PENDEKAR SAKTI : JILID-35
"Hwa-moi (adik Hwa), gadis ini cantik luar biasa, tidak kalah olehmu. Dia pantas menjadi isteriku!" kata Oei Liong tertawa girang.
Oei Liong cepat mempergunakan tambang pengikat layar untuk membelenggu kaki dan tangan gadis itu, sedangkan sepasang pedang gadis itu yang diambil oleh anak buahnya dia rampas. Demikian pula Oei Hwa lalu membelenggu kaki tangan Kwan Cu.
"Hwa-moi, pemuda ini berbahaya sekali. Lebih baik lekas kita binasakan dia!" kata Oei Liong
Adiknya melirik dengan sepasang pipi merah. Dalam pakaian basah kuyup serta rambut yang awut-awutan, warna merah di pipi itu membuat Oei Hwa kelihatan makin cantik.
"Kau memikirkan kepentingan dirimu sendiri saja, Twako. Pemuda ini kulihat seratus kali lebih baik dari padamu. Apa hanya kau saja yang memikirkan jodoh?"
Oei Liong tertegun, kemudian tertawa tergelak-gelak sambil menudingkan jari telunjuknya kepada muka adiknya yang menjadi malu.
"Sudahlah, mari kita menghaturkan terima kasih kepada Dewa Air yang telah melindungi kita," kata Oei Hwa. Keduanya lalu maju dan berlutut di depan patung perunggu itu!
Kemudian, diantarkan oleh anak buah mereka, kakak beradik ini lalu menggotong tubuh Kwan Cu dan gadis tawanan itu ke pantai dan langsung dibawa ke dalam hutan, sarang mereka. Hati mereka girang sekali karena mereka menemukan orang-orang muda yang menjadi tawanan itu lihai sekali, akan tetapi mereka memiliki daya untuk membuat dua orang tawanan mereka itu tak berdaya, yakni dengan jalan meminumkan obat beracun!
Tiba-tiba, sebelum mereka jauh meninggalkan pantai, salah seorang anak buah mereka menjerit sambil menudingkan telunjuk ke tengah sungai. Semua orang menengok dan aneh sekali! Perahu besar di mana patung perunggu itu disimpan perlahan-lahan mulai tenggelam, seakan-akan pada bagian bawahnya bocor.
"Celaka, lekas cegah dia tenggelam!" teriak Oei Hwa dan Oei Liong.
Semua anak buah bajak segera berperahu dan cepat menuju ke perahu besar itu. Akan tetapi terlambat, perahu itu telah tenggelam bersama arca yang mengerikan itu!
"Celaka!" Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa membanting-banting kakinya ketika melihat perahu itu tenggelam.
Ia tidak begitu menyayangkan perahunya yang besar dan indah itu tenggelam, terutama sekali yang membikin ia merasa menyesal adalah tenggelamnya patung perunggu yang berada di atas perahunya. Tenggelamnya patung itu merupakan tanda bencana bagi dia dan kawan-kawannya!
"Sudahlah, Hwa-moi," Luan-ho Oei Liong menghibur adiknya, "Untuk pengganti patung Dewa Air, aku sudah mendapatkan nona ini dan kau mendapatkan pemuda ganteng itu, bukankah mereka lebih baik? Mudah nanti kita mencari patung baru yang lebih baik."
Terhibur juga hati Oei Hwa ketika ia melirik ke arah Kwan Cu yang dipondongnya. Maka ia lalu melanjutkan perjalanannya bersama kakaknya dan para bajak sungai, menuju ke hutan yang mereka jadikan sarang.
Malam hari itu bulan bersinar gemilang. Di dusun dalam hutan itu, para bajak air sedang mengadakan perayaan pesta pernikahan dua orang pemimpin mereka. Pesta diadakan di lapangan yang luas dan dua orang tawanan itu didudukkan di tengah lapangan dengan kaki tangannya dibelenggu.
Para bajak sungai hendak menyaksikan betapa kedua orang calon pengantin itu hendak diberi obat yang disebut oleh pemimpin mereka sebagai obat pengantin! Padahal obat itu adalah obat beracun yang akan membuat Kwan Cu dan nona tawanan itu mabuk dan kehilangan ingatan sehingga keduanya akan menuruti segala kehendak Oei Liong serta Oei Hwa!
Kwan Cu saling lirik dengan nona di sebelahnya. Diam-diam pemuda ini merasa sangat geli karena nona ini cemberut dan memandangnya dengan muka marah. Sedikit pun tak kelihatan nona perkasa itu takut, maka diam-diam Kwan Cu menjadi kagum.
Baginya sendiri, tidak ada yang perlu ditakutkan, karena kalau dia mau, sesungguhnya hanya dengan beberapa gerakan saja semua belenggu kaki tangannya akan mudah dia putuskan dan dengan mudah pula dia akan bisa menolong keselamatan mereka berdua. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini dan akan menanti dan melihat lebih dulu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kwan Cu mengganggap semua itu sebagai lelucon yang menggelikan belaka, bahkan semua yang sedang dihadapinya merupakan hiburan yang menggirangkan hatinya.
"Dasar kau yang menjadi biang keladi!" Nona di sebelahnya menggerutu kepadanya.
Kwan Cu tersenyum dan memandang dengan mata jenaka. Gadis itu makin marah, akan tetapi juga terheran-heran. Dia sendiri memang berhati tabah dan keras, sedikit pun tidak sudi memperlihatkan kelemahan hati dan tidak mau kelihatan takut.
Akan tetapi tersenyum-senyum seperti pemuda itu, dengan pandangan mata demikian jenaka seakan-akan merasa gembira sekali, tak mungkin dapat dia lakukan! Bagaimana dalam keadaan demikian berbahaya dan tak berdaya, pemuda itu masih bisa tersenyum-senyum gembira?
"Kau cengar-cengir mau apakah?" bentaknya perlahan-lahan sambil pelototkan matanya. "Sungguh, kalau bukan kau tolol atau gila, agaknya aku yang sudah berubah ingatanku melihat orang tertawan dan berada dalam keadaan bahaya masih cengar-cengir seperti badut!"
"Mengapa tidak bergirang hati? Kau dengar sendiri tadi, kau dan aku hendak dikawinkan dengan Oei Liong dan Oei Hwa. Siapa yang tidak girang?"
Nona itu menjebikan bibirnya yang merah. "Hemm, kau girang hendak menjadi suami Oei Hwa, siluman wanita itu? Dasar mata keranjang! Huh, muak perutku melihat mukamu!"
Kwan Cu semakin geli hatinya. "Jadi kau tidak suka dikawin oleh Oei Liong, kepala bajak yang gagah dan bermuka kuning itu?"
"Siapa sudi? Lebih baik aku mati!"
"Aha, sudah tentu kau tidak suka karena kau sudah bertunangan! Bukankah kau adalah tunangannya The Kun Beng?"
Nona itu membelalakkan matanya dan mukanya berubah. "Bagaimana kau bisa tahu? Siapakah kau?"
"Bun Sui Ceng, lupa lagikah kau kepadaku? Dahulu sudah sering kali kita bertemu."
"Heeee...?! Siapa kau?" Gadis itu yang ternyata memang benar Bun Sui Ceng adanya, bertanya kaget.
"Aku selamanya takkan bisa lupa kepadamu, takkan lupa kepada mendiang ibumu yang berhati mulia. Aku adalah bocah gundul yang dulu pernah ditolong oleh ibumu."
"Kwan Cu...?!? Kau Lu Kwan Cu...?" Sui Ceng memandang dengan mata terbelalak dan sinar matanya mencari-cari, menyelidiki ke seluruh kepala serta muka Kwan Cu, maka tertawalah gadis itu, tertawa geli sekali.
Kwan Cu mengerutkan kening. Kalau tadi dia mentertawai gadis itu, sekarang dia yang ditertawai. Apanyakah yang menggelikan? Apakah mukanya bercoreng hitam?
"Ehh, Sui Ceng, kau cekikikan itu ada apakah?" tanyanya mendongkol.
Sui Ceng makin geli, menggigit bibirnya agar mulutnya tidak terbuka dalam ketawanya, karena dia tidak mungkin dapat menggunakan tangan untuk menutupi mulutnya. Oleh karena gerakan bibir itu, ia nampak lucu sekali.
"Alangkah lucunya keadaanku," akhirnya dia dapat berkata, "tak kusangka dapat bertemu dengan kau disini, dalam keadaan begini pula. Hi-hi-hi Kwan Cu, kau masih dogol seperti dulu, dogol dan tolol, sungguh menggelikan hati sekali. Dan kau sekarang agaknya mata keranjang sekali, sehingga engkau kelihatan gembira benar hendak dikawin oleh siluman wanita Oei Hwa itu."
"Kau keliru Sui Ceng. Aku bergirang bukan karena akan dipaksa menjadi suami Oei Hwa, melainkan bergirang karena kau dan aku keduanya akan menikah. Dan melihat keadaan kita ini, aku merasa bahwa kitalah yang akan saling menikah, kau dengan aku dan aku dengan kau… bukankah ini menggembirakan sekali?"
Untuk sejenak Sui Ceng tertegun dan memandang dengan sinar mata bodoh kemudian tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali sampai ke telinga-telinganya.
"Kwan Cu, kalau aku tidak tahu bahwa kau adalah seorang yang dogol, tolol dan jujur, aku tentu akan menganggap ucapanmu itu kurang ajar sekali."
Kwan Cu tersenyum. "Terus terang saja, Sui Ceng, kau tentu lebih suka menikah dengan aku dari pada dengan siluman muka kuning itu, bukan?"
"Tentu saja, orang bodoh! Akan tetapi, jangan kita mengoceh yang bukan-bukan. Lebih baik sekarang mencari jalan bagaimana caranya kita dapat lepas dari bencana ini, atau bagaimana nanti sikap kita kalau mereka memaksa kita."
"Terserah kepadamu, aku akan menurut saja apa yang akan kau lakukan."
"Kalau mereka memaksa, tentu aku akan memberontak dan melawan mati-matian, begitu mendapat kesempatan melepaskan diri dari belenggu ini."
Kwan Cu mengangguk-angguk. "Aku pun begitu," katanya.
Hening sesaat dan mereka saling pandang.
"Kwan Cu, kau berubah sekali, maka tadi aku tidak mengenalmu. Dulu kau gundul dan buruk, seperti anak cacingan, sekarang..."
"Sekarang bagaimana...?"
"Hemm, harus kuakui bahwa kau sekarang telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, pantas saja siluman wanita itu tergila-gila padamu."
Merah wajah Kwan Cu, merah karena girang. "Ahhh, pujianmu itu berlebihan. Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Kun Beng..."
"Kau sudah bertemu dengan dia? Aku belum pernah melihatnya sekarang."
"Aku pun belum. Akan tetapi semenjak pertemuan tadi, aku sudah menduga bahwa kau tentulah Sui Ceng, kau masih lincah dan jenaka seperti dulu... dan... lebih cantik!"
Sui Ceng menundukkan mukanya, kini agak kecewa menghadapi bahaya yang mungkin akan menamatkan nyawanya, nyawa mereka berdua.
"Sayang sekali, Kwan Cu. Tadinya aku hendak mendahului dan mawakili engkau, hendak menjalankan pesan terakhir dari menteri Lu Pin yang agung. Ternyata agaknya riwayat kita akan tamat sampai di tempat ini..." Gadis itu menghela napas berulang-ulang.
"Pesanan dari Lu-kongkong? Pesan apakah...?" Kwan Cu bertanya.
"Jadi kau belum sampai ke Goa Tengkorak?"
"Aku memang hendak menuju ke sana, akan tetapi tertunda karena peristiwa ini."
"Hemm, sayang... pesanan itu akan hilang begitu saja agaknya kau dan aku tidak akan terlepas dari ancaman ini. Kasihan Lu-Taijian..."
"Bagaimana bunyi pesan itu?"
"Kau harus pergi ke sana sendiri dan membacanya sendiri."
Percakapan mereka terhenti karena dengan iringan tambur serta gembreng, diiringkan pula oleh anak buah bajak sungai, nampak datang Oei Liong dan Oei Hwa, keduanya dalam pakaian pengantin!
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Kwan Cu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hushh! kau cekakakan ada apakah? Girang barang kali melihat mempelai datang?" Sui Ceng menegur
Kwan Cu semakin geli. "Lihat, alangkah lucunya mereka itu...! Mereka sudah berpakaian pengantin dan kita masih dibelenggu begini macam, hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan selanjutnya?"
Sui Ceng benar-benar merasa heran melihat sikap pemuda ini yang sama sekali tidak susah atau takut. Dia sendiri semenjak tadi sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk memutuskan belenggu, namun sia-sia belaka.
Kwan Cu tidak berusaha meloloskan diri, sebaliknya menanti kelanjutan perbuatan para bajak itu bagaikan seorang anak kecil hendak menikmati tontonan yang bagus. Memang benar-benar pemuda aneh sekali!
Oei Liong dan Oei Hwa datang membawa cawan arak dan di tangan kiri masing-masing memegang guci kecil penuh arak. Inilah arak yang mengandung racun perampas ingatan orang!
"Manisku, sebelum engkau memakai pakaian pengantin, terlebih dahulu minumlah arak ini sebagai tanda pemberian selamat dariku," kata Oei Liong sambil memperlihatkan guci itu.
"Kau juga, Kanda. Minumlah arak ini sebagai tanda cinta kasihku," kata Oei Hwa yang mukanya sudah merah itu dengan sikap genit sekali. Nona ini memang tadi sudah minum arak sampai mabuk sehingga tidak mengenal malu lagi.
"Aku tidak sudi!" jawab Sui Ceng membentak keras dan mengedikkan kepalanya.
"Sayang sekali apa bila harus dipaksa, Manisku. Maafkan, terpaksa aku mempergunakan kekerasan." Sambil berkata demikian, Oei Liong lalu menggerakkan tangan menotokkan leher Sui Ceng yang tak dapat mengelak sehingga jalan darahnya terkena totokan yang lihai itu dan lemaslah dia tak berdaya lagi!
Oei Liong sudah siap untuk mendekati Sui Ceng dan membuka mulut gadis itu, ketika mendadak terdengar suara orang-orang menjerit dan berlari-lari. Ternyata bahwa yang berlari-lari itu adalah para bajak yang menjaga di luar dusun.
"Celaka... ada siluman mengamuk!" Begitu terdengar teriakan-teriakan itu dan para bajak yang belari-lari itu mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.
Oei Liong terkejut dan terpaksa menunda niatnya untuk memaksa Sui Ceng minum arak itu. Juga diam-diam Kwan Cu membatalkan niatnya untuk memutuskan belenggu. Kalau sekiranya tidak ada gangguan itu, tentu dia telah memutuskan belengu dan memberikan hajaran kepada Oei Liong. Ia tidak akan membiarkan saja Sui Ceng dipaksa minum arak yang memang dia curigai itu.
"Ada apakah ribut-rbut? Siapa yang kurang ajar dan tidak tahu aturan sehingga berani mengganggu upacara pernikahan kami?" teriak Oei Liong dengan marah sekali.
Kepala bajak ini telah mencabut golok besarnya, demikian pula Oei Hwa telah mencabut sepasang pedangnya. Dengan hati marah dan mendongkol keduanya lantas melompat menuju ke arah terjadinya ribut-ribut tadi.
Akan tetapi mereka tak perlu lari jauh dan tiba-tiba keduanya berdiri kaku seperti patung ketika melihat apa yang menyebabkan anak buah mereka ketakutan setengah mati itu.
Dari luar dusun, nampak bayangan besar berlompat-lompatan menuju ke tempat mereka dan di bawah sinar bulan purnama, kini bayangan itu kelihatan nyata sekali, yakni patung perunggu yang tadi tenggelam bersama perahu ke dasar sungai! Terkena cahaya bulan, patung itu seolah-olah hidup, dua matanya yang merah mengeluarkan sinar mengerikan. Patung itu benar-benar bergerak, melompat-lompat dengan lompatan panjang ke tempat berkumpulnya para bajak itu.
Ketika terjadi ramai-ramai tadi, diam-diam Kwan Cu menggerakkan kedua kakinya yang terbelenggu dan dari belakang dia mengayun kakinya itu menendang ke arah leher Sui Ceng. Tanpa sepengetahuan gadis itu, ia telah berhasil membuka totokan yang membuat gadis itu bebas kembali jalan darahnya.
Gadis ini merasa heran akan tetapi dia tidak sempat untuk menyelidiki siapa yang telah membebaskannya karena pada saat itu dia pun memandang ke arah bayangan yang berlompatan itu dengan mata terbelak dan muka pucat. Sui Ceng adalah seorang gadis yang gagah perkasa, akan tetapai melihat patung yang tadi sudah tenggelam bersama perahu itu muncul di darat dan hidup, bulu tengkuknya berdiri semua dan dia bergidik dengan hati merasa seram dan ngeri.
Jangankan Oei Liong, Oei Hwa dan Sui Ceng, sedangkan Kwan Cu sendiri yang sejak kecilnya mengalami banyak sekali hal-hal yang aneh dan menyeramkan, pada waktu itu duduk melenggong dengan mulut terbuka dan mata terbelalak lebar memandang ke arah patung itu seakan-akan dia sendiri sudah berubah menjadi patung.
Semua bajak sungai, seorang demi seorang lantas mengambil langkah seribu dan berlari tunggang-langgang ke dalam hutan yang lebat ketika patung itu terus melompat-lompat menghampiri mereka. Kini tinggal Oei Liong dan Oei Hwa sendiri yang masih berdiri di situ dengan tangan memegang senjata, akan tetapi tangan mereka terasa lumpuh saking besarnya rasa takut yang mengamuk di dalam hati dan pikiran.
"Oei Liong dan Oei Hwa, kalian telah berdosa besar!" demikian patung itu mengeluarkan suara. Suaranya amat besar dan nyaring sehingga Kwan Cu yang tadinya sudah seperti berubah menjadi patung, kini siuman kembali dari keadaannya.
"Kalian membiarkan kami tenggelam dan sekarang melakukan upacara pernikahan tanpa minta ijin. Karena dosa-dosa itu, kalian harus binasa...!"
Kemudian terdengar patung itu menggereng dan melompat-lompat lagi menghampiri Oei Liong dan Oei Hwa!
Kakak beradik ini merupakan orang-orang berhati kejam dan mereka tidak akan merasa ragu-ragu untuk menyembelih leher manusia. Akan tetapi mereka itu amat percaya akan tahayul. Kini menghadapi kemurkaan patung itu, mereka menjadi pucat sekali dan tanpa dikomando, keduanya lalu melompat dan melarikan diri! Oei Liong sampai tersandung dan jatuh dua kali karena walau pun dia berkepandaian tinggi, kedua kakinya menggigil sehingga membuat larinya kaku sekali!
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kwan Cu tertawa geli sesudah melihat semua bajak laut berlari pergi. "Saudara yang baik, lekaslah kau keluar dari kurungan itu!"
Sui Ceng tertegun. Gadis ini pun sudah pucat sekali. Ia membayangkan betapa hebatnya mati dalam tangan patung mengerikan ini. Akan tetapi mengapa Kwan Cu mengajaknya bicara?
Terjadilah hal yang sangat aneh. Patung itu tertawa bergelak-gelak tanpa menggerakkan bibirnya, dan tiba-tiba patung itu terlempar ke atas dan jatuh berdebuk, bergulingkan di atas tanah dalam keadaan rusak karena terbentur batu. Akan tetapi ketika terlempar dia meninggalkan seorang manusia yang ternyata bersembunyi di dalamnya! Manusia ini lalu tertawa bergelak-gelak dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya tinggi besar, bermata lebar dan suaranya besar.
"Matamu sungguh tajam, Kawan! Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku bersembunyi di dalamnya?" tanyanya sambil memandang kepada Kwan Cu.
Kwan Cu menatap wajah pemuda tinggi besar itu dengan tajam, kemudian dia pun ikut tertawa terpingkal-pingkal.
"Ha-ha-ha, tidak tahunya saudara Kong Hoat yang bermain setan-setanan, pantas saja demikian lihai sehingga tikus-tikus itu melarikan diri."
Pemuda itu terkejut dan sekali dia melompat, dia telah berada di dekat Kwan Cu. Dengan cepat dia membuka belenggu yang mengikat tangan dan kaki Kwan Cu serta Sui Ceng, kemudian dia bertanya,
"Kau siapakah?"
"Lihat baik-baik, kawan. Sudah lupa lagikah kau kepadaku? Bagaimana dengan keadaan Liok-te Mo-li, ibumu?"
Pemuda itu memang benar pemuda nelayan yang gagah perkasa, putera dari Liok-te Mo-li. Setelah mendengar suara Kwan Cu dan memandang dengan penuh perhatian, dia lalu teringat dan dengan girang sekali dia menepuk-nepuk pemuda itu.
"Ha-ha-ha, tidak tahunya saudara Lu Kwan Cu! Bagus, bagus, tak percuma aku bermain gila seperti tadi. Kalau saja aku tahu bahwa kaulah yang mereka tawan, tentu aku akan mengejar mereka terus sampai mereka mampus ketakutan! Sekali lagi, bagaimana kau bisa tahu bahwa di dalam patung ada orang yang sembunyi?"
"Mudah saja. Kau boleh saja menyembunyikan badanmu, akan tetapi pada waktu kau melompat, kau tidak mungkin dapat menyembunyikan telapak kakimu."
Sui Ceng terheran-heran. Dia sendiri biar pun memandang kepada patung yang hidup itu dengan mata melotot, tidak dapat melihat telapak kaki itu.
Kong Hoat tertawa-tawa lagi, kini bergelak-gelak keras dan dari kedua matanya keluar air mata bercucuran. Melihat ini, Sui Ceng melongo dan tak dapat bicara apa-apa. Pemuda tinggi besar ini benar-benar orang aneh sekali, aneh, seperti juga Kwan Cu.
"Ha-ha-ha, saudara Kwan Cu. Apa kau tadi melihat betapa siluman wanita itu berlari-lari tunggang-langgang sampai dia terkentut-kentut?" sambil berkata demikian, pemuda yang bertubuh besar ini memukul-mukul pundak Kwan Cu dengan keras. Apa bila bukan Kwan Cu yang dipukul, tentu pundak itu akan remuk tulang-tulangnya!
Kwan Cu tertawa terbahak-bahak. "Aku lebih memperhatikan Oei Liong yang berlari-lari tunggang-langgang sampai terkencing-kencing!" Kwan Cu juga memukul-mukul pundak Kong Hoat.
Dalam sendau gurau ini, diam-diam kedua orang itu saling menguji kepandaian masing-masing dan sangat terkejut. Tahulah Kong Hoat bahwa tenaga dan kepandaian Kwan Cu jauh mengatasi kepandaiannya, maka ia menjadi makin kagum, menghormat, dan girang bukan main.
"Ehh, sampai lupa aku. Siapakah Lihiap ini?"
Kwan Cu teringat dan dia memperkenalkan Sui Ceng. "Saudara Kong Hoat, Nona ini pun bukan orang luar. Dia adalah nona Bun Sui Ceng, murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li."
Mendengar ini seketika lenyap suara ketawa Kong Hoat. Ia cepat menjura dengan penuh hormat kepada Sui Ceng dan berkata,
"Aduh, alangkah bahagia hatiku dapat bertemu dengan murid dari wanita sakti itu. Bun Lihiap, siauwte adalah Kong Hoat, seorang nelayan bodoh."
Sui Ceng tertawa. Semenjak tadi melihat pemuda kasar dan jujur ini, dia merasa kagum dan geli, terutama sekali melihat betapa setiap kali tertawa terpingkal-pingkal, Kong Hoat selalu mengucurkan air mata.
"Kong-enghiong, kau terlalu merendahkan diri. Kalau tidak ada kau yang menolong, aku dan dia ini entah sudah mati atau belum pada saat ini," kata Sui Ceng sambil melirik ke arah Kwan Cu dengan pandang matanya memandang rendah. "Lebih baik aku sekarang segera mengejar untuk membasmi para bajak sungai itu."
"Tak perlu, lihiap. Tidak akan ada gunanya. Kalau kau mengejar, mereka akan lari cerai berai dan biar pun kau berhasil, tentu hanya beberapa orang saja yang dapat kau susul. Sebaliknya, jika kau tidak mengejar, kurasa mereka semua akan datang kembali setelah melihat bahwa patung hidup itu sebetulnya hanya main-main belaka." Kembali Kong Hoat tertawa sambil mengucurkan air mata.
"Sui Ceng, dia berkata benar. Mereka tadi melarikan diri hanya karena kaget dan takut setengah mampus terhadap patung itu. Saudara Kong Hoat, lebih baik kau menceritakan bagaimana kau bisa melakukan permainan tadi?"
Sui Ceng terpaksa menunda niatnya mengejar para bajak, karena dia sendiri pun ingin sekali mendengar penuturan pemuda tinggi besar itu.
"Aku memang mendapat tugas dari ibuku untuk menyelidiki keadaan bajak sungai yang dipimpin oleh Luan-ho Oei Liong dan Sin-jiu Siang-kiam Oei Hwa. Semenjak mudanya Ibuku memang menjagoi di kalangan bajak, menguasai daerah sungai dan telaga, juga bahkan sudah menjelajahi sampai ke samudera. Akan tetapi ibu tidak pernah melakukan kejahatan, apa lagi merampok rakyat yang memiliki mata pencaharian menjadi nelayan. Karena mendengar akan kejahatan bajak sungai yang dipimpin oleh dua saudara Oei itu, ibu lalu menyuruh aku untuk menyelidiki. Kebetulan sekali aku melihat kalian dikeroyok dan karena aku sendiri sangsi apakah aku akan mampu menghadapi dua orang saudara yang ternyata amat lihai ilmu silatnya itu, aku lalu terjun dan menyelam ke bawah perahu besar dan menenggelamkan perahu itu. Kemudian aku lalu menggunakan akal, memakai patung itu untuk mengusir mereka dan menolong kalian bebas dari belenggu." Sesudah menuturkan pengalamannya, kembali nelayan muda yang gagah ini tertawa bergelak sambil mencucurkan air mata.
Sui Ceng geli sekali melihat keadaan pemuda ini dan karena melihat sikap Kong Hoat yang jujur dan polos, tanpa sungkan-sungkan dia lantas mencela, "Saudara Kong Hoat, kau... cengeng (mudah menangis) sekali!"
Kong Hoat tidak menjadi marah mendengar celaan ini, bahkan sambil tertawa dia pun menjawab, "Bukan salahku, salahnya mataku yang gampang menangis. Karena mataku ini maka di tempatku aku dijuluki orang Nelayan Cengeng!"
Ucapan ini menambah kegelian hati Sui Ceng dan Kwan Cu sehingga tiga orang muda yang perkasa itu tertawa-tawa.
Mendadak terdengar suara orang-orang berteriak. Ternyata, sambil berteriak, para bajak sungai itu dengan dipimpin oleh Oei Liong dan Oei Hwa datang menyerbu!
"Nah, mereka benar-benar datang. Tentunya mereka sudah tahu akan tipuanku tadi. Biar aku mengambil senjataku yang kusembunyikan di luar dusun ini!" kata Kong Hoat sambil berlari keluar dari dusun untuk mengambil senjatanya, yakni sebatang dayung yang amat panjang dan berat.
"Apakah kau bersenjata?" tanya Sui Ceng kepada Kwan Cu.
Pemuda itu menggelengkan kepalanya.
"Sepasang pedangku juga dirampas oleh keparat Oei Liong, akan tetapi jangan khawatir, dengan tangan kosong aku sanggup melayani mereka. Apa lagi ikat pinggangku masih ada!"
Gadis ini lalu meloloskan ikat pinggang sebelah luar yang berwarna merah dan sekali dia menggerakkan tangan, ikat pinggang itu bergerak-gerak laksana seekor ular merah yang menyambar-nyambar. Diam-diam Kwan Cu merasa amat kagum dan teringatlah dia akan kelihaian ilmu dari Kiu-Bwe Coa-li, guru dari gadis ini. Dia yakin bahwa dengan senjata ang-kin (sabuk merah) itu, Sui Ceng cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawannya. Dia sendiri tersenyum dan tahu bahwa gadis ini masih memandang rendah kepadanya, maka dia pikir tak perlu memamerkan kepandaian dan akan bergerak secara sembunyi saja.
Gerombolan bajak muncul dan meraka telah bersenjata lengkap
"Di mana adanya keparat yang sudah menipu kami dan menghina Dewa Sungai?!" Oei Liong berseru sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.
"Aku di sini dan siap untuk mengemplang pecah kepalamu!" tiba-tiba terdengar teriakan keras dan terlihat Kong Hoat muncul berlari-lari sambil menyeret dayungnya yang besar dan berat.
"Kepung! Bikin mampus keparat itu, tangkap dua orang mempelai!" Seru Oei Liong dan Oei Hwa.
Mereka ini menyerahkan pemuda nelayan bersenjata dayung itu kepada para anak buah mereka, karena bagi mereka, lebih baik mereka berusaha menangkap kembali Kwan Cu dan Sui Ceng.
"Kwan Cu, kau mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka dan menghajar mereka dengan sabukku!" berkata Sui Ceng yang merasa khawatir kalau-kalau kepandaian Kwan Cu masih terlampau rendah untuk menghadapi kedua orang pemimpin bajak itu dengan tangan kosong saja.
Kwan Cu tersenyum dan benar-benar melompat mundur di belakang Sui Ceng, lalu dia duduk di bawah pohon dengan sikap sebagai seorang yang akan menonton pertunjukan bagus. Akan tetapi, secara diam-diam matanya mencari-cari batu-batu kecil dan kedua tangannya menggerayang mengumpulkan batu-batu ini.
Keadaan menjadi geger. Puluhan orang bajak sungai yang sudah dikumpulkan itu segera menyerbu, sebagian mengepung Kong Hoat dan sebagian pula membantu Oei Liong dan Oei Hwa yang mencoba untuk menangkap Kwan Cu dan Sui Ceng hidup-hidup.
Ketika Oei Hwa melihat bahwa Kwan Cu tidak mau melawan, bahkan duduk di bawah pohon hatinya girang bukan main dan mengira bahwa pemuda itu memang suka menjadi suaminya maka tidak melawan. Ia mendahului semua orang melompat ke dekat Kwan Cu dan dengan sikap yang genit ia berkata,
"Calon suamiku, apakah tadi kau tidak mengalami kekagetan? Marilah kita menyingkir lebih dulu sementara kawan-kawan kita menangkap gadis yang masih berkepala batu ini dan membunuh orang kasar itu!"
"Cih, perempuan hina dina!" Sui Ceng memaki dengan marah dan segera sinar merah dari sabuknya meluncur ke arah leher Oei Hwa.
Kepala bajak ini sangat terkejut dan cepat menangkis. Akan tetapi inilah kesalahannya. Ketika ditangkis, sabuk itu bahkan melibat pedang dan pedang itu pasti akan terampas kalau saja Oei Hwa yang menjadi kaget tidak cepat-cepat mempergunakan pedang yang kiri untuk menusuk dan membabat tangan Sui Ceng.
Terpaksa murid Kiu-bwe Coa-li ini melepaskan libatan sabuknya karena ia pun maklum akan kelihaian lawan. Ia menarik sabuknya sambil tertawa menghina, kemudian kembali menyerang lagi. Terpaksa Oei Hwa melayaninya dan menyerang dengan sengit.
"Hwa-moi, jangan lukai dia. Ingat, dia calon Soso-mu (kakak ipar perempuan)!" kata Oei Liong.
Dia segera maju pula membantu adiknya, tetapi bukan untuk membinasakan Sui Ceng, melainkan berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup. Juga beberapa orang bajak yang kepandaiannya sudah tinggi ikut pula menyerbu.
Akan tetapi Oei Liong dan kawan-kawannya kecele sekali kalau dia mengira akan dapat menangkap hidup-hidup gadis perkasa itu. Biar pun hanya bersenjata sehelai sabuk yang lemas, akan tetapi gadis ini lihai sekali. Tadinya para bajak mengira bahwa betapa pun pandainya gadis itu, tanpa senjata tajam, hanya memegang sehelai sabuk, tentu mudah ditawan, dan sabuk itu tentu tidak berbahaya.
Akan tetapi tak disangka-sangka, setiap kali sabuk yang berubah menjadi sinar merah itu melayang dan ujungnya ‘mencium’ tubuh seorang anggota bajak, orang itu tentu segera memekik ngeri lantas roboh tak bernyawa lagi dalam keadaan tidak terluka sama sekali! Ternyata bahwa inilah ilmu cambuk dari Kiu-bwe Coa-li yang selalu mengarah pada jalan darah kematian dari pada lawan!
Dalam beberapa gebrakan saja, para bajak sungai yang tadinya berlomba ingin sekali berjasa dan menawan serta memeluk gadis cantik itu, dikagetkan oleh robohnya tujuh orang kawan mereka dalam keadaan tewas! Gentarlah mereka semua dan tanpa ada perintah dari Oei Liong dan Oei Hwa, sebagian besar sudah mundur tak teratur!
Di lain fihak, para bajak yang mengeroyok Kong Hoat, juga menemui ‘batunya’. Dayung di tangan nelayan muda ini sungguh lihai sekali dan kekuatannya laksana seekor gajah mengamuk. Banyak kepala anak buah bajak yang pecah terpukul dayung, tulang-tulang iga patah-patah dan remuk kena sambaran senjata yang keras itu.
Para bajak menjadi semakin kocar-kacir. Banyak pula yang tak tahan menghadapi Kong Hoat lalu mengundurkan diri, hanya bergerombol di tempat yang jauh sambil menonton mereka yang masih bertempur.
"Pergunakan jala wasiat!" tiba-tiba Oei Hwa membentak keras, memberi perintah kepada anak buahnya.
Barulah para bajak itu teringat akan senjata yang ampuh itu. Beramai-ramai mereka lalu mengambil jala-jala yang sengaja dibuat bukan untuk menjala ikan, namun untuk menjala manusia, yakni lawan yang tangguh sekali.
Oei Liong sendiri bersama Oei Hwa juga mencabut jala yang tipis dan dilipat-lipat serta diselipkan di punggung mereka dan sekali Oei Liong menggerakkan tangan, sehelai jala melayang di atas kepala Sui Ceng.
Gadis ini cepat-cepat mengelak. Akan tetapi sehelai jala lainnya yang berwarna hijau dan dilepaskan oleh Oei Hwa telah menyambar di atas kepalanya. Sui Ceng terkejut sekali. Kalau sampai dirinya tertutup oleh jala, maka semua ilmu silatnya tak akan ada gunanya lagi, tentu akan rusak dan terhalang. Maka ia melompat lagi mengelak, dan sebentar saja dia sudah terdesak hebat.
Di lain fihak, Kong Hoat juga didesak hebat oleh para bajak yang kini mempergunakan jala untuk mengalahkannya.
"Kwan Cu, mengapa kau diam saja?" Sui Ceng berseru gemas melihat pemuda ini masih enak-enak saja duduk di bawah pohon.
"Sebentar aku akan rampas jala-jala mereka," kata Kwan Cu.
Dia cepat mengeluarkan sulingnya, kemudian dia berlari menghampiri Sui Ceng karena di samping ia lebih menghawatirkan keselamatan gadis ini, juga dalam pertempuran dua rombongan itu, kedudukan Sui Ceng yang lebih berbahaya karena selain dikeroyok oleh para bajak, juga di situ ada Oei Liong dan Oei Hwa yang lihai.
Dengan gerakan yang kaku dibuat-buat, Kwan Cu menyerbu dengan sulingnya. Dia tidak menyerang siapa pun juga, hanya menunggu saja dan ketika ada jala seorang bajak laut dilemparkan ke atas untuk menangkap Sui Ceng, tubuhnya lantas berkelebat, sulingnya digerakkan ke arah jala dan tahu-tahu jala itu robek di tengah-tengahnya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Lain jala menyambar pula. Kwan Cu mengulur tangan kirinya dan tahu-tahu jala ini telah dirampasnya, disendal cepat dan putuslah tali jala yang dipegang oleh bajak itu!
Sui Ceng amat kagum dan memuji kecerdikan Kwan Cu, sungguh pun dia melihat bahwa semua itu bukan karena kepandaian Kwan Cu, melainkan karena kecerdikan pemuda itu. Dia segera meniru perbuatan Kwan Cu, menyambut setiap jala, lalu disambar dan ditarik kuat-kuat sehingga tali jala menjadi putus!
"Kanda, kenapa engkau membantunya? Dia membikin susah pada kami!" seru Oei Hwa dengan kecewa sekali.
"Kwan Cu, calon isterimu itu bawel sekali, mulutnya perlu digampar!" Sui Ceng berkata gemas dengan suara menghina, dan dia cepat melompat ke arah Oei Hwa, benar-benar mengirim pukulan atau tamparan pada muka Oei Hwa.
Dalam menampar ini, Sui Ceng mempergunakan gerak tipu Yu-coan Hoa-jiu (Pukulan Menembus Bunga), maka biar pun tidak hebat datangnya, namun sukar untuk dielakkan.
"Plakk!"
Sebelah pipi Oei Hwa kena ditampar oleh Sui Ceng sehingga kelihatan bekas kemerah-merahan, sementara sudut bibir yang terkena tamparan juga menjadi berdarah. Sui Ceng tertawa girang dan puas, akan tetapi sebaliknya Oei Hwa menjadi marah sekali.
"Liong-ko, terpaksa aku harus menghancurkan kepala budak ini!" seru Oei Hwa marah sekali dan dia cepat melemparkan pedang di tangan kirinya ke arah Sui Ceng.
Lemparan pedang ini adalah ilmu timpuk yang disebut Kim-liong Touw-ka (Naga Emas membuka Pakaian) dan hebatnya bukan main. Pedang itu meluncur cepat bagaikan kilat, menyambar ke arah dada Sui Ceng.
Tentu saja Sui Ceng terkejut sekali karena hal ini benar-benar tidak pernah disangka-sangkanya, dan tahu-tahu sudah ada ‘pedang terbang’ menuju ke dadanya. Dia cepat melempar tubuh ke kiri, akan tetapi tubuhnya masih akan terserempet pedang jika pada saat itu tidak ada sinar berkelebat.
“Tringg…!” pedang yang meluncur tadi tahu-tahu menyeleweng ke pinggir!
Sui Ceng cepat memasang kuda-kuda. Oei Hwa yang melihat timpukan pedang kirinya meleset, segera melompat maju dan memutar pedang di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya cepat mencabut lipatan jalanya. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika melihat betapa jalanya itu sudah hancur dan robek-robek.
Semua itu adalah perbuatan Kwan Cu yang sudah bekerja secara cepat dan diam-diam, mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang tinggi tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Tadi ketika melihat Oei Hwa bergerak, dia sudah tahu bahwa nona ini hendak menggunakan pedangnya untuk menimpuk, maka dia segera menyusul timpukan itu dengan batu kecil sehingga pedang tadi tidak dapat mengenai tubuh Sui Ceng. Kemudian dengan gerakan seperti seorang yang mainkan ilmu silat secara ngawur, dia menggerakkan sulingnya ke sana ke mari dan dalam keadaan kacau balau itu dia telah berhasil merusak jala-jala dari Oei Hwa, Oei Liong, dan beberapa orang bajak lain yang berdekatan!
Sesudah melihat bahwa keadaan Sui Ceng tidak berbahaya lagi, dia menengok ke arah Kong Hoat. Alangkah kaget hatinya ketika melihat pemuda kasar ini telah tertangkap oleh jala. Pemuda ini terus mengamuk, memutar dayung di dalam jala itu sehingga para bajak tak ada yang berani mendekat, hanya menambah jala untuk lebih memperkuat kurungan sehingga sebentar saja tubuh Kong Hoat sudah dikurung oleh tujuh helai jala.
Dia benar-benar seperti seekor ikan buas tertangkap di dalam jala, bergerak-gerak dan meronta-ronta tanpa dapat keluar dari jala. Akan tetapi mereka yang menangkapnya juga tidak berani turun tangan!
Kwan Cu cepat melompat dan dengan sulingnya dia menyontek jala-jala itu. Para bajak menyerbu, akan tetapi dengan sangat lincah dan gerakan lucu dibuat-buat seakan-akan gerakannya kaku, Kwan Cu mengelak dan memutari jala. Ia seperti sedang main kucing dan tikus, dikejar-kejar oleh para bajak dan menggelilingi jala itu.
Akan tetapi, diam-diam Kwan Cu mempergunakan kepandaiannya. Suling di tangannya yang dipegang ketika dia berlari-lari mengitari jala menjauhi para bajak, diam-diam sudah merobek jala itu di sana sini sehingga tiba-tiba Kong Hoat merasa jala itu mengendur. Ketika nelayan ini mempergunakan dayungnya mengangkat, ternyata jala-jala itu sudah robek sehingga dengan mudah saja dia dapat keluar dari situ.
“Jahanam keparat, rasakan pembalasanku!" seru nelayan ini dengan amarah meluap dan dayungnya lalu mengamuk hebat sekali.
Kwan Cu kembali duduk di bawah pohon sambil menonton pertempuran. Dia melihat Sui Ceng kini hanya dikeroyok dua oleh Oei Hwa serta Oei Liong, karena para anak buah bajak sudah pada mengundurkan diri, tak berani lagi menghadapi gadis perkasa itu.
Ada pun Kong Hoat kini juga dijauhi oleh lawan-lawannya setelah dia berhasil menyapu roboh enam orang bajak lagi. Melihat Sui Ceng di keroyok, Kong Hoat segera berlari-lari sambil menyeret dayungnya, langsung membantu Sui Ceng.
Sekarang pertempuran terpecah dua. Sui Ceng menghadapi Oei Hwa sedangkan Kong Hoat mengamuk dan menyerang Oei Liong. Hebat sekali pertempuran ini. Kepandaian mereka seimbang, hanya bedanya Kong Hoat lebih mengandalkan tenaga besar ada pun Oei Liong lihai sekali permainan goloknya dan lebih cepat gerakkannya.
Ada pun pertandingan antara Sui Ceng dan Oei Hwa tidak begitu ramai, karena memang tingkat kepandaian Sui Ceng jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Oei Hwa. Kini, sesudah tidak dikeroyok lagi, Sui Ceng menggerakkan sabuk merahnya sedemikian cepatnya sehingga Oei Hwa menjadi pening dan tidak lama kemudian dia menjerit keras, lalu terhuyung-huyung dan roboh telentang tak bergerak lagi. Ujung sabuk di tangan Sui Ceng telah menotok jalan darah kematian di dadanya!
Melihat Kong Hoat terdesak oleh Oei Liong, Sui Ceng cepat menggerakkan sabuknya. Pada saat itu, golok Oei Liong sedang menyambar dari atas untuk dibacokkan ke arah kepala Kong Hoat. Akan tetapi alangkah kaget hati Oei Liong ketika tiba-tiba dia merasa goloknya terlepas dari tangan dan pada waktu dia menengok, ternyata bahwa goloknya itu sudah terampas oleh sabuk merah Sui Ceng. Kecut hati kepala bajak ini dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun.
Melihat ini, Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi Kong Hoat segera menggerakkan dayungnya dan sekali kemplang saja remuklah kepala Luan-ho Oei Liong.
"Saudara Kong Hoat, kenapa kau membunuh dia yang sudah tidak melawan?" tanya Sui Ceng dengan suara tidak puas karena menganggap perbuatan Kong Hoat ini keterlaluan.
"Bun-lihiap, kejahatan bagaikan pohon liar dan untuk membasminya kita harus mencabut akarnya. Apa bila kepalanya mati, anak buahnya masih ada harapan untuk kapok," kata Kong Hoat.
Kata-kata ini segera terbukti. Para anak buah bajak yang melihat kedua orang pemimpin mereka tewas, sisanya lalu melempar senjata dan berlutut. Mereka khawatir kalau-kalau keluarga mereka yang tinggal di dusun itu dibasmi oleh tiga orang pendekar itu, maka cepat-cepat mereka memohon ampun.
"Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar), mohon sudi mengampuni kami."
Melihat bahwa kata-kata Kong Hoat ternyata benar adanya, Sui Ceng lalu tersenyum dan berkata,
"Terserah kepadamu untuk meghadapi mereka, saudara Kong Hoat. Kau lebih mengerti bagaimana harus melayani mereka itu."
Kong Hoat lalu mengangkat dayungnya dan memalangkan dayung itu di depan dadanya, kemudian dia berkata,
"Kalian semua harus bersyukur bahwa dua orang kawanku yang gagah perkasa ini masih mengampuni jiwa anjingmu. Sekarang kalian harus dapat mengubah cara hidupmu. Kami tak akan melarang kalau kiranya kalian membajak perahu-perahu pembesar pemerintah penjajah, atau minta sumbangan dari para hartawan. Akan tetapi, kalian jangan bertindak sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh dua orang pemimpinmu yang telah tewas. Kalian kami bebaskan, akan tetapi hati-hati, kalau lain kali kami masih mendengar bahwa sepak terjangmu keterlaluan, pohon ini menjadi contohnya!"
Sesudah berkata demikian, Kong Hoat lalu menggerakkan dayungnya ke arah sebatang pohon. Terdengar suara keras, kemudian pohon itu tumbang karena patah dihantam oleh dayung itu.
Semua bajak menjadi pucat dan mengangguk-angguk, menyatakan taat akan pesanan ini.
"Ketahuilah bahwa kawan-kawanku ini adalah pendekar-pendekar berilmu tinggi, ada pun aku sendiri meski pun tidak ternama akan tetapi kiranya kalian sudah mendengar nama ibuku, yakni Liok-te Mo-li!"
Mendengar nama ini, benar saja semua bajak itu menjadi gemetar seluruh tubuh mereka dan saling memandang dengan gelisah. Nama Liok-te Mo-li siapakah yang tidak pernah mendengarnya? Wanita sakti itu boleh dibilang menjadi ratu dari segala bajak air, karena selain sakti, juga pandai sekali di dalam air dan ganasnya terhadap penjahat luar biasa.
"Hamba sekalian akan mentaati perintah dan tidak berani melanggarnya," kata beberapa orang bajak itu.
"Nah, sekarang uruslah semua mayat ini dan ubahlah cara hidup kalian," kata pula Kong Hoat. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, Kong Hoat, Sui Ceng dan Kwan Cu keluar dari dusun itu.
Setelah tiba di luar hutan, Kong Hoat kemudian menjura kepada Sui Ceng dan Kwan Cu, katanya dengan sejujurnya,
"Ji-wi benar-benar hebat sekali, siauwte benar-benar tunduk atas kepandaian Ji-wi yang luar biasa tingginya. Mudah-mudahan saja kelak siauwte akan mendapat keberuntungan untuk bertemu dengan Ji-wi. Selamat tinggal." Sesudah berkata demikian, nelayan muda itu menyeret dayung dan pergi situ.
Sui Ceng dan Kwan Cu berpandangan dan Kwan Cu tertawa.
"Kong Hoat benar-benar hebat dan mengagumkan. Akan tetapi kau lebih-lebih luar biasa sekali, Sui Ceng. Aku tunduk betul akan kepandaianmu."
"Akan tetapi kau jauh lebih cerdik, Kwan Cu. Tadi aku benar-benar binggung sekali ketika dikurung oleh jala-jala itu. Baiknya kau datang dan memberi contoh yang amat baik. Aku percaya penuh bahwa dengan akalmu yang cerdik, kau akan mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silat. Ehh, kata guruku, kau mungkin sudah mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betulkah ini?"
Merah wajah Kwan Cu. Tadi ia telah berhasil menyembuyikan kepandaiannya, maka kini ia hanya menggeleng-geleng kepalanya tanpa memberi jawaban. Untuk menyimpangkan perhatian Sui Ceng tiba-tiba dia berkata,
"Sui Ceng, tadi kau kehilangan sepasang pedangmu, apakah kau tak mau mengambilnya dulu? Bukankah tadi dirampas oleh Oei Liong?"
Benar saja. Sui Ceng lupa untuk bertanya-tanya lagi tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebaliknya dia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Pedang-pedang itu pedang biasa saja, tanpa itu pun aku masih mempunyai ang-kin ini. Kalau pedang Liong-coan-kiam, barulah boleh disebut pedang baik!"
"Liong-coa-kiam? Pedang apakah itu dan milik siapa?" Kwan Cu bertanya dengan suara girang karena dia telah berhasil mengalihkan perhatian Sui Ceng dari pertanyaan tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sui Ceng kelihatan kaget dan menyesal bahwa dia telah terlanjur bicara tentang pedang itu.
"Pedang Liong-coa-kiam adalah pedang peninggalan Menteri Lu Pin untukmu, berada di Goa Tengkorak."
Kini Kwan Cu teringat akan tugasnya mengunjungi Goa Tengkorak, maka dia lalu berkata cepat.
"Ahh, aku harus ke sana sekarang juga! Aku perlu bertemu dengan kongkong Lu Pin."
Sudah bergerak bibir Sui Ceng untuk menceritakan tentang kematian Lu Pin, akan tetapi ditahannya bibir itu. Memang, biar pun Sui Ceng pernah berkata akan pesan terakhir dari Menteri Lu Pin, tapi Kwan Cu mengira bahwa kongkong-nya masih hidup, yakni menurut anggapan orang-orang di dalam istana.
"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Sui Ceng.
Kwan Cu nampak kecewa sekali. "Benar kata-katamu, Sui Ceng. Kau... kau tentu tidak sudi melakukan perjalanan bersamaku."
Sui Ceng tertawa melihat sikap pemuda ini. "Bukan begitu, kita memang tidak memiliki keperluan untuk melakukan perjalanan bersama. Bahkan aku mengajak kau berlomba, siapakah yang akan dapat memenuhi pesanan kongkong-mu itu lebih dahulu."
“Hm… kau tidak adil. Kau sudah tahu akan pesanan itu, sedangkan aku belum. Baiklah, aku segera akan menyusulmu, Sui Ceng. Kita pasti akan bertemu lagi kelak."
"Selamat berpisah," kata Sui Ceng sambil memutar tubuhnya.
"Selamat berpisah, sampai berjumpa kembali," Kwan Cu berkata tanpa memutar tubuh, bahkan memandang kepada gadis itu yang mulai berjalan pergi.
Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng membalikkan tubuhnya sambil berseru,
"Kwan..." Sui Ceng terpaksa menghentikan panggilannya karena melihat bahwa pemuda itu ternyata belum pergi, masih berdiri memandangnya! Merah muka Sui Ceng melihat kenyataan ini.
"Ada apakah, Sui Ceng? Masih ada sesuatu yang harus kita bicarakan agaknya?"
"Aku lupa untuk bertanya mengenai sikapmu tadi ketika kita masih dibelenggu," berkata sampai di sini, wajah nona itu menjadi makin merah dan sepasang matanya menyinarkan cahaya penasaran. "Kau bilang bahwa kau gembira sekali karena keaadan kita waktu itu menyatakan bahwa kita seakan-akan saling... saling menikah? Mengapa? Mengapa kau gembira?"
Terbelalak lebar sepasang mata Kwan Cu yang bersinar tajam dan sangat berpengaruh itu. Perlahan-lahan kedua pipinya merah sekali.....
Komentar
Posting Komentar