PENDEKAR SAKTI : JILID-46



Tidak lama kemudian, darah kehitaman keluar dari luka itu. Kwan Cu bersila, meramkan mata sambil mengempos semangatnya, mempergunakan hawa murni dalam tubuh untuk mendorong keluar semua racun yang mengotori darahnya sehingga darah hitam yang keluar dari lukanya makin deras. Akhirnya keluarlah darah merah. Setelah ini baru Kwan Cu menghentikan penggunaan tenaga dalamnya, lalu membuka matanya dan memakai pakaiannya lagi.

Sejak tadi Sui Ceng memandang kepada pemuda itu dengan air muka sebentar kagum sebentar duka.

"Sui Ceng, kau benar-benar berhati mulia seperti ibumu. Tadi kau sudah pergi dengan gurumu, mengapa bisa datang di tempat ini?"

Sui Ceng menjawab dengan kepala tunduk. " Aku... aku merasa menyesal sekali sudah berlaku kasar padamu, telah... telah menampar mukamu. Kau maafkan aku, Kwan Cu."

Kwan Cu tertawa bergelak. "Sepatutnya kau membunuhku, Sui Ceng, tak hanya sekedar menamparku. Kalau ada orang yang minta maaf, akulah orangnya, bukan kau."

Hening sesaat. Keduanya duduk di bawah pohon dan setelah kini sembuh dari sakitnya, Kwan Cu merasa sungkan dan kikuk. Merah mukanya kalau dia teringat betapa tadi dia kembali mengeluarkan kata-kata menyatakan cinta kasih kepada gadis ini. Keheningan suasana itu membuat Kwan Cu lebih kikuk, maka agar jangan sampai Sui Ceng merasa kikuk pula, dia mulai membuka percakapan,

"Sui Ceng, bagaimana kau bisa memisahkan diri dari gurumu?"

"Aku sengaja meninggalkan suthai dan sudah mendapat perkenannya. Suthai kembali ke gunung dan kelak aku akan menyusulnya."

"Jadi kau sengaja pergi dari Kiu-bwe Coa-li suthai untuk menyusulku?"

Sui Ceng mengangguk. Hening lagi sesaat. Beberapa kali Kwan Cu menggerakkan bibir, akan tetapi sukarlah kata-kata keluar dari mulutnya. Akhirnya dia memberanikan diri dan bertanya,

"Sui Ceng, setelah kini kau menyusulku, apakah yang hendak kau katakan? Kita terlibat dalam urusan yang amat tidak enak, dan aku... aku..."

"Kwan Cu, bagaimana kau bisa tahu tentang... Kun Beng dan adik Swi Kiat?" tiba-tiba Sui Ceng bertanya sambil memandang tajam.

“Untuk inikah kau menyusulku, Sui Ceng?"

"Ya, untuk mengajukan pertanyaan ini. Aku penasaran sekali dan ingin mendengar kisah itu sejelasnya."

Untuk beberapa lama Kwan Cu menatap wajah gadis yang kemerah-merahan dan mata yang berkaca-kaca itu, maka tertusuklah hatinya. Dengan suara perlahan dia bertanya,

"Sui Ceng, kau... kau amat mencinta Kun Beng...?"

Merah sekali wajah Sui Ceng. Gadis ini tahu bahwa Kwan Cu sangat mencintanya dan tentu saja akan hancur hati pemuda ini kalau ia mengaku bahwa ia mencinta Kun Beng. Akan tetapi tidak ada lain jalan bagi Sui Ceng untuk menyangkal dan pula ia tidak suka menyangkal, karena gadis ini berwatak jujur.

Dengan air mata berlinang dan suara terputus-putus Sui Ceng menjawab,

"Bagaimana aku tidak... tidak akan mencintanya? Dia adalah tunanganku, dan dia adalah jodohku yang dipilih sendiri oleh mendiang ibu, akan tetapi dia... dia..." Sampai di sini Sui Ceng tak dapat melanjutkan kata-katanya, tubuhnya lemas dan tiba-tiba ia sudah berada dalam pelukan Kwan Cu.

Karena amat berduka dan patah hati, Sui Ceng merasa mendapatkan hiburan dan dia menyandarkan kepalanya di dada Kwan Cu sambil menangis. Usapan tangan Kwan Cu pada kepalanya mendatangkan hiburan besar baginya seakan-akan ia sedang berada di pangkuan ibunya sendiri.

Kwan Cu merasa sangat terharu dan kasihan sekali, "Sui Ceng, jangan berduka, adikku, tenangkanlah hatimu... kau sekarang bukan tunangan Kun Beng lagi, tak perlu lagi kau memikirkan dia. Dia tidak berharga bagimu dan aku... aku mencintamu dengan segenap jiwaku, Sui Ceng. Jangan engkau khawatir, marilah kita membangun hidup baru, rumah tangga bahagia, dan menjauhkan diri dari segala hal yang menjengkelkan hati. Aku akan selalu melindungimu Sui Ceng..."

Tubuh gadis itu tersentak, akan tetapi dia tidak mengangkat kepalanya dari dada Kwan Cu. Untuk sesaat pikirannya bekerja keras. Harus dia akui bahwa kalau sekiranya tidak ada Kun Beng di dunia ini, dia akan menerima pernyataan cinta kasih Kwan Cu dengan hati terbuka.

Dia sudah mengetahui bahwa pemuda ini amat gagah perkasa dan mulia, bahkan jauh lebih baik dari pada Kun Beng. Akan tetapi, hati Sui Ceng sudah tertambat kepada The Kun Beng tunangannya itu. Dia amat mencinta Kun Beng dan pula, bukankah pemuda itu pilihan ibunya sendiri?

"Sui Ceng, jangan kau takut." Kwan Cu menghibur karena dia mengira bahwa gadis itu berdiam diri dengan hati takut menghadapi kemurkaan gurunya. "Jangan kau takut pada siapa pun juga. Biar pun Kiu-bwe Coa-li suthai akan marah kepadamu, akulah yang akan bertanggung jawab. Akulah orangnya yang sanggup membelamu dengan taruhan nyawa. Tak seorang pun di dunia ini akan dapat mengganggumu selama aku masih hidup!"

Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng melepaskan diri dari pelukan Kwan Cu dan memandang kepada pemuda itu dengan muka pucat. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.

"Tidak! Tidak...! Jangan begitu, Kwan Cu. Janganlah kau menyeretku ke dalam lembah kehinaan!"

Kwan Cu terkejut sekali. Ia mengulur tangan hendak memegang lengan Sui Ceng, akan tetapi gadis itu menarik tangannya.

"Jangan sentuh aku lagi. Tidak patut kita bersentuhan, kau tidak berhak dan aku... aku harus menjaga kesusilaan. Memang aku tidak takut pada suthai, akan tetapi, aku harus mentaati kehendak ibuku. Apakah kau ingin melihat aku mengingkari pesan ibu? Tidak, Kwan Cu. Bagiku, aku adalah jodoh dan tunangan Kun Beng, pilihan ibu. Kalau sampai terjadi perpecahan sehingga ikatan itu putus, aku bersumpah selamanya tidak akan mau menikah. Kecuali... kecuali kalau Kun Beng sudah menikah dengan orang lain." Kembali Sui Ceng menangis dengan sedih.

Kwan Cu menarik napas panjang. "Betapa pun juga, aku kagum kepadamu, Sui Ceng. Cinta kasihmu terhadap Kun Beng benar-benar tulus dan murni, hanya pemuda itu yang tidak tahu diri. Kau amat setia dan mulia, maka aku kembali telah merusak kesucianmu. Dengarlah, Sui Ceng, sekali-kali aku tidak membuka rahasia Kun Beng karena iri hati kepadanya. Memang aku ingin melihat kau berbahagia. Kalau Kun Beng tidak melakukan perbuatan terkutuk itu, akulah orangnya yang akan membantu perjodohan kalian. Akan tetapi, ternyata Kun Beng memperlihatkan bahwa dia tidak patut menjadi suamimu, maka aku kasihan kepadamu dan berusaha menggagalkan perjodohan itu."

Sui Ceng mengangguk-angguk terharu. "Aku tahu, Kwan Cu, dan karena itu aku datang mencarimu. Sekarang ceritakanlah bagaimana kau bisa mengetahui akan hal itu?"

Kwan Cu lalu menuturkan pengalamannya saat dia menolong Kui Lan dari cengkeraman An Kong dan menceritakan pula bahwa kini Kui Lan berada di kelenteng Kwan-im-bio di dusun Kau-ling di sebelah utara Tang-shan, yakni kelenteng yang diketuai oleh Ngo Lian Suthai.

Sebagaimana sudah dituturkan pada bagian depan, Ngo Lian Suthai kenal baik dengan Kwan Cu dan ketua nikouw itu terluka oleh bajak sungai yang mencuri patung. Semua ini diceritakan dengan sejujurnya oleh Kwan Cu hingga akhirnya dia berkata dengan suara penuh kedukaan dan kehancuran hati,

"Sui Ceng, sebelum aku tahu bahwa kau telah dijodohkan dengan Kun Beng, aku sudah menaruh hati suka kepadamu. Kau sudah mendengar semua ceritaku, maka tentu kau juga menaruh hati kasihan kepada Kui Lan gadis yang malang itu."

"Kasihan? Dia adalah seorang gadis lemah iman yang bodoh! Gadis seperti itu tidak ada harganya!"

Apa bila lain orang yang mendengar omongan ini, tentu hanya akan menuduh bahwa Sui Ceng merasa sakit hati kepada Kui Lan karena tunangannya direbut. Akan tetapi Kwan Cu lain lagi dan dia dapat melihat kebenaran kata-kata ini.

"Memang, Kui Lan terlampau lemah, mudah sekali menuruti ajakan iblis yang menggoda. Betapa pun juga, keadaannya harus dan patut dikasihani."

Tiba-tiba Sui Ceng bangkit berdiri. "Selamat tinggal, Kwan Cu. Mungkin selamanya kita tak akan bertemu lagi."

"Ehh, kau hendak ke mana?"

"Aku akan menemui Kui Lan dan akan kuusahakan supaya Kun Beng mengambilnya sebagai isteri yang sah!"

Kwan Cu semakin kagum. "Kau hebat sekali, Sui Ceng. Benar-benar kau berbudi luhur seperti ibumu."

Tiba-tiba saja pemuda ini teringat akan kata-kata Sui Ceng tadi yang menyatakan bahwa gadis ini dapat mengambil keputusan lain mengenai perjodohannya kalau saja Kun Beng menikah dengan orang lain. Dengan demikian berarti bahwa kalau sampai terjadi Kun Beng menikah dengan Kui Lan, maka dia memiliki banyak harapan terhadap Sui Ceng! Karena itu cepat-cepat dia berkata,

"Tunggu dulu, aku pun akan pergi ke sana! Aku yang mula-mula menolong Kui Lan dan aku pula yang berkewajiban untuk menolongnya mendapatkan Kun Beng kembali. Awas kepala Kun Beng kalau dia tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak mau mengawini Kui Lan."

Kedua orang muda itu lalu berangkat dengan cepat, menuju ke kuil Kwan-im-bio di dusun Kau-ling. Karena kedua orang muda yang perkasa ini mempergunakan ilmu lari cepat, tidak sampai lama mereka tiba di dusun itu. Akan tetapi mereka kecewa karena ternyata bahwa Ngo Lian Suthai telah pergi merantau membawa Kui Lan yang diakuinya sebagai muridnya.

"Ehh, bagaimana mungkin?" tanya Kwan Cu kepada nikouw yang menyambut mereka. "Aku tahu benar bahwa Ngo Lian Suthai terluka hebat, bagaimana dia bisa pergi?"

Nikouw itu tersenyum. "Taihiap, manusia yang baik selalu mendapat perlindungan Thian. Ngo Lian Suthai telah mendapat penyembuhan, berkat pertolongan Yok-ong locianpwe."

Kwan Cu melengak. Jadi sebelum bertemu dengan dia di Tai-hang-san, Yok-ong malah sudah menyembuhkan Ngo Lian Suthai? Aneh sekali kakek Raja Tabib itu, di mana saja dan pada waktu tenaganya diperlukan selalu muncul akan tetapi tidak banyak bicara.

"Ke mana perginya Ngo Lian Suthai?"

"Sukar untuk menentukan tempatnya. Akan tetapi kalau tidak salah, dulu Ngo Lian Suthai pernah menyatakan bahwa sahabat-sahabatnya membantu perjuangan rakyat di wilayah Pao-ting. Dan suthai selalu merasa sejiwa dengan mereka itu, maka tidak akan meleset jauh kalau kiranya Taihiap menyusul ke sana."

Kwan Cu menghaturkan terima kasih, lalu bersama Sui Ceng menuju ke Pao-ting yang pada waktu itu memang menjadi sebuah di antara pusat-pusat pasukan pejuang rakyat yang berusaha menggulingkan pemerintah Tartar. Pao-ting letaknya di sebelah selatan kota raja, maka kedua orang muda itu melakukan perjalanan yang cukup lama, sampai makan waktu sebulan lebih. Hal ini adalah karena di tengah perjalanan, mereka sering kali berhenti untuk membantu perjuangan rakyat.

Makin kagumlah hati Sui Ceng melihat sepak terjang Kwan Cu. Sekarang gadis ini tahu betul bahwa kepandaian Kwan Cu benar-benar luar biasa hebatnya, malah jauh melebihi kepandaian tokoh-tokoh besar, di antaranya gurunya sendiri, Kiu-bwe Coa-li! Diam-diam dia mengharapkan supaya Kun Beng suka menikah dengan Kui Lan, karena hal ini akan memungkinkan hatinya menyetujui pinangan Kwan Cu terhadapnya.

Dia memang mencinta Kun Beng. Akan tetapi kalau tunangannya itu memang sudah menikah dengan Kui Lan, tentu dia akan dapat melupakannya dan kiranya tak akan sulit baginya untuk membalas cinta kasih seorang pemuda seperti Kwan Cu…..

********************

Pada suatu hari, ketika Kwan Cu dan Sui Ceng baru saja keluar dari sebuah hutan di selatan kota raja, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun tujuh batang anak panah. Kwan Cu dan Sui Ceng telah bersiap sedia untuk menangkis atau mengelak, akan tetapi ternyata tidak ada sebatang pun anak panah yang mengenai mereka dan ketika mereka memandang, ternyata bahwa tujuh batang anak panah itu hanya menancap pada tanah di sekeliling mereka.

Sui Ceng terkejut dan diam-diam ia mengagumi orang yang melepaskan anak panah itu, karena dapat menancap rata pada jarak yang sama di sekeliling mereka. Akan tetapi bagi Kwan Cu, kepandaian seperti itu bukan apa-apa dan dia berdongak ke atas sambil berkata tenang,

"Sahabat dari manakah bermain-main seperti ini dengan kami?"

Sebetulnya, sejak tadi pun Kwan Cu sudah tahu bahwa di atas pohon itu bersembunyi empat orang, akan tetapi dia sengaja diam saja agar tidak mengagetkan hati Sui Ceng yang sesungguhnya masih belum sembuh benar dari pada lukanya yang diderita dalam pertempuran di puncak Tai-hang-san.

Baru saja kata-kata ini selesai dikeluarkan oleh Kwan Cu, dari atas pohon menyambar turun empat orang yang gerakannya amat ringan dan gesit sehingga kembali Sui Ceng terkejut. Akan tetapi baik dia mau pun Kwan Cu tidak mengenal orang-orang ini.

Sesudah mereka berdiri berhadapan dengan Kwan Cu dan Sui Ceng, gadis ini segera memandang penuh perhatian dan orang yang ke empat dari rombongan ini mempunyai wajah yang seperti pernah dilihatnya, akan tetapi ia sudah lupa lagi entah di mana.

Orang itu adalah seorang pemuda yang ganteng serta bersikap sopan santun. Pakaian dan gerak-geriknya yang halus menunjukkan bahwa ia adalah seorang sastrawan muda. Sepasang matanya tajam dan tubuhnya jangkung. Usianya sebaya dengan Kwan Cu.

Ada pun orang ke dua adalah seorang kakek yang kecil bongkok, orang ke tiga seorang kakek bermuka hitam bertubuh tinggi besar. Adapun orang ke empat yang berdiri paling depan adalah seorang nikouw (pendeta wanita) yang berjubah kuning.

Melihat bahwa sebagian besar yang datang merupakan orang-orang tua, Kwan Cu cepat menjura dan bertanya,

"Entah apakah yang menjadi kehendak Cu-wi sekalian maka menghadang perjalanan kami?"

"Apakah kau yang bernama Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai?" tanya nikouw itu sambil memandang tajam.

Juga tiga orang kawannya memandang tajam kepada Kwan Cu tanpa melirik ke arah Sui Ceng sehingga pemuda ini maklum bahwa mereka tentu pernah mendengar namanya di puncak Tai-hang-san.

"Siauwte memang benar bernama Lu Kwan Cu, tidak tahu Suthai dan yang lain-lain ini siapakah? Dengan maksud apa menghentikan perjalanan siauwte?"

Mendengar bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar Lu Kwan Cu yang namanya ramai disebut-sebut oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw, sebab anak-anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai sudah menceritakan peristiwa menggemparkan yang terjadi di atas puncak Tai-hang-san itu, empat orang ini memandang dengan mata menyatakan kekaguman, akan tetapi juga kurang percaya. Mungkinkan seorang pemuda sederhana yang terlihat tidak memiliki kepandaian ini sudah dapat mengalahkan semua tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw?

"Pinni adalah Lui Kong Nikouw dari Thian-san-pai."

"Aku bernama Bu Kek Sian dari Go-bi-pai," jawab kakek kecil bongkok.

"Aku yang bodoh dan kasar adalah Kong Seng Kak Hwesio dari Siauw-lim-pai," jawab kakek tinggi besar bermuka hitam.

Mendengar ini, Kwan Cu merasa heran sehingga dia memandang lebih tajam. Ternyata bahwa kakek yang memakai topi ini memang benar kepalanya gundul, sehingga biar pun pakaiannya seperti petani, namun dia adalah seorang hwesio.

Kong Seng Kak tertawa bergelak melihat sinar mata heran dari Kwan Cu.

"Pinceng memang sengaja menyamar sebagai petani biasa. Bila pinceng memakai jubah pendeta dan berada di antara para pejuang rakyat, bukankah nama Siauw-lim-si akan dicap hitam oleh kerajaan dan kuil kami akan mengalami serangan hebat?"

Kwan Cu kagum sekali mendengar bahwa hwesio kasar ini ternyata membantu rakyat, maka dia cepat menjura dan berkata,

"Kong Seng Kak Twa-suhu benar-benar seorang patriot sejati, siauwte merasa kagum sekali."

Tiba-tiba terdengar suara halus berkata memperkenalkan diri. "Aku yang rendah adalah Lai Siang Pok."

Mendengar nama ini, Sui Ceng tiba-tiba teringat dan dia melangkah maju setindak, lalu berkata, "Ehh, bukankah kau murid pujangga Tu Fu yang dahulu dibawa lari oleh Hek-i Hui-mo?"

Pemuda itu tersenyum dan wajahnya semakin menarik. "Bun-lihiap benar-benar bermata tajam dan mempunyai ingatan kuat sekali. Siauwte memang benar Lai Siang Pok dan Hek-i Hui-mo adalah guruku." Setelah berkata demikian Lai Siang Pok lalu menundukkan muka dan menutup mulut.

Diam-diam Sui Ceng berpikir, sampai di mana tingkat kepandaian pemuda murid Hek-i Hui-mo ini. Teringat dia akan semua pengalamannya pada waktu dia masih kecil, ketika gurunya, Kiu-bwe Coa-li memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang ternyata palsu itu dengan Hek-i Hui-mo.

Seperti pernah dituturkan di bagian depan, dahulu Tu Fu dipaksa membaca kitab itu dan pendengar-pendengarnya adalah Hek-i Hui-mo yang dibantu oleh pemuda Lai Siang Pok itu, sedangkan Kiu-bwe Coa-li dibantu oleh Sui Ceng. Setelah membaca, kitab itu lalu dibakar, demikian menurut perjanjian dan syarat yang diajukan oleh pujangga Tu Fu.

Kemudian, sesudah mendengarkan bersama Lai Siang Pok, Hek-i Hui-mo lalu menculik Siang Pok dan dipaksa untuk menjadi muridnya. Sekarang Hek-i Hui-mo telah tewas oleh Kwan Cu, apakah maksud kedatangan pemuda ini?

Kwan Cu tentu saja dapat menduga akan maksud ini, maka dia lalu tersenyum sambil bertanya,

"Setelah memperkenalkan nama Cu-wi, perlu kiranya siauwte memperkenalkan sahabat ini pula, ialah Bun Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li suthai."

Akan tetapi mereka tidak mempedulikan Sui Ceng, bahkan sebaliknya Lui Kong Nikouw lalu berkata,

"Lu-taihiap, tentu kau ingin mengetahui maksud kami menghadangmu di sini, bukan?"

Muka Kwan Cu menjadi merah disebut taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya panggilan ini memang dengan hati tulus, sebab siapakah kini yang tidak menganggapnya sebagai seorang pendekar besar setelah apa yang dia lakukan di puncak Tai-hang-san?

"Siauwte tidak sabar lagi mendengar keterangan Suthai," jawab Kwan Cu.

"Pinni sengaja datang untuk bertanya, kenapa Taihiap yang gagah perkasa telah berani mempermainkan dan mengganggu muridku, Wi Wi Toanio?"

Sui Ceng mengerutkan kening dan Kwan Cu terkejut bukan main. "Mempermainkan dan mengganggu bagaimana, Suthai?" tanyanya penasaran.

Lui Kong Nikouw tersenyum dan tampaklah bahwa dulu pada waktu mudanya nikouw ini tentu berwajah cantik, ada pun senyumnya masih membayangkan kegenitan mirip yang dipunyai oleh Wi Wi Toanio.

"Taihiap, muridku itu adalah seorang wanita muda yang paling cantik di seluruh wilayah timur, sudah sepatutnya dan dapat dimengerti kalau hati laki-laki tergila-gila kepadanya. Akan tetapi Taihiap harus dapat menahan nafsu dan paham bahwa dia adalah seorang yang telah menjadi isteri orang lain. Perbuatan Taihiap sungguh tidak patut."

Bukan main marahnya Kwan Cu, sedangkan wajah Sui Ceng menjadi merah sekali.

"Suthai, kau mengeluarkan omongan yang membikin orang penasaran! Aku Lu Kwan Cu tidak pernah mempermainkan wanita!"

Akan tetapi ketika dia membayangkan wajah dan tubuh dari Wi Wi Toanio, hatinya jadi berdebar. Di dalam hati kecilnya, dia tidak dapat menyangkal bahwa isteri dari An Kai Seng itu benar-benar menarik hatinya. Akan tetapi Kwan Cu tahu bahwa kata-kata dari Lui Kong Nikouw tadi merupakan racun yang akan merusak hubungan baiknya dengan Bun Sui Ceng, maka cepat-cepat dia melanjutkan.

"Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng musuh besarku yang harus kubunuh karena An Kai Seng adalah keturunan An Lu Shan, yaitu musuh besar kongkong-ku dan guruku. Bagaimana aku bisa mempermainkannya? Pada waktu itu memang benar dia membela suaminya dan kalah dalam pertempuran olehku, apakah hal ini dianggap mengganggu?" setelah berkata demikian, Kwan Cu tanpa disengaja melirik ke arah Sui Ceng.

Lui Kong Nikouw mengeluarkan, suara jengekan. "Huhh, siapa percaya mulut laki-laki? Mengganggu atau tidak, kau sudah mengalahkan muridku yang berarti penghinaan besar bagi nama Thian-san-pai, maka sekarang pinni sengaja menunggumu di sini untuk minta pengajaran darimu."

"Nanti dulu, Lui Kong Nikouw!" kata Bu Kek Sian, "Pertandinganmu melawan Lu-taihiap mempunyai dasar permusuhan, maka harus dilakukan nanti sesudah aku mencoba dulu kepandaiannya. Jauh-jauh aku datang dari Go-bi karena tertarik mendengar kegagahan Lu-taihiap, maka biarlah aku yang hendak minta petunjuk lebih dulu."

"Betul! Demikian pula pinceng, karena murid Siauw-lim-pai tidak akan dapat melewatkan kesempatan bagus menerima petunjuk dari orang pandai!" menyambung Kong Seng Kak Hwesio.

Sambil tersenyum Kwan Cu menoleh kepada Lai Siang Pok dan berkata,

"Dan Lai-enghiong ini tentunya hendak membalaskan kematian gurunya, bukan?"

Dengan muka kemalu-maluan pemuda itu menjawab. "Sudah menjadi kewajiban seorang murid untuk berusaha membalas pembunuh gurunya. Akan tetapi karena kepandaianku sangat terbatas, biarlah siauwte minta pengajaran paling akhir saja."

Bu Kek Sian si kakek kecil bongkok tertawa terkekeh-kekeh dan melompat maju. Tangan kanannya telah mengeluarkan sebuah rantai baja yang panjang, lebih panjang dari pada tinggi tubuhnya.

"Lu-taihiap, harap kau tidak terlalu pelit untuk menunjukkan beberapa jurus ilmu silatmu yang lihai agar lebih terbuka mataku yang sudah agak lamur," sambil tertawa-tawa kakek bongkok itu berkata.

Walau pun dia kelihatan lucu dan bicara merendah, akan tetapi di dalam kata-katanya itu terkandung nada yang sombong. Melihat gerak-gerik orang ini, Kwan Cu merasa bahwa Sui Ceng saja akan dapat menandinginya.

Semua orang ini tidak memandang mata kepada Sui Ceng, kecuali Lai Siang Pok, maka diam-diam Kwan Cu merasa tidak puas. Melihat diri sendiri dipuji-puji dan orang-orang itu mengesampingkan Sui Ceng, dia merasa bahwa hal ini amat merendahkan derajat gadis itu. Sambil tersenyum, dia melirik ke arah Sui Ceng dan berkata,

"Sui Ceng, Lo-enghiong dari Go-bi ini pandai menggunakan sabuknya dan melihat sabuk yang hebat ini hatiku sudah gentar sekali. Kau pernah mempelajari ilmu mainkan sabuk, sukakah kau sedikit mengeluarkan tenaga membagi tugas yang berat menghadapi para orang gagah ini?"

Kwan Cu sengaja hendak memberi kesempatan kepada Sui Ceng untuk memperlihatkan kepandaiannya menghadapi orang sombong ini, karena memang rantai panjang itu tadi dilibatkan di pinggangnya seperti sabuk.

Sui Ceng mengerti kehendak Kwan Cu. Memang nona ini sudah merasa dongkol sekali. Ia diperkenalkan sebagai murid Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi orang-orang itu kecuali Siang Pok, tidak mempedulikannya. Bukankah itu sama halnya dengan tidak memandang mata kepada gurunya?

Sebenarnya bukan demikian. Orang-orang ini tentu saja sudah mendengar nama besar Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh yang mempunyai kepandaian mengagumkan. Akan tetapi kejadian di puncak Tai-hang-san itu telah terdengar oleh mereka dan mereka tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian sudah kalah oleh fihak Kiam Ki Sianjin, maka mereka tak begitu menaruh perhatian lagi.

"Kalau saja tokoh besar yang perkasa dari Go-bi-pai ini tidak menganggap terlalu rendah untuk menghadapiku, tentu saja aku mau mewakili kau," jawab Sui Ceng.

Kwan Cu menghadapi Bu Kek Sian dan berkata, "Bu Kek Sian Lo-enghiong. Fihak yang hendak mengujiku ada empat orang dan kalau aku hanya maju seorang diri, itu tidak adil namanya. Juga kurang memandang mata kepada nona ini sebagai murid Kiu-bwe Coa-li. Hanya yang meragukan hatiku, apakah ada yang berani menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li?"

Bu Kek Sian terkekeh. "Siapakah yang belum mendengar nama besar Kiu-bwe Coa-li? Tentu saja aku tidak berani memandang rendah, akan tetapi setelah aku melayani nona ini beberapa jurus, aku masih mengharapkan sedikit petunjuk darimu."

Kata-kata ini saja telah menunjukkan kesombongan Bu Kek Sian, sebab dengan ucapan ini seakan-akan dia mau menyatakan bahwa dalam beberapa jurus saja dia pasti akan dapat mengalahkan nona muda ini. Kalau dia menganggap bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan dan sebaliknya dia yang akan kalah, tentu saja orang yang sudah kalah tidak berani maju lagi!

Sui Ceng menjadi panas perutnya. Tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sinar merah berkelebat pada waktu dia sudah meloloskan ang-kin (sabuk merah) yang melibat pada pinggangnya.

"Bu Kek Sian Lo-sicu, marilah kita mengadu senjata," tantangnya.

Bu Kek Sian terkejut dan heran sekali. Benar-benarkah nona ini akan menghadapi rantai bajanya dengan sehelai sabuk sutera? Akan tetapi dia pun bukanlah seorang yang tidak dapat mempergunakan pikirannya. Kalau seorang lawan sudah berani berlaku demikian berani, tentulah lawan itu memiliki kepandaian yang tinggi. Pula, nona ini menggunakan sabuk sutera atas kehendaknya sendiri, maka sangat kebetulan sehingga dia tidak usah terlalu banyak mengeluarkan tenaga.

"Baiklah, kau sambut seranganku, Nona!"

Bu Kek Sian lalu menggerakkan tangannya. Rantai baja itu meluncur dengan lengkungan lebar menyerang kepala Sui Ceng. Gadis ini merendahkan tubuhnya kemudian mengelak ke kiri karena ia tahu bahwa setelah luput menghantam kepala, rantai yang panjang itu ujungnya masih akan menghantam tubuh bagian lain.

Benar saja dugaannya. Ujung rantai itu melayang lantas dari pinggir menotok ke arah iganya. Sambil mengelak cepat, sabuk merah meluncur bagaikan ular merah yang hidup, gerakannya tak terduga dan berlenggang-lenggong, cepat menotok ke arah leher tokoh Go-bi-pai itu.

Bu Kek Sian kagum melihat gerakan nona yang cepat ini. Ia segera menyendal rantainya sehingga ujung rantai yang tak berhasil menotok iga, tiba-tiba tertarik kembali dan cepat menyambar ke arah sabuk merah. Bu Kek Sian sengaja mengerahkan tenaganya agar supaya sabuk merah itu akan terbetot putus oleh rantai bajanya.

Akan tetapi, sabuk merah itu bergerak memecut dan terdengarlah suara geletar dua kali seperti bunyi cambuk seorang penggembala sapi. Kemudian ujung sabuk merah yang terbentur rantai itu melayang kembali dan dengan lengkungan yang amat manis, ujung sabuk ini menotok ke arah jalan darah Im-yang-hiat yang berada di ulu hati kakek ini.

Bu Kek Sian mengeluarkan seruan kaget dan dia cepat melempar dirinya ke belakang. Bukan main hebatnya serangan itu dan alangkah ganasnya! Baru menggunakan sehelai sabuk saja, gadis ini sudah sedemikian lihainya, apa lagi gurunya, Kiu-bwe Coa-li yang mempergunakan pecut dengan sembilan ekornya! Bu Kek Sian menjadi hati-hati sekali dan kini dia memutar rantainya cepat sekali untuk mendesak Sui Ceng.

Akan tetapi, Sui Ceng merupakan murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja dalam hal kesaktian ia telah mewarisi kepandaian gurunya. Karena itu, dengan mudah ia dapat mengimbangi gerakan senjata lawan, bahkan ia kini bergerak demikian cepatnya hingga tubuhnya lenyap dan yang kelihatan hanyalah bayangannya saja yang didahului dengan berkelebatnya sinar merah dari sabuk suteranya.

Beberapa jurus kemudian, terdengar suara rantai terlepas di atas tanah dan Bu Kek Sian melompat mundur dengan muka pucat. Sambungan sikunya telah terkena totokan ujung sabuk yang menyebabkan tangannya lumpuh dan rantainya terlepas.

Kakek ini memandang kepada Sui Ceng dengan mata terbuka lebar-lebar, kemudian dia menepuk kepalanya sendiri sambil mengomel,

"Aku Bu Kek Sian sungguh manusia tidak berguna! Bagaimana masih berani menantang Lu-taihiap? Bagaimana mataku buta tidak melihat bahwa murid Kiu-bwe Coa-li demikian hebatnya?"

Melihat kekalahan Bu Kek Sian oleh nona muda yang cantik itu, Kong Seng Kak Hwesio kagum sekali. Dia melompat maju dengan tangan memegang sebatang toya hitam dan berkata gembira,

"Benar-benar menyenangkan sekali hari ini pinceng bertemu dengan orang-orang muda yang lihai. Bagus, bagus, biar pinceng menerima beberapa jurus untuk menambah bekal membasmi iblis penjajah!"

Melihat gerakan hwesio Siauw-lim-pai ini, Kwan Cu dapat menduga bahwa tentu hwesio ini berkepandaian tinggi dan tenaganya amat besar. Selain ini, juga seorang patriot yang gagah perkasa. Oleh karena itu, dia segera maju sendiri, khawatir kalau-kalau Sui Ceng kesalahan tangan melukai hwesio kosen ini.

"Losuhu, biarlah boanpwe yang menerima kehormatan ini," katanya dan memberi tanda dengan mata agar Sui Ceng mundur.

Gadis ini pun tidak ada nafsu lagi untuk bertempur, karena demikianlah watak Sui Ceng yakni ia akan makin bersemangat kalau menghadapi lawan-lawan yang tangguh, namun sebaliknya, kepandaian Bu Kek Sian dianggapnya masih belum cukup tinggi sehingga ia pun memandang rendah hwesio muka hitam ini.

Kong Seng Kak Hwesio berseri wajahnya. "Bu Kek Sian Bengyu tak punya peruntungan baik, berbeda dengan pinceng yang kini mendapat kesempatan belajar satu dua jurus ilmu silat dari Lu-taihiap." Sambil berkata demikian, toyanya diputar di atas kepalanya bagaikan kitiran cepatnya, akan tetapi hwesio ini tidak segera menyerang.

"Mulailah, Losuhu," kata Kwan Cu.

Sebaliknya dari menyerang, hwesio muka hitam itu bahkan menurunkan kembali toyanya dan menggeleng-geleng kepalanya. "Taihiap harap segera mengeluarkan senjata."

Kwan Cu semakin kagum melihat hwesio ini. Sudah terang hwesio ini sudah mendengar akan sepak terjangnya di Tai-hang-san dan juga tahu bahwa dia telah mengalahkan para tokoh besar, akan tetapi hwesio ini masih merasa tidak adil kalau menghadapi dia yang bertangan kosong. Timbul rasa sukanya dan dia mendapat kenyataan bahwa memang jago-jago Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang gagah.

"Kita hanya hendak mencoba tenaga, berbahaya sekali apa bila bertanding mengunakan senjata. Apakah tidak lebih baik jika kita menguji tenaga dengan saling mendorong atau membetot toya itu? Masing-masing boleh berusaha dengan cara bagaimana pun juga, boleh menonjok atau memukul, pendeknya siapa yang melepaskan toya atau roboh, dia terhitung kalah."

Kong Seng Kak Hwesio merasa girang sekali. Memang dia agak jeri menghadapi ilmu silat pemuda ini yang dikabarkan sangat lihai dan aneh, akan tetapi dalam hal tenaga gwakang mau pun lweekang, dia sudah terkenal sekali. Masa dia akan dikalahkan oleh pemuda yang kelihatannya tidak bertenaga besar itu?

Usul yang diajukan oleh pemuda itu menguntungkan dirinya dan kalau dia bisa menang, mski pun dalam cara adu tenaga yang sederhana, bukankah namanya akan terangkat tinggi sekali karena dapat mengalahkan Lu-taihiap yang demikian tersohornya? Dengan cepat dia segera menerima usul ini.

Kwan Cu memegang tongkat yang diangsurkan kepadanya. Kedua orang itu memegang ujung toya dan memasang kuda-kuda.

"Lu-taihiap, bersiaplah, pinceng mulai!" seru Kong Seng Kak Hwesio.

Dia segera mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba mendorong toya yang dipegangnya itu dengan tenaga sepenuhnya. Kwan Cu merasa betapa tenaga hwesio ini memang hebat sekali dan tahu pula bahwa Kong Seng Kak Hwesio mempergunakan tenaga gwakang, maka dia lalu menahan dorongan itu dengan pengerahan tenaga lemas sehingga hwesio Siauw-lim-pai itu merasa seluruh lengannya gemetar.

Tiba-tiba Kong Seng Kak Hwesio melakukan gerakan membetot secara mendadak dan disentakkan untuk mencabut toya agar terlepas dari tangan Kwan Cu, atau jika pemuda itu berusaha menahan, agar tubuh Kwan Cu terbawa ke depan. Akan tetapi kembali dia kecelik karena sedikit pun pemuda itu tidak bergeming.

Ia tak menyangka bahwa hanya dengan melihat pundaknya saja, Kwan Cu sudah dapat mengetahui terlebih dulu gerakan apa yang hendak dia lakukan, maka pemuda itu dapat berjaga-jaga lebih dulu.

Mendadak hwesio itu mengeluarkan seruan keras sekali dan tubuhnya merendah. Lalu, dengan pengerahan tenaga luar biasa dia mendorong toya ke atas untuk mengangkat tubuh Kwan Cu atau untuk memaksa pemuda itu melepaskan toya.

Kwan Cu terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa tenaga gwakang dari lawannya ini benar-benar besar sekali. Ketika dia melirik ke arah wajah hwesio itu, tahulah dia bahwa apa bila dia melawan dengan lweekang, maka tak dapat tidak tenaga gwakang itu akan memukul kembali dan dapat mendatangkan luka pada Kong Seng Kak Hwesio.

Oleh karena itu, Kwan Cu mengambil jalan lain. Dia menyimpan tenaganya dan ketika lawannya menyontekkan toya ke atas, dia menurut saja sehingga tubuhnya terbawa ke atas! Akan tetapi, biar pun begitu, Kwan Cu masih memegangi ujung toya dan keadaan tubuhnya masih tetap dalam kuda-kuda seperti tadi.

Tidak hanya Kong Seng Kak Hwesio, juga yang lain-lain merasa kagum sekali. Hwesio itu menggerak-gerakkan toyanya dengan tenaga besar, mengobat-abitkan toya dengan maksud agar pegangan Kwan Cu terlepas, tetapi sia-sia belaka. Agaknya tubuh pemuda itu sudah menjadi satu dengan toya yang dipegangnya.

Tiba-tiba saja Kwan Cu berseru nyaring dan kedua kakinya bergerak di udara, tubuhnya melengkung dan dengan sekali menggenjotkan kaki, dia melompat dengan toya masih dipegangnya.

Kong Seng Kak Hwesio merasa betapa tenaga betotan itu luar biasa sekali. Akan tetapi dia mengerahkan tenaga dan memegangi ujung toya seeratnya. Oleh karena ini toya yang dipegangnya itu terputar dan tubuhnya ikut terputar-putar.

Kwan Cu bergerak terus. Dia mengerahkan tenaga dan ginkang-nya sehingga bagaikan seekor burung yang kakinya diikat tali yang dipegang oleh Kong Seng Kak Hwesio, dia ‘terbang’ mengelilingi hwesio itu.

Sesudah beberapa belas kali putaran, akhimya Kong Seng Kak Hwesio tidak kuat lagi menahan. Dia terpaksa melepaskan pegangan toyanya dan meramkan mata mengatur napas untuk bisa melenyapkan rasa pening di kepalanya. Kemudian dia memberi hormat kepada Kwan Cu sambil menerima kembali toyanya.

"Aduh, nama besar Lu-taihiap bukan omong kosong belaka. Pinceng mengaku kalah."

Melihat betapa dua orang kakek itu sudah dikalahkan oleh Kwan Cu dan Sui Ceng dalam pertandingan persahabatan dan mendengar pemuda itu dipuji-puji, Lui Kong Nikouw lalu melompat ke depan Kwan Cu. Sepasang pedang yang berkilauan telah berada di kedua tangannya.

"Lu Kwan Cu, mendengar pujian-pujian itu kau menjadi makin sombong dan kepala besar saja. Marilah kau bersiap menghadapi pinni untuk menebus dosa dan kekurang ajaranmu terhadap muridku."

"Suthai, aku tidak hendak mencari permusuhan."

"Jadi kau bersedia minta maaf dan berjanji tak akan mengganggu muridku lagi?"

"Terhadap muridmu itu aku tidak akan mengganggu seujung rambutnya. Akan tetapi An Kai Seng suaminya adalah musuh besarku dan harus kubunuh!"

"Kau berjanji tidak akan mengganggu muridku, akan tetapi mau membunuh suaminya? Bagus! Omongan apa ini? Hayo kau keluarkan senjata!"

Walau pun berkata demikian, namun tanpa menanti orang mencabut senjata, Lui Kong Nikouw sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Sepasang pedang itu menyerang berbareng dengan gerakan indah dan cepat dari Ilmu Pedang Thian-san Kiam-hoat, tidak memberi kesempatan pada lawan untuk melepaskan diri karena segera pedang-pedang itu mengurung dengan gulungan sinamya yang berkilauan.

Diam-diam Sui Ceng sangat kagum melihat keindahan ilmu siang-kiam-hoat ini. Sebagai seorang wanita yang suka akan segala sesuatu yang indah, dia segera memperhatikan secara diam-diam dan ingin memetik beberapa bagian yang terindah. Akan tetapi, ia pun merasa bahwa ia sendiri sanggup menghadapi nikouw itu.

Sebaliknya, Kwan Cu tetap tidak mau mencabut senjata dan hanya melayani nikouw itu dengan kedua tangan kosong. la mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak ke sana ke mari dan bahkan ikut berputaran mengimbangi gerakan dua pedang yang amat cepat itu. Sampai puluhan jurus kedua batang pedang itu belum mampu menyenggol badan Kwan Cu, bahkan sekarang pemuda itu mulai menggunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk mencoba merampas pedang lawan.

Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na memang lihai sekali dan juga belum pernah muncul di dunia kang-ouw, maka ilmu ini sama sekali tidak dikenal oleh Lui Kong Nikouw. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, pedang di tangan kirinya sudah kena dirampas oleh Kwan Cu.

Nikouw itu hanya merasa jari tangan kirinya menggigil dan tahu-tahu pedangnya lenyap berpindah ke tangan Kwan Cu. la terkejut bukan main dan cepat berseru,

"Suheng, mengapa kau tidak lekas-lekas membantuku? Marilah kita membalas sakit hati suhu!"

Kwan Cu merasa terheran-heran karena semenjak tadi dia tidak pernah melihat suheng (kakak seperguruan) dari nikouw ini. Keheranannya bertambah ketika tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat yang aneh gerakannya sudah menyerangnya dari samping.

Ketika dia menengok, ternyata olehnya bahwa yang menyerangnya dengan sebatang tongkat itu bukan lain adalah pemuda bemama Lai Siang Pok tadi. Kalau saja dia tidak sedang diancam oleh tongkat dan pedang kanan nikouw, tentu Kwan Cu akan berdiri bagaikan patung saking herannya. Bagaimana seorang pemuda yang baru berusia dua puluhan tahun disebut kakak seperguruan oleh nikouw tua ini?

Akan tetapi kenyataannya memang demikian. Seperti diketahui, Lai Siang Pok adalah murid dari Hek-i Hui-mo dan pemuda ini dapat mewarisi ilmu tongkat yang tinggi dari Hek-i Hui-mo karena dia pun ikut menghafal bunyi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Kemudian gurunya itu bertemu dengan Lui Kong Nikouw dan diam-diam di antara dua orang pendeta tua ini terdapat hubungan yang tidak bersih.

Untuk menutupi rahasia ini, Lui Kong Nikouw yang menjadi seorang tokoh Thian-san-pai yang tersesat dan tidak diakui oleh partai Thian-san lagi, diaku murid oleh Hek-i Hui-mo. Karena sebagai murid baru, tentu saja menurut peraturan dia harus menyebut suheng kepada Siang Pok.

Hal ini pun dilakukan oleh Lui Kong Nikouw dengan girang, karena dia bekas wanita genit sekali. Tentu saja dia merasa senang menyebut seorang pemuda ganteng sebagai kakak seperguruannya, walau pun pemuda itu lebih patut menjadi cucunya! Akan tetapi dasar kepandaian Lui Kong Nikouw adalah dasar ilmu silat Thian-san-pai, sedangkan dari Hek-i Hui-mo ia hanya menerima beberapa macam ilmu pukulan saja.

Lai Siang Pok adalah seorang pemuda pendiam, maka dia melakukan serangan tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Akan tetapi pada waktu Kwan Cu menangkis sambaran tongkat itu dengan pedang rampasannya, pemuda ini diam-diam kagum karena tenaga Siang Pok bahkan lebih besar dari pada tenaga nikouw itu.

Hal ini adalah karena Siang Pok melatih diri dengan lweekang menurut petunjuk Im-yang Bu-tek Cin-keng yang pernah didengarnya dari pujangga Tu Fu. Namun, kalau suhu-nya sendiri tidak kuat melawan Kwan Cu, apa lagi dia?

Sebentar saja, ketika Kwan Cu mengerahkan tenaga dan membabat dengan pedangnya, tongkat di tangan Siang Pok patah menjadi dua dan pedang di tangan Lui Kong Nikouw terbang entah ke mana! Dua murid Hek-i Hui-mo ini menjadi pucat dan memandang dengan tercengang.

"Lu-taihiap benar-benar tangguh. Sedikitnya siauwte harus belajar dua puluh tahun lagi baru berani mengukur tenaga kembali," kata Siang Pok sambil menjura kepada Kwan Cu, lalu dia melompat dan pergi tanpa pamit kepada Lui Kong Nikouw.

Pemuda ini memang tidak suka kepada nikouw itu karena dia sudah dapat mengetahui hubungan antara suhu-nya dan ‘sumoi’ ini. Selain itu, juga Siang Pok tidak suka kepada suhu-nya yang dianggap jahat dan membantu penjajah. Bahkan diam-diam pemuda ini membantu perjuangan rakyat dan sebagai seorang pemuda Han bekas murid pujangga Tu Fu, darah patriot masih mengalir di tubuhnya. Kelak pemuda ini akan menjadi seorang yang berilmu tinggi dan mendapat nama besar di dunia kang-ouw.

Lui Kong Nikouw juga tidak berkata apa-apa apa lagi. Dengan muka merah dia segera menggerakkan kedua kakinya, pergi dari situ tanpa pamit.

Terdengar tertawa terbahak-bahak dan yang tertawa adalah Kong Seng Kak Hwesio.

"Ha-ha-ha! Memang benar, gurunya naga muridnya tentulah naga pula. Ang-bin Sin-kai adalah seorang perkasa yang berjiwa gagah, muridnya pun demikian. Lu-taihiap, sebagai seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi, mengapa kau tidak mau lekas-lekas turun tangan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah?"

Kwan Cu menjura. "Aku yang muda dan bodoh, meski pun tidak secara terang-terangan membantu perjuangan, akan tetapi sesungguhnya aku masih harus melakukan tugasku membalas dendam atas kematian suhu dan kongkong Lu Pin. Losuhu, kau yang sering kali berada dalam peperangan, pernahkah kau mendengar nama Ngo Lian Suthai ketua dari kuil Kwan-im-bio?"

"Ahh, dia? Benar-benar dia seorang wanita gagah perkasa yang berjiwa suci. Dia dan muridnya berada di tempat pertempuran tidak jauh dari sini, setiap hari dia dan muridnya mengurus dan merawat para pejuang yang terluka."

"Losuhu, di manakah tempat itu?" Sui Ceng ikut bertanya dengan penuh keinginan tahu.

"Di sebuah bio tua di dusun Kiang-cee sebelah barat hutan ini. Semua pejuang mengenal tempat itu baik-baik, dan setiap orang yang terluka dalam pertempuran melawan barisan kerajaan, selalu diantarkan ke tempat itu untuk dirawat."

Mendengar ini, Sui Ceng kemudian berkata kepada Kwan Cu, "Mari kita cepat pergi ke Kiang-cee!"

"Baik," jawab Kwan Cu.

Keduanya segera memberi hormat kepada dua orang tua yang gagah itu, lantas cepat berlari menuju ke barat. Dua orang tua dari Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai itu memandang penuh kekaguman.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)