiga orang pengemis tadi kini sudah turut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
“Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa.”
Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka warna, apa lagi dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai. Juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.
“Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong,” kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Dia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu mau pun taman bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri. “Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan sangat kuat seperti takut akan kedatangan musuh.”
Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah dipenuhi dengan hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh berisi arak wangi.
“Duduklah, saudaraku. Matamu sungguh awas sekali dan kau pun dapat menduga tepat. Memang sekarang kota raja sedang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja bagi para pembesar dan penduduk, bahkan di dalam istana sendiri juga terjadi kekacauan dan persaingan hebat.”
“Seperti halnya suhu-mu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhu-ku,” kata Kwan Cu dengan pandang mata tajam.
“Jangan kau persalahkan aku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa sangat menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan.”
“Akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, meski pun seluruh keluarganya telah musnah...,” Kwan Cu menyindir.
“Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kongkong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup.”
Berubah wajah Kwan Cu. “Benarkah? Di mana beliau?”
“Itulah soalnya, Kwan Cu. Kongkong sudah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya kongkong Lu Pin. Oleh karena itulah, biar pun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan.”
Kembali Kwan Cu tertegun. “Apa? Pemberontak itu sudah meninggal dunia?”
“Hussh, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorang panglima gagah perkasa dan bahkan sudah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak mungkin aku diangkat menjadi pangeran malah dianggap sebagai putera angkatnya sendiri.”
“Hemm, begitukah...?” kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya.
Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak bukan main terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk ayah bundanya, dan semua orang, sudah dibinasakan oleh An Lu Shan namun dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.
“Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu.”
“Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku ke sini untuk menceritakan semua itu?” Kwan Cu bertanya.
Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan kecerdikannya dan membuat Kwan Cu untuk bersikap waspada. “Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di kota raja.”
Maka berceritalah Lu Thong…
Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono sudah mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sebenarnya sudah ditentang oleh banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin.
Akan tetapi kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya benar saja, An Lu Shan lalu memberontak dengan sejumlah tentara tak kurang dari lima belas laksa orang yang sudah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang, kemudian pemberontak ini memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan serta pelesiran saja seperti kaisarnya.
Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang sangat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit. Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang istimewa, lagi pula dibantu oleh banyak orang pandai, akhirnya kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan, ada pun kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.
An Lu Shan para dan kaki tangannya, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, mereka bagaikan orang-orang kelaparan yang menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan akhirnya terjadilah perebutan kekuasaan.
Dalam keributan ini, An Lu Shan sudah dibunuh oleh salah seorang puteranya sendiri. Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu akhirnya menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa dengan diam-diam saling mempengaruhi dan menanam bibit permusuhan serta persaingan yang dalam sekali.
Ada pun fihak tentara Kerajaan Tang masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Pada waktu bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak. Dengan hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara Tang sendiri!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan, sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar.
Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan akhirnya dapat bersembunyi di dalam goa yang selanjutnya disebut goa Tengkorak, karena bekas menteri ini membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang binatang purba kala yang banyak terdapat di dalam goa itu.
Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan sudah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, bahkan diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.
Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,
“Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapa pun juga, An Lu Shan telah bersikap amat baik terhadap aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga supaya persaingan itu tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni di antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua yaitu tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Ada pun golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan.”
“Hemm, diakah? Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu,” kata Kwan Cu yang teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.
“Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong.”
“Pemuda botak hidung belang tadi?” tanya Kwan Cu. “Dan dia itu sute-mu?”
Lu Thong menarik napas panjang. “Suhu selalu tak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia itu sudah diangkat sebagai murid ke dua.”
“Lu Thong, sebenarnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku. Apakah maksudmu membawaku ke sini? Aku datang ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?”
“Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhu-mu tewas oleh suhu-ku?” tanya Lu Thong mengerutkan kening.
“Bukan hanya oleh suhu-mu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut.”
“Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang bersikap salah sekali, hendak membalaskan sakit hati karena kakek Lu Pin sekeluarganya dihukum oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang sudah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?”
Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.
“Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, walau pun hanya cucu angkat dari kongkong Lu Pin. Kini keturunan Lu hanya kau dan aku saja. Kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga kita!”
“Apa maksudmu?”
“Dengar baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing dengan hebat, bermaksud saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?”
“Apa?!” Kwan Cu membelalakkan matanya. “Kau bercita-cita menjadi kaisar?”
“Apa salahnya? Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap negara. Sudah sepatutnya apa bila keturunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja? Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa engkaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, sekarang marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik.”
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Apa bila kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku bisa membuat perhitungan dengan dia!”
Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong. Wajahnya yang tadinya kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
“Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!”
“Tidak, Lu Thong, aku hanyalah seorang yang tidak ada kepandaian (Bu Pun Su),” jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan langkah menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa segera mengundurkan diri.....
Komentar
Posting Komentar