PENDEKAR SAKTI : JILID-03


Kwan Cu memandang dan dia melihat tiga orang yang telah dikenalnya dua tahun lalu. Mereka itu adalah orang-orang yang pernah membujuk kepada Loan Eng untuk menjadi pangcu dari Sin-to-pang, akan tetapi kemudian ditolak oleh Loan Eng, bahkan seorang di antaranya telah dipukul jatuh. Diam-diam Kwan Cu berkhawatir dan tanpa terasa lagi dia lalu berjalan menghadang di depan Sui Ceng.

“Toanio tidak ada di rumah, harap Sam-wi datang lain kali saja,” kata Kwan Cu kepada mereka.

“Ha-ha-ha, kau bukankah budak pengemis dulu itu? Aku sudah tahu kalau Toanio tidak ada, tak usah kau banyak buka mulut!” Seorang di antara mereka membentak dan sekali lagi mengulur tangan, dia telah memegang tangan Kwan Cu, lantas mendorong anak itu sehingga roboh terguling.

“Kau manusia busuk!” Sui Ceng dengan marah sekali memaki. “Kau berani menjatuhkan Kwan Cu? Kupukul kepalamu!” Sambil berkata demikian Sui Ceng menyerang dengan kepalan tangannya yang kecil!

Akan tetapi, dengan mudah saja orang itu menangkap tangan dan sekali tarik, Sui Ceng sudah berada dalam gendongannya dan kedua tangan anak itu dipegang dalam sebuah tangan tanpa dapat bergerak lagi.

“Lepaskan dia! Lepaskan adik Ceng!”

Kini Kwan Cu sudah melompat bangun, menerjang dalam usahanya hendak merampas kembali Sui Ceng.

Akan tetapi, kembali sebuah dorongan membuat dia jatuh jungkir-balik. Sungguh heran tiga orang itu, karena begitu di dorong jatuh, anak gundul itu segera melompat berdiri lagi dan kembali mencoba untuk merampas Sui Ceng!

“Lepaskan adik Ceng!” serunya berulang-ulang sambil dengan nekat dia mencoba untuk merebut anak itu.

Sui Ceng juga berseru-seru, “Kwan Cu, tolonglah aku…!”

Sebuah tendangan mengenai kaki Kwan Cu sehingga membuat anak itu terlempar jauh, lalu jatuh mengeluarkan suara berdebuk. Akan tetapi, seperti tidak merasakan sesuatu, anak gundul itu telah bangun kembali dan mengejar!

Orang tertua di antara ketiga orang itu, yang berjenggot kasar, memukul kepala Kwan Cu. Anak ini tidak pernah belajar silat, akan tetapi perasaannya memperingatkan bahwa kalau sampai kepalanya sampai kena terpukul, mungkin dia akan binasa. Maka dia cepat miringkan kepalanya dan sebaliknya yang terkena pukulan adalah pundaknya.

“Bukkk!”

Orang itu terkejut sekali karena seperti memukul bantal kapuk saja, dan biar pun Kwan Cu kembali jatuh berguling-guling bagaikan bola ditendang, namun dia segera melompat kembali dan berteriak-teriak menuntut supaya Sui Ceng dilepaskan!

“Twako, kita tinggalkan anak setan itu!” orang yang memondong Sui Ceng berkata sambil melompat pergi, diikuti oleh dua orang kawannya.

“Lepaskan adik Ceng...!” Kwan Cu mengejar.

Kembali tiga orang itu terkejut bukan main karena melihat betapa anak gundul itu dapat berlari cepat! Memang selama dua tahun ini, yang dengan tekun dipelajari oleh Kwan Cu selain ilmu membaca dan menulis, adalah berlari cepat dan tanpa disadarinya dia melatih ginkang dan lweekang! Oleh karena dia telah mempunyai tenaga lweekang, dibantu daya luar biasa dari buah ular yang dahulu dia makan dengan terpaksa oleh Tauw-cai-houw, maka semua tendangan, pukulan, dan dorongan itu biar pun membuat dia jatuh bangun, namun tidak melukainya!

Tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng berlari terus memasuki hutan dan ketika mereka menengok, mereka tidak melihat Kwan Cu lagi. Mereka tertawa girang dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ke tengah hutan.

Tiga orang ini tidak mengira bahwa diam-diam Kwan Cu mengikuti mereka. Tadi ketika dia mengejar, dia sendiri merasa heran karena ternyata dalam hal berlari cepat, dia tidak kalah oleh ketiga orang itu! Bahkan kalau dia mau, agaknya dia akan dapat berlari lebih cepat lagi!

Kemudian, saat ketiga orang itu memasuki hutan, Kwan Cu mendapat pikiran yang amat baik. Apa bila dia terus menerus mengejar, seandainya dia dapat menyusul mereka, apa gunanya? Ia tidak akan dapat menolong Sui Ceng, dan ini tidak berarti apa-apa.

Lebih baik dia mengejar dan mengintai secara diam-diam supaya dia tahu ke mana Sui Ceng dibawa sehingga kemudian dia dapat memberitahukan kepada Loan Eng, ibu dari anak itu. Cara ini lebih tepat karena kalau sampai dia dapat membawa Loang Eng datang menyusul mereka, apa sih sukarnya merebut kembali Sui Ceng?

Demikianlah, ketika tiga orang itu sudah tiba di tempat persembunyian mereka, yakni di dalam sebuah rumah bambu di tengah hutan itu, dan ketika Kwan Cu melihat Sui Ceng dibawa masuk ke sana, anak itu cepat-cepat berlari keluar dari hutan, kembali ke dusun Tun-hang.

Tak seorang pun di dusun itu tahu mengenai penculikan ini, dan keadaan di dalam dusun tetap aman seperti biasa. Kwan Cu masuk ke dalam gedung dan ketika pelayan-pelayan bertanya di mana adanya Sui Ceng, dengan tenang Kwan Cu menjawab,

“Adik Ceng dibawa lari oleh tiga orang Sin-to-pang, tetapi harap kalian jangan ribut-ribut, kita menunggu saja sampai Toanio pulang.”

Akan tetapi, dua orang wanita pelayan itu tentu saja tidak mau diam dan mereka segera mewek-mewek dan sesambatan memanggil-manggil Sui Ceng. Dengan sebal sekali lalu Kwan Cu keluar dan duduk di halaman depan menanti kembalinya Loan Eng.

Siang hari itu juga Loan Eng datang membawa bungkusan besar berisi barang-barang belanjaan dari kota. Segera dua orang pelayan wanita itu berlari-lari dari dalam sambil menangis.

“Toanio... Toanio…” kata mereka megap-megap menahan tangis.

“Diam kalian!” Kwan Cu membentak marah sehingga dua orang pelayan itu terkejut.

“Kau... kau setan cilik!” Pelayan itu memaki. “Nona majikan diculik orang, tetapi kau tidak bersusah sedikit juga pun!”

Akan tetapi, pada saat mendengar ini, Loan Eng seketika menjadi pucat dan memegang pundak Kwan Cu.

“Apa yang terjadi?” tanyanya. Biar pun mukanya pucat, wanita gagah ini masih bersuara tenang.

“Teecu sedang bermain-main dengan adik Ceng di pekarangan depan ketika tiga orang pengurus Sin-to-pang yang dahulu, dua tahun lalu, pernah menjumpai Toanio di jalan itu datang. Tanpa banyak bicara lagi mereka langsung membawa pergi adik Ceng. Teecu mencoba untuk merebut kembali, akan tetapi teecu dipukul jatuh bangun.”

“Bohong dia! Anak ini tidak susah sedikit pun, mana dia berani mencoba menolong?” Pelayan yang seorang berkata.

“Tutup mulutmu dan pergi ke belakang!” Loan Eng membentak dan dua orang pelayan itu dengan ketakutan pergi kebelakang sambil menyusut air mata.

“Lanjutkan ceritamu, Kwan Cu,” kata Loan Eng.

“Ketiga orang itu membawa adik Ceng keluar dusun dan teecu terus mengikuti mereka.”

“Bagus! Ke mana mereka membawa Ceng-ji?”

Loan Eng percaya penuh atas keterangan ini karena maklum bahwa anak ini mempunyai ginkang yang cukup tinggi dan tanpa disadari oleh anak itu sendiri, dia sudah memberi pelajaran ilmu lari cepat Chou-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput).

“Mereka membawa adik Ceng ke dalam hutan di sebelah timur dusun. Di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah gubug, di sanalah adik Ceng di bawa masuk, lalu teecu cepat berlari pulang untuk memberi tahu kabar kepada Toanio.”

“Bagus, Kwan Cu. Mari kita kejar mereka!” Sambil berkata demikian, nyonya ini segera memegang tangan Kwan Cu dan berlarilah ia cepat sekali.

Baiknya Kwan Cu sudah mempelajari ilmu ginkang sehingga sungguh pun masih juga ia terseret, namun dia juga masih dapat menggunakan kedua kakinya untuk ditotolkan pada tanah dan membantu tenaga tarikan itu sehingga mereka maju pesat sekali.

Pada saat melihat Loan Eng berlari-lari cepat sambil menarik tangan Kwan Cu, beberapa penduduk dusun menjadi terheran-heran, maka bertanyalah mereka kepada kedua orang pelayan yang lalu bercerita sambil menangis tentang diculiknya Sui Ceng. Dalam sekejap mata gemparlah dusun itu.

Ketika melihat bahwa Kwan Cu dapat mengimbangi larinya dengan menotolkan kakinya pada tanah, diam-diam Loan Eng menjadi kagum dan senang melihat kemajuan anak ini. Akan tetapi pada saat itu dia sedang merasa gelisah dan marah karena terculiknya Sui Ceng, maka dia tidak berkata sesuatu. Karena Loan Eng berlari cepat sekali, sebentar saja mereka telah sampai di dalam hutan itu dan Kwan Cu lalu menunjuk ke arah gubug yang berada di tengah hutan.

Ketika Loan Eng tiba di tempat itu, dia terkejut sekali karena gubug itu sudah dijaga oleh sedikitnya lima puluh orang yang semuanya diikat sapu tangan putih kepalanya. Ia tahu bahwa mereka ini adalah anggota-anggota Sin-to-pang, karena memang sejak suaminya tewas, semua orang itu mengikat kepalanya dengan kain putih tanda berkabung!

Akan tetapi Loan Eng tidak merasa gentar dan segera maju menghampiri. Tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng cepat berlari maju, menyambut dengan penuh penghormatan.

“Thio-toanio sudah datang untuk menyambut Bun-siocia. Harap menerima penghormatan kami,” berkata orang yang berjenggot kasar kepada Loan Eng sambil menjura.

Kemudian dia memberi aba-aba dan ketika Loan Eng memandang, dia melihat puluhan orang anggota itu mencabut golok yang dipalangkan di depan dada. Diam-diam nyonya janda ini terharu juga karena ia tahu karena inilah penghormatan dari Sin-to-pang seperti yang biasa dilakukan mereka kepada mendiang suaminya!

“Aku bukan apa-apa, bukan pengurus bukan pula anggota Sin-to-pang, untuk apa segala penghormatan itu? Aku datang mengambil kembali Ceng-ji dan hendak bertanya kenapa kalian berani mati sekali menculiknya?”

“Toanio, kami sedang melakukan upacara pengangkatan ketua. Bun-siocia telah menjadi pilihan kami untuk menggantikan ayahnya sendiri, mengapa kami dianggap menculik?”

“Apa katamu?” Mata Loan Eng terbelalak kaget. “Ceng-ji kalian angkat menjadi ketua?”

“Benar, Toanio. Di dalam dunia ini selain Toanio dan Bun-siocia, tak ada lagi orang yang lebih berhak menjadi ketua Sin-to-pang. Dan oleh karena Toanio menolak, maka pilihan kami jatuh pada Bun-siocia.”

“Kalian gila! Lepaskan anakku Ceng-ji apa bila kalian tidak ingin melihat aku mengamuk. Anak baru berusia enam tahun bagaimana bisa menjadi ketua Sin-to-pang?”

“Tidak bisa dibawa sekarang, Toanio. Kau sendiri pasti sudah tahu bahwa dalam upacara pengangkatan kepala perkumpulan kami, tidak boleh diganggu. Ada pun mengenai usia, kami dapat cukup bersabar untuk mendidik Bun-siocia dan sementara ini kami sanggup mewakilinya.”

“Kurang ajar!” Loan Eng menggerak-gerakkan pedang dengan sikap mengancam sekali. “Kau mau membebaskan dia atau tidak?”

“Toanio, kau lihat sendiri. Bun-siocia sedang melakukan sembahyang untuk pengangkatan itu,” kata seoarang di antara tiga orang pemimpin sin-to-pang itu.

Loan Eng memandang ke arah rumah gubuk itu dan benar saja. Dia melihat beberapa orang hwesio tengah melakukan upacara sembahyang untuk mengambil sumpah kepada Sui Ceng yang diangkat menjadi ketua Sin-to-pang.

Loan Eng meloncat ke depan pintu dan di sana dia melihat Sui Ceng sedang berlutut di depan meja sembahyang di mana terpasang gambar mendiang suaminya, Bun Liok Si yang tewas dalam tangannya sendiri! Loan Eng tertegun dan berdiri bagaikan patung. Sementara itu, Sui Ceng sudah mendengar suara ibunya tadi, maka kini dia menengok. Ketika melihat ibunya, dia berseru girang.

“Ibu, aku telah berada di antara kawan-kawan ayah!” Sui Ceng menunjuk ke arah gambar ayahnya. ”Lihat, itu dia ayah dan sekarang aku diangkat menjadi pengganti ayah!”

Hati Loan Eng tergetar. Memang dia selalu membohongi anaknya itu tentang ayah anak itu. Dikatakan selalu bahwa ayahnya telah pergi jauh sekali, naik perahu menyeberangi laut.

“Ceng-ji…” katanya perlahan dan ia hendak menyerbu ke dalam gubuk, namun tiba-tiba tiga batang golok menghadang di depannya.

“Toanio, puterimu sudah memilih jalannya. Dia telah diambil sumpahnya maka sekarang dia telah menjadi Bun-siauw-pangcu (ketua Bun cilik), dan harap kau jangan menggangu Pangcu kami!”

“Bangsat, aku adalah ibunya!” Loang Eng berseru sambil meloncat kembali ke halaman depan gubuk itu yang lebar.

Loan Eng maklum kalau terjadi pertempuran, ia akan dikeroyok oleh banyak orang. Maka ia harus mencari tempat yang lebar dan luas agar pergerakannya lebih leluasa.

“Thio-toanio, mendiang Bun-pangcu adalah ayahnya! Dan dia sekarang adalah Pangcu kami, tak seorang pun boleh mengganggu!”

“Pengangkatan ketua secara paksa. Ah, tak salah lagi orang-orang ini pasti sudah miring otaknya! Sungguh banyak sekali orang gila di dalam dunia ini!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring.

Semua orang, termasuk juga Loan Eng, lalu menengok ke arah suara itu. Ternyata yang bicara tadi adalah Kwan Cu yang kini sudah nongkrong di bawah pohon dan sejak tadi memperhatikan peristiwa yang terjadi di depan matanya.

Tiga orang pemimpin Sin-to-pang itu memandang pada Kwan Cu dengan mata mendelik. Mereka sangat mendongkol karena dimaki gila, juga dapat menduga bahwa Loan Eng dapat menemukan tempat mereka tentu atas petunjuk bocah gundul itu. Akan tetapi pada saat seperti itu mereka tidak sempat melayani bocah gundul itu.

“Huang-ho Sam-eng (Tiga Pendekar Sungai Kuning), sekali lagi aku bertanya, apakah kalian tidak mau membebaskan Sui Ceng dengan baik-baik sehingga aku tak perlu turun tangan?”

“Itu tidak mungkin, Toanio. Dengan berbuat begitu, berarti kami melanggar sumpah setia kepada mendiang Bun-pangcu!” jawab seorang di antara mereka.

Memang tiga orang pemimpin yang dahulu menjadi pembantu-pembantu Bun Liok Si ini adalah tiga bersaudara yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sam-eng dan mereka ini sudah semenjak mudanya terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman.

“Kalau begitu kalian mencari penyakit sendiri!” bentak Loan Eng.

“Kami siap sedia mengorbankan nyawa untuk Sin-to-pang!”

Loan Eng tidak banyak cakap lagi lalu langsung menggerakkan pedangnya menyerang. Tiga orang itu lalu mengurungnya, merupakan segitiga dan menggerakkan golok mereka menangkis. Pertempuran hebat terjadi dan mata Kwan Cu yang menonton pertempuran itu dari bawah pohon menjadi silau melihat gerakan pedang dari Loan Eng.

Pedang nyonya ini bergerak cepat, berkelebat ke sana kemari laksana kilat menyambar-nyambar. Sebentar saja tiga orang pengeroyoknya menjadi terdesak hebat. Akan tetapi, benar seperti kata-kata mereka tadi, mereka melawan secara nekat serta mati-matian, bertekad akan melawan sampai titik darah terakhir dalam membela perkumpulan mereka.

Sebagai keturunan langsung dari Bun Liok Si, pengangkatan Sui Ceng menjadi ketua perkumpulan sangat diperlukan untuk menjaga perkumpulan yang sudah bertahun-tahun menduduki tempat yang baik di dunia kang-ouw itu. Sejak Bun Liok Si tewas, semangat para anggota menjadi lemah dan perkumpulan itu terancam keruntuhan.

Biar pun dia sendiri tidak suka belajar ilmu silat yang dianggapnya sebagai sebagai ilmu memukul dan membunuh orang, namun melihat cara Loan Eng menggerakkan pedang menghadapi ketiga orang pengeroyoknya itu membikin Kwan Cu menjadi gembira dan kagum sekali. Ia menonton dengan sepasang matanya bersinar-sinar, dan dengan penuh perhatian dia melihat betapa sinar pedang nyonya itu mengurung tiga pengeroknya.

Benar-benar sangat mengherankan hatinya. Sudah jelas bahwa nyonya itu dikurung dan dikeroyok oleh tiga orang, akan tetapi kenapa sinar pedangnya bahkan dapat mengurung serta mengancam tiga pengeroyoknya?

Memang ilmu pedang keluarga Thio sangat hebat. Hal ini dapat dirasakan oleh Huang-ho Sam-eng, dan dengan diam-diam mereka juga kagum sekali. Tidak aneh apa bila ketua mereka dulu tewas dalam tangan nyonya ini.

Mereka bertiga sudah menerima pelajaran ilmu golok langsung dari Bun Liok Si, dan di kalangan kang-ouw kepandaian main golok dari tiga pendekar Sungai Huang-ho ini telah terkenal sekali. Akan tetapi sekarang ketika menghadapi Loan Eng, mereka benar-benar terdesak hebat dan tidak dapat menyerang karena mereka tidak sempat.

Pedang Loan Eng bergerak cepat sekali. Tiap kali tertangkis oleh sebatang golok, maka pedang itu terpental dan sekaligus membuat serangan lain ke arah pengeroyok yang lain lagi! Juga tubuh nyonya cepat bagikan seekor burung walet menyambar-nyambar, sukar sekali diikuti pergerakannya.

Sementara itu, Loan Eng yang bernafsu keras untuk cepat-cepat menjatuhkan tiga orang lawannya dan segera menolong puterinya, lalu berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya mencelat ke atas. Kaki kanannya digerakkan secara tiba-tiba menendang ke arah golok dari pengeroyok yang berada di depannya.

Terdengar suara nyaring sekali ketika golok di tangan penyerang itu terpukul oleh ujung kaki sehingga pemegangnya merasa kaget bukan main. Bukan sembarang orang berani menendang sebatang golok yang terpegang kuat.

Selagi dia terkejut dan memandang dengan mata terbelalak, Loan Eng sudah memutar pedangnya dan menyerang dua orang yang lainnya. Mereka ini terkejut sekali dan cepat mengelak mundur.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Loan Eng untuk menggerakkan pedangnya ke depan dengan kecepatan yang tak dapat terduga lebih dahulu oleh lawan-lawannya. Terdengar jerit kesakitan, lantas orang itu roboh dengan pundak terluka dan goloknya terlempar dari pegangan.

“Toanio, jangan bunuh orang…!” berkali-kali Kwan Cu berteriak. Teriakan ini ada baiknya karena merupakan peringatan bagi Loan Eng yang sedang marah sekali.

Dengan sangat cepatnya, kembali dia merobohkan dua orang lawannya dengan melukai paha dan lengan mereka, kemudian bagai seekor burung garuda dia melompat ke dalam gubuk itu. Beberapa anak buah Sin-to-pang yang menghadang di pintu, hanya dengan sekali terjang telah dibuat kocar-kacir, jatuh tunggang langgang ke kanan kiri. Betul-betul hebat sepak terjang nyonya yang sedang marah itu, laksana seekor harimau betina yang anaknya diganggu.

“Ibu, jangan ganggu anak buahku!” tiba-tiba Sui Ceng berseru nyaring.

Seruan Sui Ceng ini tidak saja membuat Loan Eng melengak, juga membuat para anak buah Sin-to-pang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut sambil menyebut,

“Bun-siauw-pangcu!”

Loan Eng benar-benar tertegun sekali. Teriakan tadi membuat ia teringat pada mendiang suaminya. Seakan-akan suaminya yang berseru tadi melalui mulut anaknya! Segera naik sedu sedan dalam kerongkongan nyonya itu dan tanpa banyak cakap lagi ia menyambar tubuh Sui Ceng dan dibawanya lari keluar!

Ketika Loan Eng lewat di depan Kwan Cu yang sudah berdiri di bawah pohon, ia berkata, “Kwan Cu, terpaksa aku meninggalkan kau, anak baik! Aku hendak pergi bersama Sui Ceng. Kelak kalau kau bertemu Sui Ceng, pesanku padamu, jagalah dia baik-baik dan bantu dia. Selamat tinggal, Kwan Cu,” sambil berkata demikian, Loan Eng memeluk dan mencium jidat Kwan Cu , lalu pergi cepat sekali sambil menggendong Sui Ceng!

Kwan Cu berdiri bagaikan patung dan mulutnya berkemak kemik, “Aku akan menjaga adik Ceng! Akan kujaga dia baik-baik...” Dan tak terasa pula anak gundul ini menangis dengan air mata mengalir di kedua pipinya.

Anak ini merasa ditinggalkan seorang diri, sekarang kembali sebatang kara, ditinggalkan kepada nasibnya sendiri. Ia tidak berduka, hanya menangis saking merasa terharu saja. Belum pernah dia dikasihi orang seperti nyonya janda tadi dan ciumannya pada jidatnya menghangatkan hatinya. Seakan-akan dia kehilangan seorang ibu!

Dengan kedua kaki lemas anak ini lalu beranjak pergi dari tempat itu. Tetapi baru saja berjalan beberapa langkah tiba-tiba di depannya telah menghadang tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang terluka. Luka-luka mereka hanya luka-luka kulit saja dan sebentar saja mereka telah dapat berdiri kembali. Kini kemarahan mereka tertimpa pada Kwan Cu.

“Anak gundul, kalau bukan kau yang menjadi biang keladi, tak mungkin Thio-toanio dapat merebut kembali anaknya!” kata yang berjenggot kasar.

Ketika tangannya melayang, sebuah tempilingan keras telah melayang ke arah Kwan Cu. Anak ini tentu saja kalah gesit dan…

“Plakkk!” terdengar suara yang keras sekali dan tubuh anak ini jatuh bergulingan.

Ia hanya merasa pening sebentar, akan tetapi tidak merasa sakit, maka dengan cepat dia telah berdiri lagi. Dia memandang kepada tiga orang itu dengan sepasang matanya yang besar dan terbelalak lebar dengan sinar terang.

Pemukulnya menjadi heran sekali. Mengapa anak ini demikian kuatnya sehingga mampu menahan pukulannya? Orang ke dua lalu maju memukul ke arah dada Kwan Cu. Untuk kedua kalinya anak ini jatuh bergulingan di atas tanah dan debu mengebul.

Akan tetapi kembali Kwan Cu bangun lagi dan kelihatannya tidak sakit, sama sekali anak ini tidak mengeluh. Memang dia merasa dadanya sesak karena terkena hawa pukulan, akan tetapi sebuah tenaga yang tak kelihatan seakan-akan mendesak perasaan tak enak ini dari sebelah dalam dan dalam sekejap mata saja rasa sesak itu lenyap lagi!

Sebelum Kwan Cu dapat berdiri tegak, sebuah tendangan dari orang ketiga mengenai lambungnya. Sekarang tubuh anak ini terlempar ke atas dan membentur batang pohon di bawah mana dia tadi duduk. Dengan menerbitkan suara keras tubuhnya tertumbuk pada pohon, lalu jatuh lagi bergulingan. Alangkah kaget dan herannya tiga pemimpin ini ketika melihat Kwan Cu kembali bangkit seperti tak pernah terjadi sesuatu.

Sekarang mereka saling pandang, juga anak buah Sin-to-pang yang sudah berkumpul di sana memandang dengan muka heran. Seorang di antara pemimpin Sin-to-pang itu lalu mengambil goloknya yang tadi terlempar ke atas tanah, kemudian dengan langkah lebar dia mengejar Kwan Cu, lalu mengangkat golok membacok ke arah Kwan Cu!

“Sute, jangan!” seru yang berjenggot kasar mencegah adiknya.

Akan tetapi terlambat, karena golok itu sudah menyambar. Kwan Cu melihat sinar golok dan matanya menjadi silau, maka dia mengangkat tangannya melindungi lehernya. Golok itu membacok lengannya, di bawah siku.

Tetapi anehnya, pembacok itu merasa seperti ada tenaga yang hebat menolak goloknya dan biar pun dia berhasil melukai lengan anak itu, akan tetapi lengan anak itu tidak putus, bahkan goloknya terpental dan terlepas dari pegangannya!

Benar-benar mengherankan sekali hal ini, membuat tiga orang pemimpin itu benar-benar tak mengerti. Melihat gerakan anak ini, jelas bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, buktinya pada saat dipukul, ditendang, dan dibacok, anak itu tidak mengelak atau melawan sama sekali.

Akan tetapi anehnya, semua pukulan dan tendangan tidak melukainya. Malah lengannya kini terbabat golok yang dibacokkan dengan keras, tapi mengapa lengan itu tidak putus, bahkan golok itu yang terlempar? Ketika mereka memandang ternyata bahwa lengan itu mengeluarkan darah banyak juga.

Hal ini sebetulnya tidak terlalu aneh. Tubuh anak ini sudah memiliki tenaga mukjijat dari khasiat buah ular yang dijejalkan ke dalam mulutnya oleh Tauw-cai-houw dan di samping tenaga mukjijat ini. Tanpa disadarinya, Kwan Cu juga telah melatih diri dengan lweekang yang diajarkan oleh Loan Eng. Anak ini tekun sekali melakukan siulian (semedhi), karena itu diam-diam ia telah menampung tenaga lweekang di dalam tubuhnya tanpa dia ketahui sendiri!

Luka pada lengannya terasa perih sekali dan juga lengannya terasa ngilu dan lumpuh. Akan tetapi benar-benar luar biasa daya tahan dari anak gundul ini. Ia hanya menggigit bibirnya dan sama sekali tidak mengeluh.

Sambil mempergunakan tangan kanan untuk mengusap-usap darah yang mengalir dari lengan kirinya, Kwan Cu berkata, “Hmm, Sin-to-pang hanya bisa menculik anak kecil dan melukai anak-anak pula. Apakah ini yang dahulu Bun-pangcu mengajarmu bertindak?”

Mendengar ucapan ini, wajah tiga orang pemimpin Sin-to-pang ini menjadi pucat. Tanpa disengaja, Kwan Cu telah mengingatkan kepada mereka tentang larangan-larangan yang diadakan oleh mendiang Bun Liok Si, di antaranya bahwa semua anggota Sin-to-pang dilarang keras mengganggu wanita, anak-anak, dan orang-orang lemah! Dan kemudian, wajah mereka menjadi makin pucat, sedangkan matanya terbelalak lebar ketika melihat pemandangan yang benar-benar sukar mereka percaya.

Terdengar seruan-seruan dari para anggota Sin-to-pang.

“Aahhh…!”

“Aneh…!”

“Dia seorang anak sin-tong!”

Memang mengherankan. Beberapa kali saja Kwan Cu mengusap luka di lengannya dan setelah darah yang mengering di luar luka itu lenyap, ternyata kulit lengan itu telah halus lagi, tak nampak sedikit pun tanda-tanda bekas luka! Melihat ini, tiga orang pemimpin itu cepat menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh semua anak buah yang berjumlah lima puluh orang!

“Sin-siauwhiap (pendekar sakti cilik), mohon maaf dan mohon petunjuk yang berharga,” kata si jenggot kasar, orang tertua dari Huang-ho Sam-eng.

Benar-benar amat menggelikan, akan tetapi juga mengagumkan betapa Kwan Cu yang diperlakukan seperti ini, dapat berkata dengan sikap bersungguh-sungguh dan tenang, seakan-akan dia memang benar seorang bocah sakti.

“Cu-wi sekalian mengapa begitu ribut-ribut? Nona Sui Ceng sudah bersumpah di depan arwah ayahnya bahwa dia menerima menjadi ketua dari Sin-to-pang, akan tetapi karena dia masih sangat kecil dan belum mempunyai kepandaian, mengapa dia tidak boleh ikut ibunya? Cu-wi melihat sendiri betapa hebat kepandaian Thio-toanio. Jika Siauw-pangcu (Ketua Cilik) belajar silat dari ibunya, bukankah kelak akan menjadi seorang pangcu yang benar-benar baik? Dari pada Cu-wi meributkan halnya calon pangcu itu, lebih baik Cu-wi menjaga supaya perkumpulan Cu-wi tetap berjalan baik dan bersih sehingga kelak kalau Siauw-pangcu datang, Cu-wi takkan dipersalahkan sebagai anggota-anggota yang sudah melanggar kewajiban! Nah, aku sudah bicara, bolehkah sekarang aku pergi?”

Semua orang mengangguk-anggukan kepala tanda setuju. Tidak mengherankan apa bila Kwan Cu dapat berbicara seperti itu, karena selama dua tahun ini memang dia sangat tekun membaca kitab-kitab kuno sehingga dia tahu akan peraturan-peraturan dan filsafat-filsafat! Dasar dia mempunyai otak yang luar biasa, maka apa yang dibaca itu dapat diingatnya dengan amat baik. Bahkan kalau banyak orang dewasa tak dapat menangkap inti sari dari pada kitab-kitab kuno itu, Kwan Cu dengan bakatnya yang luar biasa dapat menyelami arti-artinya!

Kata-kata Kwan Cu itu berkesan dalam hati para anggota Sin-to-pang sehingga mereka ini melakukan kewajiban sebagaimana mestinya sambil menanti-nanti datangnya Siauw-pangcu yang di bawa lari oleh ibunya.

Ada pun Kwan Cu lalu meninggalkan tempat itu, dan untuk kedua kalinya dia berjalan ke mana saja kakinya membawa dirinya, tiada arah tujuan, tiada bekal selain pakaian yang menempel pada tubuhnya…..

********************

Lu Pin, seorang sastrawan yang amat pandai, juga terkenal sebagai seorang ahli pahat atau ahli ukir patung yang luar biasa, berkat jasa-jasanya dalam urusan pemerintahan, telah diangkat menjadi menteri oleh kaisar. Sesuai dengan bakatnya, ia dijadikan menteri urusan kebudayaan, dan karena jasa Lu Pin inilah maka pada masa itu, kebudayaan di Tiongkok dikembangkan serta dipupuk. Seni-seni ukir, seni lukis dan lain-lain mendapat perhatian pemerintah.

Dilihat dari luar, nampaknya penghidupan Menteri Lu Pin ini makmur dan senang. Akan tetapi kalau orang melihat menteri itu duduk di dalam kamarnya seorang diri, orang itu akan melihat betapa menteri yang pandai dan berwatak jujur dan adil ini sering kali duduk termenung dan menghela nafas berulang-ulang.

Pada wajahnya yang bersinar agung dan keningnya yang lebar itu terbayang kemuraman dan kedukaan hati yang besar sehingga biar pun usianya baru empat puluh tahun lebih, namun dia nampak lebih tua. Apakah yang menindih perasaan menteri yang memperoleh kedudukan tinggi ini? Banyak sekali!

Menteri Lu Pin berasal dari keluarga rakyat biasa saja, akan tetapi berkat kemauan besar dan keuletannya, dia dapat melanjutkan pelajarannya sampai mendapat gelar siucai, dan bakatnya yang memang luar biasa membuat dia menjadi seorang satrawan dan seniman yang tinggi kepandaiannya. Akan tetapi pada waktu muda dia sudah banyak menderita, bergaul dengan orang-orang senasib sependeritaan, yaitu seniman-seniman yang hidup terlantar dan tidak mendapat perhatian dari pemerintah.

Kini setelah menjadi menteri, teringatlah dia akan nasib kawan-kawannya, nasib saudara saudaranya yang masih amat sengsara. Oleh karena itu, maka sering kali dia termenung dan bersedih hati.

Yang lebih-lebih membuat hatinya sakit adalah keadaan kakaknya. Di dalam dunia ini dia hanya memiliki kakaknya itu sebagai saudara satu-satunya, karena keluarga lain sudah tidak ada lagi. Akan tetapi berbeda dengan dia, kakaknya ini menuntut penghidupan yang jauh berlainan.

Kakaknya semenjak kecil biar pun bersama dia mempelajari kesusastraan, namun bakat kakaknya bukan di sana letaknya, melainkan dalam ilmu silat! Juga watak kakaknya ini berbeda jauh dengan dia. Kalau Lu Pin bercita-cita tinggi untuk mencapai kedudukan dan kemuliaan, adalah kakaknya itu tidak peduli akan semua ini. Bahkan akhir-akhir ini dia mendengar kakaknya itu merantau bagaikan seorang pengemis jembel! Inilah yang amat mengganggu hatinya, akan tetapi dia tidak berdaya.

Selain memiliki kepandaian tinggi sekali dalam hal ilmu silat, kakaknya juga mempunyai watak yang aneh. Sebelum Lu Pin diangkat menjadi menteri, pernah dia mencari dan bertemu dengan kakaknya. Ketika kakak ini di bujuk-bujuknya untuk mencari kedudukan, baik dalam hal pembesar sipil mau pun militer karena kakaknya mempunyai kepandaian bun (silat), kakaknya bahkan menjadi marah dan memaki-makinya!

“Pin-te (adik Pin), apakah matamu sudah buta? Kalau mata lahirmu buta, tidak mungkin mata batinmu buta pula! Tidak dapatkah kau melihat betapa negara kita ini dipegang oleh orang-orang yang tak patut disebut manusia pula? Tak dapatkah kau melihat kaisar dan seluruh anggota pemerintahan hanyalah orang-orang yang mengutamakan kesenangan belaka, yang melakukan korupsi besar-besaran dan menginjak-injak rakyat sendiri? Apa kau mengajak aku membantu manusia-manusia macam begitu? Cih, lebih baik aku mati saja!” demikian kakaknya ini mengakhiri kata-katanya lalu pergi meninggalkannya.

Memang, sejak kecil kakaknya yang bernama Lu Sin itu beradat keras, tinggi hati, dan kasar. Akan tetapi Lu Pin maklum sedalam-dalamnya bahwa di dunia ini tidak ada orang yang lebih mulia batinnya dari pada kakaknya itu! Inilah hal pertama yang membuat Lu Pin merasa menderita batinnya, walau pun sekarang dia sudah menjadi seorang menteri berkedudukan tinggi dan dimuliakan orang senegerinya.

Masalah kedua yang menekan batinnya adalah rumah tangganya. Menteri Lu Pin hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan puteranya ini pun sudah menikah pula dan telah menjabat sebagai pembesar bagian sipil. Karena rumah Lu Pin besar sekali dan menteri ini tak mau berpisah dari puteranya, dia minta agar supaya puteranya sekeluarga tinggal bersama dia. Akan tetapi puteranya akhirnya pindah juga ke rumah lain karena mantu perempuan selalu bercekcok dengan ibu mertua!

Inilah yang memberatkan hati Menteri Lu Pin. Meski rumah gedung baru milik puteranya itu berada di kota raja pula dan tidak jauh, namun melihat isterinya tidak akur dengan anak mantunya, sungguh merupakan hal yang sangat mengecewakan. Dan karena isteri puteranya adalah puteri dari seorang berpangkat pangeran, tentu saja dia makin merasa tidak enak.

Lu Pin sangat sayang kepada cucu laki-laki yang bernama Lu Thong. Anak ini tampan, bermata lebar, tidak kalah bagusnya dengan putera-putera pangeran, selalu berpakaian mewah dan sangat manja. Kadang-kadang, diam-diam Lu Pin mengakui bahwa cucunya berwatak kurang baik, pemarah seperti ibunya dan pengecut seperti ayahnya, akan tetapi karena dia hanya cucu satu-satunya, maka Lu Pin amat sayang kepadanya. Sering kali menteri ini menyuruh datang cucunya itu, atau bahkan dia sendiri memerlukan datang ke rumah puteranya untuk mengunjungi dan melihat Lu Thong.

Pada suatu hari, ketika kebetulan sedang berada di rumah puteranya, Lu Pin mendengar Lu Thong menangis dan rewel. Ia lalu bertanya dan mendapat jawaban dari puteranya bahwa anak itu rewel sekali minta dipanggilkan guru silat yang pandai karena anak ini ingin belajar ilmu silat!

Menteri Lu Pin menghela napas. Sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang menangis, dia berkata, “Cucuku yang tampan. Kenapa kau ingin mempelajari ilmu kepandaian yang kasar serta mengerikan itu? Dari pada kau memegang golok atau pedang yang hanya akan menimbulkan pertumpahan darah, hatiku akan merasa lebih girang dan tenteram apa bila melihat kau menggerakkan alat tulis membuat syair yang baik atau lukisan yang indah!”

“Tidak, Kongkong, aku ingin belajar silat. Ketika bermain-main, jika berkelahi aku selalu kalah. Aku mau menjadi pendekar, mau menjadi orang gagah yang ditakuti semua orang karena kepandaianku, bukan karena harta dan kedudukan Ayah atau Kongkong!” anak itu merengek-rengek dengan manja.

“Anak manja!” Ayahnya membentak marah-marah. “Apakah kau hendak menjadi seorang petualang yang liar?” kemudian dia menepuk kepalanya sendiri sambil berkata, “Hemm, celaka betul. Agaknya darah Pek-hu (Uwa) yang kotor, darah petualang yang memalukan mengalir pula dalam darah anak ini!”

Tiba-tiba saja menteri Lu Pin memandang puteranya dengan marah. “Tutup mulutmu dan jangan kau berani mengeluarkan kata-kata kotor terhadap Sin-ko (Kakak Sin)!”

Lu Seng Hok, putera dari Lu Pin itu, memandang kepadanya dan menghela napas. “Ayah memang aneh sekali. Pek-hu Lu Sin sudah terang sekali mencemarkan nama keluarga Lu. Ia beberapa kali mengacau, mengganggu pembesar-pembesar tinggi, bahkan pernah mengacau dalam dapur istana menghabiskan makanan kaisar. Bukankah orang seperti itu hanya membikin malu kepada kita saja? Celakanya, banyak orang-orang besar yang mengetahui hubungan kita dengan dia.”

“Sudah, Hok-ji (Anak Kok), jangan kita bicara lagi mengenai Pek-hu-mu itu. Betapa pun juga, dia adalah seorang yang budiman, jauh lebih dari aku atau kau.”

Seng Hok tidak berani membantah ayahnya, akan tetapi di dalam hatinya dia mengejek dan diam-diam dia berkata di dalam hati, “Huhh, manusia macam itu! Jembel tua yang memalukan, kerjanya hanya mengacau mengandalkan silatnya.” Kemudian, karena tidak berani membantah ayahnya, dia menimpakan kemarahannya kepada anaknya, yang lalu dimaki-maki lagi.

“Kau tak perlu membuka mulut minta belajar silat lagi. Pendeknya, kau tidak boleh belajar silat!”

Akan tetapi kini perhatian Lu Thong menjadi tertarik pada saat mendengar nama Lu Sin disebut-sebut. “Kongkong, apakah kakek Lu Sin itu benar-benar lihai ilmu silatnya? Aku pernah mendengar orang bilang bahwa seluruh bala tentara kerajaan tidak akan dapat menangkap dan melawan dia.”

Menteri Lu Pin mengangguk-angguk sambil memeluk cucunya yang terkasih.

“Cucuku, kakekmu Lu Sin itu biar pun hidup sebagai petualang, namun dia seorang yang luar biasa sekali. Kepandaian silatnya pada waktu ini sukar dicari tandingannya, dan dia dijuluki Ang-bin Sin-kai. Memang, kalau orang memiliki kepandaian silat seperti dia itu, barulah orang-orang tidak berani main-main terhadapnya, dan kalau saja adatnya tidak begitu kukuh dan aneh, kalau saja dia menerima pangkat, tentu dengan mudah dia akan diberi pangkat tinggi dalam bidang kemiliteran kaisar. Bahkan kaisar pernah menawarkan kedudukan Koksu (Guru Negara) kepadanya. Sayang... dia lebih senang merantau.”

“Menjadi pengemis kotor!” Lu Seng Hok menambahkan. “Anak rewel, apa kau juga ingin mempunyai kepandaian silat tinggi dan kemudian menjadi seorang pengemis jembel?”

Akan tetapi Lu Thong tampak diam saja. Anak kecil ini biar pun manja dan rewel, namun harus diakui bahwa dia memiliki pikiran yang sangat cerdik. Dia lalu memandang kepada ayahnya dan berkata,

“Ayah, kalau kau berhasil membujuk kakek Lu Sin untuk tinggal di sini dan mengajar ilmu silat kepadaku, bukankah itu baik sekali? Selain dia tidak mengembara dan memalukan ayah, juga aku bisa mendapat pimpinan dari seorang ahli.”

“Kau tidak akan belajar silat!” kata Lu Seng Hok dengan kukuh.

“Ayah, bagaimana pun juga kakek Lu Sin adalah keluarga kita. Dia masih tetap saja menggunakan nama keturunan Lu! Kalau kita mempunyai orang tua yang berkepandaian tinggi itu, apakah akan kata orang kalau aku sebagai keturunan Lu tunggal, tetapi sama sekali tidak mengerti ilmu silat dan sangat lemah? Kongkong terkenal sebagai ahli bu. Ini merupakan dwi tunggal yang baik sekali dan kalau aku dapat mempelajari bun dan bu di bawah pimpinan dua orang tua ini bukankah aku akan menjadi seorang bun-bu cwan-jai (ahli satra dan ahli silat)?”

Ketika ayah dan anak ini bersitegang mempertahankan pendirian masing-masing, Lu Pin mendengarkan saja dan mendengar ucapan Lu Thong dia menjadi girang sekali. Wajah orang tua ini berseri-seri dan dia lalu bertepuk tangan.

“Bagus, bagus sekali! Lu Thong, agaknya kaulah yang akan dapat mengharumkan nama keluarga Lu! Hok-ji, ucapan puteramu itu betul sekali. Kini kita harus mencari Pek-hu-mu Lu Sin dan kita membujuknya untuk melatih Lu Thong. Bagus sekali!”

Setelah berpikir-pikir, akhirnya Seng Hok juga menyetujui kehendak ayahnya ini. Ia pikir bahwa tentu saja amat baik kalau Lu Thong menjadi seorang ahli sastra merangkap ahli silat pula. Ayah mana yang tidak akan suka melihat puteranya menjadi seorang bun-bu cwan-jai?

Akan tetapi mencari Ang-bin Sin-kai Lu Sin tidaklah semudah mencari orang lain. Nama Ang-bin Sin-kai memang sudah amat terkenal, dari seorang pengemis yang paling jembel sampai kaisar sendiri mengenal nama tokoh besar yang luar biasa ini. Akan tetapi di mana adanya kakek aneh ini, tak seorang pun mengetahuinya!

Karena sekarang telah menyetujui untuk memberi kesempatan kepada Lu Thong belajar ilmu silat, maka Lu Seng Hok mulai mengundang guru silat untuk memberi pelajaran dasar kepada puteranya. Akan tetapi, hati Lu Thong tidak demikian mudah dipuaskan. Segala macam guru silat saja, dia tidak sudi mengangkat menjadi gurunya.

Anak ini paling suka memelihara anjing dan di halaman depan gedung ayahnya penuh dengan anjing-anjing yang galak, besar dan juga bagus. Ia selalu dimanja oleh ayahnya yang sengaja membeli anjing-anjing besar dan bagus. Lu Thong memelihara lebih dari sepuluh ekor anjing!

Ia pernah mendengar tentang kakak kongkong-nya yang bernama Ang-bin Sin-kai Lu Sin itu, dan juga pernah mendengar cerita bahwa kakeknya ini pernah memukul mati seekor harimau tanpa menyentuh kulitnya! Oleh karena itu tiap kali ada guru silat yang diundang oleh ayahnya datang hendak mengajarnya, dia minta pada guru silat ini untuk memukul anjingnya tanpa menyentuh kulitnya!

Dan akibatnya, banyak sudah guru silat yang tidak mampu merobohkan anjing itu tanpa menyentuh kulitnya, sebaliknya ada beberapa orang di antara guru-guru silat itu yang menjadi korban gigitan anjing galak! Oleh karena itu, sebegitu jauh Lu Thong masih juga belum mempunyai guru yang pandai dalam ilmu silat dan dia masih belum mau belajar silat. Ayahnya menjadi bingung dan juga bohwat (kehabisan akal) menghadapi anaknya yang terus rewel minta supaya kakeknya, Ang-bin Sin-kai Lu Sin, dipanggil datang!

Pada suatu hari, masih pagi sekali, Lu Thong sudah bermain-main di pekarangan gedung ayahnya. Tiga ekor anjing yang terbesar dan terbaik menemaninya di situ. Dia sedang mengajar anjing-anjingnya melompat, mencari barang yang disembunyikan, dan lain-lain.

Tiba-tiba tiga ekor anjing ini menggonggong keras dan berlari ke arah pintu. Dari pintu gerbang masuk seorang pengemis tua yang pakaiannya sudah penuh tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan, dan kulit tubuhnya kotor serta ada penyakit gatal di sana-sini, terutama sekali pada kakinya. Ketika dia datang memasuki pintu gerbang, banyak lalat mengerubung dan mengikutinya.

Melihat pengemis ini, Lu Thong segera memanggil anjing-anjingnya dan tiga ekor anjing yang sudah mengerti akan perintah majikan mudanya ini lalu berlari mendekati Lu Thong. Anak ini memandang tajam.

Ketika melihat sikap pengemis itu berani sekali, tidak seperti pengemis biasa, diam-diam dia menaruh perhatian dan dadanya berdebar. Inikah kakeknya, Ang-bin Sin-kai Lu Sin? Mukanya tidak kemerah-merahan, pikirnya.

Menurut penuturan kongkong-nya, juga melihat dari nama julukan ‘Ang-bin’ atau muka merah, tentu kakek yang menjadi ahli silat itu bermuka merah. Bagaimana pun juga dia hendak bersikap hati-hati dan agar jangan disangka kurang sopan, dia bertanya dengan halus kepada pengemis tua itu.

“Kakek tua, kau masuk ke sini ada keperluan apakah?”

Pengemis itu memandang. Wajahnya nampak berseri-seri mendengar suara dan melihat sikap yang manis dari Lu Thong ini.

“Ah, ah, benar! Pohon baik berbuah manis. Kakeknya terpelajar cucunya pun tahu sopan santun. Bagus sekali! Siauw-kongcu (Tuan Kecil), bukankah kau adalah putera dari Lu Seng Hok?”

Semakin bergairahlah hati Lu Thong. Siapa lagi kalau bukan Ang-bin Sin-kai yang berani memanggil nama ayahnya begitu saja? Maka dia lalu mengangguk.

Pengemis itu memandang lagi penuh perhatian dan kini dia melihat ke arah pakaian Lu Thong serta hiasan rambutnya. Ia menggelengkan kepala dan berkata lagi, “Betapa pun juga merak tak mungkin beranak garuda! Sayang sekali, kemewahan kakeknya menurun padanya!”

Lu Thong adalah seorang anak yang cerdik dan terpelajar. Ia tahu bahwa peribahasa yang menyatakan bahwa merak tak dapat beranak garuda menyindirkan bahwa seorang pesolek anaknya pun pesolek pula. Akan tetapi karena dia menduga bahwa pengemis ini adalah kakeknya yang selama ini dicari-cari, yaitu Lu Sin, anak ini tidak menjadi marah, bahkan berkata,

“Kakek yang baik, ayahku sedang pergi ke kantornya. Siapakah kau dan ada keperluan apakah mencari ayah?”

“Siapa mencari ayahmu? Aku datang hendak mengobrol dengan Lu Pin, kakekmu.”

Hampir Lu Thong berjingkrak saking girangnya. Tidak bisa salah lagi, ini tentulah Ang-bin Sin-kai Lu Sin, kakak dari kongkong-nya itu! Akan tetapi anak ini masih menahan gelora hatinya dan bertanya lagi, pura-pura tidak tahu,

“Kongkong Lu Pin tidak tinggal di sini, akan tetapi di gedung menteri di sebelah kanan istana! Kakek, siapakah namamu?”

Kakek itu nampak amat kecewa. ”Hemm, aku sudah pergi ke sana, akan tetapi penjaga mengusirku. Kukira melalui ayahmu aku akan lebih mudah bertemu Lu Pin. Namaku? Ah, aku sendiri sudah tidak tahu lagi siapa namaku, Siauw-kongcu.”

Dengan mata bersinar-sinar Lu Thong kemudian berkata, “Kakek yang baik, bukankah kau adalah Ang-bin Sin-kai Lu Sin?”

Pengemis itu nampak sangat terkejut. “Kau sudah mendengar nama itu? Hmm, Ang-bin Sin-kai barulah patut disebut seekor garuda. Garuda sakti yang terbang di angkasa raya, bebas lepas tidak terikat oleh sesuatu. Dia seorang yang patut dikagumi!”

Sehabis berkata demikian pengemis itu merangkapkan kedua tangannya ke dada dan memberi hormat ke atas.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)