PENDEKAR SAKTI : JILID-39


"Kau mencari penyakit sendiri!" seru Kwan Cu dan dia pun mulai melakukan serangan balasan.

Pek-eng Sianjin adalah seorang tokoh kang-ouw dan ilmu silatnya sudah cukup tinggi, demikian pula tiga orang kawannya yang mengeroyok. Mereka mengurung Kwan Cu dari empat jurusan dan melakukan serangan-serangan hebat.

Tetapi Kwan Cu yang gesit dan tingkat ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi itu, melayani mereka dengan amat tabah. Sulingnya bergerak-gerak bagai naga menyambar sehingga setiap serangan lawan kalau tidak dielakkannya tentu dapat ditangkis. Sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, dia bergerak menurut Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na dan mencoba untuk merampas senjata lawan.

Namun keempat orang lawannya itu dapat bergerak gesit dan mereka lebih berhati-hati sekali ketika Pek-eng Sianjin berseru,

“Awas, jangan membiarkan dia merampas senjata. Awas terhadap tangan kirinya!"

Kwan Cu mendongkol sekali. Sampai sebegitu jauh dia belum dapat merampas senjata mereka. Bila dia memang mempunyai niat untuk menyebar maut, kiranya dengan mudah dia akan dapat menggulingkan para pengeroyok ini dengan menggunakan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut atau pun dengan sulingnya untuk menotok jalan darah di tubuh lawan.

Akan tetapi, Kwan Cu tidak mau sembarangan membunuh. Ia belum kenal siapa adanya tiga orang kawan Pek-eng Sianjin ini dan tidak tega menjatuhkan tangan kejam terhadap orang-orang yang belum diketahui kejahatannya.

Karena kepungan mereka makin rapat dan desakan mereka makin menghebat, Kwan Cu berseru keras dan tiba-tiba saja lawannya menjadi bingung. Tubuh pemuda ini sekarang bergerak sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata mereka.

Sebentar Kwan Cu mendesak Pek-eng Sianjin, sebentar pula berganti lawan dan bahkan kadang-kadang melompat tinggi sekali untuk turun di sebelah belakang seorang di antara mereka. Pemuda ini mengeluarkan kepandaiannya dan menggunakan ginkang-nya yang paling tinggi.

Pengepungan itu menjadi kacau balau dan permainan senjata mereka kini tidak teratur lagi. Mereka membacok dan menusuk ke mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, akan tetapi tidak pernah mendapatkan sasaran.

Pek-eng Sianjin yang sudah menjadi penasaran dan amat marah tiba-tiba saja menubruk dengan pedangnya dari belakang, dibarengi dengan tangan kirinya yang mencengkeram hendak memeluk leher. Inilah suatu serangan yang disebut Pek-mo Jio-beng (Iblis Putih Merebut Nyawa), hebatnya bukan main.

Pedang itu digerakkan dengan khikang sepenuhnya sehingga ujung pedang jadi tergetar, selain cepat juga amat kuatnya dapat menembus dinding baja. Sedangkan tangan kiri itu mencengkeram dengan gerakan Kin-na-jiauw yang dilakukan melalui pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya. Jangan kata kulit atau daging manusia, bahkan batu karang yang keras juga akan hancur terkena cengkeraman ini.

Walau pun amat lihai, sesungguhnya ilmu serangan ini adalah semacam gerak tipu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat dan hendak mengadu jiwa dengan lawannya. Gerakan Pek-mo Jio-beng ini tidak dapat ditarik kembali, sekali dikeluarkan, kalau lawannya tangguh tentu akan kena dipeluk untuk mati bersama, kalau lawannya kurang tangguh pasti takkan dapat mengelakkan diri dari dua serangan yang merupakan sepasang tangan maut itu!

Kwan Cu mendengar suara angin serangan yang amat dahsyat ini, yang dilakukan oleh Pek-eng Sianjin dari belakang. Pemuda ini pun tahu bahwa lawan ini telah berlaku nekat dan telah mengeluarkan serangan dari kepandaian simpanan. Biar pun pemuda ini tidak melihat dengan matanya, namun telinga dan perasaannya yang amat tajam sudah dapat membedakan bahwa Pek-eng Sianjin melakukan serangan dengan pedang serta tangan kiri.

Kwan Cu tidak menjadi gugup. Pada saat itu, tombak di tangan Te-eng Sianjin menusuk perutnya dari depan. Kwan Cu yang lebih memperhatikan serangan dari arah belakang, mengangkat kaki kanan memapaki tombak ini dari samping. Gerakan semacam ini tidak sembarang ahli silat tinggi berani melakukannya, karena kalau meleset sedikit saja, tentu kaki akan beradu dengan ujung tombak dan betapa pun kuatnya, sepatu berikut kulit kaki tentu akan tertembus atau terluka.

Namun tendangan Kwan Cu ini tepat sekali datangnya, mengenai bawah mata tombak sehingga tombak itu terpental. Dengan meminjam tenaga tusukan tombak, Kwan Cu lalu membanting kaki ke kanan sehingga tubuhnya juga miring ke kanan, berbareng dia juga memukulkan sulingnya ke belakang punggung hingga tepat menangkis serangan pedang di tangan Pek-eng Sianjin. Ada pun pukulan tangan kiri Pek-eng Sian-jin hanya lewat di samping tubuhnya sebelah kiri.

Akan tetapi keadaan Kwan Cu yang tubuhnya miring dan kelihatannya berada dalam kedudukan berbahaya ini tidak mau disia-siakan oleh tiga orang kawan Pek-eng Sianjin. Te-eng Sianjin sudah menggerakkan tombaknya pula, menusuk dengan sekuat tenaga. Thian-eng Sianjin membacok dengan pedangnya, demikian pula Loan Kek Hosiang yang melakukan bacokan hebat dengan pedangnya! Agaknya sudah tidak ada harapan bagi Kwan Cu untuk menghindarkan diri dari tiga serangan hebat ini.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan seruan terkejut dari tiga orang itu yang wajahnya menjadi pucat sekali. Apa yang terjadi? Kwan Cu yang tubuhnya sudah miring itu, secepat kilat menangkap tangan kanan Pek-eng Sian-jin, lalu memencet keras hingga pedang lawannya terlepas.

Kemudian, sekaligus Kwan Cu mengerahkan tenaga lweekang sehingga badan Pek-eng Sianjin diangkat oleh tangan kirinya, langsung dibanting ke depan menjadi perisai yang menangkis semua serangan tiga orang itu!

Tombak Te-eng Sianjin tepat sekali menancap di perut Pek-eng Sianjin sampai tembus, pedang Thian-te Sianjin melukai pundaknya dan yang lebih lagi, pedang di tangan Loan Kek Hosiang membabat putus lengan kanan yang dipegang oleh Kwan Cu! Seketika itu juga tewaslah Pek-eng Sianjin, setelah mengeluarkan pekik yang menyeramkan tadi!

Sesudah melepaskan lengan yang sudah putus, Kwan Cu tidak mau berbuat kepalang tanggung. Tubuhnya bergerak cepat, suling di tangannya menyambar-nyambar, lantas robohlah tiga orang kawan Pek-eng Sianjin tadi dalam keadaan tertotok jalan darahnya!

Para anak murid Pek-eng Kauw-hwe yang kini sudah datang mendekat berdiri dengan wajah pucat, sama sekali tak berani bergerak atau bersuara. Tak pernah mereka sangka bahwa pemuda itu ternyata demikian lihainya!

"Kalian lihat, beginilah nasib orang yang berhati curang dan jahat. Pek-eng Sianjin telah mencari kematiannya sendiri. Aku masih tidak tega untuk membunuh orang-orang lain dan biarlah kematian Pek-eng Sianjin ini menjadi peringatan bagi kalian semua supaya mengubah watak dan berbuat kebaikan sesuai dengan jalan kebenaran. Rakyat sedang membutuhkan bantuan orang-orang pandai untuk mengusir penjajah, kenapa kalian tidak membantu perjuangan suci itu bahkan sebaliknya menimbulkan kekacauan? Pikirkanlah kata-kataku ini baik-baik!" Sesudah berkata demikian, tubuh pemuda ini berkelebat dan dalam sekejap mata lenyap dari situ.

Setelah terlongong-longong untuk beberapa waktu dan tidak berani bergerak atau pun membuka suara, barulah para anggota Pek-eng Kauw-hwe itu beramai-ramai menolong tiga orang tua yang lumpuh tertotok dan mengurus jenazah Pek-eng Sianjin yang amat mengerikan itu. Lengannya putus, isi perutnya berantakan keluar dan pundaknya hampir putus pula…..

********************

Kiam Ki Sianjin yang menjadi pembantu utama dari Si Su Beng yang kini menduduki istana kerajaan, dapat melihat bahwa perjuangan rakyat amat kuatnya dan mengancam kedudukan yang dipertuan. Dia tahu bahwa kekuatan perjuangan rakyat itu karena rakyat dari segala lapisan serentak bangkit dan dipimpin serta dibantu pula oleh orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi.

Oleh karena itu, dia mendapatkan sebuah pikiran yang sangat baik. Dia mengirim surat kepada semua partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Thian-san-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Juga dia mengundang tokoh-tokoh besar seperti Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Seng Thian Siansu dari Kun-lun-pai dan fihak-fihak lain yang kelihatannya anti kaisar penjajah.

Undangan itu untuk mengadakan pertemuan atau yang disebutnya musyawarah besar di Bukit Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw (Bulan lima tanggal lima belas), di mana akan dirundingkan dan diperdebatkan pendirian mereka yang bertentangan.

Tentu saja secara diam-diam Kiam Ki Sianjin mengumpulkan tokoh-tokoh yang sekiranya akan berdiri pada fihaknya, yakni seperti Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang yang disebut Bu-eng Siang-hiap dan yang tadinya membantu putera An Lu Shan dan sesudah putera mahkota itu dibinasakan oleh Si Su Beng, kemudian menyerah serta membantu pula kepada Si Su Beng.

Masih banyak tokoh-tokoh berkepandaian tinggi yang berdiri di fihaknya, maka sekali ini Kiam Ki Sianjin bermaksud mengundang semua tokoh dan apa bila fihak yang anti kaisar masih tak mau mengalah, di puncak Tai-hang-san itu akan dijadikan tempat pembasmian bagi mereka!

Banyak para ketua partai persilatan dan tokoh-tokoh besar sengaja datang kepada Kiam Ki Sianjin untuk meminta penjelasan setelah menerima surat itu. Di antara mereka yang datang adalah Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai dan Bin Hong Siansu tokoh ke dua dari Kim-san-pai.

Sebagaimana sudah dituturkan pada bagian depan, dua orang tokoh ini kebetulan sekali bertemu dengan Kwan Cu di gedung Kiam Ki Sian-jin dan sudah mencoba kepandaian pemuda itu pula. Kini mereka pergi dari istana untuk kembali ke tempat masing-masing, menyampaikan hasil penyelidikan mereka setelah bertemu dengan Kiam Ki Sianjin.

Meski pun mereka keluar dari istana tidak bersama-sama, namun setelah tiba di luar kota raja, mereka bertemu dan melakukan perjalanan bersama.

"Bin Hong Toyu, bagaimana pendapatmu mengenai bocah yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai itu?" di tengah perjalanan Bian Ti Hosiang bertanya.

Mereka melakukan perjalanan sambil mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuh mereka bergerak bagaikan terbang saja, akan tetapi mereka tidak kelihatan lelah, bahkan masih bisa bercakap-cakap. Ini menunjukkan betapa tingginya ilmu kepandaian mereka.

Bin Hong Siansu menghela napas panjang. "Kita harus mengakui bahwa kita sudah tua dan ketinggalan jaman. Secara jujur harus kuakui bahwa selama hidup aku belum pernah melihat seorang pemuda yang demikian lihainya."

"Kalau begitu, fihak yang anti kaisar tentu jauh lebih kuat dari pada fihak yang membantu kaisar," kata pula Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai itu.

"Belum tentu demikian. Biar pun pemuda itu lihai, tak mungkin kepandaiannya akan bisa mengatasi Hek-i Hui-mo atau Toat-beng Hui-houw, Kiam Ki Sian-jin juga belum tentu kalah, tadi kelihatan kalah karena mereka bertempur menggunakan meja, hal yang amat aneh!" jawab Bin Hong Siansu. "Bagiku sendiri, kurasa pendirian Kiam Ki Sianjin lebih benar. Kalau orang kang-ouw tidak mau membantu kaisar, hal itu berarti bahwa mereka akan mendatangkan bencana yang lebih besar kepada rakyat. Apa bila pemberontakan-pemberontakan itu dapat ditindas dan keadaan negara aman kembali, tentu rakyat hidup tenang dan damai. Kaisar adalah pilihan Yang Maha Kuasa, jatuh bangunnya sebuah kerajaan, menang kalahnya perebutan kedudukan kaisar, semua sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Mengapa harus membangkang terhadap keputusan nasib yang telah ditentukan oleh Thian?"

Bian Ti Hosiang mengerutkan kening. "Pinceng masih belum bisa mengambil keputusan, terserah kepada suheng Bian Kim Hosiang saja."

Memang di dalam hatinya, hwesio Bu-tong-pai ini masih ragu untuk menyetujui pendapat tosu dari Kim-san-pai itu. Dia pun terpengaruh oleh bujukan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi karena dia juga tahu bahwa suheng-nya sering kali menyatakan tidak sukanya terhadap pemerintah penjajah, maka dia sendiri tidak berani mengambil keputusan.

Perjalanan dilanjutkan cepat sekali dan tahu-tahu siang telah berganti senja dan angkasa gelap sekali, agaknya akan turun hujan.

"Kita harus mencapai tempat bermalam," kata Bin Hong Siansu kepada kawannya.

"Benar, agaknya akan turun hujan dan kita masih berada di dalam hutan. Apakah ada goa untuk berlindung di hutan ini?"

"Jangan khawatir," kata Bin Hong Siansu, "di luar hutan ini terdapat sebuah hutan dan di situ ada seorang kenalanku. Dia adalah Siok Tek Tojin yang mengepalai sebuah kuil."

Mereka lalu mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja, setelah keluar dari hutan mereka tiba di sebuah dusun. Bin Hong Siansu membawa kawannya ke sebuah kuil yang cukup besar, disambut oleh seorang tosu bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti mata burung.

Bian Ti Hosiang yang berpandangan awas dapat menduga bahwa tosu yang menyambut mereka ini berhati kejam. Akan tetapi karena tuan rumah adalah kawan dari Bin Hong Siansu, apa lagi menyambut mereka dengan amat ramah, dia pun tidak memperlihatkan kecurigaannya.

Dengan ramah Siok Tek Tojin menyambut dua orang tamunya, mengeluarkan hidangan dan bercakap-cakaplah mereka dengan asyiknya. Dari percakapan dengan tuan rumah, Bian Ti Hosiang segera tahu bahwa tosu ini adalah seorang yang memuji-muji kaisar dan memuji-muji Kiam Ki Sianjin pula.

Malam hari itu, Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu menginap di kamar yang berlainan. Hal ini adalah atas kehendak tuan rumah yang ingin menghormati kedua tamunya dan ingin menyediakan tempat yang enak bagi para tamunya.

"Di sini ada banyak kamar, harap Ji-wi Beng-yu (dua sahabat) jangan sungkan-sungkan," katanya berkali-kali sambil tersenyum.

Menjelang tengah malam, pada waktu Bian Ti Hosiang masih duduk bersemedhi di atas tempat tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara dari arah jendela dan ketika dia membuka mata dan memandang, terkejutlah dia melihat asap bergulung-gulung masuk dari jendela itu! Dia cepat melompat turun, akan tetapi segera terguling karena tercium olehnya bau yang harum dan keras sekali. Ia pun maklum bahwa asap itu adalah asap beracun yang dapat membius orang, akan tetapi sebentar saja dia telah roboh pingsan.

Ketika dia sadar kembali, dia mendapatkan dirinya masih rebah di atas lantai dengan kedua tangan ke belakang dan ketika dia hendak mengerahkan lweekang-nya, ternyata bahwa seluruh tubuhnya sudah lemas, tanda bahwa jalan darahnya telah ditotok orang secara lihai sekali. Asap telah menghilang, akan tetapi hwesio ini masih merasa pening. Dengan tubuhnya yang sangat lemah karena jalan darahnya tidak lancar, dia bergulingan dan dengan susah payah dapat juga dia duduk dan menyandarkan punggungnya pada tiang pembaringan. Kemudian dia berseru,

"Penjahat manakah yang begitu curang menyerang orang tanpa memberi tahu terlebih dahulu?" Dari luar jendela terdengar suara orang ketawa mengejek,

"Kiu-bwe Coa-li, apakah kau sudah membereskan Siok Tek Tojin?" suara itu bertanya, kemudian dijawab oleh suara wanita yang kecil tinggi melengking.

"Sudah, hanya tosu dari Kim-san-pai itu yang masih harus kita bereskan. Bagaimana, Pak-lo-sian, apakah babi gemuk itu sudah dapat dibikin beres?"

"Ha-ha-ha, sudah heres, dia sudah tidak berdaya. Marilah kita bekuk Bin Hong Siansu," kata suara pertama yang besar dan parau.

Diam-diam Bian Ti Hosiang tertegun dan terheran. Benarkah pendengarannya? Apakah betul dua orang yang berada di luar jendela itu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai? Kalau memang benar, mengapa dua orang tokoh besar yang luar biasa lihainya itu melakukan perbuatan seperti ini terhadap dia? Ia teringat akan sahabatnya yang menurut pembicaraan tadi belum tertawan, maka sambil mengerahkan lweekang-nya dia cepat berseru,

"Bin Hong Toyu! Hati-hatilah, ada dua orang jahat di tempat ini...!"

Belum lama gema suaranya lenyap, pintu kamamya ditendang orang dan masuklah Bin Hong Siansu.

"Bian Ti Hosiang, ada terjadi apakah…?" Tosu dari Kim-san-pai ini bertanya.

Akan tetapi sebagai jawaban pertanyaan ini, mendadak dari jendela menghembus asap tebal, asap hitam dan putih yang sebentar saja memenuhi kamar itu.

"Bin Hong Siansu, berhati-hatilah terhadap asap beracun itu. Cepatlah kau pergi!" teriak Bian Ti Hosiang.

Mendengar ini Bin Hong Siansu terkejut sekali dan cepat melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi baru saja dia sampai di pintu yang sudah penuh oleh asap hitam, dia roboh terkena pukulan yang amat dahsyat, tepat pada dadanya. Pemukul yang tidak kelihatan karena terhalang oleh asap hitam itu tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali karena pukulannya jatuh tanpa dapat ditangkis atau dielakkan lagi.

Bin Hong Siansu terhuyung-huyung dan tanpa disadarinya mengisap asap itu, lalu roboh pingsan. Demikian pula Bian Ti Hosiang, biar pun sudah berusaha dengan merebahkan tubuhnya di atas lantai supaya jangan kena mengisap asap itu, akhirnya dia pun pingsan karena tidak tahan pula dengan asap yang ternyata bisa mengapung rendah itu.

Di dalam kamar yang penuh asap itu lantas berkelebat bayangan yang berbaju hitam. Ia menghampiri Bian Ti Hosiang, memukul pelipis hwesio ini dengan perlahan kemudian dia melakukan hal yang sama kepada Bin Hong Siansu. Setelah melakukan hal ini, dia lalu tertawa bergelak dan sekali berkelebat saja, dia telah menghilang keluar dari kamar itu, masuk di dalam gelap.

Akan tetapi belum lama dan belum jauh dia meninggalkan rumah itu, tiba-tiba berkelebat bayangan lain di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana telah berdiri menghadangnya. Pemuda itu menegurnya.

"Siapakah Losuhu ini dan mengapa malam-malam berlari-larian seperti dikejar orang?" Pemuda itu bukan lain adalah Lu Kwan Cu yang kebetulan pada malam hari itu tiba di dusun ini sepulangnya dari Leng-san dan hendak memulai perjalanannya untuk mencari musuh-musuh besar gurunya.

Dia memandang dengan penuh perhatian dan melihat bahwa orang yang berlari dengan gerakan luar biasa cepatnya itu ternyata adalah seorang hwesio yang tubuhnya tinggi kecil, bermuka amat menyeramkan dan berpakaian serba hitam, mengingatkan dia akan pakaian Hek-i Hui-mo!

Ketika hwesio ini menjawab, hati Kwan Cu berdebar. Suara hwesio ini demikian tinggi dan kecil, lebih mirip seperti suara wanita!

"Bedebah, perlu apa kau bertanya-tanya? Minggirlah!"

Tangan hwesio itu segera mencengkeram ke arah pundaknya. Inilah ilmu silat semacam Eng-jiauw-kang (Pukulan Kuku Garuda) yang lihai sekali!

Kwan Cu tidak berani berlaku lambat karena ketika angin pukulan ini datang menyambar, ia mencium bau yang amat amis. Ia menduga dengan hati bergidik bahwa tangan hwesio ini tentulah mengandung racun berbahaya pula.

Dengan sigapnya Kwan Cu mengelak dan sebelum dia menegur, hwesio itu yang juga tercengang melihat betapa pemuda yang dikiranya pemuda dusun ini dapat mengelakkan diri dari pukulannya, cepat berlari pergi. Kwan Cu diam-diam menggunakan kegesitannya dan sekali mengulur tangan dia sudah berhasil menjambret baju hitam yang panjang itu sehingga sepotong kain hitam tertinggal di dalam tangannya.

Kwan Cu hendak mengejar, akan tetapi malam gelap sekali dan hwesio itu dapat berlari cepat. Dia tidak mengenal hwesio itu dan tidak tahu urusannya, tidak enaklah kalau dia terus mengejar. Maka dia lalu melompat ke arah kuil yang berada di dekat situ, dari mana hwesio yang aneh itu tadi melarikan diri. Robekan kain hitam itu dikantonginya dan dia melakukan ini tanpa disadarinya.

Dengan hati-hati Kwan Cu melakukan penyelidikan dan dia masih mencium bau harum yang menyesakkan dada ketika dia mendekati kuil itu. Cepat pemuda ini mengatur napas dan mengerahkan tenaga lweekang yang didapatinya ketika bersemedhi di atas Pulau Pek-hui-to untuk mengusir racun dan ‘menyaring’ napas yang memasuki paru-parunya, kemudian dia melakukan pengintaian. Dan dia melihat pemandangan yang amat aneh di dalam sebuah kamar di kuil itu.

Setelah Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu sadar dari pingsannya, mereka merasa betapa kepala mereka seperti akan pecah. Karena totokan yang membikin tubuh Bian Ti Hosiang lumpuh telah bebas dan ikatan tangannya juga telah dilepaskan orang, maka dia bisa mengerahkan lweekang dan alangkah terkejutnya ketika dia merasa kepalanya sakit sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tahulah dia bahwa dia telah menderita luka yang luar biasa hebatnya dan bahwa nyawanya tak akan tertolong lagi. Demikian pula dengan Bin Hong Siansu!

Tiba-tiba masuklah Siok Tek Tojin. Sebelah tangan kirinya lumpuh dan dia masuk sambil terpincang-pincang.

"Aduh, Ji-wi Bengyu, celaka..." katanya terengah-engah. "Hampir saja pinto sendiri tewas oleh dua orang siluman itu! Entah apa sebabnya Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li datang menyerbu dan menyebar kebinasaan!"

"Kau... juga bertemu dengan mereka…?" Bian Ti Hosiang yang masih merasa ragu-ragu bertanya sambil menahan sakit.

"Tentu saja! Lihat, pundak kiriku ditotok dan sampai sekarang pinto masih belum dapat membebaskannya dan separuh tubuhku lumpuh. Pak-lo-sian yang melakukan ini sambil berkata bahwa dosa pinto tak terlalu besar maka pinto diampuni. Kesalahan pinto hanya karena berani menerima Ji-wi sebagai tamu!"

"Apakah mereka juga bilang mengapa mereka menyerang kami?" tanya Bin Hong Siansu penasaran sambil memegangi kepalanya yang seperti mau pecah itu. Kemudian tiba-tiba dia muntahkan darah hitam dan jatuh pingsan pula!

Siok Tek Tojin menjadi bingung. Dengan tangan kanannya dia mencoba menyadarkan tosu dari Kim-san-pai itu. Akhimya dengan napas terengah-engah Bin Hong Siansu dapat sadar juga, akan tetapi dia sudah tidak kuat duduk lagi. Ada pun Bian Ti Hosiang sambil meramkan mata bersandar pada tiang pembaringan, lalu berkata terengah-engah,

"Lekas ceritakan... apa yang mereka katakan..."

Dengan suara hampir menangis Siok Tek Tojin berkata,

"Kiu-bwe Coa-li yang berkata bahwa Ji-wi harus dibunuh karena Ji-wi telah mengadakan hubungan dengan Kiam Ki Sianjin di istana."

Akan tetapi keadaan kedua orang pendeta itu sudah payah sekali sehingga sukar untuk mendengarkan dengan jelas. Hal ini diketahui pula oleh Siok Tek Tojin, maka pendeta ini cepat-cepat pergi mengambil kertas, pit dan tinta bak lalu berkata,

"Ji-wi, harap sudi menuliskan sedikit kata-kata keterangan tentang peristiwa pembunuhan ini agar pinto bisa membawanya ke Kim-san-pai dan Bu-tong-pai. Tanpa ada penjelasan Ji-wi, pinto khawatir sekali kalau-kalau ada salah sangka terhadap diri pinto."

Kedua orang pendeta ini segera maklum akan maksud Siok Tek Tojin. Karena luka yang diderita oleh Bin Hong Siansu jauh lebih hebat dari pada Bian Ti Hosiang, maka hwesio Bu-tong-pai itulah yang menggerakkan tangan menerima pit itu dan dengan pelayanan Siok Tek Tojin, dia kemudian menuliskan beberapa huruf di atas kertas dengan tangan gemetar.

TEECU BERDUA DISERANG OLEH KIU-BWE COA-LI DAN PAK-LO-SIAN

Kemudian tulisan itu ditanda tangani oleh Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu. Setelah menanda tangani surat itu, keduanya lalu mengeluh dan akhirnya roboh pingsan tanpa pernah siuman kembali!

Ada pun Kwan Cu yang mengintai dari luar, melihat dan mendengar semua ini. Dari jauh dia pun tahu bahwa dua orang pendeta yang terluka itu tidak akan tertolong lagi, karena sinar mukanya sudah suram, tidak ada cahaya lagi. Ia teringat akan hwesio tinggi kurus yang berpakaian hitam tadi, maka dia tidak menanti sampai Bian Ti Hosiang menuliskan keterangan, cepat dan tanpa terdengar oleh siapa pun juga dia lalu meloncat keluar dan mengejar ke arah bayangan hitam yang telah melarikan diri.

Pemuda ini merasa terheran-heran. Dia mengenal dua orang pendeta itu yang pernah dijumpainya di rumah tinggal Kiam Ki Sianjin. Memang mereka itu mencurigakan dengan kunjungan mereka di rumah Kiam Ki Sianjin, pembantu utama kaisar penjajah, namun mengapa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian membunuh mereka?

Ia telah mengenal watak dua orang tokoh besar itu, yang kebesaran namanya berendeng dengan mendiang suhu-nya, yang termasuk dalam Lima Tokoh Besar di dunia kang-ouw. Kenapa sekarang mereka melakukan pembunuhan secara curang? Kenapa pula mereka mempergunakan asap beracun?

Bagaikan kilat menyambar masuklah dugaan di dalam hati Kwan Cu bahwa agaknya ada orang yang hendak merusak nama baik Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian. Jika dugaannya benar, maka yang hendak merusak nama mereka itu bukan lain adalah hwesio berjubah hitam tadi! Dia harus dapat mengejar dan menyusulnya untuk mencari keterangan lebih jelas!

Akan tetapi dia sudah tertinggal jauh. Selain malam gelap sekali, dia juga tidak tahu arah mana yang kemudian diambil oleh hwesio aneh itu. Sampai fajar menyingsing Kwan Cu mengejar dengan cepat, akan tetapi sia-sia. Dia tidak melihat bayangan hwesio aneh itu dan dengan putus asa dia lalu menghentikan pengejarannya.

Ketika dia mengenangkan kembali apa yang telah terjadi dan dilihatnya di dalam kuil tua itu, dia terkejut. Tosu yang menjadi tuan rumah itu berkata bahwa dia menjadi saksi dan sudah bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian! Bahkan dia sendiri juga ditotok oleh Pak-lo-sian. Inilah aneh sekali!

Benarkah hal itu terjadi? Kalau tidak benar, ini hanya berarti bahwa tosu itu juga menjadi anggota komplotan hwesio jubah hitam dan dia sengaja berpura-pura untuk memperkuat usaha memburukkan nama dua orang tokoh besar itu!

Mendapat pikiran ini, Kwan Cu tidak mempedulikan bahwa tubuhnya sudah mulai lelah, bukan karena setengah malam mengejar-ngejar bayangan yang tak tentu arahnya, akan tetapi karena dia kurang tidur. Ia berlari-lari lagi, kini lebih cepat, kembali ke kuil di mana dia menyaksikan peristiwa yang aneh itu.

Setelah tiba di kuil dan masuk ke dalam kamar yang pernah dilihatnya, Kwan Cu hanya mendapatkan jenazah Bian Ti Ho-siang dan Bin Hong Siansu, sudah dingin dan dengan wajah membayangkan penasaran. Ada pun tosu yang menjadi pengurus kuil sudah tidak kelihatan mata hidungnya.

Dia memasuki kamar-kamar lain, memanggil-manggil, akan tetapi tidak seorang pun ada yang menjawab. Saat dia melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa semua pakaian tosu itu tidak ada di kamar, tanda bahwa tosu itu telah pergi membawa semua pakaiannya.

Ini berarti bahwa tosu itu bukan sekedar pergi keluar ke tempat yang dekat, tetapi tentu akan melakukan perjalanan jauh. Tentunya untuk menyampaikan warta pembunuhan ini ke Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!

Kwan Cu menghadapi urusannya sendiri yang dianggap lebih penting dari pada urusan ini. Urusan ini hanya merupakan teka-teki yang membingungkannya, akan tetapi tak ada sangkut-pautnya dengan dia. Maka dia lalu mengurus dua jenazah itu, mengubur mereka dengan baik-baik di halaman kuil, lalu melanjutkan perjalanannya sambil mengenangkan tugas-tugasnya yang amat berat yang masih harus dilaksanakannya.

Pertama-tama ia harus mencari musuh besar kongkong-nya yang hanya tinggal seorang lagi saja, yakni An Kai Seng, keturunan An Lu Shan yang masih belum dia ketahui di mana tempat tinggalnya. Ada pun musuh besar gurunya adalah Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan Hek-i Hui-mo, tiga orang tokoh besar yang tidak boleh dipandang ringan dan yang masih selalu meragukan hatinya apakah dia akan sanggup menghadapi dan mengalahkan mereka.

Di antara tiga orang tokoh besar ini, ia merasa paling benci kepada Toat-beng Hui-houw. Tidak saja kakek yang seperti siluman ini juga mengeroyok dan ikut membunuh Ang-bin Sin-kai, akan tetapi dia mendengar pula akan kejahatan kakek ini dan terutama sekali karena dia masih ingat betapa Pek-cilan Thio Loan Eng, wanita gagah yang dia kasih sayangi seperti kepada ibu sendiri, telah menjadi korban keganasan kakek itu. Dia harus membalas dendam dan membunuh Toat-beng Hui-houw, tidak saja untuk membalaskan kematian suhu-nya, akan tetapi juga untuk membalaskan dendam Pek-cilan Thio Loan Eng.

Teringat akan Pek-cilan Thio Loan Eng, terbayanglah wajah Sui Ceng di depan matanya dan Kwan Cu menghela napas. Otomatis kedua kakinya mogok berjalan dan dia malah menjatuhkan diri di bawah pohon, beristirahat dan melanjutkan lamunannya tentang Sui Ceng.

Selain mencari musuh-musuh besar gurunya, kongkong-nya serta Pek-cilan Thio Loan Eng, juga dia masih menghadapi urusan ini yang baginya tidak kalah pentingnya. Dia harus mencegah berlangsungnya perjodohan antara Kun Beng dan Sui Ceng. Dia harus melakukan ini demi kebaikan Sui-Ceng, demi kebaikan Kui Lan yang disia-siakan oleh Kun Beng dan demi kebaikan... dirinya sendiri.

"Aku cinta kepadanya... ahhh, gila benar, aku cinta mati-matian kepada Bun Sui Ceng!" Kwan Cu menggaruk-garuk kepalanya.

Dahulu dia tidak mempunyai perasaan seperti ini, akan tetapi semenjak dia bersumpah di depan gadis raksasa secara main-main untuk menghindarkan desakan gadis itu, bahwa dia sudah mempunyai seorang gadis pujaan, yakni yang bernama Bun Sui Ceng, sejak itu entah mengapa dia selalu terkenang kepada Sui Ceng.

Selalu terbayang gadis cilik yang lincah, jenaka dan manis itu. Sekarang, sesudah dia bertemu muka dengan Sui Ceng yang sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, hatinya jatuh betul-betul.

Akan tetapi helaan napasnya makin berat ketika dia teringat bahwa gadis itu bagaimana pun juga sudah bertunangan dengan Kun Beng, pertunangan yang sah karena disahkan oleh mendiang Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng dan Pak-lo-sian Siang-koan Hai guru dari Kun Beng! Kalau menghalangi perjodohan itu berarti dia akan berhadapan dengan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan mungkin juga dengan Kiu-bwe Coa-li yang tentu akan melindungi nama baik muridnya!

"Beraaaaat...!" pikir pemuda ini sambil menarik napas panjang dengan wajah berduka, "Kenapa begitu memasuki dunia ramai aku harus berhadapan dengan tokoh-tokoh besar yang dahulu pun sudah membikin susah padaku ketika aku masih kecil?"

Lamunannya semakin menjauh. Kenangannya membawanya kepada masa kecilnya dan ketika dia teringat betapa Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, serta Kiu-bwe Coa-li mengurungnya, mendesaknya dan memaksanya serta menghinanya, Kwan Cu tersenyum gembira dan matanya bersinar-sinar.

"Biarlah, biar aku mencoba kepandaian mereka semua itu, hitung-hitung untuk menagih hutang mereka dahulu ketika aku masih kecil. Hitung-hitung aku mengangkat nama suhu Ang-bin Sin-kai yang patut disebut jago nomor satu di antara Lima Tokoh Besar dunia kang-ouw!"

Dengan adanya pikiran ini, Kwan Cu menjadi gembira kembali dan dia lalu melanjutkan perjalanannya, mencari keterangan mengenai An Kai Seng, musuh besar kongkong-nya atau keturunan terakhir An Lu Shan, pemberontak yang sudah banyak menghancurkan kehidupan rakyat jelata itu…..

********************

Kota Jeng-tauw terletak di pesisir laut timur. Kota ini adalah sebuah kota yang besar di Propinsi Shan-tung, juga sangat ramai karena selain kotanya besar serta penduduknya banyak, letaknya di pinggir laut maka merupakan pusat perdagangan. Kapal-kapal besar keluar masuk ke dalam pelabuhan dan banyak pedagang besar mendapat penghasilan baik sekali.

Oleh karena itu, makin lama kota ini menjadi makin ramai dan banyaklah dibuka orang hotel-hotel dan restoran-restoran besar. Toko-toko penuh dengan barang-barang dari lain daerah dan selalu dikunjungi banyak orang.

Di antara sekian banyaknya orang hartawan yang tinggal di kota Jeng-tauw, kiranya yang paling terkenal adalah Tan-wangwe (hartawan Tan) atau yang nama lengkapnya Tan Kai Seng. Ia tidak saja terkenal karena memang amat kaya, memiliki banyak gedung-gedung besar dan memiliki pula rumah-rumah penginapan serta perahu-perahu yang disewakan untuk mengangkut barang dari perahu-perahu besar yang berlabuh jauh dari pelabuhan, juga dia terkenal sekali karena hartawan Tan ini mempunyai kepandaian ilmu silat yang kabarnya amat tinggi.

Sebagai seorang hartawan, tentu saja dia tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya itu, akan tetapi semua orang kang-ouw yang datang ke kota itu tentu mendengar dan menyaksikannya sendiri. Selain ini semua, hartawan Tan yang masih muda itu menjadi lebih terkenal karena dia telah menikah dengan seorang wanita yang telah lama menjadi sebutan orang sebagai bunga kota Jeng-tauw.

Wi Wi Toanio, demikian nama wanita ini, adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun ketika dikawin oleh Tan-wangwe, seorang gadis yang mempunyai kecantikan luar biasa sehingga banyak orang membandingkannya dengan Permaisuri Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita, kekasih dari pada Kaisar Kerajaan Tang yang sudah roboh oleh An Lu Shan.

Selain memiliki kecantikan luar biasa, juga Wi Wi Toanio tak seperti gadis Han umumnya, yakni malu-malu dan tidak berani memperlihatkan wajah di depan umum. Sebaliknya, Wi Wi Toanio yang mempelajari ilmu silat tinggi dan berkepandaian lihai berkat latihan dari seorang nikouw (paderi wanita) dari Thian-san, sering keluar dari rumah menunggang kuda berbulu merah.

Semenjak belum menikah, dia sudah mempunyai lagak yang sangat genit. Akan tetapi karena yang berlagak genit ini seorang gadis cantik jelita yang berkepandaian tinggi pula, maka dalam pandangan orang-orang lelaki dia bahkan terlihat makin cantik dan menarik!

Semua orang tahu belaka bahwa Wi Wi Toanio masih berdarah Tartar, karena ibunya adalah seorang Tartar bangsawan, akan tetapi tak seorang pun berani membicarakan hal ini. Yang sama sekali tidak diduga orang adalah Tan-wangwe sendiri. Dia ini sebenamya adalah An Kai Seng, cucu dalam dari An Lu Shan sendiri, akan tetapi tidak ada orang yang mengetahuinya dan mereka menerimanya sebagai seorang Han yang kaya raya.

Memang An Kai Seng orangnya cerdik sekali. Meski pun dia keturunan An Lu Shan yang pernah menjadi kaisar, boleh dibilang dia keturunan bangsawan tinggi, akan tetapi An Kai Seng tahu bahwa kedudukan keluarga kakeknya itu berbahaya sekali.

Oleh karena itu, sesudah dia berada di istana, diam-diam dia mengumpulkan harta-harta rampasan dari rakyat dan bekas pemerintah Tang. Kemudian dia keluar dari istana, dan menyatakan kepada semua keluarganya bahwa dia lebih suka menjadi pedagang!

Padahal bukan begitu keadaannya. Dia keluar dari istana sambil membawa harta benda yang besar sekali untuk mencari kebebasan, agar supaya dia jangan terlibat oleh urusan pemerintahan yang tidak menarik hatinya.

Sesudah hidup di luar keluarga kaisar, An Kai Seng lalu mengumbar hawa nafsunya. Dia seorang pemuda, tampan, memegang uang banyak sekali, tentu saja dia laksana kuda tanpa kendali. Di samping berfoya-foya, dia pun memperdalam kepandaiannya di dalam ilmu silat, belajar dari guru-guru silat yang ternama.

Kemudian dia mendengar berita tentang kekacauan di istana, juga tentang pembunuhan terhadap An Lu Shan oleh puteranya sendiri, kemudian mengenai pembunuhan yang dilakukan oleh Si Su Beng terhadap putera mahkota. Diam-diam An Kai Seng memuji diri sendiri yang sudah lari dari istana dan mulailah dia berhati-hati menjaga harta bendanya.

Mulailah dia berdagang dan mendapatkan untung besar sekali karena semenjak kecil dia memang mempelajari ilmu surat sehingga terhitung seorang bun-bu coan-jai (pandai ilmu silat dan surat).

Alangkah kaget dan takutnya ketika dia mendengar berita tentang terbunuhnya An Lu Kui dan An Kong. Dan dia mendengar pula bahwa ada seorang musuh besar keluarga An hendak membasmi semua keturunan dan keluarga An Lu Shan!

An Kai Seng ketakutan hebat. Dia cepat-cepat pindah dari kota yang dekat dengan kota raja, mengangkut semua barang dan harta bendanya, dan pindah ke Jeng-tauw dengan nama sudah diganti, yakni Tan Kai Seng. Karena dia memang pandai sekali bicara Han dan mukanya juga tampan seperti muka orang Han biasa, dia diterima oleh masyarakat di Jeng-tauw sebagai hartawan Tan Kai Seng yang masih muda dan masih bujang. Maka tenanglah hatinya.

Apa lagi setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio dan berhasil mengawininya, Kai Seng merasa hidupnya bahagia dan aman. Siapakah yang tahu bahwa dia adalah keturunan An Lu Shan? Dan andai kata ada orang yang tahu, apa yang ditakutinya? Dia hartawan, berkuasa dan memiliki banyak kawan ahli-ahli silat, bahkan boleh dibilang dengan secara diam-diam, semua buaya darat di kota itu adalah kaki tangannya!

Semua pembesar di kota itu menjadi pelindungnya, dan selain dia sendiri sudah memiliki ilmu silat tinggi, juga isterinya terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat! Siapa dapat mengganggunya? Iblis sendiri pun akan gentar untuk mengganggunya!

Akan tetapi, kekhawatiran hatinya membuat dia tidak tinggal diam. Ia lalu menyebar kaki tangannya untuk menyelidiki tentang pembunuh An Lu Kui dan An Kong dan mendapat keterangan bahwa pembunuh mereka itu adalah seorang pemuda murid Ang-bin Sin-kai yang amat lihai, bernama Lu Kwan Cu.

Juga untuk menjaga keamanannya, selain dia dan isterinya terus memperdalam ilmu silat mereka dari guru-guru pandai, dia pun membeli dua batang pedang yang bagus dengan harga mahal sekali. Setiap hari dia dan isterinya tidak pernah berpisah dari pedang ini. Selain itu, dia juga memelihara guru-guru silat yang berpakaian sebagai pelayan, yang jumlahnya ada tujuh orang dan mereka ini menjadi pengawal pribadinya!

Berkat kekuasaan uangnya yang mampu membayar setiap mata-mata dan penyelidik, An Kai Seng dapat mengumpulkan keterangan tentang Lu Kwan Cu sehingga biar pun dia belum pernah bertemu muka dengan musuh besar ini, tetapi dia dapat menggambarkan keadaan pemuda itu, dari bentuk badan, pakaiannya dan wajahnya. Sekali saja bertemu, tentu dia akan mengenal pemuda yang mengancam keluarga An itu.

Dalam hal ilmu silat, Kai Seng memang sudah memiliki tingkat yang cukup tinggi, bahkan sebelum dia meninggalkan istana, dia sudah menerima warisan ilmu pedang yang cukup lihai dari Coa-tok Lo-ong (Raja Racun Ular) yang baru saja datang dari Tibet.

Coa-tok Lo-ong adalah sute (adik seperguruan) dari Hek-i Hui-mo, oleh karena itu dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Ilmu pedang yang dipelajarinya merupakan ilmu Pedang Pat-coa Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Ular). Selain ilmu pedang dari Coa-tok Lo-ong ini, Kai Seng masih mempelajari banyak ilmu silat dari guru silatnya yang pandai, di antaranya dia mempelajari pula ilmu gulat dari Mongol.

Akan tetapi, sesudah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio, dia mendapatkan orang yang melebihi dirinya dalam segala-galanya, kecuali dalam kekayaan. Tidak saja kecantikan dan kegenitan gadis ini merampas semangat dan hatinya, juga ilmu silat Wi Wi Toanio temyata masih mengatasi kepandaiannya!

Sebagai murid dari Thian-san-pai, Wi Wi Toanio sudah mempelajari Ilmu Silat Thian-san Kiam-hoat sampai hampir sempurna sehingga ketika suami isteri ini secara main-main mengadu ilmu pedang, Pat-coa Kiam-hoat masih tidak sanggup menandingi Thian-san Kiam-hoat! Tentu saja Kai Seng menjadi girang sekali karena selain sebagai seorang isteri yang amat cantik dan tercinta, juga dalam diri isterinya dia mendapatkan seorang pembantu dan pelindung yang boleh diandalkan.

Walau pun tujuh orang pengawal pribadinya terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi, namun tingkat mereka itu masih belum dapat menandingi tingkat kepandaian Kai Seng sendiri, apa lagi kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu pedang Wi Wi Toanio. Karena itu, tujuh orang pengawal ini sangat tunduk dan menghormati majikannya, tidak hanya karena majikannya lebih pandai, terutama sekali karena Kai Seng sangat royal terhadap para pengawalnya ini.

Pada suatu hari, ketika Kai Seng sedang bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam sambil menikmati kue-kue yang mereka beli dari seorang pedagang dari selatan, tiba-tiba seorang pelayannya datang menghadap dan melaporkan dengan muka pucat.

"Siauw-ya (Tuan Muda), menurut para pembantu di rumah penginapan, di kota ini sudah kedatangan seorang pemuda yang mencari keterangan tentang Siauw-ya!"

An Kai Seng dan isterinya saling pandang dan seketika itu juga kue yang tadinya amat enak itu seakan-akan berubah pahit.

"Selidiki apa kehendaknya dan coba panggil tujuh kauwsu (guru silat) ke sini!"

Pelayan itu lalu keluar kembali dan cepat menjalankan perintah itu. Sebelum keluar untuk melakukan tugasnya, lebih dulu ia mencari tujuh orang pengawal pribadi dari majikannya dan memanggil mereka.

"Cu-wi Kauwsu dipanggil oleh Siauw-ya."

Tujuh orang pengawal yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi bajunya digulung dan amat ringkas, lebih mirip pakaian guru silat itu, segera masuk ke dalam, di mana Kai Seng dan Wi Wi Toanio telah menanti. Segera mereka mengadakan perundingan yang sungguh-sungguh.

Tak lama kemudian, pelayan yang tadi keluar datang lagi dengan wajah bangga, karena dia sudah mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang pemuda yang mencari-cari majikannya itu.

"Siauw-ya, ternyata dia adalah pemuda biasa saja. Hamba sudah melihatnya sendiri dan dia bukanlah orang yang perlu dikhawatirkan. Namanya adalah Lu Kwan Cu, demikian yang dia tuliskan di buku hotel."

"Cukup, keluar kau!" bentak Kai Seng.

Pelayan itu keluar sambil mengomel panjang pendek. Dia sangat mengharapkan hadiah, akan tetapi ternyata majikannya kelihatan terkejut dan bahkan terlihat pucat mendengar omongannya tadi.

Memang, mendengar bahwa nama pemuda yang dicurigainya itu adalah Lu Kwan Cu, pemuda yang telah membunuh An Lu Kui dan An Kong, yang dikabarkan berkepandaian tinggi sekali, bukan main kagetnya hati Kai Seng. Akan tetapi dia menjadi lega kembali setelah isterinya menghibumya.

"Mengapa kau gelisah? Belum tentu kalau kabar tentang pemuda itu benar. Betapa pun lihainya, kita takut apakah? Aku sendiri sanggup memenggal lehernya dengan pedangku. Mustahil dia akan dapat menangkan kita. Apa lagi, kita sudah mengatur siasat sehingga andai kata dia memang lihai sekali, dia tidak akan dapat mencari kita."

Malam hari itu Kai Seng tidak dapat tidur dan kelihatan gelisah sekali sehingga Wi Wi Toanio menjebikan bibirnya yang merah dan mencelanya sebagai seorang penakut.

"Orang macam apakah adanya Lu Kwan Cu sehingga kau begitu takut? Kalau kau tidak berkeras melarang, aku ingin pergi ke hotel itu dan mengusirnya dengan pedangku," kata isteri yang cantik jelita dan genit akan tetapi berani itu.

"Jangan, isteriku, jangan berlaku sembrono. Menurut kabar dari istana dan orang-orang yang mengetahui, kakek luarku An Lu Kui dan pamanku An Kong yang sudah terkenal lihai sebagai murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu masih dapat terbunuh olehnya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia lihai sekali."

"Hemmm, aku belum menyaksikan seberapa lihainya kongkong dan pamanmu itu. Akan tetapi aku masih percaya kepada pedangku dan aku tidak takut andai kata pemuda yang bemama Lu Kwan Cu itu berkepala tiga dan bertangan delapan!"

Kai Seng tak berani membantah karena dia takut kalau-kalau isterinya marah. Memang, suami ini kalah oleh isterinya, kalah tinggi kepandaiannya dan juga kalah pengaruh. Akan tetapi sampai hampir pagi barulah dia dapat tidur. Berbeda dengan isterinya yang sejak sore-sore sudah tidur dengan nyenyaknya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)