ANG-I NIOCU (NONA BAJU MERAH) : JILID-13


“Im Giok... kau... anakku...?”

“Ayaah...!”

Di lain saat ayah dan anak itu sudah berpelukan dan bertangisan.

Bu Pun Su terbatuk-batuk untuk menenangkan hatinya sendiri yang ikut merasa terharu dan pilu. Setelah membiarkan mereka melepaskan perasaan hati untuk sementara, lalu dia berkata,

“Sudahlah, tidak baik menurutkan perasaan, mendatangkan kelemahan saja. Kiang Liat, anakmu ini berbakat baik dalam ilmu silat, biar aku tinggalkan dua macam ilmu silat untuk kelak kau turunkan kepadanya. Akan tetapi kau hati-hatilah, wataknya keras dan aneh, perlu dikendalikan dengan kuat!”

Kiang Liat girang sekali mendengar ini.

“Im Giok, anakku, lekas kau menghaturkan terima kasih kepada Susiok-couw-mu (Paman Kakek Guru).” Kiang Liat menarik tangan Im Giok dan keduanya berlutut di depan kakek sakti itu.

Dengan sangat tekun, Kiang Liat mempelajari dua ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su untuk Im Giok. Pertama-tama Bu Pun Su minta supaya Im Giok bersilat menurut apa yang dia pelajari dari Pek Hoa Pouwsat. Bu Pun Su adalah seorang sakti yang memiliki kepandaian aneh dan luar biasa. Sekali saja melihat, ilmu silat apa pun juga dapat ia tiru dengan gerakan yang jauh lebih sempurna dari pada aslinya! Demikian pula dengan ilmu silat yang dimainkan oleh Im Giok, sekali melihat kakek ini dapat menurunkan ilmu silat yang sama, akan tetapi yang sama sekali bebas dari kelemahan dan kekurangan.

Pendeknya, Bu Pun Su memperbaiki dan menyempurnakan ilmu silat yang seperti tarian, yang dipelajari oleh Im Giok dari Pek Hok Pouwsat. Ada pun ilmu silat ke dua yang dia turunkan kepada Kiang Liat untuk Im Giok yaitu ilmu silat pedang yang disesuaikan pula dengan gerakan dan bakat yang sudah menjadi dasar dari Im Giok.

Selain dua macam ilmu silat yang khusus untuk Im Giok ini, juga kepada Kiang Liat kakek ini menurunkan ilmu berlatih lweekang dan ginkang sehingga Kiang Liat merasa bersukur sekali. Sampai dua pekan Bu Pun Su tinggal di kelenteng kuno itu bersama Kiang Liat dan Im Giok dan siang malam mereka tekun menerima pelajaran baru dari kakek sakti itu.

Sesudah selesai dan hendak meninggalkan mereka, Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh.

“Kiang Liat dan kau juga Im Giok, dengarlah baik-baik. Setelah kalian menerima pelajaran dariku, maka selanjutnya kalian harus menjaga diri baik-baik. Sekali saja aku mendengar kalian menggunakan kepandaian yang kalian pelajari dariku untuk melakukan perbuatan menyeleweng dan sewenang-wenang, aku sendiri akan datang memberi hukuman berat.”

Setelah Bu Pun Su pergi, Kiang Liat memeluk puterinya dan berkata dengan hati girang sekali.

“Anakku, marilah kita pulang ke Sian-koan dan mulai hidup baru. Akan kusediakan rumah gedung dan pakaian-pakaian indah untukmu. Dan jangan kau khawatir, anakku, aku akan berusaha supaya kelak engkau menjadi seorang dara perkasa yang jarang tandingannya, seorang yang hidup penuh kebahagiaan tidak kekurangan sesuatu!”

Im Giok sudah mendengar sumpah ayahnya dari atas genteng, karena itu dia tidak perlu mendengar janji-janji yang lain. Ia sudah merasa amat kasihan dan terharu melihat nasib ayahnya, dan dia merasa amat bangga karena ternyata ayahnya adalah seorang laki-laki gagah yang patut dibanggakan.

Demikianlah, ayah dan anak itu lalu pulang ke Sian-koan. Dengan uang yang ia simpan, Kiang Liat membangun sebuah gedung baru dengan taman bunga yang luas dan indah, perabot-perabot rumah serba baru, pendeknya dia berusaha untuk membikin senang hati puteri tunggalnya.

Im Giok baru berusia hampir sebelas tahun. Maka, menerima budi kecintaan ayahnya yang berlimpah-limpah ini, mau tidak mau timbul sifat manja dalam hatinya.

Memang beginilah, tidak hanya Kiang Liat, banyak orang tua-tua di dunia ini yang keliru menyatakan kasih sayang kepada anak sehingga bukan anak menjadi baik sebagaimana yang diharapkan, sebaliknya anak menjadi manja.

Untungnya, Im Giok memang sudah memiliki dasar watak gagah dan baik sehingga sikap ayahnya itu hanya mendatangkan sebuah cacat lagi, yaitu manja dan ingin dituruti segala kehendaknya. Di samping ini, sifat lain yang dia warisi dari Pek Hoa Pouwsat adalah sifat pesolek, suka berhias dan berpakaian serba indah dan serba merah, tidak lupa untuk menambah merah pada bibirnya, menambah hitam pada alisnya sehingga setiap saat gadis ini kelihatan seperti seorang bidadari baru turun dari kahyangan!

Akan tetapi harus diakui bahwa bakat Im Giok dalam ilmu silat benar-benar baik sekali. Ditambah lagi oleh semangat Kiang Liat yang demikian besar. Pendekar ini benar-benar mempunyai cita-cita untuk membuat puterinya menjadi seorang gagah, maka dia sangat tekun dan hati-hati memimpin puterinya dalam ilmu silat, maka dapat dibayangkan betapa pesat kemajuan yang diperoleh Im Giok.

Akan tetapi, kadang-kadang Im Giok merasa kesepian. Hidup di dekat Kiang Liat berbeda jauh dengan pada saat ia masih bersama dengan Pek Hoa. Betapa pun besar sayangnya Kiang Liat kepadanya, akan tetapi ayahnya itu seorang pria, dan Im Giok membutuhkan pergaulan dengan sesama kelamin.

Selain ini, Im Giok yang melihat ayahnya masih belum tua dan begitu gagah, diam-diam juga prihatin dan berduka kalau teringat akan ibunya. Banyak buku yang ia baca karena ayahnya menyediakan untuknya dan mengajarnya pula, memberi pelajaran pada Im Giok bahwa seorang seperti ayahnya itu sudah sepatutnya kalau menikah lagi dengan seorang gadis cantik pengganti ibunya yang telah meninggal.

Sifat Im Giok yang tidak pemalu dan periang itu membuat dia sebentar saja mempunyai banyak kawan di kota Sian-koan. Tidak jarang gadis ini keluar rumah dan mengunjungi tetangga dan walau pun hal ini termasuk kebiasaan yang janggal, namun ayahnya tidak melarangnya. Kiang Liat cukup maklum bahwa puterinya telah memiliki kepandaian yang cukup untuk dipakai menjaga diri, dan di samping ini, siapakah yang berani mengganggu puteri Jeng-jiu-sian Kiang Liat?

Satu tahun kemudian, pada suatu sore, Im Giok pulang dari tetangga bersama seorang gadis yang cantik. Gadis ini pipinya kemerahan, sepasang matanya yang jeli dan kocak kelihatan agak berduka. Namun harus diakui bahwa gadis memiliki sepasang mata yang indah dan bening, seperti sepasang kemala. Usianya kurang lebih enam belas tahun dan tubuhnya sehat dan nampaknya biasa bekerja berat.

Kiang Liat bangkit dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak heran. Dengan malu-malu gadis remaja itu menjura sebagai penghormatan kepada Kiang Liat.

“Im Giok, siapakah nona ini dan mengapa kau membawa dia ke sini?” tanya Kiang Liat dengan nada menegur dalam suaranya.

“Ayah, jangan marah dulu,” berkata Im Giok dengan sikap manja, “dia ini adalah sahabat baikku, namanya Kim Lian, Song Kim Lian, rumahnya di sebelah barat itu. Enci Kim Lian, kau duduk dulu di sini, ya! Aku mau bicara dengan Ayah,”

Im Giok lalu menghampiri ayahnya, memegang tangan ayahnya itu dan menariknya ke ruangan sebelah dalam. Dengan kening berkerut Kiang Liat mengikuti puterinya, hatinya merasa tidak enak.

“Kau mau apakah, Im Giok?” tanyanya setelah mereka berada di ruang dalam.

“Ayah, bagaimana ayah lihat Enci Kim Lian itu? Cantik dan matanya seperti mata burung Hong, bukan?”

Kerut di kening Kiang Liat makin mendalam. “Kalau dia cantik dan bermata bagus, habis mengapa?”

“Ayah, aku selalu merasa kesunyian.”

“Kan ada Ayah, ada banyak pelayan.”

“Ayah laki-laki dan para pelayan... ahhh, mereka selalu bermuka-muka, aku tidak suka. Ayah juga... Ayah juga kesepian, bukan?”

Kiang Liat memegang pundak Im Giok, memandang tajam dan berkata, “Im Giok, pikiran ganjil apakah yang terkandung di dalam kepalamu? Hayo katakan terus terang, jangan berputar-putar.”

Im Giok menarik napas panjang, sukar agaknya untuk bicara. Akhirnya ia memberanikan hatinya, memegang tangan ayahnya dengan sikap manja dan berkata,

“Jangan marah, ya Ayah? Aku bermaksud baik. Sahabatku Kim Lian ini adalah seorang sahabat yang baik, lagi pula dia sudah yatim piatu, kalau saja... kalau saja… dia dapat tinggal di sini sehingga aku mempunyai kawan, alangkah baiknya.”

“Menjadi pelayan?” Kiang Liat menjelaskan.

Im Giok cemberut. “Dia sahabatku, bagaimana harus menjadi pelayan? Biarkan saja dia tinggal di sini, serumah dengan kita, Ayah.”

Kembali kening Kiang Liat berkerut. “Ah, Im Giok. Ada-ada saja kau ini. Tak tahukah kau bahwa seorang gadis dewasa seperti dia itu tidak patut sekali apa bila tinggal di rumah orang lain, apa lagi di rumah seorang duda!”

“Karena itu, alangkah baiknya kalau Ayah... kawinin saja dia!” kata Im Giok cepat.

Tangan ayahnya yang tadinya memegang pundak tiba-tiba saja terlepas dan Kiang Liat terduduk di atas kursi, wajahnya pucat dan matanya melotot memandang pada Im Giok. Gadis cilik ini kaget sekali dan agak ketakutan, mundur dua langkah.

“Im Giok...,“ akhirnya terdengar suara Kiang Liat, lambat dan perlahan, dengan gigi-gigi dirapatkan menahan nafsu marah. “Kalau bukan kau yang mengajukan usul macam ini, tentu kupukul mampus sekarang juga! Apa kau sudah gila? Kalau tidak untuk kau, aku sudah menyusul ibumu. Untuk apa hidupku di dunia ini melainkan untuk kau? Bagaimana kau bisa menyuruh aku menikah dengan perempuan lain dan mengkhianati ibumu?”

Im Giok menangis dan segera menubruk ayahnya. Ia berlutut dan menaruh kepala di atas pangkuan ayahnya.

“Ampunkan aku, Ayah. Aku tidak sengaja menyakiti hati Ayah. Aku hanya ingin punya kawan, aku... aku kehilangan Enci Pek Hoa. Ayah...”

Melihat keadaan anaknya, luluh hati Kiang Liat, lenyap marahnya. Ia berpikir sejenak, lalu berkata,

“Sudah, diamlah, anakku. Aku bisa memenuhi keinginanmu, akan tetapi bukan menikah. Mengingat bahwa Kim Lian sudah yatim piatu, dan selain engkau aku pun tidak punya murid, dan melihat gerak kakinya tadi cukup tegap dan kuat, biarlah dia menjadi muridku belajar di sini dan mengawanimu. Bagaimana?”

Im Giok hampir bersorak. Ia bangkit berdiri, memeluk ayahnya dan berlari ke ruangan depan. Tidak lama kemudian ia sudah datang lagi berlarian sambil menggandeng tangan Kim Lian. Agaknya dia sudah menuturkan pada sahabatnya itu, sebab begitu berhadapan dengan Kiang Liat, Kim Lian lau menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala sambil menyebut,

“Suhu...!” suaranya merdu dan halus.

“Bangunlah! Kau menjadi muridku atas desakan Im Giok. Akan tetapi entah kau suka atau tidak belajar ilmu silat yang kasar,” kata Kiang Liat.

“Ayah... jangan Ayah memandang rendah kepada Enci Kim... ehh, kepada Suci (Kakak Seperguruan) Kim Lian. Dalam bermain-main dan selama setahun menjadi kawanku, dia telah banyak dapat meniru gerakan silatku. Suci, coba kau tunjukkan kebisaanmu kepada Ayah.”

“Ahh, Sumoi, kau membikin aku malu saja...,” Kim Lian mengerling dengan muka merah dan senyum dikulum.

Kiang Liat kembali mengerutkan kening melihat lagak yang genit dan dapat menarik hati laki-laki ini. Hemm, dalam banyak hal gerak-gerik Kim Lian ini hampir sama dengan Im Giok anaknya, pikirnya.

“Tidak usah malu-malu, kau perlihatkanlah apa yang sudah kau pelajari. Dengan melihat gerakanmu, aku bisa mengira-ngira sampai di mana tingkatmu.”

Mendengar perintah suhu-nya, Kim Lian lalu bersilat seperti apa yang ia lihat dan pelajari dari Im Giok. Dan Kiang Liat tercengang. Benar sekali kata-kata Im Giok. Gadis cantik ini mempunyai bakat yang luar biasa, sungguh pun tidak sebesar bakat Im Giok, akan tetapi kelemasan gerak kaki tangannya menunjukkan bahwa Kim Lian mempunyai bakat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada gadis-gadis biasa. Memang sukar mencari seorang murid wanita dengan bakat seperti ini.

Timbullah kegembiraan di dalam hati Kiang Liat dan mulai hari itu Kim Lian menjadi murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, belajar ilmu silat bersama Im Giok yang tentu saja sudah sangat jauh meninggalkannya. Bahkan dalam latihan sehari-hari, boleh dibilang Kim Lian dilatih oleh Im Giok yang mewakili ayahnya.

Kiang Liat masih saja berlaku sungkan dan likat-likat. Maka ia hanya memberi contoh dan petunjuk-petunjuk teori saja, sedangkan prakteknya dia serahkan kepada Im Giok untuk mengajar suci-nya.

Benar saja, setelah Kim Lian juga tinggal di rumah gedung itu, Im Giok menjadi gembira sekali. Tidak saja ia menjadi semakin giat berlatih ilmu silat, juga ia tekun memperdalam ilmu surat dan bahkan suka belajar menyulam bersama suci-nya.

Ada pun dalam hal mempersolek diri, agaknya Kim Lian merupakan imbangan yang baik bagi Im Giok. Tentu saja Kim Lian tidak secantik Im Giok, karena sesungguhnya sukar mencari seorang gadis yang secantik Im Giok, akan tetapi pada umumnya Kim Lian juga seorang gadis yang manis dan cantik, lagi pandai beraksi.

Walau pun Kim Lian mulai belajar ilmu silat setelah ia berusia belasan tahun dan telah dewasa, akan tetapi berkat bakatnya yang baik dan terutama sekali oleh karena ia belajar di bawah pimpinan seorang ahli silat kelas tinggi, maka ia pun mewarisi ilmu silat tinggi dan menjadi seorang ahli silat yang pandai. Seperti juga Im Giok, ia mempunyai ginkang yang luar biasa, hanya kalah sedikit saja oleh sumoi-nya itu, biar pun dalam hal lweekang ia kalah jauh.

Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat merasa amat khawatir kalau ia melihat watak muridnya ini. Kim Lian sering memperlihatkan sikap genit dan memikat di depannya, mengingatkan pendekar ini akan sikap Ceng Si dahulu. Kadang-kadang dia membentak dan menegur muridnya ini, yang diterima oleh Kim Lian dengan senyum manis memikat.

Beberapa kali Kiang Liat bahkan menyuruh puterinya menegur, dan kalau Im Giok sudah menegur, barulah Kim Lian menghentikan aksinya. Memang Kim Lian tidak takut kepada suhu-nya karena dia merasa lebih leluasa dan dapat menghadapi seorang laki-laki, akan tetapi terhadap Im Giok, ia merasa takut dan segan.

Pertama karena ia merasa berhutang budi kepada sumoi-nya ini. Jika tak ada sumoi-nya yang menariknya tinggal ke dalam rumah gedung mewah itu, hidupnya tentu kekurangan dan mungkin sekali terlantar. Ke dua, ia memang tahu bahwa kepandaian sumoi-nya jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.

“Im Giok, sekarang suci-mu telah berusia dua puluh tahun lebih, dan kiranya sudah cukup lama ia berada di sini sehingga sudah patut baginya untuk berumah tangga. Bagaimana pikiranmu apa bila aku mencarikan seorang suaminya untuknya?” Pada suatu hari Kiang Liat berkata demikian kepada Im Giok yang sudah berusia empat belas tahun lebih.

Gadis ini sudah cukup dewasa untuk mengerti akan maksud ayahnya. Sering kali Kim Lian memperlihatkan sikap yang memikat di depan ayahnya, maka tentu ayahnya merasa tidak enak sekali. Memang, bagi ayahnya, akan lebih baik kalau Kim Lian keluar dari situ dan menikah dengan seorang pemuda yang baik.

“Baiklah, akan kusampaikan kepadanya, Ayah,” kata Im Giok yang akhir-akhir ini merasa kasihan dan juga gelisah melihat keadaan ayahnya.

Setelah beberapa kali menghadapi godaan Kim Lian, Kiang Liat jadi teringat lagi kepada isterinya dan juga kepada Ceng Si yang dulu menggodanya, maka terkenanglah ia akan kebodohannya, akan kekejamannya terhadap isterinya. Kenangan ini membikin kambuh sakit jantungnya, membuatnya pucat dan kadang-kadang batuk-batuk, bahkan sering di tengah malam ia tertawa-tawa dan menangis lagi!

Akan tetapi ketika Im Giok menyampaikan usul ayahnya kepada Kim Lian, suci-nya itu memperlihatkan muka berduka, bahkan lalu menghadap Kiang Liat sambil berlutut dan menangis.

“Suhu, teecu mohon supaya Suhu jangan menyuruh teecu pergi dari sini. Teecu rasanya tidak sanggup untuk berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Suhu, tentang menikah, teecu sama sekali tidak ada niat, karena selamanya teecu ingin melayani Suhu dan mengawani Sumoi...”

Kata-kata ini biar pun diucapkan dengan suara sedih dan terputus-putus, akan tetapi bagi pendengaran Kiang Liat hanya bermaksud satu, yakni Kim Lian akan menerima dengan hati terbuka bila gurunya mau mengambilnya sebagai isteri sehingga gadis ini selamanya akan melayaninya, juga tidak akan berpisah dari Im Giok!

Merah muka Kiang Liat dan dia merasa dadanya sakit. Dia selalu ingat akan kesetiaan mendiang isterinya dan akan kekejiannya memfitnah isterinya, maka ia telah bersumpah untuk membalas isterinya itu dengan kesetiaan selama hidupnya. Oleh karena ini, setiap godaan seorang wanita membangkitkan penyesalannya kepada diri sendiri dan membuat dadanya terasa sakit.

“Kim Lian, jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu. Setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Kami tentu saja tidak mengusirmu, dan terus terang saja, kehadiranmu di rumah ini banyak mendatangkan kegembiraan Im Giok dan untuk ini aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi tentang menikah, kau sudah berusia dua puluh tahun lebih, waktunya sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga sendiri, Kim Lian. Jangan kau khawatir, aku dapat memilihkan seorang calon suami yang baik, percayalah kepadaku karena sebagai guru aku takkan menyesatkan murid sendiri...”

Mendengar ini, tangis Kim Lian semakin sedih. Ia merangkul Im Giok lalu berkata, “Suhu, apa saja kehendak Suhu pasti teecu taati asal saja teecu jangan disuruh berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Tentang menikah... teecu akan menanti Sumoi. Apa bila Sumoi sudah menikah, teecu baru suka menikah pula. Ini sudah menjadi sumpah di dalam hati teecu.”

Kiang Liat menjadi mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kata-kata itu hanya akal saja, alasan untuk menggagalkan usulnya.

“Hmm, perempuan memang aneh. Lain di mulut lain di hati,” pikirnya. “Pada hatinya jelas nampak ia ingin melayani laki-laki, akan tetapi mulutnya bilang tidak mau menikah!”

Kemudian dengan suara marah ia berkata,

“Kim Lian, kau yang bersumpah, bukan aku yang memaksa. Kau harus memegang teguh sumpahmu itu, kalau tidak, aku akan marah kepadamu. Aku tidak sudi melihat muridku bermain lidah dan tidak dapat dipegang kata-katanya. Ingat, kau sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum Im Giok menikah. Baik, akan begitulah jadinya!” Setelah berkata demikian, Kiang Liat meninggalkan dua orang gadis itu dan masuk ke dalam kamarnya.

Semenjak saat itu, sikap Kiang Liat makin pendiam. Jarang sekali ia bicara dengan Im Giok. Kepada Kim Lian, dia sama sekali tidak pernah bicara lagi. Akan tetapi anehnya, mulai saat itu ia makin giat melatih dua orang gadis itu.

Pagi-pagi sekali dia sudah memaksa mereka bangun, berlatih ilmu silat sampai kedua orang gadis itu hampir tidak kuat lagi. Demikian pun pada siang hari, bahkan sering kali pada malam hari. Pendeknya, Kiang Liat sama sekali tidak memberi mereka kesempatan untuk bermalas-malasan.

“Seorang wanita harus kuat, baru aman hidupnya,” katanya di depan dua orang gadis itu. “Kalian harus dapat menerima semua kepandaianku sebelum aku lupa lagi.”

Demikianlah, hampir tiga tahun lamanya Kiang Liat tekun menggembleng puterinya dan muridnya. Susah-payah Im Giok dan Kim Lian mengikuti latihan ini, akan tetapi hasilnya juga luar biasa sekali.

Im Giok secara terpisah sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat yang ditinggalkan oleh Bu Pun Su untuknya, dan ternyata dia memang cocok sekali dengan ilmu silat gubahan Bu Pun Su ini. Gerakannya memang lemas dan indah, sehingga sering kali diam-diam Kiang Liat mengerutkan keningnya karena kalau ia melihat puterinya itu bersilat seperti orang menari dengan mata bersinar-sinar, pipi kemerah-merahan dan bibir tersenyum-senyum, teringatlah ia akan Pek Hoa Pouwsat! Alangkah miripnya anaknya itu dengan Pek Hoa. Benar seperti pernah dikatakan oleh Bi Li isterinya dahulu.

Ada pun Kim Lian, selama tiga tahun ini pun memperoleh kemajuan hebat. Tujuh tahun ia menjadi murid Kiang Liat, akan tetapi yang tiga tahun terakhir ini hasilnya jauh melampaui empat tahun pertama.

Kepandaian Kim Lian kini sudah dapat direndengkan dengan tingkat orang-orang pandai, bahkan sudah hampir menyusul kepandaian Kiang Liat sendiri. Tentu saja ia masih kalah oleh Im Giok yang ternyata bahkan telah melampaui ayahnya sendiri!

Hal ini adalah karena dia mempelajari ilmu silat gubahan Bu Pun Su secara mendalam, sedangkan Kiang Liat hanya menghafal saja agar tidak lupa. Apa lagi Kiang Liat memang hanya bersilat untuk mengajar, sama sekali dia tidak pernah berlatih untuk kemajuan diri sendiri. Bahkan kalau terlalu lama ia bersilat, dada kirinya terasa sakit sekali.

Dia maklum bahwa dirinya sudah mendapat luka di dalam, mendapat penyakit di dalam jantungnya, akan tetapi ia sengaja tidak mau mengobati, tidak mau mencari obat. Tidak jarang dia batuk-batuk darah, akan tetapi semua ini ia sembunyikan dari Im Giok, takut kalau-kalau puterinya akan menjadi gelisah dan berduka karenanya…..

********************

Pada suatu pagi yang indah di musim Chun (Semi)…..

Matahari muncul di angkasa yang bersih sambil tersenyum gembira, disambut dengan segala kehormatan oleh kicau burung dan mekarnya bunga di dalam hutan. Binatang-binatang hutan pun nampak bergembira di saat seperti itu.

Ayam-ayam hutan berkejar-kejaran di atas tanah dan di atas pohon. Kelinci dan tikus melompat ke sana ke mari di antara gerombolan pohon kembang. Kupu-kupu bersayap indah beterbangan dan menari-nari mengelilingi bunga cantik. Seperti kelinci yang tidak takut akan ancaman harimau, kupu-kupu ini pun tak takut akan ancaman burung-burung.

Agaknya pada saat seindah itu, binatang-binatang yang paling buas pun merasa enggan untuk mengotori suasana damai dan tenteram ini dengan pembunuhan terhadap sesama makhluk, walau pun pembunuhan itu berarti mengisi perut yang kosong dan lapar! Atau, apakah kebetulan saja harimau-harimau dan burung-burung itu sudah terlampau kenyang maka mereka tidak mengganggu kelinci dan kupu-kupu?

Mungkin sekali, karena hanya manusia-manusia saja yang masih merasa temaha dan murka dalam kekenyangannya. Lain makhluk tidak ada yang sekejam manusia.

Mendadak terdengar suara tertawa manusia yang nyaring dan merdu, mula-mula sayup sampai kemudian makin jelas datang dari jauh memasuki hutan itu. Terdengarnya suara ketawa semerdu itu memang cocok sekali dengan keadaan hutan yang sangat indah dan gembira menyambut munculnya matahari itu. Kemudian tersusul bunyi derap kaki kuda dan suara ketawa-ketawa gadis remaja.

Kalau orang memperhatikan seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali kenapa mula-mula terdengar suara tawa nyaring baru kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda. Bagaimana suara tawa sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat mengatasi suara derap kaki kuda yang biasanya dapat terdengar sampai jauh? Akan tetapi kalau pendengar tadi adalah seorang ahli silat tinggi, dia akan tahu bahwa suara ketawa tadi dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lweekang dan menggunakan ilmu yang disebut Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh).

Kemudian terdengarlah suara yang bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja, “Sumoi (Adik Perempuan Seperguruan), jangan terlalu cepat! Kau lihat bunga ini, betapa indahnya...!”

Yang bicara ini adalah seorang gadis yang bertubuh agak tinggi langsing dan berwajah cantik. Sepasang matanya luar biasa sekali dan menjadi bagian yang paling indah dari kecantikannya, mata yang bercahaya, bening dan bagus bentuknya. Dia memakai baju warna kuning, celana sutera biru, ikat pinggangnya merah, tangan kiri memegang kendali kudanya yang berbulu coklat, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang cambuk pendek.

Benar-benar seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah sikapnya. Usianya sudah dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah yang sudah masak dan sedap dipandang.

Gadis berbaju kuning ini menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di mana terdapat kembang-kembang warna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyum-senyum memandang bunga-bunga itu dengan kagum, kemudian sekali cambuk pada tangannya digerakkan, cambuk itu lantas meluncur ke arah setangkai bunga putih dan di lain saat setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya.

Lihai sekali dia mainkan cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan membawa kembang itu padanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit pun tidak! Tanda bahwa lweekang-nya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu tertawa-tawa dan kembali berkata,

“Sumoi, lihat alangkah indahnya bunga-bunga ini!”

Kembali cambuk pendeknya bergerak dan pada lain saat setangkai bunga kuning sudah berada di tangan kirinya. Dia memandang dan mencium kedua tangkai bunga putih dan kuning itu, kemudian ia memandang ke arah bunga berwarna merah. Tangan kanan yang memegang cambuk bergerak lagi. Cambuk meluncur ke bawah.

“Tarrr...!”

Tiba-tiba selarik sinar merah melayang dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang lalu terpental melayang ke atas. Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke arah kanan.

“Suci, bunga merah tak boleh sembarang dipetik!” kata dara yang baru datang dan yang menunggang seekor kuda bulu putih.

Kalau orang merasa kagum dan tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis itu, kini dia akan terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau dia melihat gadis yang baru datang ini. Ia jauh melebihi gadis baju kuning dalam segala hal, bahkan kiranya akan jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang pemuda.

Cantik jelita sulit menemukan cacat-celanya. Rambutnya hitam sekali, halus panjang, biar pun digelung secara istimewa di atas kepala dengan hiasan-hiasan dari emas permata, masih saja rambut itu kelebihan, memanjang dan bermain-main di atas punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis yang juga hitam kecil memanjang menghias dua buah mata yang indah, dilindungi oleh butu-bulu mata yang melengkung dan panjang.

Mata itu memang tidak begitu bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan tetapi demikian bening dan jelas terisi api kehidupan yang bagaikan tidak pernah padam, membayangkan semangat yang kuat, ketabahan luar biasa, dan kegembiraan hidup yang sehat. Yang paling mengesankan adalah bibirnya yang berbentuk manis luar biasa, akan tetapi kadang-kadang kulit di bawah bibir, pada lekukan dagu nampak mengeras, tanda bahwa dara ini memiliki hati yang kadang-kadang dapat keras membaja, walau pun dari bibirnya dapat diketahui bahwa hati ini pun dapat melembut mesra, hati seorang wanita sejati.

Gadis ini usianya baru tujuh belas tahun paling banyak, akan tetapi sinar matanya sudah menunjukkan kematangan jiwa, juga bentuk tubuhnya sangat bagus, berisi dan sedang. Tubuh ini tertutup oleh pakaian serba merah, berpotongan indah dan terbuat dari sutera mahal.

Pada pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang berwarna merah pula. Inilah sinar yang tadi menangkis cambuk gadis baju kuning mencegah cambuk gadis kuning itu memetik bunga merah.

“Sumoi, kenapa kau mencegah aku memetik bunga?” tanya gadis baju kuning, keningnya berkerut tanda tak senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat seakan-akan ia takut terhadap gadis baju merah yang menjadi adik seperguruannya itu.

“Suci, apakah kau tidak melihat warna bunga itu?”

Nona baju kuning memandang ke arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan berkata, “Aha, Ang I Niocu (Nona Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan dipetik orang!” Ia tertawa lagi dengan sikap genit.

Dara berbaju merah itu pun tertawa dan menjawab, “Giok Gan Niocu, (Nona Bermata Kemala), tidak boleh sembarangan saja orang memetik bunga merah!”

Keduanya tertawa gembira. Nona baju juning itu lalu melemparkan bunga putih ke arah sumoi-nya yang tidak mengelak atau menyambut, dan bukan main... bunga itu dengan tepat sekali menancap di atas kepala sebelah kiri, menjadi penghias rambut seolah-olah ditancapkannya dengan tangan. Dari sini saja dapat dibuktikan betapa hebat dan tinggi kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning itu.

“Terima, kasih, Suci. Terima kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci.”

“Aku lebih suka yang kuning ini,” dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga kuning di atas rambutnya, menambah kecantikannya.

Siapakah dua orang gadis yang seperti bidadari ini? Dara-dara jelita yang selain cantik remaja menarik hati, juga memiliki kepandaian istimewa? Dara baju merah itu bukan lain adalah Kiang Im Giok yang semenjak ikut dengan Pek Hoa Pouwsat memang suka sekali mengenakan pakaian merah dan oleh orang-orang di kota Sian-koan mendapat sebutan Ang I Niocu.

Ada pun dara baju kuning itu bukan lain adalah Song Kim Lian, anak yatim piatu yang menjadi murid Kiang Liat. Karena gadis ini mempunyai sepasang mata yang luar biasa seperti kemala, maka para pemuda kota Sian-koan menghadiahi julukan Giok Gan Niocu.

Bagi para penduduk Sian-koan, sepasang dara ini sudah amat terkenal, terutama sekali bagi para pemudanya. Biar pun Im Giok lebih cantik dan hal ini diakui oleh semua orang, tetapi para pemuda di kota Sian-koan lebih suka mendekati Kim Lian, karena tak seorang pun berani main-main terhadap Im Giok yang terkenal amat angkuh dan galak terhadap pria.

Kalau dua orang gadis ini tidak menghendaki, siapakah berani memaksa dan main-main terhadap mereka? Semua orang tahu bahwa kepandaian sepasang dara ini amat tinggi, bahkan ada yang berani menyatakan bahwa kepandaian mereka sudah lebih tinggi dari pada kepandaian Jing-jiu-sian Kiang Liat sendiri!

Akan tetapi Kim Lian tidak seperti Im Giok, dan inilah yang membikin senang dan gembira hati para pemuda-pemuda yang tampan, juga kadang-kadang gadis baju kuning bermata intan ini suka melayani mereka bicara sebentar apa bila bertemu di jalan. Oleh karena ini, semua pemuda kota Sian-koan seakan-akan berlomba untuk merebut hati Giok Gan Niocu, sedangkan terhadap Ang I Niocu mereka tidak berani berlagak.

Im Giok memang berwatak keras, terutama menghadapi para pemuda ia sama sekali tidak pernah sudi memberi hati. Ia pernah mengalami perlakuan kasar dan menghina dari Kam Kin, dan hal ini cukup membuat gadis ini memandang rendah kaum pria. Apa lagi karena di dalam pandangannya, di kota Sian-koan, tidak ada seorang pun pemuda yang patut mendapatkan perhatiannya!

Sebaliknya, Kim Lian sering kali mempercakapkan tentang pemuda-pemuda tampan dan pandai di kota Sian-koan yang didengar oleh Im Giok dengan senyum mengejek. Di pihak para pemuda, banyak berlancang mulut menyatakan bahwa Kim Lian adalah kekasihnya.

Telah dituturkan pada bagian depan betapa Kiang Liat lebih banyak merendam diri dalam lamunan dan kenangan akan isterinya, dan hubungannya dengan puteri serta muridnya hanya apa bila ia melatih ilmu silat mereka. Selebihnya, Im Giok dan Kim Lian bertindak sekehendak hati sendiri.

Pelayan banyak, uang ada, segalanya lengkap. Akan tetapi, untungnya Im Giok adalah seorang gadis yang pandai mengatur rumah tangga pengganti ayahnya. Bahkan Kim Lian yang wataknya binal dan tidak mau tunduk terhadap siapa pun kecuali terhadap gurunya, patuh juga menghadapi Im Giok.

Tidak jarang kedua gadis ini keluar rumah berjalan-jalan atau menunggang kuda kalau keluar kota, untuk pesiar. Bahkan beberapa kali mereka mengunjungi jago-jago silat di kota lain untuk minta petunjuk atau kasarnya untuk menguji kepandaian! Dan setiap kali mereka mengunjungi seorang guru silat, pasti guru silat atau jago silat itu roboh baik oleh Im Giok mau pun oleh Kim Lian! Oleh karena inilah maka sebentar saja nama Ang I Niocu terkenal sampai jauh di luar kota.

Pada pagi hari itu, untuk menyambut datangnya musim Chun, dua orang dara ini pergi meninggalkan kota Sian-koan, menunggang kuda berpesiar ke dalam hutan yang indah itu. Hutan ini belum pernah mereka datangi karena letaknya memang jauh, kurang lebih lima puluh li dari Sian-koan, terletak di lereng pegunungan yang kaya akan hutan-hutan indah.

Seperti biasa, mereka bergembira-ria, terbawa oleh suasana yang indah dan damai di dalam hutan itu.

“Ayah telah berkata benar,” kata Ang I Niocu sambil duduk di atas kuda dan memandang ke kanan kiri, “indah sekali keadaan hutan ini waktu pagi. Pantas saja Ayah menyuruh kita berangkat sebelum fajar agar dapat pagi-pagi sampai di sini.”

“Suhu memang sudah banyak pengalaman, sudah menjelajah ke seluruh pelosok. Aku ingin sekali berkelana seperti yang pernah dilakukan oleh Suhu,” kata Giok Gan Niocu Song Kim Lian.

“Mengapa tidak? Aku pun ingin sekali merantau jauh di propinsi-propinsi lain, Suci. Kalau teringat akan guruku Pek Hoa Pouwsat, aku ingin sekali mencari dia.”

“Kau ingin mencoba kepandaian bekas gurumu sendiri?” tanya Kim Lian.

“Tidak hanya mencoba, bahkan aku harus merobohkannya. Dialah yang menyebabkan ibuku meninggal dunia dan ayahku selalu berduka. Dia adalah musuh besarku yang mesti kubunuh!” kata Im Giok dengan suara gemas, akan tetapi hatinya perih kalau ia teringat betapa ia amat kagum dan cinta kepada gurunya itu.

“Mengapa tidak sekarang saja kau pergi mencarinya? Aku suka membantumu, Sumoi, biar pun kepandaianku tidak ada artinya.”

Im Giok menarik napas panjang. “Tak mungkin. Aku tidak mau pergi meninggalkan Ayah. Aku tidak tega, dia kelihatan selalu bersedih...”

Wajahnya yang cantik menjadi muram dengan mendadak. Juga Kim Lian mengerutkan sepasang alisnya yang hitam seperti dicat.

Tadi ketika mereka bergembira dan bercakap-cakap, mereka kurang memperhatikan hal lain. Sekarang setelah keduanya berdiam diri, telinga mereka segera menangkap suara yang mencurigakan. Sayup sampai terdengar bentakan-bentakan dan derap kaki kuda. Ang I Niocu Kiang Im Giok mendengar terlebih dahulu, karena memang telinganya lebih terlatih.

“Suci ada terjadi sesuatu di sebelah timur hutan ini,” katanya.

Kim Lian memiringkan kepalanya, penuh perhatian. “Benar, Sumoi. Ada orang berteriak minta tolong. Mari kita ke sana.”

Akan tetapi Im Giok sudah membedal kudanya dan di lain saat kedua orang dara itu telah membalapkan kuda masing-masing menuju ke timur. Mereka seakan berlomba, akan tetapi apa bila biasanya mereka berlomba sambil tertawa, kini mereka berlomba dengan kening berkerut dan sikap garang.

Selain berkepandaian silat tinggi, mereka juga ahli menunggang kuda, maka sebentar saja mereka telah tiba di tempat terjadinya peristiwa yang sampai di telinga mereka tadi. Dan apa yang mereka lihat di situ membuat dua orang dara itu menjadi merah mukanya saking marahnya.

Ternyata bahwa serombongan orang yang jumlahnya dua puluh lebih, berpakaian seperti tentara, sedang menghajar dan membunuhi serombongan orang-orang yang membawa buntalan seperti orang-orang sedang mengungsi. Rombongan orang-orang ini terdiri dari lima orang kakek dan tujuh orang muda yang pakaiannya seperti pelajar-pelajar lemah.

Keadaan di tempat itu mengerikan sekali. Semua anggota rombongan pengungsi itu telah menggeletak mandi darah, ada yang masih berkelojotan menghadapi maut.

Akan tetapi yang mengagumkan sekali, di sana terdapat seorang pemuda pelajar yang sedang melawan mati-matian. Mulutnya tak pernah mengeluarkan keluhan, sungguh pun tubuhnya sudah penuh luka. Ia menggunakan sebatang tongkat untuk membela diri dan sungguh pun gerakannya menandakan bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, akan tetapi agaknya dia memiliki keberanian besar sehingga dengan nekat dia masih dapat melawan dan melindungi diri.

Akan tetapi tentu saja dia bukan lawan serdadu-sedadu yang terlatih itu, karena itu dia dibuat permainan, sengaja tak dibunuh dulu, hanya dipukul sana-sini sambil ditertawakan. Ada pula sebagian tentara yang sedang mengumpulkan bungkusan yang tadinya dibawa oleh para pengungsi itu, mencari-cari barang berharga.

“Anjing-anjing hina dina!” Terdengar Giok Gan Niocu Song Kim Lian berseru keras dan tubuhnya sudah melayang turun dari kuda.

Bagai seekor harimau betina dia menerjang dan robohkan dua orang yang tadinya berdiri bengong melihat kedatangan dua orang bidadari ini. Kim Lian segera merebut sebatang pedang yang tadi dipegang oleh dua orang ini dan sekali babat putuslah leher dua orang itu.

Keadaan menjadi geger. Semua serdadu ini memandang dan mereka yang tadi sedang mengumpul-ngumpulkan barang, kini menerjang Kim Lian.

“Keparat jahanam, kalian harus dibasmi!” Terdengar bentakan halus lain dan nampaklah sinar merah menyambar ke sana ke mari, lalu sinar merah ini menerjang mereka yang sedang mempermainkan pemuda itu. Lima orang roboh tak bangun lagi karena mereka menjadi korban pedang di tangan Ang I Niocu Kiang Im Giok!

Pemuda itu entah saking lelahnya, entah saking girangnya mendapat bantuan, atau entah saking kagum dan herannya melihat melihat seorang dara baju merah sedemikian gagah dan cantik jelitanya, tiba-tiba lenyap semua daya dan semangatnya untuk melawan dan lemaslah ia, lalu terduduk dengan mata bengong.

Im Giok beserta Kim Lian mengamuk garang. Dalam beberapa jurus saja belasan orang serdadu menggeletak dalam keadaan luka berat. Yang mengagumkan adalah Im Giok. Pedangnya berkelebatan dan setiap jurus pasti pedang itu merobohkan seorang lawan. Akan tetapi tak pernah Im Giok menewaskan lawannya, dia hanya merobohkannya saja. Berbeda dengan Im Giok, orang yang roboh oleh pukulan Kim Lian pasti tak akan dapat bangun lagi untuk selamanya!

Menghadapi amukan dua orang dara yang datang secara tiba-tiba ini, rombongan tentara itu tidak kuat bertahan lagi. Mulailah mereka yang belum roboh lari pontang-panting dan sebagian pula berteriak-teriak keras,

“Kam-ciangkun...! Tolonglah kami...”

“Suci, sudahlah jangan mengejar mereka lagi,” Im Giok mencegah Kim Lian yang hendak mengejar terus.

Kim Lian tidak puas, akan tetapi dia tidak membantah dan menghentikan pengejarannya. Pada waktu dua orang dara ini memandang, ternyata bahwa amukan mereka tadi telah menghasilkan robohnya enam belas orang lawan, yang enam orang tewas dan sepuluh lannya terluka.

Akan tetapi ketika mereka memperhatikan, ternyata bahwa rombongan pengungsi tadi sebanyak dua belas orang, sebelas orang sudah tewas. Hanya pemuda sastrawan yang tabah tadi saja masih hidup. Tubuhnya penuh darah, akan tetapi luka-lukanya ringan dan ia masih duduk bengong telongong memandang ke arah Im Giok dan Kim Lian.

Melihat betapa semua serdadu dapat dikalahkan oleh dua orang dara yang luar biasa itu, si Sastrawan muda lalu memaksa diri berdiri, berjalan terhuyung-huyung menghampiri Im Giok dan Kim Lian, kemudian menjura dengan tubuh gemetar saking lemah dan merasa sakit-sakit.

“Ji-wi-lihiap sungguh gagah... sayang kedatangan Ji-wi terlambat sehingga mereka ini...” dia menengok ke arah kawan-kawannya yang menggeletak tak bernyawa lagi, “mereka ini... tak tertolong lagi...” Pemuda itu menjadi pucat dan nampak berduka sekali.

“Akan tetapi kami masih dapat menolongmu,” kata Kim Lian sambil memandang dengan mata bersinar-sinar.

Juga Im Giok baru sekarang melihat betapa tampan dan cakapnya wajah pemuda yang berdiri di depannya itu. Tadi dalam keributan ia tidak memperhatikan, akan tetapi baru sekarang ia melihat dan ia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang mempunyai wajah demikian tampan dan menarik hati.

Juga tadi ia sudah membuktikan bahwa semangatnya besar, tabah dan kini dibuktikannya lagi bahwa pemuda ini berjiwa besar. Dalam keadaan sengsara itu, ia tidak memikirkan keadaan dirinya sendiri, bahkan menyayangkan bahwa kawan-kawannya tidak tertolong. Juga bicaranya demikian sopan-santun, lemah-lembut dan ketika bicara, matanya tidak memandang kurang ajar seperti semua laki-laki yang pernah dijumpainya! Hati Im Giok berdebar aneh.

Mendengar kata-kata Kim Lian, pemuda itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih.
“Sungguh pun aku sangat berterima kasih kepada Ji-wi-lihiap atas pertolongan yang telah menyelamatkan nyawaku yang tak berharga, akan tetapi apakah artinya seorang seperti aku tertolong kalau mereka ini tewas? Aku seorang yatim piatu tiada guna, lemah dan tak dapat melindungi mereka ini... sebaliknya mereka ini... ah, keluarga mereka menanti, dan alangkah akan hancur hati keluarga mereka kalau tahu akan mala petaka ini...”

Bicara sampai di situ, pemuda itu semakin pucat. Ia telah kehilangan banyak darah dan semenjak tadi tubuhnya yang tidak terlatih itu sudah terlalu banyak menahan rasa nyeri dari luka-lukanya. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi kepalanya pening, kedua kakinya lemas dan pandang matanya gelap. Akhirnya ia terguling dan tentu akan roboh kalau Kim Lian tidak cepat-cepat melangkah maju dan memeluknya!

“Suci...!” Im Giok menegur dengan muka berubah merah ketika dia melihat bagaimana suci-nya memeluk tubuh seorang pemuda demikian erat dan mesranya. Ia merasa jengah dan juga... panas!

“Sumoi, dia patut dikasihani, dia bersemangat gagah namun lemah...” Kim Lian membela diri sambil tersenyum, lalu secara perlahan ia merebahkan pemuda itu di atas tanah.

Im Giok mengambil botol arak dari atas punggung kudanya dan dengan cekatan ia cepat meminumkan sedikit arak kepada pemuda yang masih pingsan itu. Kemudian, sesudah memeriksa beberapa luka yang agak banyak mengeluarkan darah, tanpa rasa sungkan-sungkan lagi ia lalu menotok jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah.

Kim Lian memandang semua ini dengan senyum berarti. Belum pernah selamanya dia melihat sumoi-nya berlaku demikian sopan dan teliti terhadap seorang pemuda!

“Sumoi, lihat siapa yang datang itu!” tiba-tiba Kim Lian berkata sambil berdiri.

Im Giok juga mendengar suara derap kaki yang berlari mendatangi, maka ia pun cepat melompat berdiri, tidak sempat lagi memperhatikan pemuda itu yang sudah siuman dan perlahan bangun duduk dengan tubuh masih lemas.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)