PENDEKAR SAKTI : JILID-38


"Kau agaknya juga kaki tangan penjajah, patut dibikin mampus lebih dahulu!" Segera dia menyerang dengan pedangnya, mainkan ilmu Hun-khai Kiam-hoat yang amat berbahaya.

Kwan Cu cepat mengelak dan tertegun menyaksikan ilmu pedang pemuda jembel yang gagah perkasa ini. Oleh karena dia merasa tidak mungkin pemuda ini mainkan Hun-khai Kiam-hoat yang dikenalnya baik, ia sengaja mengelak terus sambil tetap memperhatikan gerakan-gerakan pemuda itu.

Ada pun Sui Ceng memandang dengan bengong. Pemuda jembel itu mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai, kenapa dengan Kwan Cu mereka tak saling mengenal? Bukankah Kwan Cu juga murid Ang-bin Sin-kai? Gadis ini benar-benar merasa heran sehingga ia hanya berdiri seperti patung dan menonton mereka yang sedang bertempur.

Kun Beng juga tidak ingat lagi siapa adanya pemuda yang datang melindungi Lu Thong itu, maka dengan tersenyum dia lalu menggerakkan tombaknya dan berkata kepada Sui Ceng.

"Ceng-moi, biar aku binasakan dahulu pengkhianat itu, kemudian kita membantu Han Le membikin mampus pengkhianat yang baru datang." Cepat tombaknya bergerak menusuk dada Lu Thong.

"Tranggg…!"

Tombaknya terpental dan Kun Beng memandang kepada Sui Ceng dengan muka pucat dan mata terbelalak.

"Ceng-moi, mengapa kau menangkis tombakku? Apa artinya ini?"

"Dia itu adalah Lu Kwan Cu, seorang murid dari Ang-bin Sin-kai, bukan pengkhianat. Kita dengarkan lebih dulu apa yang hendak dia katakan maka dia mencegah kita membunuh pengkhianat ini.”

Kun Beng terkejut dan cepat dia memandang kepada Kwan Cu yang dengan tangan kosong selalu mengelakkan diri dari serangan pedang Han Le.

"Lu Kwan Cu bocah gundul dahulu itu...?" tanyanya seperti kepada diri sendiri.

Sementara itu, Kwan Cu menjadi makin terheran-heran karena pada saat Han Le yang pandai mainkan Hun-khai Kiam-hoat itu tidak berhasil merobohkannya, lalu tiba-tiba Han Le mengubah ilmu pedangnya, mengeluarkan ilmu pedang yang aneh bukan main, yakni dengan membuat lingkaran-lingkaran dengan pedangnya, mengurung tubuh Kwan Cu.

"Heeeeei...! Berhenti dulu! Siapakah kau yang sanggup mainkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat dan ilmu pedang menurut Ilmu Silat Thian-te Sin-coan (Lingkaran Sakti Langit Bumi) ini?"

Han Le juga terkejut mendengar seruan Kwan Cu, akan tetapi pemuda ini sudah terlalu panas perutnya karena sampai begitu jauh dia belum berhasil merobohkan pemuda yang bertangan kosong itu. Tanpa menjawab dia mempercepat gerakan pedangnya.

Akan tetapi dia terkejut sekali karena lawannya lalu bergerak mengikuti serangannya dan tiba-tiba saja lawannya itu mendahului gerakannya yang agaknya sudah dimengerti betul oleh lawannya, lalu tahu-tahu gagang pedangnya kena dicengkeram dan dirampas!

"Nanti dulu, kau siapakah? Dan dari mana kau bisa mendapatkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat? Dari mana pula engkau dapat memainkan ilmu pedang berdasarkan Thian-te Sin-coan? Hayo jawab!" Muka Kwan Cu menjadi tegang.

Han Le kaget bukan kepalang melihat betapa setelah membalas serangan-serangannya, lawannya dengan satu kali gebrakan saja telah berhasil merampas pedangnya. Ia masih penasaran, maka cepat tangan kanannya memukul dada Kwan Cu. Pukulan ini dahsyat sekali dan hawa pukulan ini pun menurut petunjuk dari pada ukiran-ukiran di dalam goa Pulau Pek-hio-to! Kwan Cu cepat melompat ke belakang beberapa kaki jauhnya.

"Kau pernah apakah dengan suhu Ang-bin Sin-kai? Dan bagaimana kau bisa memainkan ilmu silat yang terdapat di Pulau Pek-hio-to?" Kembali Kwan Cu mendesak.

Mendengar ini Han Le menjadi pucat. Dia berdiri seperti patung dengan mata terbelalak.

"Kau... kau siapakah?”

"Aku murid Ang-bin Sin-kai, Lu Kwan Cu namaku."

Han Le mengeluarkan teriakan girang lalu dia menubruk dan berlutut di depan Kwan Cu, memeluk kedua kaki pemuda itu.

"Aduh, Suheng! Suheng Lu Kwan Cu yang sudah lama kucari-cari! Tidak kusangka dapat bertemu di sini. Harap Suheng mengampunkan kekurang ajaranku," katanya.

Kwan Cu memegang kedua pundak Han Le dan sekali dia menggerakkan tangannya, meski pun Han Le sudah mengerahkan lweekang-nya, tetap saja pemuda jembel ini kena ditarik naik dan terpaksa berdiri.

"Hayo bilang, kau siapa? Jangan main-main!" seru Kwan Cu.

"Siauwte adalah murid Ang-bin Sin-kai pula. Setelah Suheng pergi, suhu mengambil aku bocah sengsara sebagai murid, kemudian suhu yang menyuruh aku menyusul Suheng ke Pek-hio-to!"

Kwan Cu tercengang dan tak dapat berkata-kata saking herannya.

"Kwan Cu, apa kau sudah lupa pula kepadaku?" tiba-tiba pemuda tampan yang dia lihat berdiri di dekat Sui Ceng berkata. "Aku adalah The Kun Beng, murid Pak-lo-sian!"

Air muka Kwan Cu kembali berubah dan dia memandang kepada Sui Ceng, hatinya tidak karuan rasanya.

"Dia ini Bun Sui Ceng yang dulu itu, dia tunanganku," Kun Beng memperkenalkan.

"Koko !" Sui Ceng menegur tunangannya itu.

Hati Kwan Cu terpukul. Panggilan gadis itu terhadap Kun Beng dengan sebutan ‘koko’ terdengar begitu manis dan mesra, namun sangat menusuk jantungnya. Dia memandang kepada Kun Beng dengan wajah dingin karena dia teringat akan nasib Gouw Kui Lan.

Tanpa berkata sesuatu Kwan Cu menghampiri Lu Thong, lalu dia segera mengetuk dan mengurut kaki kakak angkatnya ini sehingga lutut yang tadi terlepas tersambung kembali.

"Suheng, mengapa kau mencegah siauwte membunuhnya?" Han Le bertanya.

"Dia ini patut dikasihani. Seluruh keluarganya sudah musnah, dan dia tersesat karena berada di lingkungan orang-orang yang berhati khianat. Lu Thong, apakah kau sekarang sudah insyaf? Lihatlah mereka ini, mereka ini adalah orang-orang muda yang membantu rakyat. Kau sebagai seorang pemuda Han yang mempunyai kepandaian tinggi, mengapa kau tidak dapat mencontoh mereka? Mengapa kau tidak mau menyumbangkan tenaga untuk tanah air dan bangsa? Ingatlah, kongkong Lu Pin sudah meninggal dunia dalam keadaan amat mengenaskan. Seluruh keluargamu telah terbinasa pula. Tak ingatkah kau kepada ayah bundamu yang menjadi korban jahanam An Lu Shan?”

Menitik air mata dari kedua mata Lu Thong.

"Aku... tadinya aku bermaksud hendak mencapai kedudukan tinggi, sebagai kaisar akan lebih mudah bagiku membalas musuh-musuhku… menjunjung tinggi nama keluarga, dan mencuci noda mereka yang dianggap sebagai pemberontak..."

"Kau keliru! Mereka bukan pemberontak, akan tetapi mereka tewas sebagai pahlawan-pahlawan bangsa! Dan ke mana larinya cita-citamu yang terlalu muluk itu? An Lu Shan terbunuh oleh puteranya sendiri, kemudian puteranya terbunuh pula oleh Si Su Beng. Dan kau... apakah kau kira akan dapat mengharapkan kurnia dari Si Su Beng?"

Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang dan terdengar Sui Ceng berseru,

"Pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal kaisar) datang menyerbu!"

Empat orang muda itu bersiap-siap. Sui Ceng melintangkan pedangnya di depan dada. Han Le memegang kembali pedangnya yang dia terima dari Kwan Cu. Kun Beng juga memegang tombaknya erat-erat dan Kwan Cu bertolak pinggang dengan kedua matanya yang bersinar-sinar.

Sesudah menepuk-nepuk lututnya dan merasa bahwa lututnya dapat digerakkan biar pun masih agak sakit, Lu Thong lalu mengambil toyanya yang tadi terlepas dari tangannya.

"Kau mau apa?!" bentak Sui sambil menodongkan pedangnya di dada Lu Thong.

Akan tetapi yang ditodong tidak menghiraukannya dan masih terus mengambil toyanya. "Hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan di sini," katanya dengan suara dingin dan matanya mengeluarkan sinar yang amat berlainan dari tadi.

"Lu Thong, keturunan pemberontak, menyerahlah! Kami datang atas nama kaisar untuk menangkapmu!" terdengar teriakan komandan barisan Gi-lim-kun yang sudah datang di luar pekarangan rumahnya.

"Apa kataku, Lu Thong? Kaisar begitukah yang hendak kau bela dengan mempertaruhkan nyawa bangsamu?" kata Kwan Cu perlahan, akan tetapi cukup membakar isi dada Lu Thong.

Dengan muka merah dan mata melotot, toya dipegang erat-erat, Lu Thong lalu berteriak kepada barisan yang terdiri dari tiga puluh orang itu,

"Anjing-anjing keparat! Dengarlah baik-baik. Sekarang baru terbuka mataku dan kulihat kepalamu semua bukan kepala manusia, melainkan kepala anjing-anjing penjilat. Dan aku Lu Thong keturunan Lu Pin dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, mulai sekarang tugasku ialah menghancurkan kepala-kepala anjing!" Sambil berkata demikian, dia memutar toyanya dan berlari terpincang-pincang menyerbu barisan Gi-lim-kun.

Kwan Cu segera menyusulnya, setelah melirik ke arah Sui Ceng, Han Le, dan Kun Beng dengan pandang mata penuh arti.

Ketiga orang muda ini saling pandang dan diam-diam mereka membenarkan pembelaan Kwan Cu terhadap Lu Thong tadi, karena sekarang ternyata Lu Thong yang khianat telah sekaligus berubah menjadi Lu Thong yang mengandung penuh dendam terhadap kaum penjajah yang sudah memusnahkan seluruh keluarga! Mereka pun lalu berlari menyusul kemudian memutar senjata mengamuk dan menyerbu barisan Gi-lim-kun!

Mana bisa barisan Gi-lim-kun kuat menghadapi lima orang muda ini? Mereka ini adalah orang-orang muda murid tokoh-tokoh yang sakti, yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali.

Biar pun barisan Gi-lim-kun terdiri dari ahli-ahli silat yang pandai, akan tetapi menghadapi serbuan lima orang muda yang sakti ini, sekejap saja mereka menjadi kocar-kacir. Mayat bergelimpangan di sana sini, sungguh amat mengerikan.

Yang paling hebat amukannya adalah Lu Thong. Toyanya menyambar-nyambar dengan ganas dan sedikitnya ada lima orang anggota Gi-lim-kun yang pecah kepalanya terkena pukulan toyanya!

Di antara mereka semua, hanya Kwan Cu seorang yang lain lagi sepak terjangnya. Dia tidak tega menjadi pembunuh para alat negeri ini. Entah karena terdorong oleh keinginan mendapatkan harta, atau pun terkena tipuan dan bujukan maka mereka menjadi barisan Gi-lim-kun. Oleh karena itu, pemuda ini hanya bergerak dengan tangan kosong saja dan dia cukup puas asalkan dapat menotok roboh mereka itu tanpa membahayakan nyawa mereka.

Han Le agaknya juga tidak begitu kejam sebab pedangnya hanya merobohkan orang dan melukainya tanpa mematikan lawan. Sebaliknya, Sui Ceng benar-benar seperti gurunya. Setiap kali pedangnya bergerak, seorang anggota Gi-lim-kun menjerit kesakitan dengan lengan putus, kaki putus, bahkan ada yang lehernya putus! Demikian pula Kun Beng. Dia juga mengamuk, akan tetapi pemuda ini tidak seganas Sui Ceng atau Lu Thong.

Akan tetapi, lima orang jago muda ini mengamuk di tengah-tengah kota raja dan hal ini bukanlah merupakan pekerjaan main-main yang mudah saja. Tak lama kemudian, di situ telah datang barisan baru yang jauh lebih kuat dari pada barisan Gi-lim-kun yang sudah dapat diobrak-abrik, sebab barisan ini adalah barisan Si-wi, yaitu pengawal pribadi kaisar dan dipimpin pula oleh Kiam Ki Sianjin bersama panglima-panglima yang berkepandaian tinggi!

Pertempuran berjalan semakin hebat. Kwan Cu mengetahui bahwa bagi keempat orang kawannya, Kiam Ki Sianjin terlampau tangguh. Maka dia segera mencabut sulingnya dan menghadapi kakek ini. Akan tetapi tetap saja empat orang kawannya menjadi terkurung seperti tadi, dan terpaksa bersilat cepat untuk melindungi tubuh dari pada hujan senjata lawan yang amat banyak jumlahnya itu.

Akan tetapi, sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka otomatis tahu bagaimana caranya untuk melayani keroyokan yang demikian banyaknya. Tanpa ada yang mengomando, mereka otomatis berkelahi berdekatan satu sama lain, bahkan lalu membuat lingkaran dengan punggung dihadapkan kepada kawan sendiri sehingga mereka merupakan lingkaran segi empat yang tak dapat diserang dari belakang! Dengan jalan ini, Lu Thong, Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le mampu mempertahankan diri dengan kuatnya, bahkan kadang-kadang terdengar pekik orang dan terjungkalnya seorang anggota Si-wi.

Namun, Sui Ceng amat kecewa tidak melihat Kwan Cu berada di lingkaran mereka itu. Hal ini adalah karena Kwan Cu sengaja menghadapi Kiam Ki Sianjin, mencegah kakek ini ikut menyerang empat orang kawannya.

Sui Ceng mengira bahwa karena kepandaiannya tidak tinggi, Kwan Cu sudah tertawan atau melarikan diri. Dia menggigit bibir dengan gemas kalau memikirkan bahwa pemuda itu sudah melarikan diri meninggalkan kawan-kawannya.

Dia tidak tahu bahwa kepandaian Kwan Cu sudah tinggi sekali. Kemenangan Kwan Cu atas Han Le tadi tidak membikin dia merasa heran karena sebagai murid-murid seguru, tentu saja Kwan Cu sudah mengetahui semua cara bersilat dari Han Le sehingga dapat memenangkannya!

Demikian pula Kun Beng yang sama sekali tidak mengira bahwa Kwan Cu mempunyai kepandaian tinggi. Hanya Han Le dan Lu Thong yang mengetahuinya baik-baik.

Lu Thong yang sudah pernah merasai kelihaian Kwan Cu, ada pun Han Le lebih-lebih lagi. Tidak saja dia telah dapat menduga bahwa suheng-nya yang sudah tinggal di Pulau Pek-hui-to itu telah mempelajari ilmu kesaktian yang luar biasa, juga tadi dia sempat merasakan sendiri kehebatan kepandaian suheng-nya.

Makin lama kurungan itu makin rapat. Pihak pengeroyok memang luar biasa banyaknya. Roboh satu datang dua, roboh lima datang sepuluh. Empat orang jago muda itu sudah bertempur tiga jam lebih dan mereka mulai lelah sekali.

Apa lagi Lu Thong. Lututnya terasa sakit sehingga gerakannya menjadi semakin lambat. Akhirnya sebuah tusukan tombak melukai pahanya dan dia pun terhuyung-huyung roboh. Baiknya Han Le cepat-cepat menyambar tangannya dan menariknya ke dalam lingkaran, sehingga tubuh Lu Thong terlindung oleh tiga orang muda itu.

Di lain fihak, Kwan Cu yang tadinya menghadapi Kiam Ki Sianjin, sekarang ternyata telah dikeroyok tiga orang, yakni Kiam Ki Sianjin sendiri beserta dua orang panglima yang lihai sekali ilmu goloknya. Kwan Cu terus melayani mereka dengan gagah dan sedikit pun tak terdesak, bahkan pada jurus ke lima puluh lebih, dia berhasil merobohkan salah seorang panglima dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut.

Akan tetapi, sebagai gantinya datang pula dua orang panglima lain, sedangkan Kiam Ki Sianjin masih terus melawannya dengan amat kuatnya. Kali ini agaknya tak mudah bagi Kwan Cu untuk mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le sudah lelah dan mulai terdesak. Biar pun korban fihak musuh yang jatuh tidak terhitung banyaknya, namun setiap kali ada yang jatuh, mereka yang jatuh diangkat pergi dan sebagai gantinya datang pengeroyok-pengeroyok lain yang masih segar dan memiliki kepandaian silat tinggi juga.

Tiga orang muda ini maklum bahwa kalau diteruskan, mereka pasti akan celaka semua. Sekarang mereka tidak begitu mudah lagi menjatuhkan lawan, karena para pengeroyok kini terdiri dari orang-orang yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat lumayan.

Kwan Cu maklum pula akan hal ini. Tiba-tiba saja pemuda ini menyimpan sulingnya dan ketika dua orang panglima menyerang dari kanan kiri dan Kiam Ki Sianjin mendesak dari depan, dia melayani dua orang panglima yang bergolok itu dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, sedangkan terhadap Kiam Ki Sianjin dia melancarkan beberapa pukulan Pek-in Hoat-sut.

Tosu itu sudah cukup mengenal kelihaian lengan tangan yang mengebulkan uap putih itu. Maka, cepat-cepat dia menjatuhkan diri untuk menyimpan napas dan mengerahkan lweekang agar dia cukup kuat menghadapi serangan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut.

Akan tetapi, dua orang panglima itu yang belum mengenal Kwan Cu secara baik, terus mendesak pemuda itu. Dan sebelum mereka tahu bagaimana terjadinya, pundak mereka telah terkena cengkeraman IImu Silat Kong-ciak Sin-na dan golok mereka terlempar pula.

Kwan Cu tidak mau berlaku kepalang tanggung. Ia lalu mengangkat tubuh dua orang ini, yang seorang dia lemparkan ke arah Kiam Ki Sianjin dan menggunakan kesempatan itu untuk memutar-mutarkan orang ke dua dan membobolkan kepungan yang mengurung tiga orang kawannya yang masih melawan mati-matian.

"Kawan-kawan, mari kita lekas pergi!" katanya setelah berhasil menyerbu dan memasuki kurungan.

Sui Ceng dan Kun Beng tertegun melihat bahwa Kwan Cu ternyata masih hidup dan berada di situ, dan diam-diam Sui Ceng merasa girang sekali. Ternyata pemuda ini tidak melarikan diri seperti yang tadi dia khawatirkan.

Kemudian Kwan Cu melihat Lu Thong yang terduduk dan luka kakinya. Cepat Kwan Cu melemparkan panglima itu kepada Kun Beng dan berkata,

"Kun Beng, kau terimalah ini dan pergunakan sebagai senjata mencari jalan keluar. Aku akan menggendong Lu Thong!"

Kun Beng menyambut datangnya tubuh panglima itu dengan tangan kiri dan sekali dia mengulur tangan, dia sudah berhasil membekuk batang leher panglima itu yang masih hidup akan tetapi sudah tidak berdaya karena jalan darahnya telah ditotok oleh Kwan Cu.

"Lebih baik kalian juga menangkap seorang lawan untuk dijadikan senjata!" berkata Kun Beng kepada Sui Ceng dan Han Le.

Sui Ceng dan Han Le bisa mengerti apa yang dikehendaki oleh kawan ini. Dengan cepat mereka mendesak maju dan sebentar saja Han Le serta Sui Ceng juga sudah berhasil menangkap masing-masing seorang pengeroyok. Tiga orang ini pun mengamuk mencari jalan keluar, membobolkan kurungan sambil memutar-mutar tubuh lawan yang kakinya mereka pegang!

Dalam pengamukan ini, Sui Ceng, Han Le dan Kun Beng lagi-lagi kehilangan Kwan Cu. Ke manakah perginya pemuda itu? Setelah mengempit tubuh Lu Thong dengan tangan kirinya, Kwan Cu melompat cepat melalui kepala para pengurung itu dan sengaja dia melarikan diri di dekat Kiam Ki Sianjin yang sedang menyumpah-nyumpah marah melihat kawan-kawannya dibikin kocar-kacir oleh tiga orang muda itu.

"Bodoh, goblok! Menghadap tiga orang saja tidak becus menangkap dan mengalahkan." Tosu ini memaki-maki anak buahnya.

"Locianpwe, mereka menggunakan teman-teman kami sebagai senjata buat mengamuk," jawab seorang perwira Si-wi.

“Bodoh! Bacok mampus saja semuanya, meski kawan sendiri tetapi kalau sudah mereka tangkap, perlu apa takut membacoknya?"

Demikianlah, para Si-wi itu segera mengepung kembali dan kini mereka menggunakan senjata untuk menangkis dan membacok ketiga orang muda itu sehingga senjata mereka tentu saja mengenai kawan sendiri yang diputar-putarkan oleh tiga orang muda perkasa itu.

Melihat kenekatan para pengeroyok ini, Sui Ceng dan kawan-kawannya menjadi terkejut. Tentu saja mereka lalu melemparkan orang yang mereka pegang karena tubuh orang itu sudah hancur terkena hujan senjata kawan-kawan sendiri dan mulailah menangkap lain orang untuk dijadikan senjata. Biar pun mereka agak lambat maju, namun mereka dapat juga menipiskan kepungan sehingga keadaan mereka tidak terlalu terdesak seperti tadi. Apa lagi sekarang mereka tidak perlu melindungi Lu Thong seperti tadi.

"Ehh, mana Kwan Cu…?” tanya Sui Ceng yang merasa heran sekali.

Tadi Kwan Cu berada di dalam kepungan, jadi ada di belakangnya, juga di belakang Kun Beng dan Han Le, karena ketika itu Kwan Cu menghampiri Lu Thong yang berada di tengah-tengah. Akan tetapi kenapa sekarang Kwan Cu dan Lu Thong sudah lenyap dari situ?

Juga kedua orang kawannya tidak tahu ke mana perginya Kwan Cu mengempit tubuh Lu Thong. Akan tetapi, oleh karena mereka selalu menghadapi keroyokan musuh, mereka tadi tidak sempat melihat Kwan Cu yang melompat cepat sekali melalui kepala mereka dan para pengeroyok!

Ada pun Kwan Cu, sebagaimana dituturkan di atas, sengaja lari membawa Lu Thong mendekati Kiam Ki Sianjin. Tentu saja melihat pemuda itu mengempit tubuh Lu Thong, Kiam Ki-Sianjin cepat mengejar dengan pedang di tangan.

“Bangsat Lu Kwan Cu, ternyata engkau hendak mati-matian membela pemberontak itu!” serunya.

Kwan Cu tersenyum sindir. “Kiam Ki Sianjin, orang ini adalah keturunan menteri Lu Pin, bagaimana aku tak akan membelanya?”

Pemuda ini menyimpan sulingnya dan sekarang tahu-tahu tangannya sudah memegang sebatang pedang yang bersinar gemilang. Inilah Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin yang sengaja diberikan kepadanya.

Kiam Ki Sianjin tertegun dan merasa agak jeri. Baru sekarang dia melihat pemuda ini memegang pedang. Biasanya, hanya dengan tangan kosong atau paling-paling dengan sebatang suling di tangan, pemuda itu sudah terlampau tangguh baginya, apa lagi kalau sekarang memegang sebatang pedang mustika!

"Kiam Ki Sianjin, apakah kau tidak melihat siapa adanya pendekar-pendekar muda itu? Lihatlah baik-baik, gadis perkasa itu adalah murid tunggal dari Kiu-bwe Coa-li, pemuda bertombak itu adalah murid terkasih dari Pak-lo-sian Siang-koan Hai, ada pun pemuda sederhana itu adalah sute-ku! Aku tanggung bahwa kalau kau terus mengurung mereka, semua anak buahmu akan hancur lebur. Dan bukan itu saja, kalau saja mereka sampai terluka, tentu para Locianpwe itu akan bersumpah membalas dendam kepadamu."

"Habis, apa kehendakmu?" tanya Kiam Ki Sianjin memandang tajam.

"Kalau kau hendak menghalangi mereka lari, kau tahu bahwa aku akan menyerangmu mati-matian dan mungkin sekali aku akan dapat menewaskan engkau. Akan tetapi kalau kau mau melepaskan mereka lari, kita kelak akan dapat bertemu pula dan aku tak akan melupakan maksud baikmu hari ini."

Sampai beberapa lama Kiam Ki Sianjin terdiam saja, matanya memandang ke arah tiga orang muda yang tengah mengamuk hebat mencari jalan keluar. Memang sepak terjang mereka hebat luar biasa dan sekarang pun para anak buahnya sudah mulai kocar-kacir. Akhirnya dia mengangguk dan Kwan Cu girang sekali.

"Terima kasih, Kiam Ki Sianjin. Kau ternyata berpemandangan jauh.” Dia lalu membawa Lu Thong melompat ke barat!

"Sui Ceng, Kun Beng dan Sute! Lari melalui pintu barat!"

Pada waktu mendengar seruan Kwan Cu yang tiba-tiba ini, tiga orang muda itu menjadi terheran. Akan tetapi mereka segera memutar senjata memaksa para Si-wi yang masih berani mengeroyok untuk mundur dan berlarilah mereka ke barat. Kwan Cu sudah tidak kelihatan lagi oleh mereka.

Aneh sekali, setelah mereka sampai di dinding sebelah barat, di situ tidak kelihatan ada musuh, maka mudah saja mereka melompati tembok itu. Dan ternyata bahwa Kwan Cu sudah berada di bawah tembok sambil mengempit tubuh Lu Thong.

"Kau sudah di sini?" tanya Kun Beng tak mengerti.

Juga Sui Ceng terheran, akan tetapi Han Le diam-diam makin kagum akan kepandaian suheng-nya itu.

Kiam Ki Sianjin memenuhi janjinya. Ia tidak memberi perintah kepada para anak buahnya untuk mengejar, melainkan menyuruh mereka merawat kawan-kawannya yang luka serta mengurus mayat mereka yang tewas. Oleh karena itu, kawanan orang muda perkasa itu dengan mudah dapat melarikan diri keluar dari kota raja dan memasuki hutan sebelah barat.

Dengan Kwan Cu di depan, mereka berlari terus sampai jauh dari kota raja. Kemudian mereka berhenti dan Kwan Cu segera mengambil sapu tangan untuk membalut luka di paha Lu Thong dan setelah mengurut serta menotok jalan darah di kaki pemuda ini, Lu Thong dapat berdiri dan berjalan pula, meski pun pahanya yang terluka itu masih terasa amat sakit.

"Kwan Cu, kau cerdik sekali, dapat mencarikan jalan keluar yang tak terjaga untuk kita," kata Kun Beng memuji dan bibirnya tersenyum kalau dia mengingat alangkah bodohnya pemuda itu pada waktu masih kecilnya. "Kwan Cu, pertemuan kita dalam keadaan yang menguntungkan sudah membuat kita bertemu sebagai sahabat, aku senang sekali akan hal ini. Sekarang biar kita berpisah, dan kelak aku sangat mengharapkan kedatanganmu untuk menghadiri... pernikahan kami.” Sambil berkata demikian, pemuda yang tampan itu melirik ke arah Sui Ceng.

Gadis itu menjadi jengah dan malu, mengerling tajam dan menegur tunangannya dengan pandangan matanya itu.

Akan tetapi tak seorang pun tahu betapa mendongkol dan marah hati Kwan Cu terhadap Kun Beng. Ingin sekali dia menceritakan tentang Gouw Kui Lan, ingin pula dia menampar muka pemuda yang tampan itu. Akan tetapi Kwan Cu dapat menekan nafsunya dan dia hanya tersenyum dan mengangguk tanpa menjawab sesuatu.

“Ceng-moi, marilah kita pergi,” ajak Kun Beng kepada Sui Ceng dengan suara mesra.

“Ke... manakah? Aku... aku hendak kembali mencari Suthai.”

“Hendak menemui Kiu-bwe Coa-li Suthai? Baiklah, marilah kita bersama menjumpainya, memang perlu kita memberitahukan kepada gurumu tentang penetapan hari pernikahan.”

Sui Ceng makin merah mukanya. Untuk sekejap dia melirik ke arah Kwan Cu dan bukan main heran hatinya melihat pandangan mata Kwan Cu yang berapi-api ditujukan kepada Kun Beng, yang begitu mengerikan dan membuat dia bergidik. Alangkah anehnya Kwan Cu setelah dewasa, aneh dan menarik hati. Akan tetapi pandang mata itu mengandung kebencian yang hebat dan Sui Ceng merasa tidak enak hati.

"Marilah," katanya perlahan dan ia lalu melompat tanpa berpamit kepada Kwan Cu atau yang lain-lain, sedangkan Kun Beng juga melompat menyusul dengan wajah berseri-seri.

Kwan Cu menggigit bibirnya dan mengepal tinjunya, memandang ke arah perginya kedua orang itu tanpa bergerak seperti patung. Lu Thong yang kini sudah terbuka matanya dan sadar akan kesesatannya, duduk memisahkan diri di bawah pohon. Dia merenung sambil kadang-kadang menggigit bibir atau mengepalkan tinju. Wajahnya pucat laksana seorang yang kehilangan semangatnya.

"Suheng." Han Le menegur Kwan Cu yang masih berdiri seperti patung itu.

Kwan Cu tersadar dan cepat menoleh. Wajahnya amat merah ketika dia melihat pandang mata pemuda itu. Mata itu seakan-akan dapat membaca isi hatinya.

"Suheng, mengapa kau kelihatan berduka?"

Kwan Cu benar-benar menjadi sadar dan dengan tersenyum dia lalu memegang lengan pemuda itu.

"Tidak apa-apa, Sute. Sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau dapat menjadi murid suhu, semenjak kapan kau belajar ilmu silat kepada suhu dan bagaimana pula kau bisa memainkan ilmu silat yang hanya terdapat di atas Pulau Pek-hui-to?"

Karena melihat Lu Thong masih duduk melamun seorang diri, kedua orang pemuda ini lalu duduk di atas batu dan berceritalah Han Le.

"Aku adalah seorang anak sengsara. Kedua orang tuaku menjadi korban perang dan mereka tewas oleh bala tentara pemberontak An Lu Shan. Baiknya ketika aku sedang dikeroyok oleh bala tentara pemberontak dan hampir mengalami kebinasaan, datanglah suhu yang menolongku. Hal itu terjadi tidak lama setelah kau berpisah dari suhu. Suhu lalu mengambil murid kepadaku. Sebelum itu aku adalah anak murid dari Kun-lun-pai, dan karena semenjak kecil aku sudah belajar ilmu silat, tidak sulit bagiku untuk menerima gemblengan dari suhu. Kemudian, suhu mendengar tentang jatuhnya pemerintahan Tang dan didudukinya kerajaan oleh An Lu Shan. Suhu marah dan hendak memberi hajaran kepada orang-orang kang-ouw yang membantu pemberontak itu. Aku hendak ikut, akan tetapi dilarangnya dengan alasan bahwa kepandaianku masih jauh dari pada mencukupi untuk berhadapan dengan para tokoh kang-ouw itu. Bahkan suhu lalu menyuruhku untuk menyusulmu ke Pulau Pek-hui-to. Akan tetapi ketika tiba di pulau itu, kau tidak ada dan aku mendapatkan ukiran-ukiran di dalam goa. Karena tertarik aku lalu berlatih seorang diri mempelajari semua ukiran itu dan mendapat kenyataan bahwa semua itu merupakan pelajaran ilmu silat yang luar biasa sekali, akan tetapi sukar sekali dipelajarinya. Suheng, melihat ilmu silatmu, agaknya kau sudah bisa memecahkan semua rahasia dari pelajaran itu, bukan?"

Kwan Cu mengangguk. "Sute, ilmu silatmu sendiri sudah sangat tinggi dan baik. Tidak mudah untuk memecahkan rahasia ilmu silat itu, karena ketahuilah bahwa lukisan-lukisan itu merupakan petunjuk dari ilmu-ilmu silat yang terdapat di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng."

Berseri wajah Han Le yang tampan. "Ahhh, kalau begitu benar kata suhu. Suheng telah mewarisi ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng!" Wajahnya bersinar penuh kekaguman.

Kwan Cu menarik napas panjang. "Ilmu kepandaian itu tiada batasnya, Sute. Sepandai-pandainya orang, masih ada yang melebihinya, akhirnya dia akan mengaku bahwa dia amat lemah apa bila menghadapi musuh yang berada di dalam hati sendiri."

Kwan Cu termenung dan dia teringat akan Sui Ceng. Dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu, akan tetapi gadis itu telah bertunangan dengan Kun Beng. Hal inilah yang amat menyakitkan hatinya.

Andai kata gadis itu bertunangan dengan pemuda lain, agaknya akan mudah baginya untuk menyerah dan berusaha melupakan gadis itu. Akan tetapi Kun Beng? Nama ini membuat dia otomatis teringat akan Kui Lan dan timbullah penasaran dan sakit hatinya. Tidak, Sui Ceng tidak boleh menikah dengan pemuda itu!

"Han Le, kau tentu akan membantu perjuangan rakyat bukan?”

"Tentu saja, Suheng. Orang tuaku tewas oleh penjajah dan aku belum puas kalau para penjajah belum terusir dari negara kita."

"Bagus, kalau begitu kau bawalah Lu Thong. Obat satu-satunya bagi dia adalah berjuang membela tanah air dan bangsanya untuk menebus kesesatannya."

Kwan Cu lalu menghampiri Lu Thong, diikuti oleh sute-nya.

Lu Thong sudah sadar dari lamunannya dan dia memandang kepada Kwan Cu dengan bibir tersenyum pahit.

"Kwan Cu, kau tentu cinta kepada Sui Ceng, bukan?"

Bukan main kagetnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Memang, berbeda dengan Kwan Cu atau Han Le, Lu Thong sudah kenyang dengan pengalaman mengenai hubungan pria dan wanita, tentang kasih asmara dan tanda-tandanya. Biar pun dia hanya sekelebatan saja melihat semua pertemuan dan percakapan itu, akan tetapi dia telah dapat menduga dengan tepat sekali.

"Lu Thong, omongan apakah yang kau keluarkan ini? Sekarang bukan waktunya bicara yang bukan-bukan. Sebaliknya aku hendak bertanya kepadamu, apakah sekarang kau sudah insyaf betul-betul dan sadar bahwa yang sudah-sudah kau telah tersesat sangat jauh?"

Lu Thong menarik napas panjang. "Memang aku bodoh dan mudah sekali tertarik oleh kedudukan dan harta, Kwan Cu. Akan tetapi, apa lagi yang mampu kulakukan sekarang? Keluargaku sudah terbinasa semua, dan kalau kuingat-ingat aku adalah anak yang paling puthauw (tidak berbakti), anak durhaka." Tiba-tiba Lu Thong menangis sambil menutupi kedua matanya dengan tangan.

Kwan Cu terharu. "Lu Thong, sudah menjadi kewajibanmu untuk menebus dosa itu dan membalaskan sakit hati orang tuamu."

Lu Thong menurunkan tangannya, air matanya mengalir perlahan melalui pipinya.

"Apa dayaku? Musuh-musuhku adalah pemerintah penjajah dan mereka amat kuat. Baru menghadapi pasukan Si-wi saja, aku sudah terluka, apa lagi kalau menghadapi barisan penjajah? Lagi pula, di sana ada orang-orang sakti seperti Kiam Ki Sianjin dan lain-lain."

"Kau tidak berdiri sendirian, Lu Thong. Di fihak kita pun ada ratusan laksa rakyat yang berjuang dengan penuh dendam terhadap penjajah. Sukakah kau membantu perjuangan mereka?"

"Membantu para pemberontak?"

“Nah, itulah kepicikanmu, Lu Thong. Memang, pejuang-pejuang itu disebut pemberontak oleh penjajah, akan tetapi bagaimana mungkin orang-orang gagah yang membela tanah air dan bangsa dari tindasan penjajah asing disebut pemberontak? Insyaflah bahwa para pejuang rakyat itu sudah dibikin sakit hati oleh penjajah."

Lu Thong melompat bangun. "Kau benar, Kwan Cu. Baik, aku bersedia untuk membantu perjuangan rakyat dengan taruhan nyawaku."

Kwan Cu sebaliknya menjadi gembira sekali. "Bagus, kalau begitu kau sungguh-sungguh saudaraku! Kau ikutlah dengan sute-ku ini dan dia akan membawamu ke tempat rakyat yang sedang menyusun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah. Kelak aku akan menyusul."

Maka berangkatlah Lu Thong dan Han Le, menuju markas pasukan pejuang rakyat yang terdekat, karena sebelum pergi ke kota raja, memang Han Le sudah dengan aktif sekali membantu para pejuang ini.

Ada pun Kwan Cu sendiri, tadinya dia berniat untuk menyusul perjalanan Sui Ceng dan Kun Beng. Ingin sekali dia mencegah mereka melakukan perjalanan bersama. Dia ingin sekali membongkar rahasia Kun Beng di depan Sui Ceng, agar gadis yang dicintanya itu tahu betapa buruk watak tunangannya, yang sudah merusak kehormatan seorang gadis yang menjadi adik dari suheng-nya sendiri! Akan tetapi, dia teringat akan tugas-tugasnya, yakni membalas sakit hati guru dan kongkong-nya.

"Urusan pribadi harus dikesampingkan," pikirnya dengan hati getir. "Lebih dulu aku harus mencari mereka yang sudah menewaskan suhu, kemudian aku akan mencari keturunan An Lu Shan yang tinggal seorang itu, yakni An Kai Seng."

Kwan Cu teringat akan tantangan Pek-eng Sianjin, maka dia segera berangkat menuju ke Bukit Leng-san. Tadinya memang dia sudah mengeluarkan nama Pek-eng Sianjin dari daftar orang-orang yang hendak dibalasnya karena membunuh suhu-nya. Hal ini karena dia sudah mendengar sumpah Pek-eng Sianjin bahwa tosu ini tidak turut mengeroyok dalam pembunuhan Ang-bin Sin-kai.

Akan tetapi, sebaliknya Pek-eng Sianjin merasa terhina dan menantangnya untuk datang ke Leng-san. Jika dia tidak meladeni tantangan yang diucapkan di hadapan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin, Bian Ti Hosiang, dan Bin Ti Siansu, tentu namanya akan jatuh sebagai seorang muda pengecut.

"Aku harus memenuhi tantangannya lebih dulu, barulah aku akan mencari tempat tinggal Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan siluman Toat-beng Hui-houw," pikimya.

Selesai berpikir demikian, Kwan Cu lalu berlari cepat sekali ke selatan…..

********************

Di Bukit Leng-san, Pek-eng Sianjin sudah bersiap-siap menunggu kedatangan Kwan Cu, pemuda yang telah menghinanya di depan para tokoh besar. Di pegunungan ini, Pek-eng Sianjin sudah kehilangan empat orang saudaranya yang terbunuh mati oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, dan sekarang sudah membentuk pula sebuah perkumpulan yang diberi nama Pek-eng Kauw-hwe (Perkumpulan Agama Garuda Putih)!

Dia mendapatkan tiga orang kawan, yakni dua orang tosu dan seorang hwesio yang kini dikumpulkan di situ, selain untuk bersama-sama mengurus perkumpulan itu, juga untuk menjadi kawannya menghadapi Kwan Cu.

Dua orang tosu itu memang telah mengangkat saudara dengan dia dan mengganti nama menjadi Thian-eng Sianjin dan Te-eng Sianjin. Dua orang saudara ini memang tadinya adalah orang-orang kang-ouw dari kalangan jalan hitam, karena itu cocok sekali dengan Pek-eng Sianjin. Mereka adalah pelarian dari Thian-san-pai, yang diusir dan tidak diakui lagi karena mereka telah melakukan perbuatan jahat. Setelah bertemu dengan Pek-eng Sianjin, mereka lalu menerima pelajaran ilmu silat baru dan menjadi saudara angkat yang sehidup semati.

Ada pun hwesio itu adalah Loan Kek Hosiang, merupakan seorang hwesio pelarian dari Siauw-lim-pai. Juga seperti dua orang tosu tadi, hwesio ini sudah melarikan diri karena terancam oleh fihak Siauw-lim-pai yang hendak menghukumnya sesudah dia melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang!

Selain empat orang yang lihai ini, Pek-eng Sinjin menerima pula murid-murid yang juga menjadi pembantu-pembantunya. Akan tetapi yang paling mereka sayangi adalah tiga orang anak-anak yang usianya baru delapan sembilan tahun. Tiga orang anak kecil inilah mereka harapkan untuk menggantikan kedudukan mereka kelak, maka mereka bertiga, yakni Pek-eng Sianjin dan dua orang tosu lain, masing-masing mengambil seorang anak menjadi muridnya dan melatih ilmu silat kepada mereka ini.

Pek-eng Sianjin ialah seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-koat, ada pun Thian-eng Sianjin mempunyai ilmu pedang Thian-san Kiam-hoat yang kini dia gabung pula dengan Sin-eng Kiam-hoat, Te-eng Sianjin memiliki ilmu tombak yang lihai dari Thian-san-pai pula. Ada pun Loan Kek Hosiang juga memiliki ilmu pedang dari Siauw-lim-pai yang kini dia tukar atau saling pelajari dengan ilmu pedang dari Pek-eng Sianjin. Kini mereka selalu berlatih dengan giatnya, terutama sekali sesudah mendengar bahwa tidak lama lagi akan datang seorang musuh besar dari Pek-eng Sianjin, ketua dari Pek-eng Kauw-hwe.

Ketika Kwan Cu mendaki Bukit Leng-san, dari kaki bukit itu kelihatannya sunyi saja. Akan tetapi setelah dia mendekati puncak dari bukit yang tidak seberapa tinggi itu, dia melihat sepasukan orang muda yang bertubuh kuat, terdiri dari dua puluh orang, menghadang di tengah jalan.

"Apakah yang datang ini bernama Lu Kwan Cu?" terdengar seorang di antara pasukan itu bertanya dengan suara heran.

Mereka adalah sebagian dari murid-murid Pek-eng Kauw-hwe yang ditugaskan menjaga dan menangkap musuh yang baru datang. Melihat bahwa musuh suhu mereka ternyata hanya seorang pemuda sederhana yang bertangan kosong, berpakaian sederhana serta kelihatannya lemah, orang-orang muda ini memandang ringan.

"Betul, aku adalah Lu Kwan Cu dan aku datang untuk memenuhi undangan dari Pek-eng Sianjin. Apakah dia berada di puncak bukit?"

Para orang muda itu saling pandang, kemudian terdengar gelak tawa mereka. Hampir mereka tidak percaya bahwa inilah musuh yang agaknya ditakuti oleh guru mereka. Apa sih anehnya orang muda yang tubuhnya kelihatan lemah itu?

"Kau yang bernama Lu Kwan Cu?" tanya seorang pemuda bermuka hitam dengan tubuh seperti raksasa sambil melangkah maju menghadapi kwan Cu. "Kalau begitu, menurutlah saja kami rantai untuk dihadapkan kepada suhu. Lebih baik kau menurut dari pada kami harus menggunakan kekerasan dan ada tulang-tulangmu yang patah!" katanya mengejek dan kembali terdengar suara ketawa di sana-sini.

Kwan Cu tidak marah, bahkan merasa kasihan terhadap mereka. Ia tahu bahwa memang banyak orang muda yang tingkahnya seperti mereka ini. Baru mempelajari sejurus dua jurus ilmu silat saja, lalu merasa diri terpandai dan kuat, siap untuk mencari keributan dan memukul orang untuk memamerkan kepandaiannya.

Beginilah contoh orang yang masih dangkal ilmu pengetahuannya dan belum mengerti benar bahwa hakekat dari pada ilmu silat yang sesungguhnya bukan dipergunakan untuk menyombongkan diri. Bahkan sebaliknya, makin tinggi ilmu yang telah dipelajarinya akan merasa bahwa dia masih belum mengerti apa-apa sehingga selalu berlaku merendah.

"Sahabat, aku datang bukan untuk mencari permusuhan, akan tetapi untuk memenuhi undangan Pek-eng Sianjin. Mengapa kau bersikap begini kasar?"

Si muka hitam itu tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha! Kami mendengar bahwa orang yang bernama Lu Kwan Cu akan datang untuk mengadakan pibu (mengadu kepandaian silat) dengan suhu. Akan tetapi kalau orangnya ternyata hanya seperti engkau saja, untuk apa suhu harus melelahkan diri? Dari pada kau susah-susah menemui kematian di puncak, lebih baik sekarang saja aku yang akan menghajarmu!"

Setelah berkata demikian, si muka hitam kemudian memasang kuda-kuda dan kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu menyambar ke arah dada Kwan Cu. Dengan tenang Kwan Cu menanti datangnya pukulan tanpa mengelak sedikit pun.

"Bukkk!"

Pukulan itu dengan kerasnya tiba pada dada Kwan Cu, akan tetapi pendekar muda ini berkedip pun tidak. Bahkan sebaliknya, si muka hitam itu lalu terlempar ke belakang dan tulang-tulang jari tangannya patah-patah! Dia bergulingan di atas tanah mengaduh-aduh karena rasa sakit membuat dia lupa malu. Jantungnya terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum.

Gegerlah keadaan di situ. Para muda itu cepat mencabut senjata sehingga sebentar saja hujan senjata menjatuhi tubuh Kwan Cu. Tapi pemuda ini tidak mau berurusan dengan anak-anak muda yang dianggapnya masih hijau dan tolol itu. Sekali tubuhnya berkelebat, para pengeroyok itu melongo karena tahu-tahu pemuda yang akan dikeroyoknya itu telah lenyap dari situ.

Pada saat mereka menengok, ternyata bahwa Kwan Cu sudah berlari cepat menuju ke puncak bukit! Barulah mereka kemudian beramai-ramai mengejar sambil berteriak-teriak. Akan tetapi, mana bisa mereka menyusul larinya pemuda sakti itu?

Sesudah mendekati puncak, Kwan Cu melihat bangunan tembok di atas puncak gunung itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar suara angin yang aneh dan tahulah dia bahwa banyak sekali senjata gelap menyambar ke arah dirinya.

Mendengar suara angin sambaran itu, Kwan Cu pun tahu bahwa yang menyambar hanya senjata-senjata yang digerakkan oleh orang-orang yang masih lemah tenaganya. Maka dia hanya memutar kedua lengannya sambil mengerahkan tenaga sedikit saja. Semua anak panah yang ratusan banyaknya itu runtuh, tak dapat melukainya, bahkan sebatang pun tidak ada yang bisa merobek bajunya!

Dia berlari terus dan berseru, "Pek-eng Sianjin, bagus benar kau menyambut datangnya tamu yang kau undang sendiri!"

Hati pemuda ini mulai panas dan biar pun tadinya dia tidak mengandung maksud buruk terhadap Pek-eng Sianjin, namun sekarang pandangannya lain. Orang seperti Pek-eng Sianjin yang ternyata curang sekali itu amat berbahaya bagi keamanan umum dan perlu disingkirkan.

Belum juga dia sampai di depan bangunan itu, dari atas pohon menyambar turun tubuh empat orang yang gerakannya amat gesit. Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Thian-eng Sianjin, Te-eng Sianjin dan Loan Kek Hosiang, semuanya siap dengan senjata.

"Lu Kwan Cu, sekarang rasakan pembalasan dendamku!" berseru Pek-eng Sianjin yang cepat menyerang dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang saudaranya.

Kwan Cu marah bukan main, akan tetapi dia tetap mengelak dan menyabarkan hatinya. Sambil meloncat ke sana ke mari mengelakkan diri dari sambaran empat senjata lawan, dia berkata keras,

"Pek-eng Sianjin, insyaflah kau! Aku telah mengampuni nyawamu karena kau bersumpah tidak ikut membunuh guruku. Sekarang aku datang sebagai tamu yang kau undang untuk mengadakan pibu. Mengapa kau berlaku curang, telah menyuruh orang mengeroyok dan melepas anak panah, sekarang kau mengeroyok pula? Apa kehendakmu?"

"Bangsat rendah! Gurumu telah membunuh empat orang adikku, kemudian kau pun telah menghinaku. Apa kau kira kini aku mau melepaskan engkau dari sini? Bersiaplah untuk mampus!"

Serangan mereka itu dipercepat dan terpaksa Kwan Cu mencabut keluar sulingnya. Dia mengerahkan tenaga lantas menangkis sekaligus serangan empat batang senjata. Akan tetapi, meski dia berhasil membikin terpental senjata-senjata itu, dia tidak bisa membikin senjata itu terlepas dari pegangan lawan-lawannya. Mengertilah Kwan Cu bahwa para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

"Pek-eng Sianjin, sekali lagi kuharap kau mau sadar dan tahu akan kesopanan di dunia kang-ouw. Kalau mau berpibu secara baik, pergunakanlah aturan. Kecuali kalau memang kau sengaja mau mengadu nyawa!"

"Hari ini kalau bukan kau tentu aku yang mati di sini!" jawab Pek-eng Sian-jin sambil menyerang dengan buasnya.

Mulai timbul amarah Kwan Cu. Sudah nyata sekarang bahwa tosu ini memang berakhlak bejat, menurutkan nafsu hati dan dendam tanpa mengingat bahwa fihaknya sendirilah yang salah besar.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)